Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di alam bersifat
kosmopolitan, yaitu dapat ditemukan pada berbagai jenis ekosistem. Mikoriza
memiliki peran yang penting di bidang pertanian dan kehutanan untuk transfer
nutrisi dua arah antara inang dan fungi, yaitu pada saluran karbon inang dan
untuk melakukan penyerapan nutrisi mineral yang ada di dalam tanah,
sehingga dengan adanya mikoriza tersebut dapat mendorong proses siklus
hara yang ada di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa peranan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) telah
terbukti dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman termasuk tanaman hutan
Akasia (Acacia crassicarpa) (Pitdjah et al, 2007 dalam Burhanuddin, 2011)
yang ditanam pada lahan mineral.
Mikoriza dibedakan menjadi ektomikoriza yang hifa funginya tidak dapat
menembus sel akar dan endomikoriza yang hifa funginya dapat menembus
dinding-dinding sel akar. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan
mikoriza golongan endomikoriza yang termasuk dalam Famili Endogonoceae,
Ordo Muccorales dan Kelas Zygomycetes (Smith dan Read, 1997). Adapun
genus dari Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) ini yaitu Acalauspora,
Entrophospora, Gigaspora, Glomus, Sclerocytis dan Scutellospora. Adapun
mengenai keanekaragaman dan penyebaran mikoriza ini sangat bervariasi, hal
ini dikarenakan kondisi lingkungan yang juga bervariasi. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi sebaran Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yaitu struktur
tanah, unsur hara P dan N dalam tanah, kandungan C organik, air, pH dan
suhu tanah (Hartoyo dkk, 2011). Keberadaan mikoriza tersebut pada suatu
lahan memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan 90% jenis tanaman, baik
tanaman pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pangan dimana
mikoriza berperan untuk membantu meningkatkan efisiensi penyerapaan
unsur hara terutama fosfor (P) pada lahan marginal.
Lahan marginal merupakan jenis lahan yang potensi dan produktivitas
tanahnya rendah, sebagaimana lahan gambut yang menjadi lokasi penanaman
Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) ini. Penanaman
yang dilakukan di lahan gambut tersebut harus mengatasi berbagai
permasalahan, seperti pH tanah yang sangat rendah (<7), miskin unsur hara
makro dan mikro serta adanya keracunan akibat asam-asam organik. Adanya
berbagai permasalahan tersebut jika tidak diatasi dapat menyebabkan
keberhasilan tumbuh suatu tanaman menjadi sangat rendah (Wibisono et al.,
2005 dalam Sibarani, 2011).
Berbagai permasalahan yang terjadi pada Hutan Tanaman Industri (HTI)
lahan gambut, faktor suhu, faktor lingkungan, faktor iklim dan lainnya
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) berbeda-beda di setiap blok penanaman.
Sebagaimana yang terjadi pada lokasi penanaman Akasia (Acacia
crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri yang memiliki rotasi tebang (jangka
waktu pemanenan) berbeda-beda meskipun berada pada satu petak lahan
gambut. Maka dari itu, persentase keberadaan mikoriza pada suatu lahan dapat
berbeda-beda dan berdasarkan penelitian Wani dan Lee (1995) yang
menyatakan bahwa kolonisasi akar yang maksimum akan dapat dicapai pada
tanah yang kurang subur. Sejalan dengan pernyataan Mosse (1997) dalam
Puspitasari et al. (2012) bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan
terhambatnya perkecambahan mikoriza pada tanaman inang. Kemudian
didukung oleh pernyataan Noertjahyani (2008) bahwa kadar P yang tinggi
merupakan kondisi yang tidak optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikoriza.
Maka dari itu, pada umumnya keberadaan mikoriza ini digunakan sebagai
salah satu alternatif yang membantu pertumbuhan, meningkatkan
produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang berada di lahan kurang
subur atau lahan marginal. Dikarenakan keberadaan Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) pada tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di lahan
gambut Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Wirakarya Sakti belum
pernah diteliti, maka penelitian mengenai identifikasi keanekaragaman Fungi
Mikoriza Arbuskular (FMA) pada rotasi tebang tanaman Akasia (Acacia
crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) gambut sangat diperlukan agar
dapat diperoleh data keanekaragaman FMA yang dapat dimanfaatkan oleh
para peneliti untuk diisolasi dan dimanfaatkan lahan marginal lainnya yang
membutuhkan mikoriza sebagai pendukung perkembangan produktivitas
kesuburan tanah.

1.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis keanekaragaman dan faktor pendorong pertumbuhan
Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada beberapa rotasi tebang tanaman
Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT.
Wirakarya Sakti.
2. Untuk menganalisis karakteristik morfologi dan peranan dari Fungi
Mikoriza Arbuskular (FMA) yang ditemukan pada beberapa rotasi tebang
tanaman Akasia (Acacia crassicarpa).

1.3 Manfaat Penelitian


1. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat strata satu (S-1) pada
Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
2. Penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan data mengenai
keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada rotasi tebang
tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) bagi semua pihak yang
membutuhkan.
3. Sebagai bahan informasi pengembangan ilmu pengetahuan bagi para
peneliti mikoriza agar dapat memanfaatkannya pada lahan-lahan marginal.

1.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh kesuburan suatu lahan terhadap keberadaan Fungi
Mikoriza Arbuskular (FMA).
2. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) memiliki peranan yang nyata pada
peningkatan pertumbuhan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Akasia (Acacia crassicarpa)


Menurut para ahli botani, tanaman Acacia berasal dari Negara Australia.
Jenis Acacia crassicarpa sendiri tumbuh alami di bagian Timur Laut
Queensland, Barat Daya Papua New Guinea dan di bagian Tenggara Papua.
Dan saat ini, jenis Acacia crassicarpa sudah ditanam di Pulau Sumatera dan
Kalimantan terutama di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berawa
(Wardiyono, 2014).
Acacia crassicarpa secara geografis tumbuh pada 8-20°S dengan
ketinggian tempat berkisar pada 0-200 m dpl dan dengan curah hujan tahunan
berkisar antara 500-3500 mm. Tempat tumbuh yang disukai jenis Acacia
crassicarpa memiliki rata-rata suhu udara minimum berkisar pada 15-22℃
dan suhu udara maksimum adalah 31-34℃. Acacia crassicarpa merupakan
pohon berukuran kecil atau sedang dengan tingginya mencapai 25 m, jenis ini
memiliki batang tegak lurus dengan diameter mencapai 50 m, daun berbentuk
seperti bulan sabit dengan panjang 8-27 cm dan lebar 1-4,5 cm berwarna hijau
keabu-abuan serta memiliki 3 urat daun utama yang jelas berwarna
kekuningan. Perbungaan bulir berwarna kuning cerah dengan panjang 4-7 cm,
tangkai bunga tebal dan memiliki panjang 5-10 mm, mahkota bunga 5 helai
dengan panjang 1,3-1,6 mm serta biseksual (bunga sempurna yang memiliki
benang sari dan putik). Kulit batang Acacia crassicarpa memiliki warna
coklat keabu-abuan, kayu keras dan kulit batang di bagian dalamnya memiliki
warna merah dan berserat. Jenis ini berbunga paling lambat 18 bulan setelah
ditanam dan bijinya melimpah setelah 4 tahun penanaman, biji tersebut akan
masak selama 5-6 bulan setelah berbunga.
Jenis Acacia crassicarpa merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan
dapat hidup baik pada lahan-lahan marginal dengan pH rendah, tanah berbatu
serta tanah yang mengalami erosi (Leksono, 2003) dan pada daerah tanah
gambut.
2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)
Mikoriza merupakan simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman,
dengan kondisi lingkungan yang bervariasi di Indonesia seperti pada jenis
tanahnya dapat memungkinkan beranekaragamnya jenis mikoriza pada suatu
lahan (Nurhalimah, 2014). Adapun menurut Roosheroe et al., (2006)
pertumbuhan FMA tersebut dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, pH
dan senyawa kimia di lingkungannya. Sebagaimana Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) yang jenisnya pertama kali ditemukan oleh botanis Jerman
yaitu Frank pada tahun 1855 di akar pepohonan hutan yang melakukan
asosiasi simbiotik (Talanca, 2010).
Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) termasuk dalam filum Glomeromycota
dan dikelompokkan berdasarkan morfologi serta karakteristik molekulernya
menjadi tiga suku, yaitu Glomaceae, Acaulosporaceae (membentuk arbuskula
dan vesikula) dan Gigasporaceae (membentuk arbuskula). Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) adalah jenis fungi tanah yang keberadaannya memiliki
manfaat, karena dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan unsur
fosfor, air dan nutrisi lainnya serta dapat berperan untuk pengendalian
penyakit akibat patogen tular tanah.
Ciri khas Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sendiri terletak pada
banyaknya cabang-cabang arbuskular yang berkembang di dalam sel korteks
tanaman, spora FMA memiliki sifat yang khusus dan diameternya berkisar
antara 10 hingga >1000 μm. Warna spora FMA juga beranekaragam mulai
dari hialin hingga hitam dengan permukaan yang halus hingga kasar. Hingga
saat ini, kurang lebih terdapat 150 spesies FMA yang berhasil dikenali, tetapi
taksonomi pada spesiesnya masih terus berkembang dan banyak mengalami
revisi (INVAM, 2018).

2.3 Hutan Tanaman Industri (HTI) Lahan Gambut


Hutan lahan gambut di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Papua. Dimana menurut data terakhir luas lahan gambut di Indonesia
sekitar 14,905 juta ha (Ritung et al, 2011). Dari luasan tersebut, sekitar 8,3
juta ha dikategorikan sebagai lahan tidak terdegradasi dan masih berupa hutan
alam primer, sisanya sekitar 6,605 juta ha telah dibuka serta dimanfaatkan
sebagai Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit, pertanian,
pertambangan dan semak belukar (BBSDLP, 2013).
Kebutuhan akan bahan baku industri untuk pulp dan kertas yang semakin
meningkat menyebabkan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang
juga semakin naik perkembangan dan penambahan lahannya termasuk di areal
lahan gambut. Oleh karena itu, lahan gambut harus dikelola dengan baik
sehingga manfaat ekonomi, sosial dan ekologi dapat tercapai secara seimbang.
Selain itu, pengelolaan lahan gambut juga harus dilakukan secara bijaksana
dan hati-hati, dikarenakan hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem
yang mudah rapuh dan jika tidak dikelola secara benar hutan tidak akan
lestari.
Hingga saat ini, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada lahan
gambut dilakukan dengan menanam jenis Acacia crassicarpa yang mampu
tumbuh baik pada lahan gambut, sedangkan jenis Acacia mangium dan
Eucalyptus pellita dikatakan pertumbuhannya kurang baik (Suhartati et al,
2013). Dengan adanya perubahan lahan gambut menjadi lahan HTI Acacia
crassicarpa diduga dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah gambut.
Selain itu, pembangunan saluran drainase dan pemberian pupuk akan
meningkatkan dekomposisi sehingga unsur hara meningkat dan gambut
menjadi lebih halus, bobot isi meningkat, total ruang pori menurun yang
berdampak positif pada keseimbangan air dan udara.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Juni 2022
sampai dengan bulan Desember 2022. Kegiatan dimulai dengan pengambilan
sampel tanah pada beberapa rotasi tebang dalam satu petak penanaman
tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di lahan gambut milik PT. Wirakarya
Sakti Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kemudian untuk dapat di identifikasi
keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dari sampel tanah, tanah
dibawa ke Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

3.2 Bahan Dan Alat


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah
yang diambil pada beberapa rotasi tebang dalam satu petak penanaman Akasia
(Acacia crassicarpa). Untuk proses identifikasi bahan yang digunakan adalah
air bersih, larutan glukosa 60% dan larutan Melzer’s. Adapun alat yang
digunakan untuk pengambilan sampel tanah di lapangan adalah meteran, tali
plastik, cangkul, kantong plastik, spidol dan kertas label. Sedangkan alat yang
digunakan untuk identifikasi mikoriza adalah saringan bertingkat (0,600 mm,
0,180 mm, 0,075 mm, 0,063 mm dan 0,038 mm), tabung centrifuge, pipet
tetes, cawan petri, mikroskop binokuler, kaca preparat dan kaca penutup.

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Pembuatan Plot/Petak Penelitian
Petak penelitian dibuat sesuai dengan metode ICRAF (Ervayenri et al.,
1999). Jumlah titik atau petak pengamatan pada rotasi tebang diambil
sebanyak tiga buah blok dari petak besar penanaman. Ukuran plot
pengambilan sampel tanah pada blok rotasi tebang adalah 20 m x 20 m,
dimana dalam satu blok tersebut diambil lima titik pengambilan sampel
tanah. Total titik pengambilan sampel tanah adalah 15 titik.
3.3.2 Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak lima titik dalam satu
blok, sampel tanah diambil pada kedalaman 0 cm sampai dengan
perakaran tanaman dengan berat pengambilan sampel tanah adalah 1000
gram, sehingga total sampel tanah yang diambil untuk setiap blok adalah
5000 gram. Kemudian, sampel tanah pada plot yang berada dalam satu
blok dicampur dalam satu tempat hingga homogen untuk mewakili satu
sampel blok. Setelah pencampuran sampel tanah dianggap homogen,
diambil sebanyak 1000 gram tanah untuk di tiap blok. Setiap sampel tanah
yang telah diambil dimasukkan dalam kantong plastik dan ditandai dengan
kertas label ditulisi dengan spidol.
3.3.3 Analisis Tanah
Sebelum melakukan identifikasi atau penelitian lebih lanjut, terlebih
dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi sampel tanah meliputi
analisis pH tanah, kandungan C-Organik (bahan organik), KTK (Kapasitas
Tukar Kation) tanah dan P (Fosfor) tersedia pada tanah untuk mengetahui
sifat tanah.
3.3.4 Pengamatan Dan Penelitian Sampel Tanah
Teknik yang digunakan dalam penelitian atau ekstraksi Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) adalah teknik tuang-saring dari Pacioni (1992) dan
akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al., (1996).
Prosedur kerja dari teknik tuang-saring ini, pertama adalah melakukan
pencampuran sampel tanah sebanyak 50 gram dengan 200-300 ml air
kemudian diaduk hingga butiran tanah hancur. Selanjutnya, sampel tanah
tersebut disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 0,600 mm, 0,180
mm, 0,075 mm, 0,063 mm dan 0,038 mm secara berurutan dimulai dari
atas hingga ke bawah. Dari saringan yang berada pada bagian atas
semprotkan air kran untuk memudahkan bahan dari saringan lolos.
Kemudian, saringan yang berada paling atas dilepas dan saringan kedua
kembali disemprot dengan menggunakan kran air. Setelah saringan kedua
dilepas, sejumlah sampel tanah yang tersisa tinggal pada saringan paling
bawah dipindahkan ke dalam tabung centrifuge.
Hasil saringan yang berada dalam tabung centrifuge kemudian
ditambahkan dengan larutan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian
bawah larutan sampel tanah dengan menggunakan pipet tetes. Tabung
centrifuge ditutup rapat dan dicentrifuge dengan kecepatan 2500 RPM
selama 3 menit. Selanjutnya, larutan tersebut dituang ke dalam saringan
mesh 0,038 mm untuk dicuci dengan menggunakan air kran agar larutan
glukosa hilang. Endapan yang masih tersisa pada saringan di bagian atas
dituangkan ke dalam cawan petri untuk diamati di bawah mikroskop
binokuler untuk dilakukan penghitungan kepadatan spora dan pembuatan
preparat yang berguna untuk identifikasi spora Fungi Mikoriza Arbuskular
(FMA) yang ada.
Pembuatan preparat dilakukan dengan menggunakan bahan pewarna
Melzer’s, agar Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang diperoleh dari
ekstraksi setelah dilakukan perhitungan jumlahnya dapat diletakkan dalam
larutan Melzer’s. Perubahan warna pada mikoriza dalam larutan Melzer’s
adalah salah satu indikator untuk menentukan jenis Fungi Mikoriza
Arbuskular (FMA) yang ada.
3.3.5 Identifikasi Spora Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA)
Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dilakukan berdasarkan
kesamaan karakteristik morfologi spora meliputi warna dan bentuk spora.
Tahapan identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), yaitu sebagai
berikut:
a. Warna spora: menggunakan standar colour chart yang umum
digunakan. Warna-warna spora mikoriza berkisar hialin kung, kuning
kehijauan, coklat, coklat kemerahan sampai dengan coklat hitam.
b. Bentuk spora: secara umum bentuk spora adalah globe, sub globose,
oval dan oblong (Brundrett et al., 1996).
DAFTAR PUSTAKA

Rahmi, N, Dewi, R & Hidayat, M. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza di


Kawasan Hutan Desa Lamteuba Droe Kecamatan Seulimum Kabupaten
Aceh Besar. Prosiding Biotik, 5 (1).
Ikhsan, A. 2013. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut
Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia crassicarpa Terhadap
Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut dalam Jurnal Agrotek Trop Volume 2
No.1 (Halaman 17-22).
Mawazin, M & Octavia, D. 2019. Eradication Test Of Acasia Crassicarpa In Peat
Forest. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas
Indonesia. Volume 5 No. 2 (Halaman 324-329).
Simamora, A.S, Delvian, D & Elfiati, D. 2015. Keanekaragaman Fungi Mikoriza
Arbuskula Pada Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara dalam
Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No.4. (Halaman 133-141).
Hermawan, H, Muin, A & Wulandari, R.S. 2015. Kelimpahan Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Eukaliptus (Eucalyptus pellita)
Berdasarkan Tingkat Kedalaman Di Lahan Gambut dalam Jurnal Hutan
Lestari Volume 3 No. 1 (Halaman 124-132).
Sianturi, R.P, Delvian, D & Elfiati, D. 2015. Keanekaragaman Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Beberapa Tegakan di Areal Arboretum
Universitas Sumatera Utara dalam Peronema Forestry Science Journal
Volume 4 No. 2 (Halaman 128-138).
Simamora, L.A, Elfiati, D & Delvian, D. 2015. Status Dan Kenekaragaman Fungi
Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di
Kabupaten Samosir dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4
No. 3 (Halaman 115-123).
Zulfredi, Z, Elfiati, D & Delvian, D. 2015. Status Dan Keanekaragaman Fungi
Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non
Produktif dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No. 4
(Halaman 124-132).
Samsi, N & Pata’dungan, Y.S. 2017. Isolasi Dan Identifikasi Morfologi Spora
Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Daerah Perakaran Beberapa Tanaman
Hortikultura Di Lahan Pertanian Desa Sidera dalam Agrotekbis: E-Jurnal
Ilmu Pertanian Volume 5 No. 2 (Halaman 204-211).
Yama, D, Muin, A & Wulandari, R.S. 2014. Asosiasi Cendawan Mikoriza
Arbuskula (CMA) Pada Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex
Benth) Di Lahan Gambut PT. Kalimantan Subur Permai Kabupaten Kubu
Raya Kalimantan Barat dalam Jurnal Hutan Lestari Volume 2 No. 1
(Halaman 33-40).
Sari, R.R & Ermavitalini, D. 2014. Identifikasi Mikoriza dari Lahan DesaCabbiya,
Pulau Poteran, Sumenep Madura dalam Jurnal Sains dan Seni ITS Volume
3 No. 2 (Halaman 67-70).
Puspitasari,Marlina. 2020. Efektivitas Pertumbuhan Tanaman Acacia crassicarpa
A. Cunn. Ex Benth. Pada Tanah Marine Clay Dan Tanah Gambut. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah: Palembang.
Harahap, Ilham Riskan. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular
(FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Berdasarkan
Waktu Pengamatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera
Utara: Sumatera Utara.
Mariani, Sri. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada
Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Waktu
Pengamatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara:
Sumatera Utara.
Ginting, Sartika Febryanti. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular
(FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada
Beberapa Kedalaman Tanah. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas
Sumatera Utara: Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai