Anda di halaman 1dari 68

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan anak merupakan salah satu indikator penting dalam

pembangunan nasional (Badan Pusat Statistik, 2020). Prasyarat utama bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak yang sehat berupa pemenuhan

kesehatan gizi pada tahun pertama dalam kehidupan. Salah satu indikator

Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 tentang gizi masyarakat

merupakan berakhirnya semua hal tentang malnutrisi, serta tercapainya tujuan

Internasional 2025 dalam turunnya angka stunting dan wasting di usia balita.

Sasaran SDGs ini disesuikan kepada Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJMN) Indonesia 2020-2024 disebutkan jika, sasaran turunnya

prevalensi stunting balita ditargetkan menjadi 19%, disisi lain angka wasting

pada balita ditargetkan menjadi 7% (Kostecka, 2021).

Pembangunan kesehatan Indonesia pada tahun 2020-2024 ditargetkan

untuk lima program prioritas. Upaya perbaikan masalah status gizi masyarakat

didalamnya juga terdapat harapan turunnya prevalensi gizi kurang. Gizi

kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidak

seimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berpikir

dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan pada 1000 hari pertama

kehidupan anak atau dimulai sejak janin sampai anak usia 2 tahun (Sardjito,

2019). Dampak kekurangan gizi sangat kompleks yaitu anak dapat mengalami

gangguan pada perkembangan mental, sosial, kognitif dan pertumbuhan yaitu

berupa ketidakmatangan fungsi organ,


1 dimana manifestasinya dapat berupa
2

kekebalan tubuh yang rendah yang menyebabkan kerentanan terhadap

penyakit-penyakit seperti infeksi saluran pernafasan, diare, demam.

(Proverawati, 2015).

Pengukuran status gizi berdasarkan standar Antropometri Anak menurut

World Health Organization (WHO) yaitu status gizi balita dapat diukur

berdasarkan tiga indeks, yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U) Tinggi

Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Panjang atau Tinggi

Badan (BB/PB/U) (Kemenkes RI, 2021). Kekurangan gizi pada balita

berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) meliputi kategori

berat badan sangat kurang dan berat badan kurang. Penurunan berat badan

dengan ambang batas Z-Score BB/U <-2 SD sampai dengan ≥-3SD klasifikasi

gizi kurang. Jika kekurangan gizi terjadi dalam waktu lama akan

menyebabkan kekurangan gizi kronis yaitu ambang batas Z-Score BB/U <3SD

klasifikasi gizi buruk (Par'i, 2017).

Masalah gizi pada anak dapat dideteksi sedini mungkin dengan

mengukur BB/U anak. BB/U menggambarkan jumlah protein, lemak, air, dan

mineral tubuh. Berat badan merupakan komposit pengukuran ukuran tubuh.

Perubahan berat badan dapat terdeteksi dalam waktu singkat dan

menggambarkan status gizi saat ini. Jika masalah gizi pada anak terdeteksi

lebih awal dan dilakukan penanganan segera maka tidak terjadi masalah gizi

kronis seperti gizi buruk dan stunting (Par'i, 2017).

Menurut UNICEF tahun 2016 prevalensi gizi kurang balita di dunia pada

tahun 2016 sebanyak 14% (94,5 juta), dan pada tahun 2017 terdapat 13,5%

(92 juta) balita didunia. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 didapatkan
3

angka kejadian gizi buruk dan gizi kurang balita di Indonesia pada tahun 2017

sejumlah 17,8% dan pada tahun 2018 sejumlah 17,7% (RISKESDAS, 2018).

Persentase gizi sangat kurang di Indonesia tahun 2020 sebanyak 1,4% dan gizi

kurang 6,7%, sedangkan Jumlah balita gizi kurang di Provinsi Sumatera Barat

tahun 2020 sebanyak 8% status gizi kurang dan 1,4% status gizi sangat kurang

(Kemenkes RI, 2021).

Status Gizi pada balita di pengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu

faktor yang mempengaruhi adalah sosial ekonomi seperti pendapatan

keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, pola asuh gizi

balita, jumlah anggota keluarga dan sanitasi lingkungan. Hal ini dilihat dari

beberapa penelitian Menurut (UNICEF, 2013), tahun 2011 ada 165 juta (26%)

balita dengan stunting di seluruh dunia. Indonesia termasuk dalam 5 negara

dengan angka balita stunting tertinggi yaitu ada 7,5 juta balita. Faktor ekonomi

merupakan suatu penentu status gizi. Status ekonomi yang rendah atau

kemiskinan penyebab utama gizi kurang pada masyarakat.

Faktor sosial ekonomi salah satunya meliputi pendidikan dan pendapatan

keluarga. Faktor-faktor tersebut akan berinteraksi satu dengan yang lain

sehingga mempengaruhi pertumbuhan anak (Sebataraja, 2014). Status

pendidikan mempengaruhi pengetahuan seseorang, termasuk pengetahuan

kesehatan. Sebagian besar orang tua yang tidak berpendidikan memiliki buta

huruf sehingga tidak mampu membaca dan memahami informasi kesehatan

dalam bentuk pamphlet (Khattak, 2017).

Menurut penelitan Haiyanto (2020) mengenai Hubungan Status Sosial

Ekonomi Keluarga Dengan Stunting Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas


4

Tembokrejo Kabupaten Jember, menyatakan bahwa ada hubungan status

sosial ekonomi dengan kejadian stunting pada balita dengan Pvalue= 0,032.

Kurangnya gizi pada balita juga dapat dipengaruhi oleh tingkat

pengetahuan ibu yang rendah tentang makanan dan gizinya, pengetahuan

merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010). Kurangnya pengetahuan

tentang gizi dan kesehatan pada orang tua, khususnya ibu merupakan salah

satu penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita. Seseorang ibu yang

memiliki pengetahuan dan sikap gizi yang kurang akan sangat berpengaruh

terhadap status gizi balitannya sehingga sukar untuk memilih makanan yang

bergizi untuk anaknya dan keluarganya (Baliwati, 2004).

Penelitian dari Oktarindasarira, dkk (2020) tentang Hubungan

Pengetahuan, Pekerjaan Ibu dan Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tapin Utara, yang menyatakan bahwa ada

hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita dengan Pvalue =0,002.

Hasil penelitian Lonika (2011) juga menyatakan ada hubungan pengetahuan

ibu dengan status gizi balita dengan Pvalue = 0,013.

Permasalahan gizi juga erat kaitannya dengan faktor lingkungan.

Lngkungan menjadi salah satu indikator penilaian derajat kesehatan manusia

(Purnama, 2017). Lingkungan rumah menjadi bagian penting dalam kesehatan

keluarga termasuk sumber evaluasi penting utnuk mendukung kesehatan

secara optimal baik bagi per individu keluarga maupun unit keluarga

(Friedman, dkk, 2010). Rendahnya akses keluarga terhadap sarana sanitasi


5

saat ini, penyakit-penyakit berbasis lingkungan menjadi penyebab kematian

utama di Indonesia terutama pada bayi dan balita (Purnama, 2017). Sanitasi

yang buruk dapat mengundang timbulnya penyakit infeksi pada balita seperti

diare dan kecacingan yang dapat mengganggu proses penceernaan dalam

penyerapan nutrisi. Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat

menyebabkan berat badan anak turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu

yang lama maka dapat mengakibatkan masalah gizi buruk (Pusdatin, 2018).

Hasil penelitian Simbolon Romida (2016) tentang hubungan faktor sosial

ekonomi dan hygiene sanitasi lingkungan dengan status gizi anak Balita di

Desa Nifuboke, yang hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna sanitasi lingkungan dengan status gizi balita.

Penelitian ini juga sama dengan penelitian Aisah sti, dkk (2019)

mengenai personal hygiene dan sanitasi lingkungan berhubungan dengan

kejadian stunting di desa Wukirsari Kecamatan Cangkringan, yang hasil

penelitiannya didapatkan bahwa terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan

dengan kejadian stunting (pvalue=0,000).

Upaya Pemerintah dalam mengatasi perbaikan gizi masyarakat

khususnya balita salah satunya adalah program Keluarga Sadar Gizi

(KADARZI). Program ini berupaya agar keluarga mampu mengenali,

mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Upaya-upaya

tersebut sangat memerlukan kerja sama yang baik antara pihak-pihak terkait.

Peran dari keluarga khususnya ibu sangat diperlukan, karena berkaitan

langsung dengan balita. Faktor yang mempengaruhi status gizi adalah pola

asuh yang tidak tepat (Renstra, 2015). Asupan makanan balita hampir
6

sepenuhnya tergantung pada orang dewasa yang mengasuhnya. Pertumbuhan

anak balita dipengaruhi oleh kualitas makanannya, sementara itu kualitas

makanannya tergantung pada pola asuh yang diterapkan keluarga. Pada

akhirnya permasalahan gizi balita akan muncul sebagai akibat dari praktik

pemberian makan dan pola asuh yang tidak baik (Suiraoka, 2011).

Hasil penelitian Amalia Husnul (2016) tentang hubungan pola asuh gizi

Ibu dengan status gizi balita diwilayah kerja Puskesmas Lamper Tengah Kota

Semarang, dengan hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna pola asuh gizi dengan status gizi balita (pvalue = 0,019).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Dinas Kesehatan

Kabupaten Pasaman Barat tahun 2020 didapatkan jumlah balita sebanyak

4.762 balita dengan persentase balita gizi kurang 13%., balita pendek 20,9%

dan balita kurus 8,3%. (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat,

2020). Puskesmas Air Bangis merupakan salah satu puskesmas yang ada di

Kabupaten Pasaman Barat. Jumlah balita di wilayah kerja Puskesmas Air

bangis tahun 2021 berjumlah 2.314 orang balita dengan 30 orang balita

mengalami gizi kurang dan sangat kurang (Profil Puskesmas Air Bangis,

2021). Dari data tersebut ditemukan mayoritas pekerjaan orang tua balita yaitu

nelayan dengan status kartu keluarganya yaitu keluarga miskin.

Survey yang peneliti lakukan pada 8 orang ibu balita di wilayah kerja

Puskesmas Air Bangis ditemukan 5 dari 8 orang ibu balita bekerja sebagai

nelayan dan yang lainnya sebagai IRT, dengan rata-rata pendidikan ibu

tamatan SD. Dari survey tersebut peneliti menanyakan pendapatan orng tua

balita dan bagaimana pengetahuan ibu mengenai gizi seimbang pada anak. 3
7

ibu balita menjawab bahwa pendapatannya cukup hanya untuk makan sehari-

hari saja, jangankan untuk makan seimbang untuk membeli beras dan lauk

sudah agak susah, mendapatkan ikan dari hasil pergi kelaut. Dan untuk yang

lainya seperti susu belum terpenuhi. 2 dari ibu balita juga mengatakan bahwa

tidak mengetahui tentang gizi seimbang, manfaatnya serta dampak yang

terjadi pada anak jika gizi tidak terpenuhi. Selain itu, berdasarkan wawancara

dengan 3 ibu balita, didapatkan hasil bahwa ibu selama bekerja, menitipkan

balitanya pada nenek atau tetangga. Hal ini menyebabkan pola asuh terutama

praktik pemberian makan yang diterapkan pada balita sesuai dengan keinginan

pengasuh. Seperti halnya balita diberikan susu botol (karena ibu bekerja) dan

makanan pendamping sudah diberikan sebelum balita usia 6 bulan.

Berdasarkan urian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa status ekonomi

dan pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap status gizi balita, yang

nantinya akan berdampak pada tumbuh kembang anak. Maka dari itu penulis

ingin meneliti “ Hubungan Status Ekonomi, Pengetahuan Ibu, Sanitasi

Lingkungan, Dan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Air Bangis Tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka rumusan

masalahnya adalah Apakah ada “Hubungan Status Ekonomi, Pengetahuan

Ibu, Sanitasi Lingkungan Dan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022”?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
8

Untuk mengetahui Hubungan Status Ekonomi, Pengetahuan Ibu,

Sanitasi Lingkungan Dan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Status Ekonomi Ibu di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022.

b. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

c. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

d. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Pola Asuh Gizi di Wilayah Kerja

Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

e. Diketahuinya Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

f. Diketahuinya Hubungan Status Ekonomi Dengan Status Gizi Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

g. Diketahuinya Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

h. Diketahuinya Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Status Gizi

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022.

i. Diketahuinya Hubungan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ibu Balita


9

Untuk memberikan informasi dan meningkatkan pengetahuan ibu

terhadap status gizi balita.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Untuk penerapan ilmu dan memperluas wawasan, merencanakan,

melaksanakan penelitian dan menyusun laporan hasil penelitian khususnya

untuk mengetahui hubungan status ekonomi dan pengetahuan Ibu dengan

status gizi Balita di wilayah kerja Puskesmas Air Bangis.

3. Bagi Tempat Penelitian

Dapat memberikan informasi kepada puskesmas dalam meningkatkan

kinerja petugas kesehatan atau pengelola program gizi dalam rangka usaha

perbaikan gizi pada balita di daerah tersebut.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai referensi dan acuan dalam memberikan

informasi yang berkaitan dengan hubungan status ekonomi dan

pengetahuan Ibu dengan status gizi Balita dan dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dalam hal-hal yang berhubungan dengan status gizi

balita.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Status Ekonomi

Pengetahuan Ibu, Sanitasi Lingkungan Dan Pola Asuh Gizi Dengan Status

Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022. Jenis

penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan desain

cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April s/d Mei Tahun
10

2022 di wilayah kerja Puskesmas Air Bangis. Populasi penelitian ini adalah

seluruh ibu yang mempunyai balita di wilayah kerja Puskesmas Air Bangis

sebanyak 2.314 orang. Dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang dan teknik

pengambilan sampel secara Purposive Sampling. Pengambilan data yaitu data

primer dan sekunder. Data diperoleh melalui wawancara pada responden.

Analisa penelitian ini dilakukan secara Univariat dan Bivariat, pengolahan

data yaitu secara komputerisasi dengan uji Chi Square.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11

A. Tinjauan Teoritis

1. Status Gizi Balita

a. Balita

1) Definisi balita

Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau

biasa juga disebut dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris,

2009). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2014)

seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia 12 bulan sampai

dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa

seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler

dan anak usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah

atau preschool child. Usia balita merupakan sebuah periode

penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang

anak (Febry, 2008).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011)

menjelaskan balita merupakan usia dimana anak mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan

dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat

maupun lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya

herediter, lingkungan, budaya dalam lingkungan, sosial ekonomi,

iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain (Nurjannah, 2013).

2) Karakteristik Balita
11
12

Septiari (2012), menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua

yaitu:

a) Anak usia 1-3 tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak

menerima makanan yang disediakan orang tuanya. Laju

pertumbuhan usia balita lebih besar dari usia prasekolah,

sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Perut

yang lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu

diterimanya dalam sekali makan lebih kecil bila dibandingkan

dengan anak yang usianya lebih besar oleh sebab itu, pola

makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi

sering.

b) Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah

mulai memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat

badan anak cenderung mengalami penurunan, disebabkan

karena anak beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih

maupun menolak makanan yang disediakan orang tuanya.

Anak usia 1 sampai 3 tahun akan mengalami pertumbuhan

fiisik yang relatif melambat, namun perkembangan motoriknya

akan 12 meningkat cepat (Hatfield, 2008). Anak mulai

mengeksplorasi lingkungan secara intensif seperti anak akan

mulai mencoba mencari tahu bagaimana suatu hal dapat

bekerja atau terjadi, mengenal arti kata “tidak”, peningkatan


13

pada amarahnya, sikap yang negatif dan keras kepala

(Hockenberry, 2016).

3) Tumbuh Kembang Balita

Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda,

namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama,

yakni:

a) Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian

bawah. Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke

ujung kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu

dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.

b) Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar.

Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai

penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum

ia mampu meraih benda dengan jemarinya.

c) Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar

mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti

melempar, menendang, berlari dan lain-lain (Yusuf, 2018).

Menurut Yusuf (2018), Pertumbuhan pada bayi dan balita

merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung

perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler

pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses

multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-

ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:

i. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan


14

ii. Bertambahnya ukuran lingkar kepala

iii. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham

iv. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.

v. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut,

kuku, dan sebagainya

vi. Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus

drastic

vii. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola

secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati

penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses

pertumbuhannya berlangsung baik.

viii. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu

sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses

pertumbuhan.

4) Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang

Menurut Evelin dan Djamaludin. N (2010), Dalam proses tumbuh

kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi,

kebutuhan tersebut yakni:

a) Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh)

Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh

kembang anak yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak.

Pada usia ini, perkembangan kemampuan berbahasa,

berkreativitas, kesadaran sosial, emosional dan inteligensi anak

berjalan sangat cepat. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka


15

menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita perlu

diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan

yang diberikan mengandung zat-zat gizi yang sesuai

kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti

komposisi zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang

sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara

baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal.

Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak

perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan

motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang

baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga

daya 13 tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak

mudah terserang penyakit (Sulistyoningsih, 2011).

b) Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).

Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua mengekspresikan

perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman dan

nyaman kepada si anak. Orang tua perlu menghargai segala

keunikan dan potensi yang ada pada anak. Pemenuhan yang

tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan

anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam

kemampuannya membina hubungan yang hangat dengan orang

lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang

baik bagi anak- anaknya. Melalui keteladanan tersebut anak

lebih mudah meniru unsur- unsur positif, jauhi kebiasaan


16

memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat

diarahkan melalui metode pendekatan berlandaskan kasih

sayang (Almatsier, 2008).

c) Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah)

Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan

rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini

dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan

agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal.

Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-

sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan

mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna,

mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat

mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,

kreativitas dan lain- 14 lain. Pemenuhan kebutuhan stimulasi

dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan

majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk

ini meliputi, kecerdasan linguistic, kecerdasan logis-matematis,

kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musical,

kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan

interpersonal, dan kecerdasan naturalis (Sulistyoningsih,

2011).

5) Prinsip Gizi pada Balita


17

Masa balita adalah periode perkembangan fisik dan mental yang

pesat. Pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai

stimuli seperti belajar berjalan dan berbicara lebih lancar.

Kesehatan seorang balita sangat dipengaruhi oleh gizi yang

terserap di dalam tubuh.

Tabel 2.1
Kecukupan Gizi Rata-Rata pada Anak Prasekolah

Gol.Umur BB TB Energi Protein


1-3 tahun 12 kg 89 cm 1220 kkal 23 gr
4-6 tahun 18 kg 108 cm 1720 kkal 32 gr

Sumber: Sibagariang, 2010

Anak di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok

yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga

memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang

paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Masa balita adalah

masa pertumbuhan sehingga memerlukan gizi yang baik. Bila

gizinya buruk maka perkembangan otak pun kurang dan itu akan

berpengaruh pada kehidupan di usia sekolah dan prasekolah

(Sibagariang, 2010).

6) Nutrisi untuk Balita

Menurut Susanti (2018), nutrisi untuk balita terdiri dari:

a) Asam Lemak Otak: asam lemak esensial serta omega 3

merupakan zat gizi yang harus terpenuhi. Sumber dapat

diperoleh dari ASI, sayuran hijau, minyak kanola, kenari, biji

gandum, kacang kedelai dan ikan laut. Selain omega 3/ DHA,


18

AA berfungsi membantu pembentukan senyawa yang bersifat

seperti hormon, yaitu bertugas sebagai pengatur perintah dari

satu sel syaraf lainnya dalm tubuh, termasuk otak.

a. Karbohidrat: karbohidrat merupakan sumber energi yang

diperlukan untuk berbagai proses metabolisme otak.

Karbohidrat terdapat pada: beras, beras merah, tepung,

makaroni, pasta, jagung, sagu dan kentang.

b. Kalori dan Protein: Kalori dibutuhkan dalm proses

metabolisme otak. Kalori dan protein terdapat pada daging

sapi, ayam, ikan, telur, susu dan produk lainnya.

c. Vitamin

d. Zat-zat gizi lainnya seperti taurin, kolin, lecitin, kolesterol,

zat besi.

b. Status Gizi Balita

1) Pengertian Status Gizi

Menurut Aritonang (2007) Status gizi adalah tingkat keadaan

gizi seseorang yang dinyatakan menurut jenis dan beratnya,

keadaan kurang gizi terjadi karena berbagai faktor yang saling

berhubungan. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang

diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan

kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel

pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan,

lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Prima, 2007).


19

Selain itu, status gizi juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan

keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi yang

merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia

dan kualitas hidup. Karena itu program perbaikan gizi bertujuan

untuk meningkatkan mutu konsumsi pangan untuk perbaikan status

gizi masyarakat dan peningkatan status gizi masyarakat diarahkan

pada peningkatan intelektualitas, produktifitas kerja dan penurunan

angka gizi salah, gizi kurang maupun gizi lebih (Supariasa,2012).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian status

gizi merupakan keadaan yang ditunjukkan sebagai konsekuensi

dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke tubuh dan yang

diperlukan. Keadaan gizi merupakan gambaran apa yang

dikonsumsi oleh seseorang dalam jangka waktu yang cukup lama.

Karena itu, ketersedian zat gizi didalam tubuh seseorang (termasuk

anak) menentukan apakah orang tersebut berstatus gizi buruk,

kurang, baik, dan lebih (Maryunani, 2010).

Menurut Aritonang (2010) tingkat gizi seseorang dapat dibagi

atas gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih.

a) Gizi Buruk

Gizi buruk adalah kurang gizi tingkat berat yang disebabkan

oleh rendahnnya konsumsi energi dan protein dari makanan

sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang lama.

b) Gizi Kurang
20

Gizi kurang adalah kurang gizi tingkat sedang yang disebabkan

oleh rendahnya konsumsi energy dan protein dari makanan

sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

c) Gizi Baik

Gizi baik adalah keadaan gizi seseorang menurut ukuran berat

badan dan menurut umur sesuai dengan acuan baku atau

normal, biasanya acuan baku WHO. Keadaan gizi baik terjadi

karena adannya keseimbangan jumlah makanan yang dimakan

dan yang dibutuhkan tubuh.

d) Gizi Lebih

Gizi lebih adalah keadaan gizi seseorang yang pemenuhan

kebutuhannya melebihi batas lebih dari cukup (kelebihan)

dalam waktu cukup lama.

Tabel 2.2
Klasifikasi Status Gizi
Kategori Status Ambang batas
Indeks
Gizi (Z-score)
Berat badan sangat < -3 SD
kurang (Severaly
Berat Badan
underweight)
menurut Umur
Berat badan kurang -3 SD sampai
(BB/U) Anak
(underweight) dengan < -2 SD
Umur 0-60
-2 SD sampai dengan
bulan Berat badan normal
+1 SD
Resiko berat badan
>+1 SD
lebih1
Tinggi Badan Sangat Pendek
<-3 SD
atau panjang (severaly stunted)
Badan menurut -3 SD sampai
Pendek (Stunted)
Umur (TB/U) dengan <-2 SD
atau (PB/U) -2 SD sampai
Normal
Anak Umur 0- dengan +3 SD
21

60 bulan
Tinggi2 > +3 SD

Gizi buruk <-3 SD


(severely wasted)
Berat Badan Gizi kurang - 3 SD sd <- 2 SD
menurut (wasted)
Panjang Badan
atau Tinggi Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
Badan (BB/PB
atau BB/TB) Berisiko gizi lebih
> + 1 SD sd + 2 SD
anak usia 0 - 60 (possible risk of
bulan overweight)
Gizi lebih > + 2 SD sd + 3 SD
(overweight)
> + 3 SD
Obesitas (obese)

Gizi buruk <-3 SD


(severely wasted)3
Gizi kurang - 3 SD sd <- 2 SD
(wasted)3
Indeks Massa -2 SD sd +1 SD
Gizi baik (normal)
Tubuh menurut
Umur (IMT/U) Berisiko gizi lebih
anak usia > + 1 SD sd + 2 SD
(possible risk of
0 - 60 bulan overweight)
Gizi lebih > + 2 SD sd +3 SD
(overweight)
> + 3 SD
Obesitas (obese)

Gizi buruk <-3 SD


(severely thinness)
Indeks Massa
Tubuh menurut Gizi kurang - 3 SD sd <- 2 SD
Umur (IMT/U) (thinness)
anak usia 5 - 18 -2 SD sd +1 SD
tahun Gizi baik (normal)

Gizi lebih + 1 SD sd +2 SD
(overweight)
> + 2 SD
Obesitas (obese)

Sumber : Permenkes RI, 2020.

Keterangan:
22

1. Anak yang termasuk pada kategori ini mungkin memiliki

masalah pertumbuhan, perlu dikonfirmasi dengan BB/TB

atau IMT/U

2. Anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya

tidak menjadi masalah kecuali kemungkinan adanya

gangguan endokrin seperti tumor yang memproduksi

hormon pertumbuhan. Rujuk ke dokter spesialis anak jika

diduga mengalami gangguan endokrin (misalnya anak yang

sangat tinggi menurut umurnya sedangkan tinggi orang tua

normal).

3. Walaupun interpretasi IMT/U mencantumkan gizi buruk

dan gizi kurang, kriteria diagnosis gizi buruk dan gizi

kurang menurut pedoman Tatalaksana Anak Gizi Buruk

menggunakan Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan

atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB).

2) Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi ada dua cara pengukuran yaitu penilaian

secara langsung dan penilaian secara tidak langsung (Supariasa,

dkk, 2001).

a) Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi

empat penilaian yaitu: pemeriksaan klinis, biokimia,

antropometri, dan secara biofisik.

i. Pemeriksaan Klinis
23

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting

untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini

didasarkan atas perubahan – perubahan yang terjadi

yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi.

Survey ini di rancang untuk mendeteksi secara cepat

tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu

atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk

mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan

melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan

gejala (symptom) atau riwayat penyakit.

ii. Penilaian secara biokimia

Penilaian status gizi secara biokimia adalah

pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratorium

yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.

jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine,

tinja dann juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan

otot.

iii. Penilaian secara biofisik

Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode

penentuan status gizi dengan melihat kemampuan

fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan

struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan

dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja


24

epidemic. Cara yang dilakukan adalah tes adaptasi

gelap.

iv. Penilaian secara antropometri

Antropometri artinya ukuran tubuh manusia, ditinjau

dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran

dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi. Seperti berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur

(TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

b) Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga

yaitu:

i. Survey konsumsi makanan

Survey konsumsi makanan adalah metode penilaian

status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlat

dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data

konsumsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,

keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi

kelebihan dan kekurangan zat gizi.

ii. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah

dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan


25

seperti angka kematian berdasarkan umur, angka

kesakitan, dan angka kematian akibat penyebab tertentu

dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

iii. Faktor ekologi

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan

masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor

fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah

makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan

ekologi seperti iklim, tanah, irigasi. Pengukuran faktor

ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui

penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar

untuk melakukan program intervensi gizi.

3) Penilaian Status Gizi secara Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau

dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi (Suparisa, 2012).

a) Keunggulan antropometri

i. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan

dalam jumlah sampel yang besar

ii. Relatif tidak memerlukan tenaga ahli, tetapi cukup

dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu

singkat dapat melakukan pengukuran antropometri


26

iii. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat

dipesan, dan dibuat didaerah setempat

iv. Metode ini tepat dan akurat, karena sudah dibakukan.

v. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi

dimasa lampau

vi. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang,

kurang dan gizi buruk karena sudah ada ambang batas

yang jelas

vii. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan

status gizi pada periode tertentu, atau dari generasi ke

generasi berikutnya

viii. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk

penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.

b) Kelemahan Antropometri

i. Tidak sensitif : metode ini tidak dapat mendeteksi status

gizi dalam waktu singkat, disamping itu tidak dapat

membedakan kekurangan gizi yang spesifik

ii. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat

mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas

pengukuran antropometri gizi

iii. Kesalahan ini terjadi karena :

(1) Pengukuran

(2) Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun

komposisi pengukuran
27

(3) Analisis dan asumsi yang keliru

iv. Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan :

(1) Latihan petugas yang tidak cukup

(2) Kesalahan alat atau alat tidak ditera

(3) Kesulitas pengukuran

4) Jenis Parameter Status Gizi Anak Balita

a) Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.

Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi

data status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan

dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak

disertai dengan penentuan umur yang tepat.

b) Berat Badan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air

dan mineral pada tulang. Berat badan merupakan ukuran yang

paling baik mengenai konsumsi energi dan protein serta

merupakan suatu pencerminan dari kondisi yang sedang

berlaku.

i. Parameter yang baik, mudah terlihat perubahan dalam

waktu singkat karena perubahan-perubahan konsumsi

makanan dan kesehatan

ii. Memberikan gambaran status gizi sekarang

iii. Merupakan ukuran yang sudah umum dipakai di

Indonesia (Nadila, 2019)


28

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian

status gizi. Indeks antropometri yang sering digunakan yaitu

Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut

Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

a) Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang

memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat

sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,

misalnnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya

nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang

dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri

yang sangat labil. Berat badan adalah parameter

antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik

berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur

digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.

Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara lain :

i. Lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat

umum.

ii. Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis

iii. Berat badan dapat berfluktuasi

iv. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil

v. Dapat mendeteksi kegemukan (overweight).

Indeks BB/U mempunyai Kelemahan antara lain :


29

i. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk

anak dibawah usia lima tahun

ii. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti

pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat

penimbangan

iii. Secara operasional sering mengalami hambatan

karena masalah sosial budaya setempat. Dalam hal

ini orang tua tidak mau menimbang anaknnya,

karena dianggap seperti barang dagangan dan

sebagainya (Nadila, 2019).

b) Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada

keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti

berat badan relatif kurang sensitif terhadap masalah

kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh

defisiensi zat gizi (malnutrisi) terhadap tinggi badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama Indeks TB/U

mempunyai beberapa kelebihan antara lain :

i. Baik untuk menilai status gizi masa lampau

ii. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan

mudah dibawa

Indeks TB/U mempunyai beberapa kekurangan antara lain :


30

i. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak

mungkin turun

ii. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus

berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk

melakukannya

iii. Ketepatan umur sulit didapat (Nadila, 2019).

c) Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan

tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat

badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan

dengan kecepatan tertentu. Jellife pada tahun 1966 telah

memperkenalkan indeks ini untuk mengidentifikasi status

gizi. Indeks BB/TB merupakan indikator untuk menilai

status gizi saat ini (sekarang).

Indeks BB/TB mempunyai beberapa kelebihan antara lain :

i. Tidak memerlukan data umur

ii. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk ,

normal dan kurus).

Indeks BB/TB mempunyai kekurangan antara lain:

i. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak

tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan

tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur

tidak dipertimbangkan
31

ii. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam

melakukan pengukuran tinggi atau panjang badan

pada balita

iii. Membutuhkan dua macam alat ukur

Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil

pengukuran, terutama bila dilakukan oleh kelompok

non professional (Nadila, 2019).

5) Faktor-Faktor Penyebab Gizi Kurang Pada Balita

Faktor penyebab kurang gizi tersebut terdiri dari penyebab

langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat

dan akar masalah.

a) Penyebab langsung

Penyebab langsung berupa makanan (gizi) yang dikonsumsi

dan ada tidaknya penyakit yang diderita seseorang, akan secara

langsung sebagai penyebab terjadinya gizi kurang. Timbulnya

gizi kurang tidak hanya disebabkan konsumsi makanan yang

kurang, tetapi juga karena penyakit yang diderita. Misalnya,

anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita

sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian

pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka

daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang

penyakit.

b) Penyebab tidak langsung


32

Digambarkan dengan adanya tiga penyebab tidak langsung gizi

kurang, yakni :

i. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai,

sehingga setiap anggota keluarga diharapkan mampu

untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota

keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah

maupun mutu gizinya.

ii. Pola pengasuhan anak kurang memadai, sehingga setiap

keluarga dan masyarakat diharapkan dapat

menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap

anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan

normal baik fisik, mental dan sosial.

iii. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai,

sehingga sistem pelayanan kesehatan yang ada

diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan

sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh

setiap keluarga yang membutuhkan.

Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat

pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga. Makin

tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan,

maka makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga.

Demikian pula, makin baik pola pengasuhan, maka akan

makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan

kesehatan.
33

c) Pokok masalah di masyarakat

Pokok masalah di masyarakat yaitu kurangnya pemberdayaan

keluarga dan pemanfaatan sumberdaya masyarakat berkaitan

dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langung.

d) Akar masalah

Akar masalaha ini yaitu, kurangnya pemberdayaan wanita dan

keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumberdaya masyarakat

terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan

kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan

keresahan sosial. Keadaan tersebut telah memicu munculnya

kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan

pangan keluarga yang tidak memadai (Aritonang, 2011).

6) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi balita, yaitu:

a) Keadaan Infeksi

Ada hubungan yang erat antara infeksi (bakteri, virus dan

parasit) dengan kejadian malnutrisi. Ditekankan bahwa terjadi

interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit

infeksi (Supariasa, 2009). Penyakit infeksi akan menyebabkan

gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan

bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu

penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga

menurunkan nafsu makan (Arisman, 2009).


34

Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik

secara sendirisendiri maupun bersamaan, yaitu penurunan

asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya

absorbsi dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit,

peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare,

mual/muntah dan perdarahan terus menerus serta meningkatnya

kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit dan

parasit yang terdapat dalam tubuh (Supariasa, 2009).

b) Tingkat komsumsi makanan

Konsumsi makanan oleh keluarga bergantung pada jumlah

dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam

keluarga. Hal ini bergantung pada pendapatan, agama, adat

kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dinegara Indonesia yang

jumlah pendapatan penduduk sebagian rendah adalah golongan

rendah dan menengah akan berdampak pada pemenuhan bahan

makanan terutama makanan yang bergizi (Almatsier, 2008).

Pengukuran konsumsi makan sangat penting untuk mengetahui

kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat

berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet

yang dapat menyebabkan malnutrisi (Supariasa, 2009).

Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara

kualitas maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak

yang makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan

melemah dan mudah terserang infeksi (Ernawati, 2009).


35

c) Pengaruh budaya

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya

antara lain sikap terhadap makanan, penyebab penyakit,

kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam hal sikap terhadap

makanan, masih terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam

masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi

rendah. Konsumsi makanan yang rendah juga disebabkan oleh

adanya penyakit, terutama penyakit infeksi saluran pencernaan.

Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak yang

terlalu banyak akan mempengaruhi asupan gizi dalam

keluarga. Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah, juga

dipengaruhi oleh produksi pangan. Rendahnya produksi

pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan

teknologi yang bersifat tradisional (Supariasa, 2009).

d) Penyediaan Pangan

Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi

produksi pangan dalam menghasilkan bahan makanan pokok,

lauk -pauk, sayur-mayur dan buah-buahan. Merupakan

program untuk menambah nutrisi pada balita ini biasanya

diperoleh saat mengikuti posyandu. Adapun pemberin

tambahan Universitas Sumatera Utara makanan tersebut berupa

makanan pengganti ASI yang biasa didapat dari puskesmas

setempat (Almatsier, 2008). Penyebab masalah gizi yang pokok

di tempat paling sedikit dua pertiga dunia adalah kurang


36

cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal, kesehatan, dan

kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan berkaitan dengan

ketersediaan pangan dalam keluarga. Tidak tersedianya pangan

dalam keluarga yang terjadi terus menerus akan menyebabkan

terjadinya penyakit kurang gizi (Ernawati, 2009).

e) Keterjangkauan kesediaan pelayanan

Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap

pelayanan kesehatan dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh

berbagai kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya karena

tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang

ditentukan tanpa diantar (Ernawati, 2009). Beberapa aspek

pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi

anak antara lain: imunisasi, pertolongan persalinan,

penimbangan anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana

kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek

bidan dan dokter. Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap

sarana pelayanan kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil

risiko terjadinya penyakit gizi kurang (Ernawati, 2009).

f) Hygiene dan sanitasi lingkungan

Hal ini bergantung pada kebersihan lingkungan atau ada

tidaknya penyakit yang berpengaruh zat-zat gizi oleh tubuh.

Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air

bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan

peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih


37

Universitas Sumatera Utara untuk kebutuhan sehari-hari, makin

kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman,

2008). Higienitas makanan adalah Tindakan nyata dari ibu anak

balita dalam kebersihan dalam mengelola bahan makanan,

penyimpanan sampai penyajian makanan balita

g) Tingkat pendapatan

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki

posisi pertama pada kondisi yang umum di masyarakat

(Ernawati 2009). Batas kriteria UMR (Upah mimimum

regional) menurut BPS untuk daerah pedesaan adalah

Rp.1.375.000,-

h) Tingkat pendidikan ibu

Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi

tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan

lebih mempertahankan tradisitradisi yang berhubungan dengan

makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang

Gizi. Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan

mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin

mudah dia menyerap informasi yang diterima termasuk

pendidikan dan informasi gizi yang mana dengan pendidikan

gizi tersebut diharapkan akan tercipta pola kebiasaan yang baik

dan sehat Universitas Sumatera Utara (Ernawati 2009). Tingkat

pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau


38

masyarakat untuk menyerap informasi dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup

sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan perbaikan gizi.

Tingkat pendidikan dapat disederhanakan menjadi pendidikan

tinggi (tamat SMA- lulusan PT) dan pendidikan rendah (tamat

SD – tamat SMP). Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah

untuk daerah wajib belajar 12 tahun (Nuh, 2013) .

i) Pengetahuan ibu tentang gizi

Pengetahuan tentang kadar gizi dalam berbagai bahan

makanan, kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat

membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak

begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Yusrizal 2008).

Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada

rendahnya anggaran untuk belanja pangan dan mutu serta

keanekaragaman makanan yang kurang. Keluarga lebih banyak

membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan

lingkungan. Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena

kurangnya kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi

dalam kehidupan sehari-hari (Ernawati 2009).

2. Status Ekonomi

Status sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau kedudukan yang

diatur secara sosial dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat,

pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang
39

hanya dipenuhi sipembawa statusnya, misalnya pendapatan, pekerjaan,

dan pendidikan (Rosalina, 2013).

Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang

adalah tingkat pendapatan keluarga, dalam hal ini adalah daya beli

keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain

tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga bahan

makanan itu sendiri, serta tingkat pengolahan sumber daya lahan dan

pekarangan. Keluarga kurang mampu kemungkinan besar akan kurang

dapat memenuhi kebutuhan makanannya, terutama untuk memenuhi

kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (Aryanti, 2010).

Pendapatan keluarga dapat menentukan pola makan. Orang dengan

tingkat pendapatan rendah biasanya akan membelanjakan sebagian

pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi

tinggi akan berkurang belanja makanan, karena sudah merasa tercukupi

kebutuhan makanan sehingga lebih banyak dialihkan untuk keperluan

selain membeli makanan. Pendapatan merupakan faktor paling

menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai

uang, berarti semakin baik makanan yang diperoleh. Dengan kata lain

semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dan

penghasilan, tersebut untuk membeli buah, sayuran, dan berapa jenis

makanan lainnya (Aryanti, 2010).

Karakteristik sosial ekonomi:

a. Tingkat penghasilan
40

Tingkat penghasilan merupakan penghasilan rata-rata keluarga tiap

bulan. Tingkat pendapatan menjadi tolak ukur status ekonomi

keluarga. Rendahnya tingkat pendapatan dapat mengakibatkan daya

beli keluarga menurun. Penghasilan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan keluarga secara umum diperoleh dari anggota keluarga yang

bekerja atau dari sumber penghasilan sendiri seperti tunjangan dan

uang pensiunan. Keluarga berpenghasilan rendah memiliki prevalensi

sakit, kelemahan, kronitas penyakit dan keterbatasan kegiatan karena

masalah kesehatan. Permasalahan kemiskinan kemungkinan

menyebabkan kondisi gizi memburuk dan perumahan yang tidak sehat.

(Yanuar, 2011)

Status ekonomi keluarga dapat mempengaruhi daya beli dan

konsumsi pangan sehingga mempengaruhi status gizi pada anak.

semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari

penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur-mayur

dan berbagai jenis bahan pangan lainnya.(Rahmawati, 2013).

Dari data yang di peroleh dari Puskesmas Air Bangis untuk Upah

Minimum saat ini di Pasaman Barat yaitu Rp.2.484.041-,.

b. Pendidikan orang tua

Salah satu penyebab tidak langsung dari masalah stunting adalah

sosial ekonomi keluarga yang di pengaruhi oleh tingkat pendidikan

orang tua, karena jika pendidikan tinggi semakin besar peluangnya

untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Rendahnya pendidikan

ibu merupakan penyebab utama dari kejadian stunting pada anak


41

sekolah. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi lebih memungkinkan

untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan

anak-anaknya. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan kemudahan

ibu dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang di peroleh.

Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan

yang tepat dari kepentingan gizi keluarga. Pendidikan diperlukan agar

seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap status gizi pada anak.

(Adriani,2012).

3. Pengetahuan Ibu

a. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari setelah tahu, dan ini terjadi orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoadmojo, 2010).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk dalam

menentukan tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan

penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari perilaku yang tidak didasarkan oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).

b. Pembagian Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan (Notoatmodjo, 2010) :

1) Tahu (know)
42

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya atau pengetahuan menginggat kembali

terhadap apa yang telah diterima yang bisa dikatakan suatu kata

kerja untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang atau si ibu

tentang apa yang telah dipelajari.

2) Memahami (comprehenssion)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi yang sebenarnya.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu komponen untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Pengetahuan gizi orang tua dan pengasuh anak ternyata sangat

berpengaruh terhadap pilihan makanan anak. Tingkat pengetahuan gizi

yang dipraktikkan pada perencanaan makanan keluarga tampaknya


43

berhubungan dengan sikap positif ibu terhadap diri sendiri, kemampuan

ibu dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi keluarga (Almatsier,

2011).

Pengetahuan tentang kadar gizi dalam berbagai bahan makanan,

kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih

bahan makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya

tinggi. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat pada rendahnya

anggaran untuk belanja pangan dan mutu serta keanekaragaman makanan

yang kurang. Keluarga lebih banyak membeli barang karena pengaruh

kebiasaan, iklan dan lingkungan. Selain itu gangguan gizi juga disebabkan

karena kurangnya kempampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi

dalam kehidupan sehari-hari (Zebua, 2014).

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan dikelompokkan

menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai

berikut :

1) Tingkat pengetahuan kategori baik jika nilainya > 50%

2) Tingkat pengetahuan kategori kurang baik jika nilainya ≤ 50%

(Budiman, 2013).

4. Sanitasi Lingkungan

a. Konsep Sanitasi Lingkungan Keluarga

Lingkungan adalah salah satu indikator penilaian derajat

kesehatan manusia. Lingkungan rumah menjadi bagian penting dalam

kesehatan keluarga termasuk sumber evaluasi penting untuk

mendukung kesehatan secara optimal baik bagi per individu keluarga


44

maupun unit keluarga (Friedman, dkk, 2010). Menurut Purrnama

(2017), sanitasi merupakan salah satu komponen kesehatan lingkungan

yaitu perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan

maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan

bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan

meningkatkan kesehatan manusia. Sanitasi juga diartikan sebagai

upaya pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha

kesehatan lingkungan (Topowijono, 2018). Sanitasi lingkungan sendiri

merupakan salah satu usaha untuk mencapai lingkungan sehat melalui

pengendalian faktor lingkungan fisik khususnya hal-hal yang

mempunyai dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan

keberlangsungan hidup manusia (Purnama, 2017). Sanitasi lingkungan

adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan,

pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Rohmat,

2009).

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas

kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpulan tinggal di satu

atap dalam keadaan saling bergantungan (Harnilawati, 2013). Dapat

disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan keluarga adalah status

kesehatan pada suatu lingkungan yang berpengaruh kepada

perkembangan fisik, kesehatan dan keberlangsungan hidup manusia

yang hidup dalam satu lingkup atap rumah. Dari defenisi tersebut,

sanitasi lingkungan keluarga ditujukan untuk memenuhi persyaratan

lingkungan yang sehat dan nyaman. Lingkungan yang sanitasinya


45

buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat

mengganggu kesehatan manusia.

Sanitasi lingkungan yang sehat disebuah kelaurga harus dijaga

dan dipelihara oleh semua pihak. Maka pembangunan sanitasi

lingkungan harus atas dasar sebuah landasan yaitu untuk menanamkan

kesadaran akan pentingnya sanitasi lingkungan dalam sebuah keluarga.

Sanitasi lingkungan yang adekuat merupakan dasar terbentuknya

keluarga yang sehat, sehingga hal ini juga akan meningkatkan ekonomi

dan kondisi sosial sebuah keluarga (Pusdatin, 2018). Jika salah satu

komponen tersebut biasa terpenuhi maka morbiditas dan angka

permasalahan gizi bisa diturunkan , salah satunya gizi kurang yaitu

permasalahan gizi yang dapat timbul akibat sanitasi lingkunga yang

tidak sehat (Fregonese, dkk, 2017).

b. Model Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan yang adekuat merupakan capaian target

Pembangunan Sustainable Development Goal’s (SDG’s) PBB ditahun

2030 yang telah diselenggarakan di Indonesia pada Program Sanitasi

Total Berbasis Masyarakat (STBM). Program pendekatan pemerintah

brtujuan untuk memperkuat upaya menyelenggrakan sanitasi total

berbasis masyarakat (Kemenkes RI, 2015). Ciri dari lingkungan yang

sehat adalah lingkungan yang bersih dan rapi, tidak terdapat genangan

air, sampah yang tidak berserakan, udara yang segar dan nyaman,

tersedianya air bersih, tersedianya jamban sehat, dan tidak terdapat

vektor penyakit (Kemenkes RI, 2013). Panduan untuk menilai


46

kelayakan sanitasi lingkungan rumah agar adapat mewujudkan

keluarga sehat sejahtera, antara lain:

1) Sarana Air Bersih

Air adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sehari-hari. Air merupakan suatu sarana utama untuk

menigkatkan kesehatan. Fungsi terpenting dari sistem penyediaan

air bersih adalah pencegahan penyebaran penyakit melalui air

(Majelis Ulama Indonesia, 2016). Sumber air yang digunakan oleh

masyarakat Indonesia berasal dari sumur, sumber mata air, sumur

bawah tanah, atau didapatkan dari perusahaan penyediaan air milik

Negara (Sarana Multi Infrastruktur, 2019). Kriteria air yang

dimaksud dalam sanitasi lingkungan tentu merupakan air bersih

yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Permenkes No. 416

tahun 1990 tentang syarat dan pengawasan kualitas air, kualitas air

yang memenuhi syarat kesehatan meliputi pengawasan fisika,

mikrobiologi, kimia dan radioaktif. Pengawasan ini bertujuan

untuk mencegah penurunan kualitas air, penggunaan air yang

mampu mengganggu dan membahayakan serta meningkatkan

kualitas air itu sendiri.

Bentuk fisik dari air yang memenuhi syarat kesehatan adalah

tidak berbau, tidak mengandung zat padat terlarut, kekeruhan dari

air, tidak berasa, suhu air sesuai dengan suhu lingkungan sekitar

dan tidak berwarna. Pada saat pembuatan sarana air bersih, jarak

minimal sumber air dengan jamban atau tempat pembuangan


47

sampah minimal 10 meter agar tidak terjadi pencemaran. Indikator

organisme yang dipakai sebagai parameter mikrobiologi

pencemaran air bersih dari tinja hewan dan manusia adalah bakteri.

Parameter kiia dibedakan menjadi kimia organik dan anorganik.

Kimia anorganik berupa logam, zat reaktif, zat berbahaya dan

beracun lain yang mampu mengikat oksigen. Zat radioaktif dapat

menimbulkan efek kerusakan sel yang menyebabkan kematian sel

maupun perubahan komposisi genetik.

2) Sara Pembuangan Sampah

Tempat sampah yang digunakan dalam lingkungan rumah

dapat terbuat dari kayu, batu bata, dan lain sebagainya. Tempat

sampah yang diharapkan dalam sanitasi sehat adalah memiliki

penutup dan juga kedap dari air. Hal ini untuk menghindari

serangga atau binatang lain yang masuk ke tempat sampah

sehingga terjadi pencemaran lingkungan dan resiko penyebaran

penyakit. Tempat sampah sebaiknya mudah untuk dibersihkan

sehingga mudah dalam proses pembuangan sampah, Kemenkes RI,

2014).

3) Sarana Jamban

Jamban atau sarana pembuangan kotoran manusia (tinja)

merupakan tempat yang aman dan nyaman digunakan untuk buang

air besar. Keberadaan jamban selain harus nyaman dan aman tetapi

juga memenuhi syarat-syarat kesehatan untuk mencegah penularan

penyakit, khususnya dalam usaha pencegahan penularan penyakit


48

saluran pencernaan. Jamban keluarga didefenisikan suatu bangunan

yang diperlukan untuk membuang tinja atau kotoran manausia

pada keluarga. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, maka

pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat menvcemari

lingkungan, terutama dalam mencemari tanah dan sumber air

(Purnama, 2017).

Jamban yang sehat memiliki lima kriteria diantaranya,

mencegah kontaminasi air, mencegah kontak tinja dengan manusia,

mencegah tinja agar tidak dihinggapi serangga maupun binatang

lain, dan memiliki kontruksi yang aman untuk digunakan. Jamban

yang sehat berbentuk permanen ataupun non permanen selama

masih mengikuti lima kriteria tersebut bisa dikategorikan sebagai

jamban yang sehat. Walaupun jamban sehat juga bisa bersifat non

permanen karena memiliki umur pemakaian yang singkat sehingga

lama kelamaan jamban non permanen dapat menjadi jamban yang

tidak sehat. Bangunan jamban terdiri dari tiga bagian utama yaitu

rumah jamba, dudukan atau slab, dan tempat penampungan tinja.

Ketika pembangunan rumah jamban, perlu diperhatkan sirkulasi

uara didalamnya. Slab juga harus memperhitungkan keamanan

penggunaanya sehingga saat dipakai tidak licin, mudah runtuh, dan

mampu melindungi dari bau yang tidak sedap dari lubang

penampungan. Jamban yang sehat juga memiliki bentuk leher

angsa akan mencegah kotoran yang sudah dibuang naik kembali ke

permukaan. Selanjutnya untuk tempat penampungan harus mampu


49

meminimalisir pencemaran ke tanah dan air yang ada disekitarnya

(Purnama, 2017).

4) Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Air limbah dalam rumah tangga terdiri dari dua jenis yaitu grey

water dan black water. Grey water merupakan air bekas campuran

dapur, mesin cuci, dan air dari kamar mandi. Grey water bisa

disebut juga dengan sullage. Black water merupakan campuran

feses, urine dan air bilasan toilet yang banyak mengandung

mikroba pathigen (Tendean, 2014). Pembuangan air limbah rumah

tangga dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu langsung

disalurkan jauh dari daerah tempat tinggal dan menyalurkan

langsung ke alam tanpa diolah sebelumnya. Namun, terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi jika air limbah langsung

dibuang ke alam yaitu tidak mengotori sumber air minum, tidak

menjadi tempat perkembang biak penyakit, dan tidak mengganggu

hajat hidup orang lain seperti menimbulkan bau atau merusak

keindahan. Air limbah sebaiknya tidak langsung dibuang ke sungai

namun terlebih dahulu disalurkan ke penampungan induk dalam

keadaan tertutup sehingga akan mengurangi pencemaran baik

dalam segi bau maupun bahan kimia dann patogen yang

terkandung didalamnya (Purnama, 2017).


50

5. Pola Asuh Gizi

a. Pengertian Pola Asuh Gizi

Pola asuh gizi merupakan asupan makan dalam rangka menopang

tumbuh kembang fisik dan biologis balita secara tepat dan berimbang

(Eveline & nanang D, 2010).

Pola pengasuhan anak berupa sikap perilaku ibu atau pengasuh lain

dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,

kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya

berhubungan dengan keadaan ibu terutama dalam kesehatan, status gizi,

pendidikan umum, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan

anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifat

pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga, masyarakat dan

sebagainya dari ibu atau pengasuh anak (Soekirman, 2000).

Menurut (LIPI, 2000), aspek kunci pola asuh gizi:

1) Perawatan dan perlindungan bagi ibu untuk anaknya

2) Praktek menyusui dan pemberian MP-ASI

3) Pengasuhan psiko-sosial

4) Penyiapan makanan

5) Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan

6) Praktek kesehatan dirumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan.

Masalah gizi dipengaruhi oleh salah satunya adalah pola asuh

ibu terhadap anaknya. lemahnya kemampuan ibu dan keluarga untuk

memberikan pola asuh akan berakibat pada kejadian gizi kurang bahkan

gizi buruk pada anak balita.


51

1) Perawatan dan perlindungan bagi ibu untuk anaknya

Setiap orangtua berkewajiban untuk memberikan perawatan dan

perlindungan yang aman dan nyaman bagi anak. Masa lima tahun

pertama merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik,

psikis, maupun kecerdasan otak sehingga masa ini anak

mendapatkan perawatan dan perlindungan yang intensif (Eveline &

nanang D, 2010).

Bentuk perawatan bagi anak dimulai sejak bayi lahir sampai

dewasa misalnya sejak bayi lahir yaitu memotong tali pusat,

pemberian makanan dan sebagainya. Perlindungan bagi anak berupa

pengawasan waktu bermain dan pengaturan tidur.

2) Pemberian Makan

Pemberian makanan merupakan bentuk mendidik ketrampilan

makan, membina kebiasaan makan, membina selera terhadap jenis

makanan, membina kemampuan memilih makanan untuk kesehatan

dan mendidik perilaku makan yang baik dan benar sesuai

kebudayaan masing-masing. Kekurangan dalam pemberian makan

akan berakibat sebagai masalah kesulitan makan atau kekurangan

nafsu makan yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada

kesehatan dan tumbuh kembang nantinya (Waryana, 2010).

Makanan tambahan mulai diberikan pada bayi setelah bayi

berusia 6 bulan, ASI pun harus tetap diberikan kepada bayi paling

tidak sampai usia 24 bulan. Makanan tambahan bagi bayi ini harus

menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Jadi


52

makanan tambahan bagi bayi berguna untuk menutupi kekurangan

zat gizi yang terkandung didalam ASI (Waryana, 2010).

a) Tujuan Pemberian makanan Tambahan

Tujuan pemberian makanan tambahan pada bayi usia lebih

dari 6 bulan adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang

diperlukan bayi karena ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan

bayi yang semakin meningkat, seiring dengan bertambahnya

umur dan berat badan. Gangguan terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak yang normal dapat terjadi ketika kebutuhan

energi dan zat gizi bayi tidak terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan

asupan makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI saja atau

pemberian makanan tambahan yang kurang memenuhi syarat.

Disamping itu faktor terjadinya infeksi pada saluran pencernaan

memberi pengaruh yang cukup besar (Waryana, 2010).

b) Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pemberian makanan

Menurut Waryana (2010), syarat pemebrian makanan apada anak

adalah:

(1) Makanan harus mengandung semua zat gizi yang diperlukan

oleh bayi

(2) Berikan makanan setelah bayi menyusui

(3) Pada permulaan, makanan tambahan harus diberikan dalam

keadaan halus.

(4) Gunakan cendok atau cangkir untuk memberi makanan.


53

(5) Makanan bayi mudah disiapkan dengan waktu pengolahan

yang singkat.

(6) Susunan hidangan sesuai dengan pola menu seimbang, bahan

makanan yang tersedia dan kebiasaan makan

(7) Bentuk dan porsi disesuaikan dengan selera dan daya makan

bayi

(8) Makanan harus bersih dan bebas dari kuman.

c) Cara Pemberian Makanan Tambahan

Makanan tambahan dapat diberikan secara efisien, untuk itu dapat

diperlihatkan hal-hal sebagai berikut:

(1) Berikan secara hati-hati, sedikit demi sedikit dari bentuk

encer, berangsur-angsur ke bentuk yang lebih kental.

(2) Makanan baru diperkenalkan satu persatu dengan

memperhatikan bahwa makanan betul-betul dapat diterima

dengan baik

(3) Cara pemberian makanan bayi mempengaruhi perkembangan

emosinya. Oleh karena itu jangan dipaksa, sebaiknya

diberikan pada saat ia lapar (Hanum Marimbi, 2010).

d) Waktu pemberian makanan tambahan pada bayi

Menurut Hanum Marimbi (2010) makanan tambahan diberikan

pada bayi setelah bayi berumur 6 bulan. Adapun garis besar

pemberian makanan tambahan menurut umur:

(1) 0 – 6 bulan
54

Bayi hanya diberikan ASI, lebih sering, lebih baik segera

setelah lahir, ASI yang berwarna kekuning-kuningan

(kolostrum) diberikan kepada bayi.

(2) 6 – 8 bulan

Pada usia 6 – 8 bulan merupakan usia awal bayi

mengenal makanan. Fungsi pencernaan bayi sudah cukup

berkembang baik, walaupun belum optimal. Selama enam

bulan pertama, bayi hanya memperoleh ASI sebagai bahan

utama sehingga pada tahap awal pengenalan makanan

tambahan selain ASI, sebaiknya bayi diberi makanan yang

sudah dihaluskan, encer dan lembut seperti sari buah atau

bubur susu. makanan yang diberikan juga terdiri dari satu

macam bahan atau campuran dua bahan makanan agar bayi

lebih mudah menerimanya.

Tujuan pemberian makanan yang sudah dihaluskan agar

sistem pencernaan bayi tidak kaget saat menerima makanan

selain ASI, sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan.

makanan yang dihaluskan terdiri dari buah dan sayuran

misalnya buah pisang merupakan sumber kalori yang baik

bagi bayi karena tinggi karbohidrat dan fruktusa atau gula

dalam buah. Pepaya salah satu jenis buah yang baik diberikan

untuk bayi, selain kaya akan vitamin dan mineral, pepaya

juga tinggi serat (Budi sutomo & Dwi Yanti A, 2010).


55

Selain makanan yang sudah dihaluskan, bubur beras

yang terbuat dari tepung beras merah maupun tepung beras

putih dapat menjadi makanan tambahan selain ASI. Pada

tahap awal, kepadatan bubur beras dapat dibuat encer dengan

menambahkan komposisi ASI, susu atau air matang. Setelah

beberapa waktu kepadatan bubur dapat dibuat lebih kental

(Budi sutomo & Dwi Yanti A, 2010).

(3) 8 – 10 bulan

Pada usia 8 – 10 bulan sistem pencernaan bayi sudah

berkembang dan gigi geligi mulai tumbuh. Tingkat keinginan

bayi untuk mengeksplorasi makanan juga mulai tumbuh,

karena itu di usia 8 – 10 bulan, bayi mulai diperkenalkan

dengan makanan berbentuk lembek dan lembut. Pada usia 9–

10 bulan dapat diperkenalkan dengan bubur saring yang

memiliki tekstur sedikit lebih kasar dari pada bubur lembek

yang diberikan pada usia 8 – 9 bulan (Budi sutomo & Dwi

Yanti A, 2010).

Pada usia ini bayi sudah dapat diperkenalkan dengan

makanan yang mengandung pati seperti karbohidrat komplek

dan sayuran. Protein baru dapat diberikan saat bayi berusia

delapan bulan ke atas. Proses pencernaan pada bayi sudah

mulai kompleks dan rumit, apalagi bila ditambah dengan

protein. Biarkan pencernaan bayi bekerja secara perlahan.

Gandum dan produk olahan juga baru dapat diperkenalkan


56

kepada bayi saat bayi berusia delapan bulan ke atas (Budi

sutomo & Dwi Yanti A, 2010).

Menu bayi usia 8 – 10 bulan sebaiknya berupa campuran

dua atau tiga jenis bahan makanan, seperti bubur beras

dengan ayam dan wortel. Campuran bahan yang beragam

bertujuan agar kebutuhan gizi bayi tercukupi (Budi sutomo &

Dwi Yanti A, 2010).

(4) 10 – 12 bulan

Memasuki usia 10 – 12 bulan, kebutuhan gizi bayi

semakin bertambah dan sistem pencernaan bayi semakin

sempurna serta bisa menerima makanan yang lebih beragam.

Gigi geligi bayi juga sudah mulai tumbuh sehingga

diperlukan tekstur makanan yang semi padat agar bayi belajar

menggigit (Budi sutomo & Dwi Yanti A, 2010).

Bayi mulai diperkenalkan dengan bentuk makanan semi

padat seperti nasi tim, dan makanan yang dicincang kasar,

dengan rasa dan tekstur yang lebih kaya. Namun putih telur

belum bisa diberikan untuk menghindari alergi. Jangan

berikan makanan seperti makanan berpengawet, makanan

yang mengadung pewarna dan makanan yang mengandung

penguat rasa buatan. Jika memungkinkan gunakan produk

nabati dan hewani organik, bila ingin memberikan makanan

selingan kepada bayi, orangtua dapat membuat sendiri.

Pemberian garam dan gula juga tetap harus dibatasi, karena


57

gula dapat menimbulkan obesitas, merusak gigi, dan

memberantaskan kerja hati dan ginjal (Budi sutomo & Dwi

Yanti A, 2010).

(5) Lebih dari 12 bulan

Pada usia 12 bulan, bayi sudah mulai besar. Pencernaan

juga sudah mendekati sempurna sehingga bisa menerima

makanan yang kian beragam. Kebutuhan gizi juga semakin

meningkat sehingga perlu diberikan makanan tambahan

seperti makanan selingan untuk mencukupi kebutuhan gizi

Makanan selingan untuk bayi sebaiknya tidak

mengenyangkan sehingga tidak mengganggu jadwal makan.

Snack yang bisa dipegang sangat baik diberikan pada bayi

agar belajar menggenggam, memasukkan makanan ke mulut,

dan melatih otot saraf jari tangan, seperti nugget ayam,

biskuit, roti basah. Pemberian makanan keluarga sekurang-

kurangnya 3 kali sehari dengan porsi separuh makanan orang

makanan orang dewasa setiap kali makan. Selain itu tetap

berikan makanan selingan 2 kali sehari (Budi sutomo & Dwi

Yanti A, 2010).

3) Pengasuhan Psiko-Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya tidak hidup

sendiri-sendiri tetapi saling membutuhkan antar sesama dalam

kehidupan sehari-hari. Pengasuhan psiko-sosial terwujud dalam pola

interaksi dengan anak dan orangtua interaksi timbal balik antara anak
58

dan orangtua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak

akan terbuka kepada orangtuanya, sehingga komunikasi bisa dua

arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama karena

adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orangtua dan anak.

Pengasuhan psiko-sosial ini antara lain terdiri dari cinta dan

kasih sayang serta interaksi antar ibu dan anak. Salah satu hak anak

adalah untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang

dan perlakuan yang adil dari orangtuanya. Agar kelak menjadi anak

yang tidak sombong dan bisa memberikan kasih sayangnya pula

kepada sesamanya. Sebaliknya kasih sayang yang diberikan secara

berlebihan yang menjurus kearah memanjakan, akan menghambat

bahkan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak

akan menjadi manja, kurang mandiri, pemboros, sombong, dan

kurang bisa menerima kenyataan.

Pengasuhan psiko-sosial ini di dasarkan pada hubungan timbal

balik antara ibu dan anak. Meningkatkan kedekatan ibu dan anak

ditentukan dengan frekuensi interaksi dan sikap selalu menebarkan

senyum terhadap anaknya.

4) Kebersihan Diri dan Sanitasi Lingkungan

Perilaku kesehatan merupakan salah satu atau penyebab atau

resiko utama penyebab masalah gizi (LIPI, 2000). Lingkungan

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses tumbuh

kembang anak. Lingkungan juga berfungsi menyediakan kebutuhan

dasar bagi tumbuh kembang anak. peran orangtua dalam membantu


59

proses pertumbuhan dan perkembangan anak adalah dengan

membentuk kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang sehat.

Lingkungan rumah bersanitasi buruk, paparan sinar matahari yang

minim, sirkulasi udara yang tidak lancar, akan berdampak buruk bagi

proses tumbuh kembang anak. Apalagi jika lingkungan sangat kaya

dengan kandungan zat-zat berbahaya (Eveline & Nanang D, 2010).

5) Praktek Menyusui dan Pemberian Makanan Pendamping ASI

a) Menyusui

Menyusui adalah proses pemberian ASI kepada ibu.

Pemberian ASI berarti menumbuhkan kasih sayang antar ibu dan

bayinya seperti berbicara, mendekap dan mengelus bayi.

Pemberian ASI akan mempengaruhi tumbuh kembang dan

kecerdasan anak (Budi Sutomo & Dwi Yanti A, 2010).

b) Makanan pendamping ASI

Makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan

yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai

bayi berusia 2 tahun. Selain ASI, ASI pun harus tetap diberikan

kepada bayi, maknan ini harus menjadi pelengkap dan dapat

memenuhi kebuhan bayi. Jadi makanan pendamping ASI

berguna untuk menutupi kekurangan zat gizi yang terkandung

didalam ASI. Dengan demikian, cukup jelas bahwa peranan

makanan pendamping ASI bukan sebagai pengganti ASI tetapi

untuk melengkapi atau mendampingi ASI (Waryana, 2010).


60

Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk

menambah energi dan zat-zat gizi ang diperlukan bayi karena

ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan bayi yang semakin

meningkat dengan bertambahnya umur dan berat badan.

Gangguan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang

normal terjadi ketika kebutuhan energi dan zat gizi tidak

terpenuhi. Makanan yang diberikan kepada bayi. Misalnya bubur

yang terbuat dari tepung beras, nasi yang dilumatkan, sayur,

buah, nasi tim.

6) Praktek Kesehatan di Rumah dan Pola Pencarian Pelayanan

Kesehatan

Balita perlu diperiksakan kesehatannya dibidan atau dokter bila

sakit sebab mereka masih mempunyai resiko yang tinggi untuk

terserang penyakit. Adapun praktik kesehatan yang dilakukan dalam

rangka pemeriksaan pemantaun kesehatannya adalah:

a) Imunisasi

Imunisasi adalah memberikan kekebalan pada anak untuk

melindunginya dari pada beberapa penyakit tertentu seperti

Hepatitis B, Tuberkolusis, Tetanus, Polio, Campak. Pemberian

harus sedini mungkin dan lengkap (Hanum Marimbi, 2010).

b) Pemantauan Pertumbuhan Anak

Pemantauan pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan aktif

melakukan pemeliharaan gizi misalkan dengan datang


61

keposyandu. Dengan aktif datang keposyandu maka orang tua

dapat mengetahui pertumbuhan anak (HanumMarimbi, 2010).

B. Kerangka Teoritis

Adapun kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah:

Faktor yang mempengaruhi


Status Gizi Balita:
a. Infeksi
b. Tingkat Konsumsi Makanan
c. Budaya
d. Penyediaan Pangan Status Gizi
e. Keterjangkauan Kesedian Balita
Pelayanan Kesehatan
f. Hygien dan sanitasi
lingkungan
g. Tingkat Pendapatan/sosial
ekonomi
h. Pendidikan ibu
i. Pengetahuan Ibu

Gambar 2.1`
Kerangka Teoritis
Hubungan status ekonomi, pengetahuan Ibu,
sanitasi lingkungan dan pola asuh gizi dengan Status Gizi Balita
Sumber : Permenkes (2020) Nuh (2013) Purnama (2017)

Keterangan :

Tidak diteliti

Diteliti
62

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini yang menjadi Variabel Independen adalah status

ekonomi, pengetahuan ibu dan sanitasi lingkungan, sedangkan Variabel

Dependen adalah status gizi balita.

Variabel Independen Variabel Dependen

Status Ekonomi

Pengetahuan Ibu

Status Gizi Balita


Sanitasi Lingkungan

Pola Asuh Gizi

Gambar 3.1
Kerangka Konsep
Hubungan Status Ekonomi Pengetahuan Ibu, Sanitasi Lingkungan Dan
Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

62
63

B. Defenisi Operasional

Tabel 3.1
Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala


Operasinal Ukur Ukur
Status Gizi Suatu keadaan yang Timbangan Observasi, Gizi Baik, Ordinal
Balita menggambar kan dacin, Antrop bilai nilai 1
keadaan gizi digital ometri
seseorangber dasrkan indeks Gizi Buruk,
standar tertentu yang BB/U bila nilai 0
dilihat dari hasil
pengukuran
antropometri dengan
indeks BB/U
Status Gambaran status Kuesioner Wawancara Sejahtera, Ordinal
Ekonomi ekonomi keluarga yang apabila >
dikelompokkan UMR
berdasarkan pendapatan (Rp.2.484.0
orang tua 41-.)

Tidak
Sejahtera <
UMR
(Rp.2.484.0
41-.)
Pengetahua Hasil dari tahu melalui Kuesioner Wawancara Tingi, Ordinal
n Ibu proses penginderaan apabila nilai
seperti mendengar dan > 50%
melihat yang diperoleh
dari dunia pendidikan Rendah,
atau promosi apabila nilai
pemerintah tentang gizi ≤ 50%
64

dan mampu untuk


menjelaskan dan
melaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari
Sanitasi Pengawasan lingkungan Kuesioner Wawancara Memenuhi Ordinal
Lingkungan fisik balita yang terdiri Syarat,
dari sarana air bersih, apabila nilai
sarana pembuangan air ≥ 50%
limbah, sarana
pembuangan kotoran Tidak
(jamban), dan sarana Memenuhi
pebuangan sampah Syarat,
apabila nilai
< 50%

C. Hipotesis Penelitian

Ha:

1. Ada Hubungan Status Ekonomi Dengan Status Gizi Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

2. Ada Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

3. Ada Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Status Gizi Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022

4. Ada Hubungan Pola Asuh Gizi Dengan Status Gizi Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Air Bangis Tahun 2022


65

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. -Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat Deskriptif Analitik yaitu melihat gambaran

fenomena yang terjadi dan mencoba menggali bagaimana fenomena itu bisa

terjadi,dengan desain cross sectional study. Dimana variabel independen dan

dependen dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Air Bangis.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei s/d Juni Tahun 2022

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai

balita di wilayah kerja Puskesmas Air Bangis sebanyak 2.314 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili dari seluruh (Notoatmodjo, 2010). Teknik

pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara Purposive


66

sampling. Sesuai dengan teori dari Notoatmodjo (2010), yaitu

pengambilan sampel yang ditentukan oleh peneliti langsung berdasarkan

pertimbangan yang berjumlah 40 orang. Untuk criteria sampelnya adalah

sebagai berikut :

Kriteria inklusi sampel:

a. Bersedia menjadi responden

b. Berada ditempat saat penelitian

c. Keaadaan balita sehat

d. Balita usia 12-36 bulan

e. Memiliki buku KMS

Kriteria eklusi sampel:

a. Responden sakit atau tidak hadir

b. Balita yang mengalami gizi kurang dan gizi lebih

c. Responden menolak untuk dijadikan sampel

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden.

Data primer diperoleh dengan cara wawancara menggunakan

kuesioner dan melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran

tinggi badan balita. Data dikumpulkan langsung oleh peneliti untuk

mendapatkan data awal.

b. Data sekunder
67

Data yang diperoleh dari Laporan puskesmas Air Bangis dan

study dokumentasi.

E. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Pemeriksan data (Editing)

Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan jawaban

kuesioner dan penyesuaian data yang diperoleh dengan kebutuhan

penelitian hal ini dilakukan di lapangan sehingga apabila terdapat data

yang meragukan ataupun salah maka akan dijelaskan lagi keresponden.

2. Pengkodean (Coding)

Setelah kelengkapan data diperiksa, lalu dilakukan pemberian nomor,

atau kode pada setiap jawaban agar memudahkan dalam pengolahan

selanjutnya.

3. Memasukkan data (Entry)

Memasukkan data yang telah diberi kode kedalam tabel dan diolah

secara komputerisasi.

4. Pemeriksaan (Cleaning)

Data yang telah dientry dicek kembali untuk memastikan bahwa data

tersebut telah bersih dari kesalahan baik kesalahan dalam pengkodean

maupun dalam membaca kode, dengan harapan data tersebut dapat

dianalisis.

F. AnalisisData

1. Analisis Univariat
68

Analisis Univariat digunakan untuk mendapat gambaran dari

masing – masing variable dengan menganalisa data presentaasi dengan

menggunakan komputerisasi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yaitu analisis data dilakukan untuk melihat

hubungan antara dua variabel (independen dan dependen) yang

dilakukan secara komputerisasi. Analisis data dilakukan dengan uji Chi

Square untuk melihat hubungan status ekonomi, pengetahuan ibu dan

sanitasi lingkungan dengan status gizi balita.

Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas

derajat kemaknaan signifikan 0,05 hasil analisa Chi Square

dibandingkan dengan nilai α, dimana nilai P value >α 0,05 berarti secara

statistik tidak ada hubungan bermakna dan apabila nilai P value ≤ α 0,05

berarti secara statistik ada hubungan yang bermakna.

Anda mungkin juga menyukai