Anda di halaman 1dari 117

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningkatnya ilmu dan teknologi pengolahan yang ada, telah mengubah
pola komsumsi manusia terhadap kebutuhan sandang dan pangannya. Manusia
cenderung lebih memilih sesuatu yang bersifat instan atau langsung dapat
dinikmati tanpa waktu yang lama. Pola komsumsi tersebut memaksa produsen
untuk mengganti bahan tambahan yang bersifat alami menjadi bahan tambahan
yang bersifat sintetik atau buatan. Bahan tambahan sintetik digunakan karena
sifatnya yang relatif murah dan tidak membutuhkan jumlah yang banyak, apabila
dibandingkan bahan tambahan alami yang sifatnya relatif mahal. Hal tersebut
tidak dibenarkan apabila melihat dampak negatif yang ditimbulkan jika
penambahan bahan tambahan sintetik masuk ke dalam tubuh secara terus
menerus.
Bahan tambahan antioksidan banyak digunakan oleh produsen untuk
menghemat biaya dan waktu produksi. Bahan tambahan antioksidan yang sering
digunakan adalah butylated hydroxytoluene atau lebih dikenal dengan BHT.
Antioksidan BHT ini banyak digunakan dalam pangan, kesehatan maupun
kecantikan. Penggunaan BHT secara terus menerus akan terakumulasi di dalam
tubuh dan dapat menyebabkan penyakit karsinogenik. Antioksidan alami
flavonoid, alkaloid, steroid/triterpenoid yang berasal dari tumbuhan sangat
dibutuhkan untuk menggantikan antioksidan sintetik BHT.
Tumbuhan yang dapat dijadikan pengganti antioksidan sintetik adalah api-
api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.). Api-api merupakan salah satu tumbuhan
yang hidup di wilayah hutan mangrove. Pohon api-api mempunyai bentuk yang
khusus dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam (Nybakken 1992). Pohon api-api
banyak tumbuh di daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak
berpasir, keadaan tanah berlumpur agak lembek, dan biasa berasosiasi dengan
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik (Bengen 2001).
Api-api mengandung senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tanin.
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian
2

tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, buah dan biji. Flavonoid
bersifat polar karena mengandung sejumlah hidroksil yang tak tersulih atau suatu
gula (Markham 1988 dalam Silaban 2009). Flavonoid dalam buah-buahan,
sayuran, teh, tanaman obat, telah menarik perhatian terbesar dan telah dipelajari
secara ekstensif, karena sangat efektif untuk dijadikan antioksidan dengan
toksisitas lebih rendah dari antioksidan sintetik misalnya BHA dan BHT
(Pekkarinenet et al. 1999 dalam Cai et al. 2010).
Penelitian pada daun api-api (Avicennia marina (Forsk.) Vierh) pernah
dilakukan oleh Afzal et al. (2011) mengenai manfaat dari ekstrak daun api-api
sebagai antifungi dan penyakit alergi kulit. Yusuf (2010) juga melakukan
penelitian pada kulit batang api-api (Marina marina Nesh) yang ternyata
mengandung senyawa triterpenoid yang efektif dijadikan antimikroba. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Purnobasuki (2004), api-api (Avicennia officinalis)
mengandung senyawa saponin yang berkhasiat sebagai aktivitas sitotoksik,
antimikroba, dan antiperadangan. Penelitian tentang kandungan flavonoid sebagai
antioksidan pada daun dan kulit batang Avicennia marina (Forks.)Vierh. belum
dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
kandungan flavonoid yang terkandung dalam daun dan kulit batang api-api yang
dapat digunakan sebagai pengganti antioksidan sintetik.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komponen bioaktif, kadar
flavonoid total, dan aktivitas antioksidan daun dan kulit batang pohon api-api
(Avicennia marina (Forks.)Vierh.).
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk
kedalam Famili Avicenniaceae/Verbenaceae. Api-api banyak ditemukan di
ekosistem mangrove yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Hidup di
tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, dengan substrat berpasir, sedikit
bahan organik dan kadar garam tinggi (Afzal et al. 2011). Klasifikasi Avicennia
marina (Forks.)Vierh. menurut Bengen (2001) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Filum : Thacheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina (Forks.)Vierh. (Gambar 1)

Gambar 1 Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Sumber: Wibowo et. al (2009)

Api-api biasa berasosiasi dengan jenis mangrove Rhizophora sp.


Tumbuhan Avicennia marina (Forks.)Vierh. ini mempunyai akar napas, tumbuh
dengan tegak, serta memiliki banyak cabang. Akar napas api-api tumbuh lurus,
berbentuk ramping dan berjumlah banyak, memiliki daun yang tumbuh
berhadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik dengan ujung tumpul dan
pangkal yang rata. Api-api memiliki batang yang mengeluarkan getah dan
memiliki rasa yang pahit. Bunga tumbuhan ini berwarna kuning dengan kelopak
4

bunga yang pendek dan pucat. Buah berbentuk kotak, berkatup, berbiji satu serta
berkecambah sebelum rontok (Bandaranayake 1999).
Beberapa jenis tumbuhan yang tergolong dalam Genus Avicennia
menghasilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk keperluan pengobatan,
pangan, pakan, perumahan dan farmasi. Tumbuhan api-api ini banyak
mengandung senyawa aktif, yaitu triterpenoid, steroid, alkaloid, senyawa
flavonoid, saponin, dan tanin (Yusuf 2010). Api-api termasuk pepohonan semak
hingga medium dengan ketinggian 2 – 5 meter dan banyak ditemukan di ujung
aliran sungai atau di area pasang terendah. Cukup toleran dengan salinitas yang
cukup tinggi dan pertumbuhan optimal terdapat pada salinitas 0-30 (Afzal et
al.2011). Spesies ini ditemukan dari daerah hilir hingga pertengahan perairan
payau di semua kawasan pasang surut berlumpur hampir mendekati pantai
(Bengen 2000).
Api-api biasa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk dijadikan obat
berbagai penyakit. Batang api-api dijadikan obat rematik dan cacar. Getah kulit
batang dijadikan obat sakit gigi, bagian buah dijadikan obat untuk sariawan (Bayu
2009). Mangrove sejati ini banyak mengandung senyawa aktif yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Daun dan kulit batang api-api mengandung
senyawa aktif alkaloid, triterpenoid, saponin, tanin, glikosida, dan flavonoid yang
sangat potensial digunakan sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan
antibiotik (Wibowo et al. 2009).

2.2 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul yang
dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat
memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan berdasarkan
fungsinya dikelompokkan menjadi antioksidan primer, antioksidan sekunder,
antioksidan tersier, oxygen scavenger, dan chelators (Kumalaningsih 2006).
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh penyebab penyakit karsinogenik, kardiovaskuler dan penuaan dini
(Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak
memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi
5

paparan radikal bebas berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan


eksogen (berasal dari luar) dari asupan makanan maupun vitamin (Waji dan
Sugrani 2009).
Sumber utama antioksidan dapat dibagi menjadi empat, yaitu enzim misal
superoxide dismutase, glutation peroksidase, dan katalase; molekul-molekul besar
(albumin, seruloplasmin, dan ferritin); molekul-molekul kecil (asam askorbat,
glutation, tokoperol, karotenoid, polifenol); beberapa hormon yang juga berfungsi
sebagai sumber antioksidan, yaitu esterogen, angiotensin, melatonin, dan lain-lain
(Prior et al. 2005 dalam Rohman et al. 2006).
2.2.1 Fungsi antioksidan
Fungsi utama antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses
oksidasi dari lemak dan minyak, oksidasi radikal bebas, memperkecil terjadinya
proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam
industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan
serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi
2007). Antioksidan dapat menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan
radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil
(Oktariana 2007). Musthafa dan Lawrence (2000) menjelaskan bahwa antioksidan
juga berfungsi untuk menetralisir atau menekan dampak negatif yang diakibatkan
radikal bebas.
Antioksidan pada umumnya mengandung struktur inti yang sama, yaitu
mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan
amino (Cahyadi 2008). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau
menghentikan reaksi berantai radikal bebas dari lemak yang teroksidasi terdiri
atas empat tahap (Rita et al. 2009), yaitu:
1) pelepasan hidrogen dari antioksidan
2) pelepasan elektron dari antioksidan
3) adisi lemak (molekul teroksidasi) ke dalam cincin aromatik antioksidan
4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak (molekul teroksidasi) dan
cincin aromatik antioksidan.
Antioksidan yang sangat umum digunakan adalah senyawa fenol atau
amina aromatis. Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah
6

peroksida. Efektivitas antioksidan p-amino-fenol dan fenolat tergantung adanya


gugus hidroksil bebas karena ester dan esternya tidak mempunyai pengaruh.
Efisiensi fenolat dapat ditingkatkan dengan alkilasi pada posisi 2, 4, dan 6
(Cahyadi 2008).
Antioksidan akan kehilangan potensi jika tidak mempunyai kemampuan
untuk mengikat hidrogen atau elektron. Beberapa jenis antioksidan, terutama
golongan fenolat bersifat menguap pada suhu kamar. Kemampuan antioksidan
berkurang akibat degradasi molekul, terutama pada suhu yang semakin
meningkat. Antioksidan berdasarkan penggabungan sifat sinergis dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu antioksidan dengan jumlah fenol yang sangat banyak
dan antioksidan dengan jumlah asam yang sangat banyak (Ketaren 2008).
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan berdasarkan sumbernya dibagi kedalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia)
dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami tanpa ada
penambahan senyawa kimia) (Kuncahyo dan Sunardi 2007).
2.2.2.1 Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik sudah banyak digunakan untuk menggantikan
antioksidan alami, karena sifatnya yang mudah dicari dan mudah didapatkan.
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa fenol yang
biasanya agak beracun dan memiliki efek samping (Siagian 2002). Penggunaan
antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak berbahaya bagi
kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, penggunaannya
efektif dalam konsentrasi rendah (0,01-0,02 %), dapat terkonsentrasi pada
permukaan/lapisan lemak (lipofilik), mudah didapat, ekonomis, serta dapat
bertahan dalam kondisi pengolahan pangan pada umumnya (Belitz et al. 2009)
Empat macam antioksidan yang sering digunakan dalam produk makanan
adalah butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),
propylgallate (PG), dan nordihidro guaiaretic acid (NDGA) (Siagian 2002), tert-
butilated hydroxyquinon (TBHQ) dan tokoferol (Winarno 2008). Antioksidan
tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk
tujuan komersial.
7

Antioksidan BHT akan memberikan efek sinergis yang baik jika


digunakan bersama antioksidan BHA, oleh karena itu BHT banyak ditambahkan
pada produk pangan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah
ketengikan. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih, stabil pada kondisi
penggunaan serta penyimpanan yang normal, dan digunakan secara luas karena
relatif murah (Herawati dan Akhlus 2006). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT)


(Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)

Antioksidan BHT memilki nilai IC50 yang sangat kuat pada konsentrasi
5,85 ppm (Jacoeb et al. 2011). Penggunaan BHT secara terus menerus pada bahan
makanan diduga dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, oleh
karena itu penggunaan BHT sudah mulai dilarang di beberapa negara antara lain
Jepang, Rumania, Swedia, dan Australia (Rita et al. 2009).

2.2.2.2 Antioksidan alami


Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur
molekulnya. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan
yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit
degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan.
Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun
terakhir ini (Kumalaningsih 2006).
Antioksidan alami banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, baik dalam
buah maupun sayuran. Antioksidan alami dalam buah dan sayuran berfungsi
untuk mencegah terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, mengikat logam yang
terlibat dalam reaksi radikal bebas, dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak
(Simamora 2011). Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber
8

alami berasal dari tumbuhan. Senyawa antioksidan alami umumnya adalah


senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan
asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional (Pratt
dan Hudson 1990).

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan


Senyawa antioksidan dapat diketahui keberadaanya menggunakan uji
aktivitas antioksidan. Salah satu uji aktivitas antioksidan yang paling sering
digunakan adalah metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Metode ini
sering digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang
berperan sebagai antikosidan. Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan
substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas DPPH (Molyneux
2004).
Kristal DPPH yang sudah dilarutkan akan berperan sebagai radikal bebas
dan bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl
akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal dan tidak
berbahaya. Reaksi tersebut terjadi apabila radikal bebas bereaksi dengan senyawa
antioksidan secara maksimal. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine
ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat
(Molyneux 2004). Mekanisme perubahan warna ungu menjadi kuning pada
radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Mekanisme perubahan warna DPPH akibat pengaruh anitoksidan


(Sumber: Yuhernita dan Juniarti 2011)

Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji


aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal bebas DPPH adalah nilai effective
concentration (EC50) atau disebut nilai inhibitory concentration (IC50), yakni
9

konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Data yang


diperoleh kemudian diolah ke dalam persamaan regresi linier (Molyneux 2004).

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif


Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen zat aktif dalam
bahan menggunakan pelarut tertentu dan paling banyak digunakan. Ekstraksi
dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan atau pemisahan komponen bioaktif
suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai dan dipilih, sehingga komponen
yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Proses ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984).
Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah waktu ekstraksi,
perbandingan antara jumlah sampel dan pelarut, ukuran bahan dan suhu ekstraksi.
Semakin lama waktu ekstraksi, maka proses tumbukan atau sentuhan antara bahan
dan pelarut semakin besar. Hal ini dapat mengoptimalkan komponen bioaktif
yang dipisahkan atau dikeluarkan dari bahan. Perbandingan antara jumlah bahan
dan pelarut berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi, jumlah pelarut yang
berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, namun dalam jumlah tertentu
pelarut dapat bekerja secara optimal. Selama proses ekstraksi terjadi perpindahan
antara pelarut yang mengalir ke dalam sel bahan dan mengakibatkan zat yang
terkandung dalam bahan akan larut sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).
Metode ekstraksi yang paling banyak digunakan pada tumbuhan adalah
metode maserasi. Maserasi merupakan metode perendaman tanpa adanya
pengadukan dan dilakukan pada suhu ruang. Maserasi merupakan cara yang
sederhana dengan cara merendam sampel dalam pelarut. Pelarut menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga
zat aktif tersebut larut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
dengan pelarut (Guenter 1987 dalam Khunaifi 2010).
Ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan
ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
10

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;


c) Reperkolasi, yaitu metode perkolasi dimana hasilnya digunakan untuk
melarutkan sampel sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi menggunakan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

2.5 Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder adalah hasil akhir dari suatu proses metabolisme.
Metabolit sekunder sangat bervarisai dalam jumlah dan jenisnya dari setiap
organisme. Beberapa dari senyawa metabolit sekunder tersebut diantaranya dapat
memberikan efek fisiologis dan farmakologis seperti senyawa aktif atau
komponen bioaktif. Zat metabolit sekunder dapat diketahui jenisnya antara lain
kumarin, salanin, liatriol, nimbin, dan azadirachtin (Copriady et al. 2005).
Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak. Metabolit
sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker,
antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriady et al. 2005)
Metabolit sekunder yang bersifat antioksidatif diantaranya adalah alkaloid,
flavonoid, senyawa fenol, steroid dan terpenoid (Yuhernita dan Juniarti 2011).
Sofia (2006) dalam Kuncahyo dan Sunardi (2007) menambahkan bahwa senyawa
metabolit sekunder yang memiliki sifat sebagai antioksidan adalah flavonoid.
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh, buah-buahan,
sayuran, anggur, bir dan kecap. Metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan
untuk antiagen pengendali hama penyakit pada tanaman yang ramah lingkungan
(Samsudin 2008).
11

2.6 Komponen Bioaktif


Komponen bioaktif merupakan suatu senyawa fungsional yang terdapat
dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis maupun fisiologis.
Alkohol aromatik, misalnya total fenol, polifenol dan komponen asam, merupakan
kelompok besar dari komponen bioaktif (Kannan et al. 2009). Penapisan
komponen bioaktif dapat dilakukan dengan cara uji fitokimia yang meliputi
komponen alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,
dan tanin. Uji fitokimia bertujuan untuk menentukan ciri senyawa aktif yang dapat
dimanfaatkan maupun senyawa aktif penyebab efek racun dengan cara ekstrak
kasar (Harborne 1987). Senyawa fitokimia bukanlah senyawa yang termasuk ke
dalam zat gizi, namun dengan mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung
senyawa ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi kesehatan tubuh
(Astawan dan Kasih 2008).
2.6.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan di alam. Alkaloid bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen dalam bagian siklik (Harborne 1987). Alkaloid biasanya tidak berwarna,
bersifat optis aktif, berbentuk kristal, namun terkadang ditemukan dalam bentuk
cairan pada suhu ruang, dan terasa pahit di lidah (Harborne 1984).
Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder dengan kelompok molekul
substansi organik yang tidak bersifat penting bagi organisme yang
menghasilkannya atau memanfaatkannya. Senyawa alkaloid dikelompokan
menjadi tiga bagian, yaitu alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan
pseudoalkaloid. Alkaloid banyak terdapat pada tanaman maupun buah-buahan.
Alkaloid yang diperoleh dari tanaman mangrove pada umumnya bersifat
neurotoxin atau racun alami yang tidak terlalu membahayakan manusia (Bayu
2009). Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam
nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan
biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan
dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa
(Sastrohamidjojo 1996).
12

Senyawa alkaloid, yakni indol memiliki kemampuan untuk menghentikan


reaksi radikal bebas atau antioksidan secara efisien. Senyawa radikal turunan dari
senyawa amina ini memiliki tahap terminasi yang sangat lama (Yuhernita dan
Juniarti 2011). Alkaloid kerap kali bersifat racun bagi manusia, namun ada
sebagian yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga
dapat digunakan secara luas dalam dunia pengobatan dan kesehatan (Harborne
1984). Fungsi alkaloid dari beberapa penelitian misal hasil penelitian Porto et al.
(2009), menunjukan adanya aktivitas antioksidan serta perlindungan dari radiasi
sinar UV. Penelitian Yuhernita dan Juniarti (2011) juga menunjukkan adanya
aktivitas antioksidan yang tinggi dengan adanya alkaloid sebagai hasil dari
metabolit sekunder.
2.6.2 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa dengan kerangka karbonilnya berasal
dari enam satuan isoprene. Senyawa ini berstruktur siklik, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, berbentuk
kristal, memiliki titik lebur yang tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit
dikarakterisasi. Triterpenoid umumnya terasa pahit apabila terkena lidah.
Keberadaan triterpenoid dapat diketahui dengan uji menggunakan pereaksi
Liebermann-Burchard, yang ditandai hasil positif dengan memberikan warna biru-
hijau pada sampel (Harborne 1984).
Steroid merupakan turunan dari golongan senyawa triterpenoid. Steroid
alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan
saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
obat (Harborne 1987). Golongan triterpenoid/steroid ditemukan hampir pada
semua jenis tanaman mangrove. Golongan ini memiliki banyak manfaat, yaitu
antiradang, antiinflamasi, antikarsinogenik, dan pengontrol diabetes dalam fase uji
klinis (Bayu 2009).
2.6.3 Flavonoid
Flavonoid adalah sekelompok senyawa polifenol yang terdapat dalam
tanaman. Tanaman mangrove banyak mengandung senyawa flavonoid, karena
tanaman mangrove merupakan tanaman sejati yang memiliki daun, akar, batang
sejati. Flavonoid yang ditemukan pada tanaman mangrove berperan sebagai
13

antioksidan dengan menghambat peroksidasi dari lipid dan berpotensi


menginaktifkan oksigen triplet (Bayu 2009). Pada tanaman, flavonoid memiliki
beragam fungsi, diantaranya dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimikrobial,
fotoreseptor, dan skrining cahaya. Flavonoid terutama dalam bentuk turunan
glikosilat bertanggung jawab atas pemberian warna pada daun, bunga, dan buah
(Simamora 2011). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.

A B

Gambar 4 Struktur dasar flavonoid


(Sumber: Kumar et al. 2011a)

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar,


mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam
konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh satuan
tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid
sering terdapat sebagai glikosida. Flavonoid merupakan kandungan khas
tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu,
kulit, tepung sari, bunga, buah dan biji. Flavonoid bersifat polar karena
mengandung sejumlah hidroksil yang tidak terikat bebas atau suatu gula
(Markham 1988 dalam Silaban 2010).
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid yang mana pun, mungkin saja terdapat dalam satu
tumbuhan dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Menurut strukturnya,
semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada
tumbuhan berupa tepung putih dan mempunyai sejumlah sifat yang sama.
Golongan flavonoid dibagi menjadi 10 kelas, yaitu antosianin, proantosianidin,
flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon
(Harborne 1987). Sifat berbagai golongan flavonoid dapat dilihat pada Tabel 1.
14

Tabel 1 Sifat berbagai golongan flavonoid


Golongan Penyebaran Ciri khas
Flavonoid

Antosianin pigmen bunga merah, biru larut dalam air, panjang


dalam daun dan jaringan lain gelombang 515-545 nm

Proantosianidin tanwarna, dalam galih, dan menghasilkan antosianidin


daun tumbuhan berkayu

Flavonol tersebar luas dalam daun terdapat bercak kuning bila


disinari UV (350-386 nm)

Flavon seperti flavonol terdapat bercak coklat bila


disinari UV (330-350 nm)

Glikoflavon seperti flavonol mengandung gula dengan


ikatan C-C, tidak seperti
flavon biasa

Biflavonil terbatas hanya pada bercak redup pada


gimnospermae kromatogram BAA

Khalkon dan auron pigmen bunga kuning dengan ammonia berwarna


merah (370-410 nm)

Flavanon terdapat dalam daun berwarna merah kuat dengan


dan buah Mg/HCl, pahit

Isoflavon dalam akar, hanya terdapat tidak ada uji warna yang khas
dalam satu suku

(Sumber: Harborne 1987)

Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh misalnya


isoflavon dan biflavonol yang hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan,
tetapi beberapa kelas, yakni flavon dan flavonol tersebar di semua tumbuhan.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali ditemukan
dalam bentuk tunggal dalam jaringan. Selain itu, sering pula ditemukan campuran
flavonoid dengan berbeda kelas (Harborne 1967).
Konsumsi flavonoid dalam makanan berkisar 50-80 mg/hari (Silalahi
2006). Kebutuhan akan flavonol dan flavon sebesar 23 g/hari, disamping itu
quersetin flavonol menyumbangkan 16 mg/hari dalam asupan makanan.
Flavonoid dalam makanan diantaranya kuercetin, kaemferol, luteolin, morin, dan
15

katekin. Senyawa tersebut memiliki kemampuan mencegah kanker yang diduga


melalui sifatnya sebagai antioksidan, penangkap radikal bebas, dan
kemampuannya menonaktifkan kation polivalen. Sumber-sumber flavonoid lebih
banyak dihasilkan oleh sayur, buah-buahan, kacang, bunga, daun teh dan lain-lain
(Kumar et al. 2011a).
Flavonoid dalam tumbuhan memberikan manfaat yang besar bagi
tumbuhan tersebut. Flavonoid pada daun mengatur fungsi fisiologis agar dapat
bertahan dari gangguan hewan pemakan tumbuhan, infeksi bakteri, dan
melindungi dari sinar UV serta membantu dalam proses fotosintesis, transfer
energi, respirasi. Pigmen seperti antosianin juga memberikan warna pada daun
(Kumar et al. 2011b). Selain bagi tumbuhan, manusia pun dapat ikut merasakan
manfaat adanya flavonoid dalam makanan yang mereka konsumsi.
Flavonoid memiliki kemampuan antioksidan yang mampu mentransfer
sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan membentuk kompleks dengan
logam. Kedua mekanisme itu membuat flavonoid memiliki beberapa efek,
diantaranya menghambat peroksidasi lipid, menekan kerusakan jaringan oleh
radikal bebas dan menghambat beberapa enzim (Harborne 1987). Hubungan
antara total fenol dan senyawa flavonoid dengan aktivitas antioksidan pada
tumbuhan terutama buah-buahan adalah semakin meningkatnya konsentrasi total
fenol atau senyawa flavonoid, maka semakin tinggi pula tingkat aktivitas
antioksidan dari tumbuhan tersebut (Erukainure 2011).
Flavonoid melakukan aktivitas antioksidan dengan cara menekan
pembentukan spesies oksigen reaktif, baik dengan cara menghambat kerja enzim
maupun dengan mengikat logam yang terlibat dalam produksi radikal bebas.
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan sebagai berikut:
1) Flavonoid menghambat kerja enzim yang terlibat dalam reaksi produksi
anion superoksida, misalnya xanthin oksidase dan protein kinase.
Flavonoid juga menghambat kerja siklooksigenase, lipooksigenase,
mikrosomal monooksigenase, glutation-S-transferase, mitokondrial
suksinoksidase, dan NADH oksidase.
16

2) Sejumlah senyawa flavonoid efisien dalam mengikat logam, diantaranya


logam besi bebas dan tembaga bebas yang dapat meningkatkan
pembentukan spesies oksigen reaktif.
3) Flavonoid mempunyai nilai potensial reduksi yang rendah, sehingga
mudah mereduksi radikal superoksida, peroksil, alkoksil, dan hidroksil.
Peredaman radikal bebas oleh flavonoid dicantumkan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Struktur dasar senyawa flavonoid (A), Proses peredaman


radikal bebas oleh senyawa flavonoid (B)
(Sumber: Kumar et al. 2011a)

2.6.4 Saponin
Saponin adalah golongan glikosida dan sterol yang apabila dihidrolisis
secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut
sapogenin atau genin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat
seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk
busa dan menghemolisis darah (Silaban 2009). Hemolisis darah merah oleh
saponin ini merupakan hasil interaksi antara saponin dengan senyawa-senyawa
yang terdapat pada permukaan membran sel, seperti kolesterol, protein dan
fosfolipid. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam
etanol dan metanol pekat yang dingin (Harborne 1984).
Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan
kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem
imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Beberapa
penilitian menunjukan bahwa ekstrak saponin yang diisolasi mampu digunakan
sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex pipiens, tetapi aman
bagi mamalia (Wiesman dan Chapagain 2003). Penelitian Cui et al. (2004)
17

menunjukkan bahwa ekstrak saponin mampu digunakan untuk mengatasi penyakit


kardiovaskuler seperti penyakit jantung, tonsillitis, dan hyperlipaemia.
2.6.5 Fenol hidrokuinon
Fenol merupakan komponen fenolat dengan struktur aromatik yang
berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan
dengan gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama
komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya
terdapat dalam vakuola sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di
antara komponen fenolat alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol
monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah
sedikit (Harborne 1984).
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, antara
lain kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Tujuan identifikasi,
quinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon,
antraquinon, dan isoprenoid quinon. Tiga kelompok pertama umumnya
terhidrolisis bersifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon terdapat pada respirasi
seluler (ubiquinon) dan fotosintesis (plastoquinon) (Harborne 1984).
2.6.6 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh dan memiliki batang
sejati. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis. Tanin terkondensasi hampir terdapat disemua tumbuhan paku-
pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae terutama pada
tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis, penyebarannya terbatas hanya pada
tumbuhan berkeping dua. Tetapi kedua jenis tanin ini banyak dijumpai bersamaan
dalam tumbuhan yang sama. Sebagian besar tumbuhan yang banyak mengandung
tanin akan dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang pahit.
Salah satu fungsi tanin pada tumbuhan adalah sebagai penolak hewan pemakan
tumbuhan (Harborne 1987).
18

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2012.
Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk,
Muara Karang, Jakarta Utara. Proses persiapan sampel, analisis fitokimia, dan
analisis aktivitas antikosidan dilakukan di Laboratorium Bahan Baku Teknologi
Hasil Perairan. Analisis proksimat (kadar air, abu, protein, dan lemak) dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji
kadar flavonoid total dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dan
kulit batang tumbuhan api-api (Avicennia marina) yang diperoleh dari Pantai
Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara. Sampel daun
api-api berasal dari pucuk daun dengan batasan antara ranting kedua dan kelima
secara acak, dengan warna daun seragam yang kemudian dihomogenkan,
sedangkan sampel kulit batang api-api diambil dengan ketinggian 160 cm di atas
permukaan laut dengan batang tumbuhan api-api berdiameter 5-10 cm, warna
batang daun putih kehijauan.
Satu jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah metanol sebagai
pelarut polar. Bahan kimia yang dipakai dalam uji aktivitas antioksidan adalah
metode l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), butylated hydroxytoluena (BHT)
sebagai standar, dan methanol pro analisis sebagai pelarut. Bahan untuk uji
fitokimia, yaitu H2SO4, akuades, kloroform p.a, anhidra asetat, asam sulfat pekat,
HCl 2 N, pereaksi Dregendorff, pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, serbuk
magnesium, alkohol, HCl 37 %, etanol 95 %, etanol 70 %, FeCl3 5, AlCl3 10 %,
natrium asetat 1M.
Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, talenan, timbangan digital,
sudip, gegep, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer,
19

tabung Kjeldahl, buret, mortar, kertas saring Whatman 42, alumunium foil,
kompor listrik, corong kaca, pipet mikro, pipet tetes, gelas ukur, gelas piala,
rotary vacuum evaporator, vortex, inkubator, penangas air, spektrofotometer UV-
VIS, orbital shaker, kapas bebas lemak, tabung soxhlet, plastik, homogenizer,
botol vial, waterbath, syringe dan alat penguji DPPH.

3.3 Prosedur Penelitian


Rangkaian kegiatan penelitian meliputi pengambilan sampel tumbuhan
api-api, preparasi sampel, dan analisis kimia yang terdiri atas uji proksimat dan
fitokimia. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi, uji kadar
flavonoid total serta uji aktivitas antioksidan dengan DPPH. Proses penelitian
secara umum dapat dilihat pada diagram alir Gambar 6.

Kulit batang dan daun api-api

Penjemuran alami selama ± 3 hari

Penghalusan sampel

Pengujian proksimat Pengekstraksian


(1:3) (b/v)

Maserasi selama 24 jam sebanyak 16 kali


ulangan menggunakan metanol p.a

Penyaringan

Filtrat Residu

Evaporasi

Pengujian Pengujian kadar Pengujian aktivitas


kualitatif fitokimia flavonoid total antioksidan

Gambar 6 Proses penelitian secara garis besar


20

3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel


Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel pohon api-api
(Avicennia marina) dari Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara
Karang, Jakarta Utara. Setelah sampel daun dan kulit batang pohon api-api
diperoleh lalu dibawa dengan plastik ber-sealer, agar terhindar dari udara luar.
Kemudian sampel dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 3 hari
dengan paparan sinar matahari langsung dan diangin-anginkan pada malam hari
untuk menjaga komponen aktif tidak ikut menguap saat pengeringan. Selanjutnya
dilakukan preparasi untuk memisahkan perbagian kulit batang dan daun pohon
api-api (Jacoeb et al. 2011).
Setelah proses pengeringan, sampel dihancurkan sampai menjadi bagian-
bagian kecil atau serbuk agar memudahkan proses penapisan dan proses
pengekstraksian. Untuk menjaga stabilitas dari kualitasnya, sampel disimpan
dalam lemari pendingin yang dibungkus dengan plastik ber-sealer agar tetap
terjaga dan terhindar dari kontaminan.

3.3.2 Analisis proksimat


Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar
(crude) yang meliputi kadar air menggunakan metode oven, abu menggunakan
tanur, protein menggunakan metode Kjeldahl dan lemak menggunakan metode
sokhlet.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)


Analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang
terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama adalah mengeringkan cawan porselen
dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam
desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian
ditimbang. Sampel seberat 5 gram ditimbang dalam cawan, setelah terlebih dahulu
dihaluskan. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan
ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.
21

Perhitungan kadar air :


% Kadar air = B - C x 100%
B-A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)


B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)


Analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada
suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.
Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu
sekitar 105 0C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke
dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram
ditimbang dalam cawan porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik
sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600
o
C selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dan dibiarkan sampai
dingin dan kemudian ditimbang.

% Kadar abu = C - A x 100%


B-A

Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)


B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)
C = Berat cawan abu porselen + sampel setelah dikeringkan (gram)
c) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan dari protein kasar
(crude protein) pada suatu bahan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis protein
terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
1) Tahap destruksi
Sampel ditimbang seberat 1 gram. Kemudian sampel dimasukkan ke
dalam labu kjeldahl. Setengah butir katalis selenium dimasukkan ke dalam tabung
tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut
dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambah 10 ml air.
Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.
22

2) Tahap destilasi
Larutan yang telah jernih didinginkan kemudian ditambah 50 ml akuades
dan 20 ml NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 2 % yang mengandung
indikator bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1% dengan perbandingan
2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke
dalam alat destilasi hingga tertampung 40 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan
hasil destilat berwarna hijau kebiruan.
3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan
dicatat. Perhitungan kadar protein api-api adalah sebagai berikut:

% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x N HCl x 14 x 100%


mg berat awal

% Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi (6,25)

d) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)


Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu
lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas
listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga
semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di
ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu
lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah
itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
23

Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai beikut.

% Kadar lemak = W3 - W2 x100%


W1

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)


W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.3.3 Ekstraksi dari tumbuhan api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Tahap ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan teknik maserasi
menggunakan pelarut metanol pro analisis. Sampel tumbuhan api-api ditimbang
sebanyak 25 gram masing-masing untuk daun dan kulit batang dari hasil
pengeringan dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Pelarut metanol ditambahkan
sampai sampel terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:3 (b/v),
lalu Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil. Sampel dimaserasi
menggunakan orbital shaker selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan ekstrak yang
diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 untuk memisahkan filtrat
dan residu yang dihasilkan. Maserasi dilakukan berulang sebanyak 16 kali. Hasil
penggabungan filtrat yang didapat dievaporasi pada suhu 37 oC.
Filtrat yang diperoleh hasil evaporasi disimpan dalam botol ekstrak untuk
dianalisis, yaitu uji fitokimia kualitatif, uji kadar flavonoid total dan uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH. Sebelum dilakukan pengujian aktivitas
antioksidan ekstrak kasar yang diperoleh dilakukan perhitungan untuk nilai
rendemen hasil ekstrakan.

3.3.4 Uji komponen fitokimia (Harborne 1987)


Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang
terdapat pada ekstrak kasar pohon api-api untuk masing-masing perlakuan. Uji
fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid,
saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Metode uji ini berdasarkan Harborne
(1987).

a) Uji alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi
24

Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi
Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi
Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

b) Uji steroid/triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform 99,98 % dalam tabung
reaksi. Asetat pekat diencerkan menggunakan air dan alkohol ditambahkan
sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam
campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu
dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian
berubah menjadi biru dan hijau.
c) Uji flavonoid
Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume yang
sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel
mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning
atau jingga pada lapisan amil alkohol.

d) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)


Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 %. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambah 2 tetes larutan FeCl3 5 %.
Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
e) Tanin
Sejumlah sampel ditambahkan FeCl3 kemudian campuran dihomogenkan.
Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran.
f) Uji Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
25

3.3.5 Uji kadar flavonoid total


Sebanyak 0,5 ml ekstrak yang telah diencerkan dengan etanol p.a (1:10
g/ml) ditambah 1,5 ml etanol p.a; 0,1 ml AlCl3 10 %; 0,1 ml natrium asetat 1 M;
dan 2,8 ml akuades. Campuran larutan tersebut dibiarkan selama 30 menit dan
diukur absorbansinya pada 417 nm. Kuersetin digunakan untuk membuat kurva
kalibrasi. Kandungan total flavonoid dalam ekstrak etanol diekspresikan sebagai
mg kuersetin/gram serbuk kering.

3.3.6 Uji aktivitas antioksidan


Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan menggunakan metode DPPH
berdasarkan kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas
stabil l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Blanko dibuat dari larutan methanol
dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm. Sebanyak 0,01 mg ekstrak api-
api dibutuhkan untuk membuat larutan stok dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan
800 ppm. Sebanyak 0,0004 mg butylated hydroxytoluena (BHT) sebagai standar
ditimbang lalu ditambah 50 ml metanol dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 ppm.
Selanjutnya 0,0098 mg DPPH diencerkan dengan 25 ml metanol. Selanjutnya
pemberian DPPH pada larutan stok dan BHT untuk masing-masing konsentrasi.
Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit.
Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada
panjang gelombang 517 nm.
Persentase penghambatan aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai
absorbansi sampel. Persamaan regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi
sampel dan presentase penghambatan aktivitas radikal bebas. Aktivitas
antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT
dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:

absorbansi blanko – absorbansi sampel


% inhibisi = x 100 %
absorbansi blanko

Nilai konsentrasi penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50 %


(IC50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier. Nilai IC50
26

diperoleh dengan memasukkan y=50 serta nilai A dan B yang telah diketahui.
Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung dengan persamaan : y = A + B Ln (x)
Y = persen inhibisi
X = konsentrasi sampel (ppm)
A = slope, B = intercept
27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan
sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi tumbuhan api-api yang
diambil dari Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta
Utara dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Daun pohon api-api yang diambil dan dijadikan sebagai sampel

Daun api-api yang didapat pada bagian atas berwarna hijau muda dan
bagian bawah berwarna abu-abu keperakan. Bentuknya elips dengan panjang rata-
rata daun yang didapat berkisar 5-10 cm. Daun api-api memiliki ruas atau tulang
daun yang sejajar dan teratur. Teksurnya tidak lunak apabila disentuh dengan
tangan. Kulit batang api-api yang digunakan berwarna cokelat muda, tipis dan
berserat. Pada bagian dalam terlihat warna yang lebih cerah, yaitu putih kehijauan
dan sedikit berair (Lampiran 1).
Proses karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku
yang digunakan. Karakterisasi bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja,
tetapi juga pada sifat kimia, karena sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang
digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakterisasi sifat kimia
dilakukan untuk mengetahui zat yang terkandung di dalam bahan, misalnya
kandungan nilai gizi yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan
manusia.
28

4.2 Kandungan Gizi


Kandungan gizi pada daun dan kulit batang api-api dapat diketahui melalui
uji proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya kandungan air,
abu, lemak, dan protein. Tumbuhan api-api banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar baik sebagai sumber makanan maupun untuk kesehatan. Tumbuhan
berdaun sejati ini memiliki nilai gizi yang cukup tinggi untuk dijadikan sumber
makanan. Berikut hasil data proksimat dari tumbuhan api-api dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Hasil data proksimat tumbuhan api-api (Avicennia marina


(Forks.)Vierh.); Daun; Kulit batang

1) Kadar air
Daun api-api memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 69,2 %
dan kulit batang api-api sebesar 55 % (Lampiran 2). Nilai tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil analisis kadar air yang telah diuji sebelumnya oleh Jacoeb et
al. (2011), yakni kadar air daun api-api sebesar 68,16 %. Hasil tersebut sedikit
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wibowo et al. (2009), yaitu
sebesar 70,59 %. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor internal
dan eksternal. Faktor internal sangat mempengaruhi perbedaan yang terjadi, yakni
sifat tumbuhan yang berada di wilayah Jakarta dengan wilayah Subang. Faktor
eksternal seperti habitat dan kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi
perbedaan komposisi kimia api-api.
29

2) Kadar abu
Hasil pengukuran kadar abu menggunakan bobot kering pada daun dan
kulit batang api-api menunjukkan bahwa daun api-api mengandung mineral atau
zat anorganik sebesar 14,91 % dan kulit batang api-api memiliki kadar abu
sebesar 9,6 % (Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Wibowo et al.(2009) bahwa kadar abu pada daun api-api sebesar 15,61
%. Hasil serupa dikemukakan oleh Jacoeb et al. (2011), yaitu sebesar 13,97 %.
Tinggi dan rendahnya kadar abu pada tumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan
habitat dan lingkungan yang berbeda satu sama lainnya. Setiap lingkungan
perairan dapat menyediakan sumber mineral yang berbeda-beda bagi organisme
akuatik yang hidup didalamnya. Tumbuhan api-api merupakan tumbuhan sejati
yang hidupnya hanya mampu di wilayah mangrove atau estuari. Bengen (2000)
menjelaskan bahwa wilayah estuari merupakan wilayah perairan dimana terjadi
peralihan atau pencampuran antara air tawar dan air laut yang menyebabkan
banyaknya mineral yang terkandung di dalamnya.

3) Kadar protein
Hasil pengukuran bobot kering kadar protein menunjukkan bahwa daun
api-api dan kulit batangnya memiliki kadar protein sebesar 11,04 % dan 6,4 %
(Lampiran 2). Hasil tersebut sedikit berbeda menurut Wibowo et al. (2009) bahwa
protein api-api sebesar 17,31 %. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Jacoeb et
al. (2011) yang menyatakan bahwa daun api-api memiliki kandungan protein
sebesar 11,53 %. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi adanya beberapa faktor,
yaitu habitat, umur, dan laju metabolisme. Daun memiliki kadar protein yang
tinggi karena di daun terjadi proses fotosintesis yang membutuhkan banyak
jaringan serta organ yang bekerja. Kulit batang cenderung memiliki kadar protein
yang rendah dari daun dikarenakan kulit batang hanya terdapat jaringan sistem
pembuluh yang bertitik beratkan pada kerja sistem angkut mineral, unsur hara dan
menjaga kesetimbangan akibat adanya garam.

4) Kadar lemak
Kadar lemak daun api-api 2,21 % dan kulit batang api-api sebesar 1,55 %
(Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Jacoeb et
30

al. (2011), yaitu kadar lemak daun api-api sebesar 2,45 %. Berbeda halnya dengan
penelitian Wibowo et al. (2009), yaitu sebesar 1,16 %. Perbedaan tersebut
dibenarkan oleh Yunizal et al. (1998) bahwa kadar lemak yang rendah dapat
disebabkan karena kandungan air dalam daun dan kulit batang pohon api-api
sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun
drastis. Faktor lain seperti umur, habitat, dan perbedaan lokasi pengambilan
sampel juga menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi kadar lemak suatu
bahan.

4.3 Komponen Bioaktif Ekstrak Kasar


Hasil ekstraksi komponen bioaktif api-api menunjukkan bahwa ekstrak
kasar menggunakan pelarut metanol berwarna coklat kehijauan dan berbau khas
ekstrak tumbuhan. Rendemen ekstrak kasar yang dihasilkan cukup tinggi untuk
daun 17,53 % dan kulit batang api-api 12,07 % (Lampiran 2). Uji fitokimia yang
dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, dan tanin. Hasil uji fitokimia pada masing-masing ekstrak
kasar api-api dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar api-api ( Avicennia marina)
Ekstrak
Uji Fitokimia Standar (warna)
Daun Kulit Batang

Alkaloid:
-Dragendorff + - Endapan merah atau jingga
-Meyer + - Endapan putih kekuningan
-Wagner - - Endapat coklat

Steroid/triterpenoid ++ ++ Perubahan dari merah


menjadi biru/hijau

Flavonoid ++ ++ Lapisan amil alkohol


berwarna merah/kuning/hijau

Saponin - - Terbentuk busa

Fenol hidrokuinon - + Warna hijau atau hijau biru

Tanin + ++ Terbentuk warna merah

Keterangan: (-) hasil negatif; (+) hasil ada namun tidak pekat; (++) hasil ada dan pekat
31

a) Alkaloid
Komponen alkaloid didefinisikan sebagai substansi dasar yang memiliki
satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem
siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Alkaloid ditemukan pada daun
api-api, namun tidak ditemukan pada kulit batang api-api. Alkaloid umumnya
larut pada pelarut organik (non polar), sedangkan beberapa kelompok
pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Penelitian
ini dilakukan dengan pelarut metanol (polar) yang justru menunjukkan adanya
kandungan alkaloid pada daun api-api walaupun hasil yang ditunjukkan (Tabel 2)
tidak terlalu pekat, hal ini menunjukkan bahwa daun api-api tidak mengandung
alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung
protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Alkaloid tidak dihasilkan pada kulit batang
api-api dengan ditandai hasil negatif pada Tabel 2.
b) Steroid/triterpenoid
Hasil uji fitokimia untuk daun dan kulit batang api-api menunjukkan
adanya senyawa steroid/triterpenoid, ditunjukkan oleh hasil yang cukup pekat
(Tabel 2). Steroid/triterpenoid dapat diketahui keberadaanya dengan perkursor
kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984). Hasil pada Tabel 2
menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid walaupun menggunakan
pelarut metanol yang bersifat polar, hal ini dapat terjadi mengingat metanol
merupakan pelarut polar yang dapat mengekstrak komponen lainnya, meskipun
bersifat non polar ataupun semipolar. Schmidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
c) Flavonoid
Hasil pengujian flavonoid terhadap daun dan kulit batang api-api (Tabel 2)
menunjukkan bahwa bagian tersebut sama-sama memiliki kandungan flavonoid,
hal itu ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pekat pada lapisan amil
alkohol yang telah diuji (Lampiran 3). Flavonoid merupakan senyawa polar yang
dapat larut pada pelarut polar, hal ini dibuktikan dengan terlarutnya senyawa
flavonoid menggunakan pelarut metanol. Flavonoid umumnya merupakan
komponen larut air, sehingga dapat diekstrak dengan pelarut polar dan tertinggal
32

pada lapisan aqueous (Harborne 1984). Flavonoid merupakan senyawa aktif yang
potensial dan sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan
Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian Simamora (2011) yang
menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari buah apel
memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat.
d) Tanin
Hasil pengujian fitokimia untuk uji tanin menunjukkan bahwa daun dan
kulit batang api-api sama-sama mengandung tanin. Hasil uji tanin untuk daun
terlihat ada, namun tidak pekat apabila dibandingkan dengan hasil yang
ditunjukkan oleh kulit batang api-api (Tabel 2). Tanin di dalam tumbuhan dapat
berfungsi sebagai penyamak apabila jaringan rusak, karena sifat tanin yang
mampu menyambung silangkan protein. Sebagian besar tumbuhan yang banyak
bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan, karena rasanya yang pahit.
Fungsi utama tanin di dalam tumbuhan adalah penolak hewan pemakan tumbuhan
(Harborne 1987). Tumbuhan api-api termasuk tumbuhan mangrove yang memiliki
rasa pahit dan banyak digunakan penduduk sekitar untuk obat nyamuk.

4.4 Aktivitas Antioksidan


Hasil uji aktivitas antioksidan dengan DPPH menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm menunjukkan bahwa daun dan
kulit batang api-api memiliki aktivitas antioksidan. Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak daun dan ekstrak kulit batang api-api dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan ekstrak kulit
batang api-api (Avicennia marina)
% Inhibisi
Sampel IC50 (ppm)
200 400 600 800
(ppm)

Ekstrak Daun 18,75 19,55 20,23 21,48 36,35


Ekstrak Kulit Batang 7,84 9,25 10,00 10,34 51,51
33

Tabel 3 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi, baik daun maupun


kulit batang api-api dimiliki oleh konsentrasi tertinggi, yaitu 800 ppm dan nilai
terendah untuk persen inhibisi dimiliki oleh konsentrasi terendah, yaitu 200 ppm.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin
tinggi pula daya hambat yang dilakukan sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC 50
yang dihasilkan oleh ekstrak daun lebih rendah dari ekstrak kulit batang, yaitu
36,35 ppm untuk daun dan 51,51 ppm untuk kulit batang. Ekstrak daun lebih
banyak menghilangkan 50 % aktivitas DPPH apabila dibandingkan dengan
ekstrak kulit batang. Molyneux (2004) menyatakan bahwa nilai IC50 adalah
konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH.
Kedua ekstrak kasar daun dan kulit batang pohon api-api memiliki
kekuatan penghambat yang berbeda-beda satu sama lainnya. Hubungan aktivitas
antioksidan antara ekstrak kasar daun dan ekstrak kasar kulit batang api-api
dengan persen inhibisinya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik perbandingan aktivitas antioksidan antara ekstrak kasar


daun dan kulit batang api-api dengan persen inhibisinya;
Daun; Kulit Batang

Gambar 9 menunjukkan daun api-api memiliki aktivitas yang cukup baik


bila dibandingkan kulit batang. Hal ini diduga karena adanya kandungan senyawa
aktif yang cukup banyak terdapat dalam daun, seperti alkaloid,
steroid/triterpenoid, dan flavonoid (Tabel 2).
Penelitian ini menggunakan larutan BHT sebagai pembanding dalam uji
aktivitas antioksidan. Jacoeb et al. (2011) mengemukakan bahwa nilai IC50 BHT
sebesar 5,85 ppm, dimana hasil tersebut merupakan hasil terbaik untuk aktivitas
34

antioksidan. Larutan BHT yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan


nilai IC50 sebesar 3,17 ppm. Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai
yang diperoleh Jacoeb et al. (2011) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan
bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat
(<50 ppm). Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT

% Inhibisi
Sampel IC50 (ppm)
2 4 6 8
(ppm)

Larutan BHT 22,05 37,73 49,66 58,30 3,17

Tabel 4 menunjukkan hasil larutan BHT memiliki persen inhibisi tertinggi


pada konsentrasi tertinggi, yaitu 8 ppm dan persen inhibisi terendah pada
konsentrasi terendah, yaitu 2 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan, semakin tinggi pula daya hambat yang dilakukan
sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC50 BHT sebesar 3,17 ppm, merupakan nilai
terbaik apabila dibandingkan dengan nilai IC50 ekstrak daun dan kulit batang api-
api (Tabel 3). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan
antara konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada
Gambar 10.

Gambar 10 Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisi

Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konsentrasi BHT dengan


persen inhibisinya. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin
35

tinggi pula persen inhibisi atau daya hambatnya. Ekstrak daun dan kulit batang
pohon api-api pada Gambar 9 sama-sama menunjukkan hasil yang serupa dengan
larutan BHT pada Gambar 10, grafik akan bergerak naik ke atas dengan naiknya
konsentrasi yang digunakan. Nilai IC50 yang ditunjukkan pada Tabel 3 untuk daun
dan kulit batang api-api, serta larutan BHT pada Tabel 4 sama-sama menunjukkan
bahwa ketiga ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat
(<50 ppm), sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun dan kulit batang api-
api dapat digunakan sebagai antioksidan alami pengganti antioksidan sintetik
seperti antioksidan BHT.

4.5 Kandungan Flavonoid Api-api sebagai Antioksidan


Hasil penelitian menunjukkan daun dan kulit batang pohon api-api
mengandung senyawa aktif flavonoid (Tabel 2) yang efektif digunakan sebagai
antioksidan. Hal ini terlihat jelas dengan adanya aktivitas antioksidan yang
ditunjukkan oleh ekstrak kasar pada Gambar 9 dan Tabel 3, ekstrak kasar daun
dan kulit batang api-api memiliki nilai IC50 yang cukup tinggi. Wibowo et al.
(2009) menyatakan bahwa Avicennia marina terutama bagian daun dan kulit
batang mengandung senyawa flavonoid, hal ini dibuktikan dengan adanya
perubahan warna yang cukup pekat pada uji fitokimia.
Hasil pengukuran kadar flavonoid yang terkandung di dalam daun api-api
sebesar 1,18 % dan kulit batang api-api sebesar 0,67 %. Menurut Erukainure
(2011), semakin tinggi kandungan flavonoid total suatu bahan, maka semakin
tinggi aktivitas antioksidannya. Adanya kandungan flavonoid yang tinggi pada
daun api-api serta nilai IC50 yang rendah (36,35 ppm), menunjukkan bahwa daun
api-api memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan
kulit batang api-api yang memiliki nilai IC50 sebesar 51,51 ppm. Molyneux (2004)
menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dikategegorikan kuat apabila memiliki
nilai IC50 dibawah 50 ppm (<50 ppm). Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara kadar total flavonoid yang terkandung dengan aktivitas
antioksidannya. Penelitian tersebut dilakukan terhadap beberapa tanaman yang
diduga memiliki aktivitas antioksidan seperti Aegle marmelos dan daun seledri
36

dengan melihat kadar total flavonoid yang terkandung di dalamnya. Kadar total
flavonoid yang terkandung di beberapa tanaman ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan flavonoid yang terkandung dalam
daun api-api lebih tinggi bila dibandingkan tanaman Aegle marmelos, seledri dan
tempuyung, namun lebih rendah dari tanaman jati belanda. Kadar total flavonoid
kulit batang api-api juga lebih tinggi dari kulit batang Aegle marmelos. Perbedaan
hasil tersebut dikarenakan adanya perbedaan jenis tanaman, habitat, umur
tanaman, jumlah sampel yang diekstrak, dan lamanya pengekstraksian.

Tabel 5 Kadar total flavonoid beberapa tanaman (%)

Jenis tanaman
Bagian
tanaman Api-api Aegle marmelosa Seledrib Jati Belandac Tempuyungc

Daun 1,18 0,824 0,51 3,0480 0,7537


Kulit Batang 0,67 0,140 - - -
Keterangan: a Mujeeb et al. (2010)
b Rafi et al. (2006)
c Widyastuti (2010)

Hasil beberapa penelitian tersebut sama-sama menunjukkan bahwa kadar


total flavonoid yang terkandung dalam bahan memiliki korelasi terhadap aktivitas
antioksidannya. Tanaman jati belanda memiliki aktivitas antioksidan tertinggi bila
dibandingkan api-api, Aegle marmelos, seledri dan tempuyung. Hal ini sesuai
dengan kadar total flavonoid yang terkandung di dalam tanaman jati belanda yang
lebih tinggi dari tanaman lainnya.
Adanya senyawa flavonoid yang mempunyai gugus hidroksi tersubstitusi
terhadap gugus –OH dan –OR, maka flavonoid cocok dijadikan sebagai
antioksidan (Waji dan Sugrani 2009). Golongan flavonoid terbesar di dalam daun
api-api adalah antosianin, flavonol, flavon, dan glikoflafon. Antosianin
merupakan pigmen pewarna daun yang paling penting dan larut dalam air (polar)
(Harborne 1987). Hal ini terlihat jelas pada saat dilakukan proses ekstraksi, daun
api-api mengeluarkan warna hijau tua yang cukup pekat (Lampiran 5), warna
hijau tersebut diduga karena terdapat banyak pigmen antosianin yang ikut larut
pada saat ekstraksi berlangsung. Golongan flavonoid lainnya tersebar luas dan
membantu penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis.
37

Flavonol yang terkandung dalam daun dan kulit batang api-api


mengandung kuersetin dan glikosida. Kuersetin berperan dalam menangkap
radikal bebas dan mengkhelat ion logam transisi, hal ini ditunjukkan dari aktivitas
antikosidan yang dilakukannya. Daun dan kulit batang pohon api-api
menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat baik, terlihat adanya perubahan
warna yang dapat dilihat secara kasat mata. Warna yang ditunjukkan adalah warna
kuning setelah diberi radikal bebas DPPH (Lampiran 3). Warna kuning
menunjukkan reaksi antara radikal bebas yang terikat dengan senyawa antioksidan
(Molyneux 2004). Mekanisme perubahan warna DPPH yang terjadi akibat adanya
reaksi penangkapan radikal bebas oleh senyawa antioksidan dapat dilihat pada
Gambar 3.
Senyawa polifenol misalnya flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang
berkaitan erat dengan struktur rantai samping dan juga substitusi pada cincin
aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas DPPH dapat
mempengaruhi kekuatan antioksidannya. Aktivitas peredaman radikal bebas
senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dan kulit batang pohon api-api
diduga akibat pengaruh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam molekul inti
flavonoidnya. Akibat pengaruh jumlah dan posisi hidrogen fenolik itulah yang
mengakibatkan daun dan kulit batang api-api memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat tinggi.
Flavonoid dalam daun dan kulit batang pohon api-api mengandung banyak
atom hidrogen yang mampu menggantikan atau mengkhelat logam radikal bebas
pemicu spesies pembentuk kanker. Pengkhelatan logam radikal bebas oleh
flavonoid dapat dilihat pada Gambar 12.

F-OH + R F-O + RH

Gambar 11 Mekanisme pengkhelatan logam radikal bebas oleh flavonoid


(Sumber: Kumar et al. 2011a)

Penelitian ini menggunakan radikal bebas DPPH yang mampu ditangkap


dan disubstitusikan dengan gugus hidrogen oleh senyawa antioksidan seperti
flavonoid. Senyawa flavonoid (F) melepaskan gugus hidrogen (H) dan mengikat
serta menggantikan radikal bebas (R). Radikal bebas DPPH menjadi nonaktif dan
38

terhindar dari pemicu penyakit degeneratif seperti kanker. Tingginya aktivitas


antioksidan yang dimiliki terbukti dengan adanya perubahan warna dari ungu
menjadi kuning, hal itu menandakan banyaknya gugus hidroksil yang mampu
mengikat logam radikal bebas.
Penelitian pada daun surian yang dilakukan oleh Yuhernita dan Juniarti
(2011) menggunakan metode DPPH dan pelarut metanol menujukkan bahwa daun
surian memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik. Hal ini diduga karena
adanya kandungan flavonoid di dalamnya. Jacoeb et al. (2011) menguji aktivitas
antioksidan pada daun api-api yang diambil dari Desa Belanakan, Kota Subang,
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, yaitu daun api-api memiliki aktivitas
antioksidan yang cukup kuat akibat pengaruh kandungan flavonoid di dalamnya.
Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Afzal et al. (2011) yang
mendeteksi adanya kandungan flavonoid dalam daun Avicennia marina
(Forks.)Vierh. yang menjadi salah satu komponen penyusun utama senyawa
antioksidan dan antifungial serta mengobati penyakit kulit.
39

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penghitungan bobot kering didapatkan daun pohon api-api mengandung
air 69,2 %, abu 14,91 %, protein 11,04 %, dan lemak 2,21 %. Sedangkan kulit
batang pohon api-api mengandung air 55 %, abu 9,6 %, protein 6,4 %, dan lemak
1,55 %. Ekstrak kasar daun mengandung senyawa bioaktif alkaloid,
steroid/triterpenoid, flavonoid, dan tanin. Ekstrak kasar kulit batang mengandung
steroid/triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan tanin.
Kadar flavonoid total daun 1,18 % dan kulit batang 0,67 %. Nilai IC50
ekstrak daun pohon api-api sebesar 36,35 ppm dan ekstrak kulit batang pohon api-
api sebesar 51,51 ppm. Adanya kandungan flavonoid yang tinggi pada daun api-
api serta nilai IC50 yang rendah, menunjukkan bahwa daun api-api memiliki
aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan kulit batang api-
api. Hal tersebut membuktikan bahwa daun api-api dapat digunakan sebagai
antioksidan dan menjadi antioksidan pengganti BHT, karena sama-sama memiliki
aktivitas antioksidan yang kuat (<50 ppm). Selain sebagai antioksidan, flavonoid
dalam daun dan kulit batang api-api dapat digunakan sebagai antimikrobial,
antifungial, antiinflamasi dan obat-obatan yang dapat dimanfaatkan dalam bidang
kesehatan, farmasi serta kecantikan seperti kosmetika.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa fraksinasi senyawa aktif lainnya, yaitu alkaloid dan
triterpenoid yang dapat digunakan sebagai antimikroba. Pengujian senyawa
flavonoid pada daun dan kulit batang pohon api-api terhadap anti-inflamasi juga
perlu dilakukan mengingat daun dan kulit batang tersebut biasa digunakan
penduduk setempat sebagai obat luka dan obat cacar.
KANDUNGAN FLAVONOID KULIT BATANG DAN DAUN
POHON API-API (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) SEBAGAI
SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN

SILVIA HANDAYANI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
RINGKASAN

SILVIA HANDAYANI. C34080083. Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan


Daun Pohon Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa
Aktif Antioksidan. Dibimbing oleh NURJANAH dan RUDDY SUWANDI.

Api-api merupakan tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat


untuk makanan maupun obat-obatan, tanaman ini diambil dari Pantai Ekowisata
Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara. Tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk menentukan komponen bioaktif, kadar flavonoid total,
dan aktivitas antioksidan daun dan kulit batang pohon api-api. Pengujian yang
dilakukan meliputi ekstraksi komponen bioaktif, analisis proksimat, uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH, uji kadar flavonoid total dan uji fitokimia.
Bobot kering daun pohon api-api mengandung air 69,2 %, abu 14,91 %,
protein 11,04 %, dan lemak 2,21 %. Bobot kering kulit batang pohon api-api
mengandung air 55 %, abu 9,6 %, protein 6,4 %, dan lemak 1,55 %. Ekstrak kasar
daun mengandung senyawa bioaktif alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, dan
tanin. Ekstrak kasar kulit batang mengandung steroid/triterpenoid, flavonoid,
fenol hidrokuinon, dan tanin. Kadar flavonoid total daun 1,18 % dan kulit batang
0,67 %. Nilai IC50 ekstrak daun pohon api-api sebesar 36,35 ppm dan ekstrak kulit
batang pohon api-api sebesar 51,51 ppm. Adanya kandungan flavonoid yang
tinggi pada daun api-api serta nilai IC50 yang rendah, menunjukkan bahwa daun
api-api memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan
kulit batang api-api. Hal tersebut membuktikan bahwa daun api-api dapat
digunakan sebagai antioksidan dan menjadi antioksidan pengganti BHT, karena
sama-sama memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (<50 ppm).
KANDUNGAN FLAVONOID KULIT BATANG DAN DAUN
POHON API-API (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) SEBAGAI
SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN

SILVIA HANDAYANI
C34080083

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan


pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul : Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan Daun Pohon Api-
Api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa
Aktif Antioksidan
Nama : Silvia Handayani
NRP : C34080083
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Nurjanah, MS Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil


NIP.1959 1013 1986 01 2 002 NIP.1958 0511 1985 03 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil


NIP.1958 0511 1985 03 1 002

Tanggal Pengesahan:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kandungan


Flavonoid Kulit Batang dan Daun Pohon Api-api (Avicennia marina
(Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa Aktif Antioksidan” adalah karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi negeri
manapun. Sumber informasi yang digunakan atau dikutip dari karya yang telah
diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Silvia Handayani
C34080083
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena


berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul ”Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan Daun Pohon
Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa Aktif Antioksidan”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis selama penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku dosen
pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada
penulis.
2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol. selaku Ketua Program Studi S1
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4. Keluarga penulis yang selalu memberi semangat, materi, doa dan motivasi
selama penyusunan skripsi ini.
5. Asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2011-
2012.
6. Laboran Laboratorium Pengetahuan Bahan Baku Indurtri Hasil Perairan yang
banyak membantu selama penelitian.
7. Fitri, Fitriany, Hilma, Dwilina, Aulia, Ningrum, Euis, Anggraeni, Iis, Hana,
Dwisari, Riviani, Yunisha yang sudah membantu saat penulis melakukan
penelitian dan memberi semangat baik dalam suka maupun duka.
8. Sahabat Teknologi Hasil Perairan 45 terhebat yang selalu menemani penulis
selama kuliah sampai pembuatan skripsi ini selesai.
9. Teman-teman mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perairan 43, 44, 46
dan 47 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi-informasi
penting kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Teman-teman penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan masukan serta informasi maupun dukungan
moril dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2013

Silvia Handayani
C34080083
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Februari


1989 sebagai anak kedua dari Ibu Naila dan Bapak
Hermansyah. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di
SDN Kalibata 04 Pagi Jakarta Selatan (tahun 1995-2001),
selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SMPN 41
Jakarta (tahun 2001-2004), kemudian penulis melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi ke sekolah menengah atas di SMAN 38 Jakarta dan lulus
pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi dan
kepanitiaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan, kepanitiaan
“HACCP 2010” sebagai anggota divisi acara. Penulis juga aktif sebagai asisten
praktikum mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan 2011-
2012 dan asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan
2011-2012. Penulis juga aktif pada kegiatan diluar akademik antara lain menjadi
anggota Green TV IPB sebagai presenter tahun 2011-2012.
Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana, penulis melakukan
penelitian dan skripsi yang berjudul ”Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan
Daun Pohon Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa
Aktif Antioksidan” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan Dr. Ir. Ruddy
Suwandi, MS, M.Phil
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................ix
LAMPIRAN................................................................................................................x
1 PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Tujuan ...............................................................................................................2

2 TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................3


2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) ..............3
2.2 Antioksidan ........................................................................................................4
2.2.1 Fungsi antioksidan .....................................................................................5
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan ...............................................................................6
2.2.2.1 Antioksidan sintetik .......................................................................6
2.2.2.2 Antioksidan alami ..........................................................................7
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan..................................................................................8
2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif...............................................................................9
2.5 Metabolit Sekunder..........................................................................................10
2.6 Komponen Bioaktif .........................................................................................11
2.6.1 Alkaloid ..................................................................................................11
2.6.2 Steroid/triterpenoid.................................................................................12
2.6.3 Flavonoid ................................................................................................12
2.6.4 Saponin ...................................................................................................16
2.6.5 Fenol hidrokuinon...................................................................................17
2.6.6 Tanin.......................................................................................................17

3 METODOLOGI ...................................................................................................18
3.1 Waktu dan Tempat...........................................................................................18
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................................18
3.3 Prosedur Penelitian ..........................................................................................19
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel.........................................................20
3.3.2 Analisis proksimat ..................................................................................20
a) Analisis kadar air (AOAC 2005)........................................................20
b) Analisis kadar abu (AOAC 2005). .....................................................21
c) Analisis kadar protein (AOAC 2005).................................................21
d) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) ..................................................22
3.3.3 Ekstraksi dari tumbuhan api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) .....23
3.3.4 Uji komponen fitokimia (Harborne 1987)..............................................23
a) Uji alkaloid .........................................................................................23
b) Uji steroid/triterpenoid .......................................................................24
c) Uji flavonoid.......................................................................................24
d) Uji fenol hidrokuinon .........................................................................24
e) Uji tanin ..............................................................................................24
f) Uji saponin ..........................................................................................24
3.3.5 Uji kadar flavonoid total.........................................................................25
3.3.6 Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH.....................................25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................27
4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) ...............................27
4.2 Kandungan Gizi...............................................................................................28
1) Kadar air.....................................................................................................28
2) Kadar abu ...................................................................................................29
3) Kadar protein .............................................................................................29
4) Kadar lemak ...............................................................................................29
4.3 Komponen Bioaktif Ekstrak Kasar..................................................................30
a) Alkaloid......................................................................................................31
b) Steroid/triterpenoid ....................................................................................31
c) Flavonoid....................................................................................................31
d) Tanin ..........................................................................................................32
4.4 Aktivitas Antioksidan ......................................................................................32
4.5 Kandungan Flavonoid Api-api sebagai Antioksidan.......................................35
5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................39
5.1 Kesimpulan......................................................................................................39
5.2 Saran ................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................40
LAMPIRAN..............................................................................................................45
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Sifat berbagai golongan flavonoid. .............................................................14
2. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar api-api (A. marina (Forks.)Vierh.)..........30
3. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan
kulit batang api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.).............................32
4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT................................................34
5. Kadar flavonoid beberapa tanaman (%)......................................................36
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) ........................................3
2. Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT) ..........................................7
3. Mekanisme perubahan warna DPPH akibat pengaruh antioksidan ..............8
4. Struktur dasar flavonoid..............................................................................13
5. Struktur dasar senyawa flavonoid dan proses peredaman
radikal bebas oleh senyawa flavonoid ........................................................16
6. Proses penelitian secara garis besar ............................................................19
7. Pohon api-api yang diambi dan dijadikan sebagai sampel .........................27
8. Hasil data proksimat tumbuhan api-api (A. marina (Forks.)Vierh.)...........28
9. Grafik perbandingan aktivitas antioksidan antara ekstrak kasar
daun dan kulit batang api-api dengan persen inhibisinya ..........................33
10. Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisi.........................34
11. Mekanisme pengkhelatan logam radikal bebas
oleh flavonoid.............................................................................................37
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Gambar sampel pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) ............46


2. Perhitungan analisis proksimat dan rendemen ekstrak ...............................47
3. Gambar hasil uji fitokimia daun dan kulit batang api-api
(Avicennia marina (Forks.)Vierh.), serta perubahan warna
pada reaksi peredaman DDPH ...................................................................48
4. Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya .........................49
5. Gambar-gambar selama proses ekstraksi....................................................50
6. Perhitungan persen inhibisi dan nilai IC50 ..................................................51
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningkatnya ilmu dan teknologi pengolahan yang ada, telah mengubah
pola komsumsi manusia terhadap kebutuhan sandang dan pangannya. Manusia
cenderung lebih memilih sesuatu yang bersifat instan atau langsung dapat
dinikmati tanpa waktu yang lama. Pola komsumsi tersebut memaksa produsen
untuk mengganti bahan tambahan yang bersifat alami menjadi bahan tambahan
yang bersifat sintetik atau buatan. Bahan tambahan sintetik digunakan karena
sifatnya yang relatif murah dan tidak membutuhkan jumlah yang banyak, apabila
dibandingkan bahan tambahan alami yang sifatnya relatif mahal. Hal tersebut
tidak dibenarkan apabila melihat dampak negatif yang ditimbulkan jika
penambahan bahan tambahan sintetik masuk ke dalam tubuh secara terus
menerus.
Bahan tambahan antioksidan banyak digunakan oleh produsen untuk
menghemat biaya dan waktu produksi. Bahan tambahan antioksidan yang sering
digunakan adalah butylated hydroxytoluene atau lebih dikenal dengan BHT.
Antioksidan BHT ini banyak digunakan dalam pangan, kesehatan maupun
kecantikan. Penggunaan BHT secara terus menerus akan terakumulasi di dalam
tubuh dan dapat menyebabkan penyakit karsinogenik. Antioksidan alami
flavonoid, alkaloid, steroid/triterpenoid yang berasal dari tumbuhan sangat
dibutuhkan untuk menggantikan antioksidan sintetik BHT.
Tumbuhan yang dapat dijadikan pengganti antioksidan sintetik adalah api-
api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.). Api-api merupakan salah satu tumbuhan
yang hidup di wilayah hutan mangrove. Pohon api-api mempunyai bentuk yang
khusus dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam (Nybakken 1992). Pohon api-api
banyak tumbuh di daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak
berpasir, keadaan tanah berlumpur agak lembek, dan biasa berasosiasi dengan
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan
organik (Bengen 2001).
Api-api mengandung senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tanin.
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian
2

tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, buah dan biji. Flavonoid
bersifat polar karena mengandung sejumlah hidroksil yang tak tersulih atau suatu
gula (Markham 1988 dalam Silaban 2009). Flavonoid dalam buah-buahan,
sayuran, teh, tanaman obat, telah menarik perhatian terbesar dan telah dipelajari
secara ekstensif, karena sangat efektif untuk dijadikan antioksidan dengan
toksisitas lebih rendah dari antioksidan sintetik misalnya BHA dan BHT
(Pekkarinenet et al. 1999 dalam Cai et al. 2010).
Penelitian pada daun api-api (Avicennia marina (Forsk.) Vierh) pernah
dilakukan oleh Afzal et al. (2011) mengenai manfaat dari ekstrak daun api-api
sebagai antifungi dan penyakit alergi kulit. Yusuf (2010) juga melakukan
penelitian pada kulit batang api-api (Marina marina Nesh) yang ternyata
mengandung senyawa triterpenoid yang efektif dijadikan antimikroba. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Purnobasuki (2004), api-api (Avicennia officinalis)
mengandung senyawa saponin yang berkhasiat sebagai aktivitas sitotoksik,
antimikroba, dan antiperadangan. Penelitian tentang kandungan flavonoid sebagai
antioksidan pada daun dan kulit batang Avicennia marina (Forks.)Vierh. belum
dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
kandungan flavonoid yang terkandung dalam daun dan kulit batang api-api yang
dapat digunakan sebagai pengganti antioksidan sintetik.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komponen bioaktif, kadar
flavonoid total, dan aktivitas antioksidan daun dan kulit batang pohon api-api
(Avicennia marina (Forks.)Vierh.).
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk
kedalam Famili Avicenniaceae/Verbenaceae. Api-api banyak ditemukan di
ekosistem mangrove yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Hidup di
tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, dengan substrat berpasir, sedikit
bahan organik dan kadar garam tinggi (Afzal et al. 2011). Klasifikasi Avicennia
marina (Forks.)Vierh. menurut Bengen (2001) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Filum : Thacheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina (Forks.)Vierh. (Gambar 1)

Gambar 1 Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Sumber: Wibowo et. al (2009)

Api-api biasa berasosiasi dengan jenis mangrove Rhizophora sp.


Tumbuhan Avicennia marina (Forks.)Vierh. ini mempunyai akar napas, tumbuh
dengan tegak, serta memiliki banyak cabang. Akar napas api-api tumbuh lurus,
berbentuk ramping dan berjumlah banyak, memiliki daun yang tumbuh
berhadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik dengan ujung tumpul dan
pangkal yang rata. Api-api memiliki batang yang mengeluarkan getah dan
memiliki rasa yang pahit. Bunga tumbuhan ini berwarna kuning dengan kelopak
4

bunga yang pendek dan pucat. Buah berbentuk kotak, berkatup, berbiji satu serta
berkecambah sebelum rontok (Bandaranayake 1999).
Beberapa jenis tumbuhan yang tergolong dalam Genus Avicennia
menghasilkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk keperluan pengobatan,
pangan, pakan, perumahan dan farmasi. Tumbuhan api-api ini banyak
mengandung senyawa aktif, yaitu triterpenoid, steroid, alkaloid, senyawa
flavonoid, saponin, dan tanin (Yusuf 2010). Api-api termasuk pepohonan semak
hingga medium dengan ketinggian 2 – 5 meter dan banyak ditemukan di ujung
aliran sungai atau di area pasang terendah. Cukup toleran dengan salinitas yang
cukup tinggi dan pertumbuhan optimal terdapat pada salinitas 0-30 (Afzal et
al.2011). Spesies ini ditemukan dari daerah hilir hingga pertengahan perairan
payau di semua kawasan pasang surut berlumpur hampir mendekati pantai
(Bengen 2000).
Api-api biasa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk dijadikan obat
berbagai penyakit. Batang api-api dijadikan obat rematik dan cacar. Getah kulit
batang dijadikan obat sakit gigi, bagian buah dijadikan obat untuk sariawan (Bayu
2009). Mangrove sejati ini banyak mengandung senyawa aktif yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Daun dan kulit batang api-api mengandung
senyawa aktif alkaloid, triterpenoid, saponin, tanin, glikosida, dan flavonoid yang
sangat potensial digunakan sebagai antioksidan, antimikroba, antifungi, dan
antibiotik (Wibowo et al. 2009).

2.2 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang mempunyai struktur molekul yang
dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat
memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan berdasarkan
fungsinya dikelompokkan menjadi antioksidan primer, antioksidan sekunder,
antioksidan tersier, oxygen scavenger, dan chelators (Kumalaningsih 2006).
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh penyebab penyakit karsinogenik, kardiovaskuler dan penuaan dini
(Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak
memiliki sistem pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi
5

paparan radikal bebas berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan


eksogen (berasal dari luar) dari asupan makanan maupun vitamin (Waji dan
Sugrani 2009).
Sumber utama antioksidan dapat dibagi menjadi empat, yaitu enzim misal
superoxide dismutase, glutation peroksidase, dan katalase; molekul-molekul besar
(albumin, seruloplasmin, dan ferritin); molekul-molekul kecil (asam askorbat,
glutation, tokoperol, karotenoid, polifenol); beberapa hormon yang juga berfungsi
sebagai sumber antioksidan, yaitu esterogen, angiotensin, melatonin, dan lain-lain
(Prior et al. 2005 dalam Rohman et al. 2006).
2.2.1 Fungsi antioksidan
Fungsi utama antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses
oksidasi dari lemak dan minyak, oksidasi radikal bebas, memperkecil terjadinya
proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam
industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan
serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi
2007). Antioksidan dapat menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan
radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil
(Oktariana 2007). Musthafa dan Lawrence (2000) menjelaskan bahwa antioksidan
juga berfungsi untuk menetralisir atau menekan dampak negatif yang diakibatkan
radikal bebas.
Antioksidan pada umumnya mengandung struktur inti yang sama, yaitu
mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan
amino (Cahyadi 2008). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau
menghentikan reaksi berantai radikal bebas dari lemak yang teroksidasi terdiri
atas empat tahap (Rita et al. 2009), yaitu:
1) pelepasan hidrogen dari antioksidan
2) pelepasan elektron dari antioksidan
3) adisi lemak (molekul teroksidasi) ke dalam cincin aromatik antioksidan
4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak (molekul teroksidasi) dan
cincin aromatik antioksidan.
Antioksidan yang sangat umum digunakan adalah senyawa fenol atau
amina aromatis. Antioksidan dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah
6

peroksida. Efektivitas antioksidan p-amino-fenol dan fenolat tergantung adanya


gugus hidroksil bebas karena ester dan esternya tidak mempunyai pengaruh.
Efisiensi fenolat dapat ditingkatkan dengan alkilasi pada posisi 2, 4, dan 6
(Cahyadi 2008).
Antioksidan akan kehilangan potensi jika tidak mempunyai kemampuan
untuk mengikat hidrogen atau elektron. Beberapa jenis antioksidan, terutama
golongan fenolat bersifat menguap pada suhu kamar. Kemampuan antioksidan
berkurang akibat degradasi molekul, terutama pada suhu yang semakin
meningkat. Antioksidan berdasarkan penggabungan sifat sinergis dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu antioksidan dengan jumlah fenol yang sangat banyak
dan antioksidan dengan jumlah asam yang sangat banyak (Ketaren 2008).
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan berdasarkan sumbernya dibagi kedalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia)
dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami tanpa ada
penambahan senyawa kimia) (Kuncahyo dan Sunardi 2007).
2.2.2.1 Antioksidan sintetik
Antioksidan sintetik sudah banyak digunakan untuk menggantikan
antioksidan alami, karena sifatnya yang mudah dicari dan mudah didapatkan.
Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa fenol yang
biasanya agak beracun dan memiliki efek samping (Siagian 2002). Penggunaan
antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu tidak berbahaya bagi
kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, penggunaannya
efektif dalam konsentrasi rendah (0,01-0,02 %), dapat terkonsentrasi pada
permukaan/lapisan lemak (lipofilik), mudah didapat, ekonomis, serta dapat
bertahan dalam kondisi pengolahan pangan pada umumnya (Belitz et al. 2009)
Empat macam antioksidan yang sering digunakan dalam produk makanan
adalah butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),
propylgallate (PG), dan nordihidro guaiaretic acid (NDGA) (Siagian 2002), tert-
butilated hydroxyquinon (TBHQ) dan tokoferol (Winarno 2008). Antioksidan
tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk
tujuan komersial.
7

Antioksidan BHT akan memberikan efek sinergis yang baik jika


digunakan bersama antioksidan BHA, oleh karena itu BHT banyak ditambahkan
pada produk pangan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah
ketengikan. Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih, stabil pada kondisi
penggunaan serta penyimpanan yang normal, dan digunakan secara luas karena
relatif murah (Herawati dan Akhlus 2006). Struktur kimia dari BHT dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia butylated hydroxytoluene (BHT)


(Sumber: Herawati dan Akhlus 2006)

Antioksidan BHT memilki nilai IC50 yang sangat kuat pada konsentrasi
5,85 ppm (Jacoeb et al. 2011). Penggunaan BHT secara terus menerus pada bahan
makanan diduga dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia, oleh
karena itu penggunaan BHT sudah mulai dilarang di beberapa negara antara lain
Jepang, Rumania, Swedia, dan Australia (Rita et al. 2009).

2.2.2.2 Antioksidan alami


Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur
molekulnya. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan
yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit
degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan.
Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun
terakhir ini (Kumalaningsih 2006).
Antioksidan alami banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, baik dalam
buah maupun sayuran. Antioksidan alami dalam buah dan sayuran berfungsi
untuk mencegah terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, mengikat logam yang
terlibat dalam reaksi radikal bebas, dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak
(Simamora 2011). Kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber
8

alami berasal dari tumbuhan. Senyawa antioksidan alami umumnya adalah


senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan
asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional (Pratt
dan Hudson 1990).

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan


Senyawa antioksidan dapat diketahui keberadaanya menggunakan uji
aktivitas antioksidan. Salah satu uji aktivitas antioksidan yang paling sering
digunakan adalah metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Metode ini
sering digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang
berperan sebagai antikosidan. Metode pengujian ini berdasarkan pada kemampuan
substansi antioksidan tersebut dalam menetralisir radikal bebas DPPH (Molyneux
2004).
Kristal DPPH yang sudah dilarutkan akan berperan sebagai radikal bebas
dan bereaksi dengan senyawa antioksidan, sehingga 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl
akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal dan tidak
berbahaya. Reaksi tersebut terjadi apabila radikal bebas bereaksi dengan senyawa
antioksidan secara maksimal. Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine
ditandai dengan berubahnya warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat
(Molyneux 2004). Mekanisme perubahan warna ungu menjadi kuning pada
radikal DPPH dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Mekanisme perubahan warna DPPH akibat pengaruh anitoksidan


(Sumber: Yuhernita dan Juniarti 2011)

Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji


aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal bebas DPPH adalah nilai effective
concentration (EC50) atau disebut nilai inhibitory concentration (IC50), yakni
9

konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Data yang


diperoleh kemudian diolah ke dalam persamaan regresi linier (Molyneux 2004).

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif


Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen zat aktif dalam
bahan menggunakan pelarut tertentu dan paling banyak digunakan. Ekstraksi
dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan atau pemisahan komponen bioaktif
suatu bahan menggunakan pelarut yang sesuai dan dipilih, sehingga komponen
yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Proses ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-
komponen aktif (Harborne 1984).
Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah waktu ekstraksi,
perbandingan antara jumlah sampel dan pelarut, ukuran bahan dan suhu ekstraksi.
Semakin lama waktu ekstraksi, maka proses tumbukan atau sentuhan antara bahan
dan pelarut semakin besar. Hal ini dapat mengoptimalkan komponen bioaktif
yang dipisahkan atau dikeluarkan dari bahan. Perbandingan antara jumlah bahan
dan pelarut berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi, jumlah pelarut yang
berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak, namun dalam jumlah tertentu
pelarut dapat bekerja secara optimal. Selama proses ekstraksi terjadi perpindahan
antara pelarut yang mengalir ke dalam sel bahan dan mengakibatkan zat yang
terkandung dalam bahan akan larut sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).
Metode ekstraksi yang paling banyak digunakan pada tumbuhan adalah
metode maserasi. Maserasi merupakan metode perendaman tanpa adanya
pengadukan dan dilakukan pada suhu ruang. Maserasi merupakan cara yang
sederhana dengan cara merendam sampel dalam pelarut. Pelarut menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga
zat aktif tersebut larut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
dengan pelarut (Guenter 1987 dalam Khunaifi 2010).
Ekstraksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan
ekstraksi khusus (Harborne 1987). Ekstraksi sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
10

b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;


c) Reperkolasi, yaitu metode perkolasi dimana hasilnya digunakan untuk
melarutkan sampel sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi menggunakan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

2.5 Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder adalah hasil akhir dari suatu proses metabolisme.
Metabolit sekunder sangat bervarisai dalam jumlah dan jenisnya dari setiap
organisme. Beberapa dari senyawa metabolit sekunder tersebut diantaranya dapat
memberikan efek fisiologis dan farmakologis seperti senyawa aktif atau
komponen bioaktif. Zat metabolit sekunder dapat diketahui jenisnya antara lain
kumarin, salanin, liatriol, nimbin, dan azadirachtin (Copriady et al. 2005).
Pemanfaatan dari zat metabolit sekunder sangat banyak. Metabolit
sekunder dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan, antibiotik, antikanker,
antikoagulan darah, menghambat efek karsinogenik (Copriady et al. 2005)
Metabolit sekunder yang bersifat antioksidatif diantaranya adalah alkaloid,
flavonoid, senyawa fenol, steroid dan terpenoid (Yuhernita dan Juniarti 2011).
Sofia (2006) dalam Kuncahyo dan Sunardi (2007) menambahkan bahwa senyawa
metabolit sekunder yang memiliki sifat sebagai antioksidan adalah flavonoid.
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh, buah-buahan,
sayuran, anggur, bir dan kecap. Metabolit sekunder juga dapat dimanfaatkan
untuk antiagen pengendali hama penyakit pada tanaman yang ramah lingkungan
(Samsudin 2008).
11

2.6 Komponen Bioaktif


Komponen bioaktif merupakan suatu senyawa fungsional yang terdapat
dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis maupun fisiologis.
Alkohol aromatik, misalnya total fenol, polifenol dan komponen asam, merupakan
kelompok besar dari komponen bioaktif (Kannan et al. 2009). Penapisan
komponen bioaktif dapat dilakukan dengan cara uji fitokimia yang meliputi
komponen alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,
dan tanin. Uji fitokimia bertujuan untuk menentukan ciri senyawa aktif yang dapat
dimanfaatkan maupun senyawa aktif penyebab efek racun dengan cara ekstrak
kasar (Harborne 1987). Senyawa fitokimia bukanlah senyawa yang termasuk ke
dalam zat gizi, namun dengan mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung
senyawa ini dapat memberikan pengaruh yang positif bagi kesehatan tubuh
(Astawan dan Kasih 2008).
2.6.1 Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik yang paling banyak
ditemukan di alam. Alkaloid bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen dalam bagian siklik (Harborne 1987). Alkaloid biasanya tidak berwarna,
bersifat optis aktif, berbentuk kristal, namun terkadang ditemukan dalam bentuk
cairan pada suhu ruang, dan terasa pahit di lidah (Harborne 1984).
Alkaloid merupakan hasil metabolit sekunder dengan kelompok molekul
substansi organik yang tidak bersifat penting bagi organisme yang
menghasilkannya atau memanfaatkannya. Senyawa alkaloid dikelompokan
menjadi tiga bagian, yaitu alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, dan
pseudoalkaloid. Alkaloid banyak terdapat pada tanaman maupun buah-buahan.
Alkaloid yang diperoleh dari tanaman mangrove pada umumnya bersifat
neurotoxin atau racun alami yang tidak terlalu membahayakan manusia (Bayu
2009). Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana di dalam
nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan
biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan
dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa
(Sastrohamidjojo 1996).
12

Senyawa alkaloid, yakni indol memiliki kemampuan untuk menghentikan


reaksi radikal bebas atau antioksidan secara efisien. Senyawa radikal turunan dari
senyawa amina ini memiliki tahap terminasi yang sangat lama (Yuhernita dan
Juniarti 2011). Alkaloid kerap kali bersifat racun bagi manusia, namun ada
sebagian yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga
dapat digunakan secara luas dalam dunia pengobatan dan kesehatan (Harborne
1984). Fungsi alkaloid dari beberapa penelitian misal hasil penelitian Porto et al.
(2009), menunjukan adanya aktivitas antioksidan serta perlindungan dari radiasi
sinar UV. Penelitian Yuhernita dan Juniarti (2011) juga menunjukkan adanya
aktivitas antioksidan yang tinggi dengan adanya alkaloid sebagai hasil dari
metabolit sekunder.
2.6.2 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid merupakan senyawa dengan kerangka karbonilnya berasal
dari enam satuan isoprene. Senyawa ini berstruktur siklik, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, berbentuk
kristal, memiliki titik lebur yang tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit
dikarakterisasi. Triterpenoid umumnya terasa pahit apabila terkena lidah.
Keberadaan triterpenoid dapat diketahui dengan uji menggunakan pereaksi
Liebermann-Burchard, yang ditandai hasil positif dengan memberikan warna biru-
hijau pada sampel (Harborne 1984).
Steroid merupakan turunan dari golongan senyawa triterpenoid. Steroid
alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan
saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
obat (Harborne 1987). Golongan triterpenoid/steroid ditemukan hampir pada
semua jenis tanaman mangrove. Golongan ini memiliki banyak manfaat, yaitu
antiradang, antiinflamasi, antikarsinogenik, dan pengontrol diabetes dalam fase uji
klinis (Bayu 2009).
2.6.3 Flavonoid
Flavonoid adalah sekelompok senyawa polifenol yang terdapat dalam
tanaman. Tanaman mangrove banyak mengandung senyawa flavonoid, karena
tanaman mangrove merupakan tanaman sejati yang memiliki daun, akar, batang
sejati. Flavonoid yang ditemukan pada tanaman mangrove berperan sebagai
13

antioksidan dengan menghambat peroksidasi dari lipid dan berpotensi


menginaktifkan oksigen triplet (Bayu 2009). Pada tanaman, flavonoid memiliki
beragam fungsi, diantaranya dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimikrobial,
fotoreseptor, dan skrining cahaya. Flavonoid terutama dalam bentuk turunan
glikosilat bertanggung jawab atas pemberian warna pada daun, bunga, dan buah
(Simamora 2011). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.

A B

Gambar 4 Struktur dasar flavonoid


(Sumber: Kumar et al. 2011a)

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar,


mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam
konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh satuan
tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid
sering terdapat sebagai glikosida. Flavonoid merupakan kandungan khas
tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu,
kulit, tepung sari, bunga, buah dan biji. Flavonoid bersifat polar karena
mengandung sejumlah hidroksil yang tidak terikat bebas atau suatu gula
(Markham 1988 dalam Silaban 2010).
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid yang mana pun, mungkin saja terdapat dalam satu
tumbuhan dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Menurut strukturnya,
semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada
tumbuhan berupa tepung putih dan mempunyai sejumlah sifat yang sama.
Golongan flavonoid dibagi menjadi 10 kelas, yaitu antosianin, proantosianidin,
flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon
(Harborne 1987). Sifat berbagai golongan flavonoid dapat dilihat pada Tabel 1.
14

Tabel 1 Sifat berbagai golongan flavonoid


Golongan Penyebaran Ciri khas
Flavonoid

Antosianin pigmen bunga merah, biru larut dalam air, panjang


dalam daun dan jaringan lain gelombang 515-545 nm

Proantosianidin tanwarna, dalam galih, dan menghasilkan antosianidin


daun tumbuhan berkayu

Flavonol tersebar luas dalam daun terdapat bercak kuning bila


disinari UV (350-386 nm)

Flavon seperti flavonol terdapat bercak coklat bila


disinari UV (330-350 nm)

Glikoflavon seperti flavonol mengandung gula dengan


ikatan C-C, tidak seperti
flavon biasa

Biflavonil terbatas hanya pada bercak redup pada


gimnospermae kromatogram BAA

Khalkon dan auron pigmen bunga kuning dengan ammonia berwarna


merah (370-410 nm)

Flavanon terdapat dalam daun berwarna merah kuat dengan


dan buah Mg/HCl, pahit

Isoflavon dalam akar, hanya terdapat tidak ada uji warna yang khas
dalam satu suku

(Sumber: Harborne 1987)

Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh misalnya


isoflavon dan biflavonol yang hanya terdapat pada beberapa suku tumbuhan,
tetapi beberapa kelas, yakni flavon dan flavonol tersebar di semua tumbuhan.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali ditemukan
dalam bentuk tunggal dalam jaringan. Selain itu, sering pula ditemukan campuran
flavonoid dengan berbeda kelas (Harborne 1967).
Konsumsi flavonoid dalam makanan berkisar 50-80 mg/hari (Silalahi
2006). Kebutuhan akan flavonol dan flavon sebesar 23 g/hari, disamping itu
quersetin flavonol menyumbangkan 16 mg/hari dalam asupan makanan.
Flavonoid dalam makanan diantaranya kuercetin, kaemferol, luteolin, morin, dan
15

katekin. Senyawa tersebut memiliki kemampuan mencegah kanker yang diduga


melalui sifatnya sebagai antioksidan, penangkap radikal bebas, dan
kemampuannya menonaktifkan kation polivalen. Sumber-sumber flavonoid lebih
banyak dihasilkan oleh sayur, buah-buahan, kacang, bunga, daun teh dan lain-lain
(Kumar et al. 2011a).
Flavonoid dalam tumbuhan memberikan manfaat yang besar bagi
tumbuhan tersebut. Flavonoid pada daun mengatur fungsi fisiologis agar dapat
bertahan dari gangguan hewan pemakan tumbuhan, infeksi bakteri, dan
melindungi dari sinar UV serta membantu dalam proses fotosintesis, transfer
energi, respirasi. Pigmen seperti antosianin juga memberikan warna pada daun
(Kumar et al. 2011b). Selain bagi tumbuhan, manusia pun dapat ikut merasakan
manfaat adanya flavonoid dalam makanan yang mereka konsumsi.
Flavonoid memiliki kemampuan antioksidan yang mampu mentransfer
sebuah elektron ke senyawa radikal bebas dan membentuk kompleks dengan
logam. Kedua mekanisme itu membuat flavonoid memiliki beberapa efek,
diantaranya menghambat peroksidasi lipid, menekan kerusakan jaringan oleh
radikal bebas dan menghambat beberapa enzim (Harborne 1987). Hubungan
antara total fenol dan senyawa flavonoid dengan aktivitas antioksidan pada
tumbuhan terutama buah-buahan adalah semakin meningkatnya konsentrasi total
fenol atau senyawa flavonoid, maka semakin tinggi pula tingkat aktivitas
antioksidan dari tumbuhan tersebut (Erukainure 2011).
Flavonoid melakukan aktivitas antioksidan dengan cara menekan
pembentukan spesies oksigen reaktif, baik dengan cara menghambat kerja enzim
maupun dengan mengikat logam yang terlibat dalam produksi radikal bebas.
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antioksidan sebagai berikut:
1) Flavonoid menghambat kerja enzim yang terlibat dalam reaksi produksi
anion superoksida, misalnya xanthin oksidase dan protein kinase.
Flavonoid juga menghambat kerja siklooksigenase, lipooksigenase,
mikrosomal monooksigenase, glutation-S-transferase, mitokondrial
suksinoksidase, dan NADH oksidase.
16

2) Sejumlah senyawa flavonoid efisien dalam mengikat logam, diantaranya


logam besi bebas dan tembaga bebas yang dapat meningkatkan
pembentukan spesies oksigen reaktif.
3) Flavonoid mempunyai nilai potensial reduksi yang rendah, sehingga
mudah mereduksi radikal superoksida, peroksil, alkoksil, dan hidroksil.
Peredaman radikal bebas oleh flavonoid dicantumkan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Struktur dasar senyawa flavonoid (A), Proses peredaman


radikal bebas oleh senyawa flavonoid (B)
(Sumber: Kumar et al. 2011a)

2.6.4 Saponin
Saponin adalah golongan glikosida dan sterol yang apabila dihidrolisis
secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut
sapogenin atau genin. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat
seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk
busa dan menghemolisis darah (Silaban 2009). Hemolisis darah merah oleh
saponin ini merupakan hasil interaksi antara saponin dengan senyawa-senyawa
yang terdapat pada permukaan membran sel, seperti kolesterol, protein dan
fosfolipid. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam
etanol dan metanol pekat yang dingin (Harborne 1984).
Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan
kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem
imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Beberapa
penilitian menunjukan bahwa ekstrak saponin yang diisolasi mampu digunakan
sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex pipiens, tetapi aman
bagi mamalia (Wiesman dan Chapagain 2003). Penelitian Cui et al. (2004)
17

menunjukkan bahwa ekstrak saponin mampu digunakan untuk mengatasi penyakit


kardiovaskuler seperti penyakit jantung, tonsillitis, dan hyperlipaemia.
2.6.5 Fenol hidrokuinon
Fenol merupakan komponen fenolat dengan struktur aromatik yang
berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan
dengan gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama
komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya
terdapat dalam vakuola sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di
antara komponen fenolat alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol
monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah
sedikit (Harborne 1984).
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, antara
lain kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Tujuan identifikasi,
quinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzoquinon, naftaquinon,
antraquinon, dan isoprenoid quinon. Tiga kelompok pertama umumnya
terhidrolisis bersifat fenol, sedangkan isoprenoid quinon terdapat pada respirasi
seluler (ubiquinon) dan fotosintesis (plastoquinon) (Harborne 1984).
2.6.6 Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh dan memiliki batang
sejati. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis. Tanin terkondensasi hampir terdapat disemua tumbuhan paku-
pakuan dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae terutama pada
tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis, penyebarannya terbatas hanya pada
tumbuhan berkeping dua. Tetapi kedua jenis tanin ini banyak dijumpai bersamaan
dalam tumbuhan yang sama. Sebagian besar tumbuhan yang banyak mengandung
tanin akan dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang pahit.
Salah satu fungsi tanin pada tumbuhan adalah sebagai penolak hewan pemakan
tumbuhan (Harborne 1987).
18

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2012.
Pengambilan sampel dilakukan di Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk,
Muara Karang, Jakarta Utara. Proses persiapan sampel, analisis fitokimia, dan
analisis aktivitas antikosidan dilakukan di Laboratorium Bahan Baku Teknologi
Hasil Perairan. Analisis proksimat (kadar air, abu, protein, dan lemak) dilakukan
di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Biokimia Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji
kadar flavonoid total dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun dan
kulit batang tumbuhan api-api (Avicennia marina) yang diperoleh dari Pantai
Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara. Sampel daun
api-api berasal dari pucuk daun dengan batasan antara ranting kedua dan kelima
secara acak, dengan warna daun seragam yang kemudian dihomogenkan,
sedangkan sampel kulit batang api-api diambil dengan ketinggian 160 cm di atas
permukaan laut dengan batang tumbuhan api-api berdiameter 5-10 cm, warna
batang daun putih kehijauan.
Satu jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah metanol sebagai
pelarut polar. Bahan kimia yang dipakai dalam uji aktivitas antioksidan adalah
metode l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), butylated hydroxytoluena (BHT)
sebagai standar, dan methanol pro analisis sebagai pelarut. Bahan untuk uji
fitokimia, yaitu H2SO4, akuades, kloroform p.a, anhidra asetat, asam sulfat pekat,
HCl 2 N, pereaksi Dregendorff, pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, serbuk
magnesium, alkohol, HCl 37 %, etanol 95 %, etanol 70 %, FeCl3 5, AlCl3 10 %,
natrium asetat 1M.
Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, talenan, timbangan digital,
sudip, gegep, cawan porselen, oven, desikator, tabung reaksi, gelas erlenmeyer,
19

tabung Kjeldahl, buret, mortar, kertas saring Whatman 42, alumunium foil,
kompor listrik, corong kaca, pipet mikro, pipet tetes, gelas ukur, gelas piala,
rotary vacuum evaporator, vortex, inkubator, penangas air, spektrofotometer UV-
VIS, orbital shaker, kapas bebas lemak, tabung soxhlet, plastik, homogenizer,
botol vial, waterbath, syringe dan alat penguji DPPH.

3.3 Prosedur Penelitian


Rangkaian kegiatan penelitian meliputi pengambilan sampel tumbuhan
api-api, preparasi sampel, dan analisis kimia yang terdiri atas uji proksimat dan
fitokimia. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi, uji kadar
flavonoid total serta uji aktivitas antioksidan dengan DPPH. Proses penelitian
secara umum dapat dilihat pada diagram alir Gambar 6.

Kulit batang dan daun api-api

Penjemuran alami selama ± 3 hari

Penghalusan sampel

Pengujian proksimat Pengekstraksian


(1:3) (b/v)

Maserasi selama 24 jam sebanyak 16 kali


ulangan menggunakan metanol p.a

Penyaringan

Filtrat Residu

Evaporasi

Pengujian Pengujian kadar Pengujian aktivitas


kualitatif fitokimia flavonoid total antioksidan

Gambar 6 Proses penelitian secara garis besar


20

3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel


Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel pohon api-api
(Avicennia marina) dari Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara
Karang, Jakarta Utara. Setelah sampel daun dan kulit batang pohon api-api
diperoleh lalu dibawa dengan plastik ber-sealer, agar terhindar dari udara luar.
Kemudian sampel dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 3 hari
dengan paparan sinar matahari langsung dan diangin-anginkan pada malam hari
untuk menjaga komponen aktif tidak ikut menguap saat pengeringan. Selanjutnya
dilakukan preparasi untuk memisahkan perbagian kulit batang dan daun pohon
api-api (Jacoeb et al. 2011).
Setelah proses pengeringan, sampel dihancurkan sampai menjadi bagian-
bagian kecil atau serbuk agar memudahkan proses penapisan dan proses
pengekstraksian. Untuk menjaga stabilitas dari kualitasnya, sampel disimpan
dalam lemari pendingin yang dibungkus dengan plastik ber-sealer agar tetap
terjaga dan terhindar dari kontaminan.

3.3.2 Analisis proksimat


Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar
(crude) yang meliputi kadar air menggunakan metode oven, abu menggunakan
tanur, protein menggunakan metode Kjeldahl dan lemak menggunakan metode
sokhlet.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)


Analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang
terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama adalah mengeringkan cawan porselen
dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam
desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian
ditimbang. Sampel seberat 5 gram ditimbang dalam cawan, setelah terlebih dahulu
dihaluskan. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu 102-105 0C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan
ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.
21

Perhitungan kadar air :


% Kadar air = B - C x 100%
B-A

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)


B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)


Analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada
suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.
Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu
sekitar 105 0C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke
dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram
ditimbang dalam cawan porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik
sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600
o
C selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dan dibiarkan sampai
dingin dan kemudian ditimbang.

% Kadar abu = C - A x 100%


B-A

Keterangan : A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)


B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)
C = Berat cawan abu porselen + sampel setelah dikeringkan (gram)
c) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan dari protein kasar
(crude protein) pada suatu bahan. Tahapan yang dilakukan dalam analisis protein
terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
1) Tahap destruksi
Sampel ditimbang seberat 1 gram. Kemudian sampel dimasukkan ke
dalam labu kjeldahl. Setengah butir katalis selenium dimasukkan ke dalam tabung
tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut
dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambah 10 ml air.
Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih.
22

2) Tahap destilasi
Larutan yang telah jernih didinginkan kemudian ditambah 50 ml akuades
dan 20 ml NaOH 40 %, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 2 % yang mengandung
indikator bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1% dengan perbandingan
2:1. Destilasi dilakukan dengan menambahkan 50 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ke
dalam alat destilasi hingga tertampung 40 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan
hasil destilat berwarna hijau kebiruan.
3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan
pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan
dicatat. Perhitungan kadar protein api-api adalah sebagai berikut:

% Nitrogen = (ml HCl sampel – ml HCl blanko) x N HCl x 14 x 100%


mg berat awal

% Kadar Protein = % nitrogen x faktor konversi (6,25)

d) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)


Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan
dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu
lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan
tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung
soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat
destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 0C dengan menggunakan pemanas
listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga
semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di
ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu
lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C, setelah
itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
23

Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai beikut.

% Kadar lemak = W3 - W2 x100%


W1

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)


W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

3.3.3 Ekstraksi dari tumbuhan api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Tahap ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan teknik maserasi
menggunakan pelarut metanol pro analisis. Sampel tumbuhan api-api ditimbang
sebanyak 25 gram masing-masing untuk daun dan kulit batang dari hasil
pengeringan dan dimasukkan dalam erlenmeyer. Pelarut metanol ditambahkan
sampai sampel terendam dengan perbandingan bahan dan pelarut adalah 1:3 (b/v),
lalu Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan alumunium foil. Sampel dimaserasi
menggunakan orbital shaker selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan ekstrak yang
diperoleh disaring dengan kertas saring Whatman 42 untuk memisahkan filtrat
dan residu yang dihasilkan. Maserasi dilakukan berulang sebanyak 16 kali. Hasil
penggabungan filtrat yang didapat dievaporasi pada suhu 37 oC.
Filtrat yang diperoleh hasil evaporasi disimpan dalam botol ekstrak untuk
dianalisis, yaitu uji fitokimia kualitatif, uji kadar flavonoid total dan uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH. Sebelum dilakukan pengujian aktivitas
antioksidan ekstrak kasar yang diperoleh dilakukan perhitungan untuk nilai
rendemen hasil ekstrakan.

3.3.4 Uji komponen fitokimia (Harborne 1987)


Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang
terdapat pada ekstrak kasar pohon api-api untuk masing-masing perlakuan. Uji
fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid,
saponin, fenol hidrokuinon, dan tanin. Metode uji ini berdasarkan Harborne
(1987).

a) Uji alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi
24

Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi
Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi
Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

b) Uji steroid/triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform 99,98 % dalam tabung
reaksi. Asetat pekat diencerkan menggunakan air dan alkohol ditambahkan
sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat 3 tetes ke dalam
campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid dan triterpenoid yaitu
dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian
berubah menjadi biru dan hijau.
c) Uji flavonoid
Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume yang
sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel
mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning
atau jingga pada lapisan amil alkohol.

d) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)


Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 %. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambah 2 tetes larutan FeCl3 5 %.
Hasil uji positif sampel mengandung fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
e) Tanin
Sejumlah sampel ditambahkan FeCl3 kemudian campuran dihomogenkan.
Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada campuran.
f) Uji Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
25

3.3.5 Uji kadar flavonoid total


Sebanyak 0,5 ml ekstrak yang telah diencerkan dengan etanol p.a (1:10
g/ml) ditambah 1,5 ml etanol p.a; 0,1 ml AlCl3 10 %; 0,1 ml natrium asetat 1 M;
dan 2,8 ml akuades. Campuran larutan tersebut dibiarkan selama 30 menit dan
diukur absorbansinya pada 417 nm. Kuersetin digunakan untuk membuat kurva
kalibrasi. Kandungan total flavonoid dalam ekstrak etanol diekspresikan sebagai
mg kuersetin/gram serbuk kering.

3.3.6 Uji aktivitas antioksidan


Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan menggunakan metode DPPH
berdasarkan kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas
stabil l,l-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Blanko dibuat dari larutan methanol
dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm. Sebanyak 0,01 mg ekstrak api-
api dibutuhkan untuk membuat larutan stok dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan
800 ppm. Sebanyak 0,0004 mg butylated hydroxytoluena (BHT) sebagai standar
ditimbang lalu ditambah 50 ml metanol dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 ppm.
Selanjutnya 0,0098 mg DPPH diencerkan dengan 25 ml metanol. Selanjutnya
pemberian DPPH pada larutan stok dan BHT untuk masing-masing konsentrasi.
Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit.
Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada
panjang gelombang 517 nm.
Persentase penghambatan aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai
absorbansi sampel. Persamaan regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi
sampel dan presentase penghambatan aktivitas radikal bebas. Aktivitas
antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT
dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan formulasi sebagai
berikut:

absorbansi blanko – absorbansi sampel


% inhibisi = x 100 %
absorbansi blanko

Nilai konsentrasi penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50 %


(IC50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linier. Nilai IC50
26

diperoleh dengan memasukkan y=50 serta nilai A dan B yang telah diketahui.
Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung dengan persamaan : y = A + B Ln (x)
Y = persen inhibisi
X = konsentrasi sampel (ppm)
A = slope, B = intercept
27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)


Pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) merupakan tumbuhan
sejati yang hidup di kawasan mangrove. Morfologi tumbuhan api-api yang
diambil dari Pantai Ekowisata Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta
Utara dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Daun pohon api-api yang diambil dan dijadikan sebagai sampel

Daun api-api yang didapat pada bagian atas berwarna hijau muda dan
bagian bawah berwarna abu-abu keperakan. Bentuknya elips dengan panjang rata-
rata daun yang didapat berkisar 5-10 cm. Daun api-api memiliki ruas atau tulang
daun yang sejajar dan teratur. Teksurnya tidak lunak apabila disentuh dengan
tangan. Kulit batang api-api yang digunakan berwarna cokelat muda, tipis dan
berserat. Pada bagian dalam terlihat warna yang lebih cerah, yaitu putih kehijauan
dan sedikit berair (Lampiran 1).
Proses karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku
yang digunakan. Karakterisasi bahan baku ini tidak terbatas pada sifat fisik saja,
tetapi juga pada sifat kimia, karena sifat fisik maupun kimia dari bahan baku yang
digunakan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karakterisasi sifat kimia
dilakukan untuk mengetahui zat yang terkandung di dalam bahan, misalnya
kandungan nilai gizi yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan
manusia.
28

4.2 Kandungan Gizi


Kandungan gizi pada daun dan kulit batang api-api dapat diketahui melalui
uji proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya kandungan air,
abu, lemak, dan protein. Tumbuhan api-api banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar baik sebagai sumber makanan maupun untuk kesehatan. Tumbuhan
berdaun sejati ini memiliki nilai gizi yang cukup tinggi untuk dijadikan sumber
makanan. Berikut hasil data proksimat dari tumbuhan api-api dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Hasil data proksimat tumbuhan api-api (Avicennia marina


(Forks.)Vierh.); Daun; Kulit batang

1) Kadar air
Daun api-api memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 69,2 %
dan kulit batang api-api sebesar 55 % (Lampiran 2). Nilai tersebut tidak jauh
berbeda dengan hasil analisis kadar air yang telah diuji sebelumnya oleh Jacoeb et
al. (2011), yakni kadar air daun api-api sebesar 68,16 %. Hasil tersebut sedikit
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Wibowo et al. (2009), yaitu
sebesar 70,59 %. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena adanya faktor internal
dan eksternal. Faktor internal sangat mempengaruhi perbedaan yang terjadi, yakni
sifat tumbuhan yang berada di wilayah Jakarta dengan wilayah Subang. Faktor
eksternal seperti habitat dan kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi
perbedaan komposisi kimia api-api.
29

2) Kadar abu
Hasil pengukuran kadar abu menggunakan bobot kering pada daun dan
kulit batang api-api menunjukkan bahwa daun api-api mengandung mineral atau
zat anorganik sebesar 14,91 % dan kulit batang api-api memiliki kadar abu
sebesar 9,6 % (Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Wibowo et al.(2009) bahwa kadar abu pada daun api-api sebesar 15,61
%. Hasil serupa dikemukakan oleh Jacoeb et al. (2011), yaitu sebesar 13,97 %.
Tinggi dan rendahnya kadar abu pada tumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan
habitat dan lingkungan yang berbeda satu sama lainnya. Setiap lingkungan
perairan dapat menyediakan sumber mineral yang berbeda-beda bagi organisme
akuatik yang hidup didalamnya. Tumbuhan api-api merupakan tumbuhan sejati
yang hidupnya hanya mampu di wilayah mangrove atau estuari. Bengen (2000)
menjelaskan bahwa wilayah estuari merupakan wilayah perairan dimana terjadi
peralihan atau pencampuran antara air tawar dan air laut yang menyebabkan
banyaknya mineral yang terkandung di dalamnya.

3) Kadar protein
Hasil pengukuran bobot kering kadar protein menunjukkan bahwa daun
api-api dan kulit batangnya memiliki kadar protein sebesar 11,04 % dan 6,4 %
(Lampiran 2). Hasil tersebut sedikit berbeda menurut Wibowo et al. (2009) bahwa
protein api-api sebesar 17,31 %. Berbeda halnya dengan hasil penelitian Jacoeb et
al. (2011) yang menyatakan bahwa daun api-api memiliki kandungan protein
sebesar 11,53 %. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi adanya beberapa faktor,
yaitu habitat, umur, dan laju metabolisme. Daun memiliki kadar protein yang
tinggi karena di daun terjadi proses fotosintesis yang membutuhkan banyak
jaringan serta organ yang bekerja. Kulit batang cenderung memiliki kadar protein
yang rendah dari daun dikarenakan kulit batang hanya terdapat jaringan sistem
pembuluh yang bertitik beratkan pada kerja sistem angkut mineral, unsur hara dan
menjaga kesetimbangan akibat adanya garam.

4) Kadar lemak
Kadar lemak daun api-api 2,21 % dan kulit batang api-api sebesar 1,55 %
(Lampiran 2). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Jacoeb et
30

al. (2011), yaitu kadar lemak daun api-api sebesar 2,45 %. Berbeda halnya dengan
penelitian Wibowo et al. (2009), yaitu sebesar 1,16 %. Perbedaan tersebut
dibenarkan oleh Yunizal et al. (1998) bahwa kadar lemak yang rendah dapat
disebabkan karena kandungan air dalam daun dan kulit batang pohon api-api
sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun
drastis. Faktor lain seperti umur, habitat, dan perbedaan lokasi pengambilan
sampel juga menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi kadar lemak suatu
bahan.

4.3 Komponen Bioaktif Ekstrak Kasar


Hasil ekstraksi komponen bioaktif api-api menunjukkan bahwa ekstrak
kasar menggunakan pelarut metanol berwarna coklat kehijauan dan berbau khas
ekstrak tumbuhan. Rendemen ekstrak kasar yang dihasilkan cukup tinggi untuk
daun 17,53 % dan kulit batang api-api 12,07 % (Lampiran 2). Uji fitokimia yang
dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, dan tanin. Hasil uji fitokimia pada masing-masing ekstrak
kasar api-api dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar api-api ( Avicennia marina)
Ekstrak
Uji Fitokimia Standar (warna)
Daun Kulit Batang

Alkaloid:
-Dragendorff + - Endapan merah atau jingga
-Meyer + - Endapan putih kekuningan
-Wagner - - Endapat coklat

Steroid/triterpenoid ++ ++ Perubahan dari merah


menjadi biru/hijau

Flavonoid ++ ++ Lapisan amil alkohol


berwarna merah/kuning/hijau

Saponin - - Terbentuk busa

Fenol hidrokuinon - + Warna hijau atau hijau biru

Tanin + ++ Terbentuk warna merah

Keterangan: (-) hasil negatif; (+) hasil ada namun tidak pekat; (++) hasil ada dan pekat
31

a) Alkaloid
Komponen alkaloid didefinisikan sebagai substansi dasar yang memiliki
satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem
siklis, yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Alkaloid ditemukan pada daun
api-api, namun tidak ditemukan pada kulit batang api-api. Alkaloid umumnya
larut pada pelarut organik (non polar), sedangkan beberapa kelompok
pseudoalkaloid dan protoalkaloid larut dalam air (polar) (Lenny 2006). Penelitian
ini dilakukan dengan pelarut metanol (polar) yang justru menunjukkan adanya
kandungan alkaloid pada daun api-api walaupun hasil yang ditunjukkan (Tabel 2)
tidak terlalu pekat, hal ini menunjukkan bahwa daun api-api tidak mengandung
alkaloid (sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung
protoalkaloid dan pseudoalkaloid saja. Alkaloid tidak dihasilkan pada kulit batang
api-api dengan ditandai hasil negatif pada Tabel 2.
b) Steroid/triterpenoid
Hasil uji fitokimia untuk daun dan kulit batang api-api menunjukkan
adanya senyawa steroid/triterpenoid, ditunjukkan oleh hasil yang cukup pekat
(Tabel 2). Steroid/triterpenoid dapat diketahui keberadaanya dengan perkursor
kolesterol yang bersifat non polar (Harborne 1984). Hasil pada Tabel 2
menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid walaupun menggunakan
pelarut metanol yang bersifat polar, hal ini dapat terjadi mengingat metanol
merupakan pelarut polar yang dapat mengekstrak komponen lainnya, meskipun
bersifat non polar ataupun semipolar. Schmidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
c) Flavonoid
Hasil pengujian flavonoid terhadap daun dan kulit batang api-api (Tabel 2)
menunjukkan bahwa bagian tersebut sama-sama memiliki kandungan flavonoid,
hal itu ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pekat pada lapisan amil
alkohol yang telah diuji (Lampiran 3). Flavonoid merupakan senyawa polar yang
dapat larut pada pelarut polar, hal ini dibuktikan dengan terlarutnya senyawa
flavonoid menggunakan pelarut metanol. Flavonoid umumnya merupakan
komponen larut air, sehingga dapat diekstrak dengan pelarut polar dan tertinggal
32

pada lapisan aqueous (Harborne 1984). Flavonoid merupakan senyawa aktif yang
potensial dan sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan
Kasih 2008), dan hal ini pun terbukti dari hasil penelitian Simamora (2011) yang
menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari buah apel
memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat.
d) Tanin
Hasil pengujian fitokimia untuk uji tanin menunjukkan bahwa daun dan
kulit batang api-api sama-sama mengandung tanin. Hasil uji tanin untuk daun
terlihat ada, namun tidak pekat apabila dibandingkan dengan hasil yang
ditunjukkan oleh kulit batang api-api (Tabel 2). Tanin di dalam tumbuhan dapat
berfungsi sebagai penyamak apabila jaringan rusak, karena sifat tanin yang
mampu menyambung silangkan protein. Sebagian besar tumbuhan yang banyak
bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan, karena rasanya yang pahit.
Fungsi utama tanin di dalam tumbuhan adalah penolak hewan pemakan tumbuhan
(Harborne 1987). Tumbuhan api-api termasuk tumbuhan mangrove yang memiliki
rasa pahit dan banyak digunakan penduduk sekitar untuk obat nyamuk.

4.4 Aktivitas Antioksidan


Hasil uji aktivitas antioksidan dengan DPPH menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm menunjukkan bahwa daun dan
kulit batang api-api memiliki aktivitas antioksidan. Hasil uji aktivitas antioksidan
ekstrak daun dan ekstrak kulit batang api-api dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak daun dan ekstrak kulit
batang api-api (Avicennia marina)
% Inhibisi
Sampel IC50 (ppm)
200 400 600 800
(ppm)

Ekstrak Daun 18,75 19,55 20,23 21,48 36,35


Ekstrak Kulit Batang 7,84 9,25 10,00 10,34 51,51
33

Tabel 3 menunjukkan bahwa persen inhibisi tertinggi, baik daun maupun


kulit batang api-api dimiliki oleh konsentrasi tertinggi, yaitu 800 ppm dan nilai
terendah untuk persen inhibisi dimiliki oleh konsentrasi terendah, yaitu 200 ppm.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan, semakin
tinggi pula daya hambat yang dilakukan sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC 50
yang dihasilkan oleh ekstrak daun lebih rendah dari ekstrak kulit batang, yaitu
36,35 ppm untuk daun dan 51,51 ppm untuk kulit batang. Ekstrak daun lebih
banyak menghilangkan 50 % aktivitas DPPH apabila dibandingkan dengan
ekstrak kulit batang. Molyneux (2004) menyatakan bahwa nilai IC50 adalah
konsentrasi yang menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH.
Kedua ekstrak kasar daun dan kulit batang pohon api-api memiliki
kekuatan penghambat yang berbeda-beda satu sama lainnya. Hubungan aktivitas
antioksidan antara ekstrak kasar daun dan ekstrak kasar kulit batang api-api
dengan persen inhibisinya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik perbandingan aktivitas antioksidan antara ekstrak kasar


daun dan kulit batang api-api dengan persen inhibisinya;
Daun; Kulit Batang

Gambar 9 menunjukkan daun api-api memiliki aktivitas yang cukup baik


bila dibandingkan kulit batang. Hal ini diduga karena adanya kandungan senyawa
aktif yang cukup banyak terdapat dalam daun, seperti alkaloid,
steroid/triterpenoid, dan flavonoid (Tabel 2).
Penelitian ini menggunakan larutan BHT sebagai pembanding dalam uji
aktivitas antioksidan. Jacoeb et al. (2011) mengemukakan bahwa nilai IC50 BHT
sebesar 5,85 ppm, dimana hasil tersebut merupakan hasil terbaik untuk aktivitas
34

antioksidan. Larutan BHT yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan


nilai IC50 sebesar 3,17 ppm. Nilai IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai
yang diperoleh Jacoeb et al. (2011) dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan
bahwa antioksidan BHT merupakan antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat
(<50 ppm). Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji aktivitas antioksidan larutan BHT

% Inhibisi
Sampel IC50 (ppm)
2 4 6 8
(ppm)

Larutan BHT 22,05 37,73 49,66 58,30 3,17

Tabel 4 menunjukkan hasil larutan BHT memiliki persen inhibisi tertinggi


pada konsentrasi tertinggi, yaitu 8 ppm dan persen inhibisi terendah pada
konsentrasi terendah, yaitu 2 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan, semakin tinggi pula daya hambat yang dilakukan
sebagai aktivitas antioksidan. Nilai IC50 BHT sebesar 3,17 ppm, merupakan nilai
terbaik apabila dibandingkan dengan nilai IC50 ekstrak daun dan kulit batang api-
api (Tabel 3). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini menghasilkan hubungan
antara konsentrasi BHT dengan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada
Gambar 10.

Gambar 10 Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan persen inhibisi

Gambar 10 menunjukkan hubungan antara konsentrasi BHT dengan


persen inhibisinya. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin
35

tinggi pula persen inhibisi atau daya hambatnya. Ekstrak daun dan kulit batang
pohon api-api pada Gambar 9 sama-sama menunjukkan hasil yang serupa dengan
larutan BHT pada Gambar 10, grafik akan bergerak naik ke atas dengan naiknya
konsentrasi yang digunakan. Nilai IC50 yang ditunjukkan pada Tabel 3 untuk daun
dan kulit batang api-api, serta larutan BHT pada Tabel 4 sama-sama menunjukkan
bahwa ketiga ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat
(<50 ppm), sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun dan kulit batang api-
api dapat digunakan sebagai antioksidan alami pengganti antioksidan sintetik
seperti antioksidan BHT.

4.5 Kandungan Flavonoid Api-api sebagai Antioksidan


Hasil penelitian menunjukkan daun dan kulit batang pohon api-api
mengandung senyawa aktif flavonoid (Tabel 2) yang efektif digunakan sebagai
antioksidan. Hal ini terlihat jelas dengan adanya aktivitas antioksidan yang
ditunjukkan oleh ekstrak kasar pada Gambar 9 dan Tabel 3, ekstrak kasar daun
dan kulit batang api-api memiliki nilai IC50 yang cukup tinggi. Wibowo et al.
(2009) menyatakan bahwa Avicennia marina terutama bagian daun dan kulit
batang mengandung senyawa flavonoid, hal ini dibuktikan dengan adanya
perubahan warna yang cukup pekat pada uji fitokimia.
Hasil pengukuran kadar flavonoid yang terkandung di dalam daun api-api
sebesar 1,18 % dan kulit batang api-api sebesar 0,67 %. Menurut Erukainure
(2011), semakin tinggi kandungan flavonoid total suatu bahan, maka semakin
tinggi aktivitas antioksidannya. Adanya kandungan flavonoid yang tinggi pada
daun api-api serta nilai IC50 yang rendah (36,35 ppm), menunjukkan bahwa daun
api-api memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan
kulit batang api-api yang memiliki nilai IC50 sebesar 51,51 ppm. Molyneux (2004)
menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dikategegorikan kuat apabila memiliki
nilai IC50 dibawah 50 ppm (<50 ppm). Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara kadar total flavonoid yang terkandung dengan aktivitas
antioksidannya. Penelitian tersebut dilakukan terhadap beberapa tanaman yang
diduga memiliki aktivitas antioksidan seperti Aegle marmelos dan daun seledri
36

dengan melihat kadar total flavonoid yang terkandung di dalamnya. Kadar total
flavonoid yang terkandung di beberapa tanaman ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan flavonoid yang terkandung dalam
daun api-api lebih tinggi bila dibandingkan tanaman Aegle marmelos, seledri dan
tempuyung, namun lebih rendah dari tanaman jati belanda. Kadar total flavonoid
kulit batang api-api juga lebih tinggi dari kulit batang Aegle marmelos. Perbedaan
hasil tersebut dikarenakan adanya perbedaan jenis tanaman, habitat, umur
tanaman, jumlah sampel yang diekstrak, dan lamanya pengekstraksian.

Tabel 5 Kadar total flavonoid beberapa tanaman (%)

Jenis tanaman
Bagian
tanaman Api-api Aegle marmelosa Seledrib Jati Belandac Tempuyungc

Daun 1,18 0,824 0,51 3,0480 0,7537


Kulit Batang 0,67 0,140 - - -
Keterangan: a Mujeeb et al. (2010)
b Rafi et al. (2006)
c Widyastuti (2010)

Hasil beberapa penelitian tersebut sama-sama menunjukkan bahwa kadar


total flavonoid yang terkandung dalam bahan memiliki korelasi terhadap aktivitas
antioksidannya. Tanaman jati belanda memiliki aktivitas antioksidan tertinggi bila
dibandingkan api-api, Aegle marmelos, seledri dan tempuyung. Hal ini sesuai
dengan kadar total flavonoid yang terkandung di dalam tanaman jati belanda yang
lebih tinggi dari tanaman lainnya.
Adanya senyawa flavonoid yang mempunyai gugus hidroksi tersubstitusi
terhadap gugus –OH dan –OR, maka flavonoid cocok dijadikan sebagai
antioksidan (Waji dan Sugrani 2009). Golongan flavonoid terbesar di dalam daun
api-api adalah antosianin, flavonol, flavon, dan glikoflafon. Antosianin
merupakan pigmen pewarna daun yang paling penting dan larut dalam air (polar)
(Harborne 1987). Hal ini terlihat jelas pada saat dilakukan proses ekstraksi, daun
api-api mengeluarkan warna hijau tua yang cukup pekat (Lampiran 5), warna
hijau tersebut diduga karena terdapat banyak pigmen antosianin yang ikut larut
pada saat ekstraksi berlangsung. Golongan flavonoid lainnya tersebar luas dan
membantu penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis.
37

Flavonol yang terkandung dalam daun dan kulit batang api-api


mengandung kuersetin dan glikosida. Kuersetin berperan dalam menangkap
radikal bebas dan mengkhelat ion logam transisi, hal ini ditunjukkan dari aktivitas
antikosidan yang dilakukannya. Daun dan kulit batang pohon api-api
menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat baik, terlihat adanya perubahan
warna yang dapat dilihat secara kasat mata. Warna yang ditunjukkan adalah warna
kuning setelah diberi radikal bebas DPPH (Lampiran 3). Warna kuning
menunjukkan reaksi antara radikal bebas yang terikat dengan senyawa antioksidan
(Molyneux 2004). Mekanisme perubahan warna DPPH yang terjadi akibat adanya
reaksi penangkapan radikal bebas oleh senyawa antioksidan dapat dilihat pada
Gambar 3.
Senyawa polifenol misalnya flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang
berkaitan erat dengan struktur rantai samping dan juga substitusi pada cincin
aromatiknya. Kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas DPPH dapat
mempengaruhi kekuatan antioksidannya. Aktivitas peredaman radikal bebas
senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dan kulit batang pohon api-api
diduga akibat pengaruh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam molekul inti
flavonoidnya. Akibat pengaruh jumlah dan posisi hidrogen fenolik itulah yang
mengakibatkan daun dan kulit batang api-api memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat tinggi.
Flavonoid dalam daun dan kulit batang pohon api-api mengandung banyak
atom hidrogen yang mampu menggantikan atau mengkhelat logam radikal bebas
pemicu spesies pembentuk kanker. Pengkhelatan logam radikal bebas oleh
flavonoid dapat dilihat pada Gambar 12.

F-OH + R F-O + RH

Gambar 11 Mekanisme pengkhelatan logam radikal bebas oleh flavonoid


(Sumber: Kumar et al. 2011a)

Penelitian ini menggunakan radikal bebas DPPH yang mampu ditangkap


dan disubstitusikan dengan gugus hidrogen oleh senyawa antioksidan seperti
flavonoid. Senyawa flavonoid (F) melepaskan gugus hidrogen (H) dan mengikat
serta menggantikan radikal bebas (R). Radikal bebas DPPH menjadi nonaktif dan
38

terhindar dari pemicu penyakit degeneratif seperti kanker. Tingginya aktivitas


antioksidan yang dimiliki terbukti dengan adanya perubahan warna dari ungu
menjadi kuning, hal itu menandakan banyaknya gugus hidroksil yang mampu
mengikat logam radikal bebas.
Penelitian pada daun surian yang dilakukan oleh Yuhernita dan Juniarti
(2011) menggunakan metode DPPH dan pelarut metanol menujukkan bahwa daun
surian memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik. Hal ini diduga karena
adanya kandungan flavonoid di dalamnya. Jacoeb et al. (2011) menguji aktivitas
antioksidan pada daun api-api yang diambil dari Desa Belanakan, Kota Subang,
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, yaitu daun api-api memiliki aktivitas
antioksidan yang cukup kuat akibat pengaruh kandungan flavonoid di dalamnya.
Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Afzal et al. (2011) yang
mendeteksi adanya kandungan flavonoid dalam daun Avicennia marina
(Forks.)Vierh. yang menjadi salah satu komponen penyusun utama senyawa
antioksidan dan antifungial serta mengobati penyakit kulit.
39

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penghitungan bobot kering didapatkan daun pohon api-api mengandung
air 69,2 %, abu 14,91 %, protein 11,04 %, dan lemak 2,21 %. Sedangkan kulit
batang pohon api-api mengandung air 55 %, abu 9,6 %, protein 6,4 %, dan lemak
1,55 %. Ekstrak kasar daun mengandung senyawa bioaktif alkaloid,
steroid/triterpenoid, flavonoid, dan tanin. Ekstrak kasar kulit batang mengandung
steroid/triterpenoid, flavonoid, fenol hidrokuinon, dan tanin.
Kadar flavonoid total daun 1,18 % dan kulit batang 0,67 %. Nilai IC50
ekstrak daun pohon api-api sebesar 36,35 ppm dan ekstrak kulit batang pohon api-
api sebesar 51,51 ppm. Adanya kandungan flavonoid yang tinggi pada daun api-
api serta nilai IC50 yang rendah, menunjukkan bahwa daun api-api memiliki
aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan kulit batang api-
api. Hal tersebut membuktikan bahwa daun api-api dapat digunakan sebagai
antioksidan dan menjadi antioksidan pengganti BHT, karena sama-sama memiliki
aktivitas antioksidan yang kuat (<50 ppm). Selain sebagai antioksidan, flavonoid
dalam daun dan kulit batang api-api dapat digunakan sebagai antimikrobial,
antifungial, antiinflamasi dan obat-obatan yang dapat dimanfaatkan dalam bidang
kesehatan, farmasi serta kecantikan seperti kosmetika.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa fraksinasi senyawa aktif lainnya, yaitu alkaloid dan
triterpenoid yang dapat digunakan sebagai antimikroba. Pengujian senyawa
flavonoid pada daun dan kulit batang pohon api-api terhadap anti-inflamasi juga
perlu dilakukan mengingat daun dan kulit batang tersebut biasa digunakan
penduduk setempat sebagai obat luka dan obat cacar.
40

DAFTAR PUSTAKA

Afzal M, Masood R, Jan G, Majid A, Fiaz M, Shah AH, Alam J, Mehdi FS,
Abbasi FM, Ahmad H, Islam M, Inamullah, Amin NU. 2011. Efficacy
of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. leaves extracts againts some
atmospheric fungi. African Journal of Biotechnology 10(52): 10790-
10794.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of


Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT


Gramedia

Bandaranayake WM. 1999. Economic, traditional and medicinal uses of


mangroves. Australian Institut of Marine Science (28).

Bayu A. 2009. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber produk alam laut.
Oseana.Vol XXXIV No.2 (15-23).

Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry. Ed rev ke-4. Verlag:
Springer.

Bengen DG. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Bogor:
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –IPB.

Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –IPB.

Cahyadi W. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Cai W, Gu X, Tang J. 2010. Extraction, purification, and characterisation of the


flavonoids from Opuntia milpa alta skin. Journal of Czech Food
Science. 28(2):108-116.

Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin


dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:13-
15.

Cui CB, Xu C, Gu QQ, Chu SD, Ji HH, Jing G. 2004. A new furostanol saponin
from the water-extract of Dioscorea nipponica Mak., the raw material
of the traditional Chinese herbal medicine wei ao xin. Chinese
Chemical Letters 15(10):1191-1194.
41

Erukainure OL, Oke OV, Ajiboye AJ, Okafor OY. 2011. Nutritional qualities and
phytochemical constituents of Clerodendrum volubile, a tropical non-
conventional vegetable. International Food Research Journal
18(4):1393-1399.

Harborne JB. 1967. Comparative Biochemistry of The Flavonoids. London:


Academic Press Inc.

Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah.


Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.

Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT sebagai antioksidan minyak sawit pada
perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8.

Jacoeb AM, Purwaningsih S, Rinto. 2011. Anatomi komponen bioaktif dan


aktivitas antioksidan daun mangrove Api-api (Avicennia marina).
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 14(2): 143-152.

Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer


effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open
Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.

Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press.

Khunaifi M. 2010. Uji aktivitas antibakteri ekstral daun binahong (Anredera


cordifolia (Ten.)Steenis) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa.[skripsi]. Malang: Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Kumalaningsih S. 2006. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Kumar B, Sandhar HK, Tiwari P, Salhan M, Sharma P. 2011a. A review of


phytochemistry and pharmacology of flavonoids. International
Pharmaceutica Sciencia (IPS) 1(1):26-29.

Kumar JIN, Sajish PR, George B, Viyol S, Kumar RN. 2011b. Nutrient dynamic
in an Avicennia marina (Forsk.) Vierh. mangrove forest in
Vamleshwar, Near Narmada Estuary, West Coast of Gujarat, India.
Global Journal of Enviromental Research Vol 5(1): 32-38.

Kuncahyo I, Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh


(Averrhoa bilimbi, L.) terhadap 1,1 diphenyl-2- pycrylhidrazil (DPPH).
Makalah Seminar Nasional Teknologi.
42

Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida. [makalah].


Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)


for estimating antioksidan activity. Songklanakarin Journal Science
Technology 26(2):211-219.

Mujeeb M, Siddique NA, Najmi AK, Akram M. 2010. Evaluation of antioxidant


activity, quantitative estimation of phenols and flavonoids in different
parts of Aegle marmelos. African Journal of Plant Science 4(1): 001-
005

Musthafa Z, Lawrence GS. 2000. Peran antioksidan dalam penghambatan


aterosklerosis pada tikus wistar diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran 127:32-33.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh
M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Oktariana EW. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol rimpang lengkuas
merah (Alpinia galanga) dengan metode DPPH (1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil). [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.

Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidants not exploited comercially. Di
dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier
Applied Science.

Purnobasuki H. 2004. Potensi Mangrove sebagai Tanaman Obat. Surabaya:


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Airlangga

Rafi M, Arief Z. 2006. Metode cepat penentuan kadar flavonoid total dalam obat
herbal secara spektrofotometri derivative ultraviolet. Ringkasan Hasil
Penelitian Dosen Muda, Institut Pertanian Bogor.

Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari
daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan
tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI2009. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober
2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8.
43

Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning


(Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi
Indonesia 16(3):136-140.

Rohman A, Riyanto S, Utari D. 2006. Aktivitas antioksidan, kandungan fenolik


total dan kandungan flavonoid total ekstrak etil asetat buah mengkudu
serta fraksi-fraksinya. Majalah Farmasi Indonesia 17(3):136-142.

Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai


Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat.

Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada

Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on steroid contents


determined in beef. Journal of Food Chemistry 76:83-88.

Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Medan: Universitas Sumatera


Utara.

Silaban LW. 2009. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri dari Kulit
Buah Sentul (Sandoricum Koetjape (Burm. F.) Merr) Terhadap
Beberapa Bakteri Secara In Vitro. [skripsi]. Medan: Fakultas Farmasi,
Universitas Sumatera Utara

Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta : Kanisius.

Simamora A. 2011. Flavonoid dalam apel dan aktivitas antioksidannya. [thesis].


Universitas Kristen Krida Wacana.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada


Universitas press.

Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid
(quercetin). [makalah]. Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA,
Universitas Hasanuddin.

Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan


pohon mangrove api-api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan
obat. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB.

Widyastuti N. 2010. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode CUPRAC,


DPPH, dan FRAP serta korelasinya dengan fenol dan flavonoid pada
enam tanaman. [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.

Wiesman Z, Chapagain BP. 2003. Laboratory evaluation of natural saponin as a


bioactive agent against Aedes aegypti and Culex pipiens. Dengue
Bulletin 27:168-173.
44

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.

Yuhernita, Juniarti. 2011. Analisis senyawa metabolit sekunder dari ekstrak


methanol daun surian yang berpotensi sebagai antioksidan. Makara
Sains 15(1).

Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998.


Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil
Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Yusuf S. 2010. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa triterpenoid dari
kulit batang kayu api-api betina (Avicennia Marina Nessh). Jurnal
Penelitian Sains,13(2) (C) 13205.
45

LAMPIRAN
46

Lampiran 1 Gambar sampel pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)

(Sampel daun)

(Sampel Kulit Batang)


47

Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat dan rendemen ekstrak


a) Kadar air (berat basah)

Daun : % Kadar air U1 = 3,47 gram x 100 % = 69,4 %


5 gram
3,45 gram
% Kadar air U2 = x 100 % = 69,0 %
5 gram

% Kadar air total = U1+U2 = 69,2 %

2,77 gram
Kulit Batang: % Kadar air U1 = x 100 % = 55,4 %
5 gram

% Kadar air U2 = 2,73 gram x 100 % = 54,6 %


5 gram
% Kadar air total = U1+U2 = 55,0 %

b) Kadar abu (berat kering)


4,59
Daun : % Kadar abu = (100-69,2) x 100 % = 14,91 %

Kulit Batang: % Kadar abu = 4,32


x 100 % = 9,6 %
(100-55)
c) Kadar protein (berat kering)

Daun : % Kadar protein = 3,4 x 100 % = 11,04 %


(100-69,2)
Kulit Batang : % Kadar protein = 2,9
x 100 % = 6,4 %
(100-55)
d) Kadar lemak (berat kering)

Daun : % Kadar lemak = 0,68 x 100 % = 2,21 %


(100-69,2)
Kulit batang : % Kadar lemak = 0,7 x 100 % = 1,55 %
(100-55)

• Perhitungan rendemen ekstrak


Hasil ekstrak
% Rendemen ekstrak = x 100 %
Berat awal sampel
4,3812 gram
% Rendemen ekstrak daun = x 100 % = 17,525 %
25 gram

% Rendemen ekstrak kulit batang = 3,0163 gram x 100 % = 12,065 %


25 gram
48

Lampiran 3 Gambar hasil uji fitokimia daun dan kulit batang pohon api-api
(Avicennia marina), serta perubahan warna pada reaksi
peredeman DPPH

(Sampel Daun api-api) (Sampel Kulit batang api-api)

(Ekstrak daun + DPPH) (Ekstrak kulit batang + DPPH)

(Ekstrak daun + DPPH) (Ekstrak kulit batang + DPPH)

(BHT + DPPH) (Blanko + DPPH)


49

Lampiran 4 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya

a. DPPH 0,001 M dalam 20 ml (Mr = 493,32 g/mol)


Konsentrasi =
Berat DPPH 1000
0,001 M = BeratMr
DPPH ml 1000
volume
394,32 20
Berat DPPH = 0,0079 gram

Sebanyak 0,0079 mg kristal DPPH dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml.

b. Standar BHT 8 ppm sebanyak 50 ml


Stok BHT 8 ppm = (8 mg/L) x (1 L/1000 ml) = 0,008/20 = 0,0004 mg
Sebanyak 0,4 gram kristal BHT dilarutkan dalam metanol p.a hingga 50 ml.

• BHT 2 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 2 ppm = V2 x 8 ppm
= 5 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 4 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 4 ppm = V2 x 8 ppm
= 10 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 6 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 6 ppm = V2 x 8 ppm
= 15 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 8 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 8 ppm = V2 x 8 ppm
= 20 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml

c. Larutan ekstrak 800 ppm sebanyak 50 ml


Stok ekstrak 800 ppm = (800 mg/L) = (0,8 gram/1000 ml)
= 0,004 gram/50 ml
Ekstrak sebanyak 0,004 gram dilarutkan dalam metanol p.a hingga 50 ml.

• Ekstrak 200 ppm = V1 x M1 = V2 x M2


= 20 ml x 200 ppm = V2 x 800 ppm
= 5 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 400 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 400 ppm = V2 x 800 ppm
= 10 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 600 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 600 ppm = V2 x 800 ppm
= 15 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 800 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 800 ppm = V2 x 800 ppm
= 20 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
50

Lampiran 5 Gambar-gambar selama proses ekstraksi

Proses maserasi dengan orbital shaker

Proses penyaringan hasil maserasi

Hasil akhir maserasi


51

Lampiran 6 Perhitungan persen inhibisi dan nilai IC50


(Absorbansi blanko-absorbansi sampel)
• Persen inhibisi BHT: Absorbansi blanko x 100 %

BHT 2 ppm = (0,686-0,88)/0,88 x 100 % = 22,045 %


BHT 4 ppm = (0,548-0,88)/0,88 x 100 % = 37,727 %
BHT 6 ppm = (0,443-0,88)/0,88 x 100 % = 49,659 %
BHT 8 ppm = (0,367-0,88)/0,88 x 100 % = 58,295 %
• IC50 BHT
y = 12,068x + 11,761
50 = 12,068x + 11,761
38,329 = 12,068x
x = 3,17 ppm
IC50 untuk BHT adalah 3,17 ppm

• Persen inhibisi ekstrak daun


Ekstrak 2 ppm = (0,715-0,88)/0,88 x 100 % = 18,75 %
Ekstrak 4 ppm = (0,708-0,88)/0,88 x 100 % = 19,5455 %
Ekstrak 6 ppm = (0,702-0,88)/0,88 x 100 % = 20,2273 %
Ekstrak 8 ppm = (0,691-0,88)/0,88 x 100 % = 21,4773 %

• IC50 Ekstrak daun


y = 0,8864x + 17,784
50 = 0,8864x + 17,784
67,784 = 0,8864x
x = 36,35 ppm
IC50 untuk daun adalah 36,35 ppm

• Persen inhibisi ekstrak kulit batang


Ekstrak 2 ppm = (0,811-0,88)/0,88 x 100 % = 7,8409 %
Ekstrak 4 ppm = (0,799-0,88)/0,88 x 100 % = 9,2045 %
Ekstrak 6 ppm = (0,792-0,88)/0,88 x 100 % = 10 %
Ekstrak 8 ppm = (0,789-0,88)/0,88 x 100 % = 10,3409 %

• IC50 Ekstrak kulit batang


y = 0,8295x + 7,2727
50 = 0,8295x + 7,2727
42,73 = 0,8295x
x = 51,51 ppm
IC50 untuk kulit batang adalah 51,51 ppm
KANDUNGAN FLAVONOID KULIT BATANG DAN DAUN
POHON API-API (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) SEBAGAI
SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN

SILVIA HANDAYANI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
40

DAFTAR PUSTAKA

Afzal M, Masood R, Jan G, Majid A, Fiaz M, Shah AH, Alam J, Mehdi FS,
Abbasi FM, Ahmad H, Islam M, Inamullah, Amin NU. 2011. Efficacy
of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. leaves extracts againts some
atmospheric fungi. African Journal of Biotechnology 10(52): 10790-
10794.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of


Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist.
Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Ansel. 1989. Pengatur Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT


Gramedia

Bandaranayake WM. 1999. Economic, traditional and medicinal uses of


mangroves. Australian Institut of Marine Science (28).

Bayu A. 2009. Hutan mangrove sebagai salah satu sumber produk alam laut.
Oseana.Vol XXXIV No.2 (15-23).

Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry. Ed rev ke-4. Verlag:
Springer.

Bengen DG. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Bogor:
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –IPB.

Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –IPB.

Cahyadi W. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Cai W, Gu X, Tang J. 2010. Extraction, purification, and characterisation of the


flavonoids from Opuntia milpa alta skin. Journal of Czech Food
Science. 28(2):108-116.

Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin


dari kulit buah jeruk nipis (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis 2:13-
15.

Cui CB, Xu C, Gu QQ, Chu SD, Ji HH, Jing G. 2004. A new furostanol saponin
from the water-extract of Dioscorea nipponica Mak., the raw material
of the traditional Chinese herbal medicine wei ao xin. Chinese
Chemical Letters 15(10):1191-1194.
41

Erukainure OL, Oke OV, Ajiboye AJ, Okafor OY. 2011. Nutritional qualities and
phytochemical constituents of Clerodendrum volubile, a tropical non-
conventional vegetable. International Food Research Journal
18(4):1393-1399.

Harborne JB. 1967. Comparative Biochemistry of The Flavonoids. London:


Academic Press Inc.

Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah.


Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.

Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT sebagai antioksidan minyak sawit pada
perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8.

Jacoeb AM, Purwaningsih S, Rinto. 2011. Anatomi komponen bioaktif dan


aktivitas antioksidan daun mangrove Api-api (Avicennia marina).
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 14(2): 143-152.

Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer


effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open
Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.

Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press.

Khunaifi M. 2010. Uji aktivitas antibakteri ekstral daun binahong (Anredera


cordifolia (Ten.)Steenis) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa.[skripsi]. Malang: Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Kumalaningsih S. 2006. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Kumar B, Sandhar HK, Tiwari P, Salhan M, Sharma P. 2011a. A review of


phytochemistry and pharmacology of flavonoids. International
Pharmaceutica Sciencia (IPS) 1(1):26-29.

Kumar JIN, Sajish PR, George B, Viyol S, Kumar RN. 2011b. Nutrient dynamic
in an Avicennia marina (Forsk.) Vierh. mangrove forest in
Vamleshwar, Near Narmada Estuary, West Coast of Gujarat, India.
Global Journal of Enviromental Research Vol 5(1): 32-38.

Kuncahyo I, Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing wuluh


(Averrhoa bilimbi, L.) terhadap 1,1 diphenyl-2- pycrylhidrazil (DPPH).
Makalah Seminar Nasional Teknologi.
42

Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida. [makalah].


Medan: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)


for estimating antioksidan activity. Songklanakarin Journal Science
Technology 26(2):211-219.

Mujeeb M, Siddique NA, Najmi AK, Akram M. 2010. Evaluation of antioxidant


activity, quantitative estimation of phenols and flavonoids in different
parts of Aegle marmelos. African Journal of Plant Science 4(1): 001-
005

Musthafa Z, Lawrence GS. 2000. Peran antioksidan dalam penghambatan


aterosklerosis pada tikus wistar diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran 127:32-33.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh
M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Oktariana EW. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol rimpang lengkuas
merah (Alpinia galanga) dengan metode DPPH (1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil). [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.

Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidants not exploited comercially. Di
dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier
Applied Science.

Purnobasuki H. 2004. Potensi Mangrove sebagai Tanaman Obat. Surabaya:


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Airlangga

Rafi M, Arief Z. 2006. Metode cepat penentuan kadar flavonoid total dalam obat
herbal secara spektrofotometri derivative ultraviolet. Ringkasan Hasil
Penelitian Dosen Muda, Institut Pertanian Bogor.

Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari
daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan
tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI2009. Prosiding
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober
2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8.
43

Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun kemuning


(Murraya paniculata (L) Jack) secara in-vitro. Majalah Farmasi
Indonesia 16(3):136-140.

Rohman A, Riyanto S, Utari D. 2006. Aktivitas antioksidan, kandungan fenolik


total dan kandungan flavonoid total ekstrak etil asetat buah mengkudu
serta fraksi-fraksinya. Majalah Farmasi Indonesia 17(3):136-142.

Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit Sekunder dari Tanaman Mimba sebagai


Bahan Insektisida Botani. Lembaga Pertanian Sehat.

Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah mada

Schmidt G, Steinhart H. 2001. Impact of extraction solvents on steroid contents


determined in beef. Journal of Food Chemistry 76:83-88.

Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Medan: Universitas Sumatera


Utara.

Silaban LW. 2009. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri dari Kulit
Buah Sentul (Sandoricum Koetjape (Burm. F.) Merr) Terhadap
Beberapa Bakteri Secara In Vitro. [skripsi]. Medan: Fakultas Farmasi,
Universitas Sumatera Utara

Silalahi J. 2006. Makanan Fungsional. Yogyakarta : Kanisius.

Simamora A. 2011. Flavonoid dalam apel dan aktivitas antioksidannya. [thesis].


Universitas Kristen Krida Wacana.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada


Universitas press.

Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid
(quercetin). [makalah]. Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA,
Universitas Hasanuddin.

Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan


pohon mangrove api-api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan
obat. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB.

Widyastuti N. 2010. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode CUPRAC,


DPPH, dan FRAP serta korelasinya dengan fenol dan flavonoid pada
enam tanaman. [skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.

Wiesman Z, Chapagain BP. 2003. Laboratory evaluation of natural saponin as a


bioactive agent against Aedes aegypti and Culex pipiens. Dengue
Bulletin 27:168-173.
44

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.

Yuhernita, Juniarti. 2011. Analisis senyawa metabolit sekunder dari ekstrak


methanol daun surian yang berpotensi sebagai antioksidan. Makara
Sains 15(1).

Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998.


Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-Hasil
Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Yusuf S. 2010. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa triterpenoid dari
kulit batang kayu api-api betina (Avicennia Marina Nessh). Jurnal
Penelitian Sains,13(2) (C) 13205.
45

LAMPIRAN
46

Lampiran 1 Gambar sampel pohon api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.)

(Sampel daun)

(Sampel Kulit Batang)


47

Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat dan rendemen ekstrak


a) Kadar air (berat basah)

Daun : % Kadar air U1 = 3,47 gram x 100 % = 69,4 %


5 gram
3,45 gram
% Kadar air U2 = x 100 % = 69,0 %
5 gram

% Kadar air total = U1+U2 = 69,2 %

2,77 gram
Kulit Batang: % Kadar air U1 = x 100 % = 55,4 %
5 gram

% Kadar air U2 = 2,73 gram x 100 % = 54,6 %


5 gram
% Kadar air total = U1+U2 = 55,0 %

b) Kadar abu (berat kering)


4,59
Daun : % Kadar abu = (100-69,2) x 100 % = 14,91 %

Kulit Batang: % Kadar abu = 4,32


x 100 % = 9,6 %
(100-55)
c) Kadar protein (berat kering)

Daun : % Kadar protein = 3,4 x 100 % = 11,04 %


(100-69,2)
Kulit Batang : % Kadar protein = 2,9
x 100 % = 6,4 %
(100-55)
d) Kadar lemak (berat kering)

Daun : % Kadar lemak = 0,68 x 100 % = 2,21 %


(100-69,2)
Kulit batang : % Kadar lemak = 0,7 x 100 % = 1,55 %
(100-55)

• Perhitungan rendemen ekstrak


Hasil ekstrak
% Rendemen ekstrak = x 100 %
Berat awal sampel
4,3812 gram
% Rendemen ekstrak daun = x 100 % = 17,525 %
25 gram

% Rendemen ekstrak kulit batang = 3,0163 gram x 100 % = 12,065 %


25 gram
48

Lampiran 3 Gambar hasil uji fitokimia daun dan kulit batang pohon api-api
(Avicennia marina), serta perubahan warna pada reaksi
peredeman DPPH

(Sampel Daun api-api) (Sampel Kulit batang api-api)

(Ekstrak daun + DPPH) (Ekstrak kulit batang + DPPH)

(Ekstrak daun + DPPH) (Ekstrak kulit batang + DPPH)

(BHT + DPPH) (Blanko + DPPH)


49

Lampiran 4 Perhitungan pembuatan larutan stok dan pengencerannya

a. DPPH 0,001 M dalam 20 ml (Mr = 493,32 g/mol)


Konsentrasi =
Berat DPPH 1000
0,001 M = BeratMr
DPPH ml 1000
volume
394,32 20
Berat DPPH = 0,0079 gram

Sebanyak 0,0079 mg kristal DPPH dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml.

b. Standar BHT 8 ppm sebanyak 50 ml


Stok BHT 8 ppm = (8 mg/L) x (1 L/1000 ml) = 0,008/20 = 0,0004 mg
Sebanyak 0,4 gram kristal BHT dilarutkan dalam metanol p.a hingga 50 ml.

• BHT 2 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 2 ppm = V2 x 8 ppm
= 5 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 4 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 4 ppm = V2 x 8 ppm
= 10 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 6 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 6 ppm = V2 x 8 ppm
= 15 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• BHT 8 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 8 ppm = V2 x 8 ppm
= 20 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml

c. Larutan ekstrak 800 ppm sebanyak 50 ml


Stok ekstrak 800 ppm = (800 mg/L) = (0,8 gram/1000 ml)
= 0,004 gram/50 ml
Ekstrak sebanyak 0,004 gram dilarutkan dalam metanol p.a hingga 50 ml.

• Ekstrak 200 ppm = V1 x M1 = V2 x M2


= 20 ml x 200 ppm = V2 x 800 ppm
= 5 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 400 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 400 ppm = V2 x 800 ppm
= 10 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 600 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 600 ppm = V2 x 800 ppm
= 15 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
• Ekstrak 800 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 20 ml x 800 ppm = V2 x 800 ppm
= 20 ml dilarutkan dalam metanol p.a hingga 20 ml
50

Lampiran 5 Gambar-gambar selama proses ekstraksi

Proses maserasi dengan orbital shaker

Proses penyaringan hasil maserasi

Hasil akhir maserasi


51

Lampiran 6 Perhitungan persen inhibisi dan nilai IC50


(Absorbansi blanko-absorbansi sampel)
• Persen inhibisi BHT: Absorbansi blanko x 100 %

BHT 2 ppm = (0,686-0,88)/0,88 x 100 % = 22,045 %


BHT 4 ppm = (0,548-0,88)/0,88 x 100 % = 37,727 %
BHT 6 ppm = (0,443-0,88)/0,88 x 100 % = 49,659 %
BHT 8 ppm = (0,367-0,88)/0,88 x 100 % = 58,295 %
• IC50 BHT
y = 12,068x + 11,761
50 = 12,068x + 11,761
38,329 = 12,068x
x = 3,17 ppm
IC50 untuk BHT adalah 3,17 ppm

• Persen inhibisi ekstrak daun


Ekstrak 2 ppm = (0,715-0,88)/0,88 x 100 % = 18,75 %
Ekstrak 4 ppm = (0,708-0,88)/0,88 x 100 % = 19,5455 %
Ekstrak 6 ppm = (0,702-0,88)/0,88 x 100 % = 20,2273 %
Ekstrak 8 ppm = (0,691-0,88)/0,88 x 100 % = 21,4773 %

• IC50 Ekstrak daun


y = 0,8864x + 17,784
50 = 0,8864x + 17,784
67,784 = 0,8864x
x = 36,35 ppm
IC50 untuk daun adalah 36,35 ppm

• Persen inhibisi ekstrak kulit batang


Ekstrak 2 ppm = (0,811-0,88)/0,88 x 100 % = 7,8409 %
Ekstrak 4 ppm = (0,799-0,88)/0,88 x 100 % = 9,2045 %
Ekstrak 6 ppm = (0,792-0,88)/0,88 x 100 % = 10 %
Ekstrak 8 ppm = (0,789-0,88)/0,88 x 100 % = 10,3409 %

• IC50 Ekstrak kulit batang


y = 0,8295x + 7,2727
50 = 0,8295x + 7,2727
42,73 = 0,8295x
x = 51,51 ppm
IC50 untuk kulit batang adalah 51,51 ppm
RINGKASAN

SILVIA HANDAYANI. C34080083. Kandungan Flavonoid Kulit Batang dan


Daun Pohon Api-api (Avicennia marina (Forks.)Vierh.) sebagai Senyawa
Aktif Antioksidan. Dibimbing oleh NURJANAH dan RUDDY SUWANDI.

Api-api merupakan tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat


untuk makanan maupun obat-obatan, tanaman ini diambil dari Pantai Ekowisata
Mangrove, Pantai Kapuk, Muara Karang, Jakarta Utara. Tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk menentukan komponen bioaktif, kadar flavonoid total,
dan aktivitas antioksidan daun dan kulit batang pohon api-api. Pengujian yang
dilakukan meliputi ekstraksi komponen bioaktif, analisis proksimat, uji aktivitas
antioksidan dengan metode DPPH, uji kadar flavonoid total dan uji fitokimia.
Bobot kering daun pohon api-api mengandung air 69,2 %, abu 14,91 %,
protein 11,04 %, dan lemak 2,21 %. Bobot kering kulit batang pohon api-api
mengandung air 55 %, abu 9,6 %, protein 6,4 %, dan lemak 1,55 %. Ekstrak kasar
daun mengandung senyawa bioaktif alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid, dan
tanin. Ekstrak kasar kulit batang mengandung steroid/triterpenoid, flavonoid,
fenol hidrokuinon, dan tanin. Kadar flavonoid total daun 1,18 % dan kulit batang
0,67 %. Nilai IC50 ekstrak daun pohon api-api sebesar 36,35 ppm dan ekstrak kulit
batang pohon api-api sebesar 51,51 ppm. Adanya kandungan flavonoid yang
tinggi pada daun api-api serta nilai IC50 yang rendah, menunjukkan bahwa daun
api-api memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat bila dibandingkan dengan
kulit batang api-api. Hal tersebut membuktikan bahwa daun api-api dapat
digunakan sebagai antioksidan dan menjadi antioksidan pengganti BHT, karena
sama-sama memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (<50 ppm).

Anda mungkin juga menyukai