Anda di halaman 1dari 14

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Deskripsi dan klasifikasi Avicennia marina


Ekosistem mangrove merupakan sumber alami tannin dan kayu yang bernilai

tinggi. Batang kayu Rhizopora yang keras digunakan untuk pembuatan kapal tahan
rayap dan organisme laut (Rao, 1994). Tanaman mangrove dipakai sebagai obat
masyarakat untuk mengobati beragam penyakit selama berabad-abad. Beberapa
tanaman mangrove telah ditapis beberapa aktivitasnya, yaitu antiviral, antibakteri,
antibisul, dan antiinflamasi (Agoramoorthy et al. 2008).

Gambar 2.1. Avicennia marina


Sumber: Mahmiah, dkk. 2013
Klasifikasi Avicennia marina menurut Cronquist (1981) dalam Dasuki (1991) adalah
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Sub Class

: Asteridae

Ordo

: Lamiales

Family

: Acanthaceae

Genus

: Avicennia

Species

: Avicennia marina

2.2.

Karakteristik Biologi dan Habitat Mangrove


Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang

dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air
laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae, 1993). Dengan
demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan
yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat
surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Komunitas tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji
(spermatophyta) dan bunganya sering kali menyolok. Biji mangrove relatif lebih
besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain dan seringkali mengalami
perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar). Pada saat jatuh biji
mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian
tenggelam. Lamanya periode mengapung bervariasi tergantung jenisnya. Biji
beberapa jenis mangrove dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viable.
Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah endapan lumpur terakumulasi (Chapman,1977).
Di Indonesia, substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizophora
mucronata dan A. marina (Kint,1934). Avicennia merupakan marga yang memiliki
kemampuan toleransi terhadap kisaran salinitas yang luas dibandingkan marga
lainnya. A. marina mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang mendekati tawar
sampai dengan 90 (MacNae, 1966 1968).
Berdasarkan tempat tumbuhnya hutan mangrove dapat dibedakan pada empat
zona, salah satunya adalah zona Avicennia spp, merupakan zona yang letaknya di luar
hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung humus
(Badrudin 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai yang
mengarah ke laut didominasi oleh Avicennia spp. yaitu jenis bakau yang mempunyai
akar gantung (Hutabarat dan Evans, 1985).
A. marina merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung,
memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut,

bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan
membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul.
Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat tertentu.
Berbuah sepanjang tahun, kadang-kadang bersifat vivipar. Buah membuka pada saat
telah matang, melalui lapisan dorsal. Buah dapat juga terbuka karena dimakan semut
atau setelah terjadi penyerapan air (Noor et al.1999).
2.3.

Morfologi A. marina
Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari genus Avicennia, family

Acanthaceae. Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut, sebagai bagian dari
komunitas hutan bakau. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling
umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan membantu
pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul.

Gambar 2.2. Morfologi mangrove Avicennia marina (Noor et al.1999)


(Sumber : database.prota.org)
A. marina memiliki beberapa ciri yang merupakan bagian dari adaptasi pada

lingkungan berlumpur dan bergaram. Diantaranya akar nafas serupa paku yang
panjang dan rapat, muncul ke atas lumpur di sekeliling pangkal batangnya, bagian
atas permukaan daun ditutupi bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung. Bagian bawah
daun putih- abu-abu muda, letak daun sederhana & berlawanan. Bentuk elips bulat
memanjang, bulat telur terbalik; Ujung: meruncing hingga membundar. Ukuran:9 x
4,5 cm dengan kelenjar garam di permukaan bawahnya (Noor et al.1999).
Bunga seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau
menyengat, nektar banyak; Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga,
Formasi: bulir (2-12 bunga per tandan); Daun Mahkota: 4, kuning pucat-jingga tua, 58 mm; Kelopak Bunga: 5. Benang sari: 4. Buah agak membulat, berwarna hijau agak
keabu-abuan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya) dan ujung
buah agak tajam seperti paruh; Ukuran: sekitar 1,5x2,5 cm (Gambar 2.2), (Noor et al.
1999).
Pohon kecil atau besar, tinggi hingga 30 m, dengan tajuk yang agak renggang.
Dengan akar nafas yang muncul 10-30 cm dari substrat, serupa paku serupa jari rapatrapat, diameter lebih kurang 0,5-1 cm dekat ujungnya. Pepagan (kulit batang) halus
keputihan sampai dengan abu-abu kecoklatan dan retak-retak. Ranting dengan bukubuku bekas daun yang menonjol serupa sendi-sendi tulang (Nooret al.1999).
2.4.

Potensi Senyawa Metabolit Mangrove Avicennia spp.


Permintaan pasar yang tinggi, terutama untuk pasar ekspor ikan hidup

menuntut para pembudidaya ikan utuk meningkatkan produksi. Untuk meningkatkan


produksi tersebut diharapkan berbagai permasalahan yang dapat menghambat upaya
peningkatan produksi tersebut dapat dihindari. Permasalahan tersebut antara lain
kegagalan produksi akibat adanya serangan wabah penyakit terhadap ikan budidaya
yang bersifat patogenik baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, maupun virus.
Timbulnya serangan wabah penyakit terhadap ikan budidaya pada dasarnya
terjadi akibat terjadinya gangguan keseimbangan dan interaksi antara ikan,
lingkungan yang tidak menguntungkan ikan dan berkembangnya patogen penyebab
penyakit (Kordi, 2004). Untuk mengatasi masalah wabah penyakit akibat serangan

agen patogenik pada ikan, banyak pembudidaya maupun pengusaha ikan


menggunakan berbagai macam jenis bahan-bahan kimia maupun antibiotik untuk
mengendalikan penyakit tersebut. Namun penggunaan bahan kimia dan antibiotik
secara terus menerus dengan dosis/konsentrasi yang kurang tepat akan menimbulkan
masalah baru yaitu meningkatnya resistensi mikroorganisme terhadap bahan-bahan
tersebut. Selain menimbulkan bahaya terhadap lingkungan sekitarnya, penggunaan
bahan-bahan tersebut secara terus menerus adalah bahaya terhadap ikan yang
dibudidayakan dan terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Untuk menanggulangi serangan bakteri tersebut dibutuhkan alternatif
antibakteri yang bersifat alami, ramah lingkungan, mudah terurai, dan efektif untuk
membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Salah satu bahan dari
alam yang diketahui mengandung senyawa antibakterial seperti flavanoid, steroid,
fenol, hidrokuinon, dan tanin yang aktif sebagai antimikroba adalah tumbuhan
mangrove. Disamping jumlahnya yang melimpah, mangrove juga telah banyak
dimanfaatkan sebagai obat-obatan alami. Beberapa spesies mangrove bahkan secara
tradisional telah digunakan sebagai bahan insektisida dan pestisida alami (Hery,
2004).
Pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan mangrove (terutama jenis pohon dari
marga Rhizophora, Bruguiera, Avicennia dan Sonneratia) secara tradisional oleh
masyarakat pesisir di Indonesia telah lama berlangsung sejak beberapa abad yang
lalu. Pemanfaatan secara tradisional dari berbagai jenis tumbuhan mangrove tersebut
merupakan pemanfaatan tingkat awal dari sumberdaya mangrove berdasarkan
pengetahuan lokal masyarakat yang sampai saat ini tidak terdokumentasikan secara
baik. Khusus untuk jenis api-api (Avicennia spp), masyarakat pesisir di Indonesia
sudah sejak lama memanfaatkannya secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan
pangan, obat-obatan, kayu bakar dan konstruksi bangunan rumah dan pakan ternak
(Kusmana et al. 2009).
Salah satu yang menjadi sumber antibiotik alami adalah tumbuhan mangrove,
yang merupakan kekayaan alam potensial. Tumbuhan mangrove mengandung

10

senyawa seperti alkaloid, flavonoid, fenol, terpenoid, steroid dan saponin. Golongan
senyawa ini merupakan bahan obat-obatan modern (Eryanti et al.1999).
Ekstrak buah dan kelopak Sonneratia caseolaris mampu membunuh dan
menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi (Naiborhu 2002), penelitian
terhadap ekstrak metanol dari batang mangrove jenis Rhizophora spp mampu
menghambat pertumbuhan bakteri uji Vibrio harveyi dan A. hydrophyla (Alimuddin
2006). Ekstrak metanol pelepah daun nipah juga mampu menghambat pertumbuhan
bakteri uji (inhibition zone) (Alimuddin dan Henny Linda 2007). Yasmon (2000),
menyatakan bahwa ekstrak daun tumbuhan mangrove lebih efektif dibandingkan
buah dan kulit batangnya.
Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia dari tumbuhan mangrove A. marina
yang diperoleh dari kawasan Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) ditemukan
adanya golongan-golongan senyawa metabolit sekunder seperti senyawa fenolat,
terpenoid, dan saponin (Mahmiah dan Giman, 2012).
Tabel 2.1. Analisis fitokimia pada mangrove Avicennia spp (Mahmiah dan Giman,
2012).
No

Jenis Senyawa

A. Marina

1
2

Metabolit Sekunder
Terpenoid
Steroid

Daun
Merah kekuningan
Tidak ada perubahan

Kulit Kayu
Merah violet pekat
Tidak ada perubahan

Fenolat

warna biru
Larutan berwarna hijau

warna biru
Larutan berwarna hijau

muda dan ada endapan

kecoklatan

merah kecoklatan
4
Saponin
Timbul busa
Sumber :Mahmiah dan Giman (2013)

Busa sangat banyak

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif yang


dihasilkan oleh daun A. marina dengan melakukan beberapa analisis fitokimia pada
berbagai jaringan tubuh tanaman Avicennia spp diketahui bahwa

bagian

daun

tanaman memiliki kandungan alkaloid, saponin, glikosida, tannin, flavonoid pada


daun dan getah berada dalam jumlah yang lebih sedikit. Triterpenoid terdapat pada

11

semua bagian, terutama pada daun dan akar. Steroid tidak ditemukan pada seluruh
bagian tanaman (Cahyo, 2009).
2.5. Karakterisasi Senyawa Metabolit Sekunder Daun A. marina
Berdasarkan hasil kromatogram daun A. marina diketahui bahwa terdapat 9
(sembilan) kelompok yaitu A (1-5), B (6-14), C (15-27), D (28-38), E (39-42), F (4346), G (47-59), H (59-63), I (64-77). Setelah dilakukan proses pengurangan
pelarut/eluen ternyata diketahui terbentuk kristal/padatan pada beberapa vial.
Terbentuknya padatan/kristal pada vial-vial tersebut mengindikasikan bahwa proses
isolasi terhadap kandungan senyawa metabolit sekunder ekstrak tumbuhan mangrove
berhasil dilakukan. Terbentuknya padatan/kristalin pada beberapa vial hasil KCV
(Kromatografi Cair Vakum) yaitu salah satu metode fraksinasi dengan memisahkan
crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut
memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran fasa geraknya dibantu dengan
pompa vakum. Fasa diam yang digunakan dapat berupa silika gel atau alumunium
oksida (Ghisalberti, 2008) menunjukkan bahwa terjadi proses isolasi senyawa
metabolit sekunder menggunakan eluen n-heksana dan etil asetat dengan gradien
kepolaran yang berbeda. Tahap selanjutnya adalah melakukan proses pemisahan
padatan/kristalin tersebut dari filtratnya dan selanjutnya dapat dilakukan proses
rekristalisasi (Mahmiah dan Giman, 2013).
Padatan dan kristal hasil rekristalisasi selanjutnya dilakukan uji kelarutan
terhadap beberapa pelarut organik seperti n-heksana, aseton, etil asetat, dan metanol.
Berdasarkan hasil uji kelarutan tersebut, diketahui bahwa keempat padatan tersebut
memiliki kelarutan yang berbeda-beda seperti ditunjukkan pada tabel 2.2

Tabel 2.2. Hasil uji kelarutan senyawa hasil isolasi mangrove A. marina

12

No Vial no.
Kristal/Padatan
1
B-11
A
2
E-42
B
3
F-46
Avicennon
4
G-52
Kuarcetin
sumber : (Mahmiah dan Giman, 2013)

Kelarutan dalam Pelarut Organik


N-heksana
Aseton
Aseton
Metanol

2.5.1. Eluidasi Struktur Senyawa Avicennon


Penentuan struktur senyawa avicennon merupakan senyawa berbentuk
padatan berwarna kuning yang larut baik dalam pelarut aseton.Analisis senyawa
avicennon menggunakan analisis spektroskopi UV (MeOH) diperoleh makssebesar
207 nm (Pita II) dan 268 nm (Pita I), diduga bahwa senyawa avicennon merupakan
senyawa golongan polifenol yang memiliki kerangka satu cincin aromatis yang
mengandung gugus karbonil dan gugus alkohol (-OH) terletak pada C 7, CH2 siklis,
gugus gemdimetil, dan C-O-C eter.
2.5.2. Eluidasi Struktur Senyawa Kuarcetin
Penentuan struktur senyawa kuarcetin merupakan senyawa berbentuk padatan
berwarna kuning yang larut baik dalam pelarut metanol. Analisis senyawa kuarcetin
menggunakan analisis spektroskopi UV (MeOH) diperoleh makssebesar 228 nm (Pita
II) dan 329 (Pita I),diduga bahwa senyawa kuarcetin merupakan senyawa golongan
fenolat yang memiliki kerangka cincin aromatis kerangka flavon dan mengandung
gugus alkohol (-OH) terletak pada posisi orto, CH2 siklis, gugus gemdimetil, dan
C-O-C eter.

2.6. Klasifikasi Aeromonas hydrophila

13

Awalnya A. hydrophila dikenal dengan nama Bacilus hydrophilusfuscus,


pertama kali diisolasi dari kelenjar pertahanan katak yang mengalami pendarahan
septicemia. Kluiver dan Van Niel pada tahun 1936 mengelompokkan genus
Aeromonas. Tahun 1984, Popoff memasukan genus Aeromonas ke dalam famili
Vibrionaceae. A. hydrophila diisolasi dari manusia dan binatang sampai dengan tahun
1950. Bakteri ini memiliki nama sinonim A. formicans dan A. liquefaciens (Sismeiro
et al. 1998).
Klasifikasi bakteri Aeromonas hydrophila berdasarkan ilmu taksonomi sebagai
berikut (Holt et al. 1994) :
Filum

: Protophyta

Kelas

: Schizomycetes

Ordo

: Pseudanonadeles

Family

: Vibrionaceae

Genus

: Aeromonas

Spesies

: Aeromonas hydrophila

2.7.

Potensi Tumbuhan Mangrove sebagai Agen Antibakteri


Pembatasan penggunan bahan kimia dan antibiotik untuk menanggulangi

serangan bakteri didalam aktifitas budidaya menuntut pembudidaya untuk


menemukan bahan alternatif yang ramah lingkungan untuk menggantikan
penggunaan bahan kimia dan antibiotik untuk mencegah serangan bakteri. Salah satu
alternatif yang kemungkinan mampu untuk menggantikan peran bahan kimia dan
antibiotik adalah senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan mangrove sebagai agen
antibakteri. Selain ramah lingkungan, senyawa metabolit dari tumbuhan mangrove
juga ada dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan hal itulah banyak penelitian
tentang senyawa metabolit sekunder sebagai antibakteri dari tumbuhan.
Haq et al. (2011) dalam penelitiannya mengenai aktivitas antimikroba dan
antioksidan mangrove Bruguiera gymnorrhiza, melaporkan bahwa senyawa fenolik
memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri. Pada studi yang dilakukan

14

oleh Prihanto (2011) yang menguji aktivitas antibakteri akar mangrove Sonneratia
caseolaris dan Penicillium sp. R1M terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia
coli menunjukkan bahwa ekstraksi akar S. caseolaris dengan metanol menunjukkan
hasil penghambatan terhadap bakteri yang paling besar terhadap bakteri S. aures dan
E. coli yaitu sebesar 6,8 0,8 mm dan 6,6 0,9 mm. Tumbuhan mangrove jenis
Excoecaria agallocha mempunyai aktifitas antibakteri yang terdapat pada hampir
semua bagian tanaman seperti daun, bunga, kulit kayu, batang, dan hanya bagian akar
saja yang tidak mengandung aktifitas antibakteri dalam menghambat aktifitas bakteri
S. aureus. Daya hambat yang dihasilkan untuk daun 19 mm, bunga 21 mm, kulit kayu
20 mm, dan batang sebesar 8 mm (prihanto, 2011). Trianto dkk (2004), dalam
penelitiaannya menyatakan bahwa ekstrak daun Agiceras corniculatum yang diuji
antibakteri

terhadap

bakteri

Vibrio

harveyi

dan

Vibrio

parahaemolyticus

menunjukkan adanya aktifitas antibakteri yang dibuktikan dengan adanya daya


hambat

sebesar

0,275-0,55

mm

yang

mampu

menghambat

aktifitas

V.

parahaemolyticus tetapi tidak bisa menghambat aktifitas bakteri V. harveyi.


Menurut Mulyani dkk (2013), senyawa metabolit sekunder A. marina
menghasilkan daya hambat sebesar 17,02 mm pada konsentrasi 20.000 ppm yang
diaplikasikan terhadap infeksi A. hydrophila pada ikan mas. Pada senyawa metabolit
sekunder tumbuhan mangrove jenis Rhizophora mucronata pada konsentrasi sebesar
300 ppm mampu menekan pertumbuhan bakteri secara signifikan (Anisa Suciati,
Wardiyanto, dan Sumino, 2012). Suatu senyawa kuarcetin ikatakan mempunyai
aktifitas antibakteri apabila diameter hambatan yang terbentuk lebih besar dari atau
sama dengan 6 mm (Bell 1984).
Avicennia spp mempunyai kandungan mempunyai kandungan senyawa
antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri A. hydrophilla berupa
data empiris sebagai mana penelitian yang dilakukan oleh Darminto dkk, 2009 yang
melakukan pengidentifikasian kandungan senyawa Avicennia spp. untuk mengetahui
aktifittas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

A. hydrophilla dengan

menggunakan kulit batang tumbuhan Avicennia spp. Senyawa aktif yang


diidentifikasi dari A. marina tidak memperlihatkan senyawa yang memiliki aktifitas

15

tokolitik maupun yang secara langsung bertindak sebagai agen kontrasepsi tetapi
terindikasi lebih bersifat antibiotik maupun antimikroba (Kusmana et al. 2009).
Senyawa aktif dari tumbuhan mangrove Avicennia spp. bisa dijadikan bioformalin
yang diperoleh dengan menyuling daun-daunnya, yang hasilnya dapat digunakan
sebagai bahan pengawet makanan yang alami (Duke 1983).
Daun A. marina juga terbukti mampu menurunkan kelimpahan Trichodina sp.
pada benih ikan mas sebagimana penelitian yang dilakukan oleh Afifah dkk, (2014)
yang menyatakan bahwa kelimpahan Trichodina sp. pada benih ikan mas dapat di
turunkan setelah dilakukan perendaman dengan perasan daun A. marina selama 4 jam
dan konsentrasi yang paling efektif dalam penurunan kelimpahan Trichodina sp.
pada benih ikan mas yaitu konsentrasi 20% perasan larutan daun api-api dengan
perendaman selama 4 jam. Leukosit benih ikan mas yang terinfeknsi Trichodina sp
mengalami kenaikan nilai sel neutrofil, sel eotrofil dan sel monosit, dan mengalami
penurunan pada sel limfosit dari batas nilai normal leukosit benih ikan mas.
Berkurangnya jumlah Trichodina sp.yang dilakukan oleh perasan larutan daun apiapi (A. marina) menunjukkan adanya respon dalam menghambat perkembangan
Trichodina sp. Hal ini dikarenakan adanya kandungan senyawa metabolit sekunder
yang bersifat polar pada perasan larutan daun api-api (A. marina) yaitu tannin,
flavonoid dan saponin (Watson et al. 2004 dalam Afifah dkk, 2014).
Aktifitas anti MDRSA (Multi-Drug Resistant Staphylococcus Aureus) dari
tumbuhan mangrove Rhizophora apiculata dan A. marina yang dilarutkan dengan
menggunakan pelarut etanol dan metanol memiliki aktifitas antibakteri yang baik.
Zona inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak etanol dari Rhizophora apiculata dan A.
marina bervariasi masing-masing antara 2 mm-6 mm dan 4 mm-10 mm, sedangkan
ekstrak metanol dari Rhizophora apiculata dan A. marina masing-masing
menghasilkan zona inhibisi sebesar 3 mm-8 mm dan 2 mm-7 mm (Kavitha et al.
2014). Skrining ekstrak tumbuhan mangrove yang diuji antibakteri terhadap bakteri
patogen ikan dan udang menunjukkan aktifitas antibakteri yang signifikan dalam
menghambat pertumbuhan bakteri uji yaitu sebesar 14 mm pada bakteri patogen
udang V. alginolyticus dan 14 mm pada bakteri patogen ikan Vibrio parahaemolyticus

16

pada konsentrasi 500 mg (Babuselvam et al, 2012). Ekstrak daun daun dan ekstrak
batang Avicennia alba yang diujikan dengan pelarut yang berbeda memiliki aktifitas
antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri yang
diujikan (Nagababu et al. 2012) yang digambarkan dengan tabel aktifitas antibakteri
ekstrak daun dan batang Avicennia alba dibawah ini.
Tabel 2.3. Aktifitas antibakteri dari ekstrak daun Avicennia alba dengan pelarut yang
berbeda

Tabel 2.3 menunjukkan bagaimana perbedaan aktifitas daya hambat yang


dihasilkan oleh Avicennia alba sebagai agen antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri uji dengan menggunakan pelarut yang berbeda. Perbedaan
pelarut yang digunakan akan mempengaruhi aktifitas antiakteri suatu bahan uji dalam
menghambat pertumbuhan bakteri uji.

17

Tabel 2.4. Aktifitas antibakteri dari ekstrak batang Avicennia alba dengan pelarut
yang berbeda

Penelitian yang dilakukan oleh Subashree et al. (2010) juga menunjukkan


bahwa perbedaan pelarut yang digunakan dan jenis bakteri uji yag berbeda akan
menghasilkan daya hambat yang berbeda pula sebagaimana pada tabel 2.5.
Tabel 2.5. Ekstrak kering dari tumbuhan mangrove A. marina yang diisolasi dari
mangrove Pichavaram dalam melawan bakteri patogen (zona daya hambat dalam
milimeter.

18

Pada beberapa penelitian dapat terlihat bahwa beberapa jenis tumbuhan yang
hidup menumpang pada tumbuhan mangrove juga mempunyai aktifitas antibakteri
yang diujikan pada beberapa jenis bakteri. Penelitian antibakteri pada batang benalu
mangrove (Cassytha filiformis) menunjukkan adanya aktifitas daya hambat terhadap
bakteri yang di ujikan. Bakteri yang pertumbuhannya dapat dihambat dengan
menggunakan ekstrak benalu mangrove antara lain Vibrio harveyi, Vibrio
anguilarum, dan E. coli (subagiyo dkk, 2005). Jamur endofit daun A. marina juga
mempuyai aktifitas antibakteri dalam menghambat pertumbuhan beberapa jenis
bakteri seperti Staphylococus dan Shigella dysenteriae. Jamur hitam dan jamur putih
adalah dua jenis jamur hasil isolasi dari jamur endofit daun mangrove A. marina yang
mampu menghambat pertumbuhan Staphylococus dengan daya hambat 21 mm oleh
jamur putih dan 17,2 mm untuk jamur hitam, sedangkan daya hambat yang dihasilkan
oleh jamur hitam dan jamur putih dari jamur endofit daun A. marina untuk bakteri
Shigella dysenteriae adalah sebesar 27 mm untuk jamur putih dan 28 mm untuk
jamur hitam (Yolanda dkk, 2015)

Anda mungkin juga menyukai