Folder 3 (Achmad Syahputra.2720190006)
Folder 3 (Achmad Syahputra.2720190006)
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Stunting
1. Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) (Kemenkes RI, 2018).
Stunting yaitu apabila panjang atau tinggi badan (TB) umur (U) kurang dari minus
dua standar deviasi ( < -2 SD) standar baku (WHO, 2019). Menurut Atmarita
(2018) menjelaskan bahwa stunting atau tubuh pendek adalah kondisi yang
menunjukan balita dengan panjang atau tinggi badan yang kurang jika
dibandingkan dengan umur. Stunting merupakan suatu kondisi gagal tumbuh yang
terjadi pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlihat pendek di usianya (Hasan & Kadarusman, 2019).
Hasil dari definisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa stunting merupakan
suatu kondisi gagal tumbuh, dengan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek dari
tinggi badan (TB) atau umur (U) kurang dari minus dua standar deviasi ( < -2 SD)
yang tidak normal dengan kurangnya pemenuhan gizi yang tidak efektif pada
kondisi tersebut.
2. Penyebab Stunting
Menurut WHO (2013), penyebab terjadinya kondisi stunting disebabkan pada
empat kategori besar yaitu; faktor rumah tangga dan keluarga, menyusui dan
komplementer yang tidak adekuat atau makanan tambahan. Pada faktor rumah
tangga dan keluarga terdapat pembagian lagi yaitu faktor maternal atau faktor ibu
dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal termasuk di dalamnya pada saat
prakonsepsi adanya asupan nutrisi yang kurang, ibu dengan tinggi badan yang
rendah, kelahiran preterm, kehamilan pada usia remaja, jarak kehamilan yang
pendek, terjadinya intrauterine growth restriction (IUGR) kesehatan mental,
hipertensi dan infeksi. Faktor lingkungan rumah berupa sanitasi yang buruk, air
yang tidak bersih, perawatan kesehatan yang kurang, aktivitas dan stimulus anak
yang tidak adekuat, kurangnya edukasi pengasuh, gizi makanan yang tidak sesuai
dalam rumah tangga dan kurangnya akses pada ketersediaan pangan.
3. Ciri – ciri Stunting
Kemenkes RI, (2018) menjelaskan bahwa manifestasi klinis balita pendek
atau stunting dapat diketahui jika seorang balita telah diukur panjang atau tinggi
badannya, maka akan dibandingkan dengan standar dan hasil pengukuran
tersebut akan mendapatkan kisaran di bawah normal. Balita yang termasuk dalam
stunting atau tidaknya itu tergantung pada hasil pengukuran yang didapatkan
seperti uraian yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi tidak hanya dengan
diperkirakan atau hanya ditebak tanpa melakukan pengukuran. Selain tubuh
pendek yang menjadi salah satu ciri stunting, adapun ciri-ciri lainnya yaitu
Pertumbuhan melambat :
a. Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya.
b. Pertumbuhan gigi terhambat.
c. Menurunnya kemampuan memori dan konsentrasi dalam belajarnya.
d. Pubertas terlambat.
e. Saat memasuki usia 8-10 tahun kontak matanya kurang dengan orang yang
berada di sekitarnya dan anak lebih pendiam.
f. Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.
g. Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi
pertama pada anak perempuan).
h. Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.
4. Dampak Stunting
Menurut WHO (2014), dampak dari stunting terdiri dari dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang:
a. Concurrent problems & short-term consequences atau dampak jangka pendek
1) Sisi kesehatan: angka kesakitan dan angka kematian meningkat.
2) Sisi perkembangan: penurunan fungsi kognitif, motorik, dan
perkembangan bahasa.
3) Sisi ekonomi: peningkatan health expenditure, peningkatan pembiayaan
perawatan anak sakit.
b. Long-term consequences atau dampak jangka panjang
1) Sisi kesehatan: perawakan dewasa yang pendek, peningkatan obesitas dan
komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan reproduksi.
6) Tidak memberi sanksi atau hukuman serta menakut- nakuti balita yang
tidak mau makan karena hanya akan membuat balita trauma dan
menjadikan waktu makan adalah hal yang menakutkan.
b. Pola asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang
kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan balita. Dimulai
dari edukasi tentang kesehatan reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal
bakal keluarga, hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi
kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksa
kandungan empat kali selama masa kehamilan. Bersalin di fasilitas
kesehatan, lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan berperilakulah agar bayi
mendapat kolostrum air susu ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi
berusia 6 bulan. Selain itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun
berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh
kembangnya dengan membawa bayi ke posyandu setiap bulan. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah berikanlah hak anak mendapatkan kekebalan
dari penyakit berbahaya melalui imunisasi di posyandu atau puskesmas.
Pola asuh yang baik ketika anak tidak mengalami masalah gizi yang dapat
mengganggu tumbuh-kembang anak, pengasuhan baik dalam berpakaian,
mengajarkan anak makan merupakan tugas dari seorang ibu sampai anak bisa
mandiri, perlu adanya perhatian terhadap anak balita sampai anak dapat
melakukan semua itu sendiri (Rapar, Rompas and Ismanto, 2014). Salah satu
zat gizi yang dibutuhkan anak yaitu zat gizi yang bersumber dari sayuran dan
buah-buahan, karena kandungan vitamin yang ada pada sayur dan buah dapat
membuat tubuh anak menjadi sehat itu semua tidak terlepas dari zat gizi
lainnya yang harus dikonsumsi . Sarapan pagi pada anak merupakan
kebiasaan yang harus diterapkan oleh seorang ibu karena makan dipagi hari
dapat meningkatkan konsentrasi pada anak tersebut dan memperbaiki status
gizi pada anak (Sophia and Madanijah, 2014).
Selain pola asuh terhadap makanan anak juga perlu adanya pengasuhan
kesehatan yang harus sering dilakukan sehingga dapat membentuk sebuah
kebiasaan untuk membentuk pola terkait dalam pengasuhan yang membuat
dilakukan pada saat, Setiap kali tangan kita kotor (setelah; memegang uang,
memegang binatang, berkebun, dll). Setelah buang air besar. Setelah
mencebok bayi atau anak. Setelah makan dan menyuapi anak. Sebelum
memegang makanan.
B. Konsep Balita
1. Definisi Balita
Anak dibawah lima tahun atau sering disingkat balita adalah anak yang
berusia diatas satu tahunan atau dibawah lima tahun atau dengan perhitungan
bulan 12-59 bulan (Kemenkes, 2010). Balita merupakan usia dimana anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat (Kemenkes,
2013). Balita adalah anak yang berusia di bawah 5 tahun, Pertumbuhan dan
perkembangan meningkat pesat pada usia dini, antara 0 sampai 5 tahun., periode
ini sering juga disebut sebagai fase “Golden Age” (Suryani et al., 2017). Dari
definisi diatas Peneliti menyimpulkan bahwa Balita meruapakan periode
pertumbuhan yang sangat pesat yang mempengahuri perkembangan balita
dengan perhitungan bulan 12-59 bulan sebagai fase “Golden Age”.
dalam sekali makan lebih kecil bila dibandingkan dengan anak yang usianya
lebih besar oleh sebab itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering.
b. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)
Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah mulai memilih
makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan anak cenderung
mengalami penurunan, disebabkan karena anak beraktivitas lebih banyak dan
mulai memilih maupun menolak makanan yang disediakan orang tuanya.
apabila gigi tidak terawat dengan baik maka gigi akan tumbuh
tidak baik, ini sangat mempengaruhi penampilan dan menurunkan
kepercayaan diri anak, akan tetapi jika anak selalu merawat
giginya dengan baik maka gigi akan tumbuh dengan baik pula,
penampilan anak pun juga akan baik dan meningkatkan
kepercayaan diri anak (Soetjiningsih, 2012).
2) Perkembangan kongnitif
a) Teori piget
Perkembangan kongnitif anak pada periode ini disebut praoperation di
karenakan anak hanya memanipulasi mental dengan mengisyaratkan
pemikiran logis. Tahap ini anak juga memiliki pemikiran yang luas
serta dapat menggunakan pemikiran simbolis, dimana anak akan
membayangkan sesuatu obyek yang tidak ada, usia 2 - 4 tahun balita
mengembangkan pemikiran simbolis berupa bahasa dan gambar,
sedangkan anak usia 4 tahun sampai 7 tahun lebih ke pemikiran
intuitif. Pemikiran anak yang lain adalah pemikiran egosentris, dimana
anak belum bisa membedakan pemikiran dirinya dengan temannya ,
anak jika dinta akan menjawab dengan pandangan mereka sendiri.
b) Teori pemrosesan informasi
(1) Perhatian : perhatian pada anak akan terfokus pada kegiatan yang
menurut anak menarik perhatianya dengan durasi yang lama,
seperti bermain puzzle.
(2) Memori : memori pada anak didapat saat usia bayi usia 6 bulan
bulan dimana bayi mendapat pengalaman hingga 2 tahun,
pengalaman itu diulang teurs menerus dan anak akan dapat
mengingatnya sampai usia yang belum 3 tahun, di usia ini anak
kan berdampak buruk pada perilaku anak yang negatif seperti, putus
sekolah.
c) Bermain
Bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat membahagiakan yang
dilakukan untuk kepentingan kegiatan sendiri, itu juga merupakan suatu
kesibukan anak untuk menyenangkan perasanya, tapi juga dibatasi
waktunya dan tempanya. Fase bermain pada anak juga memiliki fungsi
dan karakteristik tersendiri, diantaranya:
(1) Fungsi bermain pada anak: bermain pada anak akan meningkatkan
perkembangan motorik halus dan motorik kasar, bermain juga
dapat meningkatkan perkembangan emosi anak, anak juga akan
belatih kerjasama dengan teman, serta dapat meningkatkan
perkembangan kongnitif anak.
(2) Karakteristik bermain pada anak: bermain pada anak dilakukan
tanpa paksaan, permainan menimbulkan perasan senang serta
merangsang munculnyaprilaku baik, bermain dilakukan secara
bebas, arti dari permainan ditentukan oleh anak (Soetjiningsih,
2012).
C. Konsep Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah berbagai macam hal yang diperoleh oleh seseorang
melalui panca indera (Natoatmodjo, 2012). Pengetahuan adalah hasil tahu dan
ini terjadi setelah seorang mengadakan penginderaan terhadap sesuatu objek
tertentu (A.Wawan et al, 2019). Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Pengetahuan
diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri, maupun
sikap dan prilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan
merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang. (Yohanna Theresia
Hasibuan, 2018). Dari
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehetion)
3. Faktor Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang yaitu:
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
b. Media masa / sumber informasi
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.
c. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasan dan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.
d. Lingkungan
D. Konsep Sikap
1. Definisi Sikap
Sikap merupakan reaksi tertutup yang berupa kesiapan dan kesediaan
seseorang untuk bertindak, jika reaksi terbuka maka disebut sebuah perilaku
(Notoadmojo, 2012). Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap
dirinya sendiri, orang lain, objek dan isu. (A.Wawan, 2019). Dari beberapa
definisi diatas Peneliti mendifinisikan bahwa sikap adalah kesiapan dan
2. Komponen Sikap
Secara umum sikap memiliki tiga komponen (Arson, Wilson, Akert, 2012).
a. Komponen Kognitif
Proses kognitif diperankan oleh otak manusia yang mana informasi yang
diperoleh seseorang akan masuk ke dalam otak lalu diproses dengan
menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi yang akan menghasilkan
penilaian yang baru terhadap suatu objek maupun subjek.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif ialah sebuah perasaan (emosi) seseorang terhadap suatu
objek maupun subjek. Dari proses kognitif yang menghasilkan penilaian baru
lalu seseorang akan meyakini dengan benar, baik dan indah yang melibatkan
3. Tahapan Sikap
Dalam taksonomi Bloom tahapan domain sikap adalah (Budiman & Riyanto,
2013).
a. Menerima
Tahapan menerima adalah kepekaan, kesadaran dam keinginan seseorang
untuk menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada diri
seseorang dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Tahapan
4. Sifat Sikap
Sifat sikap terbagi dua, yaitu sifat positif dan sifat negatif (Azwar, 2013), sebagai
berikut:
a. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah: mendekati, menyayangi,
mengharapkan obyek tertentu.
b. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci, tidak menyukai obyek tertentu.
5. Pengukuran Sikap
c. Pengaruh budaya.
d. Media massa.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
f. Pengaruh faktor emosional
E. Konsep Perilaku
1. Definisi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau mahluk hidup yang. Perilaku adalah respon individu terhadap
suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi
spesifik, durasi dan tujuan baik disadari atau tidak. Perilaku merupakan
kumpulan berbagai factor yang saling berinteraksi (A.Wawan,Dewi.M.2019).
2. Golongan Perilaku
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan
menjadi dua (Notoatmodjo, 2012) yaitu :
a. Perilaku tertutup (Convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap
yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (Overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh
orang lain.
4. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respons
ini terbentuk 2 macam, yakni:
a. Bentuk pasif adalah respons internal yaitu yang terjadi didalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir,
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
b. Bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara
langsung.
Bentuk perilaku dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap adalah
respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat
terselubung dan disebut cover behavior. Sedangkan tindakan nyata seseorang
sebagai respons seseorang terhadap stimulus (practice) adalah merupakan overt
behavior (A. Wawan dan Dewi.M, 2019).
6. Pengukuran Perilaku
a. Pengukuran Perilaku model Likert
Pengukuran Perilaku model Likert juga dikenal dengan pengukuran sikap
skala Likert, karena likert dalam melakukan pengukuran perilaku juga
menggunakan skala. Dalam menciptakan alat ukur, Likert juga menggunakan
pernyataan-pernyataan dengan menggunakan Empat jawaban alternative atau
tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Subyek yang diteliti disuruh
memilih salah satu dari lima alternative jawaban yang disediakan. Empat
alternatif jawaban yang dikemukakan oleh Likert, yaitu: a. Selalu b. Sering c.
Jarang d. Tidak Sama Sekali. Alternatif jawaban tersebut memiliki nilai 1-4,
mana yang mendapatkan nilai 1 sampai 4 tergantung pernyataannya. Bila
pernyataan sifatnya positif dan orang tersebut sangat setuju maka pernyataan
tersebut memiliki nilai 4 dan sebaliknya. (Notoatmodjo, 2014).
b. Perilaku dibagi dalam 2 Kriteria :
1) Perilaku Negatif = Jika Skor < Mean/Median
2) Perilaku Positif = Jika Skor ≥ Mean/Median
Bagan 2.3
1. Definisi Stunting
2. Penyebab Stunting
3. Ciri – Ciri Stunting
4. Dampak Stunting
5. Perilaku Pencegahan Stunting
Makan 1. Kognitif
2. Pola Asuh 2. Afektif
3. Psikomotor
3. Perbaikan Sanitasi
dan Air Bersih
Keterangan :
Gambar 2.5 Kerangka Teori
: Diteliti
Sumber : (Kemenkes RI, 2017), (Kemenkes RI, 2018),
: Tidak Diteliti (WHO, 2013), (WHO, 2014), (Arson, Wilson, Akert 2012),
(Notoatmodjo 2015).
: Berpengaruh
Bagan 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independent Variabel Dependent
Pengetahuan Ibu
Perilaku Pencegahan
Stunting
Sikap Ibu
B. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan, duga atau dalil
sementara yang kebenarannya akan diteliti dan kebenarannya akan terbukti dalam
penelitian tersebut (Nursalam, 2017). Berdasarkan landasan teori dan kerangka
konsep dapat dirumuskan :
H¹o : Tidak terdapat hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan perilaku pencegahan
stunting pada balita usia 24-59 bulan di RW 04 Kelurahan Harapan Jaya.
H¹a : Terdapat hubungan antara Pengetahuan ibu dengan perilaku pencegahan
stunting pada balita usia 24-59 bulan di RW 04 Kelurahan Harapan Jaya.
H²o : Tidak terdapat hubungan antara sikap ibu dengan perilaku pencegahan stunting
pada balita usia 24-59 bulan di RW 04 Kelurahan Harapan Jaya.
FIKes UIA 2023
H²a : Terdapat hubungan antara sikap ibu dengan perilaku pencegahan stunting pada
balita usia 24-59 bulan di RW 04 Kelurahan Harapan Jaya.
C. Definisi Operasional
Tabel 3.2
Definisi Operasional
No Variable Definisi oprasional Alat ukur Hasil ukur Skala
ukur
Variable
Independen
1 Pengetahuan Pola pikir atau Lembar Test Baik jika nilainya 76 Ordinal
Ibu segala sesuatu yang dengan – 100 %
diketahui ibu yang menggunakan Cukup jika nilai 56 –
merawat balita skala Guttman 75 %
dirumah mengenai dengan 17 butir Kurang jika niali ≤ 56
stunting (Definisi, pernyataan. %
penyebab, ciri-ciri, (Arikunto, 2013)
dampak, perilaku
pencegahan).
2 Sikap ibu Tanggapan atau Lembar 1. Negatif jika skor Ordinal
respon ibu yang Kuesioner yang didapat ˂
merawat balita dengan 46.00 (Median)
dirumah mengenai menggunakan 2. Positif jika skor
perilaku pencegahan skala likert yang didapat ≥
stunting (Komponen sebanyak 12 46.00 (Median)
kognitif, komponen butir pernyataan.
afektif, komponen
psikomotor).
Variable
Dependen
3 Perilaku Suatu tindakan untuk Lembar 1. Negatif jika skor Ordinal
Pencegahan menghindarkan Kuesioner yang didapat ˂
Stunting balita mengalami dengan 54.00 (Median)
tinggi badan lebih menggunakan 2. Positif jika skor
pendek dari anak skala likert yang didapat ≥
seusianya (Perbaikan sebanyak 14 54.00 (Median)
pola makan, pola pernyataan
asuh, perbaikan
sanitasi dan air
bersih).