PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
a. Preparasi Sampel
Jambu biji merupakan salah satu tumbuhan yang sudah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat, namun pemanfaatannya hanya sebatas pada buahnya untuk keperluan konsumsi
karena mengandung vitamin C yang sangat tinggi, tetapi pemanfaatan daunnya hanya sebagian
kecil saja yaitu sebagai obat anti diare, disentri, radang usus dan gangguan pencernaan karena
mempunyai kandungan zat tanin sebagai astringent dan anti mikroba. Selain itu, berbagai
kegunaan di atas daun jambu biji diduga memiliki zat aktif golongan steroid yang mempunyai
daya spermicide. Bahan kimia yang terkandung dalam daun jambu biji diantaranya adalah Beta-
sitosterol, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, eugenol, minyak atsiri dan berbagai senyawa
lainya (Karta Sapoetra,1992).
Daun jambu biji (Psidium guajava L.) berbau aromatik dan rasanya sepat. Daunnya
berbentuk daun tunggal yang berwarna hijau keabuan, helai-helai daun berbentuk jorong sampai
bulat memanjang, ujung daunnya meruncing sedangkan pangkal daunnya juga meruncing tetapi
ada pula yang membulat, daun berukuran panjang antara 6 cm sampai 15 cm dan lebar antara 3
cm sampai 7,5 cm sedangkan tangkainya kurang lebih 1cm. Daun berambut penutup pendek,
tampak berbintik-bintik yang sesungguhnya merupakan rongga-rongga lisigen, warnanya gelap
namun bila dalam keadaan terendam air menjadi tembus cahaya (Karta Sapoetra,1992).
Daun jambu biji mempunyai zat aktif diantaranya minyak atsiri, alkaloid, flavonoid,
tanin, dan pektin. Selain itu tanin juga dapat menyerap racun dan menggumpalkan protein.
Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan
taninnya sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya,
senyawa itu bekerja sebagai astrengent yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar
(Winarno 1997). Bagian daun (folium) mempunyai sifat khas yaitu manis, kelat dan menetralkan
juga mempunyai kandungan kimia zat samak, minyak atsiri, tri terpenoid, leuko sianidin,
kuersetin, asam arjunolat resin, dan minyak lemak. Tanaman jambu biji (Psidium guajava
L.) khususnya bagian daun mengandung berbagai zat aktif diantaranya adalah amritoside,
aromadendren, avicularin, beta-sitosterol, calcium-oxalat, caryopphyllen-oxide, catechol-tannins,
crataegolic acid, EO, guajiverin, guaijaverin, guavin-a,b,c,d, guajivolic-acid, nerolidiol,
oleanolic-acid, psidiolic-acid, quercetin, sugar, ursolic-acid, xantophyll, gallo catechin,ellagic-
acid, fat, genticid-acid, hyperocid, leucocyanidine, hyperocide, aslinic-acid (Duke, 2004).
b. Maserasi
Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan.
Keunggulan dari metode maserasi adalah maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling
sederhana dan paling banyak digunakan, serta peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya
sederhana. Cara ini baik untuk skala kecil maupun skala industri (Agoes,2007). Dasar dari
metode maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang
terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.
Setelah selesai waktu maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian
dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir.
Selama maserasi atau proses perendaman berlangsung dilakukan pengocokan berulang-ulang.
Upaya ini dilakukan untuk menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat
di dalam cairan. Sedangkan dalam keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya
perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan
semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).
Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama maserasi pada
umumnya yaitu 4-10 hari. Kelemahan metode maserasi adalah pengerjaannya yang lama dan
penyariannya kurang sempurna. Secara tekhnologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyarigan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI,
2000; Depkes RI, 1995).
Tanaman jambu biji bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali
ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-
1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti
Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia dan Australia. Thailand dan Taiwan, jambu biji
menjadi tanaman yang direkomendasikan (Parimin, 2005).
Sudah sejak lama daun jambu biji digunakan untuk pengobatan secara tradisional dan
sudah banyak produk herbal dari sediaan jambu biji. Daun jambu biji mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid, siskulterpen, alkaloid,
kuinon dan saponin, minyak atsiri. Senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan
alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan
serangga (Karta Sapoetra,1992).
c. Soxhletasi
Salam merupakan tanaman asli Indonesia dan tumbuh di wilayah iklim tropis dan
subtropis, termasuk di Asia Tenggara dan Cina. Secara morfologi (Gambar 1), salam
merupakan pohon bertajuk rimbun dengan tinggi mencapai 25 m, berakar tunggang, dan
berbatang bulat dengan permukaan yang licin. Daun tunggal, berbentuk lonjong hingga elips,
letak berhadapan, panjang tangkai 0,5-1 cm, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata,
panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan atas licin berwarna hijau
tua, dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunga majemuk, tersusun dalam malai
yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih dan baunya harum. Buah buni, berbentuk
bulat, diameter 8-9 mm, saat masih muda berwarna hijau, saat matang berubah warna
menjadi merah gelap, dan rasanya agak sepat. Biji berbentuk bulat, penampang sekitar 1 cm,
dan berwarna coklat (Sumono 2009).
Efek farmakologi daun salam diperoleh dari daun, kulit batang, akar, dan buah salam.
Kandungan kimia tanaman salam dilaporkan di antaranya minyak atsiri (0,05%) yang terdiri
dari sitral dan eugenol (Sumono 2009), serta mengandung tanin tidak kurang dari 21,7% dan
flavonoid dengan fluoretin dan kuersitrin sebagai golongan utama (BPOM 2004).
d. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati dengan air
pada suhu 90 oC selama 15 menit (Departemen Kesehatan RI, 1979). Pembuatan infusa
merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan yang
lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas atau dingin. Khasiat sediaan
herbal umumnya karena kandungan minyak atsiri, yang akan hilang apabila tidak
menggunakan penutup pada pembuatan infusa. Kecuali dinyatakan lain, infusa yang
mengandung bukan bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia
(Departemen Kesehatan RI, 1995).
e. Evaporasi
Evaporasi meruapakan suatu proses yang bertujuan memekatkan larutan yang terdiri
atas pelarut (solvent) yang volatile dan zat terlarut (solute) yang non volatile. Evaporasi
adalah suatu proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau menguapkan pelarut.
Di dalam pengolahan hasil pertanian proses evaporasi bertujuan untuk meningkatkan larutan
sebelum proses lebih lanjut, memperkecil volume larutan, serta menurunkan aktivitas air
(Praptiningsih 1999).
Jambu biji adalah tumbuhan dengan batang yang berkayu, mengelupas, bercabang,
dan berwarna cokelat, kulit batang licin,. Daun berwarna hijau dan tunggal, ujung tumpul,
pangkal membulat, tepi rata berhadapan, petulangan daun menyirip berwarna hijau
kekuningan. Bunganya termasuk bunga tunggal, terletak di ketiak daun, bertangkai, kelopak
bunga berbentuk corong. Pada mahkota bunga berbentuk bulat telur, benang sari pipih
berwarna putih atau putih kekuningan. Berbentuk bulat seperti telur dan bijinya kecil-kecil,
keras, dan dalam nya berwarna merah pada jambu biji (Venant, 2004).
Sejak lama daun jambu biji digunakan untuk pengobatan secara tradisional dan sudah
banyak produk herbal dari sediaan jambu biji. Daun jambu biji mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid, siskulterpen, alkaloid,
kuinon dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati, 2006). Senyawa seperti phenolic, terpenoid,
flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Venant, 2004).
f. Kromatografi Lapis Tipis
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel
pada salah satu ujung fase diam dikeringkan. Ujung fase diam atau zona awal dicelupkan ke
dalam fase gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di
dalam chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran komponen-
komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase gerak
melalui fase diam. Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak
telah bergerak sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak
dalam lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan akan dideteksi secara langsung
(visual) ataupun di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa penambahan pereaksi
penampak noda yang cocok (Lestyo, 2011).
Secara alamiah, kunyit dipercaya memiliki kandungan bahan aktif yang dapat
berfungsi sebagai analgetika, antipiretika, dan antiinflamasi begitu juga asam jawa yang
memiliki bahan aktif sebagai antiinflamasi, antipiretika, dan penenang (Akram, 2010).
Kunyit memiliki kandungan senyawa aktif minyak atsiri yang terdiri dari α dan β
tumerone yang menyebabkan bau khas pada kunyit, aril-tumerone, artumerone, α dan β
atlantone, kurkumol, zingiberance. Selain itu ada senyawa kurkuminoid yang terdiri dari
kurkumin, dimetoksi kurkumin, desmetoksi kurkumin, trietil kurkumin, dan bisdemetoksi.
Sedangkan asam jawa mengandung 8-14% asam tartarat, 30-40% gula, serta sejumlah kecil
asam sitrat dan kalium bitartrat sehingga berasa sangat masam (Akram, 2010).
B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan simplisia daun jambu biji
2. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
3. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode maserasi
4. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya
5. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
6. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode soxhletasi
7. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya
8. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
9. Mahasiswa memahami proses kerja infusa
10. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya
11. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
12. Mahasiswa memahami proses kerja evaporasi
13. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya
14. Mengetahui ada tidaknya komponen metabolit sekunder di dalam sampel uji
dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
C. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami dan menerapkan cara pembuatan simplisia daun
jambu biji
2. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun jambu biji
3. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode maserasi dan
menerapkannya
4. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya secara maserasi
5. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun salam
6. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode soxhletasi dan
menerapkannya
7. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya secara soxhletasi
8. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisi dari rimpang tanaman kunyit
9. Mahasiswa dapat menerapkan proses kerja infusa
10. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya secara infusa
11. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun biji
12. Mahasiswa memahami proses kerja evaporasi dan menerapkannya
13. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya secara evaporasi
14. Mengetahui dan memahami penentuan komponen metabolit sekunder yang ada
dalam sampel uji dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREPARASI SAMPEL
Indonesia sangat kaya dengan tanaman yang mengandung senyawa kimia yang
berpotensi sebagai antimikroba. Bahan herbal yang memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai handsanitizier adalah daun jambu biji Psidium guajava L. Herbal handsanitizer dapat
sebagai alternatif terkait dengan pemilihan senyawa antimikroba yang aman dan efektif
karena pada umumnya jenis tanaman diatas mengandung senyawa kimia sebagai antimikroba
seperti minyak atsiri, sehingga dalam penelitian ini dapat memberikan solusi alami dan
praktis.
Tanaman jambu biji merupakan tanaman dari familia Myrtaceae. Hal yang dapat
mempengaruhi kandungan senyawa dalam tanaman adalah tempat tumbuh tanaman yang
dipengaruhi oleh jenis tanah, curah hujan, iklim, intensitas sinar matahari, ketinggian dan
lingkungan disekitar tempat tumbuhnya serta umur tanaman. Senyawa yang terkandung
dalam daun jambu biji yaitu senyawa polifenol, karoten, flavonoid, saponin dan tanin. Daun
jambu biji mempunyai khasiat sebagai anti-inflamasi, anti -mutagenik, anti-mikroba dan
analgesic (Indriani, 2006).
Jambu biji merupakan tanaman dari genus Psidium dan terbagi menjadi banyak
spesies. Tanaman ini bukan merupakan tanaman asli indonesia. Tanaman ini pertama
kali ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan
ekspedisi kebeberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Selatan, dan Uni soviet
tahun 1887-1942. Namun tanaman ini telah dibudidayakan di berbagai tempat di
dunia, khususnya di daerah tropis dan subtropis seperti thailand, Taiwan, Indonesia,
Jepang, Malaysia, dan Australia. (Rick Son Y. Manihuruk, 2016)
Di Indonesia jambu biji memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu glima breueh
(Aceh), glimeu veru (Gayo), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas, jambu
biawas, jambu biji, jambu batu, jambu klutuk (Melayu), jambu klutuk (Sunda),
bayawas, jambu klutuk, jambu krikil, petokal (Jawa tengah), jambu bhender (Madura),
sotong (Bali), guawa (Flores), goihawas (Sika), gayawas (Manado), boyawat
(Mongondow), koyawas (Tonsaw), dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makasar),
jambu paratukala, (Bugis), jambu (Baree), kujabas (Roti), biabuto (Boul), kayawase
(Seram Barat), kujawase (Seram Selatan), laine hatu, luhu hatu (Ambon), gayawa
(Ternate, Halmahera). (Widya Hapsari,2009)
Tanaman perdu atau pohon kecil dengan tinggi sekitar 4-10 meter. Termasuk
tumbuhan bineal, yaitu tumbuhan yang untuk hidupnya, dari tumbuh sampai berbuah
memerlukan waktu kurang lebih 2 tahun. Tanaman jambu biji dapat tumbuh subur
dilahan ketinggian 5-1200 m di atas permukaan laut. . (Netty Nur Azizah , 2008)Curah
hujan ideal yang diperlukan yaitu 1000-2000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.
Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman jambu biji yaitu 23-28ºC dengan
kelembapan udara yang rendah.
KLASIFIKASI
Jambu biji diklasifikasikan sebagai berikut :
(Feby Nur’Afani, 2016)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L
MORFOLOGI TANAMAN JAMBU BIJI
1. Akar
Sistem akar dari tanaman ini adalah akar tunggang (radix primaria), akar lembaga tumbuh
terus menerus menjadi akar pohon yang bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil.
Psidium guajava L.memiliki akar tunggang yang bercabang (ramosus), yaitu bentuk kerucut
panjang, tumbuh lurus ke bawah, bercabang banyak dan cabang- cabangnya bercabang lagi.
Sehingga memberi kekuatan yang lebih besar kepada batang dan juga daerah perakaran
menjadi amat luas, hingga dapat diserap air dan zat-zat makanan yang lebih banyak.
2. Batang
Batang berkayu, bulat, kulit terkelupas dalam potongan, licin, bercabang, berwarna cokelat
kehijauan. Ruas tangkai teratas segi empat tajam. Percabangan batang termasuk percabangan
simpodial, yaitu batang pokok sukar ditentukan karena dalam perkembangan selanjutnya
mungkin lalu menghentikan pertumbuhannyaatau kalah besar dan kalah cepat
pertumbuhannya dibandingkan dengan cabangnya. Arah tumbuh cabang tegak (fastigiatus).
Termasuk tumbuhan bineal, yaitu tumbuhan yang untuk hidupnya, dari tumbuh sampai
berbuah memerlukan waktu kurang lebih 2 tahun.
3. Daun
Daun tunggal, bersilang berhadapan, pada cabang-cabang mendatar seolah-olah
tersusun dalam dua baris pada satu bidang. Bertangkai pendek 3 mm sampai 7 mm.
Bangun daun bulat telur menjorong, pangkal membulat, tepi daun rata (integer), ujung
daun runcing (acutus), panjang 6-14 cm dengan lebar 3-6 cm. Permukaan daun
berkerut (rugosus). Warna daun hijau. Pertulangan daun menyirip (penninervis), dan
berwarna hijau kekuningan.
4. Bunga
Bunga tunggal terletak diketiak daun, bertangkai. Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3
bunga berwarna putih. Panjang gagang perbungaan 2 cm sampai 4 cm. Bunga banci
dengan hiasan yang jelas dapat dibedakan dalam kelopak dan mahkota bunga,
aktinomorf/zigomorf, berbilangan 4. Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5-2
cm, putih, segera rontok. Benang sari pada tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih,
pipih dan lebar, seperti halnya tangkai putik berwarna seperti mentega. Tabung
kelopak berbentuk lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm. Pinggiran tidak
rontok ( 1 cm panjangnya). Tabung kelopak tidak atau sedikit sekali diperpanjang di
atas bakal buah, tepi kelopak sebelum mekar berlekatan menjadi bentuk cawan,
kemudian membelah menjadi 2-5 taju yang tidak sama.bulat telur, warna hijau
kekuningan. Bakal buah tenggelam, dengan 1-8 bakal biji tiap ruang.
5. Buah
Buah buni bundar berbiji banyak. Berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Termasuk
buah sejati tunggal yang berdaging. Lapisan luar tipis agak menjangat atau kaku dan
lapisan dalam yang tebal, lunak dan berair . Daging buah berwarna putih kekuningan
atau merah jambu.
6. Biji
Biji buahnya mengumpul ditengah, kecil-kecil, keras, berwarna kuning kecoklatan. (Yulinar
Rochmasari,2008).
Preparasi Sampel
Sampel daun jambu biji Psidium guajava disortasi basah. Sampel basah kemudian
ditimbang dan diangin-anginkan hingga kering selama enam hari. Setelah kering,
dilakukan penimbangan kembali bobot kering sampel.
B. MASERASI
Simplisia
Simplisia didefinisikan sebagai bahan alamiah yang digunakan sebagai obat baik
dalam bentuk bahan asli atau sebagai bahan baku obat yang dikeringkan. Simplisia dapat
digolongkan dalam tiga kategori, simplisia nabati, hewani dan pelikan (mineral). Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman.
Yang dimaksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau
yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral ialah simplisia yang berupa
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia murni (Depkes, 1985).
Nama Latin simplisia ditetapkan dengan menyebutkan nama marga (genus), atau
nama jenis (species),atau petunjuk jenis (specific epithet) tanaman asal, diikuti dengan bagian
tanaman yang dipergunakan.Ketentuan ini tidak berlaku untuk simplisia nabati yang
diperoleh dari beberapa macam tanaman yangberbeda-beda marganya maupun untuk eksudat
tanaman (Depkes RI, 1989)..
Kualitas simplisia dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan proses pembuatannya.
1. Bahan Baku Simplisia
Berdasarkan bahan bakunya, simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar atau dari
tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia berasal dari tanaman yang dibudidayakan
maka keseragaman umur, masa panen, dan galur (asal usul dan garis keturunan)
tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar maka banyak
kendala dan variabilitasnya yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur,
dan tempat tumbuh.
2. Proses Pembuatan Simplisia
Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut
dimulai dari :
a. Pengumpulan bahan baku,
b. Sortasi basah, pencucian
c. Pengubahan bentuk
d. Pengeringan
e. Sortasi kering
Pengepakan dan Penyimpanan (Harborne, 1996).
Ekstraksi
Ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam suatu
sampel dengan menggunakan pelarut tertentu (Harborne, 1996). Pelarut polar akan menarik
komponen polar, sedangkan pelarut nonpolar akan menarik komponen nonpolar. Prinsip “like
dissolves like” inilah yang digunakan dalam teknik ekstraksi (Sudjadi, 1988).
Berdasarkan atas sifatnya eksrak dikelompokkan sebagai berikut :
a) Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki konsistensi emacam madu dan
dapat dituang.
b) Ekstrak kental (Extractum spissum). Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak
dapat dituang.
c) Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah
digosokkan.
Ekstrak cair (Ectractum fluidum). Dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair, yang dibuat
sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang satu
bagian) ekstrak cair.
Maserasi
Maserasi berasal dari kata ”macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan
simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan
merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Maserasi adalah proses
pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen
POM, 2000).
C. SOKLETASI
Prinsip Sokletasi
Proses sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari
material atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu didih,
ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum disokletasi.
Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan kandungan air yang
terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk mempermudah senyawa
terlarut dalam pelarut. Didalam sokletasi digunakan pelarut yang mudah menguap. Pelarut
itu bergantung pada tingkatannya, polar atau non polar (Nazarudin, 1992).
Bila penyaringan telah selesai maka pelarut yang telah di uapkan kembali adalah
zat yang bersisa. Dietil eter merupakan pelarut yang baik untuik hidrokarbon danuntuk
senyawa yang mengandung oksigen proses penyaringan yang berulang ulang pada proses
sokletasi bergantung pada tetesan yang mengalir pada bahan yang di ekstraksi. Sampel
pelarut yang digunakan bening atau tidak berwarna lagi. Umumnya prosedur sokletasi
hanya pengulangan,sistematis dan pemisahan dengan menggunakan labu untuk ekstraksi
sederhana tetapi lebih merupakan metoda yang spesial,dan alat yang digunakan lebih
kompleks. Oleh karena itu alat soklet cenderung mahal.
Pelarut yang mudah menguap, misalnya n-heksana, eter, petroleum eter, metil klorida dan
alkohol;
-
Titik didih pelarut rendah;
-
Pelarut dapat melarutkan senyawa yang diinginkan;
-
Pelarut tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan; dan
- Sifat sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (polar atau nonpolar)
Keuntungan metode ini adalah :
-
Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap
pemanasan secara langsung.
-
Digunakan pelarut yang lebih sedikit
-
Pemanasannya dapat diatur
Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-
menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.
Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam
pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume
pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.
Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut
dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat yang
berada di bawah kondensor perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut
yang efektif.
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran
azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya
heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau
dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam
pelarut cair di dalam wadah. (Fessenden & Fessenden, 1991).
D. INFUSA
Sistematika Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo :Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
INFUSA
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati
dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit (DijenPOM,1979). Pembuatan
infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal
dari bahan yang lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas
atau dingin. Khasiat sediaan herbal umumnya karena kandungan minyak atsiri,
yang akan hilang apabila tidak menggunakan penutup pada pembuatan infusa
(DijenPOM, 2000). Kecuali dinyatakan lain, infusa yang mengandung bukan
bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia
(DijenPOM, 1995).
E. EVAPORASI
F. KLT(KROMATOGRAFILAPISTIPIS)
Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi,
yang ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen), komponen
kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap
komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya, hal
inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan.
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan alat analisa yang cukup
sederhana karena dapat menentukan jumlah komponen yang ada pada suatu
bahan, bahkan dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen tersebut. Pada
dasarnya kromatograf lapis tipis (KLT atau TLC = Thin layer Chromatography)
sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara melakukannya.
Perbedaan nyata terlihat pada media pemisahnya, yakni digunakannya lapisan
tipis adsorben halus yang tersangga pada papan kaca, aluminium atau plastik
sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini pada proses pemisahan
berlaku sebagai fasa diam. Fasa diam KLT terbuat dari serbukhalus dengan
ukuran 5 sampai 50 m. Serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu
penukar ion, suatu pengayak molekul atau dapat merupakan penyangga yang
dilapisi suatu cairan. Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silica
gel, aluminium dan serbuk selulosa. Partikel silica gel mengandung gugus
hidroksil di permukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul-molekul polar (Soebagio, 2002 : 87).
Pada KLT, fase cair serupa lapisan tipis (tebal 0,1 – 2mm) yang terdiri atas bahan
padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat
dari kaca, tetapi dapat juga terbuat dari pelat polimer dan logam. Lapisan melekat
pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat. Biasanya kalsium sulfat atau
amilum (pati). Pada KLT, lapisan itu biasanya berfungsi sebagai permukaan padat
yang penyangga zat cair (Gitter, 1991 : 6).
Koefisien kromatograf dan kapasitas cuplikan linear menurun untuk
memperkecil pengaruh antariksa yang kuat, aktivitas penyerap biasanya
dikendalikan atau diubah dengan memakai kadar air atau alkohol. Alkohol atau air
atau asetonitril sering ditambahkan pada fasa gerak dan penyerap (Johnson, 1991 :
63).
Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silica gel, alumina
dan fasa diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom
serapan. Sistem tak berair yang paling banyak digunakan dan contoh pelarut
organik dlaam seri pelarut mikrostrop diberikan dalam tabel, yang meliputi (sifat
hidrofob menarik) methanol, asam asetat, etanol, aseton, etil asetat, eter,
kloroform (perlu diperhatikan pada kloroform yang distabilkan dalam etanol),
benzena, sikloheksana, dan eter petroleum. Kelompok seri pertama untuk
pemisahan senyawa hidrofil, sedangkan kelompok pelarut seri kedua untuk
pemisahan senyawa lipofil. Jika sebagai fasa gerak digunakan sisitem pelarut
campuran, pada lapisan fasa diam susunan pelarut itu dapat mengalami sedikit
demi sedikit. Hal ini akan menghasilkan kedapatan-ulangnya sangat jelek. Oleh
karenanya sistem dua pelarut lebih disenangi. Suatu pendekatan yang menarik
terhadap penggunaan campuran azotrop, misalnya methanol-aseton (12: 88),
methanol-benzena (31,7: 68,3), methanol-sikloheksana-metil asetat (17,8 : 33,6:
48,6). Hal yang mempengaruhi kualitas pemisahan dan kedapatan-ulangnya
adalah kejenuhan bejana pengembang (Sudjadi, 1988: 171). Untuk membantu
mengidentifikasi zat-zat yang ada dapat dihitung nilai Rf (Retardation factor) dari
masing-masing zat yang ada pada kromatogram. Nilai Rf dapat dihitung dengan
jarak (spot)bergerakkeatas
rumus sebagai berikut : Rf = . Persamaan tersebut dapat
dijabarkan jarakpermukaaneluen
METODE
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PERCOBAAN
PREPARASI SAMPEL
MASERASI
Rasa :-
Bentuk : Cair
SOKLETASI
Rasa :-
INFUSA
Bau : Kunyit
Rasa : Pahit
Bentuk : Cair, Terdapat Endapan
EVAPORASI
Tahap Praktikum Hasil Pengamatan
Evaporator
1. Kecepatan Putar 150 rpm
2. Temperatur 70C
3. Waktu Evaporasi 31 Menit
4. Aroma Ekstrak Terbentuk Berbau seperti Daun jambu biji kerin
namun sedikit lebih pahit
5. Karakteristik Ektrak Warna : Hijau Tua
Rasa :-
Bentuk : Kental
6. Jumlah Ekstrak Terbentuk (g) 11,9792 g
3,4
𝑅𝑓𝐴 = = 0,85
4
3,3
𝑅𝑓𝐵 = = 0,82
4
3,2
𝑅𝑓𝐶 = = 0,8
4
B. PEMBAHASAN
Cara kerja dalam preparasi sampel simplisia daun jambu biji diawali
dengan Pemanenan daun jambu biji, pada waktu panen peralatan dan tempat yang
digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering.Alat
yang diguna-kan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau
tanah yang tidak diperlukan. Seperti rimpang, alat untuk panen dapat
menggunakan garpu atau cangkul. Bahan yang rusak atau busuk harus segera
dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keran-jang, kantong, karung
dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak
rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak
terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebab-kan terjadinya proses
fermentasi/ busuk. Bahan juga harus dijaga dari gang-guan hama (hama gudang,
tikus dan binatang peliharaan) (Adhyatma, 1995). Kemudian dilanjutkan dengan
pencucian, Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
mikroba-mikroba yang menempel pada bahan. Pencucian harus dilakukan dalam
waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat
yang terkandung dalam simplisia. Pencucian harus menggunakan air bersih,
seperti air dari mata air, sumur atau PAM (Laksana, 2010). Menurut Frazier
(1978), pencucian sayur-sayuran satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah
mikroba awal, jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang
tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal. Pencucian tidak dapat
membersihkan simplisia dari semua mikroba karena air pencucian yang digunakan
biasanya mengandung juga sejumlah mikroba. Cara sortasi dan pencucian sangat
mempengaruhi jenis dan jumlah rnikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang
digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan
simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut
dapat menipercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri yang umum terdapat dalam air
adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter
dan Escherishia. Pada simplisia akar, batang atau buah dapat pula dilakukan
pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian
besar jumlah mikroba biasanya terdapat pada permukaan bahan simplisia. Bahan
yang telah dikupas tersebut mungkin tidak memerlukan pencucian jika cara
pengupasannya dilakukan dengan tepat dan bersih. Kemudian dilanjutkan dengan
perajangan, perajangan atau pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas
permukaan sehingga lebih cepat kering tanpa pemanasan yang berlebih.
Pengubahan bentuk dilakukan dengan menggunakan pisau tajam yang terbuat
dari bahan steinles (Laksana, 2010). Dalam perajangan atau pemotongan daun
semanggi dilakukan tanpa pisau, dapat dengan tangan yaitu dengan cara helaian
daun dipetik-petik. kemudian pengeringan, Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan
(cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada simplisia
dan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 300-900C.
Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu
bahan dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya
memerlukan lantai jemur. Simplisia yang akan dijemur disebar secara merata dan
pada saat tertentu dibalik agar panas merata. Cara penjemuran semacam ini selain
murah juga praktis, namun juga ada kelemahan yaitu suhu dan kelembaban tidak
dapat terkontrol, memerlukan area penjemuran yang luas, saat pengeringan
tergantung cuaca, mudah terkontaminasi dan waktu pengeringan yang lama.
Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang dan
menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan mutu
atau pengrusakan simplisia. Secara umum kadar air simplisia tanaman obat
maksimal 10%. Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain
memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih
lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan
serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi (Laksana, 2010).
Dari hasil preparasi simplisia daun jambu biji ini didapatkan hasil
perhitungan persentase rendemen simplisia sebesar 13,4% dengan menggunakan
rumus perhitungan sebagai berikut :
Dalam proses maserasi kali ini digunakan simplisia daun jambu biji
sebanyak 75g yang direndam dalam pelarut aseton sebanyak 375g selama 1
minggu dalam suatu wadah dan ditutup rapat. Untuk penyimpanannya maserasi
yang kami kerjakan disimpan dalam ruanan dengan suhu kamar. Namun, pada
proses maserasi kali ini praktikan melakukan perendaman selama satu minggu
halini tidak sesuai dengan literatur menenai proses ekstraksi simplisia yang baik,
Dalam proses maserasi, bahan yang berupa serbuk simplisia yang biasa disari,
biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, ditutup rapat,
dan isinya digojog berulang-ulang selama 1-4 hari. Penggojogan yang 10
berulang-ulang ini memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan dari
bahan serbuk simplisia (Ansel, 1990).
Dalam proses pembuatannya suhu tempat penyimpanan maserasi yang
dibuat oleh kelompok kami disimpan dalam ruanan dengan suhu kamar. Namun,
suhu dalam proses maserasi yang biasanya kurang diperhatikan. Ternyata,
menurut Depkes RI, 2000 dalam proses maserasi suhu perlu dikendalikan, karena
berdasarkan hukum Arrhenius, setiap kenaikan suhu 10C akan meningkatkan
kecepatan reaksi dua kali lebih besar (Depkes RI, 2000)
Evaporasi ekstrak daun jambu biji yang didapatkan dari hasil ekstraksi
maserasi dilakukan denan bantuan larutan penarik berupa n-heksane. Proses
evaporasi pada umumnya menggunakan pelarut air. Evaporasi dilakukan dengan
cara menguapkan sebagian dari pelarut sehingga didapatkan larutan zat cair pekat
yang konsentrasinya lebih tinggi. Evaporasi tidak sama dengan proses
pengeringan. Dalam evaporasi sisa penguapan adalah zat cair yang sangat kental,
bukan zat padat. Evaporasi berbeda pula dengan destilasi, karena uapnya adalah
komponen tunggal. Evaporasi berbeda dengan kristalisasi, karena evaporasi
digunakan untuk memekatkan larutan bukan untuk membuat zat padat atau Kristal
(MC. Cab,dkk.,1993).
Dalam proses evaporasi yang kami lakukan dengan mengunakan alat yang
bernama evaporator dengan kecepatan putaran sebesar 150 rpm, dengan
temperatur 70C, waktu evaporasi 31 menit, aroma ektrak yang terbentuk berbau
seperti daun jambu biji kerin namun sedikit lebih pahit, dengan warna hijau tua,
dengan bentuk ekrak hasil evaorasi kental dan jumlah sebanyak 11,9792g.
Cara kerja infusa yang kelompok kami lakukan telah sesuai dengan
literatur yaitu perebusan simplisia dengan pelaru air pada suhu 90 oC selama 15
menit. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati
dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit (Departemen Kesehatan RI, 1979).
Massa awal simplisia kunyit 10g dengan pelarut aquadest sebanyak 110 mL
dan dipanaskan selama 15 menit. Volume akhir ekstraksi yang didapatkan
adalah 80mL dengan perubahan warna ektrak menjadi kuning kecoklatan,
berbau kunyit, berasa pahit, dan berbentuk cair dengan terdapat endapan
berwarna kuning.
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Heinrich, et al. 2009. Farmakognosi dan fitoterapi; alih bahasa: Winny R. Syarief
et al; editor bahasa Indonesia, Amalia H. Hadinata. EGC : Jakarta.
Netty Nur Azizah, “Isolasidan Identifikasi Jamur Endofit dari Daun Jambu
Biji (Psidium guajava L.) Penghasil Anti Bakteri Terhadap Bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus”, (Malang : Skripsi
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Malang, 2008), h 21-22
Feby Nur’Afani, “Pengaruh Perbandingan Jambu Biji (Psidium guajava L.)
dengan Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) dan Jenis Jambu Biji
Terhadap Karakteristik Jus”, (Pasundan : Skripsi Fakultas Teknik,
Universitas Pasundan,2016)
Yulinar Rochmasari, Op, Cit, h 4, Gamedia, Jakarta Indriani, S., 2006.
Aktifitas Antioksi dan Ekstrak Daun Jambu Biji
(PsidiumguajavaL.)J.II.Pert.Indon,11(1).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materi Medika
Indonesia. Jilid V. Jakarta : Depkes RI.
Harborne, J. B., 1996. ‘Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern
Menganalisa Tumbuha, Edisi II’. Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan Kimia. Kanisius. Yogyakarta.
Ditjen POM.2000. Maserasi .Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta