Anda di halaman 1dari 6

HIKMAH PENOLAKAN

Ada dua macam manusia yang mendapatkan anugerah dari Allah. Pertama, orang-
orang yang dalam kehidupan ini diberi kesenangan dan kemewahan dunia oleh Allah.
Kedua, orang-orang yang tidak mendapatkan kesenangan dan kemewahan duniawi, tapi
Allah memberikan taufik hidayah-Nya kepada mereka.
Tidak semua tipe manusia yang kaya dan miskin seperti itu. Makanya kalam hikmah
ini menggunakan kata-kata “rubbamaa”, yang berarti terkadang atau adakalanya. Jadi ada
orang-orang sudah memperoleh kemewahan dunia, mereka juga mendapatkan taufik
hidayah Allah.
Kebanyakan orang-orang yang mendapatkan kemewahan dunia namun jauh dari
taufik hidayah Allah (manusia tipe pertama), tidak pernah menginginkan kehidupan orang-
orang yang hidupnya serba kekurangan tapi mendapatkan taufik hidayah Allah.
Sebaliknya, kebanyakan kita yang selalu hidup dalam kekurangan padahal memperoleh
taufik hidayah Allah (manusia tipe kedua), justru mendambakan kehidupan mereka yang
jauh dari Tuhannya tapi menikmati kemewahan dunia. Sebuah paradoks hasrat kehidupan
manusia.
Dan anugerah berupa kedudukan yang tinggi, kita pergunakan jabatan itu untuk
memudahkan urusan orang-orang bawah. Kita tolong orang-orang lemah yang sangat
membutuhkan pertolongan kita. Jangan sekali-kali kita persulit urusan mereka.
Permudahlah urusan mereka, niscaya Allah akan menurunkan keberkahan hidup kepada
kita. Demikianlah seterusnya dengan nikmat-nikmat yang lainnya. Jika kita tidak pandai
mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan kepada kita, maka nikmat itu akan berubah
menjadi laknat.
Meskipun kita hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, misalnya, namun jika
semakin rajin beribadah kepada Allah, maka semua itu hakikatnya nikmat.
Seandainya nestapa dan prahara dihapuskan dari lembaran wajah kehidupan umat
manusia, niscaya jiwa manusia akan menjelma batu tulis kosong yang hanya
memperlihatkan keangkuhan dan kerakusan semata. Oleh sebab itu, bila kita sudah
bergembira dalam kenestapaan hidup, karena semakin dekat dengan Tuhan kita; kalau kita
telah mampu bersyukur dan rela bersama ujian dan penderitaan karena semakin mengenal
kebijaksanaan Ilahi, maka kata Syaikh Abdul Qodir Jailani pada saat itulah semuanya
berubah.
Allah mendidik hamba-hamba-Nya bukan hanya dengan kemewahan dunia, tapi
juga melalui kesulitan dan kemiskinan hidup. Kita menyadari bahwa Allah mendidik kita
tidak hanya melalui kenikmatan hidup tapi juga melalui penderitaan hidup. Tuhan
mendewasakan kita semua bukan cuma dengan kegembiraan tapi juga melalui kesedihan.
Dia menggembleng kita bukan sekedar lewat senyuman tapi juga lewat tangisan.
Oleh karena itu, ibadah puasa yang kita jalani ini kita belajar untuk menerima apa
saja yang Allah berikan kepada kita dengan penuh kedewasaan. Segala hal yang telah Dia
berikan kepada kita saat ini kita hadapi dengan lapang dada tanpa berhenti untuk selalu
berusaha memperbaiki kondisi kita.
MAKNA SEBUAH DO’A

Bulan Ramadhan dinamakan juga sebagai “Syahrud Du’a”, bulan untuk


menyandungkan semesta kidung do’a-do’a kita kepada Allah.
Penggalan ayat: “addaa’i idza da’aari”, seorang yang berdo’a apabila ia berdo’a
kepada-Ku, ini mengindikasikan bahwa ada orang-orang yang memohon tapi dinilai belum
berdo’a oleh Allah.
Mengapa demikian ? Karena mereka baru berdo’a sebatas lisan, sementara hatinya
lalai dari apa yang mereka ucapkan. Mereka hanya menghadapkan wajah lahiriahnya tapi
tidak menghadapkan wajah batiniahnya kepada Allah. Padahal Allah lebih memperhatikan
bisikan-bisikan jiwa seseorang daripada ucapan lisannya. Orang berdo’a seperti ini
bagaikan seorang yang sedang meminta sesuatu kepada seorang raja dengan
menghadapkan seluruh tubuhnya tapi dia memalingkan wajahnya dari sang raja.
Syarat kedua, yaitu dapat kita lihat potongan ayat: “falyastajiibuuliii”, hendaklah
mereka memenuhi segala perintah-Ku, ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang
berdo’a hendaklah terlebih dulu menunaikan segala perintah Allah. Sebelumnya kita harus
melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang hamba. Melalui perspektif etika berdo’a,
kita bukan saja dituntut untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, kita pun mesti
menjauhi larangan-larangan-Nya.
Syarat yang terakhir, bisa kita lihat pada ayat selanjutnya: “walyukminuubii”, yakni
“hendaklah mereka percaya kepada-Ku”. Ini berarti kita dituntut bukan saja percaya akan
keesaan Allah, tapi juga percaya bahwa do’a kita akan dikabulkan-Nya. Kita diminta
bukan saja mengakui kekuasaan Allah, tapi juga harus meyakini bahwa hanya Dialah yang
mengijabahi do’a kita. Itulah syarat-syarat yang menyebabkan do’a-do’a kita menjadi
mustajab.
Ada beberapa alasan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, do’a-do’a kita bukan tidak
dikabulkan, tapi belum diperkenankan-Nya. Persoalannya hanya ditunda waktunya.
Karena seluruh perjalanan waktu berada dalam genggaman kekuasaan Allah, maka Dia
juga yang lebih berhak untuk menentukan waktunya yang tepat bagi kita, bukan kita.
Alasan Kedua, permohonan kita diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik dari
hal-hal yang kita minta. Dengan alasan yang sama, karena semuanya tunduk dalam lipatan
kekuasaan-Nya, maka Dia juga yang paling berhak untuk memilihkan apa yang terbaik
untuk kita. Alasan yang ketiga, karena dosa-dosa yang kita lakukan. Sebenarnya ini
perluasan dari syarat-syarat do’a yang kedua. Karena kita selalu menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, terkadang kita merasa tidak berdosa. Saat itu kita
merasa telah menjadi manusia suci, walupun tidak kita sadari.
Dalam kondisi demikian, kita sudah terjebak dalam penyakit hati ‘ujub, kita merasa
bangga dengan amal sendiri. Padahal boleh jadi malah dosa-dosa kitalah yang membuat
terhijabnya permohonan kita.
Alasan terakhir yang menyebabkan terhalangnya do’a-do’a kita adalah karena
kecintaan Allah kepada kita. Alasan yang terakhir ini merupakan alasan yang teristimewa
di antara semua alasan lainnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadis yang agak panjang
bahwa ada seorang hamba yang berdo’a kepada Allah. Karena Allah mencintainya, maka
Dia memerintahkan malaikat Jibril untuk menunda permintaannya.
ANTARA TAKUT DAN HARAP

Biasanya kita mengartikan takwa sebagai “takut”. Sedangkan takwa maknanya lebih
luas dari pada sekadar “takut”. Takut, hanya merupakan satu aspek dari sekian banyak
makna takwa.
Dalam takwa ada sabar dan syukur; Dalam takwa ada ikhlas dan tawadhu’; Dalam
takwa juga ada wara’, qana’ah dan zuhud terhadap dunia; Ada kedermawanan dan kasih
sayang; Ada takut dan harapan, serta segala macam kebijakan lainnya.
Perasaan takut dan harapan kepada Allah merupakan bagian dari makna takwa.
Sedangkan takwa adalah tujuan ideal dari ibadah puasa yang sedang kita jalani saat ini.
Pertama, untuk menghadirkan perasaan harapan dalam diri kita, maka kita dituntut
untuk memperhatikan kelemahlembutan Allah. Kedua, untuk menghadirkan perasaan takut
dalam diri kita, maka kita harus memperhatikan segala amal perbuatan kita kepada Allah.
Dan syarat diterimanya ibadah adalah mengikuti syariat dan ikhlas.
Menumbuhkan perasaan takut dan harapan dalam jiwa kita kepada Allah terlebih di
bulan Ramadhan. Seyogyanya kita senantiasa memperhatikan kasih sayang Allah yang tak
bertepi dan juga merenungi kekurangan atau bahkan kesalahan-kesalahan kita dalam
mengabdi kepada-Nya. Bersama ibadah puasa juga mari kita lihat keseimbangan dalam
memandang sifat-sifat jamaliyah dan jalaliyah Allah.
SURGA DI TENGAH KEGELISAHAN

Surga merupakan puncak kebahagiaan yang teramat sulit untuk dilukiskan. Di mana
di dalamnya tersedia segala bentuk kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh kedua mata,
tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbesit oleh hati manusia. Sehingga
kalau kita ingin mencoba menggambarkannya, maka kita hanya dapat mengatakan bahwa
surga adalah negeri keabadaian yang tidak ada kehancuran padanya, singgasana kemuliaan
yang tidak ada kehinaan di dalamnya, mahligai kedamaian yang tak tersentuh kegelisahan,
khazanah kekayaan di mana kemiskinan tak mampu menjamahnya, dan istana
kesempurnaan di mana kekurangan tak dapat mendekatinya.
Kita tidak akan menikmati kebahagiaan surga sebelum terbukti menyatunya jihad
dengan kesabaran kita dalam menghadapi berbagai malapetaka kehidupan.
Zaman kita sekarang ini bentuk kemaksiatan lebih merajalela dari pada ketaatan.
Pintu-pintu kemaksiatan begitu terbuka lebar dan sangat menggoda setiap kita. Karenanya,
orang-orang yang berbuat maksiat lebih banyak dari pada yang taat. Orang-orang yang
sakit jiwanya lebih banyak ketimbang orang yang sehat hatinya.
Dengan alasan inilah, tentu lebih layak menyuguhkan perasaan takut dalam hati kita
dari pada menghadirkan perasaan senang. Lebih pantas memberikan ancaman ketimbang
menawarkan harapan demi harapan.
Surga kita jadikan sebagai muara dambaan yang meresahkan, sehingga kita rela
berpacu dan bersusah payah demi meraih kebahagiaanya. Sebaliknya, janganlah surga kita
jadikan sebagai tempat kepastian, sehingga melalaikan kita dalam beribadah. Kita menjadi
tertipu, hanya mau mengharap tanpa mau berjuang dan berkorban untuk mendapatkan
puncak kebahagiaannya.

Anda mungkin juga menyukai