Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
a. Preparasi Sampel

Jambu biji merupakan salah satu tumbuhan yang sudah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat, namun pemanfaatannya hanya sebatas pada buahnya untuk keperluan konsumsi
karena mengandung vitamin C yang sangat tinggi, tetapi pemanfaatan daunnya hanya sebagian
kecil saja yaitu sebagai obat anti diare, disentri, radang usus dan gangguan pencernaan karena
mempunyai kandungan zat tanin sebagai astringent dan anti mikroba. Selain itu, berbagai
kegunaan di atas daun jambu biji diduga memiliki zat aktif golongan steroid yang mempunyai
daya spermicide. Bahan kimia yang terkandung dalam daun jambu biji diantaranya adalah Beta-
sitosterol, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, eugenol, minyak atsiri dan berbagai senyawa
lainya (Karta Sapoetra,1992).

Daun jambu biji (Psidium guajava L.) berbau aromatik dan rasanya sepat. Daunnya
berbentuk daun tunggal yang berwarna hijau keabuan, helai-helai daun berbentuk jorong sampai
bulat memanjang, ujung daunnya meruncing sedangkan pangkal daunnya juga meruncing tetapi
ada pula yang membulat, daun berukuran panjang antara 6 cm sampai 15 cm dan lebar antara 3
cm sampai 7,5 cm sedangkan tangkainya kurang lebih 1cm. Daun berambut penutup pendek,
tampak berbintik-bintik yang sesungguhnya merupakan rongga-rongga lisigen, warnanya gelap
namun bila dalam keadaan terendam air menjadi tembus cahaya (Karta Sapoetra,1992).

Daun jambu biji mempunyai zat aktif diantaranya minyak atsiri, alkaloid, flavonoid,
tanin, dan pektin. Selain itu tanin juga dapat menyerap racun dan menggumpalkan protein.
Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan
taninnya sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya,
senyawa itu bekerja sebagai astrengent yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar
(Winarno 1997). Bagian daun (folium) mempunyai sifat khas yaitu manis, kelat dan menetralkan
juga mempunyai kandungan kimia zat samak, minyak atsiri, tri terpenoid, leuko sianidin,
kuersetin, asam arjunolat resin, dan minyak lemak. Tanaman jambu biji (Psidium guajava
L.) khususnya bagian daun mengandung berbagai zat aktif diantaranya adalah amritoside,
aromadendren, avicularin, beta-sitosterol, calcium-oxalat, caryopphyllen-oxide, catechol-tannins,
crataegolic acid, EO, guajiverin, guaijaverin, guavin-a,b,c,d, guajivolic-acid, nerolidiol,
oleanolic-acid, psidiolic-acid, quercetin, sugar, ursolic-acid, xantophyll, gallo catechin,ellagic-
acid, fat, genticid-acid, hyperocid, leucocyanidine, hyperocide, aslinic-acid (Duke, 2004).
b. Maserasi

Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan.
Keunggulan dari metode maserasi adalah maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling
sederhana dan paling banyak digunakan, serta peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya
sederhana. Cara ini baik untuk skala kecil maupun skala industri (Agoes,2007). Dasar dari
metode maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang
terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.
Setelah selesai waktu maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian
dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir.
Selama maserasi atau proses perendaman berlangsung dilakukan pengocokan berulang-ulang.
Upaya ini dilakukan untuk menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat
di dalam cairan. Sedangkan dalam keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya
perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan
semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).

Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama maserasi pada
umumnya yaitu 4-10 hari. Kelemahan metode maserasi adalah pengerjaannya yang lama dan
penyariannya kurang sempurna. Secara tekhnologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyarigan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI,
2000; Depkes RI, 1995).

Tanaman jambu biji bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali
ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara tahun 1887-
1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji menyebar di beberapa negara seperti
Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia dan Australia. Thailand dan Taiwan, jambu biji
menjadi tanaman yang direkomendasikan (Parimin, 2005).

Sudah sejak lama daun jambu biji digunakan untuk pengobatan secara tradisional dan
sudah banyak produk herbal dari sediaan jambu biji. Daun jambu biji mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid, siskulterpen, alkaloid,
kuinon dan saponin, minyak atsiri. Senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan
alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan
serangga (Karta Sapoetra,1992).
c. Soxhletasi

Soxhletasi merupakan suatu metode pemisahan suatu komponen yang terdapat


dalam sampel padat dengan cara penyarian berulang–ulang dengan pelarut yang sama,
sehingga semua komponen yang diinginkan dalam sampel terisolasi dengan sempurna.
Pelarut yang digunakan ada 2 jenis, yaitu heksana ( C6H14 ) untuk sampel kering dan
metanol (CH3OH ) untuk sampel basah. Jadi, pelarut yang digunakan tergantung dari
sampel alam yang akan digunakan. Nama lain dari sokletasi adalah pengekstrakan
berulang–ulang (continous extraction) dari sampel pelarut (Depkes RI, 1995).

Soxhletasi adalah penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari


dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul
air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klonsong dan selanjutnya
masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Prinsip kerja dari
Soxhletasi yaitu bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam sebuah kantung ekstraksi
(kertas, karton, dan sebagainya) pada bagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja
kontinyu. Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan antara labu penyulingan
dengan labu pendingin aliran balik serta dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu
tersebut berisi bahan pelarut, yang menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik
melalui pipet, berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan yang diekstraksi dan
menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul di dalam wadah gelas dan
setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan ke dalam labu. Dengan
demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni
berikutnya. Pada cara ini diperlukan bahan pelarut yang dalam jumlah kecil, juga simplisia
yang baru artinya suplai bahan pelarut bebas bahan aktif berlangsung secara terus-menerus
(pembaharuan pendekatan konsentrasi secara kontinyu). Keburukannya adalah waktu yang
dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama (sampai beberapa jam) sehingga kebutuhan
energinya tinggi (listrik, gas) (Harbone, 1996).

Salam merupakan tanaman asli Indonesia dan tumbuh di wilayah iklim tropis dan
subtropis, termasuk di Asia Tenggara dan Cina. Secara morfologi (Gambar 1), salam
merupakan pohon bertajuk rimbun dengan tinggi mencapai 25 m, berakar tunggang, dan
berbatang bulat dengan permukaan yang licin. Daun tunggal, berbentuk lonjong hingga elips,
letak berhadapan, panjang tangkai 0,5-1 cm, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata,
panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan atas licin berwarna hijau
tua, dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunga majemuk, tersusun dalam malai
yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih dan baunya harum. Buah buni, berbentuk
bulat, diameter 8-9 mm, saat masih muda berwarna hijau, saat matang berubah warna
menjadi merah gelap, dan rasanya agak sepat. Biji berbentuk bulat, penampang sekitar 1 cm,
dan berwarna coklat (Sumono 2009).

Efek farmakologi daun salam diperoleh dari daun, kulit batang, akar, dan buah salam.
Kandungan kimia tanaman salam dilaporkan di antaranya minyak atsiri (0,05%) yang terdiri
dari sitral dan eugenol (Sumono 2009), serta mengandung tanin tidak kurang dari 21,7% dan
flavonoid dengan fluoretin dan kuersitrin sebagai golongan utama (BPOM 2004).

d. Infusa

Sejak dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat


obat sebagai salah satu upaya penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya jauh
sebelum kesehatan formal dengan obat-obat modernnya menyentuh masyarakat.
Pengetahuan tentang obat merupakan warisan budaya berdasarkan pengalaman yang
secara turun-temurun telah diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi saat ini
(Wijayakusuma, 1994). Popularitas dan pengembangan obat tradisional kian meningkat
seiring dengan slogan “kembali ke alam” yang kian menggema (Suharmiati dan
Handayani, 2006).

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati dengan air
pada suhu 90 oC selama 15 menit (Departemen Kesehatan RI, 1979). Pembuatan infusa
merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan yang
lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas atau dingin. Khasiat sediaan
herbal umumnya karena kandungan minyak atsiri, yang akan hilang apabila tidak
menggunakan penutup pada pembuatan infusa. Kecuali dinyatakan lain, infusa yang
mengandung bukan bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia
(Departemen Kesehatan RI, 1995).

Rimpang kunyit (Curcuma domestica) berkhasiat melancarkan peredaran darah,


antiinflamasi, antibakteri, melancarkan pengeluaran empedu, antipiretik dan ikterik
hepatitis (Akram, 2010).

e. Evaporasi
Evaporasi meruapakan suatu proses yang bertujuan memekatkan larutan yang terdiri
atas pelarut (solvent) yang volatile dan zat terlarut (solute) yang non volatile. Evaporasi
adalah suatu proses pengentalan larutan dengan cara mendidihkan atau menguapkan pelarut.
Di dalam pengolahan hasil pertanian proses evaporasi bertujuan untuk meningkatkan larutan
sebelum proses lebih lanjut, memperkecil volume larutan, serta menurunkan aktivitas air
(Praptiningsih 1999).

Proses evaporasi pada umumnya menggunakan pelarut air. Evaporasi dilakukan


dengan cara menguapkan sebagian dari pelarut sehingga didapatkan larutan zat cair pekat
yang konsentrasinya lebih tinggi. Evaporasi tidak sama dengan proses pengeringan. Dalam
evaporasi sisa penguapan adalah zat cair yang sangat kental, bukan zat padat. Evaporasi
berbeda pula dengan destilasi, karena uapnya adalah komponen tunggal. Evaporasi berbeda
dengan kristalisasi, karena evaporasi digunakan untuk memekatkan larutan bukan untuk
membuat zat padat atau Kristal (Praptiningsih 1999).

Faktor - faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi kecepatan pada proses


evaporasi adalah kecepatan hantaran panas yang diuapkan ke bahan, jumlah panas yang
tersedia dalam penguapan, suhu maksimum yang dapat dicapai, tekanan yang terdapat dalam
alat yang digunakan, dan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi selama proses
penguapan (Earle 1982).

Jambu biji adalah tumbuhan dengan batang yang berkayu, mengelupas, bercabang,
dan berwarna cokelat, kulit batang licin,. Daun berwarna hijau dan tunggal, ujung tumpul,
pangkal membulat, tepi rata berhadapan, petulangan daun menyirip berwarna hijau
kekuningan. Bunganya termasuk bunga tunggal, terletak di ketiak daun, bertangkai, kelopak
bunga berbentuk corong. Pada mahkota bunga berbentuk bulat telur, benang sari pipih
berwarna putih atau putih kekuningan. Berbentuk bulat seperti telur dan bijinya kecil-kecil,
keras, dan dalam nya berwarna merah pada jambu biji (Venant, 2004).

Sejak lama daun jambu biji digunakan untuk pengobatan secara tradisional dan sudah
banyak produk herbal dari sediaan jambu biji. Daun jambu biji mengandung metabolit
sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flovanoid, menoterpenoid, siskulterpen, alkaloid,
kuinon dan saponin, minyak atsiri (Kurniawati, 2006). Senyawa seperti phenolic, terpenoid,
flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas juvenil hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga (Venant, 2004).
f. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas tergolong "kromatografi


planar." KLT adalah yang metode kromatografi paling sederhana yang banyak digunakan.
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel
dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi
pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan instrumen komersial
yang tersedia, pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang akurat dapat dicapai (Lestyo,
2011).

Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel
pada salah satu ujung fase diam dikeringkan. Ujung fase diam atau zona awal dicelupkan ke
dalam fase gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di
dalam chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran komponen-
komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase gerak
melalui fase diam. Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak
telah bergerak sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak
dalam lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan akan dideteksi secara langsung
(visual) ataupun di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa penambahan pereaksi
penampak noda yang cocok (Lestyo, 2011).

Secara alamiah, kunyit dipercaya memiliki kandungan bahan aktif yang dapat
berfungsi sebagai analgetika, antipiretika, dan antiinflamasi begitu juga asam jawa yang
memiliki bahan aktif sebagai antiinflamasi, antipiretika, dan penenang (Akram, 2010).

Kunyit memiliki kandungan senyawa aktif minyak atsiri yang terdiri dari α dan β
tumerone yang menyebabkan bau khas pada kunyit, aril-tumerone, artumerone, α dan β
atlantone, kurkumol, zingiberance. Selain itu ada senyawa kurkuminoid yang terdiri dari
kurkumin, dimetoksi kurkumin, desmetoksi kurkumin, trietil kurkumin, dan bisdemetoksi.
Sedangkan asam jawa mengandung 8-14% asam tartarat, 30-40% gula, serta sejumlah kecil
asam sitrat dan kalium bitartrat sehingga berasa sangat masam (Akram, 2010).

B. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pembuatan simplisia daun jambu biji
2. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
3. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode maserasi
4. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya
5. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
6. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode soxhletasi
7. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya
8. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
9. Mahasiswa memahami proses kerja infusa
10. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya
11. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman
12. Mahasiswa memahami proses kerja evaporasi
13. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya
14. Mengetahui ada tidaknya komponen metabolit sekunder di dalam sampel uji
dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

C. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami dan menerapkan cara pembuatan simplisia daun
jambu biji
2. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun jambu biji
3. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode maserasi dan
menerapkannya
4. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya secara maserasi
5. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun salam
6. Mahasiswa memahami proses kerja ekstraksi metode soxhletasi dan
menerapkannya
7. Mahasiswa dapat memisahkan ekstrak basah dari pengotornya secara soxhletasi
8. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisi dari rimpang tanaman kunyit
9. Mahasiswa dapat menerapkan proses kerja infusa
10. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya secara infusa
11. Mahasiswa dapat membuat ekstrak simplisia dari tanaman daun biji
12. Mahasiswa memahami proses kerja evaporasi dan menerapkannya
13. Mahasiswa dapat memisahkan zat dari pelarutnya secara evaporasi
14. Mengetahui dan memahami penentuan komponen metabolit sekunder yang ada
dalam sampel uji dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PREPARASI SAMPEL

Indonesia sangat kaya dengan tanaman yang mengandung senyawa kimia yang
berpotensi sebagai antimikroba. Bahan herbal yang memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai handsanitizier adalah daun jambu biji Psidium guajava L. Herbal handsanitizer dapat
sebagai alternatif terkait dengan pemilihan senyawa antimikroba yang aman dan efektif
karena pada umumnya jenis tanaman diatas mengandung senyawa kimia sebagai antimikroba
seperti minyak atsiri, sehingga dalam penelitian ini dapat memberikan solusi alami dan
praktis.
Tanaman jambu biji merupakan tanaman dari familia Myrtaceae. Hal yang dapat
mempengaruhi kandungan senyawa dalam tanaman adalah tempat tumbuh tanaman yang
dipengaruhi oleh jenis tanah, curah hujan, iklim, intensitas sinar matahari, ketinggian dan
lingkungan disekitar tempat tumbuhnya serta umur tanaman. Senyawa yang terkandung
dalam daun jambu biji yaitu senyawa polifenol, karoten, flavonoid, saponin dan tanin. Daun
jambu biji mempunyai khasiat sebagai anti-inflamasi, anti -mutagenik, anti-mikroba dan
analgesic (Indriani, 2006).

Pengertiaan jambu biji

Jambu biji merupakan tanaman dari genus Psidium dan terbagi menjadi banyak
spesies. Tanaman ini bukan merupakan tanaman asli indonesia. Tanaman ini pertama
kali ditemukan di Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan
ekspedisi kebeberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Selatan, dan Uni soviet
tahun 1887-1942. Namun tanaman ini telah dibudidayakan di berbagai tempat di
dunia, khususnya di daerah tropis dan subtropis seperti thailand, Taiwan, Indonesia,
Jepang, Malaysia, dan Australia. (Rick Son Y. Manihuruk, 2016)

Di Indonesia jambu biji memiliki nama daerah yang berbeda-beda yaitu glima breueh
(Aceh), glimeu veru (Gayo), galiman (Batak Karo), masiambu (Nias), biawas, jambu
biawas, jambu biji, jambu batu, jambu klutuk (Melayu), jambu klutuk (Sunda),
bayawas, jambu klutuk, jambu krikil, petokal (Jawa tengah), jambu bhender (Madura),
sotong (Bali), guawa (Flores), goihawas (Sika), gayawas (Manado), boyawat
(Mongondow), koyawas (Tonsaw), dambu (Gorontalo), jambu paratugala (Makasar),
jambu paratukala, (Bugis), jambu (Baree), kujabas (Roti), biabuto (Boul), kayawase
(Seram Barat), kujawase (Seram Selatan), laine hatu, luhu hatu (Ambon), gayawa
(Ternate, Halmahera). (Widya Hapsari,2009)

Tanaman perdu atau pohon kecil dengan tinggi sekitar 4-10 meter. Termasuk
tumbuhan bineal, yaitu tumbuhan yang untuk hidupnya, dari tumbuh sampai berbuah
memerlukan waktu kurang lebih 2 tahun. Tanaman jambu biji dapat tumbuh subur
dilahan ketinggian 5-1200 m di atas permukaan laut. . (Netty Nur Azizah , 2008)Curah
hujan ideal yang diperlukan yaitu 1000-2000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun.
Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman jambu biji yaitu 23-28ºC dengan
kelembapan udara yang rendah.
KLASIFIKASI
Jambu biji diklasifikasikan sebagai berikut :
(Feby Nur’Afani, 2016)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L
MORFOLOGI TANAMAN JAMBU BIJI
1. Akar
Sistem akar dari tanaman ini adalah akar tunggang (radix primaria), akar lembaga tumbuh
terus menerus menjadi akar pohon yang bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil.
Psidium guajava L.memiliki akar tunggang yang bercabang (ramosus), yaitu bentuk kerucut
panjang, tumbuh lurus ke bawah, bercabang banyak dan cabang- cabangnya bercabang lagi.
Sehingga memberi kekuatan yang lebih besar kepada batang dan juga daerah perakaran
menjadi amat luas, hingga dapat diserap air dan zat-zat makanan yang lebih banyak.
2. Batang
Batang berkayu, bulat, kulit terkelupas dalam potongan, licin, bercabang, berwarna cokelat
kehijauan. Ruas tangkai teratas segi empat tajam. Percabangan batang termasuk percabangan
simpodial, yaitu batang pokok sukar ditentukan karena dalam perkembangan selanjutnya
mungkin lalu menghentikan pertumbuhannyaatau kalah besar dan kalah cepat
pertumbuhannya dibandingkan dengan cabangnya. Arah tumbuh cabang tegak (fastigiatus).
Termasuk tumbuhan bineal, yaitu tumbuhan yang untuk hidupnya, dari tumbuh sampai
berbuah memerlukan waktu kurang lebih 2 tahun.
3. Daun
Daun tunggal, bersilang berhadapan, pada cabang-cabang mendatar seolah-olah
tersusun dalam dua baris pada satu bidang. Bertangkai pendek 3 mm sampai 7 mm.
Bangun daun bulat telur menjorong, pangkal membulat, tepi daun rata (integer), ujung
daun runcing (acutus), panjang 6-14 cm dengan lebar 3-6 cm. Permukaan daun
berkerut (rugosus). Warna daun hijau. Pertulangan daun menyirip (penninervis), dan
berwarna hijau kekuningan.
4. Bunga
Bunga tunggal terletak diketiak daun, bertangkai. Perbungaan terdiri dari 1 sampai 3
bunga berwarna putih. Panjang gagang perbungaan 2 cm sampai 4 cm. Bunga banci
dengan hiasan yang jelas dapat dibedakan dalam kelopak dan mahkota bunga,
aktinomorf/zigomorf, berbilangan 4. Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5-2
cm, putih, segera rontok. Benang sari pada tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih,
pipih dan lebar, seperti halnya tangkai putik berwarna seperti mentega. Tabung
kelopak berbentuk lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm. Pinggiran tidak
rontok ( 1 cm panjangnya). Tabung kelopak tidak atau sedikit sekali diperpanjang di
atas bakal buah, tepi kelopak sebelum mekar berlekatan menjadi bentuk cawan,
kemudian membelah menjadi 2-5 taju yang tidak sama.bulat telur, warna hijau
kekuningan. Bakal buah tenggelam, dengan 1-8 bakal biji tiap ruang.
5. Buah
Buah buni bundar berbiji banyak. Berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Termasuk
buah sejati tunggal yang berdaging. Lapisan luar tipis agak menjangat atau kaku dan
lapisan dalam yang tebal, lunak dan berair . Daging buah berwarna putih kekuningan
atau merah jambu.
6. Biji
Biji buahnya mengumpul ditengah, kecil-kecil, keras, berwarna kuning kecoklatan. (Yulinar
Rochmasari,2008).
Preparasi Sampel
Sampel daun jambu biji Psidium guajava disortasi basah. Sampel basah kemudian
ditimbang dan diangin-anginkan hingga kering selama enam hari. Setelah kering,
dilakukan penimbangan kembali bobot kering sampel.

Ekstraksi Daun Jambu Biji


Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 500 g dimasukkan kedalam wadah maserasi,
kemudian direndam dengan menggunakan 1,5 liter etanol 96%. Wadah maserasi ditutup
rapat dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya matahari langsung selama 3
hari sambil dilakukan pengadukan beberapa kali. Hasil maserasi kemudian disaring untuk
memisahkan cairan etanol dengan ampasnya. Ekstrak cair lalu dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer bulat lalu diuapkan dengan rotavapor untuk memperoleh ekstrak kental.

B. MASERASI
Simplisia

Simplisia didefinisikan sebagai bahan alamiah yang digunakan sebagai obat baik
dalam bentuk bahan asli atau sebagai bahan baku obat yang dikeringkan. Simplisia dapat
digolongkan dalam tiga kategori, simplisia nabati, hewani dan pelikan (mineral). Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman.
Yang dimaksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau
yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau mineral ialah simplisia yang berupa
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia murni (Depkes, 1985).
Nama Latin simplisia ditetapkan dengan menyebutkan nama marga (genus), atau
nama jenis (species),atau petunjuk jenis (specific epithet) tanaman asal, diikuti dengan bagian
tanaman yang dipergunakan.Ketentuan ini tidak berlaku untuk simplisia nabati yang
diperoleh dari beberapa macam tanaman yangberbeda-beda marganya maupun untuk eksudat
tanaman (Depkes RI, 1989)..
Kualitas simplisia dipengaruhi oleh faktor bahan baku dan proses pembuatannya.
1. Bahan Baku Simplisia
Berdasarkan bahan bakunya, simplisia bisa diperoleh dari tanaman liar atau dari
tanaman yang dibudidayakan. Jika simplisia berasal dari tanaman yang dibudidayakan
maka keseragaman umur, masa panen, dan galur (asal usul dan garis keturunan)
tanaman dapat dipantau. Sementara jika diambil dari tanaman liar maka banyak
kendala dan variabilitasnya yang tidak bisa dikendalikan seperti asal tanaman, umur,
dan tempat tumbuh.
2. Proses Pembuatan Simplisia
Dasar pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut
dimulai dari :
a. Pengumpulan bahan baku,
b. Sortasi basah, pencucian
c. Pengubahan bentuk
d. Pengeringan
e. Sortasi kering
Pengepakan dan Penyimpanan (Harborne, 1996).

Ekstraksi

Ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam suatu
sampel dengan menggunakan pelarut tertentu (Harborne, 1996). Pelarut polar akan menarik
komponen polar, sedangkan pelarut nonpolar akan menarik komponen nonpolar. Prinsip “like
dissolves like” inilah yang digunakan dalam teknik ekstraksi (Sudjadi, 1988).
Berdasarkan atas sifatnya eksrak dikelompokkan sebagai berikut :
a) Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki konsistensi emacam madu dan
dapat dituang.
b) Ekstrak kental (Extractum spissum). Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak
dapat dituang.
c) Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah
digosokkan.

Ekstrak cair (Ectractum fluidum). Dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair, yang dibuat
sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang satu
bagian) ekstrak cair.

Maserasi
Maserasi berasal dari kata ”macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan
simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan
merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Maserasi adalah proses
pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen
POM, 2000).

C. SOKLETASI
Prinsip Sokletasi

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia


ditempatkan dalam selonsong yang telah dilapisi kertas saring sedemikian rupa, cairan
penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan dikondensasikan oleh
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang jatuh ke dalam klonsong
menyari zat aktif di dalam simplisia dan jika cairan penyari telah mencapai permukaan
sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga
terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak
tampak noda jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh
dikumpulkan dan dipekatkan.
Ekstraksi Sokletasi

Ekstraksi yang dilakukan menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi


dengan pelarut organik yang dilakukan secara berulang- ulang dan menjaga jumlah pelarut
relatif konstan, dengan menggunakan alat soklet. Minyak nabati merupakan suatu senyawa
trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak nabati umumnya larut
baik dalam pelarut organik, seperti benzen dan heksan. Untuk mendapatkan minyak nabati
dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode sokletasi dengan menggunakan pelarut yang
sesuai (Nazarudin, 1992).

Proses sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari
material atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu didih,
ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum disokletasi.
Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan kandungan air yang
terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk mempermudah senyawa
terlarut dalam pelarut. Didalam sokletasi digunakan pelarut yang mudah menguap. Pelarut
itu bergantung pada tingkatannya, polar atau non polar (Nazarudin, 1992).

Bila penyaringan telah selesai maka pelarut yang telah di uapkan kembali adalah
zat yang bersisa. Dietil eter merupakan pelarut yang baik untuik hidrokarbon danuntuk
senyawa yang mengandung oksigen proses penyaringan yang berulang ulang pada proses
sokletasi bergantung pada tetesan yang mengalir pada bahan yang di ekstraksi. Sampel
pelarut yang digunakan bening atau tidak berwarna lagi. Umumnya prosedur sokletasi
hanya pengulangan,sistematis dan pemisahan dengan menggunakan labu untuk ekstraksi
sederhana tetapi lebih merupakan metoda yang spesial,dan alat yang digunakan lebih
kompleks. Oleh karena itu alat soklet cenderung mahal.

Syarat-syarat pelarut yang digunakan dalam proses sokletasi:

Pelarut yang mudah menguap, misalnya n-heksana, eter, petroleum eter, metil klorida dan
alkohol;
-
Titik didih pelarut rendah;
-
Pelarut dapat melarutkan senyawa yang diinginkan;
-
Pelarut tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan; dan
- Sifat sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (polar atau nonpolar)
Keuntungan metode ini adalah :
-
Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap
pemanasan secara langsung.
-
Digunakan pelarut yang lebih sedikit
-
Pemanasannya dapat diatur
Karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-
menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.
Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam
pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume
pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.
Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan pelarut
dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti metanol atau air, karena seluruh alat yang
berada di bawah kondensor perlu berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut
yang efektif.
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran
azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut, misalnya
heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau
dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam
pelarut cair di dalam wadah. (Fessenden & Fessenden, 1991).

D. INFUSA

Tanaman Kunyit( Curcuma domestica)

Sistematika Tanaman

Sistematika tanaman Kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai


berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo :Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma domestica Val

(Backer dan Van Den Brink,1965)


Nama Lain
Nama daerah yaitu kunir, koneng, atau koneng temen (Sunda),
kunyit (Aceh), kuning (Gayo), kuning, unik (Batak), kunyit (Melayu),
cahang (Dayak), kunyit, janar (Banjar), kunir, kunir betis, temu kuning
(Jawa), konye, temu koneng (Madura), kunyik (Sasak), huni (Bima), unyi
(Bugis), kumino, unin, unine, uninum (Ambon), rame, kandeifu, nikwai,
mingguai, jaw (Irian) (Rukmana, 1994).
c. Kandungan Kimia
Kandungan zat kimia pada rimpang kunyit (Curcuma
domestica) adalah minyak atsiri, pati, serat, dan abu (Rukmana, 1994).
Zat warna kurkuminoid suatu senyawa diarilheptanoid 3-4% terdiri
dari kurkumin, dihidrokurkumin, desmethoksi-kurkumin. Minyak atsiri
2-5% terdiri dari seskuiterpen dan turunan fenilpropan (I), yang
meliputi turmeron, ar-turmeron, α- dan β-turmeron, kurlon, kurkumol,
atlanton, turmerol, β-bisabolen, β-sesquiphellandren, zingiberen, ar-
kurkumen, humulen, arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tanin, dan
damar, serta mineral yaitu Mg, Mn, Cu, Ca, Na, K, Pb, Zn, Al, dan Bi
(Sudarsono, dkk, 1996).
Morfologi Tanaman
Kunyit mempunyai morfologi sebagai terna berumur panjang dengan
daun besar berbentuk elips, 3-8 buah, panjang sampai 85 cm, lebar sampai 25
cm, pangka daun meruncing, berwarna hijau seragam. Batang semu berwarna
hijau atau agak keunguan, tinggi sampai 1,60 meter. Perbungaan muncul
langsung dari rimpang, terletak di tengah-tengah batang, ibu tangkai bunga
berambut kasar dan rapat, saat kering tebalnya 2-5 mm, panjang 16-40 cm,
daun kelopak berbentuk lanset panjang 4-8 cm, lebar 2-3,5 cm, yang paling
bawah berwarna hijau, berbentuk bulat telur, makin ke atas makin menyempit
dan memanjang, warna putih atau putih keunguan, tajuk bagian ujung berbelah-
belah, warna putih atau merah jambu, bibir bundar telur, warna jingga atau
kuning keemasan dengan pinggir coklat dan di tengahnya kemerahan
(DijenPOM, 1977).
Sisik-sisik ibu tangkai sampai pangkal dari bulirnya, berbentuk garis,
berbulu kasar. Kunyit mempunyai panjang 6-12 cm, lebar 1,75-2,75 cm.
Bentuk bunga majemuk bulir itu silindris. Daun pelindung bunga biasanya
berbulu kasar, berwarna putih atau putih kehijauan seragam kadang-kadang di
bagian ujungnya berbintik-bintik coklat. Mahkota bunga berwarna putih.
Labelum bagian tengah berwarna emas, dibatasi warna merah coklat, atau
hampir orange. Staminodium berbentuk bulat telur terbalik sempit, elip atau
tumpul (DijenPOM, 1977).

Bagian dari kunyit di dalam tanah berupa rimpang yang mempunyai


struktur berbeda dengan Zingiber (yaitu berupa induk rimpang tebal berdaging
yang membentuk anakan/rimpang lebih panjang dan lansing) warna bagian
dalam kuning jingga (pusatnya lebih pucat) (DijenPOM, 1977). e. Khasiat

Rimpang kunyit (Curcuma domestica) berkhasiat melancarkan


peredaran darah, antiinflamasi, antibakteri, melancarkan pengeluaran empedu,
antipiretik dan ikterik hepatitis (DijenPOM, 1977).

INFUSA

Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa. Zat aktif yang


semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan
zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Pada umumnya penyari akan bertambah
baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari
makin luas

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk


menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah
tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang dipeoleh dengan
cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati
dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit (DijenPOM,1979). Pembuatan
infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal
dari bahan yang lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas
atau dingin. Khasiat sediaan herbal umumnya karena kandungan minyak atsiri,
yang akan hilang apabila tidak menggunakan penutup pada pembuatan infusa
(DijenPOM, 2000). Kecuali dinyatakan lain, infusa yang mengandung bukan
bahan berkhasiat keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia
(DijenPOM, 1995).

E. EVAPORASI

Rotary Evaporation (Rotavapor)


Pengertian Evaporasi
Evaporasi secara umum dapat didefinisikan dalam dua kondisi, yaitu:
(1) evaporasi yang berarti proses penguapan yang terjadi secara alami
(2) evaporasi yang dimaknai dengan proses penguapan yang timbul
akibat diberikan uap panas (steam) dalam suatu peralatan. (Brennan, J.
G. dkk, 1969)
Evaporasi dapat diartikan sebagai proses penguapan daripada liquid
(cairan) dengan penambahan panas atau dapat juga didefinisikan
sebagai evaporasi adalah peristiwa menguapnya pelarut dari campuran
yang terdiri atas zat terlarut yang tidak mudah menguap dan pelarut
yang mudah menguap. Dalam kebanyakan proses evaporasi,
pelarutnya adalah air. Tujuan dari evaporasi adalah memekatkan
konsentrasi larutan sehingga didapatkan larutan dengan konsentrasi
yang lebih tinggi. . Panas dapat disuplai dengan berbagai cara,
diantaranya secara alami dan penambahan steam.
Evaporasi diadasarkan pada proses pendidihan secara intensif yaitu;
(1) pemberian panas ke dalam cairan,
(2) pembentukan gelembung-gelembung (bubbles) akibat uap,
(3) pemisahan uap dari cairan, dan
(4) mengkondensasikan uapnya.

Evaporasi atau penguapan juga dapat didefinisikan sebagai perpindahan kalor


ke dalam zat cair mendidih. Evaporasi dilaksanakan dengan cara menguapkan
sebagian dari pelarut pada titik didihnya, sehingga diperoleh larutan zat cair
pekat yang konsentrasinya lebih tinggi. Uap yang terbentuk pada evaporasi
biasanya hanya terdiri dari satu komponen, dan jika uapnya berupa campuran
umumnya tidak diadakan usaha untuk memisahkan komponen-komponennya.
(Brennan, J. G. dkk, 1969)
Dalam evaporasi zat cair pekat merupakan produk yang dipentingkan, sedangkan
uapnya biasanya dikondensasikan dan dibuang. Disinilah letak perbedaan antara
evaporasi dan distilasi. Perlu diperhatikan, bahwa penguapan dapat terjadi karena
adanya pemanasan menggunakan hot plate yang dibantu dengan penurunan
tekanan pada labu alas bulat “sampel” yang dipercepat dengan pemutaran pada
labu alas bulat “sampel”. Dengan bantuan pompa vakum yang mengalirkan air
dingin (es) dari suatu wadah kedalam kondensor dan dikeluarkan lagi oleh
kondensor kepada wadahnya lagi dan dimasukkan lagi dan seterusnya, karena
proses ini berjalan secara kontinyu. sehingga ketika uap dari pelarut mengenai
dinding-dinding kondensor, maka pelarut ini akan mengalami yang proses yg
dinamakan proses kondensasi, yaitu proses yang mengalami perubahan fasa dari
fasa gas ke fasa cair. Adapun demikian, proses penguapan ini dilakukan hingga
diperoleh pelarut yang sudah tidak menetes lagi pada labu alas bulat penampung
dan juga bisa dilihat dengan semakin kentalnya zat yang ada pada labu alas bulat
sampel dan terbentuk gelembung-gelembung pecah pada permukaan zatnya.(
Kurniawan, Dhadhang W. dkk., 2012)

Prinsip Kerja Alat berdasarkan Evaporasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaporasi antara lain;
1. Temperatur steam, disesuaikan dengan bahan yang akan dievaporasi karena
bahan yang tidak tahan suhu yang tinggi tentunya akan membentuk kerak
pada kolom evaporator sehingga akan mempengaruhi perpindahan panas dari
steam ke bahan tersebut.
2. Tekanan operasi, mempengaruhi proses penguapan pelarut disamping
temperatur.
3. Laju alir umpan, bila laju alir umpan terlalu kecil proses kurang effisien dan
juga bila terlalu besar,sehingga untuk suatu proses laju alir umpan diusahakan
adalah laju yang dapat menghasilkan proses yang optimal.
4. Sifat fisik dan kimia umpan.
5. Luas permukaan kontak antara umpan dan media pemanas (panjang dan
jumlah tube).
6. Laju alir steam
7. Laju air pendingin (kondenser).
(Voight, R., 1994)
Salah satu alat yang sering digunakan dari berbagai evaporator yaitu Rotary
evaporator diamana alat ini merupakan alat yang biasa digunakan di laboratorium
kimia untuk mengefisienkan dan mempercepat pemisahan pelarut dari suatu
larutan. Alat ini menggunakan prinsip vakum destilasi, sehingga tekanan akan
menurun dan pelarut akan menguap dibawah titik didihnya alat ini bekerja seperti
alat destilasi.
Pemanasan pada alat ini menggunakan penangas air yang dibantu dengan
rotavapor akan memutar labu yang berisi sampel oleh rotavapor sehingga
pemanasan akan lebih merata. Selain itu, penurunan tekanan diberikan ketika labu
yang berisi sampel diputar menyebabkan penguapan lebih cepat. Dengan adanya
pemutaran labu maka penguapan pun menjadi lebih cepat terjadi. Pompa vakum
digunakan untuk menguapkan larutan agar naik ke kondensor yang selanjutnya
akan diubah kembali ke dalam bentuk cair.
Labu disimpan dalam labu alas bulat dengan volume 2/3 bagian dari volume labu
alas bulat yang digunakan setelah itu waterbath dipanaskan dan mengusahakan
suhu yang digunakan dalam pemanasan disesuaikandengan suhu pelarut yang
digunakan. Setelah suhu tercapai, labu alas bulat dipasang dengan kuat pada ujung
rotor yang menghubungkan dengan kondensor. Aliran air pendingin dan pompa
vakum dijalankan, kemudian tombol rotar diputar dengan kecepatan yang
diinginkan. (Voight, R., 1994)

Bagian-bagian Alat beserta Fungsinya


Adapun bagian-bagian dari alat yang digunakan dalam proses
rotaryevaporator yaitu sebagai berikut;
1. Water Bath
Water bath merupakan alat yang berfungsi untuk memanaskan sampel
dengan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan. Dalam water bath
terdapat bagian-bagian yaitu tampilan alat yang berfungsi;

 Layar penampil suhu


 Tombol Up/Down untuk menaik turunkan suhu
 Tombol untuk mengatur suhu
 Dalam hal ini juga ada hot plate yaitu alat yang digunakan
untuk memanaskan water bath.
2. Kondensor
Kondensor merupakan alat
yang digunakan untuk mendinginkan uap pelarut
yang telah menguap.
Dalam hal ini kondensor yang digunakan berbentuk spiral agar uap
pelarut
dapatdikondensasikan dan proses kondensasi berjalan dengan lancar.
Di dalam kondensor juga terdapat selang-selang kecil yang berfungsi
sebagai tempat mengalir keluar uap gas yang tidak dapat
terkondensasikan atau sering disebut gas liar/gas buang.
Kondensor juga memiliki lubang yang berfungsi sebagai tempat
keluar masuknya air dari mesin pendingin seperti terlihat pada gambar
dibawah ini
3. Mesin pendingin
Mesin pendingin berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk
mendinginkan air yang akan dipompakan ke kondensor. Di atas alat
ini terdapat dua selang yang berfungsi sebagai tempat masuk dan
keluarnya air dari mesin pendingin ke kondensor.
4. Tunkai atas dan tungkai bawah
Tungkai bawah alat ini
Berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya labu sampel sedangkan
tunkai atas dimana alat ini berfungsi mengaturkemiringan kondensor
dan labu alas bulat.
5. Labu Alas Bulat
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa pada gambar merupakan
labu alas bulat tempat pelarut yang telah menguap dimana pada
gambar ini juga terdapat ujung rotor yang berfungsi sebagai tempat
bergantungnya labu alas bulat tempat pelarut yang telah menguap
sedangkan labu alas bulat merupakan tempat sampel dan pelarut yang
akan dipisahkan dalam hal ini juga terdapat ujung rotor yang berfungsi
sebagai tempat bergantungnnya labu alas bulat sampel dan pelarut.
6. Pompa vakum
Pompa vakum yaitu alat yang digunakan untuk mengatur tekanan
dalam labu, sehingga mempermudah penguapan sampel.
(Wirakartakusumah, Aman. dkk, 1992)

Prinsip Kerja Alat


Sesuai dengan namanya Freeze Dryer (pengering beku) dapat
digunakan untuk mengeringkan bahan-bahan cair seperti ekstrak baik cair maupun
kental, lebih ditekankan untuk pengeringan ekstrak dengan penyari/solvent dari
air. Pengeringan ekstrak relatif lama, sebagai ilustrasi kerja alat tersebut sebagai
berikut: untuk mengeringkan ekstrak cair sebanyak 500 ml bisa membutukan
waktu lebih dari 20 jam. Untuk itu lebih disarankan ekstrak yang dikeringkan
dalam Freeze Dryer sudah dalam ekstrak kentalnya sehingga waktu pengeringan
akan lebih cepat sehingga biaya akan lebih murah. Kapasitas alat tersebut mampu
mengeringkan ekstrak sampai 6 liter sekaligus.
Proses pengeringan beku dengan alat freeze dryer ini berlangsung selama
18-24 jam, karena proses yang panjang inilah membuat produk-produk bahan
alam ini menjadi lebih stabil dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain
seperti pengeringan semprot atau yang dikenal dengan spray drying. Pengeringan
beku ini dapat meninggalkan kadar air sampai 1%, sehingga produk bahan alam
yang dikeringkan menjadi stabil dan sangat memenuhi syarat untuk pembuatan
sediaan farmasi dari bahan alam yang kadar airnya harus kurang dari 10%. Pada
prosesnya yang panjang ini sampel akan dibekukan terlebih dahulu, lalu setelah
itu dimasukkan kedalam alat freeze dryer yang akan diset suhu dan tekanannya
dibawah titik triple. dan akan terjadi proses sublimasi yaitu dari padat menjadi
gas. Penggunaan freeze drying ini sendiri juga telah banyak diaplikasikan dalam
pengeringan produk makanan, hasil dari pengeringan ini tidak merubah tekstur
dari produk itu sendiri dan cepat kembali kebentuk awalnya dengan penambahan
air. (Wirakartakusumah, Aman. dkk, 1992)
Untuk proses pengeringan beku (freeze dryer), menurut Muchtadi
(1992), bahan yang dikeringkan terlebih dahulu dibekukan kemudian
dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah sehingga
kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap, dikenal
dengan istilah sublimasi. Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik
dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah. Pengeringan
menggunakan alat freeze dryer/pengering beku lebih aman terhadap resiko
terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak. Hal ini kemungkinan karena suhu
yang digunakan untuk mengeringkan ekstrak cukup rendah.

F. KLT(KROMATOGRAFILAPISTIPIS)
Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi,
yang ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen), komponen
kimia bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap
komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya, hal
inilah yang menyebabkan terjadinya pemisahan.
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan alat analisa yang cukup
sederhana karena dapat menentukan jumlah komponen yang ada pada suatu
bahan, bahkan dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen tersebut. Pada
dasarnya kromatograf lapis tipis (KLT atau TLC = Thin layer Chromatography)
sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara melakukannya.
Perbedaan nyata terlihat pada media pemisahnya, yakni digunakannya lapisan
tipis adsorben halus yang tersangga pada papan kaca, aluminium atau plastik
sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini pada proses pemisahan
berlaku sebagai fasa diam. Fasa diam KLT terbuat dari serbukhalus dengan
ukuran 5 sampai 50 m. Serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu
penukar ion, suatu pengayak molekul atau dapat merupakan penyangga yang
dilapisi suatu cairan. Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silica
gel, aluminium dan serbuk selulosa. Partikel silica gel mengandung gugus
hidroksil di permukaannya yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul-molekul polar (Soebagio, 2002 : 87).

Pada KLT, fase cair serupa lapisan tipis (tebal 0,1 – 2mm) yang terdiri atas bahan
padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat
dari kaca, tetapi dapat juga terbuat dari pelat polimer dan logam. Lapisan melekat
pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat. Biasanya kalsium sulfat atau
amilum (pati). Pada KLT, lapisan itu biasanya berfungsi sebagai permukaan padat
yang penyangga zat cair (Gitter, 1991 : 6).
Koefisien kromatograf dan kapasitas cuplikan linear menurun untuk
memperkecil pengaruh antariksa yang kuat, aktivitas penyerap biasanya
dikendalikan atau diubah dengan memakai kadar air atau alkohol. Alkohol atau air
atau asetonitril sering ditambahkan pada fasa gerak dan penyerap (Johnson, 1991 :
63).

Tahap-tahap analisa KLT dimulai dari persiapan tangki kromatograf,


aplikasi sampel ke plat KLT, menjalankan kromatograf dan menentukan nilai Rf.
Eluen (fasa gerak/mobile) yag umumnya dipilih berdasarkan ‘trial dan eror”
dimasukkan ke dalam tangki kromatograf (chamber)zat yang akan dianalisa
ditotolkan diplat klt menggunakan pipa kapiler dan selanjutnya dimasukkan pada
chamber yang sudah diisi eluen (Munazil, 2008 : 79).

Pertimbangan untuk memilih pelarut pengembang (eluen) umumnya sama


dengan pemilihan eluen untuk kramatografi kolom. Dalam kromatografi adsorpsi
pengelusi eluen naik sejalan dengan polaritasnya (misalnya dari heksana → aseton
→ alkohol → air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran
dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai
kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya
dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan (Budiasih, 2008 :88).

Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silica gel, alumina
dan fasa diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi kolom
serapan. Sistem tak berair yang paling banyak digunakan dan contoh pelarut
organik dlaam seri pelarut mikrostrop diberikan dalam tabel, yang meliputi (sifat
hidrofob menarik) methanol, asam asetat, etanol, aseton, etil asetat, eter,
kloroform (perlu diperhatikan pada kloroform yang distabilkan dalam etanol),
benzena, sikloheksana, dan eter petroleum. Kelompok seri pertama untuk
pemisahan senyawa hidrofil, sedangkan kelompok pelarut seri kedua untuk
pemisahan senyawa lipofil. Jika sebagai fasa gerak digunakan sisitem pelarut
campuran, pada lapisan fasa diam susunan pelarut itu dapat mengalami sedikit
demi sedikit. Hal ini akan menghasilkan kedapatan-ulangnya sangat jelek. Oleh
karenanya sistem dua pelarut lebih disenangi. Suatu pendekatan yang menarik
terhadap penggunaan campuran azotrop, misalnya methanol-aseton (12: 88),
methanol-benzena (31,7: 68,3), methanol-sikloheksana-metil asetat (17,8 : 33,6:
48,6). Hal yang mempengaruhi kualitas pemisahan dan kedapatan-ulangnya
adalah kejenuhan bejana pengembang (Sudjadi, 1988: 171). Untuk membantu
mengidentifikasi zat-zat yang ada dapat dihitung nilai Rf (Retardation factor) dari
masing-masing zat yang ada pada kromatogram. Nilai Rf dapat dihitung dengan

jarak (spot)bergerakkeatas
rumus sebagai berikut : Rf = . Persamaan tersebut dapat
dijabarkan jarakpermukaaneluen

dengan pendekatan sebagai berikut: Menurut Cremer dan Muller, jika


molekul zat terlarut tertentu dalam keadaan terus-menerus bergerak dari fasa diam
ke fasa bergerak dan sebaliknya, beberapa molekul karena tidak sama energinya,
akan tinggal lebih lama dari yang lainnya dalam fasa bergerak ataupun ada yang
tinggal lebih sebentar. Ini akan menghasilkan suatu pita yang merupakan kurva
konsentrasi krakteristik, mirip dengan kurva distribusi (Khopkar, 1990: 148).
BAB III

METODE
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PERCOBAAN

 PREPARASI SAMPEL

Tahapan Praktikum Hasil Pengamatan


1. Bobot Basah Daun Jambu Biji 1000g
2. Bobot Kering Simplisia 134g
3. Persentase Rendemen 13,4%

 MASERASI

Berat simplisia yang digunakan : 75g


Pelarut : Aseton
Volume Pelarut : 375 mL
Waktu Perendaman : 1 minggu

Tahapan Praktikum Hasil Pengamatan


1. Volume Ekstraksi 124 mL
2. Perubahan Sampel (Secara
Warna : Hijau Tua
Oranoleptis)

Bau : Daun Jambu Biji dan Aseton

Rasa :-

Bentuk : Cair
 SOKLETASI

Massa Awal Simplisia Daun Salam : 5g


Pelarut yang digunakan : n - Heksane
Volume Awal Pelarut : 200 mL
Volume Akhir Pelarut : 90 mL

Tahapan Praktikum Hasil Pengamatan


1. Volume Ekstraksi 90 mL
2. Perubahan Sampel (Secara
Warna : Hijau Muda
Oranoleptis)
Bau : Pahit disertai n-heksane

Rasa :-

Bentuk : Cair, Terdapat Endapan

 INFUSA

Massa awal simplisia kunyit : 10g


Pelarut yang digunakan : Aquadest
Volume awal Pelarut : 110 mL
Waktu : 15 menit

Tahapan Praktikum Hasil Pengamatan


1. Volume Ekstraksi 80 mL
2. Perubahan Sampel (Secara
Warna : Kuning Kecoklatan
Oranoleptis)

Bau : Kunyit

Rasa : Pahit
Bentuk : Cair, Terdapat Endapan

 EVAPORASI
Tahap Praktikum Hasil Pengamatan
Evaporator
1. Kecepatan Putar 150 rpm
2. Temperatur 70C
3. Waktu Evaporasi 31 Menit
4. Aroma Ekstrak Terbentuk Berbau seperti Daun jambu biji kerin
namun sedikit lebih pahit
5. Karakteristik Ektrak Warna : Hijau Tua
Rasa :-
Bentuk : Kental
6. Jumlah Ekstrak Terbentuk (g) 11,9792 g

 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Diketahui : -Titik A = 3,4
A
- Titik B = 3,3 𝑅𝑓 =
D
- Titik C = 3,2
B
- Titik D = 4 𝑅𝑓 =
D

Ditanya : nilai Rf? C


𝑅𝑓 =
D
Dijawab :

3,4
𝑅𝑓𝐴 = = 0,85
4

3,3
𝑅𝑓𝐵 = = 0,82
4

3,2
𝑅𝑓𝐶 = = 0,8
4
B. PEMBAHASAN

Praktikum preparasi sampel simplisia daun jambu biji. Simplisia adalah


bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tumbuhan utuh, bagian tumbuhsn atau eksudat tumbuhan (Gunawan, 2002). Daun
jambu biji (Psidium guajava L.) berbau aromatik dan rasanya sepat. Daunnya
merupakan daun tunggal yang berwarna hijau keabuan, helai-helai daun
berbentuk jorong sampai bulat memanjang, ujung daunnya meruncing sedangkan
pangkal daunnya juga meruncing tetapi ada pula yang membulat, daun berukuran
panjang antara 6cm sampai 15cm dan lebar antara 3cm sampai 7,5cm sedangkan
tangkainya kurang lebih 1cm. Daun berambut penutup pendek, tampak berbintik-
bintik yang sesungguhnya merupakan rongga-rongga lisigen, warnanya gelap
namun bila dalam keadaan terendam air menjadi tembus cahaya (Karta
Sapoetra,1992). Daun jambu biji (Psidium guajava L.) mengandung berbagai
senyawa kimia aktif diantaranya saponin, flavonoid, tri terpenoid, minyak atsiri
(Menurut Ma’at & Albana), tanin, beta sitosterol dan senyawa-senyawa lainnya
(Duke, 2004).

Cara kerja dalam preparasi sampel simplisia daun jambu biji diawali
dengan Pemanenan daun jambu biji, pada waktu panen peralatan dan tempat yang
digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering.Alat
yang diguna-kan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau
tanah yang tidak diperlukan. Seperti rimpang, alat untuk panen dapat
menggunakan garpu atau cangkul. Bahan yang rusak atau busuk harus segera
dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keran-jang, kantong, karung
dan lain-lain) tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak
rusak. Selanjutnya dalam waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak
terkena panas yang berlebihan, karena dapat menyebab-kan terjadinya proses
fermentasi/ busuk. Bahan juga harus dijaga dari gang-guan hama (hama gudang,
tikus dan binatang peliharaan) (Adhyatma, 1995). Kemudian dilanjutkan dengan
pencucian, Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
mikroba-mikroba yang menempel pada bahan. Pencucian harus dilakukan dalam
waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat
yang terkandung dalam simplisia. Pencucian harus menggunakan air bersih,
seperti air dari mata air, sumur atau PAM (Laksana, 2010). Menurut Frazier
(1978), pencucian sayur-sayuran satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah
mikroba awal, jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali, jumlah mikroba yang
tertinggal hanya 42% dari jumlah mikroba awal. Pencucian tidak dapat
membersihkan simplisia dari semua mikroba karena air pencucian yang digunakan
biasanya mengandung juga sejumlah mikroba. Cara sortasi dan pencucian sangat
mempengaruhi jenis dan jumlah rnikroba awal simplisia. Misalnya jika air yang
digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan
simplisia dapat bertambah dan air yang terdapat pada permukaan bahan tersebut
dapat menipercepat pertumbuhan mikroba. Bakteri yang umum terdapat dalam air
adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter
dan Escherishia. Pada simplisia akar, batang atau buah dapat pula dilakukan
pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian
besar jumlah mikroba biasanya terdapat pada permukaan bahan simplisia. Bahan
yang telah dikupas tersebut mungkin tidak memerlukan pencucian jika cara
pengupasannya dilakukan dengan tepat dan bersih. Kemudian dilanjutkan dengan
perajangan, perajangan atau pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas
permukaan sehingga lebih cepat kering tanpa pemanasan yang berlebih.
Pengubahan bentuk dilakukan dengan menggunakan pisau tajam yang terbuat
dari bahan steinles (Laksana, 2010). Dalam perajangan atau pemotongan daun
semanggi dilakukan tanpa pisau, dapat dengan tangan yaitu dengan cara helaian
daun dipetik-petik. kemudian pengeringan, Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan
(cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada simplisia
dan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 300-900C.
Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu
bahan dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya
memerlukan lantai jemur. Simplisia yang akan dijemur disebar secara merata dan
pada saat tertentu dibalik agar panas merata. Cara penjemuran semacam ini selain
murah juga praktis, namun juga ada kelemahan yaitu suhu dan kelembaban tidak
dapat terkontrol, memerlukan area penjemuran yang luas, saat pengeringan
tergantung cuaca, mudah terkontaminasi dan waktu pengeringan yang lama.
Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang dan
menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan mutu
atau pengrusakan simplisia. Secara umum kadar air simplisia tanaman obat
maksimal 10%. Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain
memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih
lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan
serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi (Laksana, 2010).
Dari hasil preparasi simplisia daun jambu biji ini didapatkan hasil
perhitungan persentase rendemen simplisia sebesar 13,4% dengan menggunakan
rumus perhitungan sebagai berikut :

bobot akhir simplisia


𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 = X 100% (Ditjen POM, 1985)
bobot basah

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut simplisia yan telah kami buat


masih belum memenuhi persyaratan karena dalam persyaratan umum simplisia
yaitu, kadar air tidak lebih dari 10 % ; angka lempeng total tidak lebih dari 10 ;
angka kapang dan khamir tidak lebih dari 10 ; mikroba patogen negatif ;
aflatoksin tidak lebih dari 30 bpj ; untuk penggunaan bahan tambahan seperti
pengawet, serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang ditambahkan bahan
pengawet ; wadah dan penyimpanan untuk serbuk simplisia ialah dalam wadah
tertutup baik; disimpan pada suhu kamar, ditempat kering danterlindung dari sinar
matahari (Depkes RI, 1994). Sedangkan kadar air/persentase rendemen dari
simplisia daun jambu biji yang telah kamibuat melebih 10% yaitu 13,4%.
Praktikum ekstraksi simplisia daun jambu biji dengan metode maserasi.
Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu
bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI,
2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua
cara yaitu ; cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu;
maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi empat jenis yaitu;
refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Depkes RI, 2000). Ekstraksi simplisia
daun jambu biji dilakukan denan metode maserasi. Maserasi berasal dari bahasa
latin macerase berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan
kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan,
ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai
waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian
dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan, telah tercapai maka proses difusi
segera berakhir (Voigt, 1994). Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi
dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

Dalam proses maserasi kali ini digunakan simplisia daun jambu biji
sebanyak 75g yang direndam dalam pelarut aseton sebanyak 375g selama 1
minggu dalam suatu wadah dan ditutup rapat. Untuk penyimpanannya maserasi
yang kami kerjakan disimpan dalam ruanan dengan suhu kamar. Namun, pada
proses maserasi kali ini praktikan melakukan perendaman selama satu minggu
halini tidak sesuai dengan literatur menenai proses ekstraksi simplisia yang baik,
Dalam proses maserasi, bahan yang berupa serbuk simplisia yang biasa disari,
biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, ditutup rapat,
dan isinya digojog berulang-ulang selama 1-4 hari. Penggojogan yang 10
berulang-ulang ini memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan dari
bahan serbuk simplisia (Ansel, 1990).
Dalam proses pembuatannya suhu tempat penyimpanan maserasi yang
dibuat oleh kelompok kami disimpan dalam ruanan dengan suhu kamar. Namun,
suhu dalam proses maserasi yang biasanya kurang diperhatikan. Ternyata,
menurut Depkes RI, 2000 dalam proses maserasi suhu perlu dikendalikan, karena
berdasarkan hukum Arrhenius, setiap kenaikan suhu 10C akan meningkatkan
kecepatan reaksi dua kali lebih besar (Depkes RI, 2000)

Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan


berulang-ulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan konsentrasi
bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama
maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada
suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar
perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil
yang diperoleh (Voigt, 1994). Namun, kami tidak melakukan pengocokkan atau
pengadukan secara berkala terhadap maserasi yang kami buat.

Berdasarkan hasil penyarian yang dilakukan didapatkan hasil ekstraksi


simplisia daun jambu biji dengan metode maserase sebanyak 124 mL dengan
perubahan secara organoleptis didapatkan hasil maserat berupa cairan berwarna
hijau tua dengan bau seperti daun jambu biji yang didominasi bau aseton dengan
bentuk zat cair.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan,


dan peralatan yang digunakan sederhana, dan mudah dilakukan. Adapun kerugian
cara maserasi adalah waktu pengerjaan yang lama dan penyarian kurang
sempurna. Cara maserasi ini dapat dipercepat dengan menggunakan mesin
pengaduk yang terus-menerus berputar sehingga mempersingkat waktu maserasi
menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).

Praktikum evaporasi ekstrak simplisia daun jambu biji. Evaporasi


meruapakan suatu proses yang bertujuan memekatkan larutan yang terdiri atas
pelarut (solvent) yang volatile dan zat terlarut (solute) yang non volatile
(Widjaja,2010). Evaporasi adalah suatu proses pengentalan larutan dengan cara
mendidihkan atau menguapkan pelarut. Di dalam pengolahan hasil pertanian
proses evaporasi bertujuan untuk meningkatkan larutan sebelum proses lebih
lanjut, memperkecil volume larutan, serta menurunkan aktivitas air (Praptiningsih
1999).

Evaporasi ekstrak daun jambu biji yang didapatkan dari hasil ekstraksi
maserasi dilakukan denan bantuan larutan penarik berupa n-heksane. Proses
evaporasi pada umumnya menggunakan pelarut air. Evaporasi dilakukan dengan
cara menguapkan sebagian dari pelarut sehingga didapatkan larutan zat cair pekat
yang konsentrasinya lebih tinggi. Evaporasi tidak sama dengan proses
pengeringan. Dalam evaporasi sisa penguapan adalah zat cair yang sangat kental,
bukan zat padat. Evaporasi berbeda pula dengan destilasi, karena uapnya adalah
komponen tunggal. Evaporasi berbeda dengan kristalisasi, karena evaporasi
digunakan untuk memekatkan larutan bukan untuk membuat zat padat atau Kristal
(MC. Cab,dkk.,1993).

Dalam proses evaporasi yang kami lakukan dengan mengunakan alat yang
bernama evaporator dengan kecepatan putaran sebesar 150 rpm, dengan
temperatur 70C, waktu evaporasi 31 menit, aroma ektrak yang terbentuk berbau
seperti daun jambu biji kerin namun sedikit lebih pahit, dengan warna hijau tua,
dengan bentuk ekrak hasil evaorasi kental dan jumlah sebanyak 11,9792g.

Faktor - faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi kecepatan pada


proses evaporasi adalah kecepatan hantaran panas yang diuapkan ke bahan,
jumlah panas yang tersedia dalam penguapan, suhu maksimum yang dapat
dicapai, tekanan yang terdapat dalam alat yang digunakan, dan perubahan-
perubahan yang mungkin terjadi selama proses penguapan (Earle, 1982).

Praktikum ekstraksi simplisia daun salam dengan metode sokletasi.


Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu
bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI,
2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua
cara yaitu ; cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu;
maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi empat jenis
yaitu; refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Depkes RI, 2000). Soxhletasi
merupakan suatu metode pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam
sampel padat dengan cara penyarian berulang–ulang dengan pelarut yang sama,
sehingga semua komponen yang diinginkan dalam sampel terisolasi dengan
sempurna. Pelarut yang digunakan ada 2 jenis, yaitu heksana ( C6H14 ) untuk
sampel kering dan metanol (CH3OH ) untuk sampel basah. Jadi, pelarut yang
digunakan tergantung dari sampel alam yang akan digunakan. Nama lain dari
sokletasi adalah pengekstrakan berulang–ulang (continous extraction) dari
sampel pelarut (Rahman, 2012).

Pembuatan ektrak daun salam menggunakan metode ekraksi sokleasi


dilakukan dengan menrauh simplisia daun salam sebanyak 5g dengan pelarut n-
heksane sebanyak 200mL. Setelah dilakukan proses penyarian dengan metode
sokletasi didapatkan hasil ekstrak sebanyak 90mL dengan warna sampel hijau
muda, berbau pahit, dan bentuk sediaan cair dengan sedikit endapan. Proses
pembuatan ini telah sesuai dengan literatur, yaitu dengan penyarian simplisia
secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap
cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik
dan turun menyari simplisia dalam klonsong dan selanjutnya masuk kembali ke
dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon ( Rene, 2011).

Prinsip kerja dari Soxhletasi yaitu bahan yang akan diekstraksi


diletakkan dalam sebuah kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya)
pada bagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu. Wadah gelas
yang mengandung kantung diletakkan antara labu penyulingan dengan labu
pendingin aliran balik serta dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu
tersebut berisi bahan pelarut, yang menguap dan mencapai ke dalam pendingin
aliran balik melalui pipet, berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan
yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan
berkumpul di dalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya,
secara otomatis dipindahkan ke dalam labu. Dengan demikian zat yang
terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni berikutnya.
Pada cara ini diperlukan bahan pelarut yang dalam jumlah kecil, juga simplisia
yang baru artinya suplai bahan pelarut bebas bahan aktif berlangsung secara
terus-menerus (pembaharuan pendekatan konsentrasi secara kontinyu).
Keburukannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama
(sampai beberapa jam) sehingga kebutuhan energinya tinggi (listrik, gas)
(Azam Khan, 2012).

Praktikum ekstraksi simplisia rimpang kunyit dengan metode infusa.


Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika suatu
bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat (Depkes RI,
2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua
cara yaitu ; cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua yaitu;
maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi empat jenis
yaitu; refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Depkes RI, 2000). Infusa
adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati dengan air pada
suhu 90 oC selama 15 menit (Departemen Kesehatan RI, 1979). Pembuatan
infusa merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal
dari bahan yang lunak seperti daun dan bunga. Infusa dapat diminum panas
atau dingin. Khasiat sediaan herbal umumnya karena kandungan minyak atsiri,
yang akan hilang apabila tidak menggunakan penutup pada pembuatan infusa.
Kecuali dinyatakan lain, infusa yang mengandung bukan bahan berkhasiat
keras, dibuat dengan menggunakan 10% simplisia (Departemen Kesehatan RI,
1995).

Cara kerja infusa yang kelompok kami lakukan telah sesuai dengan
literatur yaitu perebusan simplisia dengan pelaru air pada suhu 90 oC selama 15
menit. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplia nabati
dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit (Departemen Kesehatan RI, 1979).
Massa awal simplisia kunyit 10g dengan pelarut aquadest sebanyak 110 mL
dan dipanaskan selama 15 menit. Volume akhir ekstraksi yang didapatkan
adalah 80mL dengan perubahan warna ektrak menjadi kuning kecoklatan,
berbau kunyit, berasa pahit, dan berbentuk cair dengan terdapat endapan
berwarna kuning.

Identifikasi senyawa metabolit sekunder ektrak rimpang kunyit dengan


metode kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis adalah metode
pemisahan fisikokimia menggunakan teknik padat cair, di mana terjadi
perpindahan fase gerak (cairan) melalui suatu fase diam (padatan). Fase diam atau
larutan penjerap yang umumnya dipakai ialah silika gel, aluminium oksida,
selulosa dan turunannya, dan poliamida. Fase diam ini merupakan suatu lapisan
berpori dan akan menghasilkan pemisahan pada pelat. Fase gerak atau disebut
juga pelarut pengembang ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut, yang bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Fase gerak
yang digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem
pelarut multi-komponen harus berupa campuran sesederhana mungkin terdiri atas
maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Untuk mengelusi fraksi yang bersifat
non polar, fase diam yang digunakan dapat berupa silika gel G atau silika GF 254,
fase geraknya adalah campuran pelarut yang bersifat non polar. Untuk mengelusi
fraksi yang bersifat polar, fase diamnya dapat menggunakan selulosa dan sebagai
fase geraknya dapat digunakan campuran pelarut yang bersifat polar (Stahl, 1985).
Prinsip kerja KLT berupa lapisan yang memisah, yang terdiri atas bahan berbutir-
butir atau fase diam ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam,
atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang
ditotolkan berupa bercak atau pita, setelah pelat ditaruh di dalam bejana
tertutup rapat yang berisi larutan pengembang atau fase gerak yang cocok,
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler atau pengembangan, selanjutnya
senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi dengan lampu
UV atau dengan pereaksi semprot (Stahl, 1985).

Identifikasi bercak pada kromatogram dilakukan di bawah lampu


ultraviolet pada daerah panjang gelombang 254 nm dan 365 nm ditandai dengan
ada atau tidaknya warna. Untuk menampakkan bercak senyawa yang intensitasnya
lemah dapat digunakan reaksi semprot yang sesuai (Stahl, 1985).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan
dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara
jarak senyawa dari titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari awal.

Jarak titik pusat bercak dari titik awal


Rf =
2𝑎

Berdasarkan hasil perhitungan 3 titik yang diapatkan pada silica


didapatkan nilai Rf pada titik A sebesar 0,85; titik B sebesar 0,82; dan titik C
sebesar 0,8. Hal ini telah sesuai dengan literatur bahwa angka Rf berkisar antara
0,01-1,00. Angka Rf berkisar antara 0,01 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan
dengan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan
nilai berkisar antara 0 – 100 (Harborne, 1984 ; Stahl, 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dan harga Rf dalam


KLT antara lain adalah Struktur dan sifat kimia dari senyawa yang dipisahkan;
Sifat dari bahan penyerap dan derajat aktivitasnya; Tebal dan kerapatan dari
lapisan penyerap; Derajat kemurnian fase gerak; Derajat kejenuhan uap dalam
bejana pengembangan; Jumlah cuplikan yang dianalisis; Suhu; dan
Kesetimbangan (Stahl, 1985).
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Kartasapoetra, G. 1992. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Penerbit


Rineka Cipta.
Duke, J. A. 2004. Phytochemical Database, USDA-ARS, NGRL. Agricultural
Research Service, Beltsvile Research Center, Marryland.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangandan Gizi. Gramedia Pustaka Utama :Jakarta.
Badan POM RI.2004. Monografi ekstrak tumbuhan obat Indonesia Vol.1.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Agoes., G. 2007.Teknologi Bahan Alam. ITB : Press Bandung.
Voight, R. 1994.Buku Pengantar Teknologi Farmasi, diterjemahkan
oleh Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada : Press.
Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. EdisiI. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta.
Parimin, 2005. Jambu Biji. Budi Daya dan Ragam Pemanfaatannya. Penebar
Swadaya : Jakarta.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia: penuntun cara modern menganalisis
tumbuhan. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung : ITB Press.
Terjemahan dari: Phytochemical Methods
Sumono A & Agustin W. 2009.Kemampuan air Rebusan Daun Salam (Eugenia
Polyantha W) Dalam Menurunkan Jumlah Koloni Bakteri
Streptococcus Sp. Majalah Farmasi Indonesia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2004. Peraturan Teknis
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk
Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya : Jakarta.
Suharmiati dan Handayani, L. 2006. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Agro
Pustaka : Jakarta.
Wijayakusuma, H. 1994. Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia. Prestasi Intan
Indonesia : Jakarta.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.
Akram, M.,Uddin, S., Ahmed, A., Usmanghani, K., Hannan, A., Mohiuddin, E.,
Asif, M. (2010). Curcuma longa and Curcumin. Rom J Biol.
Praptiningsih, Y., 1999. Teknologi Pengolahan. Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember : Jember.
Earle, R.L. 1982. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Bogor: Sastra
Budaya.
Venant N., 2004. Antioxidant power of phytochemicals from Psidium guajava
leaf, Department of Science and Technology, Functional Foods Research
Center of Ministry of Educations, Southern Yangtze University, Journal of
Zhejiang University SCIENCE.
Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis, Cetakan Pertama. PT. Taman
Kampus Presindo : Jember.

Gunawan, D dan Mulyani, S. 2002. Ilmu Obat Alam. (Farmakognosi) Jilid 1.


Penebar Swadaya : Jakarta.

Heinrich, et al. 2009. Farmakognosi dan fitoterapi; alih bahasa: Winny R. Syarief
et al; editor bahasa Indonesia, Amalia H. Hadinata. EGC : Jakarta.

Kar, Autosh. 2013. Farmakognosi dan farmakobioteknologi; alih bahasa, July


Manurung, Winny Rivany Syarief, Jojor Simanjuntak; editor edisi bahasa
Indonesia, Sintha Rachmawati, Ryeska Fajar Respaty Ed 1-3. EGC :
Jakarta.

Adhyatma, 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia : Jakarta
Agoes, Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Penerbit ITB : Bandung

Laksana, Toga, dkk. 2010. Pembuatan Simplisia dan Standarisasi Simplisia.


UGM : Yogyakarta

Ditjen POM. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Reublik


Indonesia : Jakarta

DepKes RI. 1994. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor:661/Menkes/Sk/Vii/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Manajemen Agribisnis. P.


T. Kepurun Pawana Indonesia. Universitas gajah Mada : Yogyakarta.

Voigt. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi Kelima. diterjemahkan


oleh Soendani Noerono. 141-142, 159, 163-164, 172-178, 571, 586. Gadjah
Mada University Press : Yogyakarta.

Rick Son Y. Manihuruk, “Isolasi Senyawa Flavonoida dari Daun


Tumbuhan Jambu Biji Australia (Psidium guajava L.)”, (Sumatera
Utara : Skripsi Fakultas Mate,atika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
UniversitasSumatera Utara, 2016), h 17

Widya Hapsari, “Pengaruh Penggunaan Explotab Sebagai Bahan


Penghancur Terhadap Sifat Fisik Tablet Ekstrak Kering Daun Jambu
Biji (Psidium guajava L.)”, (Surakarta : Skripsi Fakultas Farmasi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009), h 3

Netty Nur Azizah, “Isolasidan Identifikasi Jamur Endofit dari Daun Jambu
Biji (Psidium guajava L.) Penghasil Anti Bakteri Terhadap Bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus”, (Malang : Skripsi
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Malang, 2008), h 21-22
Feby Nur’Afani, “Pengaruh Perbandingan Jambu Biji (Psidium guajava L.)
dengan Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) dan Jenis Jambu Biji
Terhadap Karakteristik Jus”, (Pasundan : Skripsi Fakultas Teknik,
Universitas Pasundan,2016)
Yulinar Rochmasari, Op, Cit, h 4, Gamedia, Jakarta Indriani, S., 2006.
Aktifitas Antioksi dan Ekstrak Daun Jambu Biji
(PsidiumguajavaL.)J.II.Pert.Indon,11(1).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materi Medika
Indonesia. Jilid V. Jakarta : Depkes RI.
Harborne, J. B., 1996. ‘Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern
Menganalisa Tumbuha, Edisi II’. Institut Teknologi Bandung.
Bandung
Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan Kimia. Kanisius. Yogyakarta.
Ditjen POM.2000. Maserasi .Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta

Nazarudin,dkk: .1992. Pengembangan Minyak Biji Karet di


Indonesia. Indonesian Press: Surabaya.
Fessenden & Fessenden. 1991. Kimia Organik. Jakarta: Eralangga
Rukmana,R., 1994. Kunyit. Kanisius : Yogyakarta.
Sudarsono. 1996. Tumbuhan Obat. PROT, UGM : Yogyakarta
DijenPOM. 1977. Materia Medika Indonesia I. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta.
DijenPOM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta
DijenPOM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Backer, A and Van Den Brink, B., 1965. Flora of Java (Spermatophtes Only),
Volume I. The Nederlands : Noordhoff-Gronigen.
Brennan, J. G. Dkk. 1969. Food Engineering Operations. Applied Science
Publisher Limited : London.
Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal TinggiPusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh


Soedani, N., Edisi V,UGM Press, Yogyakarta.

Wirakartakusumah, Aman. dkk, 1992, Peralatan Dan Unit Proses Industri


Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Soebagio. 2002. “Kimia Analitik II”. Malang : JICA.

Budiasih. 2008. Kimia Analitik II. Malang : Universitas Negeri Malang.

Gitter, R. J. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung: ITB.

Johnson, E. L. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung: ITB.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Munzil. 2008. Kimia Analitik II. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Yogyakarta: UGM Press.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai