Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam upaya

pengobatan di masyarakat. Masyarakat masih sering menggunakan pengobatan

tradisional yang berasal dari tanaman obat. Indonesia adalah salah satu negara tropis

yang dikenal memiliki beraneka ragam jenis tanaman buah-buahan dan sayur-

sayuran. Diantara berbagai tanaman tersebut, tanaman rambutan (Nephelium

lappaceum.L) merupakan salah satu jenis tanaman yang digemari karena kandungan

vitamin C-nya yang tinggi dan rasanya manis. Tanaman Rambutan atau dengan

nama lain Nephelium lappaceum L (Sapindaceae) merupakan tanaman buah

musiman yang berasal dari daerah tropis dan merupakan salah satu tanaman yang

banyak di Indonesia. Rambutan berasal dari Indonesia dan Malaysia, dan mulai

berkembang ke Filipina, singapura, Thailand, Vietnam, India, Syria, Zaire, Afrika

Selatan, Madagaskar dan Australia (Tindall,1994 dan Arenas dkk., 2010). Buah

Rambutan banyak dikonsumsi dan digunakan oleh masyarakat, baik buahnya atau

bagian lain dari tanaman tersebut. Secara tradisional, seluruh bagian tanaman

rambutan mempunyai khasiat tersendiri. Sepert pada bagian biji buah rambutan

yang bisa digunakan sebagai antidiabetes, batang yang dapat digunakan sebagai

pengobatan kanker, daun digunakan sebagai antidiare serta digunakan untuk

1
menghitamkan rambut, dan akar dapat digunakan untuk menurunkan demam

(Muhtadi dkk., 2013).

Dalam penelitian ini diambil manfaat daun rambutan sebagai antidiare dalam

bentuk sediaan sirup. Diare atau gastroenteritis merupakan salah satu penyakit yang

sering dijumpai di masyarakat (Miftakhul Hudayani, 2008). Penyakit ini terutama

disebabkan oleh makanan dan minuman yang terkontaminasi akibat akses

kebersihan yang buruk. Di dunia, diperkirakan sekitar 2,5 miliar orang mempunyai

akses kebersihan yang buruk (WHO, 2009).

Sirup adalah sediaan cair berupa larutan yang mengandung sukrosa. Kecuali

dinyatakan lain, kadar sakarosa, C12H22O11, tidak kurang dari 64,0% dan tidak lebih

dari 66,0% (FI III).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1.2.1 Apakah ekstrak etanol daun tumbuhan rambutan memiliki aktivitas sebagai obat

antidiare?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

o Bagi Mahasiswa

2
Agar dapat menambah wawasan mahasiswa tentang manfaat tumbuhan daun

rambutan (Nephelium lappaceum L) sebagai antidiare

o Bagi Institusi

Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang obat diare yang

dapat menggunakan tanaman herbal

o Bagi Masyarakat

Agar dapat menambah pengetahuan tentang manfaat tumbuhan daun

rambutan (Nephelium lappaceum L) sebagai obat antidiare pada anak-anak

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui cara formulasi dan evaluasi sediaan sirup ekstrak daun

rambutan (Nephelium lappaceum L) sebagai obat antidiare

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 manfaat Praktis

1. memberikan informasi mengenai formulasi sediaan sirup dan evaluasi dari

ekstrak etanol tumbuhan daun rambutan (Nephelium lappaceum L) sebagai

obat antidiare

2. mengetahui apakah sediaan sirup dari tumbuhan daun rambutan (Nephelium

lappaceum L) ampuh untuk mencegah diare

3
3. sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain mengenai formulasi sediaan

sirup daun tumbuhan rambutan (Nephelium lappaceum L) digunakan sebagai

antidiare

1.4.2 manfaat Teoritis

Selain manfaat praktis yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini juga

memiliki manfaat teoritis yaitu untuk memberikan landasan bagi para peneliti

lain dalam melakukan penelitian lain yang sejenis dalam rangka membuat

formulasi sediaan sirup dan evaluasi dari tumbuhan daun rambutan

(Nephelium lappaceum L) yang dapat digunakan sebagai antidiare

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rambutan (Nephelium lappaceum L.)

2.1.1 Uraian Tumbuhan

Menurut Rukmana dkk, (2002), taksonomi tumbuhan rambutan dikelompokan dalam

klasifikasi :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Sapindaceae

Genus : Nephelium

Spesies : Nephelium lappaceum L

Rambutan berasal dari Malaysia dan Indonesia, namun lokasi tepatnya tidak diketahui.

Rambutan mulai menyebar ke Asia Tenggara, dan banyak terdapat di daerah tropis

seperti India, Sri Lanka, Zanzibar, bagian dataran rendah Amerika Selatan, Australia

Selatan, Papua Nugini, Kepulauan Pasifik dan Hawai (Lim, 2013).

5
Gambar 1. Daun Rambutan (Nephelium lappaceum L)

Rambutan (Nephelium lappaceum L) tergolong tanaman yang berbunga banyak.

Bunganya dapat berbentuk bunga jantan atau bunga yang sempurna yang tersusun dalam

suatu malai bunga atau panicula. Tanaman rambutan merupakan jenis pohon berukuran

sedang dengan tinggi 12 – 25 meter. Pohon rambutan menyukai suhu tropika hangat

(Kalie, 1994). Suhu optimum pertumbuhan pohon rambutan yaitu antara 20 - 32℃ dan

kelembapan harus sekitar 80% (Lim, 2013).

2.1.2 Nama Daerah

Rambutan mempunyai nama daerah antara lain : Rambot (Aceh, Sumatra),

Barangkasa (Maluku), Buiuwan (Bali), Jailan Rambutan (Batak), Rambuta (Bima,

Timor), Rambuten (Gajo, Sumatra), Rambutan (Jawa), Buwa Buluwan (Kambang), Puru

Bianjak (Kubu, Kalimantan), Hayuham, Kakapas, Likes, Rabut, Rambuta, Takayung alu

(Lampung, Sumatra) (Lim, 2013).

Secara tradisional, daun rambutan digunakan oleh masyarakat Ulu Legong,

Kedah, Malaysia, sebagai obat penurun panas yang disebabkan oleh penyakit flu dengan

6
cara menumbuk daun rambutan (Mohammad dkk, 2012).Kegunaan lain adalah kulit

buah digunakan sebagai obat penurun panas dan disentri, biji digunakan sebagai penurun

gula darah (anti diabetes), daun digunakan sebagai pengobatan diare dan penghitam

rambut, akar digunakan sebagai penurun panas (Muhtadi dkk, 2013), kulit kayu

digunakan untuk mengatasi sariawan (Dalimartha, 2003).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Tanaman rambutan memiliki daun jenis majemuk berselang-seling dengan

ukuran kecil dan panjang, serta pada bagian ujungnya runcing. Daun tanaman ini

bewarna hijau dengan panjang antara 7-20 cm dan lebar 3-8 cm. Daun rambutan

mengandung minyak terpentin sehingga memiliki sifat mudah terbakar meskipun masih

bewarna hijau (www.sedulurtani.com).

2.2 Simplisia dan Ekstrak

2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia

pelikan (mineral). Simplisisa nabati adalah simplisia berupa tumbuhan utuh, bagian

tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Dit Jen POM, 2000).

2.2.2 Ekstrak

7
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari

simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudia

semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Dit Jen POM,

1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut yang

sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam dua cara

yaitu:

a. cara dingin, yaitu:

1. maserasi, adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature

ruangan (kamar).

Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang ters-menerus.

Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

2. perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan

(kamar).

Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak) terus menerus

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan

8
b. cara panas, yaitu:

1. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan

dengan adanya pendingin balik.

2. Soxlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik

3. Digesti, adalah maserasi kinetic (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara

umum dilakukan pada temperatur 40-50℃.

4. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-

98℃) selama waktu tertentu (15-20 menit).

Dekok, adalah infus waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur

sampai titik didih air (Dit Jen POM, 2000)

2.3 Uraian Diare

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat)

dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair. Diare selalu dikaitkan dengan

gastroenteritis (radang lambung-usus) karena umumnya diare muncul sebagai akibat

adanya gangguan pada saluran gastro-intestinal (Sriyanto, 2004). Dalam definisi lain

9
diar adalah keadaan buang air dengan banyak cairan (mencret) dan merupakan gejala

dari penyakit-penyakit tertentu atau gejala-gejala lainnya (Tan, 2002).

Secara fisiologi, dalam lambung makanan dicerna menjadi bubur (chymus ),

kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraiakan lebih lanjut oleh enzim-enzim.

Setelah terjadi absorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari 90% air dan sisa-sisa

makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri – bakteri

yang biasanya selalu berada di sini mencernakan lagi sisa-sisa makanan tersebut,

sehingga sebagian besar daripadanya dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus

besar. Airnya juga direabsorpsi kembali, sehingga lama kelamaan isi usus menjadi lebih

padat (Tan, 2002).

2.3.1 Klasifikasi Diare

Berdasarkan klasifikasinya, diare dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

a. berdasarkan adanya infeksi, dibagi atas:

1. Diare infeksi enternal, yaitu diare karena infeksi di usus misalnya infeksi

bakteri (Vibrio cholera, Eschericia coli, Salmonella dan Shigella), infeksi

virus (Rotavirus dan Enterovirus) dan infeksi parasite (cacing, protozoa, dan

jamur).

2. Diare infeksi parenteral, yaitu diare karena infeksi di luar usus misalnya

infeksi saluran pernapasan.

b. berdasarkan lamanya diare, dibagi atas yaitu:

10
1. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak yang segera berangsur

sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat. Diare akut biasanya

berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.

2. Diare kronis, yaitu diare yang timbul perlahan-lahan berlangsung 2 minggu

atau lebih, baik menetap atau bertambah hebat(Sriyanto, 2004).

c. Berdasarkan penyebab terjadinya diare, dibagi atas:

1. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh adanya infeksi misalnya

infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasite dan enterotoksin.

2. Diare non spesifik, yaitu diare yang tidak disebabkan oleh adanya infeksi

misalnya alergi makanan atau minuman (intoleransi), gangguan gizi,

kekurangan enzim dan efek samping obat (Tan, 2002).

2.3.2 Penyebab Diare

Diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga pelintasan

chymus dipercepat dan masih banyak mengandung air pada saat meninggalkan

tubuh sebagai tinja. Selain itu, diare disebabkan karena bertumbuknya cairan di

usus akibat terganggunya keseimbangan absorpsi dan sekresi. Terjadinya

gangguan keseimbangan ini, sering terjadi pada keadaan radang lambung-usus

yang disebakan oleh kuman atau toksinnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan diare:

a. Virus

11
Misalnya influenza perut dan travellers diarrhoea yang disebabkan oleh

rotavirus dan adenovirus. Virus melekat pada sel-sel mukosa usus, yang menjadi

rusak sehingga kapasitas absorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit

memegang peranan. Diare yang terjadi bertahan terus sampai beberapa hari

sesudah virus lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6 hari.

b. Bakteri

Diare yang disebakan oleh bakteri mulai berkurang terjadi karena

meningkatnya hygiene masyarakat. Bakteri – bakteri tertentu pada keadaan

tertentu, misalnya bahan makanan yang terinfeksi oleh banyak kuman menjadi

invasif dan menyerang kedalam mukosa. Di sini, bakteri-bakteri tersebut

memperbanyak diri dan membentuk toksin-toksin yang dapat direabsorpsi ke

dalam darah dan menimbulkan gejala-gejala, seperti demam tinggi, nyeri kepala

dan kejang-kejang, disamping mencret berdarah dan berlendir. Penyebab uama

dari jenis diare ini adalah bakteri Salmonella, Sigella, Campylobacter, dan jenis

Coli tertentu.

c. Parasit

Parasit yang sering menyebebkan diare seperti protozoa Entamoeba

histolytica, Giardia lambia, Cyptosporidium dan Cyclospora, yang terutama

terjadi di daerah tropis atau sub tropis. Diare akibat parasit-parasit ini biasanya

bercirikan menret cairan yang intermiten dan bertahan lebih lama dari satu

12
minggu. Gejala lain dapat berupa nyeri perut, demam anorexia, nausea, muntah-

muntah dan rasa letih (malaise).

d. Enterotoksin

Diare jenis ini lebih jarang terjadi, tetapi lebih dari 50% dari wisatawan di

Negara-negara berkembang dihinggapi diare ini, penyebabnya adalah kuman-

kuman yang membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah E. coli dan Vobrio

cholera, dan sebagian kecil Shigella, Salmonella, Campylobacter dan Entamoeba

histolytica. Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya. Diare jenis ini

juga bersifat selflimiting artinya akan sembuh dengan sendirinya tanpa

pengobatan dalam lebih kurang 5 hari, setelah sel-sel mukosa yang rusak diganti

dengan sel-sel mukosa yang baru.

e. Penyakit

Sejumlah penyakit ada yang menyebabkan diare sebagai salah satu

gejalanya, seperti kanker usus bear dan beberapa penyakit cacing (misalnya

penyakit cacing gelang dan cacing pita).

f. Obat-obatan

Obat-obatan dapat menimbulkan diare karena efek sampingnya, misalnya

antibiotic berspektrum luas (golongan ampisilin dan tetrasiklin), sitostatik, dan

penyinaran dengan sinar-X (radioterapi).

13
g. Makanan

Makanan yang sulit diserap oleh usus akan mengakibatkan tekanan

osmotik usus meningkat sehingga menghalangi absorpsi air dan elektrolit dan

menimbulkan diare. Alergi makanan, makanan dan minuman yang telah

terkontaminasi dengan toksi bakteri dan makanan yang tercemar loga berat juga

dapat menyebabkan diare.

h. Pengaruh psikis

Keluhan dalam diare dapat timbul sebagai salah satu gejala penyakit atau

sebagai akibat kelainan jiwa atau psikologis, misalnya ketegangan jiwa, emosi,

stress dan lain-lain. Diare karena penyebab ini dikenal dengan istilah diare

psikogenik.

Seseorang yang mengalami gangguan psikologis cenderung

menyebabkan hidupnya tidak teratur. Sering kali disertai dengan keadaan jiwa

yang tidak tenang, tidur tidak nyenyak, makan yang tidak teratur dan lain

sebagainya. Dalam keadaan seperti ini terjadi rangsangan berlebihan pada saraf-

saraf terutama pada daerah hipotalamus yang dapat menimbulkan

hiperperistaltik. Karena meningkatnya peristaltic maka absorpsi air dan elektrolit

akan terganggu dan terjadilah diare.

i. Penyebab lain

14
Penyebab lain diare seperti terjadinya gangguan gizi dan kekurangan

enzim-enzim tertentu (Tan, 2002).

2.3.3 Pengobatan Diare

Pengobatan diare dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu:

a. Pengobatan spesifik, dilakukan dengan memberikan obat-obat

kemoterapeutik setelah diketahui penyebab yang pasti melalui pemeriksaan

laboratorium. Diberikan pada keadaan infeksi.

b. Pengobatan non spesifik, dilakukan dengan mengurangi peristaltik otot polos

usus, menciutkan selaput lendir usus (astringensia), menyerap racun dan

toksin (adsorbensia) dan memberikan cairan elektrolit.

Kelompok obat yang sering digunakan pada keadaan diare, yaitu:

a. Kemoterapeutik, untuk terapi kausal yaitu memberantas bakteri penyebab

diare, seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon dan furazolidon

b. Obstipansia, untuk terapi simtomatis, yang dapat mengehentikan diare

dengan beberapa cara, yaitu:

1. Zat-zat penekan peristaltik, sehingga memberikan lebih banyak waku

untuk absorpsi air dan elektrilit oleh mukosa usus. Termasuk kedalam

kelompok ini adalah candu dan alkaloidnya, derivate-derivat petidin

(difenoksliat dan loperamid) dan antikolonergika (antropin dan ekstrak

belladonna)

15
2. Astringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak

(tannin) dan annalbumin, garam-garam bismuth dan aluminium.

3. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya dapat

menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun atau toksin yang dihasilkan oleh

bakteri atau yang berasal dari makanan.

c. Spasmolitika, yaitu zat-zat yang dapat meredakan kejang-kejang otot

yangsering kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, misalnya papaverin

dan oksifenonium (Tan, 2002).

2.4 SEDIAAN SIRUP

Dalam Farmakope Indonesia edisi III, Sirup adalah sediaan cair berupa

larutan yang mengandung sakarosa. Kecuali dinyatakan lain,kadar

sakarosa,C12H22O11,tidak kurang dari 64,0% dan tidak lebih dari 66,0%.Sirup

adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau perngganti gula dengan atau tanpa

penambahan bahan pewangi dan zat obat (Ansel, 1989)

Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain yang

berkadar tinggi (sirop simpleks adalah sirop yang hampir jenuh dengan sukrosa).

Kadar sukrosa dalam sirop adalah 64-66% , kecuali dinyatakan lain (Syamsuni,

2007). Sirop adalah larutan pekat gula atau gula lain yang cocok yang di

dalamnya ditambahkan obat atau zat wewangi, merupakan larutan jerni berasa

manis. Dapat ditambahkan gliserol, sorbitol, atau polialkohol yang lain dalam

16
jumlah sedikit, dengan maksud selain untuk menghalangi pembentukan hablur

sakarosa, juga dapat meningkatkn kelarutan obat (Anonim, 1978).

Sirup adalah sediaan cairan kental untuk pemakaian dalam yang minimal

mengandung 50% sukrosa. Penambahan bahan obat atau sari tumbuhan dapat

merupakan komponen lainnya dari sirup.Kandungan sakarosa dari sirup yang

tercantum dalam Farmakope terletak antar 50 dan 65%, akan tetapi umumnya

diantara 60 dan 65%.

Dalam larutan gula yang jenuh (kira – kira 66%) tidak memungkinkan

pembentukan jamur oleh karena dengan larutan berkonsentrasi tinggi, air yang

diperlukan bagi perkembngbiakan micro organisme akan dihisap melalui proses

osmosis. Atas dasar daya tahannya itulah, sediaan berkonsentrasi tinggi dinilai

paling baik, meskipun harus pula memperhatikan bahwa tingginya kandungan

gulan dari sirup dapat menyebabkan berkurangnya kelarutan bahan obat tertentu

di dalamnya (Voight, 1995).

2.4.1 Komponen Sirup

1. Zat aktif : zat aktif adalat zat utama / zat yang berkhasiat dalam sediaan sirup.

2. Pelarut : Pelarut adalah cairan yang dapat melarutkan zat aktif atau biasa

disebut sebagai zat pebawa. Contoh pelarut adalah air, gliserol,

propilenglikol,etanol,eter, dll.

3. Pemanis : pemanis merupakan zat tambahan dalam suatu sirup, pemanis

ditambahkan untuk memberikan rasa manis pada sirup. Karena sirup identik

dengan rasa manis. Contoh dari pemanis adalah sukrosa.

17
4. Zat penstabil : zat penstabil dimaksudkan untuk menjaga agar sirup dalam

keadaan stabil cuontoh dari zat penstabil adalah antioksidan, pendapar,

pengkompleks, dll .

5. Pengawet : pengawet ditambahkan pada sediaan sirup bertujuan agar sirup

tahan lama dan bisa di pakai berulang- ulang. Penambahan pengawet

biasanya pada sediaan dengan dosis berulang.

6. Pewarna : pewarna adalah zat tambahan untuk sediaan sirup atau biasa

disebut corigen coloris. Pewarna ditambahkan jika diperlukan. Penambahan

pewarna biasanya agar sediaan menjadi lebih menarik dan tidak berwarna

pucat. ewarna yang digunakan umumnya larut dalam air dan tidak bereaksi

dengan komponen lain dalam syrup dan warnanya stabil dalam kisaran pH

selama penyimpanan. Penampilan keseluruhan dari sediaan cair terutama

tergantung pada warna dan kejernihan. Pemilihan warna biasanya dibuat

konsisten dengan rasa.

Ada beberapa alasan mengapa syrup itu berwarana, yaitu:

a. Lebih menarik dalam faktor estetikanya.

b. Untuk menutupi kestabilan fisik obat

7. Pengental : penambahan pengental kedalam sediaan sirup hanya jika

diperlukan saja.

8. Pewangi : pewangi ditambahkan hanya jika diperlukan saja, bertujuan agar

obat berbau harum dan menutupi bau zat aktif yang kurang sedap. Contoh

dari pewangi adalah essen straw, oleum rosae, dll.

18
9. Perasa : penambahan perasa ini hanya jika diperlukan, ditambahkan jika

sediaan sirup yang akan di berikan pada pasien kurang enak atau terlalu

pahit.

10. Pengisotonis : biasanya ditambahkan pada sediaan steril.

2.4.2 Jenis-jenis Sirup

Ada3 macam sirup yaitu:

1. Sirup Simpex

Mengandung 65% gula dalam air nipagin 0,25% b/v

2. Sirup Obat

Mengandung satu atau lebih jenis obat dengan atau tanpa zat tambahan.

3. Sirup Pewangi

Mengandung pewangi atau zat pewangi lain, tidak mengand ung obat

Contoh: sir thyamin.

2.4.3 Keuntungan dan Kerugian Sirup

1. Keuntungan Sirup

 Sesuai untuk pasien yang susah menelan obat dengan sediaan padat. Contohnya :

anak – anak, lanjut usia, dan parkinson.

 Dapat menarik keinginan pasien untuk minum obat, karena rasanya yang enak dan

baunya yang sedap. Sehingga anak – anak tidak takut untuk minum obat.

 Sesuai untuk bahan obat yang bersifat higroskopis.

19
 Merupakan campuran yang homogen.

 Dosis dapat diubah ubah pembuatannya

 Mempunyai rasa manis

 Obat lebih mudah diabsopsi dalam tubuh

1. Kerugian Sirup

 Tidak semua obat bentuk sediaan sirup ada di pasaran.

 Sediaan sirup jarang yang isinya zat tunggal, pada umumnya campuran atau

kombinasi beberapa zat berkhasiat yang kadang-kadang sebetulnya tidak di

butuhkan oleh pasien tersebut.

 Tidak bisa untuk sediaan yang sukar larut dalam air (biasanya di buat suspensi

atau eliksir) eliksir kurang di sukai oleh dokter anak karena mengandung alkohol,

suspensi stabilitasnya lebih rendah tergantung formulasi dan suspending agent

yang di gunakan.

 Tidak bias untuk bahan obat yang berbentuk minyak (minyak/oil biasanya di

bentuk emulsi yang mana stabilitas emulsi juga lebih rendah.

 Tidak ssesuai untuk bahan obat yang tidak stabil.

 Harga relatif mahal karena memerlukan khusus dan kemasan yang khusus pula.

2.4.4 Cara Penyimpanan Sediaan Sirup

1. Sebaiknya di simpan di tempat sejuk.

2. Sebaiknya tidak terkena sinar matahari langsung.

3. Tutup rapat penutup pada botol sirup.

20
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental untuk mengetahui efektivitas ekstrak

daun rambutan (Nephelium lappaceum L) terhadap formulasi pembuatan sediaan

sirup sebagai obat antidiare.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Daun Rambutan diambil dari jalan Syuhada Sungai Guntung Provinsi Riau.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan juni sampai bulan oktober 2020 di Laboratorium

Teknologi Farmasi STIKes Mitra Bunda Persada Batam.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi, labu takar

5 ml, gelas ukur 10 ml, pipet volume, stopwatch, batang pengaduk, alat percolator,

aluminium foil, blender, oven listrik, Rotary Evaporator, kain saring

21
3.4.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan dan

bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah Daun rambutan (Nephelium

lappaceum L). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Nipagin,

propilen glikol, Essen anggur, Sirup simpleks, aqua destilata.

3.5 Cara Kerja

3.5.1 Persiapan bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian, berupa daun rambutan (Nephelium

lappaceum L) yang diperoleh dari jalan Syuhada Sungai Guntung Provinsi Riau.

Daun setelah diambil, kemudian dicuci bersih dibawah air yang mengalir guna

menghilangkan kontaminan yang melekat. Daun yang sudah dicuci dikeringkan di

dalam oven dengan suhu 50℃ sampai diperoleh bentuk yang rapuh sehingga mudah

untuk dijadikan serbuk.

3.5.2 Pembuatan ekstrak kental daun rambutan (Nephelium lappaceum L)

Ekstrak kental daun rambutan (Nephelium lappaceum L) dibuat dengan metode

maserasi. Serbuk daun rambutan (Nephelium lappaceum L) sebanyak 600 g

dimasukkan kedalam wadah dan digunakan pelarut etanol 96% sebanyak 4800 ml.

untuk maserasi ditambahkan pelarut etanol 96% sebanyak 3000 ml, ditutup dan

dibiarkan selama 5 har terlindung dari cahaya (setiap hari diaduk). Ekstrak

kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapat maserat

(filtrat I) kemudian filtrat I diremaserasi dengan etanol 96%sebanyak 1800 ml

22
(didapatkan filtrat II). Filtrat I dan filtrat II digabungkan lalu diaupkan dengan

menggunakan rotary evaporator dan dilanjutkan dengan penguapan dengan

menggunakan oven pada suhu 40℃ sehingga diperoleh ekstrak kental. Kemudian

ditimbang hasil ekstrak kental.

3.5.3 Uji Kualitas Ekstrak

Uji kualitas ekstrak meliputi organoleptis, rendemen, kekentalan, daya lekat, dan

susut pengeringan.

3.5.4 Pembuatan Sirup Ekstrak Daun Rambutan (Nephelium lappaceum L)

Pada pembuatan sirup ekstrak daun rambutan(Nephelium lappaceum L),

sebanyak 1,50 g ekstrak kental dimasukkan ke dalam gelas beker. Propilen glikol

yang telah ditimbang dimasukkan bersama dengan asam sitrat dalam wadah yang

sama, dilakukan pengadukan disertai pemanasan hingga terbentuk larutan homogen.

Propilen glikol merupakan bahan yang membantu meningkatkan kelarutan

senyawa dalam ekstrak tumbuhan obat dan berfungsi sebagai antidiare. Bahan ini

terbukti mampu meningkatkan kelarutan air dan minyak permen serta air dan benzyl

benzoate (Martin dkk, 1990). Penggunaan propilen glikol dalam bidang farmasetika

ialah berdasarkan atas aktivitas ikatan jembatan hydrogen, pembentukan kompleks,

dan penurunan tegangan permukaan (Gennaro, 1990).

23
3.5.5 Formula Sediaan Sirup Ekstrak Daun Rambutan

Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3

Ekstrak Daun Rambutan 1.5 1,5 1,5


Propilen Glikol 11 12 13
Nipagin 0,24 0,24 0,24
Essen Anggur (mL) 2,5 2,5 2,5
Sirup Simpleks Ad 60 ml Ad 60 ml Ad 60 ml

3.5.6 Evaluasi Sirup Ekstrak Daun Rambutan (Nephelium lappaceum L)

Evaluasi stabilitas fisik sediaan sirup dilakukan untuk mengetahui apakah

sediaan sirup yang dibuat dapat layak dikonsumsi nantinya. Evaluasi sifat fisik yang

dilakukan untuk sediaan sirup ekstrak daun rambutan (Nephelium lappaceum L)

yaitu uji organoleptic (rasa, warna, dan bau), uji homogenetis, uji pH serta uji waktu

tuang. Pada uji organoleptik, sirup ekstrak daun rambutan (Nephelium lappaceum L)

memiliki rasa manis, bau khas buah anggur dan juga warna hijau pekat yang

merupakan warna dasar ekstrak daun rambutan (Nephelium lappaceum L). Pada uji

homogenitas semua sirup yang diuji tidak memiliki gumpalan dan endapan dalam

larutan, hal ini karena tidak terdapat perbedaan sifat antara bahan dan zat aktif yang

digunakan.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang kemudian diolah dan dianalisis

secara kuantitatif agar dapat menjawab dari batasan runusan masalah mengenai

24
efektivitas ekstrak etanol daun rambutan (Nephelium lappaceum L) terhadap

formulasi sediaan sirup sebagai antidiare.

25
26
27
28
29

Anda mungkin juga menyukai