Anda di halaman 1dari 18

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Bahan Seminar :
Judul : Keragaman Genetik Bakau Hitam (Rhizophora
mucronata) berdasarkan Penanda Morfologi pada
beberapa Provenansi di Sulawesi Barat
Pembawa Seminar : Marwah Salam
Nomor Pokok : M011171064
Pembimbing : 1. Mukrimin S. Hut.,M.P.,Ph.D
2. Gusmiaty, S.P ., M.P
Hari/Tanggal :
Waktu :
Tempat :

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan bakau (mangrove) merupakan salah satu jenis hutan yang tumbuh
disekitar pesisir. Dimana, hutan bakau ini mempunyai manfaat yang sangat
penting dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Di kawasan pesisir,
pengaruh laut dan daratan di kawasan ekosistem hutan bakau menyebabkan terjadi
interaksi kompleks antara sifat fisik dan sifat biologi. Berdasarkan sifat fisik,
hutan bakau dapat berperan sebagai penahan ombak dan penahan abrasi air laut,
sebagai tempat hidup bagi makhluk laut tertentu seperti kepiting, dan juga sebagai
tempat wisata untuk kepentingan pendidikan maupun penelitian.
Dalam buku yang ditulis oleh Rahim dan Baderan (2017) dijelaskan bahwa
menurut Supriharyono (2000), kata mangrove mempunyai dua arti yakni pertama
sebagai komunitas tumbuhan ataupun hutan yang tahan akan kadar salinitas/garam
(pasang surutnya air laut), dan kedua sebagai individu spesies. Dalam buku tersebut juga
dijelaskan arti kata mangrove menurut Saparinto (2007), menurutnya mangrove adalah

1
vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, namun juga bisa tumbuh pada
pantai karang, juga pada dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni sebuah lapis tipis
pasir, lumpur, maupun pantai berlumpur.
Efisiensi mereduksi energi gelombang oleh hutan bakau tergantung pada
spesies penyusun ekosistem, kondisi komunitas vegetasi, kedalaman air, dan
kondisi gelombang yang saling bersinergis. Hutan bakau juga berfungsi menjaga
kualitas air serta mendukung perikanan di ekosistem pesisir dan lepas pantai
Selain itu, hutan bakau bermanfaat langsung sebagai sumber bahan makanan,
bahan bangunan, bahan bakar, dan bahan obat-obatan (Walters, dkk., 2008 dalam
Akbar, dkk., 2017).
Hutan bakau ini sangat banyak jenisnya. Salah satu jenis bakau yang jadi
primadona adalah jenis bakau hitam (Rhizophora mucronata). R. mucronata
merupakan salah satu spesies penting di hutan mangrove. Bakau hitam banyak
digunakan dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Kayu bakau hitam
digunakan sebagai bahan bakar arang yang merupakan salah satu kualitas terbaik.
Selain itu, memiliki kemampuan melindungi pesisir pantai dari gelombang besar
dan angin laut (Tahzani, 2016).
Rusaknya kondisi mangrove menimbulkan berbagai permasalahan terutama
abrasi yang terjadi hampir di seluruh pantai utara Jawa (Yasinta dkk., 2012 dalam
Tahzani, 2016). Mengingat besarnya kerugian akibat rusaknya mangrove, maka
penting dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Kegiatan rehabilitasi
tidak akan berhasil tanpa tersedianya bibit yang berkualitas dalam jumlah yang
banyak.. Dengan kegunaan dan keunggulan bakau hitam, terutama dalam
mempertahankan pesisir pantai dari abrasi, maka perlu dilakukan upaya
perbanyakan tanaman tersebut. Oleh karena itu, perlu diketahui keanekaragaman
genetik dari mangrove itu sendiri.
Rimbawanto dan Widyatmoko (2006), dalam Widiahastuti (2009) dalam
Sarwini (2019) menyebutkan bahwa keragaman genetik diperlukan untuk
mengetahui besarnya variasi genetik yang ada. Besarnya keragaman genetik
mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi geologi dalam
jangka pendek dan evolusi jangka panjang, sehingga dapat berguna dalam
menyusun strategi pemuliaan pohon. Keragaman genetik pohon yang terdapat
dalam satu tempat tumbuh yang berbeda provenansi dapat berbeda karena adanya

2
mutasi genetik. Hal ini menunjukkan sifat dan kekhasan suatu tegakan, sehingga
tegakan atau provenansi yang memiliki karakter genetik yang baik dapat menjadi
sumber yang tepat untuk kegiatan pemuliaan pohon.
Adanya keragaman dapat dilakukan melalui pengamatan karakter morfologi
yaitu mengamati sifat yang tampak namun sangat dipengaruhi kondisi lingkungan.
Dengan mengetahui keragaman genetik berdasarkan morfologi dari masing-
masing provenansi, maka dapat dibandingkan kira-kira bakau hitam yang seperti
apa yang paling efektif untuk dikembangkan pada daerah tertentu.

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujun untuk mengetahui keragaman genetik tanaman bakau


hitam R.mucronata berdasarkan penanda morofologi pada provenansi di beberapa
kabupaten di Sulawesi Barat. Kegunaan dari penelitian yaitu digunakan dalam
upaya pemuliaan tanaman bakau hitam yang akan datang, terutama di sekitar
pesisir pantai.

3
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakau Hitam (Rhizophora mucronata)

2.1.1 Sistematika

Secara taksonomi, klasifikai dari jenis bakau hitam menurut Soedjono, dkk,
(2013) dalam Cahyani (2016) adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora mucronata

2.1.2 Morfologi

Daun

Jenis daun R. muchronata mempunyai daun tunggal dengan susunan


opposite. Bentuk daun elliptical membesar sampai oblong dengan ukuran panjang
16-22 cm, lebar 8-11 cm, dan panjang tangkau 3-4,5 cm. Serta ujung daun acute
dan pangkal daun cunute. Ujung daun memiliki mucro (jarum). Permukaan atas
daun bewarna hijau, sedang permukaan bawah hijau kekuningan dan berbintik-
bintik hitam (Ambaraji, 2011). Daun tanaman ini mengandung senyawa metabolit
sekunder seperti tanin, fenolat, klorofil, karotenoid dan alkaloid (Ridlo, dkk.,
2017)

Menurtu Sipahelut., dkk, (2020) R. mucronata memiliki daun yang tebal


berwarna hijau cerah. Bentuk daunnya oval, panjang daun 16 cm, lebar daun 9
cm, ujung daunnya runcing, tidak ada jarak antar tangkai daun pada kuncup daun,
pangkal daun runcing, dan memiliki pertulangan daun yang menyirip.

4
Bentuk daun : daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5
cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm
(Cahyani, 2016; Handayani, 2019).

Gambar 1. Penampakan daun Rhizopora mucronata.

Sumber: Tahzani, 2016

Daun tunggal berhadapan dengan gagang daun berwarna hijau, berbentuk


elips melebar hingga bulat memanjang dengan ujung daun berarista (aristate)
(ujung daun mirip gigi yang meramping tajam). Panjang daun mencapai 15-20
cm. Permukaan bawah daun hijau kekuningan dan terdapat bintik- bintik hitam
kecil yang tersebar. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5.5-
8.5 cm (Noor, dkk., 1999; Kusmana, dkk., 2008 dalam Haris, 2019)

Batang

R. mucronata memiliki batang yang berwarna gelap hingga hitam


(Sipahelut, dkk., 2019). Batang berdiri tegak, tidak berlekuk, tidak berpilin, dan
tidak berbenjol. Kulit luar berwarna abu-abu terang, retak-retak membentuk
persegi empat dengan tepi terangkat, bersisik, dan mengelupas (Ambaraji, 2011).

Adapun menurut Haris (2019), R. mucronata merupakan jenis mangrove


utama dengan tinggi batang mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Umumnya

5
tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan
dari ganasnya gelombang.

Bunga dan Buah

Dalam skripsi yang ditulis oleh Tahzani (2016), Kamal (2011) menjelaskan
bahwa musim berbunga dan berbuah R. mucronata terjadi sepanjang tahun,
musim puncaknya adalah dari bulan Juli-November. Bunga berbentuk gagang,
kepala bunga berbentuk seperti cagak, bersifat biseksual dan masing-masing
menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak bunga axilaris
(di ketiak daun) dengan formasi berkelompok bunga majemuk (4-8 bunga
perkelompok). Daun mahkota berjumlah empat buah dan berwarna kuning pucat.
Benang sari berjumlah delapan dan tidak bertangkai (Cahyani, 2016).

R. mucronata memiliki bunga majemuk, 4 mahkota bunga berwarna putih


dan 4 kelopak bunga berwarna kuning pucat. Spesies ini juga memiliki 8 benang
sari dan 1 putik (Sipahelut, 2019). Sedangkan buahnya berbentuk lonjong/panjang
hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm, berwarna hijau kecoklatan, seringkali
kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal. Hipokotil silindris, kasar dan berbintil.
Leher kotilodon kuning ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan
diameter 2-3 cm. (Soenardjo, dkk., 2003 dalam Cahyani, 2016). Mempunyai
kelopak berjumlah 4, keping buah berwarna kuning atau coklat ketika masak
(Noor, dkk., 1999 dalam Tahzani, 2016).

Buah bakau hitam memiliki bentuk lonjong/panjang seperti jambu air atau
telur, berukuran 2-2,3 cm, warna hijau kecokelatan, dan berbiji tunggal. Hipokotil
buah berwarna hijau kekuningan, berbentuk silindris dengan diameter 2-2,5 cm
dan panjang dapat mencapai 90 cm (Putra, 2020). Buah bakau terdiri dari dua
bagian yaitu kelopak dan buah bakau. Kelopak buah bakau berbentuk seperti buah
pir terbalik dan berwarna cokelat. Buah bakau memiliki penampakan berwarna
hijau dan diselimuti oleh banyak lentisel pada lapisan permukaannya. Daging
buah bakau memiliki tekstur keras dan berwarna cokelat (Purwaningsih et al.,
2013 dalam Putra, 2020).

6
Akar

Perakaran R. mucronata berbentuk melengkung (still root), tumbuh pada


bagian bawah batang utama berfungsi sebagai akar nafas dan tumbuh dari batang
utama ke arah samping dan masuk ke dalam tanah. Sistem perakaran ini
merupakan adaptasi morfologi dalam kondisi anaerobik tanah mangrove. Akar
muda mengandung klorofil sehingga mampu melakukan proses fotosintesis
(Ambariji, 2017).
Bakau hitam memiliki akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari
percabangan bagian bawah agar dapat tumbuh di habitat tanah berlumpur dalam
dan sedikit berpasir (Noor, dkk., 2012 dalam Putra, 2020). Akar berbentuk
tunjang berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Akar
memiliki lentisel yang berfungsi sebagai alat pernafasan (Bengen, 2000 dalam
Tahzani 2016).

2.1.3 Penyebaran dan Tempat Tumbuh

Untuk pertumbuhan mangrove dibutuhkan pasang surut, gerakan


gelombang yang minimal, endapan lumpur serta Salinitas (Dahuri, dkk., 1996;
Hogarth, 1999; Mann, 1982 dalam Arifin, 2017). Selanjutnya Supriharyono
(2000) juga mengemukakan bahwa ada empat faktor utama yang menentukan
penyebaran mangrove yaitu arus pasang surut, salinitas tanah, suhu air serta air
tanah.Tempat tumbuh yang ideal bagi hutan mangrove adalah di sekitar
pantaiyang lebar muara sungainya, delta, dan tempat yang arus sungainya banyak
mengandung lumpur pasir (Dahuri et al., 1996 dalam Arifin, 2017). Penyebaran
jenis mangrove selalu berkaitan dengan kadar garam atau salinitas, lama dan
frekfensi penggenangan oleh air laut, dan juga kandungan lumpur tanahnya.
Semakin jauh ke arah lautan, semakin tinggi frekuensi penggenangannya dan
semakin tinggi pula salinitasnya Zona Rhizophora berada di belakang zona
Avicennia (dekat dengan laut), dicirikan tanah yang berlumpur lembek.

R. mucronata tersebar di Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia


tenggara, seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Ekologi
tempat tumbuh tanamaman ini di areal yang sama dengan Rhizopora apiculata

7
tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir (Noor, dkk., 2006
dalam Kesuma, 2016).

2.2 Provenansi

Kata provenansi yang bersinonim dengan origin atau source berarti asal
atau sumber. Provenansi adalah sumber geografis asal benih, bahan pembiakan
vegetatif atau tepung sari. Sedangkan sumber benih adalah tempat benih
dikumpulkan. Kedua istilah ini identik apabila tempat dimana benih dikumpulkan
adalah tempat tumbuh asalnya (Wright, 1976 dalam Sarwini, 2019)
Menurut Zobel dan Talbert (1984) dalam Widiahastuti (2009) dalam
Sarwini (2019), provenansi berasal dari tempat tumbuh yang dijadikan dasar
untuk menunjukkan adanya keragaman suatu jenis. Keragaman tersebut
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh karakter atau sifat
yang diinginkan sesuai tujuan, khususnya pemuliaan dan konservasi. Provenansi
atau ras geografis merupakan area geografi alami di mana benih dikumpulkan.
Adanya provenansi disebabkan karena adanya suatu jenis tanaman yang
mempunyai sebaran alami pada beberapa tempat, yang mempunyai kondisi
lingkungan yang spesifik, hingga memberikan penampilan (fenotipe) yang
berbeda diantar tempat tumbuhnya atau ras geografis. Perbedaan tersebut
menimbulkan adanya keragaman diantara provenansi yang ditanam pada tempat
tumbuh yang baru.

2.3 Keragaman Genetika

Keragaman genetik dan heritabilitas merupakan syarat mutlak dalam


keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman (Acquaah, 2012 dalam Effendy,
dkk., 2018). Keragaman genetik dapat memperbesar kemungkinan untuk
mendapatkan genotip yang lebih baik melalui seleksi. Keragaman karakter dan
keanekaragaman genotip berguna untuk mengetahui pola pengelompokan genotip
pada populasi tertentu berdasarkan karakter yang diamati dan dapat dijadikan
sebagai dasar kegiatan seleksi (Agustina & Waluyo, 2017 dalam Effendy, dkk.,
2018).

8
Analisis keragaman dapat dilakukan dengan berbagai tipe penanda, salah
satu tipe penandanya ialah morfologi pada tanaman. Menurut Kusuma, dkk.,
(2016) keragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi yang terjadi
akibat adanya keragaman di antara individu yang menjadi anggota populasi.
Genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena berperan penting dalam
mempertahankan populasi dan pemulihan dari kerusakan. Oleh karena itu,
informasi mengenai keragaman genetik membantu dalam proses pengelolaan
kawasan perlindungan laut secara berkelanjutan.

Keragaman genetik merupakan salah satu faktor yang sangat


berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pemuliaan tanaman. Dengan adanya
keragaman genetik dalam suatu populasi berarti terdapat variasi nilai genotipe
antara individu dalam populasi tersebut. Sujiprihati, dkk., (2003) dalam
Saddah (2019) menyatakan bahwa keanekaragaman populasi tanaman
memiliki arti penting dalam pemuliaan tanaman. Langkah awal bagi setiap
program pemuliaan tanaman adalah koleksi berbagai genotipe yang kemudian
dapat digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan
atas dasar pemuliaan tanaman.

Keragaman genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi


penampilan yang disebabkan oleh komponen-komponen genetik. Penampilan
suatu tanaman dengan tanaman lainnya pada dasarnya akan berbeda dalam
beberapa hal. Dalam suatu sistem biologis, keragaman (variabilitas) suatu
penampilan tanaman dalam populasi dapat disebabkan oleh variabilitas genetik
penyusun populasi, variabilitas lingkungan, dan variabilitas interaksi genotip x
lingkungan (Rachmadi, 2000 dalam Saddah, 2019). Keragaman genetik berasal
dari mutasi gen, rekombinasi (pindah silang), pemisahan dan pengelompokan
alel secara rambang (random) selama meiosis, dan perubahan struktur
kromosom. Keragaman ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam jumlah
bahan genetik yang menyebabkan perubahan-perubahan fenotip.

Penampilan fenotip suatu tanaman merupakan interaksi antara faktor


genetik dan faktor lingkungan. Keragaman fenotipe yang tampak dihasilkan
oleh perbedaan genotipe dan atau lingkungan tumbuhnya. Keragaman fenotipe

9
yang terjadi merupakan akibat adanya keragaman genetik dan keragaman
lingkungan keragaman fenotipe mencerminkan keragaman lingkungan
(Saddah, 2019)

 Menurut Rachmadi (2000) dalam Saddah (2019) dalam suatu sistem


biologis keragaman suatu penampilan tanaman dalam populasi dapat
disebabkan oleh keragaman genetik penyusun populasi, keragaman
lingkungan, dan keragaman interaksi genotipe x lingkungannya. Jika
variabilitas penampilan suatu karakter tanaman disebabkan oleh faktor genetik,
maka keragaman tersebut dapat diwariskan pada generasi selanjutnya.

Nilai koefisien keragaman genetik dapat dapat memberi informasi


mengenai keragaman genetik dari suatu tanaman sehingga dapat diketahui
tingkat keluasan dalam pemilihan genotip harapan.

2.4 Penanda Genetika

Penanda genetik merupakan suatu penciri individu dalam mengidentifikasi


genotipe. Poliferisme merupakan faktor yang paling penting dalam melakukan
analisis menggunakan penanda genetik, karena membantu dalam membedakan
individu-individu dalam populasi yang diteliti. Adapun macam-macam penanda
genetik:

- Penanda morofologi : banyak digunakan, karena mudah. Namun


dipengaruhi oleh lingkungan. Memperhatikan sifat fenotipe, dan
penelitian/pengamatan dilakukan pada bagian daun, batang, akar, dan
sifat-sifat tampak lainnya.
- Penanda sitologi : mengenai sel, banyak digunakan untuk
keanekaragaman hayati terutama dalam penentuan jumlah kromosom.
- Penanda biokimia : menggunakan alat dan metode khusus untuk
mengamatinya. Analisis dilakukan menggunakan isozim. Isozim adalah
enzim-enzim yang memiliki molekul aktif dan struktur kimia yang
berbeda tetapi mengkatalisis reaksi kimia yang sama.

10
- Penanda molekuler : menggunakan penanda DNA (pada tumbuhan,
DNA terdapat di nukleus, mitokondria dan kloroplas). Tidak
dipengaruhi oleh faktor umur, asal, maupun lingkungan.

Penanda genetika merupakan ciri biologis yang ditentukan oleh bentuk allel
gen atau lokus genetik dan dapat ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
lainnya, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penelitian untuk mengetahui suatu
individu, jaringan, sel, nukleus, kromosom maupun gen.

2.5 Penanda Morfologi


Analisis keragaman suatu populasi dapat diketahui dengan melihat karakter
morfologi. Karakteristik yang umum digunakan meliputi bentuk batang, daun,
bunga, buah, dan biji (Deswina, dkk., 2019). Penanda morfologi adalah suatu
penanda yang akurat jika dikaitkan dengan sifat agronomi karena penanda
morfologi dapat digunakan untuk keperluan identifikasi fenotif terkait perubahan
pada ekotipenya. Analisis ini sangat mudah untuk dilakukan karena
pengidentifkasian dilaksanakan dengan mengamati sifat fenotif atau penampakan
luar (Soenarsih, 2012 dalam Lamanda, 2018).

Pengamatan secara morfologi ini penting dilakukan untuk mengetahui


adanya variasi atau keanekaragaman suatu tanaman. Kurniawan, dkk., (2008)
menyatakan bahwa selain untuk mengetahui keanekaragaman, karakter morfologi
juga dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu spesies.
Menurut Davis dan Heywood (1963) karakter morfologi mempunyai peranan
penting didalam sistematika, karena banyak pendekatan yang dapat dipakai dalam
penyusunan sistem klasifikasi, tetapi semuanya berawal dari karakter morfologi.

Pada umumnya penanda morfologi relatif mudah digunakan, lebih murah,


dan lebih sederhana. Menurut Stoskopf, dkk., (2009) dalam Kuswandi, dkk.,
(2014) penanda morfologi merupakan penanda yang dapat digunakan untuk
mengukur besarnya keragaman pada tanaman berdasarkan fenotip pada fase
vegetatif maupun fase generatif. Pendeskripsian plasma nutfah umumnya
menggunakan karakter kualitatif, dimana tipe datanya adalah biner, nominal, atau
ordinal. Karakter kualitatif antara lain meliputi warna dan bentuk, dikendalikan

11
oleh gen sederhana (satu atau dua gen), dan sedikit dipengaruhi oleh lingkungan.
Teknik ini telah digunakan pada tanaman buah seperti pisang (Sukartini, 2007)
dan nenas (Hadiati, dkk., 2009) dalam (Kuswandi, dkk., 2014)

Identifikasi keragaman dengan cara karakterisasi akan menghasilkan data


berisi informasi tentang sifat-sifat dari karakter morfologis (warna bunga, bentuk
daun, dan sebagainya) dan agronomis (umur panen, tinggi tanaman, produksi, dan
sebagainya). Karakterisasi morfologi lebih utama dilakukan daripada karakterisasi
molekuler karena mudah dilakukan dan nampak secara jelas. Penanda morfologi
yang digunakan merupakan penanda yang didasarkan pada hereditas Mendel yang
sederhana, seperti bentuk, warna, ukuran, dan berat. Karakter morfologi (fenotipe)
bisa digunakan sebagai indikator yang signifikan untuk gen yang spesifik dan
penanda gen dalam kromosom karena sifat-sifat yang mempengaruhi morfologi
dapat diturunkan (SOFRO, 1994). Dalam jumlah besar penanda morfologi telah
dipelajari dan dipetakan untuk manusia, mencit, Drosophila, jagung tomat, ubi
jalar, serta hewan dan tumbuhan lainnya (LIU, 1998; KARURI et al., 2010).
Pemberdayaan koleksi plasma nutfah pala hanya bisa dilakukan apabila tersedia
informasi yang cukup tentang potensi sifat-sifat yang dimilikinya. Salah satu
upaya penggalian informasi tersebut yaitu dengan mengkarakterisasi penanda
morfologinya, yaitu berdasarkan penampilan morfologi dan sifat-sifat
agronominya (Wardiana, 2007 dalam DAS, dkk., 2012)

Pengamatan morfologi diambil berdasarkan ciri vegetatif (kuantitatif dan


kualitatif). Pengamatan kuantitatif meliputi pengukuran terhadap tinggi tanaman,
diameter batang, panjang daun, lebar daun dan jumlah daun. Untuk pengamatan
kualitatif dilakukan pada ciri daun (tekstur daun, bentuk, pangkal, tepi, tipe daun,
warna, pertulangan, permukaan, tipe pertumbuhan, keadaan tepi tangkai, dan tipe
kanal) dan batang (bentuk, warna dan permukaan) berdasarkan buku panduan
IPGRI (Internasional Plant Genetic Resources Institute dalam Due, dkk., 2019).

12
III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan (belum ditentukan) 2020.


Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa kabupaten di Sulawesi Barat, yaitu
Kab. Polewali Mandar, Kab. Majene, dan Kota Mamuju. Pengamatan keragaman
genetik berdasarkan penanda morfologi dan analisis data dilakukan di
Laboratorium Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon, Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita meter, abney level,
plastik sampel, kamera, alat tulis menulis, tally sheet dan label.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tumbuhan bakau
hitam Rhizopora mucronata.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan Sampel


Pengambilan data dalam penelitian ini yakni melalui survey awal lokasi
kemudian pengambilan sampel daun pada setiap individu sebanyak minimal 10
pohon tiap kabupaten.
3.3.2. Pengamatan Analisis Morfologi
Karakter yang diamati secara morfologis yaitu pada bagian batang, daun,
buah/bunga dan akar.
1. Diameter batang, patokan pengukuran diameter atau keliling batang yang
dilakukan setinggi dada adalah 1,30 m. Pengukuran keliling batang
menggunakan pita meter. Nilai diameter pohon dihitung dengan
menggunakan rumus D = K/π , dimana K = keliling batang, π = 3,14 dan D
= diameter batang

13
2. Keragaman morfologi bagian daun yaitu bentuk, warna, tipe maupun
ukuran, diperoleh berdasarkan hasil pengamatan secara langsung.
3. Pada biji dilakukan pengukuran diameter biji dan panjang biji.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan secara
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan yang karakternya dapat diukur
seperti panjang dan lebar daun, panjang batang, panjang tangkai daun, jumlah
anak daun, dan sebagainya.

3.5 Analisis Data


Analisis statistik untuk data kuantitatif yang digunakan dalam percobaan ini
yaitu sebagai berikut:
1. Rata-rata (Mean)
Untuk mengetahui rata-rata (diameter dan luas daun) digunakan rumus:
∑f
𝑥̅ =
n

Keterangan :

𝑥̅= rata-rata
Σ f = jumlah data (diameter, kandungan klorofil, luas daun, kadar air)
n = jumlah individu/sampel

2. Simpangan baku (Standar deviation)


Simpangan baku merupakan suatu nilai untuk mengetahui penyimpangan
nilai-nilai individu terhadap rata-rata diameter dan luas daun. Dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Sd = √ n . Σ ( f 2)−( Σ f ) 2n/(𝑛−1)
Keterangan:
Sd = simpangan baku
3. Analisis ragam (anova) dengan variabel pengiring waktu keluar bunga
jantan. Jika analisis ragam ada pengaruh (H0 ditolak) maka dilanjutkan

14
dengan uji Tukey atau beda nyata jujur (BNJ) untuk mengetahui rata-rata
perlakuan mana yang berbeda.
a. Faktor Koreksi (FK)
( total jendral ) 2
FK =
total banyak pengamatan
b. Jumlah Kuadrat (JK)
JK Total (JKT) = (Jumlah kuadrat seluruh pengamatan) – FK
( total perlakuan ) 2
JK Perlakuan (JKP) = ∑
r
Ket : r = ulangan
JK Galat (JKG) = JKT – JKP
c. Derajat Bebas (db)
Db Total = t.r – 1
Ket : t = perlakuan
Db perlakuan = t – 1
Db galat = t (r – 1)
d. Kuadrat Tengah
JKP
KTP =
dbp
JKG
KTG =
dbg
e. Statistik Penguji
KTP
Fhitung =
KTG

4. Nilai heritabilitas (h2) dalam arti luas, dihitung untuk mengetahui besarnya
keragaman genetik yaitu proporsi ragam genotipe dengan ragam fenotipe.
σ2g σ 2g
h2 = σ 2 p = σ 2 g+ σ 2e

Keterangan :
h2 = heritabilitas (0 – 1)

15
σ2 g= ragam genotipe
σ2e = ragam lingkungan atau ragam galat
σ2 p = ragam fenotipe
Keragaman genetik: tinggi jika h2> 0,5; sedang jika 0,2 ≤ h2 ≤ 0,5; dan
rendah jika h2< 0,2; nilai minus dianggap nol (Makhziah, 2014).

16
DAFTAR PUSTAKA

Ambariji, Hireng. (2011). Pengaruh Tingkat Penggenangan Terhadap


Pertumbuhan Semai Bakau (Rhizophora Mucronata Lamk.) Pada Umur
yang Berbeda di Kawasan Ekowisata Mangrove Angke Kapuk, Jakarta
Utara. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Akbar, A. A., Sartohadi, J., Djohan, T. S., & Ritohardoyo, S. (2017). Erosi Pantai,
Ekosistem Hutan Bakau dan Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana
Kerusakan Pantai di Negara Tropis. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15 (1), 1-10.

Cahyani, M. D., & Novidayasa, I. (2016). “Ekstraksi Zat Warna Alami Dari Kayu
Bakau (Rhizophora Mucronata) Dengan Metode Microwave Assisted
Extraction”. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.

Deswina, P., Zahra, N. D. A. A., & Hesthiati, E. H. (2019). Morphological


Characteristic of Apple Velvet (Diospyros blancoi) at Germplasm Garden
of LIPI Cibinong Collection. Jurnal Pertanian Tropik (Indonesian
Tropical Agriculture Journal) accredited by KEMENRISTEK DIKTI No:
21/E/KPT/2018, 6(3, Dec), 348-362.

Effendy, R., & Waluyo, B. (2018). Keragaman Genetik Dan Heritabilitas Karakter
Komponen Hasil dan Hasil Ciplukan (Physalis Sp.). Jurnal Agro, 5, 1.

Handayani, S. (2019). Identifikasi Jenis Tanaman Mangrove Sebagai Bahan


Pangan Alternatif Di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Jurnal Teknologi
Pangan, 12(2), 33-46.

Haris, A. M. (2019). Model Pertumbuhan Semai Rhizophora mucronata Lamk


dengan Teknik Penanaman Guludan di Kawasan Pesisir Angke Kapuk,
Jakarta.

Kesuma, R. A. (2016). Pertumbuhan riap diameter pohon bakau kurap


(Rhizophora mucronata) di Lampung Mangrove Center.

17
Lamanda, S. A. (2018). “Analisis Morfofisiologis Jati (Tectona Grandis Linn.
F.)”. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Putra, A. F. (2020). Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Bakau Hitam (R.


Mucronata) Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus
Norvegicus) Yang Diinduksi Methanyl Yellow.

Rahim, S., & Baderan, D. W. K. (2017). Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya.


Deepublish.

Ridlo, A., Pramesti, R., Koesoemadji, K., Supriyantini, E., & Soenardjo, N.
(2017). Aktivitas antioksidan ekstrak daun mangrove Rhizopora
mucronata. Buletin Oseanografi Marina, 6(2), 110-116.

Rimbawanto, A., & Widyatmoko, A. Y. P. B. C. (2006). Keragaman Genetik


Empat Populasi Lntsia Bijuga Berdasarkan Penanda Rapd dan
Implikasinya Bagi Program Konservasi Genetik. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman, 3(3), 149-154.

Saadah, N. (2019). “Keragaman Genetik Tanaman Pearl Millet (Pennisetum


Glaucum) Pada Generasi M3”. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sarwini. (2019). “Analisis Morfologi dan Fisisologi Jati Tectona grandis Linn. F
Enam Provenansi pada Ketinggian 102 mdpl, di ASDG BPTH Kabupaetn
Gowa”. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sipahelut, P., Wakano, D., & Sahertian, D. E. (2020). Keanekaragaman Jenis Dan
Dominansi Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Sehati Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah. Biosel (Biology Science and Education):
Jurnal Penelitian Sains dan Pendidikan, 8(2), 160-170.

Tahzani, R. (2016). Pengaruh Pemotongan Propagul Terhadap Pertumbuhan


Semai Bakau Hitam (Rhizophora Mucronata).

18

Anda mungkin juga menyukai