Kel 2 Teori Kedaulatan
Kel 2 Teori Kedaulatan
TEORI KEDAULATAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Ilmu Negara
Dosen Pengampu: Tri Nurhayati, M.H.
Disusun Oleh :
1. Alvin Maulana (2102016144)
2. Rachmad Fathuriza Adi (2102016158)
3. Fatika Amalia Rachmawati (2102016150)
4. Afifah Nur Aisya Hendi (2102016171)
1
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................................................2
BAB 1............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...........................................................................................................................4
1. Ajaran Kedaulatan...............................................................................................4
2. Teori Kedaulatan Tuhan......................................................................................6
3. Teori Kedaulatan Raja.........................................................................................10
4. Teori Kedaulatan Negara.....................................................................................11
5. Teori Kedaulatan Hukum ...................................................................................15
6. Teori Kedaulata Rakyat.......................................................................................16
BAB III..........................................................................................................................................21
PENUTUP.....................................................................................................................................21
Kesimpulan...............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................22
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
'F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: BinaCipta, Cetakan Kesembilan, 1992), hlm. 108
2
Francis W. Coker, "Souvereignty", Encyclopaedia of Social Sciences, Vol. 14, hlm. 265.
3
Abul A'la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Mizan, Cetakan Pertama, Bandung, 1990,
hlm. 237
4
hukum Salis tentang pergantian raja.4 Dengan ajaran kedaulatan seperti diuraikan di atas
Bodin meletakkan dasar filosofis daripada pengertian kedaulatan yang mutlak.
Ajaran kedaulatan yang mutlak dari Bodin diterima juga oleh seorang absolutis
lainnya, yaitu Thomas Hobbes. Dalam ajaran Hobbes kedaulatan mencapai derajatnya yang
paling mutlak. Bagi Hobbes, adagium "Princeps legibus solutus est" betul-betul
menunjukkan keadaan raja di zamannya; raja berada di atas undang-undang. 5 Hobbes
melanjutkan secara konse kuen teori Bodin dengan mengemukakan bahwa para individu yang
hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak hak alamiah mereka kepada seorang
atau sekumpulan orang. Hobbes sendiri mengutamakan penyerahan itu kepada satu orang,
yaitu raja. Penyerahan ini adalah mutlak. Sehingga orang yang menerimanya berdaulat
mutlak pula.
Ajaran Bodin dan Hobbes kemudian dilanjutkan oleh John Austin di Inggris. Bagi
Austin yang berdaulat adalah "legibus soluta". Yang berdaulat adalah "pembentuk hukum
yang tertinggi" (supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh yang
berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada di atas hukum yang
merupakan hasil ciptaannya sendiri.
Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu ialah
kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible), sifatnya sebagai
kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap (complete).6 Dengan kelanggengan
dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang dimiliki negara selama negara itu masih ada.
Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan menunjukkan keadaan kedaulatan sebagai pengertian yang
bulat dan tunggal. Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang
tertinggi dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan
tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih
tinggi. Kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada manusia dan organisasi yang
diperkecualikan dari kekuasaan yang berdaulat.
Dalam terminologi ilmu politik modern, kata kedaulatan digunakan untuk
mengartikan kemaharajaan mutlak atau kekuasaan raja yang paripurna. Kedaulatan memiliki
hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memaksakan perintah-perintahnya kepada semua
rakyat negara yang bersangkutan dan sang rakyat ini memiliki kewajiban mutlak untuk
menaatinya tanpa memerhatikan apakah mereka bersedia atau tidak. 7 Tidak ada media luar
4
F. Isjwara, Loc. Cit.
5
Ibid.
6
Ibid.,hlm.110.
7
Abul A'la Al-Maududi, Op.Cit., hlm. 236.
5
lainnya, kecuali kehendaknya sendiri, yang dapat mengenakan pembatasan pada
kekuasaannya untuk memerintah. Tidak ada rakyat yang memiliki hak mutlak untuk
melawannya atau bertentangan dengan perintah-perintahnya. Hak apa pun yang dicabutnya
akan dihapus. Sudah merupakan dalil universal di bidang hukum bahwa setiap hak hukum
hanya tercipta jika pemberi hukum menginginkannya demikian. Oleh karenanya, jika sang
pemberi hukum itu mencabutnya, keberadaannya dilenyapkan, dan sesudahnya hak yang
telah dihapuskan tersebut tidak dapat dituntut.
Hukum tercipta melalui kehendak kedaulatan serta menempatkan semua rakyat
negara di bawah kewajiban untuk menaatinya. Tetapi tidak ada hukum yang mengikat
kedaulatan itu sendiri. Dengan kata lain, ia adalah otoritas mutlak, dan dengan demikian,
sepanjang berkaitan dengan perintah-perintahnya, tidak akan dan tidak boleh muncul
pertanyaan-pertanyaan mengenai baik buruk, benar dan salah, dan sebagainya. Apa pun yang
dilakukannya adalah adil; dan tidak seorang pun dapat mempertanyakan tindakan, perintah
serta penegakan perintah-perintah tersebut. Perilakunya merupakan kriteria bagi benar dan
salah dan tidak seorang pun yang boleh mempertanyakannya.
Tak ada satu pun yang kurang memenuhi unsur-unsur di atas yang dapat diistilahkan
sebagai kedaulatan. Tetapi kedaulatan ini tetap hanya sekadar anggapan dasar hukum
sepanjang tidak ada oknum aktif yang mampu menegakkannya. Oleh karenanya, secara ilmu
politik, kedaulatan hukum tanpa kedaulatan politik tidak memiliki keberadaan praktis. Jadi
secara alamiah, kedaulatan politik berarti pemilikan wewenang untuk menegakkan
kedaulatan hukum.
6
Undang. Pandangan di atas disajikan dalam Firman Allah Surah Yusuf ayat 37-40 yang
berbunyi sebagai berikut.8
Melalui firman Allah tersebut telah disampaikan pesan bahwa manakala mereka juga
mengakui bahwa yang memegang kedaulatan sejati atas semua penciptaan adalah Allah Yang
Maha Pencipta dan Memelihara Alam Semesta, maka mengapa mereka menghindari
konsekuensi-konsekuensi alamiah dan logis? Pemikiran ini secara alamiah mengandung
konsekuensi bahwa hanya Dia sajalah yang harus, dan pada kenyataannya memang
menikmati kedaulatan sejati, dan Dia tidaklah memberi sanksi apa pun atas ketaatan dan
penyembahan kepada Tuhan – Tuhan yang telah mereka sembah itu. Semua hak prerogatif ini
hanya khusus milik Dia, Dia telah memerintahkan agar perintah Nya ditempatkan pada
kedudukan tertinggi. Manusia jangan menyembah apa pun kecuali Dia, menaati apa pun
kecuali Dia, dan mengikuti apa pun kecuali Dia. Dia-lah kedaulatan sejati. 9
Dalam surah yang lain Allah berfirman (Surah Al-A'raaf ayat 54) yang berbunyi
sebagai berikut.
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa. Lalu Dia bersemayam di atas 'arsy. Ditutup-Nya malam dengan siang
yang mengiringi peredar annya dengan cepat. Dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan,
8
Ibid.
9
Ibid., hlm.191
7
dan bintang-bintang. Masing-masing tunduk di bawah pengaturan-Nya.. Ingatlah bahwa
mencipta dan menata adalah wewenang Tuhan. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam."
Dari ayat tersebut dapat ditarik suatu ajaran yang tinggi bahwa Tuhan bukanlah hanya
sekadar Pencipta Alam Semesta saja, melainkan juga Penguasa dan Pemilik perintah. Tuhan
bukan pihak yang mencipta dunia dan kemudian beristirahat. Pencipta telah memaksakan
hubungan-Nya dengan alam semesta setelah menciptakannya. Dia masih mengendalikannya
dan memeliharanya. Semua kewenangan dan kekuasaan dipegang-Nya. Mulai dari partikel
debu yang terkecil sampai dengan nebula raksasa, semuanya menyerah kepada Kehendak-
Nya serta menaati Perintah-Nya. Nasib semua ciptaan ini sangat bergantung kepada-Nya. Dia
tidaklah melepas makhluk-Nya ke tangan pihak lain untuk diperintah sekehendak mereka
sendiri. tidak juga menganugerahkan kemerdekaan dan otonomi kepada sebagian makhluk-
Nya untuk melakukan sesuatu sekehendak hati mereka sendiri. Malam dan siang tidak saling
menutup satu sama lain dengan sendirinya tanpa suatu mekanisme Illahiah; dan musim
tidaklah berubah secara kebetulan. Tetapi kehendak Tuhan lah yang mengatur semua itu.
Teori kedaulatan Tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad
pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Di dalam perkembangannya teori ini
sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu
agama Kristen, yang kemudian diorganisasi dalam suatu organisasi keagamaan, yaitu gereja
yang dikepalai oleh seorang Paus.
Jadi, pada waktu itu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara
yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai oleh
seorang Paus, karena pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat
perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat perlengkapan organisasi negara.
Pada permulaan perkembangannya agama baru ini men dapat pertentangan yang
sangat hebat. Oleh karena agama baru ini dianggap bertentangan dengan paham atau
kepercayaan yang dianut pada waktu itu, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa atau
pantheisme. Namun, karena keuletan dan ketabahan daripada para penganut-penganutnya,
agama baru ini tidak mus nah, tetapi malahan akhirnya dapat berkembang dengan baik dan
diakui sebagai satu-satunya agama resmi, agama negara.10
Mulai saat itulah organisasi gereja itu mempunyai kekuasaan yang nyata dan dapat
mengatur kehidupan negara, tidak saja yang bersifat keagamaan, tetapi sering-sering juga
10
Sochino, Ilmu Negara, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Liberty. 1986), hlm. 152-153.
8
yang bersifat keduniawian, maka tidaklah jarang kalau kemudian timbul dua peraturan untuk
satu hal, yaitu peraturan dari negara dan peraturan dari gereja. Apabila timbul pertentangan di
antara peraturan negara dan peraturan gereja, peraturan manakah yang berlaku? Siapakah
yang memiliki kekuasaan yang tertinggi atau kedaulatan itu? Siapakah di dunia ini (dalam
negara) yang mewakili Tuhan, raja ataukah Paus. Tokoh-tokoh dari penganut teori teokrasi
antara lain, Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsillius.
Mula-mula dikatakan bahwa yang mewakili Tuhan di dunia ini, juga dalam suatu
negara adalah Paus. Pendapat ini disampaikan oleh Augustinus. Kemudian dikatakan bahwa
kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja tugasnya berlainan, raja dalam lapangan
keduniawian, sedangkan Paus dalam lapangan keagamaan. Ini pendapat dari Thomas
Aquinas. Perkembangan selanjutnya menitikberatkan kekuasaan itu ada pada negara atau
raja, ini adalah ajaran dari Marsillius.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, predikat teokrasi tidak dapat diterima sebab Islam
tidak mengenal adanya kekuasaan negara yang menerima limpahan dari Tuhan. Kekuasaan
negara berasal dari umat dan penguasanya bertanggung jawab kepada umat."11
Menurut ajaran Islam, kedaulatan hanya milik Allah semata, dan hanya Dia-lah
pemberi hukum. Sebagai konsekuensi logis dari konsep kedaulatan ini, organisasi-organisasi
politik Negara Islam disebut khilafah. Manusia merupakan khalifah Tuhan dibumi dan
sebagai seorang khalifah maka tugas hidupnya adalah melaksanakan dan menegakkan
perintah dari pemegang kedaulatan. Menurut Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 30 Allah
berfirman:"... Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku akan mengangkat
Adam menjadi khalifah di muka bumi...".
Khalifah berarti orang yang menikmati hak-hak dan keku asaan tertentu yang bukan
merupakan haknya sendiri, melainkan hak sebagai wakil atau kuasa Tuannya. Sifat
wewenangnya tidaklah melekat tetapi didelegasikan. Dia tidak bebas untuk melakukan apa
pun yang dikehendakinya, tetapi harus bertindak sesuai dengan pengarahan dari prinsip-
prinsipnya. Jika dia tidak menaatinya, merampas kekuasaan yang bukan miliknya sendiri
demi dirinya sendiri, dan bertindak bertentangan dengan pengarahan pemegang
Kedaulatannya, maka kedudukannya ini tidaklah sejalan dengan kedudukan yang sebenarnya,
dan itu tidak lain berarti pemberontakan.12
11
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, (Yogyakarta: Ul Press, 2000), hlm. 42.
12
Abul A'la Al-Maududi, Op.Cit., hlm. 195-196.
9
Kekhalifahan ini merupakan kekhalifahan umum. Pada dasarnya ia milik umat
manusia dan bukan merupakan hak istimewa individu, keluarga, suku, kelompok atau sekte
mana pun. Tetapi karena ia menyiratkan arti pengakuan Tuhan sebagai pemegang kedaulatan,
maka hanya orang-orang yang mengakui hal inilah dalam hal ini kaum muslim, dari
kelompok atau bani manapun mereka berasal yang memiliki hak untuk menggunakannya.
13
Sochino, Op.Cit., hlm. 154.
14
Arief Budiman, Teori Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 26.
10
Sejak saat itu muncullah ajaran-ajaran baru yang memberi jaminan kepada rakyat
yang sewajarnya. Di antaranya adalah ajaran dari monarchomachen yang hendak membatasi
kekuasaan raja. Kelompok yang berkembang pada akhir abad ke-16 ini, seperti halnya
Luther, mula-mula mendasarkan dirinya pada kritik-kritik yang memakai kaidah-kaidah
agama Kristen. Persoalan yang mereka lontarkan adalah bila raja memperoleh keabsahan
kekuasaannya dari gereja, dan raja kemudian melanggar kaidah-kaidah agama (tetapi tetap
merestui nya), haruskah raja yang demikian dipatuhi terus? Mana yang lebih untuk dipatuhi,
manusia (raja yang diberkati oleh gereja) atau kaidah-kaidah agama (yang tidak selalu ber arti
gereja)? Dengan dipertentangkannya kaidah-kaidah agama dengan kekuasaan seorang raja
(beserta gereja yang memberkatinya), kaum Monarchomachen telah meletakkan dasar-dasar
untuk meragukan sekaligus kekuasaan mutlak sang raja dan gereja.
Hal yang terpenting disini adalah dipisahkannya kaidah agama dari kekuasaan gereja.
Orang di luar gereja juga punya kemampuan untuk melakukan interpretasi tentang apa yang
disebut sebagai kaidah agama. Dengan demikian, interpretasi tentang kaidah-kaidah agama
bukan lagi menjadi monopoli gereja.15
Pada 1579, di bawah nama samaran Brutus, terbit sebuah buku dengan judul
Vindiciae Contra Tyrannos. Buku yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang
pertama dari kaum Monarchoachen ini merupakan buku yang menganut prinsip kedaulatan
rakyat. Dalam buku itu dinyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia
diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak
mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Karena itu, raja tidak boleh memerintah
dengan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kalau ini terjadi, muncullah "hak pada setiap
orang untuk melawan".
15
Ibid., hlm. 27
16
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cetakan Ketiga, Edisi
Revisi, 1995), hlm. 122.
11
Oleh karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah
yang memegang kekuasaan negara? Yang memegang kekuasaan dalam negara adalah raja
sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikonkretkan dalam tubuh raja. Ajaran ini disebut
Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.
Pada hakikatnya ajaran ini sama dengan ajaran kedaulatan raja, hanya ajaran itu
dibuat sedemikian rupa hingga dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal pada kedaulatan
rakyat dan memberi kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang. Karena itu kedaulatan
negara sering juga disebut sebagai kedaulatan raja-raja modern atau moderneverstenso
uvereiniteit. Ajaran ini mendapat tantangan dan diantaranya tantangan itu datang dari Krabbe
mengemukakan ajaran kedaulatan hukum atau oleh Dicey disebut rule of law.17
Para penganut teori kedaulatan negara menyatakan, bahwa kedaulatan itu tidak ada
pada Tuhan, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori kedaulatan Tuhan (Gods-
souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala
sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang
menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan
tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori
kedaulatan negara ini antara lain Jean Bodin, dan George Jellinek.
Pada hakikatnya teori kedaulatan negara itu atau Staats souvereiniteit, hanya
menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu sifatnya
absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-
absolutisme. Karena dalam ajaran Staats-souve reiniteit itu pada prinsipnya hanya dikatakan
bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat
absolut, tetapi mungkin juga bersifat terbatas. Sedang dalam ajaran Staats-absolutisme
dikatakan bahwa kekuasaan negara itu sifatnya absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat
terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan
masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai
kepribadian.18
George Jellinek mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan
daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi, negaralah yang menciptakan hukum, maka
negara dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu orang pun yang berwenang
menetapkan hukum. Maka dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang
17
Ibid.
18
Ibid.
12
tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata
berlaku didalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau
menurut Jean Bodin; sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi
hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum.
Dilihat sepintas lalu, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan
dengan hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
internasional terutama hubungan antarnegara. Dapat dikemukakan bahwa hukum
internasional tak mungkin mengikat negara-negara apabila negara itu merupakan kekuasaan
tertinggi yang tidak mengakui sesuatu kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya.
Jika pandangan ini benar, maka kedaulatan memang bertentangan dengan hukum
internasional, bahkan boleh di katakan bahwa paham kedaulatan demikian pada hakikatnya
merupakan penyangkalan terhadap hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang
mengikat bagi negara-negara dalam hubungannya satu sama lain.
Tidaklah mengherankan jika di dalam dunia ilmu hukum internasional terdapat
sarjana-sarjana yang menganggap ke daulatan negara sebagai suatu penghalang bagi
pertumbuhan masyarakat internasional dan bagi perkembangan hukum internasional yang
mengatur kehidupan masyarakat demikian. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat
internasional dewasa ini merupakan suatu masyarakat yang terdiri terutama dari negara-
negara yang bebas satu dari yang lainnya. Selain didasarkan atas suatu anggapan yang keliru
tentang hakikat daripada dunia dewasa ini, sehingga serangan atas paham kedaulatan salah
sasaran, maka paham yang mengatakan bahwa kedaulatan itu merupakan penghalang bagi
pertum buhan hukum internasional juga didasarkan atas pengertian kedaulatan yang keliru. 19
Menurut asal katanya kedaulatan memang berarti keku asaan tertinggi. Negara
berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi
daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli daripada
kekuasaan, suatu sifat khas daripada organisasi masyarakat dan kenegaraan dewasa ini yang
tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan-tindakan sendiri apabila ia
dirugikan. Walaupun demikian, kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya. Ruang
berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, artinya suatu
negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas-batas wilayahnya. Di luar
wilayahnya suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Jadi pembatasan yang
19
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I – Bagian Umum, Cetakan Keempat,
(Jakarta: Binacipta, 1982), hlm. 16-17.
13
penting ini melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang
beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh sesuatu negara menurut paham kedaulatan
itu tidak terbatas.20
Suatu negara lazim dianggap bebas dan berdaulat hanya terhadap atau di dalam
wilayahnya sendiri. Pengertian kedaulatan pada masa sekarang lebih sempit daya berlakunya
apabila dibandingkan dengan pengertian kedaulatan pada abad ke-18 dan 19. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan negara-negara nasional yang tidak mengenal adanya
pembatasan-pembatasan terhadap otonomi negara. Pada waktu sekarang dapat dikatakan
hampir tidak terdapat lagi negara yang menolak pembatasan terhadap kebebasan negaranya
demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Dikatakan demikian karena
negara-negara itu adalah anggota masyarakat internasional dan juga sebagian besar adalah
anggota organisasi-organisasi internasional seperti PBB. Kepada mereka diberikan
kewajiban-kewajiban yang pada dasarnya membatasi kebebasan mereka yang pada mulanya
leluasa dalam melaksanakan kebijaksanaan internasional.21
Dari sudut praktik, maka perbedaan kedaulatan negara terletak pada derajatnya yang
berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Sebagian negara memiliki kekuasaan
dan kebebasan lebih besar daripada negara lainnya. Kenyataan ini menghadapkannya kepada
perbedaan antara negara-negara merdeka atau berdaulat dengan negara atau entitas (entity)
yang tidak memiliki kemerdekaan atau kedaulatan.
Apabila dikatakan bahwa sebuah negara tertentu merdeka dan berdaulat, maka kepada
negara tersebut dilekatkan sejumlah hak tertentu dalam hukum internasional. Selain hak yang
dimiliki negara tadi, maka pada saat yang bersamaan melahirkan pula kewajiban bagi negara
lain untuk menghormati hak-hak tadi. Kewajiban-kewajiban yang dapat mengikat negara
yang bebas dan berdaulat, misalnya:22
1) Kewajiban untuk tidak menjalankan kedaulatannya pada teritorial negara lain.
2) Kewajiban untuk tidak memperkenankan warga negaranya melakukan perbuatan-
perbuatan yang melanggar kebebasan atau supremasi wilayah negara lain.
3) Kewajiban untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Tunduknya suatu negara kepada kebutuhan pergaulan masyarakat internasional
merupakan suatu syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat internasional yang teratur.
20
Ibid.
21
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing. (Bandung: Alumni,
Cetakan ke-1, 1999), hlm. 47.
22
J.G. Starke, An Introduction to International Law, 10 Ed., (London: Butterworths, 1989), hlm. 83-84.
14
Mengingat bahwa kehidupan suatu masyarakat internasional yang teratur hanya mungkin
dengan adanya hukum internasio nal, maka keharusan tunduknya negara-negara kepada
hukum internasional yang mengatur hubungan antara negara-negara yang berdaulat itu
merupakan kesimpulan yang tidak dapat dielakkan lagi.23
23
Mochtar Kusumaatmadja, Op Cit, hlm. 19.
24
Soehino, Op. Cit., hlm. 156.
25
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Op.Cit., hlm. 124.
15
dirinya dengan undang-undang itu? Disinilah letak kelemahan paham Jellinek dengan
Selbsbindungstheorienya.
Pendapat Krabbe juga disanggah oleh Struyken, dengan mengatakan bahwa karena
kesadaran hukum itu berubah-ubah, maka kemungkinan tata tertib masyarakat tidak terjamin
karena pencerminan dari kesadaran hukum yang berbeda-beda.26
Apeldoorn juga mengecam paham Krabbe oleh karena yang dianggap sebagai
kesadaran hukum itu tidak asli. Kesadaran hukum untuk sebagian merupakan pembawaan
atau bakat yang merupakan pembawaan atau bakat yang diperolehnya waktu manusia
dilahirkan, dan sebagian lagi didapatkan dari kebiasaan. 27 Manakah yang merupakan
kesadaran hukum itu?
26
Ibid.
27
Ibid.,hlm.125
28
F. Isjwara, Op.Cit., hlm. 116.
16
Bagi Locke, negara didirikan justru untuk melindungi hak-hak ini. Kata Locke:
"Negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah
melindungi hak milik, hidup, dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari dalam
maupun bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat,
tetapi tidak semuanya".29 Dengan menyatakan hal ini, Locke menolak pikiran yang
berkembang sebelumnya, yaitu rakyat telah menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada
negara. Bagi Locke, negara yang merampas seluruh hak alamiah manusia ini adalah negara
yang tidak sesuai dengan fungsinya, yakni melindungi manusia yang menjadi warganya.
Karena tidak sesuai dengan tujuan didirikannya negara, negara ini menjadi tidak sah. Dia
kehilangan keabsahannya.
Dalam tangan Rousseau kedaulatan rakyat ini menjadi kedaulatan yang mutlak
berdasarkan volonte generale dari rakyat itu. Ajaran kedaulatan rakyat adalah ajaran yang
memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau juga disebut pemerintahan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat. Yang menarik perhatian dari ajaran Rousseau ialah adanya dua
macam kehendak dari rakyat yang dinyatakan sebagai berikut:30
a). Kehendak rakyat seluruhnya yang dinamakan volonte de Tous
Hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja yaitu waktu negara hendak
dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Maksud dari volonte de tous ini untuk memberi
sandaran agar supaya mereka dapat berdiri sendiri dengan abadi, karena seluruh rakyat telah
menyetujuinya. Keputusan ini merupakan suatu kebulatan kehendak dan jika negara itu sudah
berdiri pernyataan setuju itu tidak bisa ditarik kembali lagi. Untuk selanjutnya Volonte de
Tour ini tidak dapat dipakai lagi karena jika setiap keputusan harus dilakukan dengan suara
bulat, maka negara tidak dapat berjalan.
b). Kehendak sebagian dari rakyat yang dinamakan volonte Generale
Dinyatakan sesudah negara ada sebab dengan keputusan suara terbanyak kini negara
bisa berjalan sistem suara terbanyak ini dipakai oleh negara-negara demokrasi Barat. Dengan
demikian, apa yang dimaksud Rousseau dengan kedaulatan rakyat itu sama dengan keputusan
suara terbanyak. Oleh karena suara terbanyak itu harus ditaati, maka keputusan terbanyak itu
sama halnya dengan diktator dari suara terbanyak.
Apabila dalam suatu negara pemerintahan itu dipegang oleh beberapa atau segolongan
orang, yang sebetulnya ini merupakan kesatuan tersendiri di dalam negara itu, dan yang
29
Arief Budiman, Op. Cit., hlm. 29.
30
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hlm. 119-120.
17
mempunyai kehendak tersendiri yang disebut volonte de corps, akibatnya volonte generale
ini akan jatuh bersamaan dengan volonte de corps tadi. Dan apabila pemerintahan itu hanya
dipegang oleh satu orang tunggal saja, yang orang ini juga mempunyai kehendak tersendiri
yang disebut volonte particuliere, maka akibatnya volonte generale akan jatuh bersamaan
dengan volonte particuliere itu. Jadi kalau begitu pemerintahan itu harus dipegang oleh
rakyat, setidak-tidaknya rakyat itu mempunyai perwakilan didalam pemerintahan agar
volonte generale tadi dapat terwujudkan.
Selain itu perlu juga diingat bahwa yang dimaksud oleh Rousseau dengan kedaulatan
rakyat itu pada prinsipnya adalah cara atau sistem yang bagaimanakah pemecahan sesuatu
soal itu menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi kehendak
umum itu hanyalah khayalan saja yang bersifat abstrak, dan kedaulatan itu adalah kehendak
umum.31
Teori kedaulatan rakyat ini antara lain juga diikuti oleh Immanuel Kant, yaitu yang
mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin
kebebasan daripada para warga negaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan disini adalah
kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang
berhak membuat adalah rakyat itu sendiri. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah
merupakan penjelmaan daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi, atau kedaulatan.
Terhadap paham kedaulatan rakyat yang berpendirian vox populi vox Dei dipandang
berlebihan, sebab amat dimungkinkan rakyat mempunyai keinginan yang tidak sejalan
dengan kemauan Tuhan. Jadi tidak selalu bahwa suara rakyat mencerminkan kehendak
Tuhan.32
Dalam pandangan kaum pluralis, negara hanyalah sekadar wahana politik dimana
kekuatan-kekuatan sosial yang ada dimasyarakat saling bersaing untuk menguasai negara.
Kadang kadang, negara dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu, kelompok lain yang
berhasil menguasai birokrasi negara. Bila negara dikuasai oleh kelompok tertentu, sangatlah
logis kalau negara terutama melayani kepentingan kelompok tersebut. Tetapi untuk bisa
berkuasa secara efektif dan cukup lama, negara yang dikuasai kelompok tertentu ini perlu
juga melayani kelompok lainnya, supaya basis politiknya menjadi lebih luas. Karena,
bagaimana pun kelompok-kelompok lain dibutuhkan untuk mendukung kekuasaan negara.
31
Sochino, Op.Cit., hlm. 161.
32
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 42.
18
Akibatnya, meskipun negara ini dikuasai oleh kelompok tertentu, dia harus juga bekerja
untuk kepentingan yang lebih umum.
Negara pluralis sangat menekankan adanya sistem politik yang demokratis, yang
memungkinkan kelompok-kelompok yang ada dimasyarakat saling bersaing untuk menguasai
negara. Dengan demikian, kekuasaan politik tidak boleh ada ditangan negara, tetapi di tangan
rakyat. Kekuasaan negara harus terus menerus dikembalikan kepada rakyat dari waktu ke
waktu melalui pemilihan umum secara berkala. Adanya pemilihan umum yang berkala ini
membuat negara selalu didesak untuk mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya
kepada masyarakat. Negara dibuat menjadi accountable terhadap masyarakat.33
Berbeda dengan pandangan-pandangan sebelumnya, kaum Marxis beranggapan
bahwa negara merupakan alat dari kelas yang berkuasa untuk melakukan penindasan warga
masyarakat. Dalam sebuah masyarakat feodal, kelas bangsawanlah yang menguasai negara,
dalam masyarakat kapitalis, kelas pemilik modal, dan seterusnya. Karena itu, didalam
masyarakat manapun, selalu terjadi ketidakadilan antarkelas. Sampai tercipta masyarakat
komunis.
Dalam masyarakat komunis, demikian pendapat kaum Marxis, semua orang memiliki
hak politik dan hak ekonomi yang sama. Hak milik individu atas alat produksi dihapuskan.
Alat produksi dikuasai bersama secara kolektif oleh semua warga masyarakat. Dengan
demikian, kekayaan setiap orang dikontrol oleh negara. Kekayaan setiap orang relatif sama.
Dengan adanya persamaan kekayaan ini, orang tidak bisa menggunakan kekayaan materiil
sebagai basis politik. Negara tidak bisa lagi dikendalikan oleh kelas pemilik modal seperti
dalam sistem kapitalis.34
Dalam pandangan kaum Marxis, usaha untuk membuat negara menjadi demokratis
dimana kedaulatan ada ditangan rakyat saja, dirasa masih belum cukup. Dalam sebuah
masyarakat yang berkelas, demokrasi hanya menguntungkan kelas dominan. Untuk
memperoleh demokrasi atau kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, masyarakat berkelas
harus dihapuskan. Dan ini hanya bisa terjadi didalam masyarakat sosialis/ komunis.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana cara melembagakan kedaulatan rakyat. Kalau
menurut Plato, kedaulatan rakyat tidak perlu dilembagakan, karena kedaulatan rakyat ini pasti
dilindungi, bila pemimpin negara adalah seorang yang bijaksana. Dalam hal ini Plato memilih
kaum filosof sebagai tokoh idealnya. Di sisi lain, kaum pluralis menunjuk lembaga pemilihan
umum sebagai salah satu sarana untuk menjamin ber perannya kedaulatan rakyat.35
33
Arief Budiman, Op. Cit., hlm. 30-31.
34
Ibid.,hlm.32.
35
Ibid.
19
Untuk menjamin hal ini, Locke memisahkan aspek legis latif, aspek eksekutif, dan
yudikatif dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh ada dalam satu tangan.
Keduanya harus dipisahkan. Karena itu, bagi Locke, sistem kenegaraan yang paling baik
terdiri dari seorang raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan sebuah parlemen yang
memiliki kekuasaan untuk membuat hukum dan undang-undang. Kekuasaan eksekutif (dan
yudikatif) dipisahkan dari kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakan monarki konstitusional
atau monarki parlementer.
Pikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu. Kalau Locke
memisahkan dua aspek kekuasaan, Montesquieu memisahkan tiga aspek kekuasaan, yakni
kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan eksekutif. Dengan adanya
pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh
parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan
negara sehari-hari oleh pemerintah. Ajaran ini yang kemudian dikenal dengan nama Trias
Politica.
20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kedaulatan dari berbagai bahasa dapat diartikan sebagai wewenang tertinggi dari
suatu kesatuan politik. Kedaulatan dalam suatu negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi
dalam negara yang tidak berasal dari kekuasaan lainnya. Aspek utama kedaulatan
berdasarkan hukum internasional antara lain aspek ekstern, aspek intern kedaulatan, dan
aspek teritorial kedaulatan. Dalam hukum internasional, kedaulatan negara (state sovereignty)
dan kesederajatan (equality) antar negara merupakan konsep yang diakui dan menjadi dasar
bekerjanya sistem hukum internasional. Kedaulatan dan kesederajatan negara merupakan
dasar pesona dan atribut yang melekat pada Negara merdeka sebagai subjek hukum
internasional.
21
DAFTAR PUSTAKA
22