Anda di halaman 1dari 31

PENETAPAN KADAR FLAVONOID TOTAL DAN AKTIVITAS

ANTIOKSIDAN SERTA UJI TOKSISITAS FRAKSI DAUN


KEBEN (Barringtonia asiatica)

PROPOSAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi

VICKA NADILLA

NIM : 61608100816062

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MITRA BUNDA PERSADA

BATAM

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di bumi ini diperkirakan terdapat 40.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah

tersebut sekitar 30.000 spesies hidup di kepulauan Indonesia dan sekurang-

kurangnya 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 300 spesies yang

telah dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional dan industri obat

tradisional (Kemenkes RI, 2007)

Tubuh manusia dapat mengalami reaksi oksidasi yang berlebihan sehingga

terbentuk radikal bebas yang sangat aktif dapat merusak struktur sel, fungsi sel,

dan dapat mengakibatkan penyakit degenerative, seperti penuaan, artritis, kanker

dan penyakit lainnya (Winarsi, 2007). Tumbuhan dapat menjadi sumber potensial

antioksidan dengan adanya senyawa-senyawa yang terkandung didalam jaringan

tanaman, diantaranya yaitu senyawa flavonoid maupun fenolik (Redha, 2010).

Salah satu kekayaan hutan alam Indonesia adalah tanaman keben (Barringtonia

asiatica) merupakan sumber daya alam yang belum ada literatur atau penelitian

yang menyatakan khasiat atau kegunaan dari daun keben (Barringtonia asiatica)

ini di dalam dunia pengobatan dan sifat toksiknya.

Kepulauan Riau, Tanaman Keben (Barringtonia asiatica) banyak tumbuh di

daerah pesisir pantai yang belum banyak dimanfaatkan, dan keberadaan tanaman

keben (Barringtonia asiatica) yang masih sedikit kemudian kurangnya data yang
berhubungan dengan manfaat dari tanaman keben (Barringtonia asiatica)

tersebut maka dilakukanlah penelitian ini.

Pada penelitian yang telah dilakukan terkait dengan tanaman Keben

(Barringtonia asiatica) menurut (Sedjati, 2019) menciptakan motif baru dengan

mengambil tumbuhan Keben (Barringtonia asiatica) sebagai motif dan pewarna

alam pada kain panjang batik tulis. Menurut ( irman eka et Al., 2012). Ekstrak

biji (Barringtonia asiatica) mengandung senyawa saponin yang dapat

memingsankan maupun mematikan ikan kerapu Macan (Ephinephelus

fuscogutattus). Menurut diketahui bahwa sediaan obat kumur ekstrak biji keben

(Barringtonia asiatica) dengan konsentrasi 15 % memiliki efek antibakteri yang

lebih baik. Menurut (Bustanussalam & Simanjuntak, 2009) fraksi 19 ekstrak

metanol biji (Barringtonia asiatica) dengan eluent 20% EtOAc dan 805 MeOH

memiliki aktivitas insektisida tertinggi terhadap larva S. litura dengan nilai LC50

sebear 0,182% pada 12 hari setelah aplikasi, selain itu, fraksi 19 ekstrak metanol

biji (Barringtonia asiatica) menurunkan konsumsi pakan dan bobot larva uji.

Oleh sebab itu untuk mengetahui lebih lanjut kandungan kimiawi pada daun

keben (Barringtonia asiatica) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

kadar flavonoid total dan aktivitas antioksidan dan toksisitas fraksi dari daun

keben (Barringtonia asiatica).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebuah permasalahan

sebagai berikut :
1.2.1 Berapakah kadar flavonoid total daari fraksi daun Keben (Barringtonia

asiatica) ?

1.2.2 Apakah fraksi daun Keben (Barringtonia asiatica) memiliki aktivitas

antioksidan ?

1.2.3 Berapakah nilai IC 50 pada uji toksisitas ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui kadar senyawa flavonoid total dari fraksi daun Keben

(Barringtonia asiatica)

1.3.2 Mengetahui aktivitas antioksidan dari fraksi daun Keben (Barringtonia

asiatica) ?

1.3.3. Mengetahui nilai IC 50 pada uji toksisitas

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat menambah informasi

yang berguna tentang manfaat dari tumbuhan khususnya daun Keben

(Barringtonia asiatica) dalam penetapan kadar flavonoid total, aktivitas

antioksidan dan uji toksisitas sehingga dapat memberikan manfaat :

1.4.1 Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama pendidikan dan

menambah pengetahuan tentang kadar flavonoid total dan aktivitas

antioksidan serta uji toksisitas fraksi daun Keben (Barringtonia

asiatica).
1.4.2 Bagi Institusi

Sebagai sumber data ilmiah atau rujukan bagi peneliti selanjutnya.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Memberi informasi kepada masyarakat tentang kegunaan fraksi

daun Keben (Barringtonia asiatica) sebagai antioksidan alami.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Klasifikasi Buah Keben hasil identifikasi tumbuhan di laboratorium

Herbarium Medanense, adalah sebagai berikut (Bogem, 2015)


Kingdom : Plantae

Phylum : Tracheophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Lechythidales

Famili : Lecythidaceae

Spesies : Barringtonia asiatica L

Gambar 1. Daun Keben Barringtonia asiatica Kurz (Anonim 2020)

2.1.2 Morfologi Tanaman

Tumbuhan keben (Barringtonia asiatica) termasuk dalam suku

Lecythidaceae. Tumbuhan ini banyak dijumpai di sekitar pantai, sepanjang

sunga atau di hutan mangrove pada ketinggian 350 m di atas permukaan laut.

Di beberapa daerah, tumbuhan ini sering disebut sebagai tumbuhan beracun,

karena di beberapa daerah buahnya digunakan sebagai racun ikan. Misalnya


masyarakat Papua menggunakan biji keben untuk menangkap ikan. Bijinya

diparut kemudian disebar dipermukaan selokan yang dalamanya mencapai 1

meter sehingga ikan akan pingsan dan mudah ditangkap dipermukaan air

(Lemmes & Bunyapraphatsara, 2003)

Pemanfaatan tumbuhan ini berbeda-beda di setiap Negara dan daerah.

Bagian tumbuhan yang digunakan adalah biji, buah dan daunnya. Di Filipina

daunnya digunakan sebagai obat untuk sakit perut. Masyarakat Indonesia dan

Indo Cina menggunakan buah atau bijinya sebagai racun ikan. Sedangkan suku

Aborigin di Australia menggunakan tumbuhan ini sebagai racun ikan dan

sebagai obat sakit kepala (Asmaedy samah, 1985).

2.3 Nama Umum

Keben, Butun, Bitung, Hutu, Wutuna, Mojiu, Keptun, Witung, Hutun


2.4 Manfaat

Pada tanaman Keben (Barringtonia asiatica) daunnya biasa digunakan

untuk mengobati sakit perut dan rematik, untuk buah-buahan dan biji-bijian

digunakan sebagai racun ikan, seementara biji bertindak sebagai vermifuge

dan kulit adalah obat untuk tuberkolosis (Ragasa et al., 2012)

2.5 Flavonoid

Flavonoid adalah golongan fenol alam yang luas dalam tumbuhan.

Flavonoid merupakan suatu senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil atau gugus gula. Dengan adanya gula yang terikat pada flavonoid ini,

maka cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air, dan
demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang baik untuk

glikosidanya (Markham, 1988). Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok

senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan dialam. Senyawa-senyawa ini

merupakan ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna

kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan (Markham, 1988). Flavonoid

memiliki berbagai khasiat salah satunya sebagai antioksidan. Kadar metabolit

sekunder seperti flavonoid dapat bervariasi dikarenakan banyak faktor seperti

tempat tumbuh tanaman, metoda ekstaksi, pelarit pengekstraksi dan sebagainya

(Martinus & Verawati, 2016). Sejumlah tanaman obat yang mengandung

flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus,

antiradang. Pengelompokkan flavonoid berdasarkan pada cincin heterosiklik-

oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar (Robinson, 1995).

Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan daun, akar, kayu, kulit, bunga,

buah dan biji. Flavonoid terdiri dari bebebrapa golongan utama antara lain

antosianin, flavanol dan flavon yang tersebar luas dalam tumbuhan. Sedangkan

khalkon, auron, flavonol, dihidrokhalkon dan isoflavon penyebarannya hanya

terbatas pada golongan tertentu saja (Harborne, 1987)

2.6 Metode Ektraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang

diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen

dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Pada umumnya

ekstraksi akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan
dengan pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia

maka akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga

dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Ahmad,

2006).

Proses pemisahan senyawa dari simplisia dilakukan dengan menggunakan

pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan

senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu senyawa akan

larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan senyawa kimia

akan mudah larut pada pelarut yang relative sama kepolarannya. Kepolaran suatu

pelarut ditentukan oleh besar konstanta dielektriknya, yaitu semakin besar nilai

konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin besar. menurut

(Ahmad, 2006) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut

antara lain :

1. Selektifitas, yaitu pelarut hanya melarutkan komponen target yang

diinginkan dan bukan komponen lain.

2. Kelarutan, yaitu kemampuan pelarut untu melarutkan ekstrak yang lebih

besar dengan sedikit pelarut

3. Toksisitas, yaitu pelarut tidak beracun

4. Penguapan, yaitu pelarut yang digunakan mudah diuapkan

5. Ekonomis, yaiu harga pelarut relatif murah


Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode tergantung

dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang diinginkan.

Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi. Maserasi adalah

perendaman bahan dalam suatu pelarut. Metode ini dapat menghasilkan ekstrak

dalam jumlah banyak serta terhindar dari perubahan kimia senyawa-senyawa

tertentu karena pemanasan (Pratiwi, 2009).

Secara umum metode ekstraksi dibagi dua macam yaitu ekstraksi tunggal

dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah melarutkan bahan yang akan

diekstraksi dengan satu jenis pelarut. Kelebihan dari metode ini yaiu lebih

sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama, akan tetapi rendemen yang

dihasilkan sangat sedikit. Adapun metode ekstraksi bertingkat adalah melarutkan

bahan atau sampel dengan menggunakan dua atau lebih pelarut. Kelebihan dari

metode ekstraksi bertingkat ini ialah dapat menghasilkan rendemen dalam jumlah

yang bessar dengan senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya (Sudarmadji et

al., 2007).

2.7 Maserasi

Maserasi adalah cara ektraksi simplisia dengan cara merendam dalam

pelarut pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi metabolit dapat

diminimalisasi. Pada maserasi, terjadi proses keseimbangan konsentrasi antara

larutan diluar dan didalam sel sehingga diperlukan penggantian pelarut secara

berulang (Hanani, 2015)


Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada suhu

kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman melewati

dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan

didalam sel dan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak

keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi).

Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan

didalam sel dan larutan diluar sel (Hanani, 2015).

2.8 Fraksinasi

Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada suatu

ekstrak dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling bercampur.

Pelarut yang umumnya dipakai untuk fraksinasi adalah n-heksan, etil asetat dan

methanol. Untuk menarik lemak dan senyawa non polar digunakan n-heksan, etil

asetat untuk menarik senyawa semi polar, sedangkan methanol untuk menarik

senyawa-senyawa polar. Dari proses ini dapat diduga sifat kepolaran dari

senyawa yang akan dipisahkan. Sebagaimana diketahui bahwa senyawa-senyawa

yang bersifat polar akan larut dalam pelarut yang bersifat polar juga (A. F. et Al.,

2017)

2.9 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul, atom atau beberapa grup atom

yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbitalnya (Lim

& Lim, 2012).


Radikal bebas merupakan senyawa molekul yang mengandung satu atau

lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya (andi Maulana, 2013).

Radikal bebas merupakan molekul reaktif yang memiliki elektron tidak

berpasangan. Untuk mendapatkan stabilitas, radikal bebas menangkap elektron

dari senyawa lain sehingga senyawa tersebut menjadi radikal bebas yang akan

menyerang senyawa lain untuk mendapatkan stabilitas sehingga akan memicu

reaksi berantai. Hal ini akan mengakibatkan disintegrasi membrane dan

komponen sel, termasuk lipid, protein dan asam nukleat (Triyasmono et al.,

2017).

2.10Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai stuktur molekul yang dapat

memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus

reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan juga berguna untuk mencegah

oksidasi komponen makanan yang mengandung senyawa tidak jenuh

(mempunyai ikatan rangkap)misalnya minyak dan lemak. Kombinasi beberapa

jenis oksidasi antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik

(sinergisme) dibanding satu jenis antioksidan saja (Ramadhan, 2015).

2.10.1 Sumber Antioksidan

Sayur – sayuran, kacang – kacangan, buah – buahan dan tumbuhan

lainnya merupakan sumber antioksidan penting dan telah dibuktikan pada

orang yang sering mengkonsumsi sayuran dan buah – buahan beresiko lebih
rendah menderita penyakit kroni dibandingkan dengan yang kurang

mengkonsumsi sayuran dan buah – buahan (Nurhidayati, 2018)

2.10.2 Manfaat Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menangkal radikal bebas.

Dasar dari pengetahuan yang terbaru adalah bahwa kerusakan jaringan tubuh

disebabkan oleh proses oksidasi baik dalam penyakit maupun cedera,

disebabkan oleh kelompok bahan kimia yang dikenal sebagai radikal bebas.

Radikal bebas dapat dihasilkan didalam tubuh dalam jumlah besar ketika

tubuh terserang infeksi virus dan bakteri, merokok ataupun terpapar sinar

ultraviolet dari sinr matahari dan bentuk-bentuk radiasi lainnya. Jika produksi

radikal bebas secara berlebihan dan tidak diketahui akan menghancurkan

pembentukan sel tubuh dan juga berbagai jaringan dan organ membatasi efek

merusak dari radikal bebas yang berlebihan (Nurhidayati, 2018).

Antioksidan juga penting untuk mempertahankan mutu produk pangan

serta kesehatan dan kecantikan. Pada bidang kesehatan dan kecantikan

antioksidan berfungsi sebagai pencegah penyakit kanker dan tumor, penuaan

dini, penyempitan pembuluh darah dan lain-lain (Nurhidayati, 2018).

Antioksidan juga mampu mneghambat reaksi oksidasi dengan cara

mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan

sel dapat dicegah (Nurhidayati, 2018).


2.10.3 Pembagian Antioksidan

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongan menjadi 3

kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier (Winarsi, 2011).

a. Antioksidan primer (Antioksidan Endogenus)

Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dimustase (SOD) katalase,

dan gluation peroksidase (GSH-Px). Suatu senyawa dikatakan sebagai

antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat

kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera

berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim superoksida dimustase

(SOD), katalase dan gluation peroksidase menghambat pembentukan radikal

bebas, dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudia

mengubahnya menjadi produk yng lebih stabil (Winarsi, 2011)

b. Antioksidan sekunder (Antioksidan Endogenus)

Antioksidan sekuder atau antioksidan non-enzimatis disebut sistem

pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa

oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkhelatan metal, atau dirusak

pembentukannya. Antioksidan sekunder dapat berupa komponen non-nutrisi

dan kompoen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Senyawa antioksidan non-

enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical

scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya (Winarsi, 2011)


c. Antioksidan sekunder

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA- repair dan

metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang

terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double

strand, baik gugus non-basa maupun basa (Winarsi, 2011)

Menurut (Ramadhan, 2015), berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat

digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu antioksidan alami dan sintetik :

a. Antioksidan alami

Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil dari ekstraksi

bahan alami. Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa

antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan,

senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumbe alami dan ditambahkan ke

makanan sebagai bahan tambahan pangan. Contohnya : superoxide dismutase

(SOD), katalase dan glutation peroxide (GSH) (Ramadhan, 2015)

b. Antioksidan sintetik

Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil reaksi

kimia. Beberapa contoh antioksidan yang diizinkan penggunaanya untuk

makanan yang telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA),

tokoferol, asam askorbat dan butil hidroksi toluene (BHT) (Ramadhan, 2015)
2.11 Pengujian Antioksidan

Metode pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode FRAP

(Ferric Reducing Antioxidant Power) ini dapat dimonitor dengan pengukuran

serapan senyawa Fe2+ yang terbentuk dengan Spektrofotometer UV-Vis pada

panjang gelombang (Maesaroh, Kurnia, & Al Anshori, 2018)

2.12 Metode FRAP (Ferric Reducing Antioxidant Power)

Pengujian FRAP telah digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan

karena sederhana dan cepat. Metode ini dapat menentukan kandungan

antioksidan total dari suatu bahan berdasarkan kemampuan senyawa antioksidan


+2 +3
untuk mereduksi ion Fe menjadi Fe sehingga kekuatan antioksidan suatu

senyawa dianalogikan dengan kemampuan mereduksi dari senyawa tersebut

(Halvorsen, 2002)

Prinsip metode ini adalah adanya reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh

senyawa antioksidan. Metode ini dikenal oleh (Benzie & Strain, 1996)

menggunakan 2,4,6-trypyridyl-s-triazine akan membuat ion ferro menjadi

senyawa kompleks biru. Reagen lain yang juga dapat memberikan warna spesifik

pada ion ferri adalah 1,10-fenantrolin (Pisoschi et al., 2011). Metode FRAP ini

dapat dimodifikasi sebagai metode alternatif untuk menganalisis antioksidan

dengan mengganti zat yang digunakan yaitu TPTZ dengan orto-fenantrolin.

Mekanisme yang akan terjadi adalah Fe3+ dari FeCl3 akan mengoksidasi
senyawa yang bersifat antioksidan, akibatnya Fe3+ akan tereduksi dan

membentuk Fe2+. Fe2+ yang terbentuk akan bereaksi dengan orto-fenantrolin

sehingga terbentuk senyawa kompleks fenantrolin yang bewarna merah.

Absorban senyawa kompleks ini diukur dengan alat spektrofotometer UV-Vis.

Banyaknya senyawa kompleks yang terbentuk akan sebanding dengan

kandungan antioksidan total dalam bahan tersebut (Yefrida et al., 2015).

2.13 Metode Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis merupakan analisa kimia kuantitatif didalam

kimia analisis dengan mengukur berapa jauh energy radiasi yang diserap

oleh absorbansi terisolasi suatu panjang gelombang. Spektrofotometer

menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan

fotometer adalah alat pengukur intensitas cahay yang ditransimisikan atau

yang diabsorbsi. Jadi spektrofotomeer digunakan untuk mengukur energi

yang relatif jika energy tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau

diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 2010a).

Spektrofotometer UV-Visible adalah salah satu teknik yang paling

sering digunakan dalam analisis farmasi. Hal ini melibatkan pengukuran

jumlah radiasi ultraviolet atau zat yang diserap dalam larutan. Instrumen

yang mengukur rasio, atau fungsi dari rasio, intensitas dua berkas cahaya di

daerah UV-Visible disebut spektrofotometer ultraviolet-Visible (Behera,

2012)
Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran didaerah spectrum

ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optic dengan

kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang

gelombang 200-800 nm. Komponen-komponennya meliputi sumber-

sumber sinar, monokromator, dan sistem optik (Guandjar I.G & Rohman,

2012)

Spektrofotometer memiliki panjang gelombang yang benar-benar

terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti

prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spectrum tampak

yang kontinu, monokromator, sel pengabsopsi larutan sampel atau blangko

dan suatu alat untuk mengukur perbedaan absorpsi antara sampel dan

blangko ataupun pembanding (Khopkar, 2010b)

Prinsip spektrofotometri UV-Vis dengan radiasi pada rentang panjang

gelombang 200-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa.

Elektron-elektron pada ikatan didalam molekul menjadi tereksitasi

sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses

menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Semakin

longgar elektron tersebut ditahan dalam ikatan molekul, semakin panjang

gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap (David, 2010).

2.14 Toksisitas Secara Umum

Toksisitas adalah efek berbahaya dari bahan kimia atau sesuatu obat

pada organ target. Umumnya setiap senyawa kimia mempunyai potensi


terhadap timbulnya gangguan atau kematian jika diberikan kepada

organisme hidup dalam jumlah yang cukup (T. et Al., 2017)

2.15 Pengujian Toksisitas

Uji toksisitas pada fraksi tanaman biasanya dilakukan untuk

mengetahui tingkat keamanan dari suatu ekstrak. Pengujian toksisitas

biasanya dengan menggunakan hewan uji. Salah satu hewan uji yang sesuai

adalah brine shrimp (udanglaut) A. salina Leach, sejenis udang-udangan

primitive dan pertama kali di temukan di Lymington, Inggris pada tahun

1755 (Vitalia, 2016)

2.16 Metode BSLT (Brine Shirimp Lethality Test)

Brine Shirimp Lethality Test (BSLT) adalah metode yang biasa

digunakan dalam pengujian toksisitas akut karena senyawa-senyawa yang

memiliki bioaktivitas tertentu sering kali bersifat toksik terhadap larva

udang (Fadli, Suhaimi, & Idris, 2019).

Metode BSLT (Brine Shirimp Lethality Test) ini juga biasa dilakukan

sebagai tahap pendahuluan dalam penapisan bahan-bahan yang

diperkirakan memiliki sifat antitumor atau antikanker. Metode BSLT

(Brine Shirimp Lethality Test) bersifat mudah dilakukan, cepat, biayanya

murah, dan dapat dilakukan di laboratorium (Wikanta, Januar, & Nursid,

2004)
2.17 Artemia Salina Leach

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari – Mei 2020 di

Laboratorium Kimia Bahan Alam, Program Studi Sarjana Farmasi, Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan Mitra Bunda Persada Bata.

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini melalui pengujian eksperimental di Laboratorium STIKes Mitra

Bunda Persada Batam. Sampel yang digunakan adalah daun Keben (Barringtonia

asiatica)

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Alat yang digunakan antara lain :


Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu 1800),Rotary Evaporator (Heidolp),

Blender, Erlenmeyer (pyrex), Beker gelas (pyrex), timbangan analitik (kenko),

pipet tetes (pyrex), pipet mikro (pyrex), tabung reaksi (pyrex), batang

pengaduk (pyrex), spatula, kertas saring, gelas ukur (pyrex), corong pisah

(pyrex), vorterx, aluminium foil, wadah bening (toples), lampu 40 watt,

aerator, pengukur ph, rak tabung reaksi,seperangkat alat maserasi,

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan antara lain :

Daun keben (Barringtonia asiatica),etanol 70%, artemia salina leach,

aquadest (Brataco), kuersetin, AlCl3, CH3COOK, Kuersetin, fraksi etil asetat,

H2SO4, reagen mayer, reagen dragendorff, HCL, Natrium Klorida (NaCl),

Magnesium sulfat (MgSO4, Magnesium Klorida (MgC2), KCL, Natrium

Hidrokarbonat (NaHCO3, ) , n-heksana, etil asetat, CH3COONa, CH3COOH,

o-fenantrolin.
3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pengambilan dan Pengolahan Sampel

Pengambilan bahan tanaman dilakukan di Tanjung Pengapit, Batam.

Bagian yang diambil adalah daunnya. Daun yang diambil adalah daun muda

yang masih segar, karena mengandung kimianya lebih banyak dan belum

terurai oleh sinar matahari. Selanjutnya dilakukan proses pengolahan sampel

dimulai dari mencuci daun Keben dan dibersihkan dari partikel asing serta

ditiriskan, lalu dipotong kecil dan dikering anginkan selama 1-4 minggu.

Setelah dikering daun keben diserbukkan menggunakan blender lalu siap

untuk di ekstraksi secara maserasi.

3.4.2 Determinasi tumbuhan

Determinasi sampel Keben akan dilakukan di Herbarium Andalas,

Universitas Andalas. Tujuan dari determinasi ini untuk memastikan bahwa

sampel yang digunakan adalah sampel Keben

3.4.3 Pembuatan Ekstrak Daun Keben

Serbuk daun Keben 300 gram dimasukkan ke dalam wadah maserasi,

ditambahkan pelarut etanol hingga serbuk simplisia terendam,

dibiarkan selama 3-4 hari. Setelah proses ekstraksi pertama selesai,

ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari yang baru.

Ekstrak kental yang telah dikumpulkan lalu diuapkan dengan

menggunakan alat Rotary Evaporator.


3.6.3 Analisis Penetapan Kadar Flavonoid Total

1. Pembuatan Larutan Induk Kuersetin (400 ppm)

Sebanyak 20 mg Kuersetin dilarutkan dengan etanol p.a dalam

labu takar 50 mL hinga tanda batas (Puspitasari & Wulandari, 2017)

2. Pembuatan Larutan Aluminium Klorida (AlCl3) 10%

500 mg AlCl3 dilarutkan dengan etanol p.a dalam labu takar 5

ml hingga tanda batas (Puspitasari & Wulandari, 2017)

3. Pembuatan Larutan Induk Kalium Asetat (CH3COOK) 1 M

Kalium asetat sebanya 500 mg dilarutkan dalam 5 mL etanol

p.a pada labu takar hingga tanda batas (Lim & Lim, 2012)
4. Pembuatan Seri Konsentrasi Kuersetin

Seri konsentrasi dibuat pada konsentrasi 2,4,6,8,10 dan 12 ppm

dalam 5 ml etanol p.a (Lim & Lim, 2012)

5. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan

spektrofotometer UV-VIS dengan pembanding kuersetin. Sebanyak

1000 μL dari seri konsentrasi 6 ppm ditambahkan AlCl3 10% 200

μL dan 200 μL CH3COOK 1 M. (Lim & Lim, 2012)

6. Penetapan Kurva Baku Kuersetin

Sebanyak 1000 μL dari seri konsentrasi 2,4,6,8,10 dan 12 ppm

masing-masing ditambahkan AlCl3 10% 200 μL dan 200 μL

CH3COOK 1 M. dibaca dengan spektrofotometer (Lim & Lim,

2012)

3.6.4 Penetapan Aktivitas Antioksidan

1. Pembuatan Larutan Dapar Asetat pH 3,6

Pembuatan dapar asetat dengan Ph 3,6 dibuat dengan melarutkan

0,775 g natrium asetat (CH3COONa) kedalam 4 mL asam asetat

pekat (CH3COOH) dan dilarutkan dengan aquadest hingga tepat

250 mL dalam labu takar (Syarif, S, Kosman, R, & Inayah, 2015)

2. Pembuatan Larutan Induk Besi (II) Sulfat Heptahidrat 10 mmol/L


Besi (II) sulfat heptahidrat ditimbang 0,2781 g dengan seksama

kemudian dilarutkan dengan aquadest hingga 100 ml dalam labu

ukur (Wardi et al., 2019)

3. Pembuatan Larutan Standar Besi (II) Sulfa Heptahidrat 10 mmol/L

Larutan induk besi (II) Sulfat Heptahidrat 10 mmol/L dibuat

seri konsentrasi 0,1 ; 0,2 ; 0,6 dan 0,8 mmol/L sehingga yang

dipipet kedalam labu ukur 25 ml masing-masing sebanyak 0,25 ;

0,5 ; 1 ; 1,5 dan 2 ml dan dicukupkan masing-masingnya dengan

aquadest sampai tanda batas (Wardi et al., 2019)

4. Pembuatan Larutan Ortho-Fenantrolin 0,2 %

Ditimbang o,2 g o-fenantrolin monohidrat. Dimasukkan ke

dalam labu ukur 100 mL, diencerkan dengan aquabides (Yefrida et

al., 2014)

5. Pembuatan Larutan Besi (III) Klorida Heksahidrat 20 mmol/L

6. Pembuatan Reagen FRAP

Dicampurkan 10 mL buffer asetat 0,3 M (pH 3,6) dengan 1 mL

larutan o-fenantrolin 10 mmol/L dan 1 mL besi (III) klorida

heksahidrat 20 mmol/L ke dalam labu ukur, kemudian tambahkan

aquadest hingga tepat 100 mL (Wardi et al., 2019)


7. Pembuatan Larutan Pembanding

Vitamin C ditimbang sebanyak 10 mg dilarutkan dengan etanol

p.a dalam labu takar 50 ml hingga tanda batas (Lim & Lim, 2012)

8. Penentuan Panjang gelombang Serapan Masimum Larutan Besi (II)

Sulfat Heptahidrat 10 mmol/L

Larutan standar besi (II) sulfat heptahidrat 10 mmol/L dipipet

sebanyak 0,5 mL ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 5 ml

dapar asetat 0,3 M pH 3,6 lalu ditambahkan 0,5 mL larutan o-

fenantrolin 10 mmol/L. didiamkan larutan selama 30 menit di

tempat gelap, kemudian ditentukan panjang gelombang serapan

maksimumnya menggunakan spektrofotometer UV-Vis dalam

rentang 400-800 nm (Wardi et al., 2019)

9. Penetapan Kurva Kalibrasi Larutan Besi (II) Sulfat Heptahidrat 10

mmol/L

Larutan standar besi (II) sulfat heptahidrat 10 mmol/L dibuat

seri konsentrasi 0,1 ; 0,2 ; 0,4 ; 0,6 dan 0,8 mmol/L, sehingga yang

dipipet ke dalam labu ukur 25 ml masing-masing sebanyak 0,25 ;

0,5 ; 1 ; 1,5dan 2 ml dan dicukupkan masing-masingnya dengan

aquadest sampai tanda batas. Dari masing-masing konsentrasi diatas

dipipet 0,5 mL, tambahkan 0,5 ortho-fenantrolin dan kemudian

masukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi 5 mL larutan dapar

asetat 0,3 M (pH 3,6). Siapkan juga larutan blanko tanpa


mengandung larutan standar besi (II) sulfat heptahidrat. Biarkan

selama 30 menit di tempat gelap dan catat absorban pada panjang

gelombang 511 nm (Wardi et al., 2019)

10. Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode FRAP

Larutan uji sebanyak 0,1 ml dan 0,3 ml aquadest ditambahkan

ke dalam tabung yang telah berisi 3 ml reagen FRAP. Campurkan

divortex dan didiamkan selama 30 menit di tempat gelap pada suhu

ruang. Absorban sampel diukur pada panjang gelombang serapan

maksimum 510,5 nm. Larutan blanko yang digunakan adalah

larutan reagen FRAP dengan aquadest tanpa larutan uji. Aktivitas

sampel dinyatakan dalam mmol besi (II) ekuivalen/g fraksi (Wardi

et al., 2019)

3.6.5 Uji Toksisitas

1. Pembuatan Air Laut Buatan

Pembuatan air laut buatan dilakukan dengan cara melarutkan

20 gram garam dalam 1 L air keran kemudian disaring (Arief, Sangi,

& S., 2017)

2. Penyiapan Larutan Uji

Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 1000 μg/mL sebanyak

100 ml dengan cara melarutkan 100 mg ekstrak kental ke dalam 100

ml air laut buatan. Setelah itu dibuat denan kadar 1000 μg/mL, 750
μg/mL, 500 μg/mL, 250 μg/mL dan 100 μg/mL sebanyak 5 ml dengan

cara mengambil masing-mamsing 5ml, 3,75 ml, 2,5 ml, 1,25 ml dan

o,5 ml dari larutan induk kemudian diencerkan kedalm 5 ml air laut

buatan.

3. Penetasan telur Artemia Salina

Penetasan telur dilakukan dalam wadah bening dengan

menggunakan media air laut . wadah yang digunakan dibagi menjadi 2

bagian oleh sekat berlubang, yaitu bagian gelap dan bagian terang.

Sekat berlubang menjadi jalan untuk larva yang telah menetas untuk

bergerak secara alamiah kea rah terang. Kemudian pada bagian gelap

dimasukkan satu sendok teh telur yang sebelumnya telah dicuci

dengan cara direndam dengan aquadest selama 1 jam. Pada wadah

bagian gelap ditutup dengan aluminium foil atau lakban hitam. Pada

wadah bagian terang diberi penerangan dengan cahaya lampu Neon 40

Watt agar suhu penetasan 25-30℃ tetap terjaga. Telur udang

dibiarkan terendam selama 48 jam sampai telur menetas, telur akan

menetas dalam waktu 24-36 jam dan akan bergerak secara alamiah

menuju daerah terang sehingga larva udang terpisah dari bagian telur

dan kulit telur. Lava yang telah aktif akan bergerak dan siap digunakan

untuk hewan uji dalam penelitian (Fadli et al., 2019)


4. Uji Toksisitas dengan Metode BSLT

Larva dibagi menjadi 6 kelompok terdiri dari 10 ekor larva

dengan pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Kelompok 1 diberi

larutan uji konsentrasi 1000 μg/mL. kelompok 2 diberi larutan uji

dengan konsentrasi 750 μg/mL. kelompok 3 diberi larutan uji dengan

konsentrasi 500 μg/mL. Kelompok 4 diberi uji dengan konsentrasi 250

μg/mL. Kelompok 5 diberi larutan uji dengan konsentrasi 100 μg/mL.

Kelompok 6 diberi air laut buatan sebagai kontrol. Pada msing-masing

kelompok ditambahkan 1 tetes ragi (0,6 mg/ml) sebagai makanan

Artemia kemudian diletakkan dibawah penerangan lampu 40 Watt

berjarak 20 cm selama 24 jam. Diamati kematian larva tiap-tiap

kelompok selama 24 jam. Kriteria standar untuk mengukur kematian

larva udang yaitu apabila larva udang tidak menunjukkan pergerakan

selama 10 detik pengamatan.

3.6.6 Analisis Data Flavonoid Total

3.6.7 Analisis data Antioksidan

Data yang dikumpulkan adalah data yang didapat dari absorbansi

larutan pembanding besi (II) sulfat heptahidrat dan dibuat dengan kurva

kalibrasi dan diperoleh persamaan regresi linear. Untuk menentukan

aktivitas antioksidan dihitung dengan memasukkan kedalam persamaan


regresi linear y= a+bx, dimana y adalah absorbansi dan x adalah

konsentrasi. Kemudian dimasukkan kedalam rumus :

Nilai aktivitas antioksidan dinyatakan dalam mmol Fe (II)/100 gr

3.6.8 Analisis data Toksisitas

Uji toksisitas sampel ditentukan dengan melihat besarnya nilai dari

LC50 yang dapat mematikan A. salina sampai 50 % dan dilakukan

perhitungan statistik dengan analisa probit (probability unit).

Apabila pada kontrol terdapat larva yang mati, maka % kematian


ditentukan dengan rumus :

Kemudian dicari nilai probit melalui tabel probit dan diregresikan secara
linier:

Keterangan:
Y = Nilai probit
a = Konsentrasi regresi
b = Slope/kemiringan regresi
X = Logaritma10 konsentrasi uji

Anda mungkin juga menyukai