Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN ILMIAH (AGH 398)

FARMING SISTEM UNTUK PRODUKSI REBUNG

Disusun Oleh :
Galvan Yudistira (A24070040)

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rebung merupakan nama umum bagi terubus bambu yang baru tumbuh dan
berasal dari batang bawah. Pringgodigdo (1973) dalam Muchtadi (1994)
mendefinisikan rebung sebagai bonggol akar bambu yang masih muda sekali,
sedangkan menurut Sastrapradja et. al. (1977) dalam Muchtadi (1994) rebung atau
bambu muda adalah tunas-tunas akar rimpang tanaman bambu sebelum berserat.
Rebung yang baru keluar berbentuk lonjong, kokoh, dan terbungkus dalam
kelopak daun yang rapat dan bermiang (duri-duri halus) banyak. Selama musim
hujan, rebung bambu tumbuh dengan pesatnya, dalam beberapa minggu saja tunas
tersebut sudah sangat tinggi. Dalam waktu 9-10 bulan rebung telah mecapai tinggi
maksimal 25-30 cm. Beberapa jenis rebung terbentuk pada permulaan musim hujan,
selain itu ada yang terbentuk pada akhir musim hujan. Musim panen rebung biasanya
jatuh sekitar bulan desember hingga februari atau maret (Maretza, 2009).
Sindoesoewarno (1963) dalam Muchtadi (1994) menyatakan bahwa rebung adalah
batang-batang muda tanaman bambu yang seluruhnya masih diselubungi oleh daun
kelopak.
Pada tahap awal rebung terlihat pendek, terbungkus dalam pelepah batang
yang rapat dan bermiang dengan warna miang coklat sampai kehitaman. Rebung
tumbuh cepat menjadi batang bambu batang muda selama musim hujan. Setelah
mencapai pertumbuhan maksimum, seludang buluh membuka dan diikuti dengan
tumbuhnya primordial tunas lateral sebagai bakal cabang. Percabangan tumbuh mulai
dari 1/3 buku bagian atas atas diikuti percabangan dibagian tengah buluh terus ke
bagian bawah, percabangan bambu betung termasuk kelompok banyak cabang (bud
multiple branching), (Ruhiyat, 1998 dalam Maretza, 2009) yang dapat mencapai 10-
20 anak cabang dalam satu buku. Mata cabang dalam buluh terdiri dari mata cabang
yang besar di bagian tengah (central bud) dan kelompok mata cabang yang lebih
kecil dikiri dan kanannya.
Rebung dikenal dengan nama daerah bung (Jawa Tengah) atau iwung (Jawa
Barat). Tidak semua rebung dapat atau disukai untuk dijadikan makanan, karena ada
beberapa yang rasanya pahit sekali (Muchtadi, 1994). Jenis-jenis tanaman bambu
yang rebungnya bisa diambil untuk dimakan antara lain adalah bambu ater
(Gigantochloa atter), bambu betung (Dendrocalamus asper) dan bumbu mayan
(Gigantochloa robusta). Rebung bambu betung merupakan jenis yang paling disukai
(Kencana, 1994).
Bambu betung merupakan jenis bembu yang rebungnya paling disukai orang
(Pringgodigdo, 1973 dan Sastrapradja et. al., 1977 dalam Muchtadi, 1994) sehingga
banyak ditanam di daerah Asia Tropik. Oleh karena itu, jarang sekali buluh bambu
betung dipotong secara besar-besaran. Bila sering dipotong, rumpun akan rusak
sehingga hasil rebung berkurang (Sastrapradja, 1977 dalam Muchtadi, 1994). Bambu
betung yang asal usulnya belum diketahui secara pasti, dapat tumbuh mulai dari
daerah dataran rendah samapi ke tempat-tempat dengan ketinggian 2000 m diatas
permukaan laut. Panjang buluh bambu betung dapat mencapai 20 m degan garis
tengah sekitar 20 cm. Panjang kelopak buluh sekitar 20-55 cm dengan miang yang
berwarna coklat muda keputih-putihan (Sastrapradja et.al., 1977). Rebung betung
berwarna coklat kemerahan, tertutup miang berwarna ungu (Sindoesoewarno, 1973
dalam Muchtadi, 1994).
Tanaman bambu di Indonesia ditemukan mulai dari dataran rendah sampai
pegunungan. Pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerahnya
bebas dari genangan air. Tanaman bambu hidup merumpun, mempunyai ruas dan
buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh legih kecil
dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga
pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan
ruasnya, disamping tunas-tunas rumpunnya (Batubara, 2002).
Akar rimpang atau bonggol bambu merupakan organ vegetatif yang penting
bersifat terestrial, berkayu, bercabang-cabng, dan membawa akar adventif pada setiap
bukunya. Setiap buku organ ini mempunyai mata tunas yang selanjutnya dapat
berkembang membentuk batang atau buluh yang baru. Dengan adanya tunas-tunas
ini, akar rimpang merupakan bibit dalam pembudidayaan bambu. Dengan sistem
perakaran yang banyak dan menutupi permukaan rimpangnnya tanaman ini dapat
berperan dalam mencegah erosi tanah (Dahlan, 2004).
Untuk mengetahui peran akar rimpang dan akar serabut batang bambu telah
dilakukan penelitian eksperimental di lapangan. Hasil pengamatan dari percobaan ini
didapatkan bahwa semua rebung mengalami kematian setelah 2 bulan diisolasi dari
akar rimpangnya. Sedangkan pada batang yang sudah berumur 2 4 tahun yang
dipisahkan dari akar rimpang induknya masih tetap hidup. Sebaliknya pengamattan
pada rebung yang seluruh akarnya dipotong namun tetap melekat pada akar rimpang
tidak terganggu pertumbuhannya. Dengan kata lain rebung tersebut melakukan
aktifitas pertumbuhannya. Pemotongan seluruh akar pada batang yang sudah tua
menyebabkan kematian batang tersebut dalam waktu satu tahun (Dahlan, 2004).
Rebung bambu dapat diproduksi dalam berbagai skala produksi, dari mulai
skala rumah tangga sampai skala komersial. Teknik dasar untuk produksinya adalah
sama tidak memandang skala produksi maupun kesederhanaannya.
Rebung dapat dipanen pada banyak periode, sebelum rebung muncul ke
permukaan, sebentar setelah itu atau setelah rebung mencapai tinggi satu meter atau
lebih. Waktu rebung dipanen menentukan kandungan serat dan kehalusan, dengan
bagian mudanya yang dapat dimakan.
Tanaman bambu adalah jenis parenial sehingga untuk memastikan tanaman
daoat berkembangbiak ke tahap selanjutnya maka diperlukan untuk menyisakan
beberapa rebung yang tidak dipakai yang ditinggalkan pada tanaman. Batang tua,
yang berumur tiga tahun atau lebih, harus dipotong.
Pupuk kimia biasanya diaplikasikan dua sampai empat kali selama
pertumbuhan rebung pada interval satu atau dua bulan. Pupuk ini diaplikasikan
dengan membuat kedalamam 10-15 cm dibawah dan 50-60 cm disamping tunas.
Sebagai alternatif, 37 - 500 kg pupuk organik seperti kotoran ternak dapat digunakan.
Pupuk hijau dapat dipakai sebanyak 75 ton/ha, dan juga dapat berfungsi sebagai
lapisan pelindung untuk mencegah evaporasi.
Pembersihan gulma dilakukan pada bulan Juli dan diulangi pada bulan
Agustus atau September tiap tahun. Pengendalian gulma sepenuhnya dapat dilakukan
sekali jalan pada bulan Juli atau Agustus. Kehilangan hara dan lapisan tanah subur
dalam penanaman bambu adalah penting, untuk menjaga struktur tanah agar tetap
dapat mendukung pertumbuhan rebung dan akar tanaman dan juga meningkatkan
konservasi air. Kehilangan hara juga terjadi dua atau sekali pertahun dari bulan
November samapai Februari dan biasanya terjadi karena pengolahan tanah sedalam
15 sampai 20 cm.
Berdasarkan sistem percabangan rimpangnya, secara garis besar bambu dapt
dibedakan menjadi dua tipe. Kelompok pertama berakar rimpang yang tumbuh secara
simpodial sehingga menghasilkan rumpun yang rapat. Contoh marga yang tergolong
ke dalam tipe ini adalah Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan
Schizostachyum yang merupakan marga bambu yang paling banyak dijumpai di
daerah Asia Tropik. Kelompok kedua akar rimpang yang tumbuh secara monopodial
atau secara horizontal dan bercabang lateral untuk menghasilkan rumpun dengan
letak batang tersebar. Contoh yang tergolong ke dalam tipe ini adalah Arundinaria
dan Phyllostachys yang merupakan marga yang banayk dijumpai di daerah beriklim
sedang (International Network for Bamboo and Rattan, 2006).

Tujuan
Mengetahui farming system yang efektif untuk pertumbuhan tanaman rebung

Hipotesis
Akar rimpang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan rebung Tanaman
Bambu baik Simpodial maupun Monopodial.
DAFTAR PUSTAKA

Batubara, R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. http://library.usu.ac.id [12 Juni


2010]
Dalan. Z. 1994. Penelitian Biologi, Budidaya dan Pemanfaatan Bambu di Universitas
Sriwijaya, p. 37-43. Dalam E.A. Widjaja, M.A. Rifai, B. Subiyanto, dan D.
Nandika (Editor). Stategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari. Bogor.
International Network for Bamboo and Rattan. 2006. Bamboo Shoots Cultivation --
Combining Food Security With Income Generation. http://www.inbar.int/ [18
Juni 2010]
Kencana, P.K.D. 1994. Perendaman Sebagai Upaya Detoksifikasi HCN Pada Rebung
Bambu, p. 149-152. Dalam E.A. Widjaja, M.A. Rifai, B. Subiyanto, dan D.
Nandika (Editor). Stategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari. Bogor.
Maretza D.T. 2009. Pengaruh Dosis Ekstrak Rebung Bambu Betung (Dendrocalamus
asper Backer ex Heyne) Terhadap Pertumbuhan Semai Sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen).Departemen Silvikultur. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, T.R. 1994. Teknologi Pengolahan Rebung Untuk Produk Pangan
Komersial, p. 144-148. Dalam E.A. Widjaja, M.A. Rifai, B. Subiyanto,
dan D. Nandika (Editor). Stategi Penelitian Bambu Indonesia. Yayasan
Bambu Lingkungan Lestari. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai