Anda di halaman 1dari 9

4.

Kelakai (Stenochlaena palustris)


Kingdom :Plantae
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Filicopsida
Ordo : Filicales
Suku : Blechnaceae
Genus : Stenochlaena
Species : S. Palutris
( Sumber : Steenis, 2003)
Kelakai merupakan Tanaman jenis paku-pakuan khas Kalimantan selatan yang banyak
ditemukan didaerah rawa, menurut studi empiris memiliki khasiat sebagai antioksidan dan
dapat mengobati anemia. Kelakai di Kalimantan Selatan memiliki sebaran yang sangat
banyak dan umumnya belum banyak dimanfaatkan dan belum ada pembudidayaan.
Pemanfaatan tumbuhan ini hanya untuk sayuran saja dan dijelaskan bahwa kelakai merupakan
makanan bekantan (Larvatus nasalis) (Maharani, 2006).
Tumbuhan kelakai merupakan jenis tumbuhan paku yang memiliki panjang 5 – 10 m.
Akar rimpang yang memenjat tinggi, kuat, pipih persegi. Tangkai daun 10 – 20 cm, kuat.
Daun menyirip tunggal 1,5 – 4 cm, mengkilap, daun mudanya berwarna merah muda, merah
kerap kali keungu-unguan, bertekstur lembut dan tipis, semakin dewasa daunnya mengalami
perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada akhirnya menjadi hijau tua dan keras. Daun
berbentuk lanset, ujungnya meruncing, tepinya bergerigi dan pangkalnya membulat (Steenis,
2003). Tumbuhan ini ditemukan di hutan kerangas, rawa dan gambut. Hidup di tanah dan
memanjat pada pohon yang berada didekatnya. Berakar dalam tanah, rimpang berwarna hitam
dan kuat ditutupi oleh serabut berwarna coklat. Batang licin, keras dan kuat. Bagian depan
batang berwarna hijau kehitaman dan beralur dalam, sedangkan bagian belakangnya tidak
beralur dan berwarna hijau kecoklatan. Daun steril majemuk tersusun menyirip tunggal genap.
Daun bertangkai sangat pendek. Daun yang masih muda berwarna merah, bertekstur lembut
dan tipis, semakin dewasa daun mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada
akhirnya menjadi hijau tua, tekstur yang tebal, keras dan kaku. Bagian abaksial daun
berwarna lebih muda. Pina berbentuk lanset, ujungnya meruncing, basalnya membulat dan
tepinya bergerigi tajam. Daun fertil berbentuk seperti garis dan seluruh permukaannya
dipenuhi oleh sporangium. Daun fertil tersusun menyirip seperti daun steril dengan spora
serbuk berbentuk bubuk halus berwarna coklat muda dan mudah lepas. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hartini (2011) bahwa S. palustris merupakan jenis tumbuhan memanjat atau
merayap. Daun menyirip tunggal. Daun steril berbentuk jorong. Daun fertil berbentuk garis
dan daun yang sangat muda berwarna merah.
Tanaman Kelakai merupakan salah satu jenis tumbuhan yang termasuk plasma nuftah
di Kalimantan Tengah (BPTP, Kalimantan Tengah, 2008). Tanaman Kelakai (Stenochlaena
palustris (Burm F)Bedd) adalah tanaman paku-pakuan yang tumbuh di daerah rawa gambut
yang secara umum disebut lahan basah (MacKinnon et al. dalam Maharani dkk., 2000).
Botani kelakai termasuk dalam Kingdom Plantea, Sub Kingdom Viridaeplantae, Divisio
Pteridophyta, Phylum Tracheophyta, Sub phylum Euphyllophytina, Ordo Filicales, Famili
Blenchnaceae, Genus Stenochlaena, Spesies Stenochlaena palustris (Burm F)Bedd. Dari
analisis gizi, diketahui bahwa kelakai merah mengandung Fe yang tinggi (41,53 ppm).
Kelakai juga mengandung Cu (4,52 ppm), vitamin C (15,41 mg/100g), protein (2,36%), beta
karoten (66,99 ppm), dan asam folat (11,30 ppm). Kemudian, kelakai juga mengandung
flavonoid. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang mempunyai dua peran utama,
yaitu sebagai antioksidan dan antibakteri. Sebagai antioksidan, flavonoid dalam kelakai
berperan untuk menetralkan radikal bebas (irawan dkk, 2003). Berdasarkan studi empirik
kelakai dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat untuk mencegah kekurangan darah
(pencegah anemia) dengan mengkonsumsinya sebagai sayuran. Sehingga perlu diteliti
kandungan zat gizinya. Diharapkan hal itu dapat mengantarnya menjadi salah satu pangan
fungsional. Penelitian meliputi analisa proksimat, uji mineral (Fe dan Ca), uji vitamin
(vitamin C dan vitamin A) dan uji fitokimia (flavonoid, alkaloid dan steroid). Hasil
pengukuran sampel daun dan batang yaitu untuk kadar air 8,56% dan 7,28%, kadar abu
10,37% dan 9,19%, kadar serat kasar 1,93% dan 3,19%, kadar protein 11,48% dan 1,89%,
kadar lemak 2,63% dan 1,37%. Hasil analisis mineral Ca lebih tinggi di daun dibandingkan
batang yaitu 182,07 mg per 100 g, demikian pula dengan Fe tertinggi 291,32mg per100 g.
Hasil analisis vitamin C tertinggi terdapat di batang 264 mg per 10 g dan vitamin A tertinggi
terdapat di daun 26976,29 ppm. Hasil analisa fitokimia flavonoid, alkaloid dan steroid
tertinggi terdapat pada batang ,sebesar 3,010%, 3,817% dan 2,583% (Maharani dkk, 2006).
Menurut (Bunia Ceri, 2014) Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, yang meniliti
tumbuhan paku yang banyak ditemukan di areal bekas tambang batu bara, di mana tempat
tersebut mengandung air dengan salinitas rendah dan kondisi tanah yang keras. Hasil
pengamatan di lapangan pada areal bekas tambang batu bara juga dilakukan pengukuran pH
dan suhu tanah, yaitu pH tanah tempat penelitian berkisar antara 6-7, sedangkan suhu yang
diukur adalah berkisar antara 33-350C. Hal ini adalah salah satu faktor lingkungan yang
mempengaruhi jumlah tumbuhan paku yang dapat tumbuh di bekas areal tambang batu bara.
Hasil penelitian yang dilakukan hanya mendapatkan sedikit jenis tumbuhan paku-pakuan
yang dapat tumbuh di areal bekas tambang batu bara. Hal ini dikarenakan pada lokasi
penelitian yang telah rusak dan vegetasi tumbuhan yang telah banyak hilang akibat
penambangan batu bara. Akibat banyaknya vegetasi seperti pohon-pohonan yang hilang dan
juga keadaan tekstur tanah yang keras menyebabkan suhu disekitar menjadi sangat tinggi.
Idealnya, tumbuhan paku hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu tertentu, yaitu tumbuhan
paku yang bertdaun kecil membutuhkan temperatur yang bersuhu rendah antara 130C -180C,
sedang kelompok yang berdaun besar membutuhkan temperatur yang lebih tinggi berkisar
antara 15-210C.

Dapus
Hartini, S., 2011, Tumbuhan Paku di Beberapa Kawasan Hutan di Taman Nasional
Kepulauan Togean dan Upaya Konservasinya di Kebun Raya Bogor, Berk. Penelitian.
Hayati Edisi Khusus: vol. 7A, hal. 35–40.

Maharani, D. M., S. N. Haidah, & Hainiyah. 2006. Studi Potensi Kalakai (Stenochlaena
palustris (Burm.F) Bedd) sebagai Pangan Fungsional. Kumpulan Makalah PIMNAS
XIX. Malang.

Van Steenis, C.G.G.J., 2003, Flora, hal 233-236, P.T. Pradya Paramita, Jakarta.

Mackinnon, K. G., dkk (2000). Ekologi Kalimantan Buku III. Jakarta: Prenhallindo.

Daisy Irawan, C. Hanny Wijaya, Suwido H. Limin, Yayusuki Hashidoko, Mitsuru Osaki dan
Ici P. Kulu. 2003. Ethnobotanical Study And Nutrient Potency of Some Local
Traditional Vegetable in Central Kalimantan (I) dalam Proceeding of The International
Symposiumon Land Management And Biodiversity In South East Asia. Bali,
Indonesia. 17-20 September 2005. Hokaido University. Sapporo. Japanand Research
Center of Biology, The Indonesia nstitute of science Bogor.

Bunia Ceri, dkk. 2014. Keanekaragaman Jenis Paku-Pakuan (Pteridophyta) Di Mangrove


Muara Sunagi Peniti Kecamatan Segendong Kabupaten Pontianak. Universitas
Tanjung Pura, Fakultas Mipa Program Studi Biologi, h. 243
5. Sarang Semut (Myrmecodia pendans)
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Lamiidae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Myrmecodia pendans
(sumber : Subroto & Hendro , 2008)
Myrmecodia pendans (sarang semut) merupakan tanaman epefit yang kaya akan
phytochemical. Myrmecodia pendans (genus myrmecophytes), juga dikenal penduduk asli
Papua sebagai sarang semut Sarang Semut (Myrmecodia pendans) sejenis tumbuhan yang
menempel pada tumbuhan lain yang lebih besar. Tumbuhan Sarang Semut umumnya banyak
dijumpai di daerah Kalimantan, Sumatera, Papua Nugini, Filipina, Kamboja, Malaysia, Cape
York, Kepulauan Solomon dan Papua (Wabia, 2019).
Tanaman sarang semut mampu hidup pada daerah hutan sekunder dan daerah bekas
perladangan dengan ketinggian 250 hingga 2.500 meter dari permukaan laut. Tanaman
sarang semut merupakan tanaman epifit yang tumbuh menempel pada tanaman inang dan
berasosiasi dengan semut. Keunikan inilah yang diduga menyebabkan tanaman sarang semut
memiliki kandungan flafonoid, tanin dan polifenol yang sering digunakan sebagai tanaman
obat-obatan di daerah Papua (Siburian 2009, Siburian 2017).
Sarang semut memiliki keunikan yang terletak pada interaksi dari semut yang
menjadikan lorong-lorong umbi sebagai sarang didalamnya dan membuat koloni sehingga
semut-semut sangat betah bersarang di dalam tanaman ini. Sehingga dengan jangka waktu
yang lama terjadi reaksi kimiawi secara alami antara senyawa yang dikeluarkan semut
dengan zat yang terkandung di dalamnya. Sarang Semut tidak memiliki akar tetapi
menempel pada batang pohon. Efek negatif sarang semut belum ditemukan tetapi
kebalikannya dapat meningkatkan fungsi metabolisme tubuh dan kelancaran dari peredaran
darah meningkat sehingga stamina tubuh juga meningkat (Sada, 2018).
Kandungan senyawa-senyawa kimia dari golongan flavonoid dan tannin yang
dimiliki Sarang Semut diketahui mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Flavonoid berfungsi sebagai antibiotik, antivirus untuk HIV dan herpes (Huxley, 1978).
Selain itu juga flavonoid dimanfaatkan dalam mengobati dan mencegah beberapa penyakit
seperti asma, katarak, diabetes, encok/rematik, migrain, wasir, periodontitis dan kanker.
Sarang Semut diketahui juga mengandung senyawa antioksidan, vitamin, mineral dan asam
formiat. Antioksidan pada semut berperan dalam pembentukan koloni dan menjaga tempat
telur jauh dari kuman penyakit.
Umumnya, bagian tumbuhan Sarang Semut yang digunakan sebagai obat adalah
bagian hypocotyl (caudex) (Huxley, 1978). Dengan cara merebus bagian hypocotyl sarang
semut yang sudah dikeringkan (Sada, 2018) dapat digunakan sebagai obat. Melalui uji
penapisan kimia, diperoleh sarang semut mengandung senyawa aktif golongan flavonoid.
dapus
Wabia, E., & Siburian, R. H. (2019). Profil Tempat Tumbuh Sarang Semut (Myrmecodia spp.)
Di Distrik Manokwari Selatan Papua Barat. EnviroScienteae, 15(1), 91-94.

Siburian, R. H. S. (2009). Keragaman Genetik Gyrinops verstegii asal Papua berdasarkan


RAPD dan Mikrosatelit. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Siburian, R. H. S. (2017). Conservation and Sustainable Use of Gaharu Producing
Huxley, C. R. (1978). The ant‐plants Myrmecodia and Hydnophytum (Rubiaceae), and the
relationships between their morphology, ant occupants, physiology and ecology. New
Phytologist, 80(1), 231268.
Sada, E., Siburian R. H. S., dan Panambe. (2018). Ekologi Tempat Tumbuh Sarang Semut pada
Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. Enviroscienteae. 14(3): 187-192. DOI:
http://dx.doi.org/10.20527/es.v1 4i3.5690
6. Chiloschista javanica
7. Nephrolepis cordifolia
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Pteridophyta
Super Divisi : Pteridophyta
Kelas : Pteriopsida
Sub Kelas : Polypoditae
Ordo : Polypodiales
Famili : Dryopteridaceae
Genus : Nephrolepis
Spesies : Nephrolepis cordifolia
(sumber : Walter, H. 1973)
Nephrolepis pada umumnya hidup ditanah tapi ada juga yang hidup secara epifit.
Nephrolepis dapat ditemukan pada dataran tinggi, daerah kering seperti padang pasir, daerah
berair atau area-area terbuka. Selain itu dapat ditemukan 4 tipe habitat Nephrolepis yaitu, hutan
rindang yang memiliki celah permukaan berkarang, khususnya yang terlindung dari sinar
matahari, terdapat di daerah rawa dan tergenang air, dan tumbuh sebagai epipit pada pohon-
pohon tropik (Lubis, 2009).
Termasuk paku tanah atau epifit, akar rimpang tegak, bedaun rapat yang termasuk
kedalam famili Dryopteridaceae yang ditemukan di Kawasan Danau Aur. Anak daun tersusun
dan sangat rapat, dengan pangkal berbentuk meruncing. Daun duduk dan hampir duduk,
Nephrolepis cordifolia ini ditemukan pada suhu 28˚C-31˚C yang berarti suhu relatif normal
untuk pertumbuhan paku dan derajat keasaman 6,18 yang berarti asam. Umbi pengeram
bersisik, panjang 1-3 cm. Daun duduk atau hampir duduk 25-100 kali 3-8 cm, poros dengan
sisik coklat. Berbentuk serupa rambut, tangkai daun 2,5-20 cm. Anak daun berjejal rapat,
kerapkali tersusun serupa genting, dengan pangkal berbentuk jantung atau terpancung, pada
tepi atas kerapkali bertelinga, yang terbawah sangat kecil. Anak daun fertil 1,5-4 kali 0,5-1,5
cm, beringgit bergigi tidak dalam, urat daun sejajar yang berakhir dalam sorus atau pori air.
Nephrolepis cordifolia memiliki manfaat sebagai tanaman hias dan dapat dijadikan sebagai obat
(Steenis, 2013).
jenis paku epifit yang memiliki tingkat penguasaan spesies yang tergolong tinggi terdapat
pada jenis paku sepat (Nephrolepis cordifolia) dan paku simbar layangan (Drynaria sparsisora)
dibandingkan dengan jenis paku epifit yang lain, hal ini diduga faktor sinar matahari dan
kondisi tempat tumbuh sangat berperan dalam pertumbuhan dan keanekaragaman jenis epifit,
sesuai dengan pendapat Richards (1952) yang dikutip oleh Partomihardjo (1991) bahwa
stratifikasi vertikal dan penyebaran berbagai jenis epifit secara vertikal serta
keanekaragamannya pada suatu jenis pohon atau berbagai jenis pohon lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor sinar matahari dari pada faktor kelembaban.
DAPUS
Van Steenis, C.G.G.J., 2013, The Mountain Flora of Java. Buku. Leiden: E. J. Brill. 90 p, P.T.
Pradya Paramita, Jakarta.

Partomihardjo, T. 1991. Kajian komunitas epifit di hutan Dipterocarpaceae Lahan Pamah,


Wanariset – Kalimantan Timur sebelum kebakaran hutan. Makalah. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 66 p.

Lubis, S. R. 2009. Keanekaragaman dan pola distribusi tumbuhan paku di hutan wisata alam
taman eden kabupaten toba samosir provinsi sumatera utara. Makalah. Jurusan Pasca
Sarjana Biologi Universitas Sumatra Utara. Medan. 142 p.

Walter, H. 1973.Vegetation of The Earth in Relation to Climate and Ecophysiological


Condition. Book. The English University Press, Ltd. London. 244 p.

Anda mungkin juga menyukai