Anda di halaman 1dari 20

FRAKTUR

Dosen pengampu: Ns.Yusnita .S.Kep.M.Kes

Kelompok 5
Semester 5B

ANA KUSMEIKA YANTI 2019206203041


DETALIA APRIANI 2019206203047
DENDI MEIRINDO 2019206203046

S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
2021
BAB II

TINJAUANPUSTAKA

2.1 Fraktur
2.1.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya integritas tulang dan tulang rawan yang hidup, yang
meliputi kerusakan pada sumsum tulang, perisoteum dan jaringan lunak sekitarnya, yang
umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Pada keadaan tertentu
dimana tulang menjadi lemah seperti pada penyakit Ostoporosis, beberapa kanker tulang,
atau Osteogenesis Imperfecta, fraktur dapat terjadi hanya dengan trauma yang minimal,
pada kondisi ini dinamakan dengan fraktur patologis (Cross & Swiontkowski, 2008).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan


oleh rudapaksa (Kholid, 2013). Sedangkan Carpenito (2013) menyebutkan bahwa fraktur
adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan dari luar yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

2.1.2 Etiologi Fraktur

2.1.2.1 Kekerasan Langsung


Kekerasan Langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.

2.1.2.2 Kekerasan Tidak Langsung


Kekerasan tidak langsung menyababkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

2.1.2.3 Kekerasan Akibat Tarikan Otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dan ketiganya, dan
penarikan.
2.1.3 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membyngkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan
yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

2.1.4.1 Faktor Ekstrinsik


Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang ysng tergantung tehadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2.1.4.2 Faktor Intrinsik


Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.

2.1.5 Klasifikasi fraktur


Penampakan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:

2.1.5.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).


a. Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.

b. Fraktur terbuka (Open / Compound), bila terdapat hubungan antara


fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2.1.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.

a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.

b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang,
seperti:

c. Hair Line Fraktur (patah retak rambut).


d. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa dibawahnya.

e. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.

2.1.5.3 Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.

a. Fraktur Transversal: Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik: Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut


terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.

c. Fraktur Spiral: Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.

d. Fraktur Kompresi: Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.

e. Fraktur Avulasi: Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau


traksi otot pada insesinya pada tulang.

2.1.5.4 Berdasarkan Jumlah Garis Patah


a. Fraktur Komunitif: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple: Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
2.1.5.5 Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undidplaced (tidak bergeser): Garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser): Terjadi pergeseran fragmen tulang yang


juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

c. Dislokasi ad longitudinam cumcontarctinum (pergeseran searah sumbu)


terbagi menjadi dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut
dan dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).

2.1.5.6 Berdasarkan posisi fraktur


Satu batang tulang terbagi menjadi 3 bagian yaitu 1/3 proksimal, 1/3 medial, 1/3
distal.

2.1.5.7 Fraktur kelelahan: Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang

2.1.5.8 Fraktur Patologis: Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

2.1.5.9 Pada Fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang ber dasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.

b. Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.

c. Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartemen.

2.1.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik yang dapat terjadi pada pasien fraktur adalah deformitas, bengkak
atau edema, echimosis (memar), spasme otot, nyeri, kurang atau hilang sensasi,
krepitasi, peregerakkan abnormal, rontgen abnormal.
2.1.7 Tes Diagnostik
2.1.7.1 Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau
luasnya trauma, scan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan
fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi keruskan
jaringan lunak.

2.1.7.2 Hitung darah lengkap: HB mungkin meningkat atau menurun.

2.1.7.3 Peningkatan jumlah sop adalah respons stres normal setelah


trauma.

2.1.7.4 Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.

2.1.7.5 Profil koagulasi: Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,


transfusi multipel, atau cidera hati.

2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


2.1.8.1 Fraktur terbuka merupakan kasus emergency karena dapat terjadi
kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden periode). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:

a. Pembersihan luka.
b. Exici.
c. Heating Situasi.
d. Antibiotik.
2.1.8.2 Seluruh Fraktur.
a. Rekognisis/ Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutya.

b. Reduksi/ Manipulasi/ Reposisi.


Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis. Reduksi tertutup traksi, atau
reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
begantung sifat fraktur, namun prinsp yang mendasarinya tetap sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur segera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan pendarahan.
Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur semakin sulit bila cidera sudah mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; memperoleh ijin untuk memperoleh prosedur, analgetika diberikan
sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi akan ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup pada kebanykan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan


mengambalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan
dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas yang dipertahankan dalam posisi yang
dinginkan, sementara gips, dan alat lain yang dipasang oleh doter. Alat imobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dlam kesejajaran yang benar.

Traksi dapat digunakan untuk memperoleh reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-X digunakan untuk memantau
reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-X. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai
untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat paku atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan disisi
tulang atau langsung ke rongga sum-sum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

c. Retensi/ Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimum.

Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,


atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna ataua interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, ataau
fiksator eksterna. Implan logam dapat diguanakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengibolisasi fraktur.
d. Rehabilitasi.
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya: pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila
ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
denga berbagai pendekatan (misalnya: meyakinkan perubahan posisi, strategi peredaran
nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atropi disuse (atropi otot) dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi
dalam kehidupan sehari-hari diusahakan sesuai batasan terepiutika. Biasanya, fiksasi
internal memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstremitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan berat badan.

2.1.9 Komplikasi

2.1.9.1 Kerusakan arteri


Pecahnya arteri karena trama bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, sianosi bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas yang
disebabkan oleh tindakan emergency splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan tindakan pembedahan.

2.1.9.2 Kompartemen sindrome.


Kompartemen sindrome merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan perut. Ini
disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
Fat Embolish Syndrome.

Fat Embolish Syndrome (FES) adalah komplikasi yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk kealiran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam daerah rendah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

2.1.9.3 Infeksi.
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai padda kulit (superfisisal) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pad kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena pengguanaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan alat.
2.1.9.4 Avaskuler Nekrosis.
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa mengakibatkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.

2.1.9.5 Shock.
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang biasa menyebabkan menurunnya oksigenasi.ini biasanya terjadi pada
fraktur.

2.2 Peran Keluarga


2.2.1 Pengertian Peran.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran merujuk kepada beberapa set
perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara
formatif dari seseorang okupan peran (role accupan) dalam situasi sosial tertentu
(Mubarak, 2009).
2.2.2 Konsep Keluarga
2.2.2.1 Pengertian.
Menurut Friedman dalam Padila (2012) keluarga merupakan sebuah kelompok
kecil yang terdiri dari individu-individu yang memiliki hubungan erat satu sama lain,
saling tergantung yang diorganisisir dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam
keadaan saling menguntungkan (Depkes RI dalam Padila 2012).
2.2.2.2 Tipe/Bentuk keluarga.
Menurut Arita Murwani (2012) tipe atau bentuk keluarga sebagai berikut :
a. Tipe Tradisional
1) The Nuclear Family
Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak.
2) The Dyad Family
Keluarga yang terdiri dari suami, istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam
satu rumah.
3) Keluarga Usila
Keluarga yang terdiri dari suami, istri yang sudah tua dengan anak sudah
memisahkan diri.
4) The Childles Family
Kelurga tanpa anak karena terlambat menikah dan untuk mrndapatkan anak
terlambat waktunya yang disebabkan karena mengejar karier atau pendidikan yang terjadi
pada wanita.
5) The Extenden Family
Keluarga yang terdiri dari tiga generasi.
6) The Single Parent Family
Keluarga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak, hal ini melalui proses
perceraian atau kematian.
7) Commuter Family
Keluarga dengan kedua orang tua bekerja di kota yang berbeda, tapi salah satu kota
tersebut sebagai tempat tinggal dan orang tua yang bekerja di luar kota bisa berkumpul
dengan keluarga saat akhir pekan.
8) Multigenerational Family
Keluarga dengan beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama
dalam satu rumah.
9) Kin-Network Family
Keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah
atau saling berdekatan dan mengunakan barang-barang dan pelayanan yang sama seperti
dapur, kamar mandi, TV telepon dll.
10) Blended Family
Keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda yang menikah kembali dan
membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya.
11) The Single Adult Living Alone
Kerluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau
perpisahan seperti perceraian atau ditinggal mati.

b. Tipe Non Tradisional

1) The Unmarriedteenege mather


keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan
tanpa nikah.
2) The Stepparent Family
keluarga dengan orang tua tiri.
3) commune Family
Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara
hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang
sama.
4) The Non Marital Heterosexual Cohibitang Family
Keluaga yang hidup bersama dan berganti-ganti
pasangan tanpa melalui pernikahan.
5) Gay and Lesbian Family
Seseorang yang mempunyai persamaan seks hidup bersama sebagaimana suami,
istri (marital partners).
6) Cohibiting Couple
Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa
alasan tertentu.
7) Group Marriage Family.
Beberapa orang dewasa mengunakan alat-alat rumah tangga bersama yang saling
merasa sudah menikah, berbagi sesuatu termasuk sexual dan membesarkan anaknya.
8) Group Network Family
Keluarga inti yang dibatasi aturan atau nilai-nilai, hidup bersama atau berdekatan
satu sama lainnya dan saling menggunakan barang-barang rumah tangga bersama,
pelayanan dan tanggung jawab membesarkan anaknya.

9) Family
Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau saudara didalam
waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk
menyatukan kembali keluaga aslinya.
10) Homeless Family
Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen
karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan problem
kesehatan mental.
11) Gang Family
Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang- orang muda yang mencari
ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam
kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya.

2.2.2.3 Fungsi keluarga


Fungsi kelurga biasanya didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga. Friedman dalam Padila (2012) mengidentifikasi ada 5 fungsi keluarga yaitu :
a. Fungsi efektif (fungsi pemeliharaan kepribadian).
b. Yaitu untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan
memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung.
c. Fungsi sosialisasi dan fungsi penerapan social.
d. Yaitu proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota
keluarga berinteraksi social dan belajar berperan di lingkungan.
e. Fungsi reproduksi.
f. Yaitu untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya
manusia.

g. Fungsi ekonomis.
h. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan dan papan.
i. Fungsi kesehatan keluarga.
j. Untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

2.2.2.4 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan


Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan.
Friedman dalam Padila (2012) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang
harus dilakukan yaitu :
a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya.
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
d. Mempertahankan suasana rumah yang sehat.
e. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada dimasyarakat.
2.2.3 Peran Formal Keluarga
Peran formal dasar keluarga menurut Mubarak (2009) adalah sebagai berikut.
2.2.3.1 Peran sebagai provider atau penyedia.
2.2.3.2 Sebagai pengatur rumah tangga.
2.2.3.3 Perawatan anak, baik yang sehat maupun yang sakit.
2.2.3.4 Sosialiasi anak.
2.2.3.5 Rekreasi.
2.2.3.6 Persaudaraan (kinship), memelihara hubungan keluarga
paternal dan maternal.
2.2.3.7 Peran terapeutik (memenuhi kebutuhan afektif dari
pasangan).
2.2.3.8 Peran seksual.
2.2.4 Peran Informal Keluarga
Peran informal keluarga yang bersifat adaptif menurut Mubarak (2009) adalah sebagai
berikut.
2.2.4.1 Pendorong
Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan mendorong,
memuji, setuju dengan dan menerima kontribusi dari orang lain.
2.2.4.2 Pengharmonis
Pengharmonis yaitu berperan menengahi perbedaan yang terdapat diantara para
anggota, penghibur dan menyatukan kembali perbedaan pendapat.
2.2.4.3 Inisiator-kontributor
Mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara mengingat masalah-
masalah atau tujuan-tujuan kelompok.
2.2.4.4 Pendamai
Pendamai berarti jika terjadi konflik dalam keluarga maka konflik dapat
diselesaikan dengan jalan musyawarah atau damai.
2.2.4.5 Pencari nafkah
Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan orang tua dalam memenuhi kebutuhan,
baik material maupun nonmaterial anggota keluarganya.
2.2.4.6 Perawatan keluarga
Perawatan keluarga yaitu peran yang dijalankan terkait merawat anggota keluarga
jika ada yang sakit.
2.2.4.7 Penghubung keluarga
Perantara keluarga adalah penghubung, biasanya ibu mengirim dan memonitor
komunikasi dalam keluarga.
2.2.4.8 Pionir keluarga
Pionir keluarga yaitu membawa keluarga pindah kesuatu wilayah asing dan
mendapatkan pengalaman baru.

2.2.4.9 Sahabat, penghibur dan koordinator


Koordinator keluarga berarti mengorganisasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan
keluarga yang berfungsi mengangkat keakraban dan memerangi kepedihan.
2.2.4.10 Pengikut dan saksi
Saksi sama dengan pengikut, kecuali dalam beberapa hal, saksi lebih pasif. Saksi
hanya mengamati dan tidak melibatkan dirinya.
2.2.5 Peran Keluarga Dalam Kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai peran di
bidang kesehatan meliputi :
2.2.5.1 Mengenal masalah kesehatan keluarga.
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa
kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh
kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis.
2.2.5.2 Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang
tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan
keluarga.
2.2.5.3 Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi
keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri
2.2.5.4 Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan
keluarga.
2.2.5.5 Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi
keluarga (Friedman, 2010).

2.3 Discharge Planning


Perencanaan pulang (discharge planning) keperawatan merupakan komponen yang
terkait dengan rentang keperawatan. Rentang keperawatan disebut juga perawatan
berkelanjutan yang artinya perawatan yang dibutuhkan oleh pasien dimanapun pasien
berada. Discharge planning sebagai merencanakan kepulangan pasien dan memberikan
informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari dan
dilakukan sehubungan dengan kondisi atau penyakitnya (Rondhianto, 2008).
Discharge planning adalah suatu proses dimana mulainya pasien mendapatkan
pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses
penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatnnya sampai pasien
merasa siap untuk kembali lingkungannya. Discharge planning menunjukkan beberapa
proses formal yang melibatkan tim atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur
perpindahan sekelompok orang ke kelompok lainnya.
Perawat adalah salah satu anggota tim discharge planner, dan sebagai discharge
planner perawat mengkaji setiap pasien dengan mengumpulkan data dan menggunakan
data yang berhubungan untuk mengidentifikasi masalah aktual dan potensial, menentukan
tujuan dengan atau bersama pasien dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk
mengajarkan dan mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan
kembali kondisi pasien secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan asuhan
keperawatan.
Jenis Dischare Planning

Menurut Nursalam (2002), jenis discharge planning tebagi menjadi :


2.3.1.1 Conditional discharge (pemulangan sementara).
Jika klien pulang dalam keadaan baik dan tidak ada komplikasi, klien pulang untuk
sementara di rumah dan masih dalam proses perawatan dan harus ada pengawasan dari
pihak rumah sakit atau puskesmas terdekat.
2.3.1.2 Absollute discharge (pulang mutlak atau selamanya).
Jika klien sudah selesai masa perawatan dan dinyatakan sembuh dari sakitnya. Jika klien
perlu perawatn kembali, maka prosedur perawatan dapat dilakukan kembali.
2.3.1.3 Judocal discharge (pulang paksa).
Jika kondisi klien masih perlu perawatan dan belum memungkinkan untuk pulang, tetapi
klien harus dipantau dengan melakukan kerjasama dengan tim home care RS.
2.3.2 Komponen Perencanaan Pulang.
1. Perawatan di rumah.
2. Pemberian pembelajaran dan pendidikan kesehatan mengenai: diet, waktu
kontrol, tempat kontrol.
3. Penjelasan mengenai obat-obatan yang masih diminum, dosis, cara
pemberian, dan waktu yang tepat untuk minum obat.
4. Obat-obatan yang dihentikan. Walaupun obat-obatan klien sudah tidak
diminum lagi, namun tetap dibawa oleh klien serta ditentukan siapa yang
akan menyimpan obat tersebut.
5. Hasil pemeriksaan.
6. Hasil pemeriksaan luar sebelum MRS dibawakan pada klien waktu pulang.
7. Surat-surat seperti surat keterangan sakit.

2.3.3 Tindakan Keperawatan Pada Waktu Perencanaan Pulang.


1. Tindakan perawatan yang diberikan pada perencanaan pulang yaitu meliputi:
pendidikan (edukasi, reedukasi, reorientasi) kesehatan yang diharapkan dapat
mengurangi angka kekambuhan dan meningkatkan pengetahuan pasien serta
keluarga.
2. Program pulang bertahap.
3. Melatih pasien kembali ke lingkungan dan masyarakat antara lain yang
dilakukan pasien di rumah sakit, dan tugas keluarga.
4. Rujukan.
5. Integrasi pelayanan kesehatan harus mempunyai hubungan langsung antara
perawatan komunitas dengan rumah sakit sehingga dapat mengetahui
perkembangan pasien di rumah.
2.3.4 Tujuan Discharge Planning
Tujuan dilakukannya discharge planning sangat baik untuk kesembuhan dan
pemulihan pasien pasca pulang dari rumah sakit. Menurut Nursalam (2011) tujuan
discharge planning atau perencanaan pulang antara lain sebagai berikut:
1. Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan sosial.
2. Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.
3. Meningkatkan perawatan yang berkelanjutan pada pasien.
4. Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain.
5. Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta
sikap dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien.
6. Melaksanakan rentang keperawatan antara rumah sakit dan masyarakat.

2.3.5 Manfaat Dischage Planning.


Perencanaan pulang mempunyai manfaat antara lain sebagai berikut (Nursalam, 2011):
1. Memberikan kesempatan pada pasien untuk mendapat pelajaran selama di
rumah sakit sehingga bisa dimanfaatkan sewaktu di rumah.
2. Tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin kontinutas
keperawatan pasien.
3. Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan
pasien dan mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan keperawatan baru.
4. Membantu kemandirian pasien dalam kesiapan melakukan keperawatan
rumah.
2.3.6 Prinsip Discharge Planning.
Tingkat keberhasilan dari discharge planning serat penyembuhan pasien harus
didukung terhadap adanya prinsip-prinsip yang mendasari, yang juga merupakan tahapan
dari proses yang nantinya akan mengarah terhadap hasil yang diinginkan. Menurut
Departement of health (2004) dalam buku karya Liz Lees (2012) disebutkan ada
beberapa prinsip dalam discharge planning, diantaranya adalah:
1. Mempunyai pengetahuan yang spesifik terhadap suatu proses penyakit
dan kondisinya.
2. Dapat memperkirakan berapa lama recovery pasien, serta perbaikan kondisi
yang muncul dari proses penyembuhan tersebut.
3. Melibatkan serta slalu berkomunikasi dengan pasien, keluarga atau
pengasuh dalam proses discharge planning.
4. Turut serta dalam menangani masalah dan kesulitan yang akan mungkin
akan muncul terhadap pasien.
5. Melibatkan suatu proses dalam tim multidisiplin.
6. Memiliki suatu koordinasi tim untuk tidak lanjut rencana perawatan
berkelanjutan dan memiliki informasi tentang nama tim kesehatan

7. yang bertanggung jawab untuk setiap tindakan, serta dalam kasus yang kompleks
dilakukan identifikasi satu pemimpin kasus.
8. Meninjau dan selalu memperbaharui rencana untuk progres yang lebih
baik.
9. Disiplin, tegas serta selalu melaksanakan aktifitas dari discharge
planning.
10. Selalu memberikan informasi yang akurat terhadap semua yang terlibat.

2.3.7 Sedangkan beberapa prinsip pada pelaksanaan discharge planning menurut


Nursalam (2011), yaitu:
1. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang. Nilai keinginan dan
kebutuhan dari pasien perlu dikaji dan dievaluasi.
2. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi. Kebutuhan ini dikaitkan dengan
masalah yang mungkin timbul pada saat pasien pulang nanti.
3. Perencanaan pulang disesuaikan dengan sumber daya dan fasilitas yang ada.
Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan
dengan pengetahuan dari tenaga yang tersedia atau fasilitas yang tersedia di
masyarakat.
4. Perencanaan pulang dilakukan padaa setiap sistem pelayanan kesehatan.
Setiap pasien masuk tatanan pelayanan maka perencanaan pulang harus
dilakukan.
2.3.8 Komponen Discharge Planning.
Ada beberapa komponen spesifik dari discharge planning yang harus
didokumentasikan menurut Kowalski (2008), meliputi:
1. Peralatan atau barang yang diperlukan di rumah; pastikan bahwa keluarga
dapat memperoleh atau mengetahuinya dimana keluarga dapat mendapatkan
segala peralatan atau barang yang dibutuhkan pasien.
2. Perkenalkan cara penggunaan peralatan atau barang yang diperlukan pasien,
termasuk ajarkan dan demonstrasikan cara perawatan pasien kepada keluarga.
3. Untuk diet, sarankan pada ahli nutrisi untuk mengajarkan pasien dan
keluarga agar memahami makanan yang seharusnya dikonsumsi maupun
tidak.
4. Obat-obatan dipastikan selalu tersedia di rumah.
5. Untuk prosedur tertentu, seperti penggantian dressing, dapat dilakukan di
rumah. Pada kondisi awal, prosedur harus didampingi oleh perawat supervisi
dan klien atau keluarga dapat mengikuti untuk mempraktekkan dibawah
pengawasan.
6. Pada setiap kunjungan, perawat selalu mendukomentasikan apa kah pasien
dan keluarga mendapatkan atau menyediakn obat atau alat yang dibutuhkan
di rumah.
7. Membuat janji untuk kunjungan rumah selanjutnya.
8. Ajarkan mengenai aktivitas yang dianjurkan dan boleh dilaku kan serta yang
tidak diperbolehkan.
9. Dokumentasikan setiap edukasi yang telah diajarkan pada pasien dan
keluarga.

2.4 Hubungan Pelaksanaan Discharge Planning dengan Kesiapan Keluarga


Dalam Menjalankan Perawatan Lanjutan di Rumah Pada Pasien Fraktur.
Fraktur adalah suatu keadaan dimana terjadinya hilangnya kontinuitas tulang,
tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Fraktur dikenal dengan istilah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Muttaqin, 2008).
Secara Intermitten atau part time. Pengasuh pasien/keluarga dan lingkungan di
rumah dipandang sebagai elemen utama yang menentukan keberhasilan pelayanan.
Pelayanan/ perawatan lanjutan pada pasien di rumah yang menentukan kesembuhan,
mempertahankan, memelihara, dan meningkatkan kesehatan fisik, mental/ emosi pasien.
Pelayanan/ perawatan lanjutan keluarga di rumah mencakup pencegahan primer,
sekunder, dan tersier yang

berfokus pada asuhan keperawatan individu dengan melibatkan keluarga atau


pemberi pelayanan yang lain sehingga diperlukan kesiapan keluarga dalam memahami
serta memberikan perawatan lanjutan terhadap kesembuhan pasien setelah pulang dari
rumah sakit, yang bertujuan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar (biologis, psikologis,
sosiokultural dan spiritual) bagi pasien secara mandiri dan meningkatkan kemandirian
keluarga dalam pemeliharaan kesehatan dan perawatan pasien di rumah.
Penatalaksanaan pada pasien farktur ini memerlukan kedisiplinan dalam pengaturan
pola hidup dan pengobatannya. Beberapa hal yang harus diperhatikan dan ditaati oleh
pasien setelah keluar dari rumah sakit yaitu pengaturan/ pelatihan pola aktivitas dan
istirahat klien secara rutin. Hal tersebut diatas hanya dapat dilakukan oleh pasien apabila
keluarga mendapatkan informasi yang cukup. Pemberian informasi ini salah satunya
dilakukan pada saat pelaksanaan discharge planning.

2.5 Kerangka Konsep.


Variabel Independen Variabel Dependen
Pelaksanaan Discharge Planning
Pemahaman Keluarga
Dukungan Keluarga
Keinginan Untuk Sembuh
Fraktur

Kesiapan Keluarga Dalam Perawatan


Lanjutan

2.6 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada Hubungan antara Pelaksanaan Discharge
Planning dengan Kesiapan Keluarga Dalam Menjalankan Perawatan Lanjutan di Rumah
Pada Pasien Fraktur Di Ruang Kumala Rumah Sakit Dr. H. Moch. Ansari Saleh
Banjarmasin Pada Tahun 2017.

Anda mungkin juga menyukai