Anda di halaman 1dari 79

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM

TRADISI BARATAN DI DESA KRIYAN KALINYAMATAN


JEPARA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana (S.1)
dalam Pendidikan Agama Islam (PAI)

Oleh:

EFRIAN DIAS SAPUTRA


NIM. 1910110140

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2023

i
ii
iii
iv
MOTTO

‫ َوُك ُّل َم ْن ََلْ يَ ْعتَ ِق ْد ََلْ يَ ْن تَ ِف ْع‬# ‫ب ا ْعتِقاَ ِده ُرفِ ْع‬ ِ
َ ‫إِذ اْل َف ََت َح ْس‬
Artinya :

Ketika generasi muda kuat keyakinannya maka akan diangkat


derajatnya # dan setiap manusia yang tidak mempunyai keyakinan
maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat1

1
Kitab al-Imrithi, karya Imam Syarafuddin Yahya Al-'Imrithi (890 H/1485
M).

vi
PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta
Alam atas segala keanugrahan, karunia, kekuasaan serta ridho-Nya
dalam menyelesaikan sebuah karya besar yang saya kira sulit ternyata
tiada yang mustahil selagi kita mau berusaha dan berdo’a, tidak mudah
pula memperjuangkan bahkan di setiap jalan penuh dengan berbagai
macam tantangan, kesabaran, serta kebahagiaan, walaupun karya ini
tidak memiliki arti apapun tanpa dukungan serta doa yang telah
mereka berikan di setiap hari,
1. Teruntuk kedua orang tua saya tercinta, kedua pahlawan yang
berperan penting dalam setiap perjuangan anaknya, bapak Achfar
dan mama Khilmizah yang selalu mendoakan saya, memberikan
dorongan selalu belajar, serta kasih sayang yang tiada henti serta
memberikan nasehat-nasehat untuk tetap semangat disaat
menghadapi situasi dan kondisi apapun dan juga mensupport
dalam menyelesaikan tugas agar kedepannya menjadi orang yang
bermanfaat bagi orang lain.
2. Teruntuk nenek saya Mbah Zulikhah yang selalu memanjatkan
do’a dan memberikan gambaran kehidupan dengan ilmu zaman
kuno yang menggugah semangat kerja keras untuk saya
3. Kakak tersayang Syahilla Efriana yang senantiasa selalu
mendoakan keberhasilanku dalam menuntut ilmu serta selalu
mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang mandiri dan kuat
selama dan Adikku Althaf Syafin yang selalu mengisi hari dengan
canda tawa, dari olahraga tenis meja, memancing dan lain-lain.
4. Untuk calon kekasihku Lailatul Mukarromah, terimakasih sudah
mewarnai hidupku selama ini dengan penuh kasih sayang dan
perhatiannya dari saat kegiatan PPL hingga saat ini, terimakasih
atas do’a dan dukungannya yang tak henti-hentinya diberikan
untukku agar selalu semangat dalam mencapai impian yang saya
dambakan sejak dulu.
5. Terimakasih juga untuk para guru-guruku atas nasehat yang selalu
memberikan ketenangan serta keteduhan ketika peneliti belajar,
dan selalu mengingatkan tujuan hidup yang sejatinya untuk
mencari apa tanpa adanya keberkahan dari sang pemilik pencipta.
6. Semua Guru-guruku yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
dengan segala kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa ta’dzim
saya kepada beliau semua.
7. Sahabat seperjuanganku yang telah membantu mencapai cita-
citaku dari kelas PAI-D IAIN Kudus angkatan 2019, Anggota

vii
PKL, PPL, KKN-IK, serta rekan-rekan yang ada di desa Kriyan
tercinta, yang selalu menasihati bahwa hidup tidak selamanya
diatas, dan juga memberikan pengajaran tentang arti pentingnya
hidup kesederhanaan, loyalitas, humoris, tanggung jawab, serta
kebahagiaan datang karena kehadiran kalian semua.
8. Sahabatku, Teman-temanku Sahabat terbaikku Syarif, Sahabat
Khatami, Sahabat Rozaq, Sahabat Ghoni, Sahabat Dimas yang
selalu memberikan semangat, dorongan dan dukungan dalam
segala situasi baik mudah maupun sulit.
9. Rekan-rekan saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
merekalah yang setiap waktu menjadi tempat bercanda, curhat dan
meluapkan segala keluh kesah, yang setia menemani proses-proses
perjuanganku dan saling menguatkan apabila tertimpa musibah
apapun bentuknya. Terimakasih karena selalu ada, dan tak henti
mendoakan untuk yang terbaik untukku.
10. Semua pihak yang mensupport jalan untuk menyelesaikan skripsi
ini, semoga kalian semua sehat diberikan rezeki yang melimpah
serta berkah dan semoga tali silaturahmi erat di genggaman terjaga
dengan baik, dan ridho Allah SWT selalu menyertai.

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

ix
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji Syukur panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena berkat rahmat, taufik, hidayah dan Inayahnya sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi dengan judul ‘’Implementasi Nilai-nilai
Pendidikan Islam Dalam Tradisi Baratan Di Desa Kriyan
Kalinyamatan Jepara’’. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, kepada
para keluarganya, sahabatnya dan para umatnya hingga hari kiamat nanti.
Karya ini disusun atas dasar orang yang saya cintai dan juga
paling istimewa dalam hidupku. Tentunya, karya ini tidak akan ada tanpa
bantuan dari beberapa pihak, sehingga penyusunan karya ini dapat
terselesaikan dengan maksimal. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdurrahman Kasdi, Lc, M. Si selaku rektor
IAIN Kudus yang telah memberikan izin penelitian sehingga
skripsi ini dapat penulis selesaikan.
2. Dr. M. Nur Ghufron, S. Ag., M. Si, selaku Dekan Fakultas
Tarbiyah IAIN Kudus, yang telah memberikan bimbingan dan
persetujuan tentang penulisan skripsi.
3. Puspo Nugroho, M. Pd.I, selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Agama Islam.
4. Alfi Nikmah, M. Pd.I., selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam
memberikan bimbingan serta pengarahan dalam proses
penyusunan skripsi ini.
5. Prof. Dr. H. Ihsan, M. Ag, selaku dosen wali studi yang telah
meluangkan waktu, memberikan motivasi, semangat, dan selalu
mendorong penulis kearah yang lebih baik
6. H. Nur Said, S. Ag, M.A, M.Ag, selaku kepala Perpustakaan
IAIN kudus yang telah memberikan pelayanan dan izin dalam
proses penyusunan skripsi ini.
7. Para Dosen dan seluruh Staf Pengajar di lingkungan IAIN Kudus
yang telah memberikan motivasi belajar kepada penulis selama
menjalankan proses perkuliahan sehingga mampu memberikan
saya peta hidup, bagaimana seharusnya jalan sejati menjadi
mahasiswa.
8. Seluruh karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus
9. Pengasuh pondok pesantren Nailun Najah yang senantiasa
memberikan ilmu untuk selalu menciptakan kedisiplinan hidup
yang senantiasa diiringi dengan akhlakul karimah, kesungguhan

x
niat dalam menemukan bunga ilmu yang tak henti-hentinya saya
cari dan juga memberikan ilmu serta nasehat hidup yang sangat
bermanfaat bagi saya, serta masyarakat desa K r i y a n yang
telah berkenan memberikan izin untuk melakukan penelitian serta
meluangkan waktu dalam memberikan informasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga tercinta saya, khususnya Bapak dan Mama yang selalu
mengajarkan saya pentingnya arti kesabaran dalam hal apapun,
khususnya dalam menimba ilmu. Sekaligus mengajarkan saya
agar tetap menjadi pribadi yang baik, tetap tangguh dalam
menerpa semua tantangan hidup ketika mengambil mutiara di
dalam dunia makna, dan cahaya yang suatu saat akan
terkabulkan.
Semoga apapun yang telah diterima oleh penulis ketika proses
bimbingan ini, dapat terbalaskan dengan ilmu yang bermanfaat serta
berguna bagi sesama. Selanjutnya, penulis tidak mengakui tak dapat
memberikan balasan yang setimpal hanya bisa mengucapkan terimakasih
yang cukup banyak, semoga Allah SWT menyertai kebaikan hari ini
dengan keanugrahan dan rahmat serta nikmat yang tak terhingga.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran penulis harapkan
bertujuan sebagai bahan evaluasi pada karya-karya berikutnya. Semoga
karya sederhana ini dapat memberikan manfaat dan keberkahan kepada
semua pihak, khususnya bagi penulis. Aamiin…

Kudus, 16 Maret 2023


Penulis

Efrian Dias Saputra


NIM. 1910110140

xi
ABSTRAK

Elsa Aulia Safani, 1840210002, Komunikasi Nilai-Nilai Keislaman Dalam


Pesta Baratan Di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara, Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Islam, IAIN Kudus, 2023.
Pesta Baratan merupakan salah satu kebudayaan masyarakat jepara,
khususnya masyarakat kalinyamatan, yang masih dilestarikan hingga sekarang.
Tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban. Prosesinya di awali dengan
do’a bersama di masjid, lalu dilanjutkan dengan karnaval, dan ditutup dengan
pertunjukan drama tari. Tujuan pelaksanaan Pesta Baratan tersebut untuk
menyambut malam nisyfu sya‟ban serta sebagai tradisi mengenang sosok
pahlawan Ratu Kalinyamat di masa kepemimpinannya dahulu. Penelitian ini
akan membahas dua rumusan masalah, bagaimana prosesi dan bagaimana nilai-
nilai keislaman yang ditampilkan dalam Pesta Baratan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana prosesi Pesta
Baratan berlangsung dan apa saja nila-nilai keislaman yang bisa diperoleh dari
Pesta Baratan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan dengan
pendekatan deskriptif kualitatif, dengan mengumpulkan data melalui observasi
wawancara kepada narasumber. Hasil dari penelitian ini menyampaikan bahwa
Pesta Baratan memiliki nilai-nilai keislaman dan juga mempunyai sisi
pelestarian budaya. Nilai-nilai keislaman ditampilkan dari prosesi do’a bersama
yang dilakukan sebelum arak-arakan dalam Pesta Baratan. selain itu ditampilkan
dari nilai moral dan sopan santun yang menunjukkan nilai akhlak yang baik.

Kata Kunci : Pesta Baratan, Nilai Islam, Ratu Kalinyamat, Tradisi,


Nisyfu Sya’ban

v
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ............................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN MUNAQOSAH ................................... iii
HALAMAN PERYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................... iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
MOTTO ................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ................................................................................ vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .............................. viii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Fokus Penelitian .................................................................... 3
C. Rumusan Masalah ................................................................. 4
D. Tujuan Penelitian ................................................................... 4
E. Manfaat penelitian ................................................................. 4
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 5
BAB II KAJIAN TEORI....................................................................... 7
A. Kajian Teori ........................................................................... 7
1. Komunikasi Antarbudaya ................................................. 7
a. Pengertian Komunikasi ............................................... 7
b. Pengertian Budaya ..................................................... 10
c. Pengertian Komunikasi Antarbudaya ........................ 11
2. Nilai-Nilai Keislaman ..................................................... 13
a. Pengertian Nilai ......................................................... 13
b. Nilai-Nilai Keislaman ................................................ 14
3. Tradisi Masyarakat Sebagai Media Komunikasi ............ 19
B. Penelitian Terdahulu ............................................................ 21
C. Kerangka Berfikir ................................................................ 26
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................... 22
A. Jenis dan Pendekatan......................................................... 22
B. Setting Penelitian............................................................... 22
C. Subyek Penelitian.............................................................. 23
D. Sumber Data ..................................................................... 23
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 24
F. Pengujian Keabsahan Data ................................................ 27
G. Teknik Analisis Data ......................................................... 29

xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... 31
A. Gambaran Obyek Penelitia................................................ 31
1. Keadaan Geografis Kecamatan Kalinyamatan ............. 31
2. Batas Wilayah Kecamatan Kalinyamatan .................... 31
B. Deskripsi Data Penelitian .................................................. 31
1. Deskripsi Prosesi Tradisi Pesta Baratan di
Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara ............... 31
2. Deskripsi Nilai-Nilai Islam Yang Ditampilkan
Dalam Pesta Baratan Di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara .................................. 37
C. Analisis Data Penelitian .................................................... 42
1. Analisis Prosesi Tradisi Pesta Baratan di
Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara ............... 42
2. Analisis Nilai-nilai Islam yang Ditampilkan
dalam Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara .................................. 44
BAB V PENUTUP ............................................................................... 56
A. Simpulan.............................................................................. 56
B. Saran .................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir ............................................................. 26

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Komunikasi pada umumnya dapat terjadi dalam berbagai
konteks kehidupan yang sangat luas, dapat menyangkut berbagai
aspek, seperti sosial, budaya, ekonomi, politik, psikologi dan
sebagainya. Komunikasi berasal dari bahasa inggris yaitu
“communication” istilah ini berasal dari bahasa latin “communicare”
yang bermakna membagi sesuatu dengan orang lain, memberikan
sebagian untuk seseorang, tukar-menukar, memberikan sesuatu
kepada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan,
berteman, dan lain sebagainya.1 Komunikasi adalah suatu proses
penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain melalui proses
tertentu sehingga tercapai apa yang dimaksudkan atau diinginkan oleh
kedua belah pihak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
komunikasi adalah pengiriman atau penerimaan pesan atau berita
antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan
yang dimaksud dapat dipahami. 2
Secara sederhana komunikasi dapat diartikan sebagai suatu
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan baik
secara lisan maupun tulisan yang menghasilkan akibat tertentu atau
tingkahlaku tertentu. Dalam komunikasi terdapat perbedaan budaya
yang mampu mempengaruhi individu dalam proses pertukaran
informasi. Perbedaan budaya tersebut acap kali juga dapat
menimbulkan hambatan dalam suatu proses komunikasi. Budaya pada
dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi
antar-individu. Menurut Cliffort Geerzt dalam Rulli Nasrullah budaya
diartikan sebagai nilai yang secara historis memiliki karaktristiknya
tersendiri dan bisa dilihat dari simbol-simbol yang muncul. Simbol
tersebut bermakna sebagai sebuah sistem dari konsep ekspresi
komunikasi di antara manusia yang mengandung makna dan yang
terus berkembang seiring pengetahuan manusia dalam bersosialisasi.
Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang
dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang
mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan yang semuanya
diwariskan melalui proes komunikasi dari generasi ke generasi
berikutnya. Kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan,

1
Edi Harapan dan Syarwani Ahmad, Komunikasi Antarpribadi: Perilaku Insani
Dalam Organisasi Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 1.
2
Suryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 8.

1
dan makna yang ada dalam manusi dan bukan hanya sekadar dalam
kata-kata namun meliputi kepercayaan, nilai-nilai, dan norma. 3
Menurut Samovar dan Porter dalam Alo Liliweri, komunikasi
antarbudaya terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan
yang latar belakang kebudayaannya berbeda. Selain itu Lustig dan
Koester dalam Alo Liliweri berpendapat bahwa komunikasi
antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif,
transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang
yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan, memberikan
interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang di
sampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang
dipertukarkan. Secara sederhana, komunikasi antarbudaya merupakan
interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan
oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda.4
Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan, walaupun
komunikasi dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Komunikasi
adalah proses penyampaian pesan di antara individu pelaku
komunikasi dengan tujuan untuk saling memahami satu sama lain.
Sedangkan budaya atau kebudayaan dapat dikatakan sebagai cara
berperilaku suatu komunitas masyarakat secara berkesinambungan.
Namun komunikasi dan kebudayaan keduanya saling berkaitan.
Melalui proses komunikasi suatu budaya dapat dilestarikan dan
diwariskan kepada generasi penerus. Komunikasi di sini berfungsi
sebagai alat penyebaran suatu tradisi atau nilai-nilai budaya. Di sisi
lain, cara orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya yang
dianut. Dengan demikian, komunikasi dan budaya merupakan dua
entitas yang tak dapat terpisahkan.
Budaya dalam konteks komunikasi lintas budaya lebih banyak
berkaitan dengan aspek-aspek budaya immaterial, seperti bahasa,
tradisi, kebiasaan, adat istiadat, norma serta nilai moral, kesenian, dan
sebagainya. Perbedaan dalam budaya dapat berupa logat, tata cara,
perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan.
Komunikasi antarbudaya dapat dipahami sebagai interaksi
antarpribadi melalui pertukaran simbol-simbol linguistik, misalnya
simbol verbal dan non verbal. 5 Pendapat Mehrabian dalam Alo
3
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya: Di Era Siberia (Jakarta: Kencana
Pranada Media Group, 2012), 16.
4
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:
Lkis Yogyakarta, 2002), 12.
5
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Lintas Budaya Dalam Dinamika Komunikasi
Internasional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), 40.

2
Liliweri, 55% dari komunikasi manusia dinyatakan dalam simbol non
verbal, 38% melalui nada suara, dan 7% komuniaksi yang efektif
dinyatakan melalui kata-kata. Simbol-simbol tersebut dinyatakan
melalui sistem yang langsung seperti tatap muka atau media seperti
tulisan, visual, dan aural. Melalui pertukaran simbol-simbol dalam
menjelaskan informasi, gagasan dan emosi di antara para individu
itulah yang akan melahirkan kesamaan makna atas pikiran, perasaan,
dan perbuatan.
Di Kabupaten Jepara ada kebudayaan masyarakat yang masih
dilestarikan hingga sekarang ini seperti Pesta Baratan. Pesta Baratan
memiliki makna tersendiri, Kata baratan berasal dari bahasa Arab
baraah atau berkah yang bermakna keselamatan dan keberkahan.
Selain itu ada juga yang mengistilahkan kata baratan juga berasal dari
kata baraatan yang artinya lepas atau merdeka. Pesta baratan
dilaksanakan setiap tanggal 15 Syakban (penanggalan Hijriah) atau
15 Ruwah (penanggalan Jawa). Prosesi Pesta Baratan diawali dengan
membersihkan masjid-masjid dan musala-musala lalu menghiasnya
dengan lampion atau obor sebagai penerangan. Usai shalat maghrib,
diadakan ritual dan doa bersama lalu dilanjut dengan karnaval dengan
aksi teatrikal Ratu Kalinyamat. Tujuan dari dilaksnakannya Pesta
Baratan adalah untuk menyambut bulan suci ramadhan yang penuh
berkah sekaligus untuk melestarikan tradisi Pesta Baratan dalam
bentuk yang menarik serta untuk mengenang sosok pahlawan Ratu
Kalinyamat ketika membawa jenazah suaminya yaitu Sunan Hadirin
yang dibunuh oleh Aryo Penangsang.6
Dari prosesi serta maksud dan tujuan pelaksanaannya, dapat
diidentifikasi bahwa Pesta Baratan merupakan wujud dari komunikasi
antarbudaya. Secara sederhana dalam kegiatan tersebut akan terjadi
enkulturasi dimana individu akan memahami dan mengadaptasi pola
pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Dalam
Pesta Baratan banyak komunikasi yang terjadi terkait nilai
kebudayaan yang bertema islami yang disuguhkan kepada penonton.
Berdasarkan perihal tersebut penelitian ini akan mengkaji tentang
komunikasi nilai-nilai keislaman dalam Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara.

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang peneliti gunakan berdasarkan
permasalahan yang terkait yaitu, analisis komunikasi antarbudaya

6
Rukiyah, “Pesta Baratan Di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara,”
Anuva 4, no. 2 (2020): 213–217.

3
dalam proses enkulturasi terhadap nilai-nilai islam yang terkandung
pada fenomena Pesta Baratan di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten
Jepara.

C. Rumusan Masalah
Bersumber pada latar belakang di atas, maka peneliti
merumuskan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimana Prosesi Tradisi Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara?
2. Apa nilai-nilai keislaman yang ditampilkan dalam Pesta Baratan di
Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui prosesi tradisi Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara.
2. Menganalisis nilai-nilai keislaman ditampilkan dalam Pesta
Baratan di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara.

E. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penulisan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan
referensi dan informasi untuk menggali ilmu pengetahuan serta
menambah hasil penelitian yang telah ada, sehingga dapat
memberi gambaran tentang komunikasi antarbudaya dalam proses
enkulturasi pada Pesta Baratan di Kabupaten Jepara. Selain itu,
penelitian ini juga dapat dijadikan material dasar untuk penelitian
lebih lanjut tentang komunikasi antarbudaya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pelaku kirab budaya Pesta Baratan, dapat menjadi
referensi untuk kedepannya agar lebih baik lagi dalam
menampilkan nilai Islam yang terkandung dalam pertunjukan
sehingga tujuan dari proses komunikasi antarbudaya dapat
tercapai dengan baik.
b. Bagi masyarakat yang menikmati pertunjukan Pesta Baratan,
hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan
pemahaman terkait maksud dilaksanakannya Pesta Baratan
serta nilai islam yang terkandung didalamnya. Bagi masyarakat

4
lain, penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana
prosesi Pesta Baratan tersebut dilaksanakan.

F. Sistematika Penulisan
Untuk memahami lebih jelas penelitian ini, maka materi-materi
yang tertera dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi beberapa
bab. Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini memuat tentang latar
belakang masalah yang menjadi alasan penelitian ini dilakukan.
Selanjutnya, menjelaskan fokus penelitian sebagai arah penelitian ini
sehingga menghasilkan rumusan masalah sebagai pedoman
penelitian. Berikutnya adalah tujuan penelitian yaitu menjelaskan
tujuan dilakukannya penelitian ini. Selanjutnya manfaat penelitian
yang menjelaskan manfaat dari penelitian ini. Bagian terakhir dari
bab ini adalah sistematika penulisan yang menjelaskan isi dari tulisan
ini.
Bab II adalah kerangka teori. Dalam bab ini memuat tentang
landasan teori yang berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan
judul berdasarkan tinjauan pustaka dan literature. Teori yang
berkaitan dengan judul ini antara lain meliputi, pertama, komunikasi
antarbudaya. Dalam landasan teori pertama ini menjelaskan tentang
definisi komunikasi, definisi budaya, serta penjelasan mengenai
definisi komunikasi antarbudaya. Kedua, nilai-nilai keislaman. Dalam
landasan teori kedua ini menjelaskan definisi dari nilai serta
penjelasan mengenai nilai-nilai islam. Ketiga, tradisi masyarakat
sebagai media komunikasi. Landasan teori yang ketiga ini
menjelaskan tentang bagaimana tradisi masyarakat dapat dikatakan
sebagai media komunikasi. Setelah landasan teori selanjutnya
menjelaskan penelitian terdahulu untuk menghindari plagiarisma atau
duplikasi terhadap penelitian serupa. Berikutnya adalah kerangka
berfikir yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab III adalah metode penelitian. Dalam bab ini memuat
tentang jenis dan pendekatan penelitian, selanjutnya menjelaskan
setting penelitian yang memuat tempat dan waktu penelitian.
Berikutnya menjelaskan subyek penelitian serta sumber data yang
memuat narasumber untuk memperoleh data. Selanjutnya
menjelaskan teknik pengmpulan data, pengujian keabsahan data, serta
analisis data.

Bab IV adalah Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini


memuat tentang hasil penelitian yang telah dilakukan berupa data
deskripsi naratif. Selanjutnya menjelaskan pembahasan analisis dari
deskripsi data hasil penelitian. Pembahasan analisis ini mengaitkan

5
dengan landasan teori yang ada.
Bab V adalah Penutup. Bab ini memuat tentang simpulan
penelitian. Selanjutnya, menjelaskan saran dari penelitian. Saran
penelitian ini memuat keterbatasan penelitian yang hendak
disampaikan ini kepada peneliti selanjutnya dan bagi pelaku kirab
budaya.

6
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Komunikasi Antarbudaya
a. Pengertian Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasia Inggris communication
(kata benda) dan communicate (kata kerja). Keduanya
mempunyai arti yang sama yaitu “membuat sama” (to make
common). Secara lebih rinci communicate berarti; untuk
bertukar pikiran dan informasi, untuk membuat mengerti, untuk
membuat sama, dan untuk memiliki hubungan yang simpatik.
Sementara itu, communication berarti; pertukaran simbol atau
pesan-pesan atau informasi yang sama, proses pertukaran
sistem simbol yang sama di antara individu dengan individu
lainnya, seni untuk mengekspresikan ide atau gagasan, dan
ilmu pengetahuan tentang pengiriman pesan. Dengan demikian,
dalam praktik komunikasi akan selalu melibatkan adanya pesan
sebagai unsur untuk bertukar informasi serta terciptanya
kebersamaan antara komunikator dengan komunikan. 1
Menurut leksigrafer dalam Syukriadi Sambas komunikasi
adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai
kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi, pemahaman yang
sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan antara
keduanya adalah tujuan yang diinginkan bersama. Sedangkan
komunikasi dalam pandangan antropologi, komunikasi adalah
sarana untuk mengirim pesan. Dalam pandangan antropologi
ini, sarana untuk mengirim pesan ini eksis dalam konteksnya.
Oleh karena itu, makna pesan juga berhubungan dengan
konteksnya.
Dalam Islam, komunikasi sering menggunakan istilah
dari bahasa Arab yakni tawaashul dan ittishal. Awadh dalam
Hefni mendefinisikan bahwa komunikasi (ittishaal) adalah,
melakukan cara yang terbaik dan menggunakan sarana yang
terbaik dalam memindahkan informasi, makna, rasa, dan
pendapat kepada pihak lain dan memengaruhi pendapat mereka
serta meyakinkan mereka dengan apa yang kita inginkan baik
itu dengan menggunakan bahasa ataupun dengan yang lainnya.2

1
Nurudin, Ilmu Komunikasi: Ilmiah Dan Populer (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2017), 9.
2
Harjani Hefni, Komunikasi Islam (Jakarta: Pranada Media Group, 2017), 3.

7
Kalau merujuk pada kata dasar “washala” yang artinya
sampai, tawaashul atau komunikasi artinya adalah proses yang
dilakukan oleh dua pihak untuk saling bertukar informasi
sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh kedua
belah pihak yang berkomunikasi. Apabila komunikasi terjadi
hanya dari satu arah maka tidak dapat dikatakan tawaasul.
Namun kata ittishaal secara bahasa lebih merujuk pada aspek
keterkaitan pesan dimana tidak harus terjadi komunikasi dua
arah. Jika pihak pengirim menyampaikan pesan dan pesan
tersebut bersambung dengan pihak yang dimaksud maka saat
itu juga telah terjadi proses komunikasi dalam istilah ittishaal.
Menurut definisi Halah al-Jamal dalam Hefni,
komunikasi adalah hubungan terbaik. Definisi komunikasi ini
lebih menekankan pada kualitas dan bentuk-bentuk
komunikasi, dia juga membagi komunikasi kedalam tiga
macam yaitu: komunikasi dengan pencipta, komunikasi dengan
diri sendiri, dan komuniaksi dengan sesama manusia. 3
Adapun unsur-unsur komunikasi diantaranya:
1) Sumber (Komunikator)
Proses komunikasi dimulai dari sumber (source) atau
pengirim pesan yang mana sebuah gagasan, ide atau pikiran
itu berasal dan kemudian disampaikan kepada pihak lainnya
yaitu penerima pesan. Sumber atau pengirim pesan sering
disebut dengan “komunikator”. Komunikator bisa jadi
adalah individu, kelompok, atau organisasi.
2) Enkoding
Enkoding adalah kegiatan yang dilakukan sumber
untuk menerjemahkan gagasan, pikiran, dan ide-idenya ke
dalam suatu bentuk yang dapat diterima oleh indra pihak
penerima. Jika kita akan mengatakan sesuatu, maka otak
dan lidah akan bekerja sama untuk menyusun kata-kata dan
membentuk kalimat. Sebagai contoh, ketika kita menulis
surat, otak dan jari tangan akan bekerja sama untuk
menghasilkan pola-pola atau kata yang terlihat di atas
kertas. Kemampuan untuk melakukan enkoding ini berbeda-
beda untuk setiap individu. Ada individu yang sangat mahir
memilih kata-kata sehingga menghasilkan kalimat yang
bagus dan mengesankan. Namun ada juga individu yang
memiliki kemampuan enkodig kurang baik.

3
Hefni, Komunikasi Islam, 4.

8
3) Pesan
Ketika kita berbicara kata-kata yang kita ucapkan
disebut pesan (messages). Ketika kita menulis surat maka
apa yang kita tulis di atas kertas adalah pesan. Seperti
halnya ketika kita sedang menonton televisi maka program
yang tengah kita tonton atau dengar adalah pesan. Pesan
memiliki wujud yang dapat dirasakan atau diterima oleh
indra. Enkoding dengan pesan keduanya tampak serupa
namun pada dasarnya berbeda. Enkoding adalah proses di
otak untuk menghasilkan pesan, sedangkan pesan adalah
hasil dari proses enkoding yang dapat dirasakan atau
diterima oleh indra.
Pesan yang disampaikan manusia bisa dalam bentuk
sederhana namun dapat memberikan pengaruh yang cukup
efektif misalnya ucapan “Tidak!”, pesan dapat pula bersifat
rumit dan kompleks seperti teori relativitas Enstein. Pesan
dapat ditujukan kepada satu individu saja atau kepada
miliyaran individu. Pesan dapat dihasilkan dengan biaya
yang murah atau bahkan gratis (misalnya kata-kata yang
diucapkan), namun pesan bisa juga dihasilkan dengan biaya
yang cukup mahal (misalnya membaca buku).
4) Saluran
Saluran adalah jalan yang dilalui pesan agar bisa
sampai kepada penerima. Seperti halnya seorang penyiar
yang membutuhkan gelombang radio untuk menyampaikan
pesannya, atau pelaku komunikasi yang menggunakan
media telepon maupun korespondensi dalam proses
komunikasi, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan
komunikasi membutuhkan sebuah media atau saluran agar
tujuan komunikasi dapat tercapai dengan baik.
5) Dekoding
Dekoding merupakan proses awal dari kegiatan
penerimaan pesan yang merupakan kegiatan yang
berlawanan dengan proses enkoding. Dekoding adalah
proses menerjemahkan atau mengintepretasikan pesan-
pesan fisik kedalam suatu bentuk atau pengertian bagi
penerima. Ada pesan yang tidak dapat didekoding karena
pihak yang melakukan enkoding (enkoder) menyalurkan
pesan pada saluran yang salah. Panggilan telepon tidak akan
pernah bisa didekoding oleh seseorang yang tuli, pesan
lewat e-mail tidak dapat diterima oleh orang yang tidak
memiliki komputer atau android.

9
6) Penerima (Komunikan)
Penerima atau komunikan adalah sasaran atau target
dari pesan. Penerima dapat berupa perseorangan individu,
satu kelompok, lembaga atau bahkan satu kumpulan besar
manusia yang tidak saling mengenal. Siapa yang menerima
pesan (komunikan) dapat ditentukan oleh sumber atau
pengirim, misalnya dalam komunikasi melalui telepon.
Namun ada kalanya penerima pesan tidak dapat ditentukan
oleh sumber, misalnya dalam program siaran televisi.
7) Umpan Balik
Umpan balik atau feedback adalah tanggapan atau
respons dari penerima pesan yang membentuk dan
mengubah pesan berikut yang akan disampaikan sumber.
Terdapat dua jenis umpan balik, yaitu umpan balik positif
dan umpan balik negatif. Umpan balik positif dari penerima
akan menciptakan proses komunikasi lebih jauh, sementara
umpan balik negatif akan mengubah proses komunikasi atau
bahkan mengakhiri komunikasi itu sendiri.
8) Gangguan
Elemen terakhir dalam komunikasi adalah gangguan
atau noise. Gangguan merupakan segala sesuatu yang
mengintervensi proses pengiriman pesan. Jenis gangguan
terbagi menjadi tiga yaitu; gangguan semantik, gangguan
mekanik, dan gangguan lingkungan.
Gangguan semantik terjadi apabila antar individu
tidak memiliki arti yang sama atas kata-kata atau ungkapan
yang menjadi isi pesan. Gangguan mekanik terjadi apabila
muncul masalah dengan alat aau media yang digunakan
untuk membantu terjadinya komunikasi. Gangguan
lingkungan terjadi apabila sumber gangguan berasal dari
luar elemen-elemen komunikasi, gangguan ini biasanya
tidak dapat dikontrol oleh sumber maupun penerima. 4
b. Pengertian Budaya
Secara etimologi (bahasa), budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta “buddhayah” yang merupakan
bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal). Budaya atau
kebudayaan diartikan sebagai perihal yang berkaitan dengan
budi atau akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”, yang

4
Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa (Jakarta: Pranada Media
Group, 2013), 16–26.

10
berarti mengolah atau mengajarkan. Kata culture juga
merupakan kata lain dari occult yang berarti benak atau pikiran.
Secara bahasa budaya adalah segala sesaautu yang diperoleh
dari hasil pemikiran manusia yang memiliki nilai bagi
kesejahteraan manusia. 5
Secara terminologi (istilah) kebudayaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran,
struktur, aturan, kebiasaan, nilai, perkataan, pikiran,
pemrosesan informasi, pengalihan pola-pola konvensi
(kesepakatan), dan perbuatan atau tindakan yang terjadi pada
satu kelomp ok masyarakat. Tubbs dalam Soelhi mengartiakn
budaya dengan segala unsurnya bahwa budaya merupakan cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok
orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Unsur yang
membentuk suatu budaya dapat terbilang rumit, unsur tersebut
diantaranya, sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. 6 Berbudaya
berarti memiliki budaya, memiliki pikiran dan akal budi untuk
memajukan diri.
Kebudayaan menurut Edward Burnett Taylor dalam
Liliweri adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap
kemampuan lain dan kebisaan yang dimiliki oleh manusia
sebagai anggota suatu masyarakat. Bagi banyak orang,
kebudayaan adalah akumulasi dari keseluruhan kepercayaan
dan keyakinan, norma-norma, kegiatan institusi, maupun pola-
pola komunikasi dari sekelompok orang. 7
c. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep
yang tidak dapat dpisahkan, diantaranya ada beberapa definisi
komunikasi antarbudaya: Pertama, menurut Samovar dan Poter
dalam Liliweri, komunikasi antarbudaya terjadi di antara
pengirim dan penerima pesan yang latar kebudayaannya
berbeda.
Kedua, berdasarkan Lustig dan Koester dalam Liliweri,
komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi
5
Sumarto, “Budaya, Pemahaman Dan Penerapannya,” Jurnal Literasiologi 1, no.
2 (2019): 145–148.
6
Shoelhi, Komunikasi Lintas Budaya Dalam Dinamika Komunikasi Internasional,
35.
7
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 107–108.

11
simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual yang
dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki
perbedaan derajat kepentingan, memberikan interpretasi dan
harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam
bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan.
Ketiga, menurut Charley D. Dood dalam Liliweri bahwa
komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan
peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi atau
kelompok dengan menekankan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para
peserta.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan
bahwa komunikasi antarbudaya merupakan interaksi
antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh
beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Akibatnya, interaksi dan komunikasi yang sedang
terjadi itu membutuhkan tingkat keamanan dan sopan santun
tertentu, serta peramalan tentang sebuah atau lebih aspek
tertentu terhadap lawan bicara. 8
Komunikasi antarbudaya memiliki tujuan tertentu. Sering
kita lihat di berbagai tempat dan dalam situasi yang berbeda,
dapat diidentifikasi tujuan komunikasi antarbudaya dari tataran
praktis. Komunikasi antarbudaya pada umumnya bertujuan
untuk:
1) Mengetahui dan memahami budaya masyarakat lain (to
know and understand the other‟s cuture). Tidak dapat
dipungkiri bahwa terkadang di dalam proses komunikasi
akan menjumpai kesalahpahaman. Memiliki pengetahuan
tentang budaya masyarakat lainnya dapat membantu
menghindari masalah-masalah komunikasi. Dengan
memahami faktor yang melatarbelakangi persepsi seseorang
atau sekelompok orang dapat terhindar dari kesalahpahaman
yang kerap terjadi pada proses komuinikasi.
2) Mempelajari sebagian atau seluruh komponen budaya
masyarakat lain (to learn some or the whole culture of a
society). Memiliki pengetahuan tentang budaya masyarakat
lain dapat memperkaya wawasan tentang kebudayaan,
suku, ras, masyarakat, dan bangsa lain. Dari sini dapat
dipelajari nilai-nilai budaya, adat istiadat, tradisi, dan
produk-produk kebudayaan yang dipelihara oleh suku, ras,

8
Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, 12–13.

12
masyarakat, maupun bangsa lain. Hal yang dapat kita
peroleh dari memahami kebudayaan orang lain adalah
kitaakan lebih rasional tentang diri dan kebudayaan kita
sendiri, membuat kita bersikap lebih bijaksana terhadap
mereka yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Dengan demikian selanjutnya menjadi lebih siap
untuk menjalin hubungan komunikasi dengan anggota suku,
ras, atau masyarakat lainnya.
3) Menanamkan budaya sendiri kepada masyarakat lain (to
intercept one‟s culture to another society). Komunikasi
antarbudaya terkadang sengaja dilakukan untuk
menanamkan pengaruh budaya dari suatu masyarakat ke
budaya masyarakat lain. Hal ini dapat dilihat dari serangan
budaya Barat kepada negara-negara berkembang tak kecuali
Indonesia, misalnya, serbuan budaya gaya hidup pop dan
konsumtif, cara berbusana, maraknya junkfood, minuman
bersoda dan beralkohol, serta berbagai jenis musik. Budaya
yang mampu menyusup dan diterima oleh budaya lain ini
dikenal dengan istilah budaya dominan.
4) Mencapai saling pengertian secara budaya untuk tujuan
kerja sama dengan masyarakat yang berbeda budaya (to
achieve mutual understanding in culture, and ease a
cooperation between or among people of different cultures).
Pengetahuan mengenai komunikasi antarbudaya membantu
memudahkan upaya dalam menciptakan saling pengertian
yang sangat dibutuhkan untuk mengadakan program kerja
sama dan kolaborasi dengan orang atau masyarakat dari
kelompok budaya lain.
5) Menimbulkan perasaan senang dengan mengenal
kebudayaan lain (to feel excited by knowing other‟s culture).
Dari komunikasi antarbudaya timbul perasaan senang dan
puas ketika menemukan sesuatu yang baru, dalam hal ini
ketika mengenal kebudayaan masyarakat lain yang belum
pernah diketahui atau disadari sebelumnya.9
2. Nilai-Nilai Keislaman
a. Pengertian Nilai
Nilai merupakan satu prinsip umum bagi masyarakat
sebagai ukuran atau standard, untuk membuat penilaian dan
pemilihan mengenai tindakan dan cita-cita tertentu. Nilai

9
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Lintas Budaya Dalam Dinamika Komunikasi
Internasional, 9–10.

13
adalah konsep, suatu pembentukan mental yang dirumuskan
dari tingkah laku manusia. Nilai adalah persepsi yang sangat
penting, baik dan dihargai. Di samping itu, nilai juga
melibatkan persoalan apakah suatu benda dan tindakan itu
diperlukan, dihargai atau sebaliknya. Pada umumnya nilai
adalah sesuatu yang sangat dikehendaki. Oleh sebab itu, nilai
melibatkan unsur keterlibatan (commitment).10
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan,
diharapkan, dicita-citakan, dan dianggap penting oleh seluruh
manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, sesuatu
dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai
kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis,
religius (nilai agama). 11
Nilai adalah hal pokok yang sangat melekat pada sesuatu
yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Segala sesuatu
dianggap mempunyai nilai apabila tingkat penghayatan
seseorang itu telah sampai pada taraf kebermaknaannya nilai
tersebut pada dirinya. Sehingga sesuatu yang bernilai bagi
seseorang belum tentu bernilai bagi orang lain, karena sebuah
nilai sangat penting dalam kehidupan ini, serta terdapat
hubungan yang penting antara subyek dengan obyek dalam
kehidupan ini.12
b. Nilai-Nilai Keislaman
Nilai religius adalah nilai yang bersumber dari keyakinan
atau ke-Tuhan-an yang ada pada diri seseorang. Degan
demikian nilai religius adalah sesuatu yang berguna dan
dilakukan oleh manusia, berupa sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari.13
Nilai Islam didalamnya mencakup keselarasan semua
unsur kehidupan antara apa yang diperbuat manusia dengan apa
yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Nilai-nilai dalam
agama merupakan petunjuk atau pedoman dan pendorong bagi
manusia untuk memecahkan berbagai masalah hidup seperti
ilmu agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer,

10
Mohamad Mustari dan Mohammad Taufiq Rahman, Nilai Karakter (Refleksi
Untuk Pendidikan Karakter) (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011), 4.
11
Suratman, dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar (Malang: Intimedia, 2014), 39.
12
Jerry David Hermawan, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” Edusiana 07, no. 01 (2020): 56.
13
Hamdi Abdillah, “Nilai Pendidikan Islam Dalam Kesenian Wayang,” Jurnal
Pendidikan Islam 11, no. 1 (2020): 415.

14
sehingga terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan perilaku
manusia yang menuju kepada keridhaan Allah. Dapat
didefinisikan, bahwa nilai keislaman merupakan konsep dan
keyakinan yang dijunjung tinggi oleh manusia mengenai
beberapa masalah pokok, yang berhubungan dengan Islam
untuk dijadikan pedoman atau pedoman dalam bertingkah laku,
baik nilai tersebut bersumber dari Allah maupun hasil interaksi
manusia tanpa bertentangan dengan syariat. 14
Nilai keislaman mengandung kebenaran yang bersifat
universal dan mutlak, paling benar dibandingkan dengan segala
nilai hidup manusiawi dan lebih jelas daripada moral, di
dalamnya memuat segala nilai yang berhubungan dengan
dimensi aukhrowi dan duniawi yang berupa nilai iman dan
aqidah, syariaah, dan akhlak. 15 Dapat disimpulkan bahwa nilai
keislaman adalah nilai Pendidikan yang diselenggarakan atau
didirikan dengan Hasrat dan niat untuk mengamalkan ajaran
dan nilai-nilai Islam. Ada tiga nilai-nilai keislaman di
antaranya:16
1) Nilai Aqidah
Aqidah memiliki arti: simpulan, yakni kepercayaan
yang tersimpul dihati. Aqaid adalah Jama’ dari aqidah.
Sedangkan I’tiqad berarti kepercayaan. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa perkataan: aqaid, sedangkan
i’tiqad adalah kepercayaan (keimanan) yang tersimpul
dalam hati. Ilmu Tahuid terkadang disebut juga “ilmu
Aqaid” dan “Ilmu I’tiqad”, karena ilmu ini membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan keyakinan yang
tertanam dalam hati. 17
Aqidah adalah dasar atau keyakinan, merupakan
fondasi yang tersimpul dengan kokoh dari dalam hati,
bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Seperti
halnya fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi

14
Rini Setyaningsih dan Subiyantoro, “Kebijakan Internalisasi Nilai-Nilai Islam
Dalam Pembentukan Kultur Religius Mahasiswa,” Edukasia: Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam 12, no. 1 (2017): 67–68.
15
Mukhlis, “Nilai Keislaman Dan Anti Kekerasan Dalam Novel Sabda-Sabda
Cinta Karya Najib Kailany,” Sasindo: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 1,
no. 1 (2013).
16
David Hermawan Jerry, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” 62.
17
Nurnaningsih Nawawi, Aqidah Islam (Dasar Keikhlasan Beramal Shalih)
(Makassar: Pusaka Almaida Makassar, 2017), 9.

15
bangunan yang akan didirikan, maka harus semakin kokoh
fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu
akan cepat ambruk. 18
Menurut Hasan al Banna dalam Yunahar, aqidah
adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya
oleh hati yang mendatangkan ketentraman jiwa dan menjadi
keyakinan utuh yang tidak tercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan. Berdasarkan sistematika Hasan al-Banna
dalam Yunahar, ruang lingkup pembahasan aqidah adalah: 19
a) Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, nama-
nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lain-lain.
b) Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk
pembahasan tentang kitab-kitab yang diturunkan Allah,
Mu’jizat dan Karamat yang diberikan Allah, dan lain
sebagainya.
c) Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan alam metafisik atau gaib
seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh, dan lain
sebagainya.
d) Sam‟iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu
yang hanya bisa diketahui lewat sam’i (dalil naqli berupa
Al-qur’an dan Sunnah seperti alam barzakh, akhirat,
azab dan siksa kubur, tanda-tanda hari kiamat, adanya
surge neraka, dan lain sebagainya.
Sumber aqidah Islam berasal dari al-Qur’an dan
Hadits sunnah, Adapun tujuan dari aqidah Islam
daintaranya:20
a) Memupuk dan mengembangkan potensi-potensi
ketuhanan yang ada sejak lahir.
b) Menjaga manusia dari kemusyrikan baik berupa ucapan
maupun perbuatan.
c) Perlu adanya tuntunan yang jelas tentang kepercayaan
terhadap Tuhan yang Maha Esa untuk mencegah manusa
dari kemusyrikan tersebut.
18
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam, 1995), 10.
19
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam, 1995), 6.
20
David Hermawan Jerry, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” 62–63.

16
d) Menghindari dari pengaruh akal yang menyesatkan,
maka manusia perlu dibentengi dengan keimanan atau
aqidah Islam.
2) Nilai Ibadah
Ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk,
merendahkan diri dan menghambakan diri. Sedangkan
ibadah menurut istilah adalah penghambaan diri yang
sepenuhnya untuk mendapatkan keridlaan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat.21
Quraisy Shihab dalam Kallang menyatakan, Ibadah
adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang
mencapai puncaknya, sebagai dampak dari rasa
pengagungan yang tertanam dalam lubuk hati seseorang
terhadap siapa ia tunduk. Rasa tunduk itu lahir akibat
adanya keyakinan dalam diri seseorang yang beribadah,
bahwa obyek yang ditujukan untuk ibadah itu memiliki
kekuasaan yang tidak dapat terbatas hakikatnya.22
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai-nilai
ibadah adalah nilai-nilai yang mencakup hal-hal yang
disuka dan diridhoi Allah baik itu perkataan, perbuatan yang
dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-
sembunyi dengan tujuan untuk memuliakan Allah SWT.
Pada dasarnya ruang lingkup ibadah digolongkan menjadi
dua diantaranya:23
a) Ibadah umum, artinya ibadah yang mencakup segala
aspek kehidupan dalam rangka mencari keridlaan Allah.
Unsur terpenting dalam menjalankan kegiatan yang
benar-benar dinilai sebagai ibadah dalam kehidupan ini
adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama
dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan
yang haram.
b) Ibadah khusus, artinya ibadah yang macam dan tata cara
pelaksanaannya ditentukan dalam syariat Islam
(ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw).
Ibadah khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia
melaksanakan sesuai dengan peraturan dan tuntunan
21
David Hermawan Jerry, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” 63.
22
Abdul Kallang, “Konteks Ibadah Menurut Al-Quran,” Al-Din: Jurnal Dakwah
dan Sosial Keagamaan 4, no. 2 (2018): 4–5.
23
David Hermawan Jerry, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” 63–64.

17
yang telah ditetapkan, tidak boleh mengubah,
menambah,dan mengurangi seperti tuntunan bersuci
(wudlu), shalat, puasa Ramadhan, ketentuan nisab zakat.
3) Nilai Akhlak
Kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama‟
dari kata “khuluqun” yang memiliki arti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat, watak, adab atau sopan
santun. Akhlak berakar dari kata bahasa Arab khalaqa yang
berarti menciptakan. Seakar dari kata khaliq (pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).24
Menurut Ibn Miskawaih dalam Saebani & Hamid,
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali
yang dikenal sebagai hujjatul Islam pembela Islam)
mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. 25
Dapat disimpulkan dari pengertian diatas bahwa
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Lalu, perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
Maksudnya adalah saat seseorang melakukan suatu
perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh
karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
keadaan, tidur, hilang ingatan, mabuk, atau keadaan reflek
seperti berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah
perbuatan akhlak. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang sehat pikirannya. 26 Akhlak
dibagi menjadi dua yaitu:27
a) Akhlaq mahmudah
Akhlaq mahmudah adalah akhlak yang terpuji atau
akhlak yang mulia. Yang termasuk dalam akhlaq
24
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: Pustaka Setia,
2010), 13.
25
Saebani dan Hamid, Ilmu Akhlak, 14.
26
Nurhayati, “Akhlak Dan Hubungannya Dengan Aqidah Dalam Islam,” Jurnal
Mudarrisuna 4, no. 2 (2014): 292.
27
Saebani dan Hamid, Ilmu Akhlak, 199.

18
mahmudah diantaranya adalah: ridla kepada Allah, cinta
dan beriman kepada Allah, berian kepada malaikat,
kitab, Rasul, hari kiamat, takdir, selalu menepati janji,
taat beribadah, selalu amanah, berlaku sopan dalam
ucapan maupun perbuatan, qanaah, tawakal, sabar, selalu
bersyukur, tawadlu’ dan segala perbuatan yang baik
menurut pandangan al-Qur’an dan hadits.
b) Akhlaq mazmumah
Akhlaq mazmumah adalah akhlak yang tercela
atau akhlak yang dibenci. Adapun yang termasuk akhlaq
tecela adalah: kufur, syirik, murtad, fasik, riya’,
takabbur, mengadu domba, dengki, dendam, berkhianat,
dan semua perbuatan tercela menurut pandangan Islam.
3. Tradisi Masyarakat Sebagai Media Komunikasi
Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; atau
juga penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan yang paling baik dan benar. secara istilah tradisi
berasal dari kata bahasa Inggris yaitu tradition, sering juga
disamakan dengan lafadz bahasa Arab „adah. Istilah ini digunakan
untuk menunjuk suatu pola perilaku dan kegiatan tertentu menurut
standar baku dalam bidangnya masing-masing yang sering
dilakukan oleh masyarakat.28
Tradisi Masyarakat dalam dimensi sosial dapat dipahami
sebagai salah satu media komunikasi tradisional yang bersama-
sama menantang kekuatan alam untuk mendorong manusia agar
bekerjasama menjaga keharmonisan dengan keterikatan yang kuat.
Tradisi seringkali dilaksanakan dalam bentuk ritual yang dapat
dimaknai sebagai proses pemaknaan pesan dari sebuah kelompok
terhadap aktivitas agamis sehingga terjadi pemaknaan simbol-
simbol tertentu yang menandakan terjadinya proses komunikasi
dalam tradisi tersebut.29
Tradisi masyarakat merupakan wujud dari media
tradisional. Media tradisional pada umumnya memiliki fungsi
ritual, komunikasi, edukasi, dan hiburan. Media ini lebih populer
dikenal sebagai media rakyat, atau kesenian rakyat. Coseteng &
28
Buhori, “Islam Dan Tradisi Lokal Di Nusantara (Telaah Kritis Terhadap Tradisi
Pelet Betteng Pada Masyarakat Madura Dalam Perspektif Hukum Islam),” Al-Maslahah
13, no. 2 (2017): 232.
29
Desi Hasra Deva, Awaluddin Arifin, dan Ibrahim Chalid, “Tangis Tukhunen
Sebagai Medium Komunikasi Tradisional Dalam Prosesi Adat Pernikahan Suku Alas Di
Aceh Tenggara,” Aceh Anthropological Journal 5, no. 2 (2021): 163.

19
Nemenzo dalam Hasan mendefinisikan, media tradisional sebagai
bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau
diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau
dipertunjukkan oleh dan untuk mereka dengan maksud menghibur,
memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik. Media
tradisional dtampilkan dalam bentuk nyanyian rakyat, tarian,
konser musik, drama/ teater, pidato, dan lainnya, baik berupa
produk sastra, visual ataupun pertunjukan yang diwariskan dari
generasi ke generasi. 30
Membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari
seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari
cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Ditinjau
dari aktualisasinya ada seni tradisional seperti wayang purwo,
wayang golek, ludruk, ketoprak, seni tari, dan sebagainya. Saat ini
media tradisional telah mengalami transformasi dengan media
modern. Dengan kata lain Ia tidak hanya dimunculkan secara apa
adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi beserta dengan
segala penyesuaiannya.31
Media tradisional sudah berkembang sejak lama dan hidup
bersama rakyat. Media tradisional merupakan alat hiburan
sekaligus sebagai media komunikasi yang telah lama dikenal dan
dipergunakan oleh masyarakat Indonesia, terutama di daerah
pedesaan. Elemen-elemen tradisional terasa sangat penting untuk
memperoleh efektivitas yang tinggi sebagai media komunikasi,
karena berakar pada kebudayaan asli yang memuat ajaran moral
dan norma. Semua elemen tersebut dirasakan sebagai hal yang
sangat penting bagi kehidupan masyarakat.32
Pada hakikatnya semua seni bermaksud untuk
dikomunikasikan. Misalnya seni tari juga memiliki keistimewaan
yaitu berupa ekspresi manusia yang akan menyampaikan pesan
dan pengalaman subyektif si pencipta atau penata tari kepada
penonton atau orang lain.33 Demikian pula menurut Kadri, ada dua
30
Muhamad Hasan As'adifa, “Media Tradisional Sebagai Media Komunikasi
Pembangunan Masyarakat Titidu Gorontalo,” Kalijaga: Jurnal Komunikasi 2, no. 1
(2020): 4.
31
Budi Sayoga, “Revitalisasi Media Tradisional Sebagai Instrumen Difusi Inovasi
Di Pedesaan,” Pembangunan Pedesaan 13, no. 1 (2013): 70.
32
Arifuddin, “Pemanfaatan Media Tradisional Sebagai Sarana Penyebaran
Informasi Publik Bagi Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus Pada Grup
Kesenian Cermin Teater Di Kabupaten Serdang Bedagai),” JURNAL PIKOM: (Penelitian
Komunikasi dan Pembangunan) 18, no. 2 (2017): 94.
33
Diana Rosca Apria, “Dampak Komodifikasi Terhadap Tari Tradisi Sebagai
Media Komunikasi Tari Bedhaya Di Jakarta,” Communicology: Jurnal Ilmu Komunikasi

20
kategori seni tradisional dalam kaitannya dengan fungsi
komunikasi sosial. Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan
sebagai media penghimpun massa, tetapi tidak berkarakter dan
berfungsi sebagai penyampai pesan secara langsung. Penyampaian
pesan dalam hal ini dilakukan dengan cara memanfaatkan
momentum berkumpulnya orang banyak lalu di situ disampaikan
pengumuman. Adapun yang termasuk dalam kategori ini adalah
karya seni non-drama/teater, seperti musik tradisional, dan
berbagai jenis tari. Kedua, seni tradisional yang dapat
dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial,
yaitu semua seni tradisional yang berbasis drama dan teater yang
menggunakan verbal atau lisan sehingga pesan pembangunan
dapat disampaikan secara menyatu dengan alur cerita. 34

B. Penelitian Terdahulu
Salah satu bentuk urgensi dari suatu penelitian yakni sebagai
kajian untuk memberikan ulasan terhadap penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, baik dalam bentuk kelebihan dan kekurangan
maupun sebagai pembanding terhadap penelitian terdahulu. Untuk
mengantisipasi terjadinya pengulangan penelitian dengan
permasalahan yang serupa terutama dalam penulisan skripsi, maka
peneliti menyajikan beberapa penelitan yang telah ada sebelumnya
yang mengkaji tentang komunikasi antarbudaya dalam menganalisis
nilai-nilai islam yang terkandung pada suatu kebudayaan. Penelitian-
penelitian tersebut diantaranya oleh Eko Saputra35, Faisal Tomi
Saputra dan Muhiroh36, Solehati Ilmaniya dan Rio Febriannur
Rahman37, Syukur Kholil, Mailin, dan Insi Luthfiyah Siregar38,

8, no. 1 (2020): 108.


34
Kadri, “Optimalisasi Peran Kesenian Tradisional Sebagai Media Komunikasi
Dan Pendidikan Sosial,” Jurnal BPPNFI dalam Jurnal Aksa Sriti (2011): 33–34.
35
Eko Saputra, “Komunikasi Antarbudaya Etnis Lokal Dengan Etnis Pendatang :
Studi Kasus Mahasiswa/I Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta,” Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi 8, no. 1 (2019): 28.
36
Faisal Tomi Saputra dan . Muhiroh, “Komunikasi Antar Budaya Etnis Tionghoa
Dan Penduduk Muslim Di Banten,” Dialektika Komunika: Jurnal Kajian Komunikasi dan
Pembangunan Daerah 7, no. 2 (2020): 147–156.
37
Solehati Ilmaniya dan Rio Febriannur Rachman, “Komunikasi Antarbudaya Di
Pondok Pesantren (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Putri Miftahul Ulum Banyuputih
Lumajang),” Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman 6, no. 2 (2020): 61–84.
38
Syukur Kholil, Mailin, dan Insi Luthfiyah Siregar, “Komunikasi Antarbudaya
Mahasiswa Malaysia Dan Indonesia Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Sumatera Utara,” Al-Balagh 1, no. 2 (2017): 175–195.

21
Daniel Tamburian39.
Penelitan yang ditulis oleh Eko, dalam Jurnal Ilmu
Komunikasi, dengan judul “Komunikasi Antarbudaya Etnis Lokal
Dengan Etnis Pendatang: Studi Pada Mahasiswa/i Fakultas Adab dan
Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pendekatan yang
dilakukan oleh antar mahasiswa/i tentang komunikasi antarbudaya
dan bagaimana mereka mengakulturasikan kebudayaan mereka yang
berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif melalui pendekatan lapangan (file research). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif dianatara
mereka dapat terjadi apabila para mahasiswa yang berlatar belakang
suku jawa mencoba menambahkan gerak-gerik tubuh yang berisi
makna simbol, dan simbol-simbol itu dipraktekkan bersamaan dengan
kata-kata yang diucapkanya. Meskipun cara ini terlihat rumit, namun
justru inisiatif ini membantu mahasiswa pendatang mengerti pesan
komunikasi dan memahami bahasa jawa. Eko melakukan pendekatan
interaksionisme simbolik untuk mengetahui bagaimana komunikasi
antarbudaya yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Adab dan Ilmu
Budaya UIN-SUKA. Hal mendasar yang membedakan penelitian
tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah terletak pada
obyek dan subjeknya. Karya skripsi peneliti berfokus pada nilai-nilai
islam yang terkandung dalam kebudayaan yang digali melalui
komunikasi antarbudaya, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Eko berfokus pada akulturasi budaya melalui komunikasi
antarbudaya antara mahasiswa lokal dengan mahasiswa pendatang.
Persamaan antara penelitan tersebut dengan skripsi peneliti adalah
kesamaan subjeknya yaitu komunikasi antarbudaya, Adapun yang
menjadi perbedaannya yaitu terletak pada jenis karya sastra yang
ditelitinya.40
Penelitian yang ditulis oleh Faisal dan Muhiroh, dalam Jurnal
Kajian Komunikasi dan Pembangunan Daerah, dengan judul
“Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Penduduk Muslim di
Banten. (Studi Fenomenologi Etnis Tionghoa dan Penuduk Muslim di
Pantai Tanjung Kait, Tangerang, Banten)”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pola interaksi komunikasi antarbudaya dan juga

39
Daniel Tamburian, “Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Dayak Dalam
Menjaga Kerukunan Hidup Umat Beragama,” Jurnal Komunikasi 10, no. 1 (2018): 77.
40
Saputra, “Komunikasi Antarbudaya Etnis Lokal Dengan Etnis Pendatang : Studi
Kasus Mahasiswa/I Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,” 6–
7.

22
hal-hal apa saja yang terkonstruksi dalam komunikasi tersebut serta
bagaimana perepsi masing-masing kelompok umat beragama serta
penilaian yang berbeda terhadap suku lain. Metode yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan teknik
pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya etnis
Tionghoa dengan penduduk muslim di kawasan Pantai Tanjung Kait
Tangerang cukup kompleks. Terlihat dari kehidupan bermasyarakat
umat beragama yang hidup berdampingan sejak dahulu, sehingga
muncul sikap toleransi, partisipasi dan saling menjaga satu sama lain
dalam berbagai kegiatan seperti kegiatan agama, budaya, sosial, dan
ekonomi. Hal mendasar yang membedakan penelitian tersebut dengan
penelitian yang peneliti lakukan adalah terletak pada obyek dan
subjeknya. Karya skripsi peneliti berfokus pada nilai-nilai islam yang
terkandung dalam kebudayaan yang digali melalui komunikasi
antarbudaya, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Faisal dan
Muhiroh berfokus pada pola komunikasi dan hal-hal yang
terkonstruksi dalam komunikasi antarbudaya. Persamaan antara
penelitian tersebut dengan skripsi peneliti adalah kesamaan subjeknya
yaitu memperoleh informasi dan kesamaan dalam metodologi
penelitian yaitu sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan
teknik pengumpulan data yang sama yaitu melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Adapun yang menjadi perbedaannya
yaitu terletak pada jenis karya sastra yang ditelitinya. 41
Penelitian yang ditulis oleh Solehati dan Rio, dalam Jurnal
Studi Keislaman, dengan judul “Komunikasi Antarbudaya di Pondok
Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Putri Miftahul Ulum
Banyuputih Lumajang)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
pola, perilaku, dan hambatan komunikasi antarbudaya di Pondok
Pesantren Putri Miftahul Ulum Banyuputih Lumajang. Metode yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan
pendekatan studi kasus. Hasil dari penelitian ini adalah, santri saling
menjaga etika dalam berperilaku komunikasi, pola komunikasi antar
santri umumnya terjadi dua arah, sedangkan kalau santri sedang
berhadapan dengan ibu pengasuh atau ustadzah akan memakai pola
satu arah, serta hambatan yang mecolok dalam proses komunikasi
adalah hambatan semantik atau bahasa. Untuk bisa mengatasi
persoalan bahasa di Pondok Pesantren itu, para santri selalu bertanya
dengan santri maupun ustadzah dengan bahasa Indonesia. Hal

41
Saputra dan ., “Komunikasi Antar Budaya Etnis Tionghoa Dan Penduduk
Muslim Di Banten,” 147.

23
mendasar yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian
yang peneliti lakukan adalah terletak pada obyek dan subjeknya.
Karya skripsi peneliti berfokus pada nilai-nilai islam yang terkandung
dalam kebudayaan yang digali melalui komunikasi antarbudaya,
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Solehati dan Rio berfokus
pada pola komunikasi, perilaku, serta hambatan yang terjadi dalam
proses komunikasi antarbudaya. Persamaan antara penelitian tersebut
dengan skripsi peneliti adalah kesamaan subjeknya yaitu memperoleh
informasi dan kesamaan dalam metodologi penelitian yaitu sama-
sama menggunakan metode kualitatif, dan subjek penelitiannya
menganalisis komunikasi antarbudaya. Adapun yang menjadi
perbedaannya yaitu terletak pada jenis karya sastra yang ditelitinya. 42
Penelitian yang ditulis oleh Syukur, Mailin, dan Luthfiyah,
dalam Jurnal Al-Balagh, dengan judul, “Komuniaksi Antarbudaya
Mahasiswa Malaysia dan Indonesia Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi komunikasi
antarbudaya mahasiswa Malaysia dan Indonesia, persepsi masing-
masing antar mahasiswa, serta untuk mengetahui faktor pendukung
dan penghambat dalam mewujdkan hubungan yang harmonis antara
mahasiswa Malaysia dan Indonesia di Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara. Metode
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan
menggunakan teknik pengumpulan data pengamatan, wawancara dan
dokumentasi. Hasil dari penelitian ini adalah, komunikasi
antarbudaya mahasiswa Malaysia dan Indonesia ternyata tidak efektif,
hal ini terjadi karena antar mahasiswa berinteraksi seperlunya saja,
karena mereka sulit beradaptasi dan kesulitan membiasakan diri
dengan lingkungan baru yang mereka hadapi. Sedangkan persepsi
masing-masing antara mahasiswa Malaysia dan Indonesia adalah
saling bertolak belakang, biasanya hal ini menyangkut sikap yang ada
dalam diri kedua budaya, serta menyimpulkan hal-hal yang
menimbulkan prasangka antarkedua budaya tersebut. Hal mendasar
yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti
lakukan adalah terletak pada obyek dan subjeknya. Karya skripsi
peneliti berfokus pada nilai-nilai islam yang terkandung dalam
kebudayaan yang digali melalui komunikasi antarbudaya, sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Syukur, Mailin, dan Luthfiyah
berfokus pada pola komunikasi, persepsi, serta hambatan yang terjadi

42
Ilmaniya dan Rachman, “Komunikasi Antarbudaya Di Pondok Pesantren (Studi
Kasus Di Pondok Pesantren Putri Miftahul Ulum Banyuputih Lumajang),” 61.

24
dalam proses komunikasi antarbudaya. Persamaan antara penelitian
tersebut dengan skripsi peneliti adalah kesamaan subjeknya yaitu
memperoleh informasi dan kesamaan dalam metodologi penelitian
yaitu sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data yang sama yaitu melalui pengamatan, wawancara,
dan dokumentasi. Adapun yang menjadi perbedaannya yaitu terletak
pada jenis karya sastra yang ditelitinya. 43
Penelitian yang ditulis oleh Daniel, dalam Jurnal Komunikasi,
dengan judul “Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Dayak Dalam
Menjaga Kerukunan Hidup Umat Beragama”. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan komunikasi antarbudaya masyarakat adat
Dayak dengan masyarakat pendatang di Kota Sosok Kabupaten
Sanggau dalam menjaga kerukunan hidup beragama. Metode yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan menggunakan
paradigma konstruktivis, dimana sumber data diperoleh dari
wawancara mendalam dengan mengutamakan kualitas dari para
informan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat
adat Dayak sangat terbuka dengan pendatang dan dalam
menyelesaikan masalah mereka mengedepankan sebuah komunikasi
yang dialogis dengan pendekatan adat Dayak mereka yang diwakili
oleh Dewan adat Dayak setempat. Hal mendasar yang membedakan
penelitian tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah
terletak pada obyek dan subjeknya. Karya skripsi peneliti berfokus
pada nilai-nilai islam yang terkandung dalam kebudayaan yang digali
melalui komunikasi antarbudaya, sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Daniel berfokus pada pola komunikasi yang terjadi
dalam proses komunikasi antarbudaya. Persamaan antara penelitian
tersebut dengan skripsi peneliti adalah kesamaan subjeknya yaitu
memperoleh informasi dan kesamaan dalam metodologi penelitian
yaitu sama-sama menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data yang sama yaitu melalui wawancara. Adapun yang
menjadi perbedaannya yaitu terletak pada jenis karya sastra yang
ditelitinya.44
Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dijabarkan diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut
membahas mengenai komunikasi antarbudaya dalam menganalisis

43
Kholil, Mailin, dan Siregar, “Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Malaysia
Dan Indonesia Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN)
Sumatera Utara,” 176.
44
Tamburian, “Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Dayak Dalam Menjaga
Kerukunan Hidup Umat Beragama,” 77.

25
pola komunikasi antarbudaya. Namun terdapat perbedaan dengan
penelitian yang akan dilakukan ini, yakni nilai-nilai islami dalam
suatu kebudayaan yang akan diteliti serta obyek yang berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Dengan demikian maka penelitian dengan
obyek pertunjukan kirab budaya Pesta Baratan menarik untuk
dilakukan.

C. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir merupakan jalur pemikiran yang dirancang
berdasarkan kegiatan peneliti yang dilakukan. Menurut Husaini
Usman dan Pumomo Setiady Akbar dalam Gunardi, Kerangka
berpikir ialah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi
obyek permasalahan penelitian kita.
Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan pustaka dan
hasil penelitian yang relevan. Kerangka berpikir merupakan
argumentasi kita dalam merumuskan hipotesis. Kerangka berpikir
dibuat oleh kita sendiri (bukan buatan orang lain) yaitu cara kita
berargumentasi dalam merumuskan hipotesis serta argumentasi itu
harus analitis, sistematis, dan menggunakan teori yang relevan. 45
Kerangka berfikir pada penelitian ini akan disajikan secara
sistematis, yakni sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir

45
Gunardi, “Kerangka Konsep Dan Kerangka Teori Dalam Penelitian Ilmu
Hukum,” Jurnal Hukum, no. 1 (2005): 87.

26
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan


Berdasarkan masalah penelitian yang telah dijabarkan dalam
bab sebelumnya serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini,
maka metode yang dapat digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan bentuk penelitian yang
bersifat deskriptif serta cenderung menggunakan analisis dengan
pendekatan induktif. Metode penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah
(sebagai lawannya adalah eksperimen), yaitu peneliti sebagai
instrument kunci, Teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Obyek dalam penelitan kualitatif adalah obyek yang alamiah,
atau natural setting sehingga metode penelitian ini sering disebut
sebagai metode naturalistik. Obyek yang alamiah adalah obyek yang
apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi obyek
baik sebelum hingga sesudah di teliti obyek tersebut relatif tidak
berubah.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu
oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan ketika
penelitian di lapangan. Metode kualitatif digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung
makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang
merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak. Oleh sebab itu,
penelitian kualitatif tidak menekankan pada generalisasi, tetapi lebih
menekankan pada makna. Dalam penelitian kualitatif generalisasi
dinamakan transferability, artinya hasil penelitian tersebut dapat
digunakan di tempat lain, manakala tempat tersebut memiliki
karakteristik yang tidak jauh bebeda.1

B. Setting Penelitian
Lokasi yang dijadikan setting penelitian bagi peneliti adalah
pada penggagas sekaligus pelaksana Pesta Baratan yaitu Yayasan
Lembayung yang memiliki visi ingin melestarikan kebudayaan yang
ada di Kota Jepara serta memperkenalkan kebudayaan tersebut
kepada masyarakat luas. Yayasan Lembayung tepatnya berlokasi di

1
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian (Bandung: Pustaka
Setia, 2015), 233–235.

27
Desa Bakalan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara. Selain
itu, peneliti memilih lokasi tersebut untuk mendapatkan informasi
yang lengkap dan jelas, yang mungkin dapat membantu peneliti agar
lebih mudah mendapatkan sumber informasi yang tepat dan akurat
sehingga informasi yang diperoleh akan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.

C. Subyek Penelitian
Subjek penelitian merupakan sumber informasi yang
dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian yang diperoleh dari
individu, benda, ataupun kelompok. Subjek dalam penelitian ini
adalah penggagas Pesta Baratan yaitu Ibu Winahyu Widayati (usia 39
tahun) selaku ketua di Yayasan Lembayung, Ibu Dian Larasati (usia
27 tahun) selaku penata tari dan penanggungjawab busana Pesta
Baratan, Saudara Failasofa Shidqi Novian (usia 28 tahun) selaku
panitia pelaksana Pesta Baratan, serta bapak Hadi Sunaryo (usia 46
tahun) selaku tokoh masyarakat.

D. Sumber Data
Data menurut Muhajir dalam Siswantoro diartikan sebagai alat
untuk memperjelas pikiran. Data yang sesungguhnya merupakan
sumber informasi untuk menganalisis. 2
Data memiliki peranan penting dalam penelitian. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data diantaranya:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama. Data primer diperoleh dari
penelitian yang diproses secara langsung dari sumbernya tanpa
lewat perantara. Data primer inilah yang seterusnya akan
diinterpretasi dan diperkaya dengan data lain yang diklasifikasikan
sebagai data sekunder. Data primer dikumpulkan oleh peneliti
secara khusus untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer
dapat berupa pendapat subjek penelitian (orang), baik secara
individu maupun kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda
(fisik), kejadian atau kegiatan dan hasil pengujian. 3 Data primer
dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil
wawancara terhadap seseorang (informan) yaitu penggagas Pesta

2
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2005), 63.
3
Totok Rudianto, dkk, “Pengaruh Pengalaman, Pengetahuan Dan Keterampilan
Auditor Terhadap Kualitas Audit (Studi Kasus Kantor Inspetokrat Aceh),” Jurnal
Penelitian Ekonomi Akuntansi (JENSI) 4, no. 2 (2020): 129.

28
Baratan Ibu Winahyu Widayati selaku ketua di Yayasan
Lembayung, Ibu Dian Larasati selaku penata tari dan
penanggungjawab busana Pesta Baratan, Failasofa Shidqi Novian
selaku panitia pelaksana Pesta Baratan, serta bapak Hadi Sunaryo
selaku tokoh masyarakat.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak
langsung atau lewat perantara. Data sekunder berfungsi untuk
memperkaya, mempertajam analisis yang diambil dari jurnal,
karya tulis ilmiah, buku penelitian, dan lain sebagainya. Data
sekunder pada umunya berupa bukti, catatan atau laporan atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip baik yang
dipublikasi dan yang tidak dipublikasi. 4 Data Sekunder dalam
penelitian ini berupa dokumen-dokumen yang bersumber dari
jurnal, buku, media sosial baik youtube maupun Instagram, serta
penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki kolerasi dengan
peneltian yang sedang dilakukan peneliti saat ini, sehingga peneliti
bisa mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai tema
penelitiannya.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data berkaitan dengan mekanisme yang
harus dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data.
Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data dan mekanismenya,
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data
yang ditetapkan.5
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif
merupakan pengumpulan data-data yang bersifat deskriptif yaitu data
yang berupa gejala-gejala hasil wawancara atau observasi yang
dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya seperti foto, dokumen,
artefak, dan catatan-catatan lapangan saat penelitian. 6 Untuk
memperoleh data yang sesuai dengan penelitian ini, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

4
Totok Rudianto, dkk, “Pengaruh Pengalaman, Pengetahuan Dan Keterampilan
Auditor Terhadap Kualitas Audit (Studi Kasus Kantor Inspetokrat Aceh), 129.
5
Saebani, Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian, 283.
6
Amir Hamzah, Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran Dasar Serta
Contoh Penerapan Pada Ilmu Pendidikan, Sosial & Humaniora (Malang: Literasi
Nusantara, 2019), 75.

29
1. Observasi
Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Observasi adalah
dasari ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja
berdasarkan fakta mengenai dunia kenyataan yang diperolehnya
melalui observasi. Data tersebut dikumpulkan pancaindra atau
bantuan berbagai alat yang sangat canggih sehingga benda-benda
yang sangat kecil (proton dan elektron) ataupun yang sangat jauh
seperti benda ruang angkasa pun dapat diobservasi dengan jelas.
Melalui observasi, peneliti dapat belajar tentang perilaku sekaligus
makna dari perilaku tersebut.7
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
observasi secara langsung, dimana peneliti melakukan penelitian,
pengamatan, dan pencatatan di lokasi penelitian, dan peneliti yang
berhubungan secara langsung. Teknik observasi ini untuk
mengetahui bagaimana prosesi Pesta Baratan dan apa saja nilai-
nilai keislaman yang terkandung di dalamnya. maka dapat
diketahui kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan dan dapat
memperoleh suatu kenyataan sebanyak mungkin terhadap segala
sesuatu yang diteliti.
2. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu data tertentu. Menurut
Lincoln dan Guba dalam Abubakar, bahwa maksud wawancara
antara lain untuk: Pertama, mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan
lain kebulatan. Kedua, mengkonstruksi keutuhan-keutuhan
demikian sebagai yang dialami pada masa lalu. Ketiga,
memberikan gambaran secara utuh sesuai dengan yang diharapkan
untuk dialami pada masa yang akan datang. Keempat,
memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang
diperoleh dari orang lain. Kelima, memverifikasi, mengubah dan
memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai
pengecekan anggota.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti, namun juga berlaku
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam. Dengan wawancara peneliti akan mengetahui dan

7
Saebani, Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian, 284–285.

30
mendapatkan data yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, yang tidak
dapat ditemukan dalam observasi maupun dengan cara lainnya. 8
Metode wawancara ini digunakan oleh peneliti terhadap
informan atau narasumber yang dianggap memiliki kompetensi
dalam bidangnya, dalam penelitian ini adalah penggagas Pesta
Baratan yaitu Ibu Winahyu Widayati selaku ketua di Yayasan
Lembayung. Wawancara dengan Ibu Winahyu ini untuk
mengetahui terkait sejarah mengenai Pesta Baratan dan bagaimana
prosesi pelaksanaannya. Lalu wawancara dengan Ibu Dian
Larasati selaku penata tari dan penanggungjawab busana Pesta
Baratan. Wawancara dengan Ibu Dian ini untuk mengetahui
seperti apa kostum yang dikenakan oleh para pemain dan
bagaimana makna pesan yang terkait dari simbol busana tersebut.
Selain itu juga untuk mengetahui nilai-nilai islam yang terkandung
dalam pelaksanaan Pesta Baratan. Selain itu wawancara dengan
Failasofa Shidqi Novian selaku panitia pelaksana Pesta Baratan.
Wawancara dengan Failasofa ini untuk mengetahui bagaimana
nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Pesta Baratan itu di
tampilkan dan bagaimana komunikasi antarbudaya dalam Pesta
Baratan tersebut dapat terlaksana dengan baik. serta wawancara
dengan Bapak Hadi Sunaryo selaku tokoh masyarakat. Wawancara
dengan Bapak Sunaryo ini untuk mengetahui apa saja nilai-nilai
keislaman yang terkandung dalam pelaksanaan Pesta Baratan.
3. Dokumentasi
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga
bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat,
catatan, harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal
kegiatan, buku dan sebagainya. Data yang wujudnya seperti
dokumen ini mampu menggali informasi yang terjadi di masa lalu.
Dokumen adalah sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam
bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar dokumentasi
ini adalah data yang berbentuk surat-surat, catatan harian,
cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi
peluang kepada peneliti untuk pernah terjadi di masa lampau. 9
Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan peneliti untuk
mendapatkan data-data terhadap semua aktifitas yang

8
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian, 288–289.
9
Hamzah, Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran Dasar Serta
Contoh Penerapan Pada Ilmu Pendidikan, Sosial & Humaniora, 78–79.

31
berhubungan dengan penelitian, sehingga data yang didapatkan
akan lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik
dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil
unggahan foto dan video dari akun instagram Yayasan
Lembayung yang bernama “@yayasanlembayung” dan
memperoleh referensi berupa video unggahan akun youtube
Yayasan Lembayung yang bernama “Lembayung Channel”.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mendukung keyakinan
bahwa peneliti benar-benar melakukan penelitian mengenai nilai-
nilai Islam yang terkandung dalam Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.

F. Pengujian Keabsahan Data


1. Perpanjangan Waktu Pengamatan
Perpanjangan waktu pengamatan adalah menambah masa
penelitian untuk mengumpulkan data atau melakukan pengecekan
data. Dengan masa perpanjangan waktu ini akan terjadi hubungan
yang semakin akrab antara peneliti dengan responden, sehingga
akan semakin terbuka, karena terbentuknya kepercayaan
responden kepada peneliti yang dengan demikian diharapkan
dapat membuka semua informasi yang dimiliki oleh responden. 10
Peneliti melakukan perpanjangan waktu pengamatan dengan
menambah masa penelitian dan melakukan wawancara lanjutan
dengan narasumber. Wawancara lanjutan ini untuk memperoleh
data yang masih kurang dan perlu diperjelas oleh narasumber.
2. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti mengamati secara lebih
cermat, tekun dan hati-hati, sehingga data yang diperoleh bisa
lebih lengkap, lebih halus dan lebih sempurna, yang akan menjadi
lebih terpercaya. dengan ketelitian, kesungguhan, dan kecermatan
pengamatan itu akan mampu menghasilkan data yang lebih
lengkap dan sempurna. Untuk meningkatkan ketekunan dapat
dengan cara membaca sebagai referensi baik buku maupun hasil
penelitian atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan
temuan yang diteliti. Dengan menbaca maka wawasan dan
pengetahuan akan semakin luas dan tajam, sehingga dapat
digunakan untuk memeriksa data yang ditemukan itu akurat atau
tidak.11

10
Rifa’i Abubakar, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Suka Press,
2021), 130.
11
Rifa’i Abubakar, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Suka Press,

32
3. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
waktu. Triangulasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 12
a. Triangulasi Sumber
Pengujian kredibilitas data menggunakan triangulasi
sumber dilakukan dengan cara mengecek satu jenis data
melalui beberapa sumber yang ada. Hal ini digunakan untuk
membandingkan hasil wawancara tentang komunikasi
antarbudaya dalam menganalisis nilai-nilai Islam pada Pesta
Baratan, dengan hasil observasi yang dilakukan dalam
penelitian. sumber tersebut diperoleh dari pendiri Yayasan
Lembayung di Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
b. Triangulasi Teknik
Untuk menguji data menggunakan triangulasi teknik
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang
sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya mengecek data
tertentu melalui wawancara, lalu dicek dengan teknik
observasi, atau dokumentasi. Apabila pengujian melalui dua
atau tiga teknik tersebut diperoleh data yang berbeda, maka
peneliti perlu melakukan diskusi kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana
yang benar atau semua benar karena sudut pandang yang
berbeda. Dalam hal ini peneliti menguji hasil data dari
observasi dan wawancara dengan membandingkannya dengan
dokumentasi yang ada untuk mengetahui kebenaran data yang
diperoleh.
c. Triangulasi Waktu
Perbedaan waktu pengumpulan data bisa menghasilkan
perbedaan perolehan data. Perbedaan hasil dapat terjadi karena
wawancara dipagi hari dapat lebih valid karena informan masih
segar dan fokus, belum banyak masalah, belum capek,
sehingga datanya bisa valid dibandingkan wawancara
dilakukan pada siang hari setelah informan bekerja, dalam
keadaan capek, dan banyak masalah. Oleh karena itu,
wawancara pada penelitian ini dilakukan pada pagi hari atau
malam hari setelah informan merasa luang dan lepas dari
kepenatan. Perbedaan waktu wawancara dilakukan dengan

2021), 130.
12
Rifa’i Abubakar, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Suka Press,
2021), 131.

33
maksud untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dari
teknik penelitian yang telah dilakukan.
4. Menggunakan Bahan Referensi
Bahan referensi adalah data pendukung untuk membuktikan
data yang ditemukan oleh peneliti. Data yang ditemukan harus
didukung dengan bukti berupa dokumen, seperti foto, alat perekam
dan lain-lain.13

G. Teknik Analisis Data


Menurut L.R. Gay dalam Amir Hamzah, menganalisis data
dalam penelitian kualitatif adalah meringkas data kedalam suatu cara
yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan menurut
Bogdan dan Biklen dalam Amir Hamzah, analisis data adalah proses
mencari dan Menyusun secara sistematis data yang dieproleh dari
hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisis dalam data kualitatif bersifat induktif, yaitu analisis yang
didasarkan pada data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola-
pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis
yang sudah dirumuskan, selanjutnya dicarikan data secara berulang-
ulang sehingga dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima
atau ditolak. Apabila hipotesis tersebut diterima, maka hipotesis
tersebut berkembang menjadi teori. 14 Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi data dilakukan untuk menghindari penumpukan
data. Hal yang dilakukan dalam reduksi data yaitu, merangkum,
memilih hal pokok, memfokuskan pada hal penting, mencari tema
dan polanya serta membuang data yang tidak perlu sehingga
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dalam mereduksi data,
lebih difokuskan pada temuan penelitian, oleh karena itu, apabila
hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang melandasi fokus
penelitian justru akan lebih menjadi penting dan diperhatikan
dalam mereduksi data. 15 Pada teknik analisis data ini, peneliti
mereduksi data yang didapatkan dengan cara memilah dan
13
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R&D) (Bandung: Alfabeta, 2015), 375.
14
Hamzah, Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran Dasar Serta
Contoh Penerapan Pada Ilmu Pendidikan, Sosial & Humaniora, 81.
15
Amir Hamzah, Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran Dasar Serta
Contoh Penerapan PadaIlmu Pendidikan, Sosial & Humaniora, 81–82.

34
memisahkan data yang tidak perlu. Reduksi data ini peneliti
lakukan agar tidak terjadi penumpukan data dari hasil
pengumpulan data sebelumnya yang berkaitan dengan tema
penelitian yaitu “Nilai-nilai Islam yang Terkandung dalam Pesta
Baratan di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara”.
2. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, data disajikan dalam bentuk teks
naratif untuk memudahkan pengorganisasian dan penyusunan
dalam pola hubungan.16 Penyajian data dilakukan agar dapat
melihat gambaran secara keseluruhan ataupun bagian-bagian
tertentu dari gambaran keseluruhan. Dalam tahap penyajian data,
peneliti berusaha untuk mengklasifikasikan serta menyajikan data
berdasarkan pokok permasalahan yang diawali dengan
pengkodean pada setiap sub pokok permasalahan. Dalam
penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.17
Data pada penelitian ini akan disajikan dalam bentuk narasi
deskriptif, dengan mengklasifikasikan mengenai hasil pengamatan
tentang “Nilai-nilai Islam yang Terkandung dalam Pesta Baratan
di Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara”.
3. Conclusion Drawing/Verification
Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan yang dikemukakan di awal masih bersifat
sementara dan dapat berubah apabila ditemukan bukti-bukti yang
kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi
apabila kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal
tersebut didukung kembali dengan buku-buku yang valid dan
konsisten di lapangan, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang sahih. Kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Temuan itu dapat berupa deskripsi
atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih samar
sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas.18

16
Amir Hamzah, Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran Dasar Serta
Contoh Penerapan PadaIlmu Pendidikan, Sosial & Humaniora, 82.
17
Saebani, Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian, 299.
18
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R&D), 345.

35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Obyek Penelitia


1. Keadaan Geografis Kecamatan Kalinyamatan
Kecamatan Kalinyamatan merupakan salah satu kecamatan
yang berada di Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah, yang
berada di sebelah selatan ibukota kabupaten Jepara. Kecamatan
Kalinyamatan mempunyai luas wilayah ±24,2 KM2, dengan
ketinggian antara 2 s/d 29 meter dari permukaan laut, dan berjarak
±18 KM dari ibukota Kabupaten Jepara. Kecamatan Kalinyamatan
memiliki 241 RT dan 52 RW dalam 12 desa yang terdiri dari Desa
Batukali, Bandungrejo, Manyargading, Robayan, Bakalan, Kriyan,
Purwogondo, Sedang, Margoyoso, Banyuputih, Pendosawalan,
Damarjati. Masing-masing desa memiliki luas wilayah yang
berbeda, diantaranya Desa Batukali yang memiliki luas wilayan
3,52 KM2, Desa Bandungrejo dengan luas 3,37 KM2, Desa
Manyargading dengan luas wilayah 0,88 KM 2, Desa Robayan
dengan luas wilayah 1,26 KM2, Desa Bakalan dengan luas wilayah
1,26 KM2, Desa Kriyan dengan luas wilayah 1,14 KM 2, Desa
Purwogondo dengan luas wilayah 1,19 KM2, Desa Sendang
dengan luas wilayah 1,09 KM2, Desa Mrgoyoso dengan luas
wilayah 1,46 KM2, Desa Banyuputih dengan luas wilayah 2,78
KM2, Desa Pendosawalan dengan luas wilayah 2,86 KM2, dan
Desa Damarjati dengan luas wil;ayah 5,23 KM2.1
2. Batas Wilayah Kecamatan Kalinyamatan
Kecamatan kalinyamatan di kelilingi oleh beberapa
kecamatan antara lain:
Bagian Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Pecangaan
Bagian Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Welahan
Bagain Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Mayong
Bagian Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Welahan. 2

B. Deskripsi Data Penelitian


1. Deskripsi Prosesi Tradisi Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara
Pesta Baratan merupakan tradisi masyarakat yang ada di
Kota Jepara. Tradisi ini dilaksanakan 15 hari sebelum menjelang
bulan suci Ramadhan. Pesta Baratan dilaksanakan bertepatan

1
Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara 2021
2
Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jepara 2021

36
dengan malam nisyfu sya‟ban atau dalam kalender jawa adalah
pada tanggal 15 ruwah. Alasan di balik dilaksanakannya Pesta
Baratan adalah untuk menyambut malam nisyfu sya‟ban. Pada
malam ini, warga Kalinyamatan bersama-sama menghiasi setiap
rumah dan masjid dengan sebuah impes atau lampion sebagai
simbol penerangan. Berdasarkan penjelasan Dian Larasati selaku
penanggungjawab busana dan penata tari, pelaksanaan Pesta
Baratan ini ada prosesinya yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Pembacaan Do’a Bersama Malam Nisyfu Sya’ban
Berdasarkan penjelasan Ibu Dian Larasati, pelaksanaan
pembacaan do’a bersama ini dimulai setelah sholat maghrib di
masjid Al-Makmur Kriyan. Do’a bersama ini dipimpin oleh
tokoh agama dan dihadiri oleh Bupati Jepara serta masyarakat
setempat. Media yang dibutuhkan dalam pembacaan do’a
bersama ini adalah buku surah yaasiin. Do’a bersama ini
diawali dengan membaca surah yasin sebanyak tiga kali, lalu
dilanjutkan dengan membaca do’a malam nisyfu sya’ban.
Setelah pembacaan do’a selesai prosesi selanjutnya adalah
makan kue Puli bersama yang di sediakan oleh masyarakat
setempat yang ingin bersedekah. Dalam acara ini juga memiliki
nilai saling memberi antar sesama yaitu dengan bersedekah
makanan dan minuman untuk disantap bersama. Khususnya
kue Puli yang merupakan makanan khas yang wajib ada di
Pesta Baratan. Setelah makan bersama ini selesai, kemudian
ditutup dengan sholat isya’ berjamaah. 3
b. Karnaval Ratu Kalinyamat dan Pasukannya
Arak-arak an atau karnaval Ratu Kalinyamat ini
dilaksanakan setelah waktu isya’, biasanya sekitar jam delapan
setelah semua pemain selesai bersiap. Karnaval ini dimulai dari
jalan kauman I desa Margoyoso dan berakhir di atas panggung
yang disiapkan di lapangan Banyuputih. Dalam arak-arakan ini
pemeran Ratu Kalinyamat menaiki kereta yang di jalankan oleh
kuda. Selain itu, ke-enam dayangnya menunggangi kuda dan
pemain yang lainnya berjalan kaki hingga sampai di panggung
pentas yang ada di lapangan Banyuputih. Karnaval ini
disaksikan oleh masyarakat setempat dan begitu ramai
masyarakat yang menanti di sepanjang jalan yang akan
dilintasi.4 Ibu Dian Larasati selaku penata tari dan

3
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Dian Larasati, pada tanggal 3 Desember
2022, pukul 18.56 WIB
4
https://www.instagram.com/p/BiM9Rnehv85/?igshid=MDJmNzVkMjY=,

37
penanggungjawab busana menjelaskan bahwa karnaval ini
memiliki urutan sebagai berikut:5
1) Tokoh Setan
Tokoh setan diceritakan memiliki karakteristik jahat,
galak, dan kejam. Tokoh setan difokuskan untuk
menonjolkan karakter utama yang dimiliki setan. Karakter
utama yang dimiliki setan secara umum adalah makluk yang
suka mengganggu dan mengajak kepada keburukan manusia
di muka bumi. Tokoh ini ditampilkan seperti sosok
genderuwo yang memiliki tubuh hitam pekat dan rambut
yang panjang. (Lampiran nomor 8)
2) Tokoh Wali Kutub
Tokoh wali kutub diceritakan sebagai seorang wali
atau tokoh agama yang melakukan pengusiran setan atau
suatu hal buruk yang ada di muka bumi ini. Tokoh ini
ditampilkan dengan busana yang berwarna putih Panjang
dan mengenakan sorban yang menggambarkan layaknya
seorang wali. Properti lain yang dikenakan adalah songkok
dan memegang tasbih. (Lampiran nomor 13)
3) Tokoh Sapu Jagad
Tokoh Sapu Jagad diceritakan memiliki karakteristik
yang baik, pemaaf, penolong, dan juga bijaksana.
Karakteristik dari penampilan Sapu Jagad adalah properti
yang dibawa yaitu sapu dari bahan daun pandan yang
dimaksudkan untuk mengusir roh setan secara halus.
(Lampiran nomor 10)
4) Tokoh Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat mengenakan jubah berwarna merah.
Warna merah lebih memberikan kesan yang berani, agresif
dan dinamis. Busana yang dikenakan Ratu Kalinyamat
terdiri dari mahkota, jubah merah, stagen, jarik, kamisol,
sampur, celana tiga perempat, ikat pinggang, kalung,
gelang, cincin. Mahkota menunjukkan bahwa peran Ratu
Kalinyamat sangat menjadi sorotan dalam arak-arakan
karena merupakan icon utama arak-arakan. Kalung, gelang,
cincin, anting merpakan perhiasan yang dipakai simbol dari
begitu kayanya sang Ratu Kalinyamat. (Lampiran nomor
15)

Diakses 07 Desember 2022, 23:45 WIB.


5
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Dian Larasati, pada tanggal 3 Desember
2022, pukul 18.56 WIB

38
5) Tokoh Dayang Ratu Kalinyamat
Kostum dari pemain Dayang Ratu Kalinyamat
memiliki makna atau simbol masing-masing. Irah-irahan
kepala yang digunakan tokoh dayang dimaksudkan untuk
mendukung tema cerita Arak-arakan Ratu Kalinyamat yang
masih merupakan kebudayaan Jawa. Menggunakan kebaya
warna hijau dengan lengan pendek. Warna hijau
melambangkan kesuburan daerah Jepara yang mana
merupakan daerah pesisir memiliki sentral perekonomian
dibidang laut dan ikan yang makmur. Baju kebaya juga
melambangkan tradisi baju Jawa, sedangkan kamisol warna
merah melambangkan keberanian seorang dayang yang
memiliki karakter berani, setia, namun tetap anggun dan
cantik. (Lampiran nomor 16)
6) Tokoh Penabur Bunga
Barisan penabur bunga sebagai simbol wewangian.
Bunga juga dapat disimbolkan sebagai taburan pada jenazah
Sultan Hadirin sebagai tanda hormat. Warna merah jilbab
yang dikenakan merupakan makna warna berani untuk
mehapus segala hal negatif untuk mengahrumkan dan
mensucikan jiwa menyambut malam Nisyfu
Sya‟ban.(Lampiran nomor 17)
7) Tokoh Pasukan Tombak
Peran tokoh pasukan tombak ialah mengingatkan
masyarakat untuk melestarikan senjata tradisional tombak.
Tombak merupakan senjata alternatif pengganti pedang.
Busana yang dipakai adalah jilbab hitam yang memiliki
fungsi sebagai penutup aurat muslimah. Ikat kepala atau
udeng dari kain bermotif batik yang diikatkan setelah
pemakaian jilbab sebagai simbol akulturasi budaya Jawa.
Warna biru rompi merupakan simbol daerah pesisiran yaitu
Jepara sebagai kota maritim wilayahnya dekat dengan laut.
(Lampiran nomor 11)
8) Tokoh Jaran Kepang
Kostum yang dikenakan oleh tokoh jaran kepang
adalah jilbab hitam, manset hitam serta leging hitam
berfungsi untuk menutup aurat muslimah yang
melambangkan kerajaan Islam, rompi warna merah
merupakan pakaian seorang pasukan berkuda, warna merah
simbol keberanian. Jarik tiga perempat untuk
mempermudah menaiki kuda serta melambangkan karakter
busana seorang pasukan. Ikat kepala sebagai simbol seorang

39
pasukan. (Lampiran nomor 9)
9) Tokoh Pembawa Lampion
Tokoh pembawa lampion atau impes memiliki simbol
penerangan saat membawa jenazah Sultan Hadirin menuju
Jepara, karena pada zaman dahulu belum ada lampu sebagai
alat penerangan. Busana tokoh pembawa impes
menggunakan kerudung yang hanya dibuat sederhana saja
karena mencerminkan warga muslim golongan rakyat biasa
yang berada di daerah pesisiran. Kebaya yang dipakai hanya
sederhana dengan jarik juga sepanjang di bawah lutut yang
mencerminkan akulturasi budaya jawa di daerah pesisiran.
(Lampiran nomor 18)
10) Tokoh Pembawa Puli
Tokoh pembawa Puli berperan sebagai wujud
pelestarian makanan Puli sebagai icon makanan Malam
Nisyfu Sya‟ban. Busana tokoh pembawa Puli menggunakan
ikat kepala seperti sorban berwarna putih karena
melambangkan sisi keislaman. Menggunakan kebaya
dengan warna yang berbeda-beda, sebagai wujud keceriaan.
Pemakaian jarik dan kebaya merupakan wujud akulturasi
budaya jawa, ikat kepala menyerupai sorban sebagai wujud
akulturasi budaya muslim dengan budaya Jawa. (Lampiran
nomor 12)
c. Drama Tari Ratu Kalinyamat dan Pasukannya
Drama tari Pesta Baratan ini ditampilkan di atas
panggung yang sudah di sediakan di lapangan Banyuputih.
Ketika memasuki prosesi ini disuguhi dengan permainan musik
dan tari sufi yang disuguhkan untuk penonton sembari
menunggu arak-arakan Ratu Kalinyamat tiba. Setelah Ratu
Kalinyamat dan pasukannya tiba mereka menaiki panggung
secara bergiliran untuk mementaskan sebuah drama tari. Drama
tari berisi tentang tari-tarian dan pertunjukan drama.6
Dian Larasati menjelaskan bahwa drama tari ini
ditampilkan dengan tujuan untuk mengkisahkan bagaimana
sosok Ratu Kalinyamat pada zaman dahulu serta menceritakan
kisah Ratu Kalinyamat yang melegenda seperti ketika
dibunuhnya Sultan Hadirin, ketika Ratu Kalinyamat bertapa
wuda, ataupun ketika Ratu Kalinyamat berperang melawan

6
https://www.youtube.com/watch?v=G491LVyjb9k, 07 Desember 2022, 23:33
WIB.

40
portugis.7
Drama tari ini diawali oleh pasukan setan dan wali kutub
yang berperang, peperangan oleh kedua tokoh ini memiliki
pesan bahwa apabila seorang manusia menemui hal yang buruk
maka dianjurkan untuk menghadapinya dengan berdo’a, maka
disini dimaksudkan untuk senantiasa menjadikan Allah Swt
sebagai sandaran dalam setiap keadaan. Lalu di susul oleh
tokoh penabur bunga, baru Ratu Kalinyamat beserta dayang
dan pemain lainnya menampilkan drama, dan setelah itu
ditutup dengan tarian oleh pasukan penari.
Prosesi dari Pesta Baratan yang terakhir ini tidak hanya
bertujuan untuk mengenalkan sosok Ratu Kalinyamat saja,
akan tetapi banyak sekali nilai, simbol, dan pesan yang hendak
disampaikan pemain kepada para masyarakat yang
menontonnya. Banyak ditemukan nilai moral dan tingkah laku
yang positif yang di tampilkan oleh pemain Pesta Baratan,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai panutan oleh
masyarakat dalam kehidupan bersosial dan berkebudayaan.
Dengan dilaksanakannya pesta Bartan ini, diharapkan
masyarakat semakin memiliki semangat umtuk menjaga dan
melestarikan kebudayaannya serta memiliki nilai moral yang
lebih baik daripada sebelumnya. 8
Prosesi drama tari ini menampilkan beberapa tari-tarian
khusu dalam Pesta Baratan di antaranya:
d. Tari Penabur Bunga
Barisan penabur bunga sebagai simbol wewangian.
Peranannya menyimbolkan sesuatu yang baik yaitu keharuman
jiwa manusia serta kesucian hati untuk menyambut malam
Nisfu Sya‟ban dan harumnya dari jenazah Sultan Hadirin.
e. Tari Pasukan Tombak
Menggambarkan kesiap siagaan mengahdapi perang
yang dapat sewaktu waktu dimulai. Diceritakan bahwa
karakteristik dari tokoh pasukan pembawa tombak adalah
berani dan pejuang.
f. Tari Pasukan Kuda/Jaran Kepang
Menggambarkan keadaan ketika masa peperangan Arya
Penangsang dan lawannya yang menunggangi kuda

7
Hasil Wawancara Peneliti dengan Dian Larasati, pada tanggal 3 Desember 2022,
pukul 18:56 WIB.
8
Hasil Wawancara Peneliti dengan Dian Larasati, pada tanggal 3 Desember 2022,
pukul 18.56 WIB

41
perkasanya. Diceritakan bahwa karakteristik dari tokoh Jaran
Kepang sama hal nya dengan tokoh pasukan pembawa tombak
yaitu pemberani dan pejuang
g. Tari Pembawa Impes atau Lampion
Karakteristik dari tokoh pasukan pembawa impes atau
lampion apabila diibaratkan dalam kehidupan nyata adalah
seebagai penerang atau pembawa hal kebaikan setelah terjadi
adanya kegelapan atau kejahatan yang telah gugur.
h. Tari Pembawa Puli
Menggambarkan seorang wanita desa sederhana dan
dalam kesehariannya selalu menggunakan alat tampah sebagai
alat pemilih beras untuk dimasak sehari-hari, sebagai tanda
kemakmuran. karakteristik dari tokoh pembawa Puli dalam
tampah adalah baik, mandiri, dan juga pekerja keras.
2. Deskripsi Nilai-Nilai Islam Yang Ditampilkan Dalam Pesta
Baratan Di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara
Winahyu Widayati menuturkan bahwasannya, ketika masuk
malam Nisyfu Sya‟ban, masyarakat di jepara dulu mempunyai
tradisi yaitu memasang obor di sepanjang jalan untuk penerangan
jalan, hal itu di lakukan sebagai rasa syukur dan Bahagia dalam
menyambut bulan suci Ramadhan serta menjadi simbol
penerangan kehidupan mereka. Kebiasaan dan tradisi tersebut
masih berlangsung hingga sekarang, bahkan lebih meriah dari
tahun-tahun sebelumnya. Sekarang tradisi tersebut masih
dipertahankan dan ditambah dengan menghadirkan arak – arakan
sosok Ratu Kalinyamat beserta pengawalnya sebagai bentuk
mengenang jasa pahlawan Ratu Kalinyamat dahulunya.” 9
Dari uraian informasiWinahyu Widayati tersebut, Pesta
Baratan dapat dipandang sebagai tradisi yang mengandung nilai-
nilai yang positif. Nilai dianggap penting oleh seluruh manusia
sebagai anggota masyarakat. Pesta Baratan yang selalu
dilaksanakan pada pertengahan bulan Sya‟ban menjelang puasa
ini, dilakukan masyarakat Jepara dengan ritual atau prosesi yang
sederhana. Tradisi ini cukup unik sebab dalam pelaksanaannya ada
kegiatan membaca surat Yasin sebanyak 3 kali dan melaksanakan
salat tasbih, namun juga ada karnaval atau arak-arakan Ratu
Kalinyamat. Arak-arakan ini bersumber dari folklore sosok Ratu
Kalinyamat yang dipercaya masyarakat setempat keberadaanya,
arak-arakannya terdiri dari rombongan Ratu Kalinyamat, Wali

9
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Winahyu Widayati, pada tanggal 1
September 2022, pukul 10.30 WIB

42
Kutub, Dayang, Pembawa impes (lampion) dan masih banyak
tokoh lainnya yang sangat meriah.
Tradisi Pesta Baratan dapat dikatakan sebagai komunikasi
tradisional, yang mampu dijadikan sebagai media dalam
mengkomunikaskan pesan nilai yang baik kepada masyarakat.
Bagaimana nilai islam tersebut ditampilkan dalam Pesta Baratan,
akan diuraikan sebagai berikut:
a. Nilai Aqidah
Aqidah merupakan akar dari sistem keimanan manusia
terhadap agama Islam sebelum melahirkan sebuah ketaatan dan
perilaku yang sesuai dengan agama Islam. Sedangkan nilai
aqidah adalah nilai-nilai yang mengandung unsur ketuhanan di
dalamnya.
Nilai aqidah dalam suatu tradisi kebudayaan tidak boleh
tertinggal. Suatu tradisi yang harus dipertahankan adalah tradisi
yang tidak bergeser atau keluar dari ajaran agama. Apabila
tradisi budaya masyarakat Islam jika tidak di dasari dengan
aqidah serta nilai-nilainya, dapat melahirkan sebuah perbuatan
yang musyrik kepada Allah Swt.
Berdasarkan data yang terkumpul serta dari hasil
observasi dapat disampaikan bahwa nilai aqidah yang terdapat
dalam Pesta Baratan Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten
Jepara dapat dilihat dari akar keimanan kita dengan yakin
terhadap agama Allah yaitu agama Islam.
Hal tersebut berdasar pada hasil wawancara dengan Dian
Larasati yang merupakan pelatih drama pertunjukan dan
penanggung jawab busana pemain pada 3 September 2022.
Dian Larasati, menejelaskan bahwa Aqidah adalah akar dari
keimanan seseorang. Menurutnya, dengan percaya bahwa
seorang Ratu Kalinyamat adalah sosok yang kental dengan
agama islam, dan percaya bahwa Ratu Kalinyamat juga ikut
menyebarkan ajaran agama Islam di masa kepemimpinannya,
maka masyarakat sudah menunjukkan adanya nilai aqidah di
dalamnya.
Dian Larasati berpendapat, apabila masyarakat dapat
percaya bahwa Ratu Kalinyamat hidup pada zaman kerajaan
Islam pertama di keturunan Demak Bintoro, yang merupakan
kerajaan Islam Pertama di Jawa Tengah, maka masyarakat juga
mempercayai Allah Swt menurunkan agama Islam ke walinya
yang mana saat itu sebagai gurunya Ratu Kalinyamat. Dari
situlah nilai aqidahnya adalah rasa mengimani, dapat
disimpulkan acara Pesta Baratan ini bukan sesuatu hal yang

43
gaib yang tidak diketahui seluk-beluknya atau dipertanyakan
aqidahnya, tapi acara ini imannya jelas dan memang ada.
Dian Larasati juga menambahkan, bahwa sanggar
lembayung kini mengemas acara Pesta Baratan dengan apik
bernuansa islami yang mana para pemain Pesta Baratan
diupayakan untuk memakai hijab. Maka dari itu sudah jelas
dengan adanya acara Pesta Baratan ini juga untuk
mengkomunikasikan bahwa tradisi budaya ini terbalut oleh
Agama Islam dan berakar pada keyakinan terhadap Allah
Swt”10
Dari informasi yang diuraikan oleh Ibu Dian, dapat
disampaikan bahwa komunikasi yang terjadi terkait nilai
aqidah yang terdapat dalam Pesta Baratan sangat erat kaitannya
dengan agama Islam. Karena berdasarkan sejarah, Ratu
Kalinyamat pada waktu itu keberadaannya dalam masa wali
yang mana membawa misi untuk menyebarkan agama Islam.
Bapak Hadi Sunaryo juga menyampaikan pendapat
mengenai nilai Aqidah yang terkandung dalam Pesta Baratan.
Menurutnya, nilai aqidah dalam Pesta Baratan adalah ahlus
sunnah wal jamaah, karena dalam ajaran aswaja tentang
plestarian kebudayaan, mengikuti dawuh yakni; al-
muhafadhotu „ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah
(menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil yang baru
yang lebih baik).”11
Dari jawaban informan tersebut, dapat diketahui bahwa
nilai aqidah dalam Pesta Baratan bersumber pada ajaran agama
Islam yaitu Ahlus sunnah wal jamaah.
b. Nilai Ibadah
Ibadah adalah sikap tunduk atau menghambakan diri
yang sepenuhnya untuk mendapatkan keridlaan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat. Seorang hamba akan
senantiasa beribadah kepada Allah Swt, apabila ketakwaan
sudah ada pada dirinya. Dalam sautu tradisi budaya tentu
mengandung banyak nilai ibadah yang beragam di dalamnya.
Berdasarkan data yang terkumpul serta dari hasil observasi
dapat disampaikan bahwa, nilai ibadah yang terdapat dalam
Pesta Baratan Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara

10
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Dian Larasati, pada tanggal 3 September
2022, pukul 20.10 WIB
11
Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Sunaryo, pada tanggal 20 September
2022, pukul 16.20 WIB

44
dapat dilihat dari maksud dilaksanakannya Pesta Baratan dan
prosesi pelaksanaannya.
Berdasar pada hasil wawancara dengan Dian Larasati
yang merupakan pelatih drama pertunjukan dan penanggung
jawab busana pemain, beliau menjelaskan, nilai ibadah dalam
Pesta Baratan dapat dilihat dari alasan di balik pelaksanaan
Pesta Baratan itu sendiri yaitu untuk untuk menyambut malam
Nisyfu Sya‟ban, di mana pada malam itu dapat dikatakan
sebagai malam pengampunan dosa yang seringkali diperingati
dengan beribadah sepanjang malam. Dan makna dari di
laksanakannya Pesta Baratan tersebut adalah sebagai rasa
syukur dan kebahagiaan bagi masyarakat karena akan
menyambut bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah.
Dian Larasati menambahkan, nilai ibadah juga dapat
diperoleh dari prosesi pelaksanaan Pesta Baratan. Prosesi acara
Pesta Baratan dimulai dengan membaca doa bersama setelah
Sholat Maghrib di Masjid Al-Makmur desa Kriyan, yaitu
membaca doa Malam Nisyfu Sya‟ban dan membaca surah
Yasin sebanyak tiga kali. Saat berada di Masjid disediakan
makanan khas Malam Baratan yaitu Puli untuk dimakan
bersama setelah berdoa.”12
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Hadi Sunaryo
selaku tokoh masyarakat. Beliau mejelaskan bahwa nilai ibadah
dalam Pesta Baratan dapat digolongkan menjadi dua yaitu
mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhahnya yaitu
mengajak masyarakat untuk sholat berjama’ah dan membaca
surat yasin sebanyak tiga kali. Sedangkan untuk ibadah ghairu
mahdhahnya yang merupakan gambaran dari kebersihan hati
dan diri manusia dilakukan secara bersama. Sedangkan saat
pesta beratan bagi orang yang membawa Puli diarahkan agar
membagikan pada orang yang tidak membawa Puli untuk
dimakan bersama sebagai wujud sedekah antar sesama
manusia”.13
Dari informasi yang diuraikan oleh informan, dapat
disampaikan bahwa komunikasi yang terjadi terkait nilai
ibadah yang terkandung dalam Pesta Baratan dapat dilihat dari
niat awal dilaksanakannya acara tersebut yaitu atas dasar untuk

12
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Dian Larasati, pada tanggal 3 September
2022, pukul 20.10 WIB
13
Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Sunaryo, pada tanggal 20 September
2022, pukul 16.20 WIB

45
beribadah kepada Allah Swt dan mengikuti perintah-Nya.
c. Nilai Akhlak
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam
kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi suatu
kepribadiannya. Akhlak merupakan buah hasil dari keimanan
dan ketakwaan seorang hamba. Selain itu dalam kehidupan
sosial manusia bisa memiliki akhlak atau perilaku yang lahir
dari tradisi kebudayaannya. Tradisi juga dapat diartikan sebagai
kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara
otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan
sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Nilai akhlak yang terkandung dalam tradisi Pesta
Baratan dapat dilihat dari perilaku dan budi pekerti yang di
tunjukkan oleh para pemain Pesta Baratan. Berdasar pada hasil
wawancara dengan Ibu Dian Larasati yang merupakan pelatih
drama pertunjukan dan penanggung jawab busana pemain,
beliau menjelaskan, bahwa penerapan nilai akhlak yang
terkandung dalam Pesta Baratan dapat dilihat dari perilaku
tokoh-tokoh pemain. Kesan akhlak yang mulia mampu
mengajak masyarakat untuk ikut berbuat baik dan ber akhlaqul
karimah.
Ibu Dian Larasati mencontohkan sosok Ratu Kalinyamat
memiliki sikap yang bijaksana dan adil. Karena dalam agama
Islam sendiri kita tahu bahwa menjadi seorang pemimpin
sangat diwajibkan untuk memiliki sikap yang bijaksana dan
adil sebagaimana yang telah diperankan oleh pemain Ratu
Kalinyamat dalam Pesta Baratan. Selain memiliki sikap yang
adil dan bijaksana, Ratu Kalinyamat juga memiliki sikap yang
pemberani dalam ikut melawan bangsa portugis pada zaman
dahulu.”14
Informan menjelaskan bahwa nialai akhlak yang
terkandung dalam Pesta Baratan adalah bagaimana sikap
seorang pemimpin itu mampu mengayomi masyarakatnya dan
merupakan sikap yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin
yang sesuai dengan agama Islam.
Hal serupa juga disampaikan Failasofa Shidqi Novian
selaku panitia penyelenggara Pesta Baratan tentang nilai akhlak
yang terkandung dalam tradisi tersebut. Sofa menjelasksan,

14
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ibu Dian Larasati, pada tanggal 3 September
2022, pukul 20.10 WIB

46
bahwa dalam Pesta Baratan bukan hanya drama teatrikal saja
yang ditampilkan, tetapi juga memperagakan kebiasaan atau
perilaku dari tokoh-tokoh yang diperankan.
Sofa mengumpamakan bagaimana ketika sebagai
masyarakat biasa, sebagai abdi ndalem, atau bahkan sebagai
pasukan maupun pengawal kerajaan bersikap kepada para
pimpinan. Contohnya ketika masuk ruangan atau menghadap
kepada pimpinan, memiliki unggah-ungguh atau tata krama
selayaknya orang jawa dan orang Islam pada masa itu. Sikap
itu diperagakan dengan badan yang sedikit membungkuk
disertai pandangan yang menunduk lalu memberikan salam
kepada pimpinan. perilaku itupun berlanjut dalam menjadi
kebiasaan sehari-hari baik bagi para pemain maupun penonton
yang diterapkan ketika mereka berhadapan dengan orang tua,
kepada pimpinan, maupun kepada siapapun ketika berhadapan
kepada orang yang lebih tua.
Artinya sopan santun dan etika dalam berkomunikasi
antar personal, betul-betul di peragakan dan di tampilkan dalam
Pesta baratan, yang mana merupakan pesan edukasi kepada
masyarakat bahwa seharusnya apabila seorang bawahan,
seorang anak, maupun seorang masyarakat itu juga harus
memiliki sikap kepatuhan yang baik.” 15
Dari informasi yang diuraikan oleh informan, dapat
disampaikan bahwa komunikasi yang terjadi terkait nilai
akhlak yang terkandung dalam Pesta Baratan dapat dilihat dari
scene atau adegan ketika menampilkan cerita dalam Pesta
Baratan yang mana banyak mengandung akhlak yang mulia
yang dapat ditiru oleh masyarakat luas.

C. Analisis Data Penelitian


1. Analisis Prosesi Tradisi Pesta Baratan di Kecamatan
Kalinyamatan Kabupaten Jepara
Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku
manusia yang telah berproses dalam waktu lama, dan dilakukan
secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Seperti halnya
tradisi menyalakan obor pada malam nisyfu sya’ban yang sudah
ada sejak zaman dahulu hingga lahirlah inovasi baru seperti Pesta
Baratan pada masa sekarang ini, maka tradisi yang telah

15
Hasil Wawancara Peneliti dengan Failasofa Shidqi Novian, pada tanggal 16
September 2022, pukul 13.40 WIB

47
membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi
pekerti pada diri seseorang. Dengan adanya tradisi Pesta Baratan,
dapat dijadikan sebagai media yang mampu mengkomunikasikan
kepada masyarakat luas agar memiliki kesadaran untuk menata
akhlak dan budi pekerti yang luhur. Banyak sekali nilai akhlak
yang mencerminkan budi pekerti yang baik dalam tradisi Pesta
Baratan sehingga tradisi ini dapat dijadikan contoh berperilaku
dalam kehidupan bersosial.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi, baik hal itu
berbentuk tertulis maupun lisan. Karena tanpa adanya ini, suatu
tradisi dapat punah. Selain itu tradisi juga dapat diartikan sebagai
kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara
otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan
sehari-hari para anggota masyarakat itu. Tradisi yang harus
dipertahankan adalah tradisi yang tidak bergeser dari ajaran agama
Islam dan perbuatannya tidak ada yang menyimpang dari syari’at
agama.
Begitu halnya dengan Prosesi dalam tradisi Pesta Baratan
yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam Pesta Baratan prosesi
diawali dengan pembacaan surah yasin dan do’a malam nisyfu
sya‟ban bersama. Jadi masyarakat dapat melaksanakan ibadah
bersama sekaligus melaksanakan kegiatan dakwah di dalamnya.
Karena selain melaksanakan do’a bersama, ada suatu pesan atau
sambutan yang disampaikan dari pemimpin do’a atau tokoh agama
sebelum makan kue Puli bersama. Bagi masyarakat kalinyamatan,
kue Puli merupakan makanan khas yang harus ada pada malam
nisyfu sya‟ban. Kue Puli mengandung pesan dakwah tersendiri.
Mengapa dinamakan kue Puli, karena Puli berasal dari kata
afwuuli yang berarti “memaafkan”. Maksud dari kue Puli yang
mengandung pesan dakwah adalah Puli sebagai simbol saling
memaafkan antara umat manusia. Tradisi ini dilaksanakan tepat
pada malam nisyfu sya‟ban dimana malam yang penuh berkah dan
umat manusia berbondong-bondong saling meminta maaf dan juga
memaafkan. Pada malam nisyfu sya‟ban umat manusia
mengharapkan agar hati dan jiwanya kembali bersih dan suci
terhindar dari prasangka buruk, maka dari situlah makna yang
terkandung di balik simbol keberadaannya kue Puli.
Arak-arakan Ratu Kalinyamat beserta pasukannya menjadi
prosesi kedua setelah pembacaan do’a bersama. Dalam prosesi ini
tidak banyak mengandung pesan dakwah karena mereka hanya di
arak saja di tengah-tengah penonton sebelum akhirnya mereka

48
melakukan pertunjukan drama tari. Dalam prosesi arak-arak an ini
pesan dakwah yang terkandung adalah pesan simbolis melalui
kostum busana yang dikenakan oleh para pemain yang memiliki
makna tersendiri, terutama pada pemeran setan dan wali kutub
yang menyimbolkan suatu hal yang baik dan buruk, dimana setan
disimbolkan sebagai hawa nafsu sedangkan wali kutub di
simbolkan sebagai keimanan manusia. Kesimpulan dari kedua
simbol tersebut adalah, bahwa dalam kehidupan hawa nafsu akan
selalu berdampingan dengan keimanan, maka guna
menyelamatkan diri dari hawa nafsu yang menyesatkan hendaklah
para umat manusia senantiasa selalu meningkatkan iman dan
takwa agar tehindar dari perbuatan tercela.
Drama tari yang ditampilkan di atas panggung merupakan
puncak prosesi dari tradisi Pesta Baratan. Para pemain
memerankan sebuah drama yang mengisahkan sosok Ratu
Kalinyamat. Selain bertujuan untuk melestarikan sebuah tradisi di
kota Jepara ini, Pesta Baratan dilaksanakan sekaligus untuk
mengajak masyarakat agar mengenal lebih dalam bagaimana
sosok Ratu Kalinyamat. Bukan hanya seorang pemimpin yang
agung saja akan tetapi merupakan seorang pemimpin yang taat
beragama dan kental dengan agama Islam. Adapun suatu bagian
drama dimana pemeran Ratu Kalinyamat beserta para dayangnya
menyanyikan kidung wahyu kolosebo yang mana merupakan
peninggalan dari kanjeng sunan Kalijaga. Pesta Baratan
merupakan tradisi masyarakat yang diharapkan dapat menjadi
media tradisional yang baik sebagai penyalur pesan dakwah
kepada masyarakat.
2. Analisis Nilai-nilai Islam yang Ditampilkan dalam Pesta
Baratan di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara
Dalam tradisi Pesta Baratan di Kecamatan Kalinyamatan
Kabupaten Jepara, terdapat nilai-nilai agama seperti anjuran untuk
taat beragama dan menerapkan niai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari. Hal tersebut diterapkan sebagai dasar untuk menuntut
manusia benar-benar mengetahui, memahami, dan mempunyai
tujuan hidup, khususnya dalam kehidupan bersosial dalam
masyarakat. Tentunya hal ini mengacu pada nilai-nilai Islam yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits. Hal ini sesuai dengan definisi
nilai Islami yakni, nilai keislaman merupakan konsep dan
keyakinan yang dijunjung tinggi oleh manusia mengenai beberapa
masalah pokok, yang berhubungan dengan Islam untuk dijadikan
pedoman atau pedoman dalam bertingkah laku, baik nilai tersebut
bersumber dari Allah maupun hasil interaksi manusia tanpa

49
bertentangan dengan syariat. 16
Hasil observasi ini dapat disampaikan bahwa Pesta Baratan
merupakan komunikasi tradisional yang memiliki pesan positif
sebagai media hiburan, edukasi, maupun untuk bersosialisasi.
Masyarakat banyak mendapatkan nilai-nilai dan pengetahuan baru
dari kegiatan Pesta Baratan ini. Tidak hanya itu, masyarakat juga
mendapatkan pengalaman yang sangat penting dan berharga yang
mampu dijadikan bekal dalam kehidupan sosial beragama.
Sebagaimana sebuah nilai adalah sesuatu yang baik yang
selalu diinginkan, diharapkan, dicita-citakan, dan dianggap
penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan
berharga, indah, baik, dan religius. 17
Komunikasi nilai-nilai islami yang terdapat dalam Pesta
Baratan ada tiga yaitu nilai aqidah, nilai ibadah, dan nilai akhlak.
Terlihat dari pelaksanaan ritual hingga prosesi pelaksanaan tradisi
Pesta Baratan banyak mengandung nilai positif yang bertema
islami, ada pula keinginan untuk menghidupkan kembali semangat
perjuangan sosok sesepuh pendiri kabupaten Jepara yaitu Ratu
Kalinyamat. Nilai aqidah yang ada pada Pesta Baratan tertanam
dari rasa mengimani agama Allah Swt yaitu agama Islam, dengan
percaya adanya Allah dan tidak menyembah yang lainnya dalam
acara tradisi tersebut, merupakan nilai yang paling penting dan
nilai utama yang harus ada dalam setiap tradisi agar tidak terjadi
perilaku atau perbuatan yang menyimpang agama.
Ibadah bukan hanya tentang kewajiban melaksanakan
perintah-perintah Allah Swt yang dilihat pada umumnya seperti
melaksanakan salat, berpuasa, menunaikan ibadah haji, dan lain
sebagainya. Kegiatan melestarikan budaya seperti tradisi Pesta
Baratan juga dapat dikatakan sebagai bentuk kegiatan beribadah
kepada Allah Swt. Hal ini karena banyak sekali nilai ibadah yang
terkandung di dalamnya seperti salat berjamaah dan mengaji yang
dilakukan bersama hingga niat baik untuk bersedekah pun juga
ada di dalamnya.
Kebudayaan yang menjadi sebuah tradisi ditengah
masyarakat akan mempengaruhi perilaku manusia dalam
kehidupan bersosial. Dalam budaya mengandung nilai moral
kepercayaan sebagai penghormatan kepada yang menciptakan

16
Setyaningsih dan Subiyantoro, “Kebijakan Internalisasi Nilai-Nilai Islam Dalam
Pembentukan Kultur Religius Mahasiswa,” 67–68.
17
Suratman, dkk, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar (Malang: Intimedia, 2014), 39.

50
suatu budaya tersebut dan diaplikasikan dalam suatu komunitas
masyarakat melalui tradisi. Suatu tradisi dikemas secara beragam
pada saat ditampilkan baik itu melalui simbol-simbol, terutama
yang berkaitan dengan aspek tradisi dan spirit keagamaan akan
sangat bergantung pada kemampuan memahami dari komunitas
tersebut.18
Seperti halnya dalam pelaksanaan Pesta Baratan,
masyarakat di dalamnya memiliki nilai moral kepercayaan sebagai
rasa untuk menghormati penggagas yang menciptakan kebudayaan
Pesta Baratan dan antusias mereka untuk ikut terlibat dan
memeriahkan acara ini sebagai sebuah tradisi bersama. Tradisi
Pesta Baratan ini juga dikemas secara beragam tidak hanya dengan
pertunjukan drama saja, tetapi juga melalui simbol-simbol yang
memiliki pesan di dalamnya. Penampilan simbol-simbol sebagai
bentuk komunikasi visual kepada masyarakat diantaranya
ditampilkan melalui pemaknaan kostum yang dikenakan oleh
setiap para pemainnya. Pemaknaan kostum oleh setiap pemain
Pesta Baratan disimbolkan sebagai berikut:
a. Tokoh Setan
Setan melambangkan perwujudan setan atau hal buruk
yang diusir untuk menyambut datangnya bulan suci karena
umat muslim hendak melaksanakan Puasa Ramadan. Kostum
yang dikenakan pemeran setan berwarna hitam sebagai
perlambangan hal negatif. (Lampiran nomor 8)
b. Tokoh Sapu Jagad
Tokoh Sapu Jagad berperan sebagai simbol pembersihan
secara jasmani dan rohani umat Islam serta bertugas mengusir
barisan tokoh setan yang ada di barisan depan. Sapu jagad
merupakan doa yang sering dipanjatkan oleh kaum muslim-
muslimah, doa yang singkat, lengkap dan mencakup semua
yang dihajatkan kaum muslim-muslimah. Kostum yang
dikenakan tokoh sapu jagad mengenakan busana jubah
berwarna hitam dengan percampuran warna merah. Warna
busana yang digunakan memiliki makna simbolis, warna hitam
melambangkan kebijaksanaan atau ketenangan jiwa dengan
paduan warna merah pada kostum sapu jagad merupakan
simbol keberanian, keberanian dalam arti untuk berani
mengusir dan membersihkan hal negatif, hal ini berarti bahwa
doa sapu jagad berperan ampuh sebagai doa untuk mensucikan

18
Audah, “Tradisi Katoba Sebagai Media Komunikasi Tradisional Dalam
Masyarakat Muna,” Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik 20, no. 1 (2016): 17.

51
diri umat muslim dari segala hal negatif baik dalam diri umat
muslim-muslimah itu sendiri maupun dari hal negatif luar.
(Lampiran nomor 10)
c. Tokoh Wali Kutub
Jubah berwarna putih merupakan busana dengan tema
islam sebagai peranan seorang tokoh wali kutub yang berperan
baik bersifat religi icon Islam dengan warna putih yang
melambangkan kebersihan jiwa kesucian hati, selain itu warna
putih merupakan warna keutamaan dalam Islam. Barisan
Tokoh Wali Kutub terdiri atas empat orang laki-laki. Wali
kutub berperan sebagai seorang waliyullah. Empat kutub
merupakan makna arah mata angin sebagai arah hidup manusia
di dunia yaitu Timur, selatan, barat, dan utara. (Lampiran
nomor 13)
d. Tokoh Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat memakai mahkota sebagai simbol
bahwa peran Ratu Kalinyamat sangat menjadi sorotan dalam
arak-arakan karena merupakan icon utama arak-arakan.
Seorang Ratu penguasa Jepara yang pemberani, mempunyai
kedudukan tinggi, berjasa kepada rakyat Jepara, simbol seorang
Ratu penguasa. Ratu Kalinyamat memakai Jubah merah yang
memiliki simbol keagungan sang ratu, jubah merah tertutup
dengan lengan panjang menggambarkan keislaman karena
kerajaan Ratu Kalinyamat. Dari jubah merah tersebut dapat
tercermin betapa agungnya, berani, tegas dan anggunnya sosok
Ratu Kalinyamat dengan agama islam yang begitu dalam pada
dirinya. (Lampiran nomor 15)
e. Dayang Ratu Kalinyamat
Barisan Dayang terdiri dari 6 orang. Simbol angka 6
memiliki makna sebagai rukun iman dalam agama Islam.
Mengimani setulus hati adanya Allah SWT yang menciptakan
langit bumi seisinya dengan kebesarannya. Kostum dari pemain
Dayang Ratu Kalinyamat memiliki makna atau simbol masing-
masing. Irah-irahan kepala yang digunakan tokoh
dayang dimaksudkan untuk mendukung tema cerita Arak-
arakan Ratu Kalinyamat yang masih merupakan kebudayaan
Jawa karena Ratu Kalinyamat merupakan cucu Raden Patah
raja Kerajaan Demak yaitu Kerajaan Islam pertama di Jawa
Tengah.
Menggunakan kebaya warna hijau dengan lengan
pendek. Warna hijau melambangkan kesuburan daerah Jepara
yang mana merupakan daerah pesisir memiliki sentral

52
perekonomian dibidang laut dan ikan yang makmur. Baju
kebaya juga melambangkan tradisi baju Jawa, sedangkan
kamisol warna merah melambangkan keberanian seorang
dayang yang memiliki karakter berani, setia, namun tetap
anggun dan cantik. (Lampiran nomor 16)
f. Tokoh Penabur Bunga
Barisan penabur bunga sebagai simbol wewangian.
Bunga diletakkan pada kuwali yaitu guci kecil yang terbuat
dari tanah liat sebagai simbol pelestarian kemurnian sisi
tradisional pada zaman dulu agar tidak punah. Bunga juga
dapat disimbolkan sebagai taburan pada jenazah Sultan Hadirin
sebagai tanda hormat. Warna merah jilbab yang dikenakan
merupakan makna warna berani untuk mehapus segala hal
negatif untuk mengahrumkan dan mensucikan jiwa menyambut
malam Nisyfu Sya‟ban. (Lampiran nomor 17)
g. Tokoh Pasukan Tombak
Peran tokoh pasukan tombak ialah mengingatkan
masyarakat untuk melestarikan senjata tradisional tombak.
Pesan yang terkandung dalam pasukan tombak ini untuk
mengenalkan masyarakat dan membawa penonton menuju
kehidupan masa lalu saat masa kerajaan Ratu Kalinyamat.
Prajurit muslim pada zaman dahulu menggunakan tombak
sebagai senjata utamanya. Tombak merupakan senjata
alternatif pengganti pedang. Busana yang dipakai adalah jilbab
hitam yang memiliki fungsi sebagai penutup aurat muslimah.
Ikat kepala atau udeng dari kain bermotif batik yang diikatkan
setelah pemakaian jilbab sebagai simbol akulturasi budaya
Jawa. Warna biru rompi merupakan simbol daerah pesisiran
yaitu Jepara sebagai kota maritim wilayahnya dekat dengan
laut. (Lampiran nomor 14)
h. Pasukan Jaran Kepang
Tokoh pasukan pembawa kuda berperan sebagai simbol
kuda dalam peperangan Arya Penangsang dan Sutawijaya serta
menyampaikan kepada penonton bahwa pada zaman dahulu
menggunakan kuda sebagai alat transportasi dan mengingatkan
pada masyarakat untuk melestarikan kesenian Jaran kepang
sebagai kesenin tradisional yang harus dijaga. Penggunaan
jilbab hitam, manset hitam serta leging hitam berfungsi untuk
menutup aurat muslimah yang melambangkan kerajaan Islam,
rompi warna merah merupakan pakaian seorang pasukan
berkuda, warna merah simbol keberanian. Jarik tiga perempat
untuk mempermudah menaiki kuda serta melambangkan

53
karakter busana seorang pasukan. Ikat kepala sebagai simbol
seorang pasukan. (Lampiran nomor 9)
i. Tokoh Pembawa Lampion
Tokoh pembawa lampion atau impes memiliki simbol
akulturasi budaya cina. Diambil dari sudut pandang cerita
bahwa Sultan Hadirin suami Ratu Kalinyamat merupakan
orang keturunan Cina. Penerangan lampion juga sebagai simbol
penerangan saat membawa jenazah Sultan Hadirin menuju
Jepara, karena pada zaman dahulu belum ada lampu sebagai
alat penerangan.
Busana tokoh pembawa impes menggunakan kerudung
yang hanya dibuat sederhana saja karena mencerminkan warga
muslim golongan rakyat biasa yang berada di daerah pesisiran.
Kebaya yang dipakai hanya sederhana dengan jarik juga
sepanjang di bawah lutut yang mencerminkan akulturasi
budaya jawa di daerah pesisiran. (Lampiran nomor 18)
j. Tokoh Pembawa Puli
Tokoh pembawa Puli berperan sebagai wujud pelestarian
makanan Puli sebagai icon makanan Malam Nisyfu Sya‟ban.
Busana tokoh pembawa Puli menggunakan ikat kepala seperti
sorban berwarna putih karena melambangkan sisi keislaman.
Menggunakan kebaya dengan warna yang berbeda-beda,
sebagai wujud keceriaan. Pemakaian jarik dan kebaya
merupakan wujud akulturasi budaya jawa, ikat kepala
menyerupai sorban sebagai wujud akulturasi budaya muslim
dengan budaya Jawa. (Lampiran nomor 12)
Tradisi yang bertema Islami merupakan hasil dari proses
dinamika perkembangan Agama tersebut, yang mana tradisi
ikut serta untuk mengatur pemeluknya dalam melakukan
perbuatan di kehidupan sehari-hari. Peraturan dalam tradisi
Islam lebih mengarah pada peraturan yang sangat ringan
terhadap pemeluknya dan seringkali tidak memaksa terhadap
ketidakmampuan pemeluknya. Tradisi yang diterima akan
menjadi unsur yang hidup di dalam kehidupan para
pendukungnya. Ia menjadi bagian dari masa lalu yang
dipertahankan sampai sekarang dan mempunyai kedudukan
yang sama dengan inovasi-inovasi baru.19

19
Audah Mannan dan Mantasia, “Tradisi Appaenre Nanre Dalam Perspektif
Aqidah Islam (Studi Kasus Masyarakat Desa Bollangi Kecamatan Pattalassang),” Aqidah-
ta : Jurnal Ilmu Aqidah 3, no. 2 (2017): 133.

54
Seperti halnya pada tradisi Pesta Baratan ketika ditampilkan
oleh para pemain, berdasarkan data yang terkumpul serta dari hasil
observasi, dapat disampaikan bahwa nilai-nilai Islam yang
ditampilkan dalam Pesta Baratan melalui simbol-simbol yang
telah diperagakan akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Nilai Aqidah
Menurut Hasan al Banna dalam Yunahar, aqidah adalah
beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati
yang mendatangkan ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan
utuh yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.20
Dalam Pesta Baratan komunikasi yang mengandung nilai
aqidah di tampilkan dengan bagaimana para pemain tersebut
berbusana. Dari mulai pemeran Ratu Kalinyamat yang
walaupun pada masa dahulu beliau tidak mengenakan hijab,
namun dalam Pesta Baratan dipakaikan hijab sebagai simbol
bahwa Ratu Kalinyamat adalah seorang ratu yang beragama
islam, bahkan dalam masa kepemimpinan beliau tidak hanya
fokus dalam bertarung melawan portugis dan mengayomi
rakyatnya saja namun juga memiliki misi untuk menyebarkan
ajaran agama islam di semasa hidupya. Tidak hanya pemeran
Ratu Kalinyamat saja yang mengenakan hijab, namun seluruh
pemain perempuan diwajibkan untuk mengenakan hijab.
Selain dari penampilan Ratu Kalinyamat, dapat dilihat
juga dari sosok yang memerankan Wali Kutub yang di
hadirkan dalam Pesta Baratan. Wali Kutub dalam Pesta Baratan
ini memiliki tugas untuk mengusir makhluk gaib yang jahat
atau negatif seperti setan dan jin, selain itu sosok Wali Kutub
dalam Pesta Baratan juga sebagai simbol bahwa pada semasa
kejayaan Ratu Kalinyamat juga sangat dekat dengan Wali
Allah dan berdampingan sebagai maha gurunya sehingga
mereka bersama-sama memiliki misi untuk menyebarkan
Agama Islam pada masa itu.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa Pesta Baratan
memiliki nilai aqidah yang berhubungan langsung dengan
Allah Swt dan agamanya yaitu agama Islam.
b. Nilai Ibadah
Nilai ibadah adalah nilai-nilai yang mencakup hal-hal
yang disuka dan diridhoi Allah baik itu perkataan, perbuatan
yang dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-

20
Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, 6.

55
sembunyi dengan tujuan untuk memuliakan Allah Swt. 21 Nilai
ibadah dalam Pesta Baratan di tampilkan dengan bagaimana
para panitia dan masyarakat setempat melaksanakan ibadah
bersama. Ibadah bersama ini di laksanakan di masjid Al-
Makmur yang berada di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan
Kabupaten Jepara.
Ibadah bersama dilaksanakan dengan diawali membaca
doa Nisyfu Sya‟ban, membaca surat yasin sebanyak tiga kali,
lalu melaksankan sholat sunnah dan sholat isya berjamaah, dan
di tutup dengan makan sajian khas yaitu Kue Puli. Benda
benda yang terdapat dalam prosesi ini adalah al-quran/buku
surah yasin, lampion/obor sebagai simbol pencerahan atau
penerangan kehidupan, dan Kue Puli sebagai simbol saling
memaafkan. Prosesi ini dihadiri oleh Bupati Jepara, tokoh-
tokoh agama dan masyarakat umum. Setelah acara di masjid
Al-Makmur ini selesai mereka melanjutkan dengan
menyaksikan arak-arakan dan drama kolosal Ratu Kalinyamat
bersama.
c. Nilai Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih dalam Saebani & Hamid,
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. 22 Komunikasi yang mengandung nilai akhlak
dalam Pesta Baratan di tampilkan dengan bagaimana para
pemain Pesta Baratan membawakan peran yang diperankan
melalui penjiwaan perilakunya kepada penonton.
Kebiasaan atau perilaku dari tokoh-tokoh yang
diperankan itu diperagakan dalam Pesta Baratan sehingga akan
menjadi nilai akhlak tersendiri bagi pemain maupun
masyarakat. Nilai akhlak yang baik tersebut dapat menjadi
benih yang tertanam dalam diri pemain, apabila selanjutnya
pemain dari Pesta Baratan mampu menerapkan akhlak tersebut
secara terus menerus di dalam kehidupan sosialnya, maka apa
yang menjadi pesan moral dari proses komunikasi tradisional
tersebut dapat tersampaikan dengan baik. Begitu juga bagi
masyarakat, apabila mereka mampu menangkap pesan apa
yang terkandung dalam tradisi Pesta Baratan maka nilai akhlak

21
Jerry David Hermawan, dkk, “Mengembangkan Nilai-Nilai Multikulturalisme
Dalam Pendidikan Islam,” Edusiana 07, no. 01 (2020): 63–64.
22
Saebani dan Hamid, Ilmu Akhlak, 14.

56
tersebut dapat ter realisasikan. Adapun nilai-nilai akhlak yang
ditampilkan dalam Pesta Baratan adalah sebagai berikut:
1) Bijaksana
Dalam Pesta Baratan, memiliki akhlak yang bijaksana
ini di peragakan oleh pemeran Ratu Kalinyamat. Menjadi
seorang pemimpin haruslah memiliki kepribadian yang
bijaksana. Dalam agama Islam pun dianjurkan untuk
memilih seorang pemimpin yang bijaksana dalam
memberikan arahan dan mengambil keputusan. Tidak hanya
itu, seorang pemimpin juga hendaknya bijaksana dalam
konteks apapun. Contoh perilaku bijaksana yang dilakukan
oleh Ratu Kalinyamat, adalah ketika beliau memilih untuk
bertapa Wuda setelah dibunuhnya Sultan Hadirin. Tapa
Wuda ini sebagai wujud berserah diri Ratu Kalinyamat
kepada Allah Swt ketika suaminya dibunuh oleh saudaranya
sendiri.
2) Pemberani
Memiliki sikap yang pemberani ini di peragakan oleh
pemeran Ratu Kalinyamat. Beliau terkenal dengan sosok
ratu Jepara yang berwibawa dan pemberani. Ratu
Kalinyamat memiliki semangat juang yang tinggi ketika
menghadapi perang melawan portugis maupun musuh
lainnya. Dengan sikap yang pemberani dan tidak kenal takut
ini, Ratu Kalinyamat mampu menjadi pemimpin yang dapat
melindungi dan mengayomi rakyatnya dari ke-tidak adilan
dan ancaman.
3) Sopan
Perilaku sopan di tampilkan dalam Pesta Baratan
melalui sikap rakyat Ratu Kalinyamat ketika menghadap
kepada beliau. ketika masuk ruangan atau menghadap
kepada pimpinan, masyarakat memiliki unggah-ungguh atau
tata krama sebagai orang jawa dan orang Islam pada masa
lampau. Perilaku sopan ini ditampilkan ketika rakyat
memberikan salam kepada Ratu Kalinyamat. Tidak hanya
itu, para pemain lainnya seperti penari bahkan Ratu
Kalinyamat dan juga dayangnya juga memberikan salam
kepada penonton dengan menundukkan kepalanya ketika
memasuki panggung pertunjukkan.
Sikap itu diperagakan dengan badan yang sedikit
membungkuk disertai pandangan yang menunduk dan
telapak. tangan menyatu di depan dada. Perilaku sopan
tersebut berlanjut dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika

57
kepada orang tua, kepada pimpinan, maupun kepada
siapapun ketika berhadapan kepada orang yang lebih tua.
4) Santun
Dalam Pesta Baratan, perilaku santun di tampilkan
oleh rakyat yang menghadap dengan Ratu Kalinyamat di
pertapaan wuda ketika mendapat titah untuk membunuh
para musuh. Dari adegan tersebut dapat dilihat bahwa cara
para pemain berkomunikasi ini juga menggunakan bahasa
yang santun. kebiasaan baik ini berlanjut dalam kehidupan
sehari-hari, baik ketika kepada orang tua, kepada pimpinan,
maupun kepada siapapun ketika berhadapan kepada orang
yang lebih tua.
Pesta Baratan sudah berkembang sejak lama dan hidup
bersama rakyat. Pesta Baratan merupakan alat hiburan
sekaligus sebagai media komunikasi yang telah lama dikenal
dan dipergunakan oleh masyarakat Kalinyamatan. Elemen-
elemen tradisional terasa sangat penting untuk memperoleh
efektivitas yang tinggi sebagai media komunikasi, karena
berakar pada kebudayaan asli yang memuat ajaran moral dan
norma. Pada hakikatnya elemen-elemen tradisional termasuk
seni bermaksud untuk dikomunikasikan. Misalnya seni tari
juga memiliki keistimewaan yaitu berupa ekspresi manusia
yang akan menyampaikan pesan dan pengalaman subyektif si
pencipta atau penata tari kepada penonton atau orang lain.
Dalam Pesta Baratan juga terdapat seni tari yang memiliki
makna dan pesan tertentu yang hendak di komunikasikan
kepada masyarakat yang menonton. Tari-tarian tersebut di
antaranya:
d. Tari Penabur Bunga
Barisan penabur bunga sebagai simbol wewangian.
Peranannya menyimbolkan sesuatu yang baik yaitu keharuman
jiwa manusia serta kesucian hati untuk menyambut malam
Nisfu Sya‟ban dan harumnya dari jenazah Sultan Hadirin. Nilai
Islam didalamnya mencakup keselarasan semua unsur
kehidupan antara apa yang diperbuat manusia dengan apa yang
telah diperintahkan oleh Tuhannya. Memiliki jiwa yang suci
dalam menyambut malam nisyfu sya’ban menjadikan umat
manusia senantiasa menuju kepada keridlaan Allah.
e. Tari Pasukan Tombak
Menggambarkan kesiap siagaan mengahdapi perang
yang dapat sewaktu waktu dimulai. Diceritakan bahwa
karakteristik dari tokoh pasukan pembawa tombak adalah

58
berani dan pejuang. Penggambaran pasukan tari ini
mengandung nilai yang merupakan petunjuk, pedoman maupun
pendorong bagi manusia untuk memecahkan berbagai masalah
hidup seperti ilmu agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
militer, sehingga terbentuk pola motivasi, tujuan hidup dan
perilaku manusia yang menuju kepada keridhaan Allah.
f. Tari Pasukan Kuda/Jaran Kepang
Menggambarkan keadaan ketika masa peperangan Arya
Penangsang dan lawannya yang menunggangi kuda
perkasanya. Diceritakan bahwa karakteristik dari tokoh Jaran
Kepang sama hal nya dengan tokoh pasukan pembawa tombak
yaitu pemberani dan pejuang. Penggambaran pasukan tari ini
juga mengandung nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman
bagi umat manusia untuk menghadapi masalah hidup dengan
berani dan senantiasa mencari solusi dari setiap masalah
dengan berdasar kepada al-quran dan hadits.
g. Tari Pembawa Impes atau Lampion
Karakteristik dari tokoh pasukan pembawa impes atau
lampion apabila di ibaratkan dalam kehidupan nyata adalah
sebagai penerang atau pembawa hal kebaikan setelah terjadi
adanya kegelapan atau kejahatan yang telah gugur. Disini
lampion memiliki nilai dan menjadikannya sebagai hal pokok
yang sangat melekat pada malam nisyfu sya‟ban.
h. Tari Pembawa Puli
Menggambarkan seorang wanita desa sederhana dan
dalam kesehariannya selalu menggunakan alat tampah sebagai
alat pemilih beras untuk dimasak sehari-hari, sebagai tanda
kemakmuran. karakteristik dari tokoh pembawa Puli dalam
tampah adalah baik, mandiri, dan juga pekerja keras. Walaupun
tari ini ditampilkan dengan kesederhanaannya, namun tari ini
memiliki nilai yang dijunjung tinggi. Tari Puli adalah untuk
memberirtahukan kepada masyarakat bahwa makanan Puli
wajib ada pada malam nisyfu sya‟ban. Dengan begitu nilai
yang terdapat dalam suatu hal bukan hanya dilihat dari harga
atau kemewahannya saja, tapi juga melalui kesederhanaan dan
maknanya.

Pesta Baratan sebagai komunikasi tradisional mampu di


jadikan media untuk menyampaikan pesan budaya kepada
masyarakat lain yang berbeda latar kebudayaannya. Seperti
halnya komunikasi antarbudaya adalah komunikasi
antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang

59
memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akibatnya,
interaksi dan komunikasi yang sedang terjadi itu membutuhkan
tingkat keamanan dan sopan santun tertentu, serta peramalan
tentang sebuah atau lebih aspek tertentu terhadap lawan
bicara.23
Komunikasi yang terjadi dalam Pesta Baratan juga
memiliki tingkat keamanan dan sopan santun tertentu, sesuai
dengan penejelasan informan Mas Failasofa Shidqi Novian,
sopan santun yang terjadi dalam Pesta Baratan diperagakan
bagaimana perilaku masyarakat dan atau bawahan ketika
berhadapan dengan pimpinan. Perilaku sopan santun tersebut di
peragakan melalui tingkah laku maupun tutur katanya.
Sehingga interaksi yang terjadi di dalamnya dapat menciptakan
tingkat keamanan tanpa terjadi adanya konflik atau
kesalahpahaman terhadap masyarakat yang menontonnya.

23
Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya, 12–13.

60
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Pesta Baratan merupakan salah satu tradisi yang masih
dipertahankan oleh masyarakat kalinyamatan dalam setiap
pertengahan bulan sya’ban. Pesta Baratan dilakukan sebagai wujud
rasa syukur atas masyarakat yang masih diberi kesempatan untuk
menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Pesta Baratan dimulai
dari pembacaan surah yasin sebanyak tiga kali serta do’a malam
nisyfu sya‟ban bersama yang dilaksanakan setelah sholat maghrib di
masjid Al-Makmur Kriyan. Selanjutrnya disusul dengan prosesi
karnaval yaitu kegiatan arak-arakan sosok pemeran Ratu Kalinyamat
dengan seluruh pasukannya. Karnaval ini dimulai dari jalan kauman 1
desa Margoyoso hingga sampai lapangan desa Banyuputih. Dalam
arak-arakan ini pemeran Ratu Kalinyamat menaiki kereta yang di
jalankan oleh kuda. Selain itu, ke-enam dayangnya menunggangi
kuda dan pemain yang lainnya berjalan kaki hingga sampai di
panggung pentas yang ada di lapangan Banyuputih. Prosesi
berikutmya ketika sampai di lapangan Banyuputih disambut dengan
permainan musik dan tari sufi yang disuguhkan untuk penonton
sembari menunggu arak-arakan Ratu Kalinyamat tiba. Setelah Ratu
Kalinyamat dan pasukannya tiba mereka menaiki panggung secara
bergiliran untuk mementaskan sebuah drama tari. Drama tari berisi
tentang peperangan, tentang sosok Ratu Kalinyamat, dan ditutup
dengan tarian.
Pesta Baratan mengandung nilai-nilai Islam yaitu nilai aqidah,
nilai ibadah, dan nilai akhlak. Nilai aqidah terdapat pada pedoman
hidup yang dijadikan pegangan dalam acara ini yaitu berpedoman
pada ahlussunnah wal jamaah. Selain itu nilai aqidah berasal dari
keyakinan mempercayai sosok Ratu Kalinyamat yang merupakan
pemimpin dan juga sekaligus menyebarkan ajaran agama Islam pada
masanya. Nilai ibadah terdapat pada pelaksanaan acara Pesta Baratan
yang diawali dengan pembacaan doa bersama, pembacaan surah yasin
dan sholat berjamaah. Selain itu juga terlihat dari kegiatan memberi
makanan untuk jamaah yang diniatkan untuk bersedekah. Nilai
akhlak terdapat pada pesan moral yang terkandung dalam Pesta
Baratan. Nilai moral disampaikan dengan menampilkan perilaku yang
baik dan ramah. Selain itu, sopan santun dalam acara ini begitu
dijunjung tinggi sehingga nilai moralnya dapat tersampaikan dengan
baik kepada penonton.

61
B. Saran
Adapun beberapa hak yang dapat disarankan terkait penelitian
ini. Berikut saran-saran tersebut adalah:
1. Untuk Pelaku Kirab Budaya
a. Sebagai pelaku kirab budaya untuk dapat membawakan sebuah
kebudayaan dengan baik agar pesan yang hendak disampaikan
mampu diterima oleh masyarakat.
b. Sebagai pelaku kirab budaya khususnya yang berbalut agama
Islam, hendaknya membawakan tradisi masyarakat dengan
hati-hati agar tidak terjadi suatu hal yan menyimpang dari
ajaran agama Islam.
c. Untuk Masyarakat
d. Masyarakat untuk dapat mengamalkan nilai-nilai positif yang
terkandung dalam Pesta Baratan dan mengajak sesama manusia
lain untuk memiliki budi pekerti luhur.
e. Masyarakat untuk dapat menjaga melestarikan dan meneruskan
tradisi Pesta Baratan agar tidak tenggelam oleh zaman.
Diharapkan Pesta Baratan ini akan tetap eksis dan semakin
dikemas dengan lebih menakjubkan.

62
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah. Hamdi. “Nilai Pendidikan Islam Dalam Kesenian Wayang.”


Jurnal Pendidikan Islam 11. no. 1 (2020).
Abubakar. Rifa’i. Pengantar Metodologi Penelitian. Yogyakarta. Suka
Press. 2021.
Apria. Diana Rosca. “Dampak Komodifikasi Terhadap Tari Tradisi
Sebagai Media Komunikasi Tari Bedhaya Di Jakarta.”
Communicology. Jurnal Ilmu Komunikasi 8. no. 1 (2020). 104–
117.
Arifuddin. “Pemanfaatan Media Tradisional Sebagai Sarana Penyebaran
Informasi Publik Bagi Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai
(Studi Kasus Pada Grup Kesenian Cermin Teater Di Kabupaten
Serdang Bedagai).” JURNAL PIKOM. (Penelitian Komunikasi dan
Pembangunan) 18. no. 2 (2017).
As’adi. Muhamad Hasan. “Media Tradisional Sebagai Media Komunikasi
Pembangunan Masyarakat Titidu Gorontalo.” Kalijaga. Jurnal
Komunikasi 2. no. 1 (2020).
Buhori. “Islam Dan Tradisi Lokal Di Nusantara (Telaah Kritis Terhadap
Tradisi Pelet Betteng Pada Masyarakat Madura Dalam Perspektif
Hukum Islam).” Al-Maslahah 13. no. 2 (2017).
Deva. Desi Hasra. dkk. “Tangis Tukhunen Sebagai Medium Komunikasi
Tradisional Dalam Prosesi Adat Pernikahan Suku Alas Di Aceh
Tenggara.” Aceh Anthropological Journal 5. no. 2 (2021).
Gunardi. “Kerangka Konsep Dan Kerangka Teori Dalam Penelitian Ilmu
Hukum.” Jurnal Hukum. no. 1 (2005). 86–101.
Hadirman. “Tradisi Katoba Sebagai Media Komunikasi Tradisional
Dalam Masyarakat Muna.” Jurnal Penelitian Komunikasi dan
Opini Publik 20. no. 1 (2016). 11–30.
Hamzah. Amir. Metode Peneltian Kualitatif Rekontruksi Pemikiran
Dasar Serta Contoh Penerapan Pada Ilmu Pendidikan. Sosial &
Humaniora. Malang. Literasi Nusantara. 2019.
Harapan. Edi. dan Ahmad Syarwani. Komunikasi Antarpribadi. Perilaku
Insani Dalam Organisasi Pendidikan. Jakarta. RajaGrafindo
Persada. 2014.
Hefni. Harjani. Komunikasi Islam. Jakarta. Pranada Media Group. 2017.
Hermawan. Jerry David. dkk. “Mengembangkan Nilai-Nilai
Multikulturalisme Dalam Pendidikan Islam.” Edusiana 07. no. 01
(2020).
Ilmaniya. Solehati. dan Rio Febriannur Rachman. “Komunikasi
Antarbudaya Di Pondok Pesantren (Studi Kasus Di Pondok
Pesantren Putri Miftahul Ulum Banyuputih Lumajang).” Al-
Insyiroh. Jurnal Studi Keislaman 6. no. 2 (2020). 61–84.
Ilyas. Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta. Lembaga Pengkajian
dan Pengamalan Islam. 1995.
Kadri. “Optimalisasi Peran Kesenian Tradisional Sebagai Media
Komunikasi Dan Pendidikan Sosial.” Jurnal BPPNFI dalam
Jurnal Aksa Sriti (2011). 27–35.
Kallang. Abdul. “Konteks Ibadah Menurut Al-Quran.” Al-Din. Jurnal
Dakwah dan Sosial Keagamaan 4. no. 2 (2018).
Kholil. Syukur. Mailin. dan Insi Luthfiyah Siregar. “Komunikasi
Antarbudaya Mahasiswa Malaysia Dan Indonesia Fakultas
Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN)
Sumatera Utara.” Al-Balagh 1. no. 2 (2017).
Liliweri. Alo. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. 2003.
Liliweri. Alo. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta. Lkis Yogyakarta. 2002.
Mannan. Audah. dan Mantasia. “Tradisi Appaenre Nanre Dalam
Perspektif Aqidah Islam (Studi Kasus Masyarakat Desa Bollangi
Kecamatan Pattalassang).” Aqidah-ta . Jurnal Ilmu Aqidah 3. no. 2
(2017).
Morissan. Teori Komunikasi. Individu Hingga Massa. Jakarta. Pranada
Media Group. 2013.
Mukhlis. “Nilai Keislaman Dan Anti Kekerasan Dalam Novel Sabda-
Sabda Cinta Karya Najib Kailany.” Sasindo. Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia 1. no. 1 (2013).
Mustari. Mohamad. dan Mohammad Taufiq Rahman. Nilai Karakter
(Refleksi Untuk Pendidikan Karakter). Yogyakarta. Laksbang
Pressindo. 2011.
Nasrullah. Rulli. Komunikasi Antarbudaya. Di Era Siberia. Jakarta.
Kencana Pranada Media Group. 2012.
Nawawi. Nurnaningsih. Aqidah Islam (Dasar Keikhlasan Beramal
Shalih). Makassar. Pusaka Almaida Makassar. 2017.
Nurhayati. “Akhlak Dan Hubungannya Dengan Aqidah Dalam Islam.”
Jurnal Mudarrisuna 4. no. 2 (2014).
Nurudin. Ilmu Komunikasi. Ilmiah Dan Populer. Jakarta. RajaGrafindo
Persada. 2017.
Rudianto. Totok. Mislinawati. dan Glarian Tri Audi. “Pengaruh
Pengalaman. Pengetahuan Dan Keterampilan Auditor Terhadap
Kualitas Audit (Studi Kasus Kantor Inspetokrat Aceh).” Jurnal
Penelitian Ekonomi Akuntansi (JENSI) 4. no. 2 (2020). 125–133.
Rukiyah. “Pesta Baratan Di Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten
Jepara.” Anuva 4. no. 2 (2020).
Saebani. Beni Ahmad. Filsafat Ilmu Dan Metode Penelitian. Bandung.
Pustaka Setia. 2015.
Saebani. Beni Ahmad. dan Abdul Hamid. Ilmu Akhlak. Bandung. Pustaka
Setia. 2010.
Saputra. Eko. “Komunikasi Antarbudaya Etnis Lokal Dengan Etnis
Pendatang . Studi Kasus Mahasiswa/I Fakultas Adab Dan Ilmu
Budaya Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.” Interaksi. Jurnal Ilmu
Komunikasi 8. no. 1 (2019).
Saputra. Faisal Tomi. dan . Muhiroh. “Komunikasi Antar Budaya Etnis
Tionghoa Dan Penduduk Muslim Di Banten.” Dialektika
Komunika. Jurnal Kajian Komunikasi dan Pembangunan Daerah
7. no. 2 (2020).
Sayoga. Budi. “Revitalisasi Media Tradisional Sebagai Instrumen Difusi
Inovasi Di Pedesaan.” Pembangunan Pedesaan 13. no. 1 (2013).
Setyaningsih. Rini. dan Subiyantoro. “Kebijakan Internalisasi Nilai-Nilai
Islam Dalam Pembentukan Kultur Religius Mahasiswa.” Edukasia.
Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 12. no. 1 (2017). 57–86.
Shoelhi. Mohammad. Komunikasi Lintas Budaya Dalam Dinamika
Komunikasi Internasional. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
2015.
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra. Analisis Psikologis. Surakarta.
Muhammadiyah University Press. 2005.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif.
Kualitatif. Dan R&D). Bandung. Alfabeta. 2015.
Sumarto. “Budaya. Pemahaman Dan Penerapannya.” Jurnal Literasiologi
1. no. 2 (2019).
Suratman. Munir. dan Umi Salamah. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.
Malang. Intimedia. 2014.
Suryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung. Pustaka Setia. 2015.
Tamburian. Daniel. “Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Dayak
Dalam Menjaga Kerukunan Hidup Umat Beragama.” Jurnal
Komunikasi 10. no. 1 (2018).

Anda mungkin juga menyukai