Anda di halaman 1dari 38

IDENTIFIKASI KANDUNGAN SENYAWA METABOLIT

SEKUNDER DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK


METANOL DAUN TANAMAN KAOBULA (Pisonia alba)

OLEH

SRIWULAN PURNAMASARI

A1C4 14 037

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara besar yang terkenal karena

keanekaragamannya, salah satunya adalah keanekaragaman hayati

(megabiodiversity) khususnya tumbuhan. Indonesia mempunyai kurang lebih

35.000 pulau yang besar dan kecil dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna

yang sangat tinggi. Di Indonesia diperkirakan terdapat 100 sampai dengan 150

famili tumbuh-tumbuhan. Keanekaragaman jenis tumbuhan juga diikuti dengan

keanekaragaman manfaatnya bagi manusia diantaranya yaitu sebagai bahan

makanan, bumbu masakan dan bahan bangunan serta berpotensi sebagai obat-

obatan (Syamsiah, 2014). Menurut Nugroho (2010) hutan Indonesia menyimpan

potensi tumbuhan obat sebanyak 30.000 jenis dan 940 jenisnya telah dinyatakan

memiliki khasiat sebagai obat.

Saat ini tumbuhan (bahan alam) banyak dimanfaatkan sebagai obat

maupun tujuan lain yang dikenal dengan istilah back to nature (Ningsih et al.,

2014). Penggunaan obat bahan alam di negara maju mencapai 65% dan

pembelanjaan obat bahan alam di pasar global pada tahun 2000 mencapai 43

milyar dolar Amerika (Wiwaha et al., 2012).

Obat herbal tidak mengandung zat kimia berlebih sebagaimana obat

medis atau sintetik yang jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang akan

memiliki efek samping pada organ tubuh lainnya yang berdampak pada
menurunnya fungsi kerja dari sistem organ tersebut, menyebabkan penyakit baru,

pemicu kanker bahkan kematian. Hal ini sejalan dengan Mills (1996) keragaman

zat kimia penyusun tumbuh-tumbuhan atau zat yang dihasilkan tumbuhan

merupakan kelebihan tanaman, sehingga sebagai tanaman obat dapat

menghasilkan aktivitas yang luas dan memiliki sisi positif pada tubuh karena tidak

memiliki efek samping seperti halnya obat-obat kimiawi. Obat-obat kimiawi

seringkali dapat membahayakan kesehatan dan tidak berhubungan langsung

dengan hasil pengobatan yang diharapkan.

Indonesia selain memiliki keanekaragaman tumbuhan juga memiliki

keanekaragaman suku dan budaya. Menurut Badan Pusat Statisik (BPS),

Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia, dari

Sabang sampai Merauke. Prananingrum (2007) menyatakan bahwa Indonesia

merupakan negara dengan keanekaragaman suku bangsa yang terbesar di dunia,

tercatat kurang lebih 159 suku bangsa mendiami ribuan pulau yang berada di

Nusantara. Keanekaragaman suku bangsa ini menyebabkan perbedaan dalam

pemanfaatan tumbuhan baik dalam bidang ekonomi, spiritual, nilai-nilai budaya,

kesehatan, kecantikan bahkan pengobatan penyakit dan pengetahuan lokal

tentang etnomedisin (Syamsiah, 2014).

Suku Buton adalah salah satu suku yang berada di daerah Sulawesi

Tenggara. Pada umumnya suku Buton berkaitan erat dengan daerah Bau-Bau

Sulawesi Tenggara. Bau-Bau memiliki berbagai macam tumbuhan. Salah satu

tumbuhan khas kota Bau-Bau adalah tumbuhan Kaobula. Tumbuhan ini

dipublikasikan oleh Wali Kota Bau-Bau, As Tamrin, pada acara Musyawarah

Nasional (Munas), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) tahun


2016 di Kota Jambi, dalam berita Media Online Kabarbuton.com (28 Juli 2016),

hasil wawancara langsung As Tamrin, menyatakan bahwa Tumbuhan Kaobula

merupakan tumbuhan endemik Kota Bau-Bau yang belum diketahui nama

latinnya, sehingga para ilmuwan atau peneliti diharapkan dapat berkunjung

langsung ke kota Bau-Bau.

Secara tradisional pemanfaatan tumbuhan Kaobula hanya sebatas

daunnya saja, masyarakat menggunakannya sebagai pembungkus potongan Ikan

Cakalang Asap yang diolah dengan santan dan kelapa goreng. Daun yang

digunakan oleh masyarakat hanya daun mudanya saja yaitu susunan daun

pertama sampai ke empat. Daun yang digunakan dapat mengubah cita rasa

masakan menjadi lebih gurih dan daunnya dapat langsung dimakan layaknya

sayur. Berdasarkan hal tersebut daun Kaobula memiliki suatu kandungan tertentu

yang berguna bagi kesehatan sehingga dipercaya oleh masyarakat sebagai bahan

makanan. Namun, penggunaan langsung daun Kaobula sebagai obat belum pernah

dilakukan. Setiap tumbuhan memiliki sumber metabolit sekunder yang sangat

beragam. Akibat beragamnya komponen kimia tersebut, banyak tumbuhan yang

digunakan sebagai obat. Aktivitas fisiologis obat disebabkan karena adanya

senyawa metabolit sekunder (Manitto 1981 dalam Handoyo, 2011). Umumnya

tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat mudah ditemukan, karena tumbuh di

perkarang rumah, kebun, dan hutan. Selain itu dikonsumsi sebagai pelengkap

nutrisi yakni sayuran,buah, dan bahan pelengkap masakan (Yuniati dan Alwi,

2010). Tidak menutup kemungkin pula pada daun tanaman Kaobula.


Penelitian yang berhubungan dengan daun Kaobula ini adalah penelitian

yang dilakukan oleh Matheos et al., (2014) menyatakan bahwa ekstrak etanol

tanaman Kayu Bulan (Pisonia alba) yang merupakan nama lokal Kaobula di

Manado berpotensi sebagai antioksidan, Saritha (2014) menyatakan bahwa

tanaman Pisonia alba memiliki kandungan fenolik sebesar 12,6 mg/g. Ekstrak

etanolik Pisonia alba memiliki aktivitas antidiabetes yang dapat menurunkan

level gula darah dalam tikus (Sunil et al., 2009). Daun Pisonia alba memiliki

khasiat pereda rematik (Anooj et al., 2016), analgesik, agen hipoglikemik,

diuretik ( Radha, et al., 2008), anti fungal (Shubashini et al., 2010) dan juga biasa

digunakan dalam pengobatan bisul, disentri, gigitan ular, penyembuhan luka,

rematik dan artritis (Prabhu et al., 2008).

Tanaman ini dibeberapa daerah memiliki nama yang berbeda namun

hampir sama diakibatkan perbedaan dialek tiap daerah, misalnya Kaobula (Bau-

Bau/Buton), Kayu Bulan (Manado), Kau Fulan (Buru). Di daerah Jawa tanaman

ini dikenal dengan sebutan Kol Banda dan di luar negeri dengan sebutan Lettuce

green. Penggunaan tanaman obat harus memperhatikan banyak aspek dan

variabilitas yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur, tempat

tumbuh, waktu panen, faktor lingkungan, dan kelembaban sehingga berpengaruh

pada kandungan senyawa aktifnya (Handoyo, 2011).

Penelitian kandungan senyawa metabolit sekunder daun tanaman

Kaobula di daerah Bau-Bau belum pernah dilakukan. Siswanto (2004)

menyatakan bahwa habitat dalam hal ini sifat tanah tempat hidup tanaman

mempengaruhi mutu, kandungan senyawa aktif, dan bentuk fisik atau morfologi

tanaman. Tanaman Kaobula yang tumbuh di Bau-Bau memiliki ukuran batang


pohon yang besar dibandingkan dengan yang tumbuh di daerah lain dengan

bentuk fisik yang kerdil sehingga dijadikan sebagai tumbuhan hias, sementara di

Kota Bau-Bau tanaman ini dibiarkan tumbuh bebas, mengingat struktur dan

kondisi tanah yang ada di Manado berbeda dengan yang ada di Bau-Bau, tidak

menutup kemungkinan kandungan senyawa metabolitnya pun berbeda.

Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam suatu tanaman dapat

diketahui dengan pendektan yang dapat memberikan informasi adanya senyawa

metabolit sekunder, salah satunya dengan metode Uji Fitokimia (Harbone 1987

dalam setyowati et al., 2014). Dalam pengujian fitokimia di awali dengan

pengekstraksian. Pemilihan pelarut untuk mengekstrak senyawa-senyawa bahan

alam sangatlah penting, hal ini karena jenis dan mutu pelarut yang digunakan

menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat

melarutkan senyawa yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah,

tidak toksik, dan mudah terbakar (Harborne, 1987 dalam Hardiyanti 2015).

Metanol merupakan pelarut yang secara umum digunakan dalam estraksi senyawa

bahan alam karena dapat melarutkan golongan senyawa metabolit sekunder

(Prashant et al,. 2011). Sehingga dalam penelitian ini pelarut yang digunakan

adalah metanol, dengan pertimbangan sifatnya yang polar sehingga mampu mengikat

senyawa fenolik dan melarutkan senyawa golongan metabolit sekunder dari yang

kurang polar sampai yang polar.

Berdasarkan uraian diatas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian

mengenai kandungan senyawa metabolit sekunder dan uji aktivitas antioksidan

ekstrak metanol daun tanaman kaubula yang tumbuh di daerah Bau-Bau, Sulawesi

Tenggara.
1.2 Batasan Masalah

Agar pokok masalah yang di bahas tidak meluas dan mempermudah untuk

memahami masalah maka permasalahan dibatasi sebagai berikut:

1. Subyek penelitian adalah daun tumbuhan Kaobula (Pisonia alba)

2. Obyek penelitian adalah kandungan senyawa metabolit sekunder dan

aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun tumbuhan Kaobula (Pisonia

alba)

3. Parameter penelitian adalah potensi antioksidan pada ekstrak metanol daun

tumbuhan Kaobula (Pisonia alba).

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka pokok permasalahan dalam penelitian ini

adalah:

1. Senyawa metabolit sekunder apa saja yang terkandung pada ekstrak

metanol daun tumbuhan Kaobula (Pisonia alba)?

2. Apakah ekstrak metanol daun tumbuhan Kaobula (Pisonia alba) memiliki

potensi antioksidan?

1.4 Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat

pada ekstrak metanol daun tumbuhan Kaobula (Pisonia alba)

2. Untuk mengetahui potensi antioksidan ekstrak metanol daun tumbuhan

Kaobula (Pisonia alba).


1.5 Manfaat penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa manfaat yang ingin dicapai yaitu:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kandungan senyawa

metabolit sekunder yang terdapat dalam daun tumbuhan Kaobula

(Pisonia alba)

2. Meningkatkan nilai ekonomi tanaman Kaobula (Pisonia alba)

3. Sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Tanaman Kaobula

Tanaman Kaobula atau Kol Banda adalah tumbuhan perdu atau pohon kecil

tahunan dengan tinggi mencapai 5-7 meter yang diperkirakan berasal dari Asia

dan Papua. Tumbuhan ini tersebar di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai

daerah pegunungan yaitu 5-1.000 meter di atas permukaan laut. Kol banda

tumbuh di lahan terbuka dengan sinar matahari penuh sepanjang hari dan media

tanah yang memiliki cukup kandungan air (Suhono dan Tim LIPI, 2010).

Tanaman Kaobula memiliki batang bulat berkayu dan bercabang. Daun

Kaobula merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat telur, bertangkai, dan

memiliki pangkal membulat, ujung meruncing, dan tepi rata. Pertulangan daun

berwarna kuning muda atau kuning bercak hijau ini menyirip dengan panjang 10-

25 cm dan lebar 5-12 cm. Tanaman Kaobula memiliki sistem perakaran tunggang

dan bunga majemuk menggarpu berbentuk tabung yang berwarna putih

(Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001; Suhono dan Tim

LIPI, 2010).

Gambar 1. Daun tanaman Kaobula


Kedudukan taksonomi kol banda (kaobula) menurut Departemen Kesehatan

dan Kesejahteraan Sosial RI (2001), yaitu:

Kerajaan : Plantae

Subkerajaan : Tracheobionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Caryopyllales

Suku : Nyctaginaceae

Marga : Pisonia

Jenis : Pisonia alba Span, Pisonia grandis R. B., Pisonia sylvestris T.

dan B.

2.2 Kandungan Kimia Tanaman Kaobula

Saritha et al., (2014) mengemukakan bahwa tanaman ini mengandung

senyawa fenolik dan flavonoid secara keseluruhan. Akar dan daun tanaman kol

banda mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan polifenol (Departemen

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 2001). Selain itu, daun tanaman kol

banda atau kayu bulan juga mengandung senyawa senyawa golongan alkaloid,

flavonid, tanin, dan saponin (Matheos et al., 2014; Jayakumari et al., 2014).

2.3 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang terbentuk dalam

tanaman. Senyawa-senyawa yang tergolong ke dalam kelompok metabolit

sekunder ini antara lain: alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, saponin, dan lain-
lain. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya

mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan

(Aksara et al., 2013).

Senyawa metabolit sekunder seperti flavanoid, terpenoid, dan senyawa fenol

diperkirakan mempunyai aktivitas sebagai antiradikal bebas (antioksidan) (Mega

et al., 2010). Antioksidan banyak ditemukan dalam sayuran dan buah-buahan

segar termasuk vitamin dan mineral. Antioksidan yang cukup potensial adalah

vitamin E, vitamin C, senyawa-senyawa polifenol dan, karotenoid (Kosasih et al.,

2004). Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu,

kulit kayu, akar, buah, bunga, biji, dan daun (Trilaksani, 2003).

2.3.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom

nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian besar

senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan, terutama angiosperm. Lebih

dari 20% spesies angiosperm mengandung alkaloid (Wink, 2008). Alkaloid dapat

ditemukan pada berbagai bagian tanaman, seperti bunga, biji, daun, ranting, akar

dan kulit batang.

Alkaloida umunya ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan

dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan (Ningru

,2016). Alkaloid pada tanaman berfungsi sebagai racun yang dapat melindunginya

dari serangga dan herbivora, faktor pengatur pertumbuhan, dan senyawa simpanan

yang mampu menyuplai nitrogen dan unsur-unsur lain yang diperlukan tanaman

(Wink, 2008).
Suatu cara mengklasifikasi alkaloid adalah didasarkan pada jenis cincin

heterosiklik nitrogen yang terikat. Menurut klasifikasi ini alkaloid dibedakan

menjadi pirolidin (1), piperidin (2), isoquinolin (3), quinolin (4), dan indol (5).

(1) (2) (3) (4) (5)

Gambar 2. Klasifikasi alkaloid berdasarkan jenis cincin heterosiklik

nitrogen (Manitto, 1989 dalam Hardiyanti, 2015)

2.3.2 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang banyak terdapat di

alam. Senyawa-senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat warna merah, ungu,

biru, dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Semua flavonoid menurut

strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon, yakni nama sejenis

flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan. Sebagian besar

flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai

glikosida dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai dalam senyawa

tunggal (Tukiran, 2014).

Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti belakangan

ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi

radikah bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Zuhra et. al., 2008).

Senyawa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon dalam inti dasarnya

yang tersusun dalam konfigurasi C6 - C3 C6 . Susunan tersebut


dapat menghasilkan tiga struktur yaitu: 1,3diarilpropana (flavonoid), 1,2 diarilpro

ana (isoflavonoid), 2,2-diarilpropana (neoflavonoid). Kerangka dasar flavonoid

dapat dilihat pada gambar 2.4.

C3

C2
C1 C3

C3 C2
C1
C2
C1

Neoflavonoid (1,1-diarilpropana) Flavonoid (1,3-diarilpropana) Isoflavonoid (1,2-diarilpropana)

Gambar 3. Struktur Dasar Flavonoid (Supratman, 2003)

2.3.3 Terpenoid

Terpenoid disebut sebagai terpene, adalah kelompok terbesar dari senyawa

alami. Banyak terpen memiliki aktivitas biologis dan digunakan untuk pengobatan

penyakit manusia. Terpenoid memiliki aktivitas biologis untuk melawan kanker,

malaria, peradangan, dan berbagai penyakit menular (virus dan bakteri) (Wang et.

all., 2005 dalam Yuszda, 2014).

Semua terpenoid berasal dari molekul isoprena, CH2=C(CH3)CH=CH2 dan

kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C 5.

Walaupun demikian, secara biosintesis senyawa yang berperan adalah isopentil

pirofosfat, CH2=C(CH3)-(CH)2OPP, yang terbentuk dari asetat melalui asam

mevalonat, CH2OHCH2C(OH,CH3)-CH2CH2COOH. Isopentil piropospat terdapat

dalam sel hidup dan berkesinambungan dengan isomernya, dimetilalil piropospat,

(CH3)s2C=CHCH2OPP. Adapun kerangka dasar terpenoid dapat ditunjukan pada

gambar :
Kerangka Dasar Terpenoid

ekor OPP
2
kepala

Isoprena 2-cis-6-trans-Farnesil pirofosfat

Gambar 4. Struktur isoprena dan 2-cis-6-trans-Farnesil pirofosfat

Berdasarkan kenyataan ini, terpenoid dikelompokan dalam 5 bagian:

a. Monoterpen terdiri dari dua unit C5 atau 10 atam karbon.

b. Siskuisterpen terdiri dari tiga unit C5 atau 15 atom karbon

c. Diterpen terdiri dari empat unit C5 atau 20 atom karbon

d. Triterpen terdiri dari enam unit C5 atau 30 atom karbon

e. Tetraterpen terdiri dari delapan unit C5 atau 40 atom karbon (Supratman,

2003)

Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat didalam

sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya diekstraksi memakai petrolium eter, eter atau

kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel dengan

pelarut ini (Harborne,1987 dalam Prabowo 2011).

2.3.4 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpen yang merupakan senyawa aktif

permukaan yang bersifat sabun yang jika dikocok kuat akan menimbulkan busa.

Pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah

pada tikus (Harborne, 1987). Dari segi pemanfaatan, golongan senyawa saponin

sangat ekonomis sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid tetapi saponin

kadang-kadang dapat menyebabkan keracunan pada ternak (Robinson, 1991).


Saponin adalah senyawa glikosilasi yang terbesar di kerajaan tumbuhan

terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu triterpenoid, steroid, dan glikoalkaloid

steroid. Saponin triterpenoid ditemukan pada tanaman dikotil dan beberapa

monokotil, sedangkan saponin steroid ditemukan pada tanaman monokotil, seperti

Lilliaceae, Droscoraceae, Agavaceae dan dikotil tertentu, seperti foxglove,

glikoalkaloid steroid ditemukan dikelompok Solanaceae, yang mencakup kentang

dan tomat (Hostettmann dan Marston, 1995).

2.3.5 Steroid

Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya terbentuk dari sistem

cincin siklopentana prehidrofenantrena. Steroid merupakan golongan senyawa

metabolit sekunder yang banyak dimanfaatkan sebagai obat. Hormon steroid pada

umumnya diperoleh dari senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam

tumbuhan Steroid merupakan kelompok senyawa yang penting dengan struktur

dasar sterena tak jenuh merupakan senyawa organik yang berisis pengaturan

spesifik dari empat cincin yang bergabung satu sama lain.

Steroid mempunyai strukur dasar yang terdiri 17 atom karbon yang

membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Perbedaan jenis

streroid yang satu dengan steroid yang lain terletak pada gugus fungsional yang

diikat oleh ke-empat cincin ini dan tahap oksidasi tiap-tiap cincin.
R
CH 3
27
21 22 24

18 20 23 25
CH 3
CH 3 H 12
17 26
19 11 13
CH 3 H 16
1 9 14
15
H H 2 10 8
H H
3 5 7
4 6
HO
H H
Hidrokarbon Induk Penomoran Kerangka Steroid

Gambar 5. Kerangka dasar dan Penomoran steroid (Supratman, 2003)

2.3.6 Polifenol

Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu tumbuhan seperti

warna daun saat musim gugur. Polifenol banyak ditemukan dalam buah-buahan,

sayuran serta biji-bijian. Rata-rata manusia mengkonsumsi polifenol dalam sehari

sampai 23 mg. Khasiat dari polifenol adalah menurunkan kadar gula darah dan

efek melindungi terhadap berbagai penyakit seperti kanker. Polifenol membantu

melawan pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga dapat memperlambat

penuaan dini (Arnelia, 2002).

Senyawa polifenol yang sederhana, misalnya hidrokuinon, resosinol, dan

pirokatekol jarang ditemukan dalam tumbuhan tinggi. Senyawa-senyawa polifenol

ini berasal dari dekarboksilasi non oksidatif dari senyawa asam benzoat yang

bersangkutan misalnya asam gentisat atau glukosidanya. Hipotesis ini secara

kimiawi dapat dipahami dan juga didukung oleh hasil uji kaji inkorporasi. Adapun

struktur polifenol dapat dilihat pada gambar 2.7.


HO

OH

OH

HO

HO

Polifenol

Gambar 6. Struktur polifenol (Manitto, 1981 dalam Handoyo, 2011)

Polifenol terbagi atas beberapa jenis. Adapun pembagiannya sebagai

berikut:

a. Tanin

Tanin merupakan senyawa kimia yang terdapat luas dalam tumbuhan

berpembuluh, khusus dalam tumbuhan angiospermae terdapat dalam jaringan

kayu. Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin, yaitu tanin terkondensasi dan

tanin terhidrolisis (Harborne, 1987).

b. Lignin

Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman. Secara umum,

tanaman terbentuk dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada batang tanaman,

lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga

suatu pohon bisa berdiri tegak (Seperti semen pada sebuah batang beton). Berbeda

dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk

dari gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri

dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis

yang berupa fenol, terutama kresol.


c. Melanin

Melanin adalah senyawa biologi yang ditemukan pada tanaman, hewan, dan

protista, yang berfungsi sebagai pigmen. Pigmen yang dihasilkan biasanya

merupakan turunan dari asam amino tirosin. Banyak jenis melanin yang tidak

larut di dalam garam. Jenis melanin yang paling umum adalah eumelanin dan

pheomelanin.

2.3.7 Tanin

Tanin merupakan senyawa yang tersebar luas dalam berbagai jenis

tumbuhan, memiliki peran proteksi terhadap predator (sebagai pestisida) dan

mengatur pertumbuhan suatu tumbuhan. Tanin merupakan gambaran umum untuk

senyawa golongan polimer fenolik (polifenol) (Cowan, 1999 dalam Mustarichie

et. al., 2011). Astringent sensation ini ditimbulkan karena adanya ikatan kompleks

antara mukoprotein dengan tanin (Farida et al., 2000).

Tanin merupakan komponen utama dalam jaringan kayu pada tanaman.

Meskipun demikian, pada jaringan lembut seperti dalam daun dan kulit kayu,

tanin sering lebih melimpah keberadaannya dibandingkan dengan lignin (Hernes

and Hedges, 2004).

Adapun struktur tanin dapat dilihat pada gambar 7


OH

OH

HO O

OH

Gambar 7. Struktur tanin (Leemensand. 1991).


Senyawa tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin

terkondensasi.

a. Tanin terhidrolisis

Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk

jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan

asam sulfat atau asam klorida (Hagerman, 2002). Salah satu contoh jenis tanin ini

adalah galotanin yang merupakan senyawa gabungan karbohidrat dan asam galat

seperti yang terlihat pada Gambar :

Gambar 8. Galotanin (Hagerman, 2002)

Selain membentuk galotanin, dua asam galat akan membentuk tanin

terhidrolisis yang disebut elagitanin. Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam

galat jika dilarutkan dalam air yang dapat dilihat pada Gambar berikut.

Gambar 9. Elagitanin terhidrolisis dalam air


Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, dan

berwarna coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk

larutan koloid bukan larutan sebenarnya (Harborne, 1987).

b. Tanin terkondensasi

Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis. Tanin jenis ini kebanyakan

terdiri dari polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari

tanin ini adalah proantosianidin. Proantosianidin merupakan polimer dari

flavonoid, salah satu contohnya adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini

merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan catechin (Hagerman, 2002)

Salah satu contoh tanin terkondensasi dapat dilihat pada gambar 2.11

Gambar 10. struktur Sorghum procyanidin

Senyawa ini jika dikondensasi maka akan menghasilkan flavonoid jenis

flavan dengan bantuan nukleofil berupa floroglusinol (Hagerman, 2002).

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu bahan dari campurannya yang

biasanya menggunakan pelarut berdasarkan kemampuan larut yang berbeda.

Kaidah sederhana yang berlaku dalam ekstraksi yaitu like dissolve like yang

artinya senyawa polar akan larut dengan baik pada fase polar dan senyawa

nonpolar akan larut dengan baik pada fase nonpolar. Selain itu, ekstraksi adalah
metode ekstrak kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu simplisia

tumbuhan dengan menggunakan pelarut-pelarut dalam suasana asam, basa,

ataupun netral, dengan metode-metode yang tertentu dan khas sesuai dengan sifat

fisik dan kimia dari kandungan kimianya. Pelarut-pelarut yang biasanya

dipergunakan untuk senyawa-senyawa organik diantaranya adalah metanol, eter,

etanol, karbon tetraklorida, aseton, metanol, heksan, petroleum eter dan lain

sebagainya (Ketaren, 1986 dan Moelyono, 1996 dalam Handoyo, 2011).

Beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum

digunakan antara lain:

1. Maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik

yang digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan

dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan

akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara

di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma

akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempuma karena

dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses

maserasi akan memberikan evektifitas yang tinggi dengan memperhatikan

kelarutan senyawa bahan alam alam pelarut tersebut. Secara umum pelarut

metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi

senyawa organik bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan

metabolit sekunder.

2. Perkolasi

Merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga


pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Tetapi efektifitas

dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah

larut dalam pelarut yang digunakan

3. Sokletasi

Menggunakan soklet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat

karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini

sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas.

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau

lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak

berpasangan menyebabkan senyawa tersebut reaktif mencari pasangan dengan

cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Target

utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein serta

unsur DNA termasuk karbohidrat. Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi,

yaitu sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya

(Putri, 2014).

Radikal bebas bersifat reaktif dan jika tidak dinonaktifkan akan dapat

merusak makromolekul pembentuk sel yaitu protein, karbohidrat, lemak, dan

asam nukleat sehingga dapat menyebabkan penyakit degeneratif. Kerusakan

oksidatif atau kerusakan akibat radikal bebas dalam tubuh pada dasarnya dapat

diatasi oleh antioksidan endogen seperti enzim catalase, glutathione peroxidase,

superoxide dismutase, dan glutathione S-transferase. Namun jika senyawa

radikal bebas terdapat berlebih dalam tubuh atau melebihi batas kemampuan

proteksi antioksidan seluler maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar


atau antioksidan eksogen untuk menetralkan radikal yang terbentuk (Reynertson,

2007 dalam Sujono et. al., 2010 dan Pratimasari, 2009).

Upaya untuk mencegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh

aktivitas radikal bebas adalah dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen

yang mengandung antioksidan. Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas

dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas

menjadi stabil dan tidak reaktif (Lusiana, 2010).

Radikal bebas terdiri dari Reactive Oxigen Species (ROS), Radical Nitrogen

Species (RNS), dan radikal lainnya. Pembentukan radikal bebas dan reaksi

oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas

yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup antara lain adalah golongan

hidroksil (OH), superoksida (O2), nitrogen monooksida (NO), peroksidal

(RO2), peroksinitrit (ONOO), asam hipoklorit (HOCl), hydrogen peroksida

(H2O2) (Anonim, 2006).

2.6 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat melawan kerja radikal bebas

yang berlebihan di dalam tubuh. Berdasarkan sifatnya yang mudah dioksidasi

(menyerahkan elektron), antioksidan dapat menstabilkan dan menetralkan

sebagian besar radikal bebas yang berlebihan. Senyawa antioksidan setelah

bereaksi dengan radikal bebas akan menghasilkan radikal baru yang stabil atau

senyawa bukan radikal (Vaya, 2001 dalam Wahyuni et. al., 2012).

Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan menggunakan

beberapa metode diantaranya adalah metode Ferricthiocyanate (FTC), asam

tiobarbiturat (TBA), Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC), Ferric


Reducing Ability of Plasma (FRAP), 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan

sebagainya. Pemilihan metode DPPH untuk penentuan aktivitas antioksidan

didasarkan pada beberapa keunggulannya diantaranya mudah, sederhana, cepat,

reprodusibel, baik untuk sampel dengan polaritas tertentu, sensitif, dan hanya

membutuhkan sedikit sampel (Koleva et. al., 2002).

Prinsip metode uji antioksidan 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH)

didasarkan pada reaksi penangkapan atom hidrogen oleh 2,2 diphenyl-1-

picrylhydrazil (reduksi DPPH) dari senyawa antioksidan. Reagen DPPH berperan

sebagai radikal bebas yang diredam oleh senyawa antioksidan yang terkandung

dalam sampel. Selanjutnya DPPH akan tereduksi menjadi senyawa diphenyl picryl

hidrazine (DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H menyebabkan perubahan

warna pada reagen DPPH dari ungu menjadi kuning (Lupea dan Joel Cormier

2007).

Metode DPPH secara umum, digunakan untuk screening berbagai sampel

dalam penentuan aktivitas antioksidan. Pengukuran serapan DPPH berkisar pada

panjang gelombang 515-520 nm. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel

padatan maupun larutan dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular

tetapi dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan secara

keseluruhan pada suatu sampel (Molyneux, 2004)

Gambar 11. Struktur Kimia DDPH


Peredaman warna DPPH terjadi karena adanya senyawa yang memberikan

atom hidrogen kepada radikal DPPH sehingga tereduksi menjadi DPPH-H (1,1-

difenil-2-pikrilhidrazin).

Reaksi reduksi DPPH dapat dilihat berikut ini:

Gambar 12. Reduksi DPPH peredam radikal bebas (Prakash at al, 2001).

DPPH menghasilkan radikal bebas aktif bila dilarutkan dalam alkohol.

Radikal DPPH adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen tidak

stabil dengan absorbansi kuat pada max 517 nm dan berwarna ungu gelap.

Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH akan tereduksi dan

warnanya akan berubah menjadi kuning. Perubahan tersebut dapat diukur dengan

spektrofotometer dan diplotkan terhadap konsentrasi. Penurunan intensitas warna

yang terjadi disebabkan oleh berkurangnya ikatan rangkap terkonjugasi pada

DPPH. Hal ini dapat terjadi apabila adanya penangkapan satu elektron oleh zat

antioksidan menyebabkan tidak adanya kesempatan elektron tersebut untuk

beresonansi (Pratimasari, 2009).


2.6 Spektrofotometer UV-VIS

Spektrofotometri UV-Vis adalah metode analisis berdasarkan interaksi

antara radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak

(380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer dengan suatu materi

(senyawa) (Mulja et. al., 1995 dalam Octaviani et. al., 2014). Metode ini

berdasarkan penyerapan sinar ultraviolet maupun sinar tampak yang

menyebabkan terjadinya transisi elektron (perpindahan elektron dari tingkat

energi yang rendah ketingkat energi yang lebih tinggi) (Hendayana et. al., 1994

dalam Octaviani et. al., 2014).

Bila cahaya jatuh pada suatu senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut

akan diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul itu

sendiri. Setiap senyawa mempunyai tingkatan tenaga yang spesifik. Bila cahaya

mempunyai tenaga yang sama dengan perbedaan tenaga antara tingkatan dasar

dan tenaga tingkatan tereksitasi pada senyawa, maka elektron-elektron pada

tingkatan dasar dieksitasikan ke tingkatan tereksitasi, dan sebagian tenaga cahaya

yang sesuai dengan panjang gelombang ini diserap. Elektron yang tereksitasikan

melepaskan tenaga dengan proses radiasi panas dan kembali ke tingkatan dasar

asal (Sastrohamidjojo, 2001).

Ada tiga macam distribusi elektron di dalam suatu senyawa organik secara

umum, yang selanjutnya dikenal sebagai orbital elektron phi (), sigma () dan

elektron non bonding (n). Apabila pada molekul tersebut dikenakan radiasi

elektromagnetik maka akan terjadi eksitasi elektron ke tingkat yang lebih tinggi
yang dikenal sebagai orbital elektron anti bonding (Hayati, 2007). Kebanyakan

penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) pada

senyawa organik didasarkan pada transisi n- * ataupun - * dan karenanya

memerlukan kehadiran gugus kromofor dalam molekul itu. Transisi ini terjadi

dalam daerah spektrum (sekitar 200 hingga 700 nm) yang praktis untuk digunakan

dalam eksperimen (Day and Underwood, 1999).

2.7 Kerangka Berpikir

Tanaman Kaobula merupakan tanaman yang mudah tumbuh di daerah

Bau-Bau. Pemanfaatan tanaman Kaobula oleh masyarakat hanya sebatas pada

pada daun mudanya saja. Secara tradisional, daun Kaobula di manfaatkan sebagai

pembungkus ikan cakalang asap yang diolah bersama santan dan kelapa goreng.

Pemanfaatan daun kaubula sebagai bahan makanan sudah dilakukan sejak lama

secara turun temurun, masyarakat mempercayai tanaman ini bermanfaat bagi

kesehatan. Namun pemanfaatannya sebagai obat secara langsung belum pernah

dilakukan.

Salah satu penelitian yang berhubungan dengan daun Kaobula ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Saritha (2014) memiliki kandungan fenolik

sebesar 12,6 mg/g dan Matheos et al., (2014) di Manado menyatakan bahwa

ekstrak etanol tanaman Kayu Bulan berpotensi sebagai antioksidan. Perbedaan

nama tanaman ini diakibatkan perbedaan dialek tiap daerah, Kaobula (Bau-

Bau/Buton), Kayu Bulan (Manado), Kau Fulan (Buru). Penggunaan tanaman obat

harus memperhatikan banyak aspek dan variabilitas yang tidak bisa dikendalikan

seperti asal tanaman, umur, tempat tumbuh, waktu panen, faktor lingkungan, dan
kelembaban sehingga berpengaruh pada kandungan senyawa aktifnya (Handoyo,

2011).

Penelitian kandungan senyawa metabolit sekunder daun tanaman

Kaobula di daerah Bau-Bau belum pernah dilakukan. Siswanto (2004)

menyatakan bahwa habitat dalam hal ini sifat tanah tempat hidup tanaman

mempengaruhi mutu, kandungan senyawa aktif, dan bentuk fisik atau morfologi

tanaman. Berdasarkan uraian diatas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian

mengenai kandungan senyawa metabolit sekunder dan uji aktivitas antioksidan

daun tanaman kaubula yang tumbuh di daerah Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo, Kendari pada

bulan Juli 2017.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan untuk uji fitokimia adalah blender, tabung reaksi,

pipet volume, pipet tetes, gelas ukur, labu takar, gelas kimia, neraca analitik,

corong pisah, vacum rotary evaporator, batang pengaduk, dan pisau.

Alat yang digunakan untuk uji antioksidan adalah antara lain neraca

analitik, gelas piala, gelas ukur, gelas pengaduk, kertas saring, labu takar, tabung

reaksi bertutup, pipet mikro, kuvet, dan spektrofotometer (UV-VIS) merek

Hitachi.

3.2.2 Bahan

a. Bahan Kimia

Adapun bahan yang digunakan untuk uji fitokimia yaitu metanol 95%,

aquades, asam sulfat 2 N, asam klorida pekat, kloroform amoniakal, etanol 80%,

eter, gelatin, larutan besi (III) klorida, larutan natrium klorida 10%, logam

Magnesium, Pereaksi Mayer, Pereaksi Wagner, Pereaksi Dragendorff dan

Pereaksi Lieberman-Burchard.
Bahan yang digunakan untuk uji antioksidan yaitu DPPH dan metanol

96% (kualitas pro analisis).

b. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman Kaobula.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Penyiapan Sampel

Sampel daun tanaman Kaobula diambil dari Bau-Bau, kemudian dibiarkan

kering di udara pada suhu kamar. Setelah kering selama 5 hari, sampel

dihaluskan dengan menggunakan blender hingga diperoleh serbuk daun tanaman

Kaobula. Simplisia lalu dibawa ke laboratorium untuk diteliti.

3.3.2 Pembuatan Pereaksi Uji Fitokimia

a. Pereaksi Mayer

Dilarutkan 1,36 g HgCl2 dalam 60 mL aquades (larutan I). Dilarutkan 5 g

KI dalam 100 mL aquades (Larutan II). Kedua larutan (larutan I dan II)

dicampur lalu diencerkan sampai 200 mL (Moelyono,1996).

b. Pereaksi Wagner

Dilarutkan 0,635 g I2 ke dalam larutan 1 gram KI 2,5 mL aquades,

kemudian diencerkan hingga 50 mL (Heyne., 1987).

c. Pereaksi Dragendorff

Dilarutkan 2,72 g Kalium Iodida dalam 100 mL aquades ditambah 1 g

Bi(NO3)3 dan 20 mL HNO3 (Harborne, 1987).

d. Pereaksi Liebermen-Burchard
Dicampurkan 3-4 tetes H2SO4 pekat (98%) dengan 4-5 tetes larutan asam

asetat glasial (Moelyono, 1996).

3.3.3 Ekstraksi

Sebanyak 300 gram serbuk halus daun tanaman Kaobula, dimaserasi

dengan 800 mL metanol 95% dalam wadah toples selama 24 jam, kemudian

disaring sehingga diperoleh filtrat pertama dan ampas. Ampas dimaserasi kembali

dengan 800 mL metanol 95% selama 24 jam, kemudian disaring sehingga

diperoleh filtrat kedua dan ampas. Ampas kembali dimaserasi untuk ketiga

kalinya dengan 800 mL metanol 95% selama 24 jam, kemudian disaring sehingga

diperoleh filtrat ketiga dan ampas dibuang. Filtrat hasil maserasi pertama, kedua,

dan ketiga disatukan untuk memperoleh filtrat metanol kasar (berwarna Coklat

kehitaman). Ekstrak ini kemudian dipekatkan dengan vacum rotary evaporator

sehingga diperoleh ekstrak metanol kental.

3.3.4 Uji Fitokimia Pada Ekstrak Metanol Daun Tanaman Kaobula

a. Uji Alkaloid.

Sebanyak 0,1 g ekstrak metanol dari daun tanaman Kaobula ditambahkan

10 mL kloroform amoniakal. Klorofom amoniakal dibuat dari kloroform dan

amoniak pekat dengan perbandingan 9:1. Kemudian ditambahkan larutan asam

sulfat 2 N lalu dimasukan dalam corong pisah dan dikocok kuat-kuat, didiamkan

sampai larutan asam sulfat dan kloroform memisah. Lapisan asam sulfat diambil

dan dibagi 3 tabung, lalu masing-masing tabung diuji dengan: Pereaksi Mayer,

ada endapan putih positif ada alkaloid. Pereaksi Wagner, ada endapan coklat
positif ada alkaloid. Pereaksi Dragendorff, ada endapan coklat kemerahan positif

ada alkaloid (Harborne, 1987).

b. Uji Flavonoid

Sebanyak 0,1 gram ekstrak metanol dari daun tanaman Kaobula

diekstraksi dengan etanol 80% lalu ditambahkan 0,01 gram logam Mg kemudian

dibagi menjadi 2 tabung. Tabung 1 ditambahkan dengan 0,5 mL HCl pekat lalu

dipanaskan. Warna merah muda atau ungu menunjukkan adanya flavonoid,

tabung kedua digunakan sebagai kontrol (Robinson, 1991).

c. Uji Steroid, Triterpen dan Saponin

Sebanyak 0,1 g ekstrak metanol dari daun tanaman Kaobula ditambahkan

dengan eter. Ekstrak eter diuji dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru

atau hijau menunjukkan adanya steroid dan warna ungu menunjukkan adanya

triterpen (Harborne, 1987). Residu yang tidak larut dalam eter ditambah air dan

dikocok kuat-kuat. Adanya busa yang stabil selama 1 menit menunjukkan

adanya saponin (Mulyono, E., & Abdulgani, L.Y., 1996). Bila terdapat saponin,

maka dilakukan hidrolisis menggunakan 0,5 mL HCl pekat lalu diuji dengan

pereaksi Liebermann-Buchard. Warna hijau/biru menunjukkan adanya saponin

dari steroid dan warna ungu/merah menunjukkan adanya saponin dari triterpen

(Robinson, 1991).

d. Uji Tanin dan Polifenol

Uji tanin dan polifenol digunakan 3 buah tabung reaksi. Sebanyak 0,1 g

ekstrak metanol daun tanaman Kaobula ditambahkan air panas dan ditetesi larutan

NaCl 10%. Untuk tabung 1 ditambahkan FeCl3, jika terbentuk warna kuning,
hitam, coklat biru sampai merah menunjukkan adanya tanin/polifenol (Robinson,

1991). Sementara tabung II ditambahkan larutan gelatin 10%, terbentuk endapan

putih menunjukkan adanya tanin (Moelyono, 1996) dan tabung III sebagai

kontrol.

3.3.5 Isolasi Senyawa

a. Pemisahan dengan Kromatografi Kolom

Pemisahan kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan rangkaian

alat kromatografi kolom yang ditegakkan dengan statif. Kemudan sejumlah kapas

dimasukkan ke dalam bagian paling bawah dari kolom, tidak terlalu padat atau

terlalu longgat. Silika gel (fase diam) ditimbang sebanyak 30 kali bobot ekstrak

dan didispersikan dalam n-heksan. Silika gel yang telah basah dimasukkan ke

dalam kolom, kemudian diketok pada dinding luar kolom agar diperoleh susunan

yang rata di dalam kolom. Larutan eluen ditambahkan sampai tertampung pelarut

sekitar 5 mL di bagin bawah kolom.

Ekstrak kental dimasukkan ke dalam kolom, kemudian ditambahkan

pelarut pengembang ke dalam kolom sedikit demi sedikit sambil kran dibuka.

Hasil pemisahan di tampung pada botol vial, masing-masing 5 mL dan diberi

nomor. Kemudian masing-masing fraksi pada vial diuji dengan KLT. Frkasi yang

menampakkan bercak (dengan nilai Rf) yang sama dikumpulkan dan dikeringkan

dengan vacuum rotary evaporator.

b. Pengujian dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT dilakukan untuk melihat pola kromatogram komponen sneyawa yang

terkandung dalam ekstrak. Fase diam yang digunakan yaitu plat silika gel,
sedangkan fase gerak yang digunakan yaitu pelarut yang dapat memberikan

pemisahan yang baik. Plat silika gel dibuat dengan ukuran lebar 2 cm dan panjang

5 cm dan diberi garis batas awal dan batas akhir elusi 0,5 cm.

Ekstrak yang akan diuji dilarutkan dalam pelarut n-heksan sebanyak

1mL, kemudian ditotolkan pada garis batas awal elusi lalau dikeringkan. Setelah

totolan tersebut mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah chamber

bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Setelah eluen

mencapai garis akhir elusi, lempeng dikeluarkan dan dikeringkan.

Bercak yang dihasilkan diamati di bawah lampu UV pada panjang

gelombang 254 nm. Untuk menampakkan bercak yang tidak berwarna dan tidak

berfluorosensi. Pereaksi semprot universal yang digunakan adalah perekasi

Godin`s (reagen A; 1% vanilin dilarutkan dalam etanol : 3% HClO3 dalam

aquadest, 1:1 dan reagen B; 10% H2SO4 ) yang dilanjutkan dengan pemanasan.

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah dari lapisan tipis menggunakan

nilai Rf. Nilai Rf (Retardation Factor). Didefinisikan sebagai berikut

(Sastrohamidjojo, 1985) :

jarak titik pusat bercak dari titik awal


Rf =
jarak batas eluen dari titik awal

Nilai Rf yang diperoleh dibandingkan dengan literatur, untuk mengetahui

kemungkinan senyawa hasil pemisahan dengan KLT (Zaki, 2003).


3.3.6 Uji Antoksidan Ekstrak Metanol Dari Kulit Batang Xylocarpus
granatum Dengan Metode 2,2 Diphenyl-1-Picrylhydrazil (DPPH)

a. Pembuatan Pereaksi

Larutan perekasi adalah larutan DPPH 0,3 mM dalam pelarut etanol p.a

dan dijaga pada suhu rendah serta terlindung dari cahaya. Larutan DPPH 0,3 mM

dibuat dengan mengencerkan larutan stock DPPH 1 mM dengan pelarut etanol p.a

sedangkan larutan induk DPPH 1 mM dibuat dengan melarutkan 39,43 mg serbuk

DPPH dalam 100 ml etanol absolut p.a.

b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan 2,2 Diphenyl-1-

Picrylhydrazil (DPPH)

Larutan DPPH 0,3 mM diukur absorbansinya dengan spektrometer UV-

Vis pada panjang gelombang 510-520 nm, sesuai dengan warna serapan UV-Vis

untuk larutan DPPH yang berwarna ungu tua.

c. Pembuatan Larutan Sampel Fraksi Metanol

Sebanyak 100 mg dilarutkan dalam 100 mL etanol (p.a). Larutan tersebut

dibuat dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm, dan 100

ppm. Kontrol dibuat dengan mencampur 1 mL larutan DPPH 0,3 mM dengan 4

mL etanol absolut.

d. Pembuatan Larutan Vitamin C (Ampul) sebagai Larutan Pembanding

Vitamin C dibuat dalam 1000 ppm sebagai larutan induk. Dari larutan

induk di buat dalam kosentrasi 100 ppm, 75 ppm, 50 ppm, 25 ppm, 10 ppm, dan 5

ppm dengan menggunakan etanol 96% sebagai pelarut.

e. Pengukuran Absorbansi Penangkap Radikal Bebas dengan Metode DPPH

ekstrak metanol dan vitamin C masing-masing dilarutkan dengan etanol

96% (p.a) dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing konsentrasi 4,0 mL


ditambah 1 mL larutan pereaksi DPPH 0,3 mM dalam tabung reaksi. Dikocok

homogen dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 370C. Absorbansinya diukur

pada panjang gelombang dan serapan maksimal DPPH yaitu 517 nm. Larutan

blangko digunakan etanol p.a (Suryanto, et al 2004).

D. Analisis Data

Dari data yang diperoleh dianalisis larutan yang mengandung senyawa

penangkap. Semakin besar presentasi berkurangnya serapan berarti semakin kuat

penangkap radikal.

Rumus perhitungan sebagai berikut :

( ) 517
% Penangkap radikal bebas sampel = 100%
517

(Budiyanti,et al., 2009).

Dari harga persen penangkap radikal bebas ekstrak metanol daun tanaman

Kaobula yang diperoleh, dihitung persamaan regresi linear untuk selanjutnya

ditentukan nilai IC50 (konsentrasi bahan uji yang mempunyai aktivitas penangkap

radikal bebas sebesar 50 %)

y = ax ,


sehingga x =
dimana ; y = 50 a = slope

b = gradien x = IC50 konsentrasi zat (ppm)

IC50 merupakan konsentrasi bahan uji yang mempunyai aktivitas penangkap

radikal bebas sebesar 50 % dan penentuan konsentrasinya dapat dihitung dari

persamaan regresi linear skrening penetralan radikal bebas dengan cara

mengkonversi nilai x untuk memperoleh nilai IC50 yang berfungsi sebagai

konsentrasi dan y = 50. Tujuan penentuan IC50 adalah untuk menunjukkan

efektivitas senyawa atau ukuran kuantitatif berapa banyak zat yang diperlukan

untuk menghambat proses biologis tertentu.

Anda mungkin juga menyukai