Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH VIROLOGI

UJI HEMAGLUTINASI PADA PASIEN HIV AIDS

Dosen Pengampu
Nanik Aryani Putri, S.Tr. Kes., M.S. Farm.

Disusun Oleh
1. DURRATUL PRANANINGTIAS (P1337434121001)
2. HANNUNG FIRMAN YUSTIKA (P1337434121005)
3. PUTRI MAYANG SARI (P1337434121007)
4. INDAH SULISTIYOWATI (P1337434121047)

PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM


MEDIS
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2023/2024
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu infeksi yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) sehingga menyebabkan
penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh. Penyakit HIV AIDS ditularkan
melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV lewat hubungan seksual, jarum
suntik, dan transfusi komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV pada bayi yang
diahirkan. Virus HIV yang masuk ke dalam tubuh akan menginfeksi limfosit CD4
(Cluster Differential Four) dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA
inangnya. Penyerangan virus HIV cenderung pada jenis sel tertentu yaitu sel yang
mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang mempunyai peran penting untuk
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Pada sel monosit makrofag,
sel langerhans pada kulit, sel dendritik folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada
alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak juga dapat
terinfeksi virus HIV.
Pemeriksaan diagnostik cepat dan sederhana saat ini diperlukan untuk
mengurangi infeksi human immunodeficiency virus (HIV) di negara yang
berkembang dan terbelakang di dunia. Uji aglutinasi yang digunakan untuk
mendeteksi adanya infeksi HIV secara makroskopis adalah pemeriksaan berbasis
hemaglutinasi. Pemeriksaan berbasis hemaglutinasi merupakan pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV tipe 1 dan HIV tipe 2 dan hasil
dapat dibaca dalam waktu yang kurang dari 5 menit. Pada sampel darah yang terdapat
antibodi anti-HIV akan menyebabkan penggumpalan eritrosit (aglutinasi) yang dapat
dilihat secara makroskopis. Pengembangan pemeriksaan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan keterbatasan praktis pengujian di negara yang kurang
berkembang. Pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV dalam setetes
darah didasarkan pada molekul bifungsional yang mampu mengikat silang dan
mengaglutinasi sel darah merah dengan adanya antibodi anti-HIV.

B. Review Jurnal
> Jurnal 1
Uji aglutinasi tampak untuk mendeteksi HIV dengan mata telanjang (NEVA HIV,
yang mewakili uji aglutinasi terlihat dengan mata telanjang untuk HIV) adalah tes
berbasis hemaglutinasi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV dalam darah utuh.
Reagen NEVA HIV adalah campuran protein fusi antibodi bifungsional rekombinan
yang sangat stabil dengan antigen HIV yang dapat diproduksi dalam jumlah besar
dengan tingkat kemurnian tinggi.
Prosedur pengujiannya melibatkan pencampuran satu tetes reagen NEVA HIV
dengan satu tetes sampel darah pada kaca objek. Adanya antibodi anti-HIV dalam
sampel darah menyebabkan penggumpalan eritrosit (aglutinasi) yang dapat dilihat
dengan mata telanjang. Tes ini mendeteksi antibodi terhadap HIV tipe 1 (HIV-1) dan
HIV-2 di satu tempat dan memberikan hasil dalam waktu kurang dari 5 menit.
Pola perilaku sulit diubah, dan dari semua tindakan yang disebutkan di atas,
skrining darah untuk HIV sebelum transfusi diikuti dengan eliminasi unit darah yang
terinfeksi merupakan upaya yang paling berhasil dalam membatasi infeksi di sebagian
besar negara maju. Tes cepat juga akan berguna dalam identifikasi langsung ibu hamil
yang terinfeksi HIV, yang dapat diberikan terapi antiviral selama persalinan untuk
mengurangi kejadian penularan HIV ke bayi baru lahir. Baru-baru ini, tes berbasis
imunokromatografi yang dapat menggunakan sampel darah, serum, dan plasma
antikoagulan EDTA telah dikembangkan menjelaskan tes baru untuk mendeteksi
antibodi terhadap HIV dalam setetes darah
Tes ini didasarkan pada molekul bifungsional yang dibuat secara kimia yang
mampu mengikat silang dan mengaglutinasi sel darah merah manusia (sel darah
merah) dengan adanya antibodi anti-HIV. Berdasarkan konsep ini, baru-baru ini kami
menjelaskan beberapa molekul bifungsional rekombinan untuk mendeteksi antibodi
terhadap HIV-1 dan HIV-2 dalam darah lengkap (3, 4). Molekul-molekul ini adalah
protein fusi yang terdiri dari fragmen pengikat antigen monovalen (Fab) dari antibodi
monoklonal RBC anti-manusia (MAb) B6 dengan peptida immunodominant asam
amino 31 yang berasal dari glikoprotein selubung gp41 dan gp36 dari HIV-1 dan HIV
-2, masing-masing.

.> Review Jurnal 2


Diseluruh dunia pada tahun 2013 terdapat 35 juta orang dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3.2 juta anak berusia < 15 tahun. Jumlah infeksi baru
HIV pada tahun 2013 sebesar 2.1 juta yang terdiri dari 1.9 juta dewasa dan 240.000
anak berusia < 15 tahun. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang
mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendritik folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel
mikroglia otak. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan
kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa
tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 - 2,5 tahun sebelum
pasien jatuh dalam keadaan AIDS.
Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal
infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3
kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan
muncul komplikasi neurologis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun.4 Penularan
HIV/AIDS akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui
hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi
yang dilahirkannya.2 Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan dan
tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis
HIV.
Pada awal tahun 1980-an, prevalensi SK mulai meningkat drastis dan menjadi
keganasan paling banyak pada pasien dengan Acquired immune deficiency syndrome
(AIDS), terutama pada laki-laki homoseksual. Kejadian terakhir menunjukkan bahwa
SK berhubungan dengan infeksi virus herpes yang dapat menyebar secara vertikal dan
seksual. Sebuah temuan baru mengarah pada pertumbuhan, isolasi, dan karakterisasi
dari sebuah virus herpes manusia baru yang sekarang dikenal dengan Kaposi's
sarcoma-associated herpes virus (KSHV) atau Human herpes virus type 8 (HHV-8)
dari lesi SK. DNA dari HHV-8 ini ditemukan pada hampir semua spesimen SK tipe
klasik, SK endemik, dan SK iatrogenik, seperti halnya pada SK epidemik.
Sarkoma kaposi seringkali muncul sebagai tumor pada kulit atau pada
permukaan mukosa, seperti di dalam mulut. Pada populasi dengan HIV negatif, SK
jarang didapatkan. Seseorang yang terinfeksi HIV mempunyai risiko 100 hingga 300
kali lebih sering terkena SK dibandingkan populasi dengan HIV negatif. Sebaliknya,
pada orang dengan HIV negatif yang terinfeksi HHV-8, bisa berkembang menjadi SK,
seperti pada pada SK tipe klasik. Lesi awal SK-AIDS tampak sebagai makula
keunguan berbentuk oval kecil yang berkembang cepat menjadi plak dan nodul kecil,
yang seringkali timbul di banyak tempat dan memiliki kecenderungan mengalami
progresi yang cepat.
Lesi awal SK-AIDS seringkali muncul di bagian wajah, terutama pada hidung,
kelopak mata, telinga, dan punggung, dan lesinya mengikuti arah garis kulit dan lesi
pada palatum yang merupakan tanda khas SK terkait AIDS.8 Gambaran
histopatologis SK tergantung pada stadium perkembangan SEL, yaitu dimulai dengan
stadium makula, plak, dan terakhir adalah stadium nodular. Sarkoma kaposi stadium
makula, merupakan fase awal dari perkembangan SK kutaneus. Sarkoma kaposi
nodular menunjukkan ekspansi termal yang relatif terbatas, berbagai proliferasi selular
dari sel spindle neoplastik berbentuk lembaran Stadium plak ditandai dengan infiltrat
vaskuler dermal yang lebih difus.
Banyak saluran vaskular yang terpotong berisi eritrosit mengisi dermis yang
terlibat, dan didapatkan tanda sel inflamasi kronis dengan kelompok yang banyak
mengandung sel plasma bercampur dengan siderophage dan pigmen hemosiderin
bebas.8 Kontrol optimal terhadap infeksi HIV dengan terapi anti-retroviral (ARV)
merupakan komponen kunci terapi SK yang berkaitan dengan HIV..

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan uji hemaglutinasi pada pasien HIV AIDS?

2. Bagaimana hasil pemeriksaan uji hemaglutinasi pada pasien HIV AIDS?

D. Tujuan

1. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan uji hemaglutinasi pada pasien HIV


AIDS
2. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan uji hemaglutinasi pada pasien HIV AIDS

BAB II
ISI

1. Prinsip Pemeriksaan
Setelah penambahan molekul (protein fusi peptida anti-RBC-HIV monovalen) pada
setetes darah utuh, molekul akan melapisi sel darah. Jika antibodi anti-HIV terdapat di
dalam darah, antibodi tersebut akan berikatan dengan bagian peptida yang diturunkan
dari HIV pada lapisan protein fusi sel darah merah dan menyebabkan ikatan silang sel
darah merah, yang mengakibatkan aglutinasi terlihat (Gupta & Chaudhary, 2003).

2. Alat dan Bahan


a. Sampel darah whole blood
b. Reagen kontrol
c. Reagen HIV
d. Objek glass
e. Batang pengaduk
f. Mikropipet
g. Yellow tip
h. Stopwatch

3. Prosedur Kerja
a. Sampel darah utuh yang dikumpulkan dalam antikoagulan berbeda digunakan
langsung untuk pengujian.
b. Sampel serum atau plasma manusia dicampur dengan sel darah merah yang telah
dicuci dari darah RhD-negatif tipe O yang dikumpulkan dari orang HIV-negatif
dengan perbandingan 1:1 untuk membuat darah yang dilarutkan dan kemudian
digunakan untuk pengujian.
c. Satu tetes sampel yang dilarutkan atau sampel darah utuh (kira-kira 20 μl) diteteskan
pada pada kaca objek (yang diberi label "kontrol" dan "HIV").
d. Satu tetes (20 μl) reagen kontrol ditambahkan pada tempat berlabel “kontrol”, dan
satu tetes (20 μl) reagen HIV ditambahkan pada tempat berlabel “HIV”.
e. Campur atau homogenkan dengan batang pengaduk.
f. Slide dibiarkan selama 3 menit pada suhu kamar (25-30°C)
g. Aglutinasi (penggumpalan sel darah merah) dibaca dengan mata telanjang saat slide
diputar.
h. Aglutinasi dicatat pada skala 0 sampai 4, dengan 0 menunjukkan tidak ada aglutinasi
yang terlihat dan 4 menunjukkan aglutinasi kuat dengan gumpalan besar.
i. Aglutinasi 1 atau lebih pada label HIV dibandingkan dengan label kontrol diartikan
sebagai reaktif.
4. Hasil
Hasil dalam pemeriksaan hemaglutinasi HIV dapat diketahui secara makroskopis.
Berikut merupakan interpretasi hasilnya
Aglutinasi → terdapat antibodi anti-HIV dalam darah pasien
Tidak aglutinasi → tidak terdapat anti-HIV dalam darah pasien

4 3 2 1 0
5. Pembahasan
Terdapat dua molekul yang berperan penting dalam proses hemaglutinasi HIV,
yakni fragmen antibodi yang berbentuk protein fusi peptida anti-RBC-HIV monovalen
dan sel darah merah manusia. Jika dalam darah manusia terdapat antibodi anti-HIV,
protein fusi peptida pada anti-RBC-HIV monovalen akan melapisi sel darah merah
yang selanjutnya akan membentuk ikatan silang pada sel darah merah. Ikatan silang
inilah yang menyebabkan reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi HIV ini dilakukan dengan memantau aktivitas protein
fusi pada fragmen antibodi (anti-RBC-HIV monovalen). Protein fusi ini berfungsi
untuk mendeteksi antibodi anti-HIV dalam serum penderita HIV dengan tingkat
sensitivitas tinggi (Gupta & Chaudhary, 2003).
Berdasar penelitian Gupta dan Chaudhary, apabila semakin banyak jenis antibodi
digunakan pada pereaksi (reagen) dalam proses pelapisan sel darah merah oleh protein
fusi, akan dihasilkan lebih banyak antigen HIV yang mampu untuk mengikat antibodi
anti-HIV dalam darah manusia. Hal ini disebabkan oleh peningkatan ikatan silang sel
darah merah yang menyebabkan reaksi aglutinasi dengan gumpalan yang lebih besar.
Penelitian tersebut juga telah mengevaluasi berbagai jenis uji yang telah tersedia
secara komersial dan sejumlah sampel klinis. Hasil dari evaluasi tersebut menunjukkan
pemeriksaan hemaglutinasi HIV ini sebanding dengan yang disetujui oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan AS dan Eropa sebagai alat uji cepat yang sama baiknya
dengan alat uji imunosorben yang memanfaatkan keterkaitan enzim.
Penelitian Vasudeva Cari (1988) juga menemukan seratus persen hubungan yang
diamati dalam 86 sampel reaktif dan 124 sampel non reaktif antara uji hemaglutinasi
pasif dengan uji imunosorben yang memanfaatkan keterkaitan enzim yang telah
tersedia secara komersial dan analisis Western blot. Pemeriksaan hemaglutinasi HIV ini
merupakan pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan murah karena pemeriksaan ini
mampu mendeteksi antibodi, baik pada HIV tipe 1 maupun pada HIV tipe 2 di tempat
yang sama dalam waktu kurang dari 5 menit.

Daftar Pustaka

Gupta, A., & Chaudhary, V. K. (2003). Whole-blood agglutination assay for on-site detection
of human immunodeficiency virus infection. Journal of clinical microbiology, 41(7), 2814–
2821. https://doi.org/10.1128/JCM.41.7.2814-2821.2003

Vasudevachari MB, Uffelman KW, Mast TC, Dewar RL, Natarajan V, Lane HC, Salzman
NP. Passive hemagglutination test for detection of antibodies to human immunodeficiency
virus type 1 and comparison of the test with enzyme-linked immunosorbent assay and
Western blot (immunoblot) analysis. J Clin Microbiol. 1989 Jan;27(1):179-81. doi:
10.1128/jcm.27.1.179-181.1989. PMID: 2913026; PMCID: PMC267257.

Ersha, R. F., & Ahmad, A. (2018). Human Immunodeficiency Virus – Acquired


Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma Kaposi. Jurnal Kesehatan Andalas,
7(Supplement 3), 131. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.875

Anda mungkin juga menyukai