Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

BUDAYA NASIONAL

DOSEN PENGAMPUH : SOPIA BETAUBUN, SE.,M.M

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Novalina Mikaelda Bapaimu

Tiara Eni Adillah (202061201051)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUSAMUS MERAUKE

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
karunianya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk memberikan wawasan mengenai mata kuliah “BUDAYA ORGANISASI”, dengan
judul “BUDAYA NASIONAL”

Tidak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad
SAW. Adapun tujuan penyusunan makalah manajemen resiko ini adalah sebagai pemenuhan
tugas yang diberikan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Tidak lupa
ucapan terima kasih kami tujukan kepada pihak-pihak yang turut mendukung terselesaikannya
makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
terciptanya makalah yang baik selanjutnya. Semoga dengan hadirnya makalah ini dapat memberi
manfaat bagi pembaca sekalian.

Merauke, 2 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................................4
C. TUJUAN P EMBAHASAN......................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
A. APA ITU BUDAYA NASIONAL?..............................................................................................................6
B. DIMENSI-DIMENSI BUDAYA NASIONAL...............................................................................................8
C. KRITIK TERHADAP HOFSTEDE.............................................................................................................10
D. MANAJEMEN / ORGANISASI LINTAS BUDAYA....................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................................15
PENUTUP...................................................................................................................................................15
KESIMPULAN.............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki
berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan.
Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia
merupakan negara yang kaya akan budaya.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ternyata tidak semata-mata
tidak mengakibatkan permusuhan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, melainkan
dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk membentuk kesatuan dalam
mengembangkan kebudayaan nasional.
Budaya dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bak dua sisi
dari satu mata uang. Selama di situ ada masyarakat pasti di situ ada budaya, demikian sebaliknya
selama di situ ada budaya di situ pula ada masyarakat. F.Landa Jocano, seorang antorpolog dari
Filipina, mengunggkapkannya dengan bahasa sedikit berbeda,”sekumpulan orang yang tiak bisa
disebut sebagai masyarakat jika tidak memiliki budaya. Sebaliknya, budaya tidak akan pernah ada
jika tidak ada masyarakat”.
Karena budaya dan masyarakat merupakan dua buah sisi yang tidak akan terpisahkan
maka pemahaman yang benar terhadap salah satu sisi juga akan membantu pemahaman sisi yang
lain dengan benar. Dalam hal ini pemahaman yang benar terhadap masyarakat akan membantu
memahami budaya secara benar pula. Sebaliknya salah dalam memahami masyarakat
dikhawatirkan akan salah pula dalam memahami budayanya. Atau dengan kata lain masyarakat
merupakan kata kunci untuk memahami budaya.
Yang barangkali perlu ekstra hati-hati dalam memahami masyarakat adalah masalah
kompleksitas masyarakt itu sendiri mengingat terbentuknya sebuah masyarakat karena situasi
atau alasan-alasan yang berbeda. Sebagai contoh, sekelompok orang bisa disebut sebagai
masyarakat karena mereka tinggal di dalam satu wilayah geografis tertentu. Demikian juga
sekelompok orang bisa disebut sebagai masyarakat karena mereka memiliki kesamaan agama,
etnis, pekerjaan, status sosial atau alasan-alasan yang relavan. Oleh karenanya
mengidentifikasikan masyarakat dengan jelas merupakan suatu keharusan jika hendak memahami
budaya dengan benar. Selanjutnya, jika kelompok-kelompok masyarakat telah terindentifikasi,
pertanyaannya kemudian adalah masyarakat yang mana yang hendak dijadikan landasan (locus of
culture) untuk memahami budaya

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari pemaparan latar belakang diatas adalah :
1. Apa itu budaya nasional ?

4
2. Berapa dimensi-dimensi budaya nasional ?
3. Apakah kritik terhadap Hofstede?
4. Apa itu manajemen/organisasi lintas budaya?

C. TUJUAN P EMBAHASAN
1. Agar dapat memahami tentang apa itu budaya nasinal
2. Agar dapat mengetahui tentang dimensi-dimensi budaya nasional
3. Agar dapat memahamu tentang kritik terhadap Hofstede
4. Agar dapat memahami manajemen /organisasi lintas budaya

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. APA ITU BUDAYA NASIONAL?


Dalam lingkup kajian budaya, istilah budaya nasional bisa dikatakan sebagai
istilah yang relatif baru, yakni baru muncul sekitar tahun1970-an. Sebelumnya kajian
budaya yang dilakukan para antropolog secara tradisional lebih terfokus pada masyarakat
bukan dalam pengertian negara, tetapi dalam pengertian bangsa dan atau etnik. Konsep
budaya nasional mulai menjadi perhatian serius para antropolog, teoritisi organisasi dan
para ahli manajemen semenjak bisnis lintas negara berkembang begitu pesat.
Untuk bisa memahami konsep budaya nasional lebih mendalam, tampaknya kita
tidak bisa lepas dari hasil karya Geertz Hofstede yang dituangkan dalam sbuah buku
berjudul “culture consequences international alfferences in work related values” yang
diterbitkan pada tahun1980 dan buku atau artikel lain sesudahnya. Hofstede boleh jadi
orang pertama yang menggunakan istilah budaya nasional karena embrio konsep tersebut
sudah diperkenalkan oleh penulis sebelumnya seperti Haire,Ghiseth and Porter. Namun
dalam berbagai literaratur, khususnya yang mengkaji aspek kehidupan dan kegiatan
manusia lintas budaya (nasional), tulisan-tulisan Hofstede hampir selalu menjadi rujukan
utama dibandingkan misalnya dengan karya-karya Trompenaars meski keduanya, baik
Hofstede maupun Trompenaars sesungguhnya melakukan kajian tersebut, keduanya juga
menggunakan basis atau konsep dasar yang sama yakni konsep nilai yang dikemukakan
Kluckhohn dan Strodtbeck yang tertuang dalam buku “Variation in value orientation”.
Namun sekali lagi konsep yang dikembangkan oleh hofstede lebih banyak digunakan.
Hofstede memberikan pengertian budaya nasional sebagai budaya yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara).
Pengertian ini menunjukkan bahwa sekelompok orang (masyarakat) yang tinggal di
sebuah negara dianggap memiliki kesamaan-kesamaan dan tujuan publik yang sama.
Oleh karenanya di dalam masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang sebuah budaya
yang di sebut budaya nasional. Schneider dan Louis Barsoux yang mengatakan bahwa
terbentuknya sebuah negara memiliki latar belakang yang berbeda. Selain karena alasan
geografis, terbentuknya sebuah Negara karena sejarah bangsa, factor ekonomi, kehidupan
politik, iklim, bahasa, dan agama. Oleh karenanya terbentuknya budaya nasional bisa jadi
karena alasan berbeda-beda pula. Hal ini bisa diartikan pula bahwa berbagai faktor
seperti etnis, agama, iklim, ekonomi, politik ataupun bahasa sesungguhnya ikut memberi
kontribusi dalam pembentukan budaya nasional. Akibatnya tidak jarang komponen dari
budaya nasional merupakan gabungan atau saling interaksi antara faktor-faktor di atas

6
Karena komponen budaya nasional sangat bervariasi, maka agar konsep budaya
nasional bisa di pahami dengan lebih baik, paling tidak ada dua asumsi yang patut dapat
perhatian. Pertama, ketika membandingkan budaya nasional yakni membedakan budaya
sebuah Negara dengan budaya Negara lain kita akan mengabaikan keragaman budaya
yang terjadi di dalam sebuah negara seolah-olah hanya satu budaya yang berkembang di
negara tersebut (monoculture) meski sesungguhnya di dalam sebuah negara terdapat sub-
sub budaya. Atinya, keberadaan dan keanekaragaman sub budaya di dalam sebuah
wilayah negara untuk sementara diabaikan. Atau dengan kata lain, jika di dalam sebuah
wilayah negara terdapat budaya etnis yang bermacam-macam, budaya agama, budaya
kerja, dan budaya-budaya yang lainnya, maka dalam konteks pernahaman budaya
nasional, budaya-budaya tersebut hanya dianggap sebagai sub budaya. Kedua, ketika
menggunakan negara sebagai sebuah wilayah budaya tersendiri kita beranggapan seolah-
olah negra tersebut merupakan unitary system yang terbebas dari konflikdan perbedaan-
perbedaan walaupun orang-orang yang tinggal di negara tersebut karena pengalaman
hidup dan gaya hidup yang berbeda sesungguhnya memiliki keragaman-keragaman
tersendiri.
Dalam memahami konsep budaya nasional, pentingnya kedua asumsi diatas harus
disadari betul agar kita tidak terjebak dengan konsep budaya yang dalam pemahaman
budaya nasional sesungguhnya hanyalah sub-budaya. Persoalan semacam ini biaanya
muncul terutama pada negara yang memiliki berbagai macam budaya lokal (sub-budaya)
namun hanya beberapa sub-budaya yang dianggap dominan. Akibatnya sub-sub budaya
yang dominan tersebut seolah-olah identik dengan budaya nasional atau paling tidak
menjadi representasi budaya nasional. Hal ini terjadi misalnya di Indonesia, Filipina dn
kebanyakan di negara Afrika. Indonesia bisa dikatakan sebagai Negara multikultur yang
terdiri dari ratusan etnik sehingga tidak mengherankan jika di Indonesia bisa dijumpai
pula ratusan budaya local hanya ada beberapa budaya yang relatif dominan yang bisa
mempengaruhi kehidupan masyarakat dibandingkan sub-sub budaya yang lain. Budaya
jawa misalnya relatif dominan, disamping karena masyarakat jawa juga cukup dominan
dalam mempengaruhi kehidupan bernegara. Oleh karenanya sering terjadi salah anggapan
seolah-olah budaya jawa menjadi representasi budaya nasional Indonesia. Hal yang sama
juga terjadi di Negara tetangga Filipina di mana bahasa nasional Negara tersebut Filipin
dominasi oleh bahasa lokal Tagalog sehingga seolah-olah bahasa Tagalog menjadi bahasa
nasional Filipina meski pengguna bahasa Tagalog sesungguhnya hanya seputar Luzon

Fungsi Budaya Nasional

Adapun fungsi kebudayaan nasional untuk masyarakat Indonesia sendiri adalah :

1. Sebagai pedoman dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa bagi masyarakat
majemuk Indonesia.
2. Sebagai pedoman dalam pengambilalihan ilmu dan teknologi modern.

7
Pewujudan budaya Nasional, meliputi cara berbahasa, cara berperilaku, cara
berpakaian, dan peralatan hidup yang dimiliki bangsa Indonesia

B. DIMENSI-DIMENSI BUDAYA NASIONAL


Untuk sampai pada kesimpulan bahwa budaya nasional adalah budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuah negara, Hofstede terlebih dahulu melakukan
penelitian yang melibatkan tidak kurang dari 117.000 responden yang tersebar pada 40
negara Hofstede sendiri pada mulanya tidak bermaksud meneliti budaya nasional tetapi
lebih kepada nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun dari hasil penelitian ini
kemudian muncul istilah budaya nasional.Metode yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah metode survey di mana para responden diminta untuk mengisi kuesioner
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Karena tujuan Hofstede dalam penelitian ini adalah untuk membandingkan
perbedaan tata nilai para pekerja di suatu Negara dengan tata nilai para pekerja di Negara
lain maka besaran sampel penelitian bukannya 117.000 ribu melainkan 40 negara. Atau
dengan kata lain, level of analysis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Negara.
Meski demikian rata-rata yang digunakan untuk membedakan tata nilai tersebut
didasarkan pada rata-rata nilai yang diperoleh pada masing-masing Negara. Dari hasil
olah data yang dilakukan dua kali yakni tahun 1967 dan tahun 1973, didukung analisis
statistik yang begitu kompleks dan dibarengi penggunaan analisis faktor seperti umur,
jenis kelamaan dan jenis-jenis pekerjaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
nilai-nilai kerja salah satunya disebabkan karena perbedaan budaya pada masing-masing
Negara (budaya nasional).
Secara umum perbedaan nilai-nilai kerja tersebut dibedakan menjadi 4 dimensi
yakni “power distance – jarak kekuasan”,”individualism – collectivism”,”masculinity –
femininity” dan “uncertainty avoidance – menghindari ketidaktentuan”. Belakangan,
berdasarkan penelitian lanjutan tentang system nilai masyarakat keturunan cina (Chinese
Value Survey) yang dilakukan oleh Hofstede dan Bond, ditemukan satu dimensi baru
yaitu “short-term – long term orientation”.
1. Jarak Kekuasaan (Power Distance)
Jarak kekuasaan merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan
dimana masyarakat menerima kekuatan dalam institusi dan organisasi didistribusikan
tidak sama.
Dimensi ini mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat yang bukan pemangku
kepentingan (less powerful) menerima dan memperkirakan bahwa kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata. Masalah mendasar di sini adalah bagaimana
masyarakat menangani ketidaksetaraan di antara mereka. Orang-orang di masyarakat
yang hidup dalam sebuah negara dengan power distance yang tinggi menerima
tatanan hirarkis dimana set iap orang memiliki tempat dan tidak memerlukan
justifikasi lebih lanjut, sedangkan orang-orang di masyarakat yang hidup dalam

8
negara dengan power distancerendah berusaha untuk mendapatkan persamaan
distribusi kekuatan dan meminta pengakuan terhadap ketidaksetaraan kekuasaan.
2. Individualisme/Kolektivisme.
Individualisme merupakan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan tingkatan
dimana orang lebih suka bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok.
Hubungan antara satu individu dengan individu lain tidak terlalu mengikat atau
longgar. Setiap individu menjaga diri sendiri dan keluarga langsung mereka saja,
seperti keluarga inti atau yang memiliki hubungan darah. Sedangkan kolektivisme
menunjukkan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan kerangka sosial yang kuat
dimana individu mengharap orang lain dalam kelompok mereka untuk menjaga dan
melindungi mereka. Individu dari lahir terus terintegrasi dengan kuat, bersatu didalam
kelompok, yang mana sepanjang hidup anggota masyarakat terus melindungi satu
sama lain dengan kesetiaan yang tidak diragukan lagi. Hofstede menyatakan bahwa
citra seseorang dalam masyarakat di dalam dimensi ini tercermin dalam kata “Saya”
(individualisme) atau “Kami” (kolektivisme).
3. Maskulinitas – Feminimitas
Maskulinitas – feminimitas merujuk kepada fakta mendasar yang mana setiap
masyarakat mengatasi sesuatu dengan cara yang berbeda pula.Definisi dari sisi
maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi masyarakat untuk suatu prestasi,
kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan materi untuk sukses. Masyarakat dalam arti
luas lebih kompetitif di dimensi ini. merupakan tingkatan dimana kultur lebih
menyukai peranperan maskulin tradisional seperti pencapaian, kekuatan, dan
pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki posisi sejajar.
Penilaian maskulinitas yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran yang terpisah
untuk pria dan waniya, dengan pria yang mendominasi masyarakat.Berlawanan
dengan dimensi maskulin, dimensi femininitas menyinggung mengenai preferensi
untuk kerja sama, kerendahan hati, menjaga yang lemah, dan kualitas hidup.
Masyarakat luas di dimensi femininitas ini lebih berorientasi kepada konsensus atau
permufakatan bersama (Hofstede, 2001). Hofstede telah mengkarakteristikkan
dimensi feminin sebagai semua orang seharusnya sopan, simpati untuk yang lemah,
dan resolusi konflik dilakukan dengan kompromi dan perundingan. Selain itu pada
dimensi ini lebih mengutamakan solidaritas antar sesama serta pentingnya menjalin
hubungan yang hangat terhadap sesama. Sedangkan pada budaya maskulinitas
dikarakteristikkan sebagai seorang yang tegas, ambisius, tangguh, dan simpati untuk
yang kuat. Dalam menghadapi konflik sebisa mungkin resolusi konflik dilakukan
dengan memerangi mereka, terjadinya kompetisi di antara rekan kerja, dan uang
merupakan hal yang penting.
4. Penghindaran Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance)
Penghindaran ketidakpastian mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat
merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Individu dengan budaya

9
penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki karakteristik toleran terhadap
aturan atau hal yang tabu. Individu tersebut lebih menyukai inovasi dan ide-ide
maupun perilaku yang menyimpang serta memiliki ketertarikan terhadap suatu hal
yang berbeda. Selain itu, bagi individu dengan penghindaran ketidakpastian yang
rendah memiliki agresi dan emosi yang tidak diperlihatkan. Individu akan lebih di
motivasi oleh suatu prestasi dan harga diri (Hofstede, 2005).Sebaliknya, karakteristik
seseorang dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi antara lain takut
terhadap sesuatu yang tidak pasti atau ambigu dan tidak menyukai ide-ide serta
perilaku yang menyimpang atau berbeda. Individu akan lebih menerima resiko yang
sudah dikenalnya. Selain itu mereka jarang melakukan inovasi dikarenakan bagi
mereka sesuatu yang baru merupakan hal yang ditakuti. Individu akan lebih
dimotivasi oleh harga diri dan keamanan. Mereka memiliki prinsip yakni waktu
adalah uang atau ‘time is money’
5. Short-term vs Long-term Orientation
Dimensi terakhir atau dimensi kelima adalah short-term vs long-term orientation.
Sesuai dengan namanya, pada dimensi ini masyarakat dibedakan berdasarkan
orientasi mereka terhadap waktu yakni masyarakat yang berorientasi jangka pendek
dan masyarakat yang berorientasi jangka panjang. Pada mulanya Hostede tidak
memasukkan short-term vs long-term orientation sebagai dimensi budaya nasional.
Short-term vs long-term baru diakui sebagai dimensi budaya nasional setelah Michael
Bond, seorang warga Negara Canada yang sejak tahun 1971 tinggal dan bekerja di
timur jauh serta banyak berinteraksi dengan masyarakat cina, melakukan penelitian
dengan menggunakan model penelitian seperti yang dilakukan oleh Milton Rockeah
yang dikenal sebagai Rockeah Value Survey (RVS). Jika Rockeah mengidentifikasi
nilai-nilai manusia berdasarkan dua kriteria umum yaitu nilai tujuan dan nilai alat,
Michael Bond mengidentifikasikan nilai-nilai manusia berdasarkan hasil derivasi
ajaran Confucius. Nilai-nilai ini didapat setelah Michael Bond berdialog dengan
beberapa ilmuan sosial Hong Kong dan Taiwan.

C. KRITIK TERHADAP HOFSTEDE


Tidak bisa dipungkiri bahwa konsep budaya nasional seperti dikemukakan
Hofstede begitu popular, banyak dirujuk serta menjadi inspirasi untuk penelitian-
penelitian berikutnya. Sondergaard misalnya menyatakan bahwa tidak kurang dari 1063
jurnal, terhitung sejak tahun 1980 sampai dengan September 1993, merujuk secara
langsung tulisan Hofstede. Pada priode yang sama lebih dari 61 penelitian mereplikasi
tulisan Hofstede. Meski demikian kritik terhadap konsep tersebut tampaknya tidak bisa
dihindarkan. Kritik paling tajam datang dari Brenden McSweeney dan Tony Fang.
Brenden McSweeney dari London School of Economics and Political Science
menyatakan bahwa penelitian Hofstede secara konseptul banyak mengandung
kelemahan. Kelemahan utama menurut McSweeney adalah dalam hal metodologi yang

10
digunakan Hofstede. Di antara kritik McSweeney terhadap konsepnya Hofstede adalah
sebagai berikut: Pertama, terlepas bahwa jumlah sampel yang digunakan cukup besar
yakni 116.000 responden, namun karena level of analysis-nya adalah organisasi, dalam
hal ini negara, maka sampel yang besar ini sesungguhnya bisa dikatakan -66 negara.
Bahkan jumlah responden untuk masing-masing Negara tidak sama, ada yang 1000
responden tetaoi ada juga yang hanya 58 responden.
Kedua, seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya, responden yang menjadi
sampel penelitian adalah karyawan yang bekerja pada perusahaan multinasional IBM
yang tersebar di 66 negara. Oleh karenanya seperti diakui oleh Hofstede, penelitian
tersebut pada mulanya tidak di maksudkan untuk meneliti budaya nasional melainkan
untuk meniliti perbedaan nilai-nilai kerja yang disebabkan, salah satunya oleh perbedaan
negara tempat tinggal responden. Menanggapi hal ini, McSweeney kemudian
mempersoalkan istilah budaya nasional dengan membandingkan budaya organisasi dan
budaya kerja melalui satu persamaan sebagai berikut:

(NC1+OrC+OcC)-(NC2+OrC+OcC) = NC1-NC2
Dimana NC = Budaya Nasional
0rC = Budaya organisasi dan
OcC = Budaya kerja

Persamaan di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi dan budaya kerja yang
berkembang di IBM seolah-olah sama tanpa memperhatikan perbedaan lokasi sampel,
sehingga yang tersisa hanya perbedaan antara budaya nasional pada suatu Negara dengan
budaya nasional Negara lain, padahal Hofstede sendiri belakangan mengakui bahwa
budaya organisasi yang berkembang di sebuah perusahaan boleh jadi berbeda jika
perusahaan tersebut tersebar pada lokasi berbeda.
Jauh sebelum McSweeney memberikan kritiknya, tulisan Hofstede juga
mendapatkan kritik yang kurang lebih sama dari peniliti lain. Robinson, Sorge, dan
Korman misalnya sama seperti McSweeney mempersoalkan pengumpulan data yang
hanya berasal dari karyawan IBM sebagai satu-satunya sumber untuk memperjelaskan
budaya nasional. Di sisi lain, Lowe, E.A., 1981, “Culture consequences: international
differences in work related values”, Journal of enterprise management, halaman 312 dan
Baumgartel and Hill menganggap bahwa dimensi budaya nasional yang dikembangkan
Hofstede hanyalah artifak yang boleh jadi hanya cocok pada saat survey tersebut
dilakukan. Sementara itu Smucker dan Scholer mempermasalahkan validitas penilitian
nilai-nilai budaya nasional karena istrumen yang digunakan untuk penelitian tersebut
merupakan istrumen penelitian sikap kerja.
Terlepas dari kritik di atas bukan hanya Hofstede sendiri yang menanggapinya
tetapi ada juga penulis lain yang membela model budaya nasional Hofstede. Dermont
Williamsom misalnya melalui tulisannya Forward from a critique of Hofstede’s model of
national culture membela model budaya nasionalnya Hofstede dan sekaligus mengkritik
11
kritikannya McSweeney. Dalam pembelaannya Williamson mengatakan jika kritikannya
McSweeney yang keliru tidak ditanggapi ulang, boleh jadi peneliti-peneliti berikutnya
yang akan menggunakan konsepnya Hofstede tidak lagi mendapatkan tempat. Sebaliknya
kalau persoalan ini diluruskan maka diyakini mereka yang akan menggunakan
pendekatan fungsional dalam penelitian lintas budaya akan semakin marak. Menurut
Williamson kesalahan utama McSweeney adalah tidak membedakan istillah metodologi
dan metode penelitian. Dari kesalahan dasar ini tidak bisa dihindari lagi jika kritik
selanjutnya juga salah.
Selain McSweeney dan beberapa kritik yang lain seperti disebutkan di atas kritik
terhadap konsepnya Hofstede juga datang dari Tony Fang – seorang warga negara
Kanada keturunan Cina. Jika McSweeney dan kritik-kritik lainnya lebih banyak
mempermasalahkan konsepnya Hofstede secara umum, Fang lebih menekankan kritiknya
pada dimensi kelima – long term-short term orientation. Dimensi kelima ini, yang
sesungguhnya diadopsi Hofstede dari hasil penelitian Michael H. Bond, tidak begitu
popular dibandingkan empat dimensi lainnya. Ketidak populeran dimensi kelima ini
ditandai dengan sangat sedikitnya peneliti-peneliti lain yang menggunakan konsepnya
Hofstede sebagai rujukannya yang memanfaatkan dimensi kelima tersebut sebagai salah
satu variabelnya. Tony Fang sendiri sebagai penganut ajaran Confucius merasa terganggu
dengan hasil temuan dimensi tersebut. Beberapa kritik yang dilontarkan Tony Fang
antara lain:
1. Dimensi kelima ini dianggap membinggungkan baik bagi bangsa barat maupun
bangsa Cina sendiri. Bagi bangsa Cina, long term dan short term orientation bukan
dua hal yang saling berlawanan tetapi merupakan dua hal yang saling terkait. Bagi
bangsa Cina orientation jangka pendek dan jangka panjang bukan dua hal yang saling
berposisi, namun sebaliknya keduanya saling mengisi. Hampir tidak mungkin tujuan
jangka panjang akan tercapai jika tidak memperhatikan hal-hal yang bersifat jangka
pendek.
2. Dari sudut pandang masyarakat Cina dan Timur jauh lainnya, membedakan nilai-nilai
Confucius ke dalam nilai-nilai positif dan nilai-nilai negative dianggap memiliki
kelamahan filosofi yang mendasar. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh filosofi Yin
Yang – dua karakter berbeda tetapi selalu terjadi bersama-sama. Yin dengan karakter
inward looking tidak dianggap sebagai karakter negative karena karakter ini menjadi
landasan bagi Yang, yang berorientasi eksternal – ouward looking.
3. Dari sudut desain penelitian, dimensi kelima ini juga memiliki beberapa kelemahan.
Pertanyaannya adalah mengpa yang dijadikan dasar untuk penelitian hanya 40
Chinese values itu sendiri, ada beberapa nilai yang makna sesungguhnya tumpang
tindih. Di samping itu sample yang digunakan juga mendapat pertanyaan karena tidak
sejalan dengan penelitian awal Hofstede yang melibatkan karyawan IBM di 53
negara. Oleh karenanya dimensi kelima ini secara metodologis dianggap cacat.

12
D. MANAJEMEN / ORGANISASI LINTAS BUDAYA
Seperti telah disebutkan di atas, konsep budaya nasional yang dikemukakan
Hofstede menuai banyak kritik namun bukan berarti hanya sedikit akademisi dan praktisi
yang mendukung konsep tersebut. Dukungan ini misalnya ditunjukkan dengan banyaknya
replikasi penelitian Hofstede dan banyaknya tulisan yang menggunakan tulisan Hofstede
sebagai rujukan. Hal lain yang patut mendapat perhatian adalah munculnya genre baru
dalam studi organisasi dan manajemen tidak lama setelah tulisan Hofstede muncul. Jika
selama ini ada anggapan bahwa sebuah teori bisa diaplikasikan di mana saja tanpa
memperhatikan latar belakang budaya sekelompok orang (masyarakat) yang akan
menerapkan teori tersebut, sekarang anggapannya tidak lagi demikian. Sekarang sudah
ada pengakuan bahwa studi organisasi dan manajemen tidak lagi value free karena
masing-masing Negara dengan kultur berbeda-beda jadi memiliki pola manajemen yang
berbeda pula. Dari sinilah kemudian muncul istilah comparative management – studi
perbandingan manajemen.
Sesungguhnya kesadaran bahwa studi organisasi dan manajemen tidak value free
sudah lama muncul jauh sebelum Hofstede memunculkan konsep budaya nasional.
Kesadaran ini muncul pada awal tahun1960-an ketika para akademis Amerika mulai
menyuarakan pentingnya mempertimbangkan perspektif budaya dalam teori dan praktis
manajemen. Sebagai contoh, Gonzales and McMillan mempertanyakan universalitas
filososi manajemen Amerika. Sementara itu baik Oberg maupun McCann mengulas
prinsip-prinsip manajemen lintas budaya. Haire, Ghiselli, dan Porter yang tulisan
awalnya muncul pada awal tahun 1960-an namun kemudian di tulis ulang pada buku
Comparative management yang diedit Malcom Warner (1997) kurang lebih juga
membahas hal yang sama. Semua tulisan awal diatas intinya sam a yakni
mempertanyakan apakah filosofi dan praktik manajemen bersifat bebas nilai dan bisa
diterapkan pada masyarakat yang berbeda budaya atau sebaliknya bahwa praktik
manajemen pada dasarnya culture bound.
Meski kesadaran akan pentingnya memahami presepktif budaya dalam konteks
manajemen sudah muncul sejak awak tahun1960-an namun gaungnya belum meluas
sehingga paham tentang manajemen adalah value free sepertinya tidak bergeser sampai
hasil penelitian Hofstede dipublikasikan pada tahun 1980. Pasca publikasi in bisa
dikatakan bahwa artikel ilmial, buku ilmiah maupun buku-buku popular tentang
comparative management yang berbasis pada perbedaan budaya (nasional) mulai
bermunculan dan mendapat tempat di kalangan konsultan manajemen, praktis bisnis dan
para manajer. Para akademisi maupun pengguna manajemen mulai sadar bahwa
manajemen tidak value free. Eforia ini kemudian disikapi para akademis misalnya dengan
mendaur ulang tulisan-tulisan lama tentang perspektif budaya dalam manajemen dalam
bentuk reading (kumpulan artikel dalam bentuk buku) seperti yang dilakukan oleh
Malcom Warner. Warner pada tahun 1997 menyusun kembali lebih dari 100 artikel
manajemen yang bersinggugan dengan budaya dalam bentuk buku yang diberi judul

13
“comparative management” terbagi dalam empat valume. Selain daur ulang, buku-buku
ilmiah manajemen lintas budaya (cross cultural management) juga bermunculan. Bukku-
buku bernada sama misalnya ditulis oleh Trompenaars, Taylor Cox, Jr., dan Schneider
and Louis Barsoux. Sementara itu untuk menyebut beberapa artikel ilmiah yang ditulis
Maruyama, Laurent, dan Schneider meski sangat bervariasi tetapi pijaknya sama yakni
peran budaya nasional dalam konteks manajemen.
Walhasil, lepas dari kritik yang ditujukan ke Hofstede, era baru dalam bidang
studi organisasi dan manajemen, yakni comparative management, muncul tidak lama
setelah tulisan Hofstede muncul. Jika dikaitkan dengan uraian dengan munculnya era
baru ini pada tahun 1980-an bukan pada tahun 1960-an boleh jadi karena dominasi
ekonomi Amerika yang sekaligus sebagai produsen utama teori organisasi dan
manajemen masih terlalu kuat sementara penurunan dominasi ekonomi Amerika 1980-an
menyebabkan banyaknya pihak mencoba mencari teori alternative – dalam hal ini
merujuk ke pola pengelolaan organisasi ala jepang terbukti bisa mengangkat
perokonomian Negara tersebut. Dari sinilah perbandingan manajemen utamanya antara
manajemen Amerika dan Manajemen Jepang mulai bermunculan. Satu diantaranya yang
ditulis oleh William Ouchi – Theory Z.

14
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Bersamaan dengan maraknya bisnis lintas Negara yang dilakukan oleh
perusahaan multinasional (MNC), masalah budaya mulai mendapat perhatian serius para
praktisi bisnis, teoritisi organisasi dan manajemen. Tingginya perhatian ini bermulanya
dari banyaknya perusahaan multinasional (MNC) yang gagal menjalankan bisnisnya di
negara tujuan meski pola manajemen yang digunakan di perusahaan anak sama dengan
pola manajemen di perusahaan induk. Setelah melalui penelusuran lebih jauh salah satu
penyebab kegagalan tersebut ternyata karena adanya perbedaan budaya antara masing-
masing negara. Disinilah budaya dianggap menjadi salah satu variable penentu yang
perlu mendapatkan perhatian serius.
Materi ini menguraikan konsep budaya nasional, utamanya konsep yang
dikemukakan oleh Hofstede. Menurut Hofstede budaya nasional adalah budaya yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah (negara).
Ada empat dimensi yang bisa digunakan untuk menjelaskan budaya nasional yaitu:
“power distance – jarak kekuasaan”, “individualism – collectivism”, “masculinity –
femininity”, dan “uncertainty avoidance – menghindari ketidaktentuan”. Belakangan,
Hofstede menambahkan satu dimensi naru yaitu “short-term – long term orientation”.
Terlepas bahwa konsep yang dikemukakan oleh Hofstede ini sangat popular,
namun kenyataannya konsep ini juga mendapat kritik yang tajam. Oleh karenanya jika
konsep ini hendak diterapkan, perlu diperhatikan asumsi dan kelemahannya. Hal positif
dari konsepnya Hofstede adalah semakin disadarinya bahwa manajemen tidak value free
di mana budaya nasional menjadi key factors dalam manajemen.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku Budaya Organisasi Achmad Sobirin

16

Anda mungkin juga menyukai