Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di alam bersifat kosmopolitan, yaitu dapat ditemukan pada berbagai jenis ekosistem. Mikoriza memiliki peran yang penting di bidang pertanian dan kehutanan untuk transfer nutrisi dua arah antara inang dan fungi, yaitu pada saluran karbon inang dan untuk melakukan penyerapan nutrisi mineral yang ada di dalam tanah, sehingga dengan adanya mikoriza tersebut dapat mendorong proses siklus hara yang ada di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa peranan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) telah terbukti dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman termasuk tanaman hutan Akasia (Acacia crassicarpa) (Pitdjah et al, 2007 dalam Burhanuddin, 2011) yang ditanam pada lahan mineral. Mikoriza dibedakan menjadi ektomikoriza yang hifa funginya tidak dapat menembus sel akar dan endomikoriza yang hifa funginya dapat menembus dinding-dinding sel akar. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) merupakan mikoriza golongan endomikoriza yang termasuk dalam Famili Endogonoceae, Ordo Muccorales dan Kelas Zygomycetes (Smith dan Read, 1997). Adapun genus dari Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) ini yaitu Acalauspora, Entrophospora, Gigaspora, Glomus, Sclerocytis dan Scutellospora. Adapun mengenai keanekaragaman dan penyebaran mikoriza ini sangat bervariasi, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang juga bervariasi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi sebaran Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yaitu struktur tanah, unsur hara P dan N dalam tanah, kandungan C organik, air, pH dan suhu tanah (Hartoyo dkk, 2011). Keberadaan mikoriza tersebut pada suatu lahan memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan 90% jenis tanaman, baik tanaman pertanian, kehutanan, perkebunan dan tanaman pangan dimana mikoriza berperan untuk membantu meningkatkan efisiensi penyerapaan unsur hara terutama fosfor (P) pada lahan marginal. Lahan marginal merupakan jenis lahan yang potensi dan produktivitas tanahnya rendah, sebagaimana lahan gambut yang menjadi lokasi penanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) ini. Penanaman yang dilakukan di lahan gambut tersebut harus mengatasi berbagai permasalahan, seperti pH tanah yang sangat rendah (<7), miskin unsur hara makro dan mikro serta adanya keracunan akibat asam-asam organik. Adanya berbagai permasalahan tersebut jika tidak diatasi dapat menyebabkan keberhasilan tumbuh suatu tanaman menjadi sangat rendah (Wibisono et al., 2005 dalam Sibarani, 2011). Berbagai permasalahan yang terjadi pada Hutan Tanaman Industri (HTI) lahan gambut, faktor suhu, faktor lingkungan, faktor iklim dan lainnya merupakan faktor-faktor yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) berbeda-beda di setiap blok penanaman. Sebagaimana yang terjadi pada lokasi penanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri yang memiliki rotasi tebang (jangka waktu pemanenan) berbeda-beda meskipun berada pada satu petak lahan gambut. Maka dari itu, persentase keberadaan mikoriza pada suatu lahan dapat berbeda-beda dan berdasarkan penelitian Wani dan Lee (1995) yang menyatakan bahwa kolonisasi akar yang maksimum akan dapat dicapai pada tanah yang kurang subur. Sejalan dengan pernyataan Mosse (1997) dalam Puspitasari et al. (2012) bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan terhambatnya perkecambahan mikoriza pada tanaman inang. Kemudian didukung oleh pernyataan Noertjahyani (2008) bahwa kadar P yang tinggi merupakan kondisi yang tidak optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan mikoriza. Maka dari itu, pada umumnya keberadaan mikoriza ini digunakan sebagai salah satu alternatif yang membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman terutama yang berada di lahan kurang subur atau lahan marginal. Dikarenakan keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di lahan gambut Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Wirakarya Sakti belum pernah diteliti, maka penelitian mengenai identifikasi keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada rotasi tebang tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) gambut sangat diperlukan agar dapat diperoleh data keanekaragaman FMA yang dapat dimanfaatkan oleh para peneliti untuk diisolasi dan dimanfaatkan lahan marginal lainnya yang membutuhkan mikoriza sebagai pendukung perkembangan produktivitas kesuburan tanah.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis keanekaragaman dan faktor pendorong pertumbuhan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada beberapa rotasi tebang tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Wirakarya Sakti. 2. Untuk menganalisis karakteristik morfologi dan peranan dari Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang ditemukan pada beberapa rotasi tebang tanaman Akasia (Acacia crassicarpa).
1.3 Manfaat Penelitian
1. Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat strata satu (S-1) pada Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Jambi. 2. Penelitian diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan data mengenai keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) pada rotasi tebang tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) bagi semua pihak yang membutuhkan. 3. Sebagai bahan informasi pengembangan ilmu pengetahuan bagi para peneliti mikoriza agar dapat memanfaatkannya pada lahan-lahan marginal.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh kesuburan suatu lahan terhadap keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA). 2. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) memiliki peranan yang nyata pada peningkatan pertumbuhan tanaman Akasia (Acacia crassicarpa). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Akasia (Acacia crassicarpa)
Menurut para ahli botani, tanaman Acacia berasal dari Negara Australia. Jenis Acacia crassicarpa sendiri tumbuh alami di bagian Timur Laut Queensland, Barat Daya Papua New Guinea dan di bagian Tenggara Papua. Dan saat ini, jenis Acacia crassicarpa sudah ditanam di Pulau Sumatera dan Kalimantan terutama di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berawa (Wardiyono, 2014). Acacia crassicarpa secara geografis tumbuh pada 8-20°S dengan ketinggian tempat berkisar pada 0-200 m dpl dan dengan curah hujan tahunan berkisar antara 500-3500 mm. Tempat tumbuh yang disukai jenis Acacia crassicarpa memiliki rata-rata suhu udara minimum berkisar pada 15-22℃ dan suhu udara maksimum adalah 31-34℃. Acacia crassicarpa merupakan pohon berukuran kecil atau sedang dengan tingginya mencapai 25 m, jenis ini memiliki batang tegak lurus dengan diameter mencapai 50 m, daun berbentuk seperti bulan sabit dengan panjang 8-27 cm dan lebar 1-4,5 cm berwarna hijau keabu-abuan serta memiliki 3 urat daun utama yang jelas berwarna kekuningan. Perbungaan bulir berwarna kuning cerah dengan panjang 4-7 cm, tangkai bunga tebal dan memiliki panjang 5-10 mm, mahkota bunga 5 helai dengan panjang 1,3-1,6 mm serta biseksual (bunga sempurna yang memiliki benang sari dan putik). Kulit batang Acacia crassicarpa memiliki warna coklat keabu-abuan, kayu keras dan kulit batang di bagian dalamnya memiliki warna merah dan berserat. Jenis ini berbunga paling lambat 18 bulan setelah ditanam dan bijinya melimpah setelah 4 tahun penanaman, biji tersebut akan masak selama 5-6 bulan setelah berbunga. Jenis Acacia crassicarpa merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan dapat hidup baik pada lahan-lahan marginal dengan pH rendah, tanah berbatu serta tanah yang mengalami erosi (Leksono, 2003) dan pada daerah tanah gambut. 2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Mikoriza merupakan simbiosis mutualistik antara jamur dan akar tanaman, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi di Indonesia seperti pada jenis tanahnya dapat memungkinkan beranekaragamnya jenis mikoriza pada suatu lahan (Nurhalimah, 2014). Adapun menurut Roosheroe et al., (2006) pertumbuhan FMA tersebut dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, pH dan senyawa kimia di lingkungannya. Sebagaimana Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang jenisnya pertama kali ditemukan oleh botanis Jerman yaitu Frank pada tahun 1855 di akar pepohonan hutan yang melakukan asosiasi simbiotik (Talanca, 2010). Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) termasuk dalam filum Glomeromycota dan dikelompokkan berdasarkan morfologi serta karakteristik molekulernya menjadi tiga suku, yaitu Glomaceae, Acaulosporaceae (membentuk arbuskula dan vesikula) dan Gigasporaceae (membentuk arbuskula). Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) adalah jenis fungi tanah yang keberadaannya memiliki manfaat, karena dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan unsur fosfor, air dan nutrisi lainnya serta dapat berperan untuk pengendalian penyakit akibat patogen tular tanah. Ciri khas Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sendiri terletak pada banyaknya cabang-cabang arbuskular yang berkembang di dalam sel korteks tanaman, spora FMA memiliki sifat yang khusus dan diameternya berkisar antara 10 hingga >1000 μm. Warna spora FMA juga beranekaragam mulai dari hialin hingga hitam dengan permukaan yang halus hingga kasar. Hingga saat ini, kurang lebih terdapat 150 spesies FMA yang berhasil dikenali, tetapi taksonomi pada spesiesnya masih terus berkembang dan banyak mengalami revisi (INVAM, 2018).
2.3 Hutan Tanaman Industri (HTI) Lahan Gambut
Hutan lahan gambut di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Dimana menurut data terakhir luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14,905 juta ha (Ritung et al, 2011). Dari luasan tersebut, sekitar 8,3 juta ha dikategorikan sebagai lahan tidak terdegradasi dan masih berupa hutan alam primer, sisanya sekitar 6,605 juta ha telah dibuka serta dimanfaatkan sebagai Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit, pertanian, pertambangan dan semak belukar (BBSDLP, 2013). Kebutuhan akan bahan baku industri untuk pulp dan kertas yang semakin meningkat menyebabkan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang juga semakin naik perkembangan dan penambahan lahannya termasuk di areal lahan gambut. Oleh karena itu, lahan gambut harus dikelola dengan baik sehingga manfaat ekonomi, sosial dan ekologi dapat tercapai secara seimbang. Selain itu, pengelolaan lahan gambut juga harus dilakukan secara bijaksana dan hati-hati, dikarenakan hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang mudah rapuh dan jika tidak dikelola secara benar hutan tidak akan lestari. Hingga saat ini, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada lahan gambut dilakukan dengan menanam jenis Acacia crassicarpa yang mampu tumbuh baik pada lahan gambut, sedangkan jenis Acacia mangium dan Eucalyptus pellita dikatakan pertumbuhannya kurang baik (Suhartati et al, 2013). Dengan adanya perubahan lahan gambut menjadi lahan HTI Acacia crassicarpa diduga dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah gambut. Selain itu, pembangunan saluran drainase dan pemberian pupuk akan meningkatkan dekomposisi sehingga unsur hara meningkat dan gambut menjadi lebih halus, bobot isi meningkat, total ruang pori menurun yang berdampak positif pada keseimbangan air dan udara. BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Juni 2022 sampai dengan bulan Desember 2022. Kegiatan dimulai dengan pengambilan sampel tanah pada beberapa rotasi tebang dalam satu petak penanaman tanaman Akasia (Acacia crassicarpa) di lahan gambut milik PT. Wirakarya Sakti Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kemudian untuk dapat di identifikasi keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dari sampel tanah, tanah dibawa ke Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
3.2 Bahan Dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah yang diambil pada beberapa rotasi tebang dalam satu petak penanaman Akasia (Acacia crassicarpa). Untuk proses identifikasi bahan yang digunakan adalah air bersih, larutan glukosa 60% dan larutan Melzer’s. Adapun alat yang digunakan untuk pengambilan sampel tanah di lapangan adalah meteran, tali plastik, cangkul, kantong plastik, spidol dan kertas label. Sedangkan alat yang digunakan untuk identifikasi mikoriza adalah saringan bertingkat (0,600 mm, 0,180 mm, 0,075 mm, 0,063 mm dan 0,038 mm), tabung centrifuge, pipet tetes, cawan petri, mikroskop binokuler, kaca preparat dan kaca penutup.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Pembuatan Plot/Petak Penelitian Petak penelitian dibuat sesuai dengan metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999). Jumlah titik atau petak pengamatan pada rotasi tebang diambil sebanyak tiga buah blok dari petak besar penanaman. Ukuran plot pengambilan sampel tanah pada blok rotasi tebang adalah 20 m x 20 m, dimana dalam satu blok tersebut diambil lima titik pengambilan sampel tanah. Total titik pengambilan sampel tanah adalah 15 titik. 3.3.2 Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak lima titik dalam satu blok, sampel tanah diambil pada kedalaman 0 cm sampai dengan perakaran tanaman dengan berat pengambilan sampel tanah adalah 1000 gram, sehingga total sampel tanah yang diambil untuk setiap blok adalah 5000 gram. Kemudian, sampel tanah pada plot yang berada dalam satu blok dicampur dalam satu tempat hingga homogen untuk mewakili satu sampel blok. Setelah pencampuran sampel tanah dianggap homogen, diambil sebanyak 1000 gram tanah untuk di tiap blok. Setiap sampel tanah yang telah diambil dimasukkan dalam kantong plastik dan ditandai dengan kertas label ditulisi dengan spidol. 3.3.3 Analisis Tanah Sebelum melakukan identifikasi atau penelitian lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi sampel tanah meliputi analisis pH tanah, kandungan C-Organik (bahan organik), KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah dan P (Fosfor) tersedia pada tanah untuk mengetahui sifat tanah. 3.3.4 Pengamatan Dan Penelitian Sampel Tanah Teknik yang digunakan dalam penelitian atau ekstraksi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) adalah teknik tuang-saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al., (1996). Prosedur kerja dari teknik tuang-saring ini, pertama adalah melakukan pencampuran sampel tanah sebanyak 50 gram dengan 200-300 ml air kemudian diaduk hingga butiran tanah hancur. Selanjutnya, sampel tanah tersebut disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 0,600 mm, 0,180 mm, 0,075 mm, 0,063 mm dan 0,038 mm secara berurutan dimulai dari atas hingga ke bawah. Dari saringan yang berada pada bagian atas semprotkan air kran untuk memudahkan bahan dari saringan lolos. Kemudian, saringan yang berada paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan menggunakan kran air. Setelah saringan kedua dilepas, sejumlah sampel tanah yang tersisa tinggal pada saringan paling bawah dipindahkan ke dalam tabung centrifuge. Hasil saringan yang berada dalam tabung centrifuge kemudian ditambahkan dengan larutan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah larutan sampel tanah dengan menggunakan pipet tetes. Tabung centrifuge ditutup rapat dan dicentrifuge dengan kecepatan 2500 RPM selama 3 menit. Selanjutnya, larutan tersebut dituang ke dalam saringan mesh 0,038 mm untuk dicuci dengan menggunakan air kran agar larutan glukosa hilang. Endapan yang masih tersisa pada saringan di bagian atas dituangkan ke dalam cawan petri untuk diamati di bawah mikroskop binokuler untuk dilakukan penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat yang berguna untuk identifikasi spora Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang ada. Pembuatan preparat dilakukan dengan menggunakan bahan pewarna Melzer’s, agar Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang diperoleh dari ekstraksi setelah dilakukan perhitungan jumlahnya dapat diletakkan dalam larutan Melzer’s. Perubahan warna pada mikoriza dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan jenis Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) yang ada. 3.3.5 Identifikasi Spora Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) dilakukan berdasarkan kesamaan karakteristik morfologi spora meliputi warna dan bentuk spora. Tahapan identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA), yaitu sebagai berikut: a. Warna spora: menggunakan standar colour chart yang umum digunakan. Warna-warna spora mikoriza berkisar hialin kung, kuning kehijauan, coklat, coklat kemerahan sampai dengan coklat hitam. b. Bentuk spora: secara umum bentuk spora adalah globe, sub globose, oval dan oblong (Brundrett et al., 1996). DAFTAR PUSTAKA
Rahmi, N, Dewi, R & Hidayat, M. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza di
Kawasan Hutan Desa Lamteuba Droe Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Biotik, 5 (1). Ikhsan, A. 2013. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia crassicarpa Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut dalam Jurnal Agrotek Trop Volume 2 No.1 (Halaman 17-22). Mawazin, M & Octavia, D. 2019. Eradication Test Of Acasia Crassicarpa In Peat Forest. In Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. Volume 5 No. 2 (Halaman 324-329). Simamora, A.S, Delvian, D & Elfiati, D. 2015. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No.4. (Halaman 133-141). Hermawan, H, Muin, A & Wulandari, R.S. 2015. Kelimpahan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Eukaliptus (Eucalyptus pellita) Berdasarkan Tingkat Kedalaman Di Lahan Gambut dalam Jurnal Hutan Lestari Volume 3 No. 1 (Halaman 124-132). Sianturi, R.P, Delvian, D & Elfiati, D. 2015. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Beberapa Tegakan di Areal Arboretum Universitas Sumatera Utara dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No. 2 (Halaman 128-138). Simamora, L.A, Elfiati, D & Delvian, D. 2015. Status Dan Kenekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No. 3 (Halaman 115-123). Zulfredi, Z, Elfiati, D & Delvian, D. 2015. Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Produktif Dan Lahan Non Produktif dalam Peronema Forestry Science Journal Volume 4 No. 4 (Halaman 124-132). Samsi, N & Pata’dungan, Y.S. 2017. Isolasi Dan Identifikasi Morfologi Spora Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Daerah Perakaran Beberapa Tanaman Hortikultura Di Lahan Pertanian Desa Sidera dalam Agrotekbis: E-Jurnal Ilmu Pertanian Volume 5 No. 2 (Halaman 204-211). Yama, D, Muin, A & Wulandari, R.S. 2014. Asosiasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Pada Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth) Di Lahan Gambut PT. Kalimantan Subur Permai Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat dalam Jurnal Hutan Lestari Volume 2 No. 1 (Halaman 33-40). Sari, R.R & Ermavitalini, D. 2014. Identifikasi Mikoriza dari Lahan DesaCabbiya, Pulau Poteran, Sumenep Madura dalam Jurnal Sains dan Seni ITS Volume 3 No. 2 (Halaman 67-70). Puspitasari,Marlina. 2020. Efektivitas Pertumbuhan Tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth. Pada Tanah Marine Clay Dan Tanah Gambut. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah: Palembang. Harahap, Ilham Riskan. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Berdasarkan Waktu Pengamatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara: Sumatera Utara. Mariani, Sri. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Waktu Pengamatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara: Sumatera Utara. Ginting, Sartika Febryanti. 2018. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Kedalaman Tanah. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara: Sumatera Utara.