Anda di halaman 1dari 14

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa

Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar

atau hutan kecil (Arief, 2003). Menurut Steenis (1978) dalam Rahmawaty (2006)

mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut.

Sementara menurut Nybakken (1992) dalam Rochana (2010) bahwa hutan

mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu

varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-

pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh

pada perairan asin.

Kathiresan dan Bingham (2001) dalam Taher (2011) mendefinisikan hutan

mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur di daerah pantai dan

muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis

pohon Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp,

Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegiceras sp, Scyphyphora sp dan

Nypa sp.

Ezwardi (2009) menyatakan bahwa hutan mangrove disebut sebagai hutan

payau atau bakau. Hutan mangrove ini dianggap sebagai salah satu ekosistem

yang khas, menempati habitat pada garis pantai daerah tropis.


5

B. Klasifikasi dan Ciri-Ciri Mangrove

Setyawan, dkk, (2002) menyatakan secara taksonomi tumbuhan mangrove

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom: Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Ordo : Scrophulariales, Myrtales

Family: Acanthaceae, Sonneratiaceae, Rhizophoraceae, Arecaceae

Genus: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa

Morfologi dan struktur ekosistem mangrove dapat dilihat pada Gambar 1

dibawah ini.

Gambar 1. Morfologi dan Struktur Ekosistem Mangrove


(Sumber: http://blogs.itb.ac.id/sholihah/files/2011)

Gambar 1. Morfologi dan Struktur Ekosistem Mangrove (Sumber: Solihah, 2011).

Ciri-ciri tumbuhan mangrove menurut Setyawan, dkk, (2002) adalah

sebagai berikut :

a. Tumbuhan berpembuluh (vaskuler).

b. Menggunakan air garam sebagai sumber air, daun keras, tebal, mengkilat,

sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam.


6

c. Mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat

mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam.

d. Menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar) dan

dapat tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta dapat mengapung.

e. Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob.

f. Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada

saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang.

C. Vegetasi di Kawasan Mangrove

Menurut Nontji (1987) dalam Thalib (2008) bahwa vegetasi mangrove di

Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 spesies yang

terbagi menjadi 35 jenis pohon, 5 jenis palem, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis

epifit dan 2 jenis parasit. Beberapa jenis mangrove yang dijumpai di pesisir

Indonesia adalah bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), bogem

(Sonneratia sp), tancang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), tengar (Ceriops

sp), dan buta-buta (Excoecaria sp).

Formasi hutan mangrove terdiri atas empat genus utama, yaitu Avicennia,

Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Nybaken, 1993), terdapat pula

Aegiceras, Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum aureum, dan Pluchea

indica. Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa

fruticans dan beberapa jenis Cyperaceae (Setyawan, dkk, 2002).

Arief (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya vegetasi yang tumbuh

di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni terdiri atas satu

strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon
7

mencapai 20-30 m. Jika tumbuh di pantai berpasir atau di lingkungan lain,

tanaman akan tumbuh kerdil, rendah, dan batang tanaman sering kali bengkok.

Gambar 2 merupakan vegetasi yang terdapat di hutan mangrove dan banyak

ditemukan di Indonesia.

Rhizophora sp Sonneratia sp

Avicennia sp Bruguiera sp

Gambar 2. Vegetasi yang Terdapat di Hutan Mangrove dan Banyak ditemukan


di Indonesia (Sumber: Noor, dkk, 2006)

Menurut Bengen (2003) dalam Arief (2003) vegetasi hutan mangrove

sejati dominan yang termasuk kedalam empat famili Rhizophoraceae (Rhizophora

sp, Bruguiera sp, dan Ceriops sp), Sonneraticeae (Sonneratia sp), Aviceniaceae

(Avicennia sp), dan Meliaceae (Xilocarpus sp). Nybakken (1988) dalam Tuwo

(2011) menyatakan ekosistem mangrove didominasi oleh Rhizophora sp,

Avicennia sp, Bruguiera sp, dan Sonneratia sp. Pada ekosistem mangrove juga

ditemukan tumbuhan jenis Ceriops sp, Xilocarpus sp, Nypa sp, Acrostichum sp,

Lumnitzera sp, Aegiceras sp, dan Scypyphora sp.


8

D. Analisis Vegetasi Mangrove

Beberapa analisis yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan

vegetasi mangrove adalah kerapatan, frekuensi, dominansi, dan INP.

1. Kerapatan

Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga

kepadatan jenis mangrove pada suatu komunitas. Kerapatan jenis pada suatu area

dapat memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan mangrove

(Wantasen, 2002 dalam Feronika, 2011). Supardjo (2007) menyatakan bahwa

tinggi rendahnya kerapatan mangrove disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan

untuk berfotosintesis, selain itu kerapatan jenis juga dipengaruhi oleh jenis

vegetasi mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan. Kriteria baku mutu

kerapatan mangrove menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.

201 Tahun 2004 bahwa kriteria baku mutu kerapatan mangrove, kerapatan padat ≥

1.500 ind/Ha, sedang ≥ 1.000 - 1.500 ind/Ha dan jarang < 1.000 ind/Ha (Eriza,

2010).

Menurut Skilleter dan Warren (1999) dalam Schaduw (2008) bahwa

kerapatan relatif pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi

didalamnya, ekosistem mangrove digunakan sebagai tempat perlindungan bagi

biota yang hidup didalamnya, seperti ikan dan gastropoda dari faktor alam dan

hewan predator. Kerapatan relatif mangrove terkait erat dengan ketersediaan

bahan organik pada lingkungan untuk mendukung pertumbuhan jenis mangrove.


9

2. Frekuensi

Sultan (2001) menyatakan bahwa frekuensi suatu jenis menunjukkan

penyebaran suatu jenis dalam suatu area. Jenis yang menyebar secara merata

mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai

nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang tidak merata dan

kurang luas. Jenis mangrove yang mempunyai penyebaran yang merata dan luas

didominasi oleh jenis mangrove jenis Rhizophora.

Sementara frekuensi relatif merupakan pengukuran distribusi spesies yang

ditemukan pada plot yang dikaji. Nilai dari frekuensi relatif (FR) menunjukkan

keseringan suatu jenis ditemukan dalam suatu kawasan (Price, 1975 dalam

Pariyono, 2006). Tinggi rendahnya nilai frekuensi relatif disebabkan oleh

terjadinya kompetisi yang tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati

suatu habitat yang sama, sehingga kurang kompetitif dalam memperoleh unsur

hara (Pramudji, 2000 dalam Kaunang dan Kimbal, 2009).

3. Dominansi

Dominansi suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk

menyatakan suatu jenis tumbuhan tingkat pohon dalam hal bersaing dengan

tumbuhan lainnya, dalam hal ini terkait dengan besarnya diameter tumbuhan.

Sementara luas basal area suatu jenis pohon mangrove dapat diperoleh dari

diameter pohon setinggi 1,5 m dari permukaan tanah atau setinggi dada dari

permukaan tanah (dbh = diameter at breast hight). Hal ini berarti semakin besar

diameter pohon suatu tumbuhan, maka luas basal area pohon juga semakin besar.
10

Sementara tingginya dominansi relatif menunjukkan bahwa suatu kawasan

memiliki kekayaan jenis yang rendah (Barbour, 1980 dalam Prasetyo, 2007).

4. Indeks Nilai penting (INP)

Fachrul (2007) menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) merupakan

indeks yang memberikan suatu gambaran mengenai pentingnya peranan atau

pengaruh pada suatu vegetasi mangrove dalam suatu lokasi penelitian. Indeks nilai

penting biasa digunakan untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan terhadap

jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat heterogen,

data parameter vegetasi dari nilai frekuensi, kerapatan dan dominansinya tidak

dapat menggambarkan komunitas tumbuhan secara menyeluruh, maka untuk

menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan dengan struktur komunitas

dapat diketahui dari indeks nilai pentingnya, yaitu suatu indeks yang dihitung

berdasarkan jumlah seluruh nilai frekuensi relatif (FR), kerapatan relatif (KR) dan

dominansi relatif (DR). Kisaran INP untuk tingkat pohon yakni 0-300%,

sedangkan kisaran INP untuk pancang dan semai yakni 0-200%. Nilai penting

juga digunakan dalam menginterpretasi komposisi dari suatu komunitas

tumbuhan. Martosubroto dan Sudrajat (1974) dalam Prasetyo (2007) mengatakan

bahwa area mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa

mangrove di area tersebut dalam kondisi baik, sebaliknya apabila kondisi ini

berkurang atau berubah menjadi daratan karena sedimentasi dan rusak karena ulah

manusia, maka perlu dilakukan rehabilitasi agar keseimbangan ekosistem terjaga.


11

E. Cara Identifikasi Vegetasi Mangrove

Cara mempelajari komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan mangrove

umumnya dilakukan dengan pengambilan contoh. Identifikasi dan analisis

vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk mempelajari struktur vegetasi

dan komposisi jenis tumbuhan. Identifikasi dan analisis ini bertujuan untuk

mengetahui komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi

yang ada di wilayah yang diidentifikasi (Fachrul, 2007). Menurut Setyobudiandi,

dkk, (2009) cara yang perlu diperhatikan dalam identifikasi komposisi dan struktur

vegetasi mangrove secara langsung di lapangan yaitu:

1. Nama spesies (nama lokal dan ilmiah).

2. Jumlah individu suatu spesies untuk mengitung kerapatan.

3. Diameter batang untuk mengetahui luas bidang dasar yang diantaranya sangat

berguna untuk memprediksi volume pohon dan tegakan.

4. Tinggi pohon baik tinggi pohon bebas cabang maupun tinggi pohon total.

Tinggi pohon ini cukup penting untuk mengetahui stratifikasi dan menduga

volume pohon serta volume tegakan.

5. Pemetaaan lokasi individu pohon untuk mendeteksi pola distribusi spasial

(spatial distribution pattern) pada berbagai luasan mangrove yang berbeda.

F. Kriteria Stadium Pertumbuhan Mangrove

Setyobudiandi, dkk, (2009) menyatakan bahwa secara ekologis untuk

membedakan tumbuhan kedalam stadium pertumbuhan semai, pancang, dan

pohon untuk tumbuhan mangrove cukup penting, oleh karena itu diperlukan

kriteria sebagai berikut:


12

a) Semai yaitu permudahan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang

dari 1,5 m.

b) Pancang yaitu permudahan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan yang

berdiameter kurang dari 10 cm.

c) Pohon yaitu pohon dewasa yang memiliki tinggi lebih dari 1,5 m dengan

diameter 10 cm atau lebih.

Khusus untuk mangrove stadium pohon diukur pada ketinggian 20 cm

diatas akar tunjang (Rhizophora sp) dan ketinggian 10 cm diatas akar tunjang

untuk jenis non Rhizophora sp. Bagi pohon-pohon yang tidak berakar tunjang,

pengukuran diameter pohon dilakukan pada ketinggian 1,3 m diatas permukaan

tanah.

G. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Vegetasi Mangrove

Kusmana (2005) dalam Taher (2011) menyatakan bahwa terdapat

beberapa faktor lingkungan yang mendukung/ mempengaruhi mangrove (struktur

vegetasi, komposisi dan distribusi spesies, pola pertumbuhan, serta zonasi) yakni

sebagai berikut:

1. Topografi pantai

Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi

karakteristik struktur vegetasi, komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran

serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut maka

semakin lebar mangrove yang tumbuh.


13

2. Angin

Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat

menyebabkan abrasi dan mengubah struktur vegetasi mangrove, meningkatkan

evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan

menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, tetapi angin diperlukan untuk

penyebaran benih tanaman.

3. Pasang surut

Pasang surut menentukan zonasi dan komunitas flora dan fauna mangrove.

Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal

mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu

faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi horizontal.

Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora sp, yang tumbuh baik,

sedangkan Bruguiera sp, dan Xylocarpus sp, jarang mendominasi daerah yang

sering tergenang.

4. Suplai air tawar dan salinitas

Suplai air tawar dan salinitas merupakan faktor penting dari pertumbuhan,

vegetasi, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Kusmana (2005) dalam Taher

(2011) menyatakan bahwa kisaran salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove

untuk tumbuh berkisar antara 10‰-30‰. Beberapa spesies dapat tumbuh

didaerah dengan salinitas yang tinggi. Menurut Dahuri (2003) bahwa spesies

vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas,

namun bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini akan meyebabkan kadar garam

dalam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan
14

hidup mangrove. Faktor yang mempengaruhi fluktuasi salinitas yaitu pola

sirkulasi air, ketersediaan dan pasokan air tawar, penguapan, curah hujan, dan

aliran sungai (Nontji, 2003).

5. Suhu

Suhu berperan penting dalam proses fisiologi yang dapat mempengaruhi

proses-proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi.

Aksornkoae (1993) dalam Taher (2011) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya

suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang

diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat

mangrove, keadaan cuaca, dan ada tidaknya naungan (penutupan) oleh tumbuhan.

Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18-30oC (Saenger,

1979 dalam Setyawan, dkk, 2002),

6. Derajat Keasaman (pH) tanah

Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma dari aktivitas-aktivitas ion

hidrogen. Derajat keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan

nutrien yang diperlukan tanaman. Arief (2003) mengatakan bahwa jenis tanah

banyak dipengaruhi oleh keasaman tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan

tanah sangat peka terhadap terjadinya proses biologi. Jika keadaan lingkungan

berubah dari keadaan alaminya, keadaan pH tanah juga akan dapat berubah.

Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana

asam. Menurut Murdiyanto (2003) dalam Kristoper (2011) bahwa umumnya pH

tanah tmangrove berkisar antara 6-7, kadang-kadang turun menjadi lebih rendah

dari 5.
15

7. Substrat

Substrat mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari

pantai dan erosi hulu sungai. Secara umum hutan mangrove dapat tumbuh pada

berbagai macam substrat (tanah berpasir, lempung, tanah lumpur, tanah lumpur

berpasir, tanah berbatu dan sebagainya). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa

mangrove dapat tumbuh pada berbagai jenis substrat yang bergantung pada proses

pertukaran air untuk memelihara pertumbuhan mangrove. Soeroyo (1993) dalam

Bahri (2007) menyatakan bahwa Rhizophora dapat tumbuh baik pada substrat

yang dalam/tebal dan berlumpur.

Menurut Irwanto (2006) bahwa tanah mangrove merupakan tanah alluvial

yang dibawa sebagai sedimen dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini

dapat diklasifikasikan sebagai pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan

lempung/tanah liat (clay). Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi

berbeda-beda, sedangkan lumpur (mud) merupakan campuran dari lumpur halus

dan lempung yang keduanya kaya bahan organik (detritus).

H. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Menurut Arief (2003) bahwa kawasan mangrove mempunyai beberapa

keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan

pangan, papan, dan kesehatan, serta lingkungan dibedakan menjadi lima fungsi :

1. Fungsi fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil.

b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta

menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat.


16

c. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru.

d. Kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau

sebagai filter air asin menjadi tawar.

2. Fungsi kimia kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen.

b. Penyerap karbondioksida.

c. Pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di

lautan.

3. Fungsi biologis kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi

invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian

berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar.

b. Kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting,

kerang dan sebagainya.

c. Kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung

dan satwa lain.

d. Sumber plasma nutfah atau sumber genetika.

e. Habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainnya.

4. Fungsi ekonomi kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk bahan

bangunan dan perabot rumah tangga.

b. Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-

obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat warna.


17

c. Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.

5. Fungsi lain (wanawisata) kawasan mangrove adalah sebagai berikut :

a. Kawasan wisata alam pantai dengan keindahan vegetasi dan satwa, serta

berperahu di sekitar mangrove.

b. Tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai