Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR FRAMBUSIA

Dosen Pengampu: Dr. dr. Abul A’la Al Maududi, Sp.P., MA.

Disusun oleh:
Nanda Maulani
22100170001

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
kesehatan dan kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah epidemiologi
penyakit menular frambusia tepat waktu.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
epidemiologi penyakit menular dan harapan penulis, semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah dengan lebih baik.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran
kepada pembaca yang sifatnya membangun.

Jakarta, 18 Oktober 2023

Nanda Maulani
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Frambusia adalah penyakit treponema non-venereal menular yang paling umum dan
disebabkan oleh Treponema pallidum pertenue. Frambusia ditularkan melalui kontak kulit
langsung dan terutama menyerang anak-anak di bawah usia 15 tahun. Frambusia dapat bertahan
selama bertahun-tahun sebagai penyakit kronis yang suatu saat dapat kambuh. Frambusia terus
menjadi endemik di wilayah tropis yang ditandai dengan suhu panas, kelembapan tinggi, dan
curah hujan tinggi. Kondisi-kondisi ini, ditambah dengan masih adanya kemiskinan, sanitasi
yang buruk, kepadatan penduduk, dan kurangnya pengawasan kesehatan masyarakat. (WHO,
2012)
Jumlah kasus frambusia di Indonesia yang dilaporkan mengalami penurunan dari jumlah
kasus sebesar 7751 kasus pada 2009 menurun hingga 1521 kasus pada 2014. Namun angka kasus
kembali naik pada tahun 2015 yaitu sebesar 3379 kasus (WHO, 2018). Untuk menangani
masalah kesehatan ini maka pada tahun 2017, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 2017 Tentang Eradikasi Frambusia dengan pertimbangan penyakit ini
masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia. Dituliskan pada pasal 1 bahwa
“Eradikasi Frambusia adalah upaya pembasmian yang dilakukan secara berkelanjutan untuk
menghilangkan Frambusia secara permanen sehingga tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat secara nasional” (Permenkes, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit menular frambusia?
2. Bagaimana epidemiologi frambusia berdasarkan orang, tempat dan waktu?
3. Bagaimana riwayat alamiah frambusia?
4. Bagaimana cara penularan frambusia?
5. Bagaimana upaya pencegahan, pengawasan penderita dan penanggulangan frambusia?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit menular frambusia
2. Untuk mengetahui epidemiologi frambusia berdasarkan orang, tempat dan waktu
3. Untuk mengetahui riwayat alamiah frambusia
4. Untuk mengetahui cara penularan frambusia
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan, pengawasan penderita dan penanggulangan frambusia
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 Definisi Frambusia
Frambusia merupakan penyakit yang termasuk ke dalam kelompok penyakit tropis
terabaikan (Neglected Tropical Diseases). Frambusia dalam beberapa bahasa daerah disebut
patek, puru, buba, pian, parangi, ambalo adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pertenue yang hidup di daerah tropis. Penularannya melalui lalat atau melalui kontak
langsung dari cairan luka penderita ke orang yang mempunyai kulit yang luka atau tidak utuh.
(Permenkes, 2017).
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dideteksi dengan mudah oleh petugas
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan serta dapat disembuhkan. Secara geografis, penyakit
ini terbatas hanya pada daerah yang terpencil dan terlokalisir. Penegakkan diagnosis frambusia
dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan serologi. Kemungkinan terdapat frambusia tanpa
lesi klinis yang tidak terdiagnosis, sehingga membuat kasus frambusia masih belum dapat
disingkirkan. (Irawan, 2017).
Kemajuan ekonomi Indonesia, peningkatan dan pemerataan pendidikan, kemajuan
teknologi dalam pengobatan, serta meningkatnya perilaku hidup bersih dan sehat berdampak
pada hilangnya kondisi yang mendukung penularan Frambusia dan semakin terlokalisirnya
penyebaran Frambusia pada daerah tertentu.
2.2 Epidemiologi Penyakit Berdasarkan Orang, Tempat dan Waktu
Epidemiologi frambusia melibatkan analisis distribusi penyakit ini pada tiga distribusi
yaitu berdasarkan orang, tempat, dan waktu. Berikut adalah penjelasannya:
1. Epidemiologi Frambusia Berdasarkan Orang
Person (orang) adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi keterpaparan
terhadap penyakit. Karakteristik seseorang pada penyakit frambusia dapat dilihat dari
golongan umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Frambusia lebih banyak menyerang
anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun dan banyak ditemukan pada anak-anak umur
antara 3–15 tahun serta dapat menyerang baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
tergantung dari gaya hidup. Karakteristik lainnya adalah pengetahuan. Rendahnya tingkat
pengetahuan menyebabkan kemungkinan terserang frambusia lebih besar. (Arisanti, et al
2019)
2. Epidemiologi Frambusia Berdasarkan Tempat
Penularan penyakit frambusia biasanya terjadi pada daerah dengan kondisi sosial-
ekonomi rendah (umumnya pada negara berkembang), daerah padat penduduk, daerah
dengan iklim tropis dan curah hujan tinggi serta sanitasi yang kurang baik perorangan
maupun lingkungan. Penyakit ini ditemukan di tempat terpencil atau pedalaman dan jauh
dari kota besar, hal ini karena keterbatasan sumber daya, dana, kemiskinan dan masih eratnya
masyarakat kesukuan di daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk pelayanan pengobatan
frambusia aktif dan pasif. (Khairina, 2013).
3. Epidemiologi Frambusia Berdasarkan Waktu
Frambusia pertama kali terjadi di Indonesia tahun 1949 dimana kasusnya terdapat di
NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah
Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Treponema
pallidum adalah spirochaete yang tidak dapat dikultur secara invitro. Bakteri ini mudah mati
dalam lingkungan yang kering, terkena paparan oksigen atau mengalami pemanasan, dan
tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh host, maka bakteri ini dapat tumbuh subur saat
musim hujan karena lingkungan yang lembab. (Marks, et al 2014)
2.3 Riwayat Alamiah Frambusia
Riwayat alamiah penyakit frambusia dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap prepatogenesis,
patogenesis, dan pasca-patogenesis.
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap prepatogenesis terjadi interaksi antara host, agent, dan environment yang
mendukung terjadinya penyakit frambusia. Penderita belum menunjukan tanda gejala sakit.
Penularan dari manusia ke manusia terjadi melalui kontak secara langsung maupun tidak
langsung.
2. Tahap Patogenesis
Masa inkubasi penyakit frambusia yaitu berlangsung selama 2 – 3 minggu, yang
dimulai dengan munculnya benjolan-benjolan kecil tanpa nanah namun dengan permukaan
yang basah dan tanpa rasa sakit. Benjolan ini akan muncul diatas permukaan kulit. Pada
tahap lanjut, akan muncul gejala lain yaitu benjolan-benjolan mulai menyebar ke area telapak
tangan dan kaki, hingga ke persendian dan tulang (Marks, et al 2014)

3. Tahap Pasca Pathogenesis


Terdapat tiga kemungkinan pada perjalanan akhir penyakit ini yaitu:
a. Sembuh namun meninggalkan cacat berupa kerusakan kulit dan tulang. 10-20% penderita
frambusia bisa mengalami kecacatan.
b. Sembuh namun dalam tubuh masih menyimpan bibit penyakit dan menjadi karir.
c. Penyakit bersifat kronik dan dapat menyebabkan kecacatan.

Manifestasi klinis frambusia terbagi dalam beberapa stadium perkembangan, yang


ditunjukkan dalam perubahan bentuk lesi yaitu lesi primer, lesi sekunder, dan lesi tersier.
1. Stadium Primer
Stadium primer disebut dengan “mother yaw” atau papula (lesi yang menonjol) terbentuk
di tempat masuknya organisme setelah masa inkubasi 9-90 hari. Papul kemudian berkembang
menjadi lesi kecil seperti kembang kol kekuningan (papiloma), yang tumbuh secara bertahap dan
mengembangkan pusat berlubang ditutupi dengan kerak kuning (ulkus dan ulseropapilloma).
Pada 65-85% kasus, lesi utama frambusia terlihat di kaki dan pergelangan kaki. Namun, mereka
dapat ditemukan di wajah, leher, ketiak, lengan, tangan dan bokong. Lesi awal sangat menular,
memakan waktu 3-6 bulan untuk sembuh, meninggalkan bekas luka berlubang gelap (WHO,
2018).
Gambar 2.1 Stadium Primer

2. Stadium Sekunder
Tahap sekunder frambusia ditandai dengan lebih banyak lesi, yang mungkin muncul di
wajah, leher, ketiak, lengan, dan kaki. Lesi juga dapat muncul pada telapak kaki, sehingga
membuat penderita sulit untuk berjalan kondisi ini telah disebut "crab-yaws" (hiperkeratosis).
Lesi sekunder terjadi setelah penyebaran organisme penyebab masuk ke dalam darah dan getah
bening, Penyebaran treponema hematogen dan limfatik dapat menyebabkan perkembangan
menjadi frambusia sekunder, yang dominan mempengaruhi kulit dan tulang. Beberapa lesi
sekunder paling sering muncul dalam 2 tahun pertama setelah munculnya lesi frambusia
Gambar 2.2 Stadium Sekunder

3. Stadium Tersier
Dalam tahap ini, tulang, sendi dan jaringan yang terserang frambusia dapat mengalami
kerusakan menjadi cacat, dan dapat terbentuk gumma, gangosa, gondou, juxta articular nodes
dan hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki. Gumma adalah benjolan menahun,
mengalami perlunakan, ulserasi, destruktif terhadap jaringan di bawahnya. Dapat timbul di kulit
maupun tulang dan sendi. Cacat ini mengakibatkan anak-anak tidak mau ke sekolah dan orang
dewasa akan sulit mencari pekerjaan, Frambusia dapat mengakibatkan dampak sosial ekonomi
dan masalah kemanusiaan.
Gambar 2.3 Stadium Tersier

4. Stadium Laten
Stadium laten merupakan fase tanpa gejala klinis, tetapi bakteri masih aktif dan hasil uji
serologi positif. Stadium ini terjadi ketika penderita dengan lesi dapat sembuh tanpa pengobatan.
Stadium inilah yang akan menyulitkan upaya memutus mata rantai penularan frambusia, karena
penderita akan terus menjadi sumber penularan baru tanpa diketahui sumbernya. Bakteri dapat
bertahan sampai 5 tahun dalam tubuh seseorang dan di tengah-tengah masyarakat. Setiap satu
kasus klinis frambusia, diperkirakan terdapat lebih dari dua penderita yang berada pada stadium
laten. Oleh karena itu, sejak suatu daerah dinyatakan tidak ditemukan kasus klinis Frambusia
(setelah dilaksanakan serangkaian upaya memutus rantai penularan Frambusia), surveilans harus
tetap dilakukan. Manifestasi klinis frambusia secara singkat dirangkum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Gejala Klinis Frambusia Menurut Stadium Perjalanan Penyakit

Kasus frambusia dibagi dalam dua periode yaitu periode awal (early-infectious) dan
periode lanjut (late-non infectious). Periode awal meliputi stadium primer dan stadium sekunder.
Papul awal muncul sejak bakteri menginfeksi dan banyak mengandung bakteri serta dapat
bertahan selama 3-6 bulan, kemudian akan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Jika tetap tidak
mendapat pengobatan, maka dapat muncul lesi-lesi kulit baru yang tersebar di kulit, bahkan bisa
timbul rasa nyeri dan lesi pada tulang. Sedangkan periode lanjut meliputi stadium tersier. Periode
ini terjadi lebih dari 5 tahun sejak lesi pertama terjadi. Pada periode ini terjadi kerusakan pada
hidung, tulang dan telapak tangan/kaki. (Permenkes, 2017)
2.4 Cara Penularan Frambusia
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2005 cara penularan frambusia dibagi menjadi:
1. Penularan secara langsung.
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang
lain. Frambusia ditularkan dari orang ke orang melalui kontak kulit langsung dengan cairan
yang berasal dari lesi awal yang tidak diobati. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak
antara lesi dan selaput lendir dengan gejala infeksi.
2. Penularan secara tidak langsung.
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau
serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Ketika lesi dengan gejala infeksi bersentuhan dengan
kulit (mukosa) luka, treponema yang ada pada lesi menembus kulit melalui luka. Inisiasi
infeksi dengan masuknya treponema dapat memiliki dua kemungkinan yaitu:
a. Infeksi effective
Infeksi ini terjadi jika bakteri yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di
dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi ini dapat terjadi jika bakteri
yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyak serta orang yang mendapat
infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia. (Depkes RI, 2014)
b. Infeksi ineffective
Infeksi ini terjadi jika bakteri yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak
kemudian mati tanpa menimbulkan gejala penyakit. Infeksi ini dapat terjadi jika bakteri
yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyak serta orang yang
mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia. (Depkes RI, 2014)
2.5 Upaya Pencegahan, Pengawasan Penderita dan Penanggulangan Frambusia
Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah yang endemis frambusia apabila ditemukan
paling sedikit satu kasus frambusia di wilayah tersebut. Penanggulangan pada daerah endemis
frambusia dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan yang harus dilakukan secara intensif, dan
bersinergi dengan berbagai sektor melalui pendekatan keluarga dengan menerapkan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas), kegiatan tersebut meliputi:
1. Promosi Kesehatan
Pada dasarnya, jika semua anggota populasi memiliki gaya hidup bersih dan sehat,
terutama jika mereka menjaga kebersihan pribadi seperti mandi dengan menggunakan air dan
sabun, maka infeksi frambusia dapat dihentikan. Promosi untuk menghentikan penularan
dilakukan dengan sosialisasi frambusia dan kampanye penggunaan air, sabun, dan
pemeliharaan kebersihan lingkungan. Melalui kegiatan ini, maka dapat meningkatkan
pengetahuan umum tentang penularan frambusia dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Pengendalian Faktor Risiko
Pengendalian faktor yang berpotensi menyebabkan frambusia dapat dihilangkan
melalui pencegahan penularan dengan kesadaran untuk hidup secara bersih dan sehat. Di
samping itu, masyarakat yang memiliki kontak dengan penderita juga harus segera
memeriksakan diri agar penemuan kasus dapat dilakukan secara dini sehingga dapat
memutus mata rantai penularan di suatu daerah.
3. Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Frambusia
Upaya lain yaitu dengan memberikan obat pencegahan secara massal kepada
penduduk yang dilakukan serentak, kemudian diikuti dengan pelaksanaan surveilans secara
intensif agar rantai penularan penyakit dapat dihentikan. Jenis obat yang diberikan adalah
Azitromisin dosis tunggal. Apabila pada daerah tersebut tidak tersedia Azitrimisin, maka
dapat diganti dengan obat lain yang direkomendasikan oleh ahlinya. PPOM ditunjukan
kepada penduduk di daerah endemis dengan rentang usia 6 sampai 69 tahun kecuali yang
ditunda pengobatanya seperti ibu hamil, dengan penyakit bawaan atau alergi terhadap zat
tertentu.
4. Surveilans Frambusia
Kegiatan surveilans merupakan pengamatan yang dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan terhadap data dan informasi tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah
kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien untuk melaksanakan program
eradikasi frambusia. Enam kegiatan pokok surveilans adalah:
a. Penemuan, pengolahan, analisis dan pelaporan kasus Frambusia
b. Upaya penemuan dini semua kasus Frambusia
c. Pemetaan endemisitas dan risiko penularan Frambusia
d. Monitoring dan evaluasi kegiatan POPM Frambusia
e. Survei serologi (Permenkes, 2017).
BAB III
PENUTUP

c.1 Kesimpulan
Frambusia merupakan penyakit yang termasuk ke dalam kelompok penyakit tropis
terabaikan, yang disebabkan oleh bakteri Treponema pertenue. Penularannya melalui lalat atau
melalui kontak langsung dari cairan luka penderita ke orang yang mempunyai kulit yang luka.
Frambusia lebih banyak menyerang anak-anak dengan usia kurang dari 15 tahun. Penularan
penyakit frambusia biasanya terjadi pada daerah dengan kondisi sosial-ekonomi rendah, daerah
padat penduduk, daerah dengan iklim tropis dan curah hujan tinggi serta sanitasi perorangan
maupun lingkungan yang kurang baik. Bakteri ini mudah mati dalam lingkungan yang kering,
terkena paparan oksigen atau mengalami pemanasan, dan tidak dapat bertahan hidup di luar
tubuh host. Riwayat alamiah penyakit frambusia dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap
prepatogenesis, patogenesis, dan pasca-patogenesis. Penanggulangan pada daerah endemis
frambusia dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan yang harus dilakukan secara intensif, dan
bersinergi dengan berbagai sektor melalui pendekatan keluarga dengan menerapkan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas), kegiatan tersebut meliputi promosi kesehatan, pengendalian
faktor resiko, pemberian obat pencegahan secara massal (POPM) frambusia serta surveilans
frambusia.

c.2 Saran
Setelah memahami tentang epidemiologi penyakit menular frambusia diharapkan makalah
dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Dikarenakan bahayanya penyakit menular
frambusia, maka diharapkan peran serta masyarakat, pemerintah dan tenaga kesehatan dapat
mencegah dan menangani dengan penangan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Arisanti, Y., Tanjung, R. & Cahyani, V.D. (2019). Gambaran Umum Kasus Frambusia Setelah
Pengobatan Massal Dengan Azitromisin Di Kota Jayapura. Buletin Penelitian
Kesehatan, 47(2): 77–82.
Departemen Kesahatan R1. (2014). Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Departemen Kesehatan RI. (2005) Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia. Direktur
Jenderal PPM & PL, Jakarta.
Irawan, Y. 2017. Proporsi Kasus Frambusia Berdasarkan Klinis Dan Serologis Pada Anak Usia
1-12 Tahun Di Desa Sei Berombang, Sumatera Utara Periode 22-27 Agustus 2016.
Jakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Universitas Indonesia
Khairina. (2013). Frambusia. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Marks, M., Mitja, O., Solomon, A. W., Asiedu, K. B., & Mabey, D. C. (2014). Yaws. British
Medical Bulletin, 1-10
Permenkes No.8 Tahun 2017. (2017). Eradikasi Frambusia
WHO. (2012). Yaws Eradication: Past Efforts And Future Perspectives
WHO. (2018). Eradication of Yaws. Geneva, Switzerland: WHO Document Production Services.

Anda mungkin juga menyukai