Anda di halaman 1dari 6

ETIKA DEONTOLOGI

Oleh: Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus, FLA UPH


Pada hari ini kita akan mempelajari sebuah cabang etika yang sangat
khas, yang disebut Etika Deontologi. Istilah Deontologi berasal dari
bahasa Yunani, yakni dari kata Deon: kewajiban, dan Logios: pelajaran
tentang. Jadi Etika Deontologi disebut juga dengan Etika Kewajiban.
Pelopor dan pemikir utama etika Deontologi adalah filsuf Jerman
bernama Immanuel Kant. Lahir tahun 1723 dan meninggal 1804.
AJARAN
Etika Deontologi bertolak dari perintah-perintah moral. Misalnya: Kau
jangan berbohong, atau Kau harus jujur. Kau tidak boleh membunuh,
dan lain-lain. Itu adalah kekhasan perintah-perintah moral. Moralitas
menuntut kita untuk menaati perintah-perintah moral, apapun
konsekuensinya. Dengan kata lain: perintah-perintah moral itu wajib
ditaati, terlepas dari apakah akibat dari tindakan menaati itu enak atau
tidak enak, menguntungkan atau tidak menguntungkan. Etika
Deontologi menuntut kita agar kita melakukan kewajiban moral untuk
selalu jujur, untuk tidak pernah membunuh, untuk selalu menepati
janji.
Karena itu, yang baik menurut etika Deontologi adalah tindakan yang
dilakukan karena didorong oleh kesadaran untuk menaati perintah
moral atau hukum moral. Secara singkat: Yang baik adalah
melaksanakan kewajiban, tanpa mempertimbangkan akibat dari
tindakan itu. Kewajiban kita adalah bertindak sesuai dengan hukum
moral.
Karena itu Kant mengkritik cabang-cabang etika yang menilai baik-
buruknya sebuah tindakan dengan melihat konsekuensinya. Misalnya
etika utilitarianisme, etika hedonisme atau etika kebahagiaan.
Kelemahan utama etika-etika ini adalah bahwa nilai-nilai moral menjadi
relatif, karena baik buruk tidak lagi ditentukan berdasarkan ketaatan
terhadap perintah-perintah moral, melainkan berdasarkan akibat dari
tindakan.
Menurut Etika Deontologi nilai-nilai moral itu absolut, dan wajib untuk
menaatinya. Sebagai manusia kita wajib menaati perintah moral,
apapun konsekuensinya. Contoh-contoh perintah moral deontologis
adalah 10 perintah Tuhan, larangan untuk mencuri, larangan untuk
membunuh, larangan untuk menjadi pelacur, larangan untuk
berbohong.
IMPERATIF HIPOTETIS DAN IMPERATIF KATEGORIS
Kant mengatakan bahwa perintah moral itu selalu berupa perintah
mutlak. Itu kekhasan hukum moral. Di sini dia membedakan dua
perintah atau imperatif, yakni imperatif hipotetis dan imperatif
kategoris. Imperatif Kategoris adalah perintah mutlak, tidak bersyarat,
bersifat harus. Contoh: „Kau tidak boleh/harus tidak mencuri.“
Imperatif hipotetis adalah perintah bersyarat: „Kau harus belajar“ (Jika
ingin lulus, kau harus belajar)
RUMUSAN IK:
„Bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat
sekaligus kau inginkan menjadi hukum umum“
1.Maksim: prinsip tindakan subjektif. Dalam bertindak, kita mestinya
memiliki prinsip, sehingga tindakan tidak didasarkan atas kehendak
belaka, mood, atau hal lainnya.
Maksim yang baik/moral adalah kalau ia dapat menjadi hukum bagi
siapa saja: prinsip universalisasi. Maksim itu hanya bernilai moral kalau
dapat diuniversalisasikan.
Menolak egoisme, pengistimewaan diri sendiri, menolak rasa enak atau
tidak enak sebagai pertimbangan dalam bertindak.
PRINSIP UNIVERSALISASI
Jadi Etika Deontologi menuntut agar kita selalu bertindak sesuai dengan
kewajiban moral kita. Tapi bagaimana kita tahu apa kewajiban kita?
Bagaimana kita mengetahui apa kewajiban moral kita? Di sini Kant
memperkenalkan sebuah metode untuk menentukan apa kewajiban
moral kita. Metode itu disebut Prinsip Universalisasi. Prinsip ini
mengatakan bahwa kewajiban kita adalah melakukan hal yang kalau
semua orang melakukan hal yang sama, maka tidak akan ada
kontradiksi dalam tindakan tersebut. Jadi Prinsip Universalisasi itu
mengajarkan: andaikan semua orang melakukan hal yang sama, apa
yang akan terjadi? Andaikan semua orang berbohong, maka berbohong
menjadi tidak mungkin, karena kita hanya bisa berbohong hanya kalau
ada orang yang masih percaya kepada janji. Tapi kalau semua orang
berbohong, maka tidak ada lagi orang yang dapat dibohongi, dan
karena itu berbohong menjadi tidak mungkin. Itu berarti, berbohong
adalah tindakan yang tidak bermoral karena tidak dapat
diuniversalisasikan. Sama halnya: bagaimana kalau semua orang
mencuri. Jadi dengan prinsip universalisasi kita tahu apa kewajiban
moral yang harus kita lakukan.
LEGALITAS DAN MORALITAS
Kant membuat pembedaan yang sangat penting antara moralitas dan
legalitas.
Kant mengatakan bahwa tidak setiap tindakan yang sesuai dengan
hukum moral itu bermoral. Artinya, bisa saja tindakan kita sesuai
dengan hukum moral, misalnya, kita membayar utang atau menepati
janji. Tapi belum tentu kita bermoral kalau kita melakukan tindakan-
tindakan yang baik itu. Tindakan baik itu baru bermoral, artinya:
mengandung nilai moral, kalau tindakan itu dilakukan berdasarkan
kesadaran untuk melakukan kewajiban. Karena kita sadar bahwa kita
harus membayar hutang.
Jangan lupa, banyak orang melakukan tindakan baik bukan karena
kesadaran untuk melakukan hukum moral, melainkan karena pamrih.
Misalnya, dia membantu orang miskin, agar dilihat orang baik atau agar
dipuji orang lain. Dia membayar utang karena takut dlaporkan kepada
polisi. Dia tidak membunuh seseorang karena takut dihukum. Secara
lahiriah tindakan-tindakan demikian baik. Tapi tindakan itu dilakukan
karena pertimbangan konsekuensinya. Tindakan demikian disebut Kant
dengan LEGALITAS, yakni tindakan sesuai dengan hukum moral, tapi
tidak mengandung nilai moral.
Nah, tindakan di atas baru bermoral kalau itu dilakukan berdasarkan
ketaatn terhadap hukum moral. Jadi orang bayar hutang, karena dia
sadar bahwa hutang wajib dibayar, itu baru bermoral. Orang
membantu orang miskin karena dia sadar bahwa dia wajib membantu
orang miskin, itu baru tindakan moral. Kalau dia membantu orang
miskin demi memperoleh reward, misalnya, dipuji orang lain, maka
tindakan itu tidak bermoral, itu adalah legalitas.

KESIMPULAN
Secara singkat, etika deontologi adalah etika kewajiban. Kita wajib
melakukan perintah hukum moral, terlepas dari rasa enak atau tidak
enak, menguntungkan atau tidak menguntungkan. Kita tidak boleh
mempertimbangkan akibat-akibat dari tindakan kita dalam melakukan
hukum moral. Kalau kita mempertimbangkan akibat maka tindakan kita
jatuh pada legalitas, dan tidak memiliki nilai moral. Tindakan kita baru
disebut bermoral kalau tindakan itu semata-mata dilakukan
berdasarkan ketaatan atas kewajiban moral.
Kritik
1. Etika Kant itu terlalu keras, tidak manusiawi (rigorisme). Friedrich
Schiller: Kalau saya membantu teman saya (dan tindakan membantu itu
juga dibarengi dengan perasaan senang sebagai teman, (jd tidak murni
atas dasar kewajiban demi kewajiban), apakah saya tidak bermoral?
Bagaimana kalau kita membantu orang (miskin, korban kecelakaan)
karena dorongan rasa kasihan?
2. Tuduhan formalisme dari Hegel dan Max Scheler. Kant tidak
mengatakan apa kewajiban kita; ia hanya mengatakan agar kita
bertindak berdasarkan maksim yang dapat menjadi hukum umum. Etika
Kant itu kosong.
3. Etika Kant tidak sesuai dengan pengalaman moral sehari-hari,
seakan-akan untuk bertindak moral kita harus berpikir keras lebih dulu
untuk memutuskan apakah maksim tindakan ini bisa diuniversalkan
atau tidak. Kritik dari Hegel dan kalangan komunitarian.
4. Kita wajib bertindak demi kewajiban: Bagaimana kalau kita
berhadapan dengan dua kewajiban yang saling bertentangan? Mis:
Cerita tentang tentara Nazi yang sedang mencari Jahudi yang
bersembunyi di rumah Anda; kalau ada Yahudi maka akan dibunuh. Di
sini kita berhadapan dengan dua kewajiban yang saling bertentangan,
yakni kewajiban untuk jujur dan kewajiban untuk melindungi nyawa
orang lain. Nah, apa tindakan kita? Wajibkah kita jujur kpd tentara Nazi
itu tapi dengan resiko orang Jahudi tersebut akan dibunuh?
Bila ya, maka etika deontologi Kant itu tidak masuk akal. Bila tidak,
maka etika deontologi tidak konsisten.
Untuk mengatasi kekakuan dan kekerasan etika Deontologi Kant, ada
jalan keluar
Jalan keluar W.D. Ross: etika deontologi Kant itu hanya kewajiban
prima facie (pada pandangan pertama), yakni kewajiban-sementara,
yang hanya berlaku sampai timbul kewajiban lain yang lebih penting
dan mengalahkan kewajiban pertama.
Kewajiban untuk jujur itu prima facie; kewajiban itu bisa dikalahkan
oleh kewajiban lain yang lebih penting, yakni (dalam kasus di atas)
kewajiban untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Anda mungkin juga menyukai