FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Bahan Seminar :
Judul : Keragaman Genetik Bakau Hitam (Rhizophora
mucronata) berdasarkan Penanda Morfologi pada
beberapa Provenansi di Sulawesi Barat
Pembawa Seminar : Marwah Salam
Nomor Pokok : M011171064
Pembimbing : 1. Mukrimin S. Hut.,M.P.,Ph.D
2. Gusmiaty, S.P ., M.P
Hari/Tanggal :
Waktu :
Tempat :
I PENDAHULUAN
Hutan bakau (mangrove) merupakan salah satu jenis hutan yang tumbuh
disekitar pesisir. Dimana, hutan bakau ini mempunyai manfaat yang sangat
penting dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Di kawasan pesisir,
pengaruh laut dan daratan di kawasan ekosistem hutan bakau menyebabkan terjadi
interaksi kompleks antara sifat fisik dan sifat biologi. Berdasarkan sifat fisik,
hutan bakau dapat berperan sebagai penahan ombak dan penahan abrasi air laut,
sebagai tempat hidup bagi makhluk laut tertentu seperti kepiting, dan juga sebagai
tempat wisata untuk kepentingan pendidikan maupun penelitian.
Dalam buku yang ditulis oleh Rahim dan Baderan (2017) dijelaskan bahwa
menurut Supriharyono (2000), kata mangrove mempunyai dua arti yakni pertama
sebagai komunitas tumbuhan ataupun hutan yang tahan akan kadar salinitas/garam
(pasang surutnya air laut), dan kedua sebagai individu spesies. Dalam buku tersebut juga
dijelaskan arti kata mangrove menurut Saparinto (2007), menurutnya mangrove adalah
1
vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut, namun juga bisa tumbuh pada
pantai karang, juga pada dataran koral mati yang di atasnya ditimbuni sebuah lapis tipis
pasir, lumpur, maupun pantai berlumpur.
Efisiensi mereduksi energi gelombang oleh hutan bakau tergantung pada
spesies penyusun ekosistem, kondisi komunitas vegetasi, kedalaman air, dan
kondisi gelombang yang saling bersinergis. Hutan bakau juga berfungsi menjaga
kualitas air serta mendukung perikanan di ekosistem pesisir dan lepas pantai
Selain itu, hutan bakau bermanfaat langsung sebagai sumber bahan makanan,
bahan bangunan, bahan bakar, dan bahan obat-obatan (Walters, dkk., 2008 dalam
Akbar, dkk., 2017).
Hutan bakau ini sangat banyak jenisnya. Salah satu jenis bakau yang jadi
primadona adalah jenis bakau hitam (Rhizophora mucronata). R. mucronata
merupakan salah satu spesies penting di hutan mangrove. Bakau hitam banyak
digunakan dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Kayu bakau hitam
digunakan sebagai bahan bakar arang yang merupakan salah satu kualitas terbaik.
Selain itu, memiliki kemampuan melindungi pesisir pantai dari gelombang besar
dan angin laut (Tahzani, 2016).
Rusaknya kondisi mangrove menimbulkan berbagai permasalahan terutama
abrasi yang terjadi hampir di seluruh pantai utara Jawa (Yasinta dkk., 2012 dalam
Tahzani, 2016). Mengingat besarnya kerugian akibat rusaknya mangrove, maka
penting dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Kegiatan rehabilitasi
tidak akan berhasil tanpa tersedianya bibit yang berkualitas dalam jumlah yang
banyak.. Dengan kegunaan dan keunggulan bakau hitam, terutama dalam
mempertahankan pesisir pantai dari abrasi, maka perlu dilakukan upaya
perbanyakan tanaman tersebut. Oleh karena itu, perlu diketahui keanekaragaman
genetik dari mangrove itu sendiri.
Rimbawanto dan Widyatmoko (2006), dalam Widiahastuti (2009) dalam
Sarwini (2019) menyebutkan bahwa keragaman genetik diperlukan untuk
mengetahui besarnya variasi genetik yang ada. Besarnya keragaman genetik
mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi geologi dalam
jangka pendek dan evolusi jangka panjang, sehingga dapat berguna dalam
menyusun strategi pemuliaan pohon. Keragaman genetik pohon yang terdapat
dalam satu tempat tumbuh yang berbeda provenansi dapat berbeda karena adanya
2
mutasi genetik. Hal ini menunjukkan sifat dan kekhasan suatu tegakan, sehingga
tegakan atau provenansi yang memiliki karakter genetik yang baik dapat menjadi
sumber yang tepat untuk kegiatan pemuliaan pohon.
Adanya keragaman dapat dilakukan melalui pengamatan karakter morfologi
yaitu mengamati sifat yang tampak namun sangat dipengaruhi kondisi lingkungan.
Dengan mengetahui keragaman genetik berdasarkan morfologi dari masing-
masing provenansi, maka dapat dibandingkan kira-kira bakau hitam yang seperti
apa yang paling efektif untuk dikembangkan pada daerah tertentu.
3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Sistematika
Secara taksonomi, klasifikai dari jenis bakau hitam menurut Soedjono, dkk,
(2013) dalam Cahyani (2016) adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora mucronata
2.1.2 Morfologi
Daun
4
Bentuk daun : daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5
cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm
(Cahyani, 2016; Handayani, 2019).
Batang
5
tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan
dari ganasnya gelombang.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Tahzani (2016), Kamal (2011) menjelaskan
bahwa musim berbunga dan berbuah R. mucronata terjadi sepanjang tahun,
musim puncaknya adalah dari bulan Juli-November. Bunga berbentuk gagang,
kepala bunga berbentuk seperti cagak, bersifat biseksual dan masing-masing
menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak bunga axilaris
(di ketiak daun) dengan formasi berkelompok bunga majemuk (4-8 bunga
perkelompok). Daun mahkota berjumlah empat buah dan berwarna kuning pucat.
Benang sari berjumlah delapan dan tidak bertangkai (Cahyani, 2016).
Buah bakau hitam memiliki bentuk lonjong/panjang seperti jambu air atau
telur, berukuran 2-2,3 cm, warna hijau kecokelatan, dan berbiji tunggal. Hipokotil
buah berwarna hijau kekuningan, berbentuk silindris dengan diameter 2-2,5 cm
dan panjang dapat mencapai 90 cm (Putra, 2020). Buah bakau terdiri dari dua
bagian yaitu kelopak dan buah bakau. Kelopak buah bakau berbentuk seperti buah
pir terbalik dan berwarna cokelat. Buah bakau memiliki penampakan berwarna
hijau dan diselimuti oleh banyak lentisel pada lapisan permukaannya. Daging
buah bakau memiliki tekstur keras dan berwarna cokelat (Purwaningsih et al.,
2013 dalam Putra, 2020).
6
Akar
7
tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir (Noor, dkk., 2006
dalam Kesuma, 2016).
2.2 Provenansi
Kata provenansi yang bersinonim dengan origin atau source berarti asal
atau sumber. Provenansi adalah sumber geografis asal benih, bahan pembiakan
vegetatif atau tepung sari. Sedangkan sumber benih adalah tempat benih
dikumpulkan. Kedua istilah ini identik apabila tempat dimana benih dikumpulkan
adalah tempat tumbuh asalnya (Wright, 1976 dalam Sarwini, 2019)
Menurut Zobel dan Talbert (1984) dalam Widiahastuti (2009) dalam
Sarwini (2019), provenansi berasal dari tempat tumbuh yang dijadikan dasar
untuk menunjukkan adanya keragaman suatu jenis. Keragaman tersebut
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh karakter atau sifat
yang diinginkan sesuai tujuan, khususnya pemuliaan dan konservasi. Provenansi
atau ras geografis merupakan area geografi alami di mana benih dikumpulkan.
Adanya provenansi disebabkan karena adanya suatu jenis tanaman yang
mempunyai sebaran alami pada beberapa tempat, yang mempunyai kondisi
lingkungan yang spesifik, hingga memberikan penampilan (fenotipe) yang
berbeda diantar tempat tumbuhnya atau ras geografis. Perbedaan tersebut
menimbulkan adanya keragaman diantara provenansi yang ditanam pada tempat
tumbuh yang baru.
8
Analisis keragaman dapat dilakukan dengan berbagai tipe penanda, salah
satu tipe penandanya ialah morfologi pada tanaman. Menurut Kusuma, dkk.,
(2016) keragaman genetik merupakan suatu variasi di dalam populasi yang terjadi
akibat adanya keragaman di antara individu yang menjadi anggota populasi.
Genetik dapat dijadikan kunci konservasi karena berperan penting dalam
mempertahankan populasi dan pemulihan dari kerusakan. Oleh karena itu,
informasi mengenai keragaman genetik membantu dalam proses pengelolaan
kawasan perlindungan laut secara berkelanjutan.
9
yang terjadi merupakan akibat adanya keragaman genetik dan keragaman
lingkungan keragaman fenotipe mencerminkan keragaman lingkungan
(Saddah, 2019)
10
- Penanda molekuler : menggunakan penanda DNA (pada tumbuhan,
DNA terdapat di nukleus, mitokondria dan kloroplas). Tidak
dipengaruhi oleh faktor umur, asal, maupun lingkungan.
Penanda genetika merupakan ciri biologis yang ditentukan oleh bentuk allel
gen atau lokus genetik dan dapat ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
lainnya, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penelitian untuk mengetahui suatu
individu, jaringan, sel, nukleus, kromosom maupun gen.
11
oleh gen sederhana (satu atau dua gen), dan sedikit dipengaruhi oleh lingkungan.
Teknik ini telah digunakan pada tanaman buah seperti pisang (Sukartini, 2007)
dan nenas (Hadiati, dkk., 2009) dalam (Kuswandi, dkk., 2014)
12
III. METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita meter, abney level,
plastik sampel, kamera, alat tulis menulis, tally sheet dan label.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tumbuhan bakau
hitam Rhizopora mucronata.
13
2. Keragaman morfologi bagian daun yaitu bentuk, warna, tipe maupun
ukuran, diperoleh berdasarkan hasil pengamatan secara langsung.
3. Pada biji dilakukan pengukuran diameter biji dan panjang biji.
Keterangan :
𝑥̅= rata-rata
Σ f = jumlah data (diameter, kandungan klorofil, luas daun, kadar air)
n = jumlah individu/sampel
14
dengan uji Tukey atau beda nyata jujur (BNJ) untuk mengetahui rata-rata
perlakuan mana yang berbeda.
a. Faktor Koreksi (FK)
( total jendral ) 2
FK =
total banyak pengamatan
b. Jumlah Kuadrat (JK)
JK Total (JKT) = (Jumlah kuadrat seluruh pengamatan) – FK
( total perlakuan ) 2
JK Perlakuan (JKP) = ∑
r
Ket : r = ulangan
JK Galat (JKG) = JKT – JKP
c. Derajat Bebas (db)
Db Total = t.r – 1
Ket : t = perlakuan
Db perlakuan = t – 1
Db galat = t (r – 1)
d. Kuadrat Tengah
JKP
KTP =
dbp
JKG
KTG =
dbg
e. Statistik Penguji
KTP
Fhitung =
KTG
4. Nilai heritabilitas (h2) dalam arti luas, dihitung untuk mengetahui besarnya
keragaman genetik yaitu proporsi ragam genotipe dengan ragam fenotipe.
σ2g σ 2g
h2 = σ 2 p = σ 2 g+ σ 2e
Keterangan :
h2 = heritabilitas (0 – 1)
15
σ2 g= ragam genotipe
σ2e = ragam lingkungan atau ragam galat
σ2 p = ragam fenotipe
Keragaman genetik: tinggi jika h2> 0,5; sedang jika 0,2 ≤ h2 ≤ 0,5; dan
rendah jika h2< 0,2; nilai minus dianggap nol (Makhziah, 2014).
16
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. A., Sartohadi, J., Djohan, T. S., & Ritohardoyo, S. (2017). Erosi Pantai,
Ekosistem Hutan Bakau dan Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana
Kerusakan Pantai di Negara Tropis. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15 (1), 1-10.
Cahyani, M. D., & Novidayasa, I. (2016). “Ekstraksi Zat Warna Alami Dari Kayu
Bakau (Rhizophora Mucronata) Dengan Metode Microwave Assisted
Extraction”. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.
Effendy, R., & Waluyo, B. (2018). Keragaman Genetik Dan Heritabilitas Karakter
Komponen Hasil dan Hasil Ciplukan (Physalis Sp.). Jurnal Agro, 5, 1.
17
Lamanda, S. A. (2018). “Analisis Morfofisiologis Jati (Tectona Grandis Linn.
F.)”. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ridlo, A., Pramesti, R., Koesoemadji, K., Supriyantini, E., & Soenardjo, N.
(2017). Aktivitas antioksidan ekstrak daun mangrove Rhizopora
mucronata. Buletin Oseanografi Marina, 6(2), 110-116.
Sarwini. (2019). “Analisis Morfologi dan Fisisologi Jati Tectona grandis Linn. F
Enam Provenansi pada Ketinggian 102 mdpl, di ASDG BPTH Kabupaetn
Gowa”. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sipahelut, P., Wakano, D., & Sahertian, D. E. (2020). Keanekaragaman Jenis Dan
Dominansi Mangrove Di Pesisir Pantai Desa Sehati Kecamatan Amahai,
Kabupaten Maluku Tengah. Biosel (Biology Science and Education):
Jurnal Penelitian Sains dan Pendidikan, 8(2), 160-170.
18