Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AYAT HUKUM TENTANG SUMPAH ‘ILA


Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu : Hj. Lathifah Munawaroh, Lc., M.A.

Disusun Oleh :
1. Ainun Yasminnatul Mu’minah (2102016145)
2. Rizqi Amalia (2102016173)
3. Abdurrahman (2102016159)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022

1
DAFTAR ISI
COVER ………………………………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. 2
BAB I PEMBUKAAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 3
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………. 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Ayat Hukum Tentang Sumpah Ila ………………………………......... 5
B. Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah 226-227 dan Al-Maidah 85 ………. 6
C. Penafsiran Hukum Tentang Sumpah ila’ Surat Al-Baqarah 226-227 dan
Al-Maidah 85 ….. …………………………………………………….. 8
D. Kandungan Hukum Tentang Sumpah Ila’ Surat Al-Baqarah 226-227 dan
Al-Maidah 85 ……………………………………………………..13
E. Hikmah Tasyri’ Hukum Tentang Sumpah Ila’ ……………………..18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………21

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang menjalani kehidupan dalam berumah tangga harus
berdasarkan aturan yang sudah ada dalam Syariat Islam. Banyaknya alasan perceraian
yang diatur dalam fiqh Islam yaitu ‘ila’, zhihar, li’an, khulu’, fasakh, syiqaq, dan
nusyuz. Salah satu alasan cerai ialah karena ‘Ila’, ‘Ila’ secara bahasa adalah sumpah,
sedangkan secara istilah adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya selama
masa tertentu.

Versi lain ila’ adalah seseorang bersumpah untuk tidak akan menggauli istrinya dalam
tempo lebih dari empat bulan atau empat bulan, secara mutlak(global). Sedangkan
secara syar’i ila’ adalah penolakan melakukan persetubuhan dengan istri disertai
dengan sumpah. kedua perbuatan ini merupakan perbuatan yang mungkin terjadi
didalam kehidupan berumah tangga.

Ila' adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan biologis dengan istrinya
dalam masa tertentu. Konsekuensinya sang suami harus membayar kafarat yang
jenisnya sama dengan kafarat melanggar sumpah. Sumpah adalah mengikrakan ucapan
untuk meyakinkan orang lain terhadap perkataannya dengan menyebutkan nama Allah
Swt. Banyak sekali dikalangan masyarakat islam mengucapkan sumpah dengan
mudahnya namun mereka tidak memperdulikan efek terhadap sumpah yang telah
mereka ucapkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Ayat Hukum Tentang Sumpah Ila’?
2. Bagaimana Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah 226-227 dan Al-Maidah 89?
3. Bagaimana Kandungan Hukum Tentang Sumpah Ila Surat Al-Baqarah 226-227 dan
Al-Maidah 89?

3
4. Bagaimana Penafsiran Hukum Tentang Sumpah Ila’Surat Al-Baqarah 226-227 dan
Al-Maidah 89?
5. Apa Hikmah Tasyri’ Hukum Tentang Sumpah Ila’?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ayat Hukum Tentang Sumpah Ila’


Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-ila’ ialah menolak sesuatu dengan cara bersumpah
atau mengelak terhadap masalah itu.1 Menurut Madhab Syafi’i adalah sumpah
suami yang sah talaknya untuk tidak menggauli istrinya secara mutlak (tanpa batas
waktu) atau dalam masa lebih empat bulan. 2 Jadi ila’ adalah sumpah suami kepada
seorang istri dengan menggunakan nama Allah atau salah satu sifat-Nya untuk tidak
menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu atau lebih dari empat bulan.

1. Al-Baqarah 226-227
َّ ‫عزَ ُموا ال‬
‫ط ََلقَ فَإِ َّن‬ ٌ ُ‫غف‬
َ ‫ َوإِ ْن‬٢٢٦ ‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ ِّ ‫ُّص أ َ ْربَعَ ِة أ َ ْش ُه ٍر ۖ فَإِن فَا ُءوا فَإِ َّن‬
َ ‫ّللا‬ َ ِِّ‫ِلِّلَّذِينَ يُؤْ لُونَ مِ ن ن‬
ُ ‫سائِ ِه ْم ت ََرب‬
٢٢٧ ‫علِي ٌم‬
َ ‫سمِ ي ٌع‬
َ ‫ّللا‬
َ ِّ
Kepada orang-orang yang meng-īlā` istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (226) Jika mereka
berketetapan hati untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui (227)”

2. Al-Maidah 89
َ ‫عش ََرةِ َمسٰ ِكيْنَ مِ ْن اَ ْو‬
ِ‫سط‬ ْ ‫ارت ُه ا‬
َ ‫ِط َعا ُم‬ َ َّ‫انَ فَ َكف‬ َۚ ‫اْل ْي َم‬ َ ‫الل ْغ ِو ف ِْي ا َ ْي َمانِ ُك ْم َو ٰلك ِْن يُّ َؤاخِ ذُ ُك ْم ِب َما‬
َ ْ ‫ع َّق ْدت ُّ ُم‬ َّ ‫ّللاُ ِب‬ ‫ا يُ َؤاخِ ذُ ُك ُم ه‬
َ ‫ص َيا ُم ثَ ٰلث َ ِة اَي ٍَّام ٰۗذلِكَ َك َّف‬
‫ارة ُ اَ ْي َما ِن ُك ْم اِذَا‬ ْ ُ ‫َما ت‬
ِ َ‫ط ِع ُم ْونَ ا َ ْه ِل ْي ُك ْم ا َ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم ا َ ْو ت َ ْح ِري ُْر َرقَ َب ٍة ۗفَ َم ْن لَّ ْم َي ِجدْ ف‬
‫ظ ْوا ا َ ْي َمانَ ُك ْم ۗ ك َٰذلِكَ يُبَيِِّ ُن ه‬
َ‫ّللاُ لَ ُك ْم ٰا ٰيت ِٖه لَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُر ْون‬ ُ َ‫َحلَ ْفت ُ ْم َۗوا ْحف‬
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu

1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), 373.
2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’asir, 1989), 503.

5
berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan
seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka
(kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila
kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (89)

B. Asbabun Nuzul
1. Asbabunuzul Al-Baqarah 226-227
‫عن الشعيب عن مسروق عن عائشة رضي اهلل عنها قالت إىل رسرل اهلل صلى اهلل عليو و سلم من‬
‫رواه ابن ماجو و الرتمكي‬ ‫نسائو و حرم مجعل احلرام حاْلل و جعل ي الياني الكفارة‬
Dari Sya’bi dari masruq dari Aisyah RA. ia berkata : Rasulullah SAW pernah
bersumpah menjauhkan diri dari isteri-isterinya dan ia pernah haramkan
sesuatu lantas yang haram ia jadikan halal (kembali kepada istrinya), dan ia
membayar kafarat sumpahnya. (HR. Ibnu Majah dan Tirmizi).

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa yang mengharamkan itu Rasulullah
SAW atas dirinya sendiri, yaitu mengharamkan madu dan ada yang
mengatakan, mengharamkan Mariyah (istrinya).

Ila’ merupakan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah, seorang laki-laki


bersumpah tidak akan mendatangi istrinya setahun atau dua tahun atau
selamanya atau dalam waktu yang tidak ditentukan dengan maksud menyakiti
istrinya, membiarkan istrinya terkatung-katung tanpa suami dan tidak pula
diceraikan. Perbuatan yang seperti ini menyebabkan status istri menjadi tidak
jelas, sehingga membawa kemudharatan bagi istrinya. Kasus seperti ini
kemudian diperbaiki oleh Islam dengan dijadikannya sumpah ila’ berakhir
dengan masa empat bulan. Apabila suami kembali kepada istrinya sebelum abis

6
masa empat bulan tersebut berarti ia melanggar sumpahnya dan suami wajib
membayar denda kafarat.3

Zaman Jahiliyah merupakan zaman kegelapan terutama bagi kaum wanita


sampai mereka sendiri sering diberlakukan seenanknya oleh kaum lakilaki,
termasuk dalam masalah perkawinan. Jika kaum laki-laki merasa tidak suka
dengan istrinya maka mereka bersumpah untuk tidak menggaulinya tetapi tidak
pula diceraikan sehingga pada saat itu wanita merasa tertindas sekali.

Menurut satu pendapat, masa empat bulan merupakan masa seorang istri tidak
akan dapat menahan diri lebih daripada itu. Diriwayatkan bahwa Umar bin
Khaththab pernah berkeliling Madinah Pada malam hari, kemudian dia
mendengar seorang wanita yang bersenandung.

Keesokan harinya umar memanggil wanita itu dan bertanya kepadanya


"Dimana suamimu?" wanita itu menjawab, "Engkau mengirimnya ke Irak."
Umar kemudian memanggil kaum wanita dan bertanya kepadanya tentang
seberapa sanggup seorang wanita dapat menahan diri jauh dari suaminya?
Mereka menjawab, "Dua bulan, namun kesabarannya akan menipis pada tiga
bulan, dan kesabarannya akan habis pada bulan keempat." Umar kemudian
menetapkan masa seseorang berperang selama empat bulan. Apabila empat
bulan telah berlalu, maka orang-orang yang berperang itu akan ditarik dan
dikirim yang lainnya. Atsar ini—wallahu a 'lam—memperkuat kekhususan
Ila’ dengan empat bulan.

2. Asbabunnuzul Al-Maidah 89
Adapun sebab turun ayat ini adalah dahulu orang-orang arab itu mereka
mengharamkan makanan yang halal dan baik-baik, pakaian yang baik-baik,

3
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 693.

7
mengharamkan pernikahan karena sumpah sumpah mereka. Sehingga turunlah
ayat ayat 89.

Pada ayat-ayat sebelum ayat 89, telah dijelaskan mengenai sekelompok umat
Islam yang mendengarkan penjelasan Nabi Muhammad Saw tentang Hari
Kiamat. Ketika mendengar penjelasan itu, mereka memutuskan untuk tidak
tidur dan makan serta menjauhkan istri mereka. Mendapat kabar tentang
perbuatan mereka yang berlebihan, Nabi Muhammad Saw mengingatkan
mereka bahwa Islam bukan agama pertapa. Mendengar itu mereka lantas
bertanya kepada Nabi Saw, lalu bagaimana dengan sumpah yang terlanjur
mereka sampaikan? Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan
mereka itu. Ayat ini mengatakan, karena sumpah kalian berkaitan dengan
perkara yang tidak pantas, maka sumpah itu tidak sah. Artinya, kalian tidak
perlu mengeluarkan denda atas sumpah yang seperti itu.

Tapi pada saat yang sama al-Quran mengingatkan mereka untuk tidak
melakukan sumpah tanpa tujuan yang logis. Karena jika sumpah ini kalian
lakukan dan ternyata kalian tidak mampu melaksanakannya, maka selain telah
melakukan perbuatan haram, kalian juga harus membayar denda (kaffarah).

C. Penafsiran
1. Penafsiran Al-Baqarah 226-2227
Firman Allah Ta 'ala: َ‫" ِِّل َّلذِينَ يُؤْ لُون‬Kepada orang-orang yang meng-ila" Makna
lafazh َ‫ يُؤْ لُون‬adalah yuhlifuuna (bersumpah). Bentuk mashdar-nya adalah ilaa
'un aliyatun alautun dan ilwatun.

Ubay dan IbnuAbbas membaca firmanAllah itu dengan: Lilladziina yuqsimuuna


(bagi orang-orangyang bersumpah). Sebagaimana yang telah diketahui,
katayuqsimuuna merupakan tafsir untuk lafazh: َ‫يُؤْ لُون‬. Firman Allah itu pun

8
dibaca dengan: lilladziina 'alau. Dikatakan, "Alaa yu 'lii iilaa'an, ta 'alla
ta'alliyan, i 'tala i'tilaa'an, maksudnya bersumpah.

Contohnya adalah firman Allah:


ْ َ‫َو َْل َيأْت َ ِل اُولُو ْالف‬
‫ض ِل مِ ْن ُك ْم‬
"Danjanganlah orang-orangyang mempunyai kelebihan di antara kamu. " (Qs.
An-Nuur [24:22)4

َ ‫اإلي‬
‫َل ُء‬ ِ berartİ sumpah. Jika seseorang bersumpah tidak mencampurı isterinya
dalam waktu tertentu, baik kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari
empat bulan, maka ia harus menunggu berakhirnya masa yang telah ditentukan.
Setelah itu ia boleh mencampuri isterinya kembali. Bagi si isteri agar bersabar,
dan tidak berhak menuntut untuk rujuk pada masa itu. Demikian itulah yang
telah ditegaskan dalam Bukhari dan Muslin: dari Aisyah ra. bahwa Rasullah
SAW pernah menggilaa’ istrinya selama satu bulan. Dan beliau bersabda “satu
bulan itu dua puluh Sembilan hari.”5

At-Tarabush adalah An-Ta'anni (penangguhan) dan At-Ta 'akhir (pengakhiran),


bentuk acak dari kataAtTashabut,‫ُّص أ َ ْربَعَ ِة أ َ ْش ُه ٍر‬
ُ ‫ ت ََرب‬bentuk acak yang dari ikatan
Tashabur.

Hal ini berdasarkan kepada firmanAllah Ta'ala: "Dan pisahkanlah mereka di


tempat tidur mereka. '(Qs.An-Nisaa' [4]: 34) Rasulullah SAW sendiri pernah
melakukan 'terhadap istrinya selama satu bulan, guna mendidik mereka.

Firman Allah Ta 'ala,‫فَإِن فَا ُءو‬ "Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya)." Makna firman Allah ini adalah, jika mereka kembali (kepada

4
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami’ Lil Ahkaam Al Quran-Penerjemah Ahmad Khotib. (Jakarta; Pustaka
Azzam, 2008) Jil.6, 225.
5
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M. (Pustaka Imam Syafii,
2008), 562.

9
ِ ‫َحتهى ت َ ِف ْۤ ْي َء ا ِٰلى ا َ ْم ِر ه‬
istrinya). Contoh untuk makna ini adalah firman Allah: ‫ّللا‬
"Sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. " (Qs. Al Hujuraat [49] :
9).

Contoh yang lain adalah sebutan untuk bayangan yang ada setelah matahari
tergelincir: Fai 'un. Sebab matahari telah kembali dari sebelah timur ke sebelah
barat. Dikatakan, fa'ayafi'u fa’natan fuyuu’an. Makna sarii 'u alfi’ah adalah
cepat kembali.6

َّ ‫عزَ ُموا ال‬


Firman Allah Ta 'ala, َ‫ط ََلق‬ َ ‫“ َو ِإ ْن‬Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati
untuk) talak,” merupakkan dalil bahwa Wanita yang di il aitu tidak tertalak
dengan berakhirnya masa iddah (menunggu) 4 bulan, sebagaimana yang
dikatakan Imam Malik selama talak tidak dijatuhkan setelah habisnya waktu
tersebut. Selain itu Allah juga berfirman: ‫سمِ ي ٌع‬
َ “Maha Mendengar” dan kata ini
menghendaki adanya sesuatu yang didengar setelah habisnya waktu tersebut.

Abu Hanifah berkata, Firman Allah: ‫سمِ ي ٌع‬


َ “Maha Mendegar”, maksudnya
mendengar Ila’nya, ‫علِي ٌم‬
َ “Maha Mengetahui” maksudnya maha mengetahui
ketetapan hatinya yang ditujukan oleh berlalunya waktu empat bulan tersebut.
‫علِي ٌم‬
َ ‫سمِ ي ٌع‬ َ ِّ ‫ فَإِ َّن‬kalimat ini berbentuk berita akan tetapi makna yang dimaksud
َ ‫ّللا‬
adalah berupa ancaman.7

2. Penafsiran Al-Maidah 89
Menurut Imam Al-Qurthubi kata ‫ أ َ ْي ٰ َم ِن‬bermakna sumpah, dan ‫ أ َ ْي ٰ َم ِن‬diambil dari
kata yamin yang berarti kanan. Dan yamin secara bahasa berarti barakah atau
ada kebaikan. Allah menamakan sumpah dengan yamin yang berarti juga ada
kebaikan dalam menjaga hak hak manusia.8

6
Ibid. 236
7
Wahbah Az-zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta; Gema Insani, 2013), 528
8
Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami’ Lil Ahkaam Al Quran-Penerjemah Ahmad Khotib. (Jakarta; Pustaka
Azzam, 2008) Jil.7, 264.

10
Adapun sebab turun ayat ini adalah dahulu orang-orang arab itu mereka
mengharamkan makanan yang halal dan baik-baik, pakaian yang baik-baik,
mengharamkan pernikahan karena sumpah sumpah mereka. Sehingga turunlah
ayat ini.
Dalam karya Imam al-Qurthubi beliau menyebutkan :
‫ّللاُ بِاللَّ ْغ ِو ف ِْي ا َ ْي َمانِ ُك ْم‬
‫َْل يُ َؤاخِ ذُ ُك ُم ه‬
“Allah tidak akan menghukum orang yang bersumpah tanpa sengaja dan sia-
sia.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan :
َ ‫}ولَك ِْن ي َُؤاخِ ذُ ُك ْم ِب َما‬
{ َ‫عقَّدْت ُ ُم األ ْي َمان‬ َ
Tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.
(Al-Maidah: 89). Yakni sumpah yang kalian tekadkan dan sengaja kalian
lakukan.
َ‫ساكِين‬
َ ‫عش ََرةِ َم‬ ْ ‫ارتُهُ ِإ‬
َ ‫طعَا ُم‬ َ َّ‫فَ َكف‬
Maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang
miskin. (Al-Maidah: 89) Yakni orang-orang yang membutuhkan pertolongan
dari kalangan orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak dapat
menemukan apa yang mencukupi penghidupannya.
ْ ُ ‫سطِ َما ت‬
{‫ط ِع ُمونَ أ َ ْهلِي ُك ْم‬ َ ‫}مِ ْن أَ ْو‬
Yaitu dari makanan (jenis pertengahan) yang biasa kalian berikan kepada
keluarga kalian. (Al-Maidah: 89) Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah
mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dari standar jenis makanan yang
biasa kalian berikan kepada keluarga kalian. Menurut Ata Al-Khurrasani, makna
yang dimaksud ialah makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian.

{‫}أ َ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم‬


atau memberi pakaian kepada mereka. (Al-Maidah: 89) Imam Syafii
rahimahullah mengatakan, "Seandainya orang yang bersangkutan menyerahkan
kepada tiap-tiap orang dari sepuluh orang miskin itu sesuatu yang dinamakan

11
pakaian, baik berupa gamis, celana, kain sarung, kain sorban, ataupun kerudung,
maka hal itu sudah cukup baginya."
ُ ‫أ َ ْو تَ ْح ِر‬
‫ير َرقَبَ ٍة‬
atau memerdekakan seorang budak. (Al-Maidah: 89) Imam Abu Hanifah
menyimpulkan makna mutlak dari ayat ini. Untuk itu, ia mengatakan bahwa
dianggap cukup memerdekakan budak yang kafir, sebagaimana dianggap cukup
memerdekakan budak yang mukmin.
‫صيَا ُم ثََلث َ ِة أَي ٍَّام‬
ِ َ‫َم ْن لَ ْم يَ ِجدْ ف‬
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kifaratnya puasa
selama tiga hari. (Al-Maidah: 89). Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu
Jubair dan Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengatakan bahwa barang siapa yang
memiliki tiga dirham, dia harus memberi makan; dan jika ia tidak memilikinya,
maka ia harus puasa (sebagai kifarat sumpahnya).
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah apakah puasa itu wajib
dilakukan berturut-turut ataukah hanya sunat, dan dianggap cukupkah
melakukannya secara terpisah-pisah?

Ada dua pendapat mengenainya, salah satunya mengatakan tidak wajib berturut-
turut. Pendapat ini dinaskan oleh Imam Syafii dalam Kitabul Aiman dan
merupakan pendapat Imam Malik, mengingat kemutlakan makna firman-Nya:
‫صيَا ُم ثََلث َ ِة أَيَّام‬
ِ َ‫ف‬
maka kifaratnya puasa selama tiga hari. (Al-Maidah: 89) yang artinya dapat
diinterpretasikan secara berturut-turut atau secara terpisah-pisah, mengingat
tidak ada keterangan yang mengikatnya.

Perihalnya sama dengan mengqada puasa Ramadan, seperti yang disebutkan


oleh firman-Nya:‫ فَ ِعدَّة ٌ مِ ْن أَي ٍَّام أُخَر‬maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)9

9
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M. (Pustaka Imam Syafii,
2008)

12
D. Kandungan Ayat
1. Al-Baqarah 226-227
Lois al Ma’luf mengemukakan bahwa al-ila’ berasal dari bahasa Arab yaitu ala’ –
yuwali’ - ilaan’ yang berarti sumpah. Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-ila’ ialah
menolak sesuatu dengan cara bersumpah atau mengelak terhadap masalah itu.
Uwaidah dalam bukunya fiqih wanita menjelaskan bahwa ila’ adalah melarang diri
dengan menggunakan sumpah. Kamal Mukhtar juga mengatakan bahwa ila’
menurut bahasa adalah bersumpah tidak akan mengerjakan suatu pekerjaan.

Sebagimana hukum talak, maka hukum asal dari ila’ adalah makhruh. Suatu ila’
akan haram hukumnya apabila tujuannya adalah untuk menambang istrinya dan
untuk membiarkan istri hidup dalam keaadaan terkatungkatung. ila’ diperbolehkan
untuk memberi pelajaran kepada istri jika dilakukan kurang dari empat bulan,
karena keumuman ayat al-Baqarah 226 dan juga Rasulullah SAW pernah mengila’
istrinya selama sebulan penuh.

Kamal Mukhtar menyatakan dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, apabila suami berkata ‚Aku mengila’ kamu untuk selama-
lamanya‛, berarti suami haram mencampuri istrinya untuk selamalamanya.

Mengila’ istri untuk selama-lamanya itu dilarang oleh agama karena merugikan
pihak istri. Karena itu agama memberi waktu berpikir kepada suami maksimum
lamanya empat bulan. Setelah lewat waktu empat bulan itu suami harus memilih
salah satu dari tiga hal berikut :
1) Ia menggauli istrinya, dan sebelum ia menggauli istrinya ia harus membayar
kafarat sumpahnya. Suami tidak diwajibkan membayar kafarat sumpahnya
apabila ia menggauli istrinya setelah habis waktu menunggu sebagaimana
yang tersebut dalam sumpah ila’nya. Apabila suami menggauli istrinya

13
sebelum habis waktu menunggu sebagaimana yang tersebut dalam kafarat
sumpahnya, maka ia wajib membayar kafarat sumpahnya lebih dahulu
sebelum melaksanakan maksudnya itu.
2) Suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Talak yang dijatuhkan suami itu
hukumnya adalah talak ba’in kubra. Dihukum ba’in kubra adalah karena
antara bekas suami dan bekas istri itu tidak dibolehkan kawin untuk
selamalamanya, kecuali apabila suami telah membayar kafarat sumpahnya.
3) Apabia suami tidak melaksanakan dua hal yang di atas, maka pihak istri
mengajukan gugatan untuk bercerai kepada Pengadilan. Dalam hal ini hakim
harus mengabulkan tuntutan pihak istri apabila gugatannya terbukti.

Dalam hal suami mengila’ istrinya untuk selama-lamanya, setelah habis


masa menunggu selama empat bulan, ia menjatuhkan talak atas istrinya itu,
maka suami tidak boleh mengawini istrinya itu untuk selama-lamanya,
sebelum melanggar sumpah ila’nya dengan membayar kafarat. Apabila
suami telah membayar kafarat ila’nya, maka ia telah boleh kawin kembali
dengan bekas istrinya itu.

Apabila diperhatikan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits di atas, maka ila’


itu adalah semacam sumpah. Pelanggaran sumpah harus dengan membayar
kafarat sumpah. Jatuhnya talak karena ila’ tidak dapat menghapuskan
sumpah. Oleh karena itu bekas suami haram kawin dengan bekas istrinya
sebelum ia membayar kafarat sumpahnya.

2. Al-Maidah 89
Dalam Bahasa arab sumpah disebut dengan kata yamin, halaf dan qasam. Banyak
dikalangan masyarakat islam bersumpah namun mereka tidak memperdulikan efek
terhadap sumpah yang mereka ucapkan.

14
Adapun Sa’diy Abu Jayb beliau menyebutkan bahwasanya makna kafarat adalah
Sesuatu yang dapat menutupi dari perbuatan dosa seperti bersedekah, berpuasa dan
lain-lain. 10

Kafarat didalam Islam ada berbagai macam jenisnya, sperti kafarat qital, kafarat
dzihar, kafarat membunuh binatang saat ihram, kafarat jima’ disaat puasa ramadhan
dan banyak lainnya. semuanya kafarat-kafarat sesuai dengan pelanggaran
perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan. Diantara salah satu dari perbuatan-
perbuatan dosa yang dikenakan kafarat tersebut adalah perbuatan melanggar
sumpah.

Kifarat sumpah ada beberapa macam jenisnya diantaranya:


a. Sumpah yang ada kifarat,
1) Seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu, namun tidak
melakukannya,
2) Seseorang bersumpah untuk tidak melakukakan sesuatu, namun dia
melakukannya.
b. Sumpah tidak ada kifaratnya
1) Seseorang bersumpah bahwa dia tidak melakukan sesuatu padahal dia
melakukankanya,
2) Seseorang bersumpah melakukakan sesuatu padahal dia tidak
melakukakannya.

Adapun Macam-Macam Kafarat Sumpah menurut Q.S Al maidah ayat 89 diatas


antara lain adalah sebagai berikut :
1) Memberi Makanan Kepada Sepuluh Orang Miskin Imam al-Qurthubi di
dalam kitabnya Tafsir Al Jamiu Li Ahkamil Qur’an menyebutkan salah satu
kafarat sumpah yang pertama adalah memberi Makanan Kepada Sepuluh
Orang Miskin Kafarat sumpah ini diperbolehkan memberi makanan kepada

10
Sa’diy Abu Jayb, Al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahan (Suriah: Dar al-Fikr, 1998), 321

15
setiap orang miskin, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak
sebanyak 1 mud. Dan bisa juga memberikan kepada mereka makanan siap
saji. Tetapi jika diberikan makan siang maka harus diberikan makan
malamnya Pemberian makanan sebagai kafarat sumpah itu, makanannya
harus menjadi milik si penerimanya dan diperbolehkan memberikannya
kepada setiap orang miskin, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-
anak.
2) Memberi Pakaian Kepada Sepuluh Orang Miskin Imam al-Qurthubi di
dalam kitabnya Tafsir Al Jamiu Li Ahkamil Qur’an menyebutkan kafarat
sumpah yang kedua adalah memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin
Beliau juga menyebutkan syarat pakaian yang harus diberikan kepada orang
miskin adalah pakaian yang bisa menutupi aurat seseorang baik itu laki-laki
menutup seluruh badan atau aurat perempuan ketika shalat Pemberian
pakaian sebagai kafarat sumpah itu, pakaiannya harus menjadi milik si
penerimanya dan diperbolehkan memberikannya kepada setiap orang
miskin, laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak. Apabila diberikan
kepada anak-anak maka diberikan sama seperti dewasa,kalau anak
perempuan miskin maka seperti menutup aurat perempuan dewasa
sempurna, begitupun anak laki-laki miskin maka menutup aurat seluruh
badan sama seperti dewasa laki laki.
3) Memerdekakan Satu Orang Imam al-Qurthubi di dalam kitabnya Tafsir Al
Jamiu Li Ahkamil Qur’an menyebutkan bahwa kafarat ketiga adalah
memerdekakan satu orang budak. Adapun syarat bagi budak yang harus
dimerdekakan sebagai kafarat sumpah menurut imam alQurthubi adalah
mewajibkan memerdekakan raqabah mu’minah yaitu perempuan yang
beriman, tidak memiliki cacat, tidak berusia tua, dan belum memiliki anak.
Dari penjelasan tersebut di atas terlihat bahwa Imam al-Qurthubi tidak
membolehkan memerdekakan budak yang tidak memiliki iman sebagai
kafarat sumpah. Perspektif Imam al-Qurthubi raqabah mu’minah dalam teks
ayat tersebut adalah kewajiban memerdekakan budak beriman, karena kata

16
raqabah dikaitkan dengan sebutan mu’minah Juga dianjurkan budak yang
kamilah, sempurna, tidak boleh terikat masa. Seperti sekarang merdeka,
kemudian jadi budak lagi, tidak diperbolehkan. bukan ibu dari seorang anak,
bukan sudah berusia tua, dan ia harus salimah tidak memilki aib. Juga
dianjurkan dimerdekakan budak yang tidak syirik.

Berpuasa Selama Tiga Hari Imam al-Qurthubi di dalam kitabnya Tafsir Al


Jamiu Li Ahkamil Qur’an menyebutkan berpuasa sebagai kafarat sumpah
dilakukan boleh berturut turut atau tidak berturut turut.

E. Hikmah Tasyri’
1. Al-Baqarah 226-227
Syariat yg terang memerintahkan agar istri diperlakukan dengan baik dan digauli
secara patut, dan melarang Tindakan yang menyakiti dan merugikannya dengan
berbagai macam cara dan bentuk tindakan. “Dan bergaullah dengan mereka
menurut yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang
banyak padanya (QS. An-Nisa’:19)”.

Lantaran ila’ ditunjukan kepada istri dan menjauhinya tanpa mempergaulinya


selama kurun waktu yang lama tidak dimaksudkan kecuali untuk tujuan yang buruk
bagi istri dan merugikannya, di mana statusnya istri menjadi tergantung, tidak
bersuami tidak pula diceraikan, sementara ini termasuk Tindakan yang bertolak
belakang dengan kewajiban menggauli istri secara patut dan tidak selaras dengan
ajaran-ajaran Islam yang lurus, maka dari itu Allah Swt. Memerintahkan agar suami
ini menunggu dalam kurun waktu yang maksimalnya empat bulan. Jika ia kembali
melanjutkan hubungan lantas menunaikan kafarat sumpahnya dan berinteraksi
dengan istrinya dengan baik lantas menggauli dengan patut, serta mencegah
tindakan buruk dan sewenang-wenang, maka hukumnya tetap sebagai istrinya. Jika

17
tidak, maka istrinya dikenai talak darinya lantaran ia tetap pada pendiriannya. Ini
merupakan bentuk keindahan syariat yang terang di mana syariat menghindarkan
beban tindak kesewenang-wenangan dari tanggungan istri dan menyeru kepada
kebajikan dan kebaikan dalam memperlakukan istri, serta menetapkan istri sebagai
mitra suami dalam kehidupan yang bahagia dan mulia.

2. Al-Maidah 89
Salah satu keistimewan Islam ketika menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang
melanggar ajaran agama dengan memberi makan atau sedekah kepada orang
miskin. Hal itu harus dilakukan bila ia sendiri tidak mampu melakukan puasa. Di
sini, bila seseorang tidak bisa melaksanakan sumpahnya, maka ia diwajibkan
memberi makan dan pakaian kepada orang-orang yang tidak mampu, atau
membebaskan budak.

Dari Surat Al-Maidah ayat 89 tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus memaafkan kesalahan orang lain dengan mengikuti sikap Allah ketika
mengampuni kesalahan manusia saat bersumpah.
2. Dalam menjatuhkan hukumanpun, Islam masih memikirkan upaya pengentasan
kemiskinan.
3. Hukuman yang bersifat uang harus disesuaikan dengan kondisi keuangannya,
sedang seseorang bebas memilih jenis hukuman yang ada.
4. Untuk mensucikan nama Allah Swt hendaknya menjaga sumpah kita, atau tidak
melakukan sumpah apapun. Atau melaksanakan apa yang menjadi sumpah kita, jika
tidak maka kita diwajibkan membayar kaffarah.

18
19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsekuensi Ila’adalah ketika suami sudah melakukan sumpah ila’ maka dia dan
istrinya tidak boleh ada hubungan badan (persetubuhan). Hingga masa empat bulan
itu berlalu sejak suami melakukan sumpah, maka sang isteri mendapat hak fa’iah.
Hak ini merupakan hak seorang istri untuk menuntut pada hakim agar suaminya
mau berhubungan badan (persetubuhan) kembali atau tuntutan istri pada hakim agar
suaminya mau mentalaknya. Apabila si suami tetap bersikukuh tidak mau mentalak,
atau setelah diminta mentalak oleh hakim, si suami diam saja, maka hakim
(menggantikan kedudukan suami) lalu mentalak istri suami tersebut dengan talak
satu.

Tata cara dalam dalam melaksanakan kifarat sumpah adalah sebagai berikut:

a. Memberi makan kepada 10 fakir miskin Kafarat pertama adalah


memberikan makanan kepada 10 fakir miskin diperbolehkan
mentahanya dan juga diperbolehkan siap saji dengan dua kali siang
dan malam.

b. Memberi Pakaian kepada 10 Fakir Miskin Kafarat kedua memberi


pakaian kepada 10 fakir miskin. Adapun batasan pakaian yang
dimaksudkan adalah yang bisa digunakan untuk shalat.

c. Memerdekakan Budak Kafarat ketiga adalah memerdekakan budak


perempuan beriman, tidak cacat atau sempurna, tidak tua, belum
memiliki anak.

d. Berpuasa selama 3 hari Kafarat keempat adalah Berpuasa selama 3


hari bisa dilakukan berturut-turut atau berselangselang

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qurtubi. 2008. Al Jami’ Lil Ahkaam Al Quran-Penerjemah Ahmad Khotib.


Jakarta; Pustaka Azzam.

Al-Zuhaili. Wahbah, 1989. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-


Fiqr al-Mu’asir.

Dahlan. Abdul Aziz, 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.

Jayb. Sa’diy Abu. 1998. Al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahan. Suriah:


Dar al-Fikr.

Katsir. Ibnu, 2008. Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir penerjemah M. Abdul
Ghoffar E.M. Pustaka Imam Syafii.

Jayb. Sa’diy Abu. 1998. Al-Qamus al-Fiqhiy Lughatan wa Isthilahan. Suriah:


Dar al-Fikr.

Sabiq. Sayyid, 2008. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.

21

Anda mungkin juga menyukai