Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengobatan tradisional yang dilakukan melalui pemanfaatan

tanaman obat-obatan secara praktis telah dilakukan oleh masyarakat

Indonesia khususnya di daerah-daerah pedalaman sejak jaman dahulu.

Tumbuh-tumbuhan yang berpotensi sebagai obat telah ditemukan di hutan-

hutan Indonesia seperti tumbuhan di hutan mangrove (Hamdani, 2007).

Hutan mangrove mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan

manusia di antaranya manfaat ekologi, sumber pangan dan obat. Menurut

Basyuni (2002) (disadur dari jurnal Protobion dengan penulis Sri

Wedadari Ernainingsih dkk) mangrove di Indonesia tersebar luas di

seluruh pulau-pulau besar seperti Kalimantan. Area mangrove di pulau

Kalimantan seluas 1.139.443 Ha.

Selama ini pengetahuan tentang obat tradisional hanya diperoleh

melalui informasi masyarakat tetapi masih belum dieksplorasi. Oleh

karena itu diperlukan penelitian yang bersifat kualitatif tentang

penggunaan obat tradisional, sehingga nantinya obat tersebut dapat

digunakan secara aman dan efektif dan dapat dikembangkan dalam

industry farmasi.

Penyakit malaria merupakan penyakit yang cukup serius dalam

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya bagian timur yang

merupakan endemic penyakit malaria. Setiap tahunnya sekitar 350-500


2

juta orang terinfeksi dan tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini

lebih 1%. Penyakit malaria disebabkan oleh parasite protozoa Plasmodium

(salah satu Apicomplexa) dimana nyamuk Anopheles merupakan

vektornya, spesies malaria yang sangat berbahaya ialah Plasmodium

falciparum (Elok,2012).

Pengembangan obat malaria saat ini sangatlah pesat disebabkan

resisten obat anti malaria yang komersial seperti cloroquin dan quinin

terhadap P. falciparum merupakan ancaman serius bagi kesehatan

masyarakat khususnya di daerah Indonesia timur. Berdasarkan pada belum

ditemukannya obat malaria yang efektif dan mampu menyembuhkan

penyakit malaria. Tanaman yang dijadikan sebagai obat herbal di

Indonesia sangat melimpah, namun penggunaannya hanya secara

tradisionalnya. Masih banyak spesies yang belum dikenal manfaat dan

kandungan kimia serta bioaktivitas.

Berdasarkan keberhasilan atas penelitian terhadap tanaman

Artemisia annua (Qinghaosu) di Cina pada tahun 1970 dalam mengatasi

resistensi pengobatan malaria. Qinghaosu telah digunakan sebagai obat

tradisional dalam mengobati malaria sejak tahun 2000 (M.Isa, 2014)

Pada penelitian (Sucilestari, 2013) menyatakan bahwa Fraksi

senyawa triterpenoid dari ekstrak metanol daun A. camansi berpengaruh

terhadap aktivitas antimalaria P. berghei secara in vivo. Besar dosis yang

paling efektif adalah 100 mg/kg BB selama tiga hari dengan waktu

pemberian sehari setelah mencit terinfeksi. Sehingga dari penelitian ini


3

dapat disimpulkan dan membuktikan bahwa senyawa triterpenoid dapat

dijadikan obat untuk penyakit malaria.

Pengobatan malaria menggunakan tanaman telah banyak

digunakan di negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Selama

ini obat herbal yang sering digunakan untuk pengobatan ini ialah getah

dari batang pohon kina karena mengandung racun yang dapat menekan

pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah.

Terpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal

dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari

hidrokarbon C30 siklik yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang

nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau atom karboksilat.

Mereka berupa senyawa berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik

leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tidak ada

kereaktifan kimianya.

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari

komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterepena yang

mudah menguap (C10 dan C15), diterpena menguap, yaitu triterpenoid dan

sterol (C30), serta pigmen karotenoid (C40). Masing-masing golongan

terpenoid itu penting, baik dalam pertumbuhan dan metabolisme maupun

pada ekologi tumbuhan. Terpenoid merupakan unit isoprena (C5H8)

(Wiryowidagdo. 2008).

Paputungan (2017) dan Harizon (2014) mengatakan mangrove

jenis Sonneratia alba ini mempunyai buah dan kulit batang yang bermafaat
4

sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit karena mengandung senyawa

metabolit sekunder. Irawan (2014) menyatakan morfologi mangrove

Xylocarpus Granatum memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder

yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan uji aktivitas antimalarial

fraksi senyawa triterpenoid dari esktrak metanol daun jenis mangrove

Sonneratia alba dan Xylocarpus Granatum .

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kandungan terpenoid dalam tanaman mangrove Sonneratia

alba dan Xylocarpus Granatum?

2. Apakah kandungan terpenoid dalam tanaman mangrove dapat

digunakan sebagai obat anti malaria?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kandungan terpenoid dalam tanaman mangrove

Sonneratia alba dan Xylocarpus Granatum.

2. Untuk mengetahui pemanfaatan kandungan terpenoid dalam tanaman

mangrove sebagai obat anti malaria.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata Manque (Bahasa

Portugis) yang berarti tumbuhan dan kata Grove (Bahasa Ingris) yang

berarti belukar atau hutan kecil. Ada yang menyatakan mangrove dengan

kata Mangal yang menunjukan komunitas suatu tumbuhan. Atau

mangrove yang berasal dari kata Mangro, yaitu nama umum Rhizopora

Mangle di Suriname.

Hutan mangrove atau hutan bakau merupakan hutan yang berada di

lingkungan perairan payau. Hutan itu merupakan hutan yang sangat

dipengaruhi oleh keberadaan pasang surut air laut. Ekosistem hutan ini

juga khas. Kekhasan ekosistem hutan mangrove salah satunya karena

adanya pelumpuran di wilayah hutan tersebut.

A.1. Ciri-ciri hutan mangrove

Setiap jenis hutan tentulah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jika

suatu hutan tidak berbeda satu dengan yang lainnya, tentu tidak akan ada

jenis- jenis hutan. Setiap hutan pasti mempunyai karakteristik atau ciri-

cirinya masing- masing, begitu pula dengan hutan mangrove ini. Hutan

mangrove mempunyai karakteristik atau ciri- ciri tertentu. Beberapa


6

karakteristik atau ciri- ciri yang dimiliki oleh hutan mangrove ini antara

lain adalah sebagai berikut:

 Didominasi oleh tumbuhan mangrove atau tumbuhan bakau, yakni

tumbuhan yang mempunyai akar mencuat ke permukaan

 Tumbuh di kawasan perairan payau, yakni perairan yang terdiri atas

campuran air tawar dan air asin

 Sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut

 Keberadaannya terutama di daerah yang mengalami pelumpuran dan

juga terjadi akumulasi bahan organik

A.2. Ekosistem hutan mangrove

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa di Bumi ini makhluk hidup

akan bersosialisasi atau berinteraksi dengan lingkungan yang berada di

sekitarnya, dan juga dengan komponen- komponen yang ada di dalamnya

(baik komponen biotik maupun abiotik). Proses interaksi antara keduanya

ini disebut dengan ekosistem. Ekosistem ini ada di setiap tempat di Bumi,

dimana setiap tempat di Bumi atau disetiap habitat mempunyai

ekosistemnya masing- masing. Termasuk juga dengan hutan mangrove ini

adalah sebuah ekosistem tersendiri.

Ekosistem hutan mangrove ini bisa dikatakan sebagai jenis ekosistem yang

khas. Mengapa dikatakan khas? Hal ini karena ada sesuatu yang

membedakan antara yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove ini dan

tidak dimiliki oleh ekosistem hutan yang lainnya. Beberapa ke khasan


7

yang dimiliki oleh ekosistem hutan mangrove ini antara lain adalah adanya

pelumpuran yeng mengakibatkan hal – hal sebagai berikut:

 Kurangnya abrasi tanah

 Salinitas tanah yang tinggi

 Mengalami daur penggenangan oleh pasang surut air laut

 Hanya sedikit jenis tumbuhan yang dapat hidup

 Jenis tumbuhan yang dapat tumbuh bersifat khas karena telah melewati

proses adaptasi dan juga evolusi

Beberapa faktor lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi jenis tanaman

yang tumbuh antara lain:

1. Jenis tanah

Faktor lingkungan fisik yang pertama mempengaruhi jenis tanaman yang

tumbuh adalah jenis tanah. Sebagai tempat pengendapan, substrat yang ada

di wilayah pesisir pantai bisa sangat berbeda dengan daerah lainnya. Pada

umumnya, hutan bakau ini berada di wilayah yang tanahnya berupa

lumpur tanah liat dan bercampur dengan bahan- bahan organik. Namun

ada beberapa wilayah yang memiliki bahan organik dengan porsi yang

berlebihan, bahkan berupa lahan gambut. Selain itu juga ada substrat yang

berupa lumpur mengandung pasir yang tinggi, bahkan dominan pecahan-

pecahan karang. Hal seperti ini terjadi di pantai- pantai yang yang dekat

dengan kawasan terumbu karang. Dengan kondisi substrat yang demikian,

maka jenis tumbuhan yang dapat tumbuh di hutan mangrove ini harus bisa

beradaptasi dengan keadaan substrat yang demikian.


8

2. Terpaan ombak

Selain jenis tanah, faktor selanjutnya yang akan mempengaruhi jenis

tanaman di hutan mangrove adalah terpaan ombak. Bagian luar dari hutan

mangrove ini berhadapan langsung dengan laut lepas, hal ini tentu saja

akan membuat bagian depan hutan ini selalu diterpa oleh ombak yang

keras juga aliran air yang kuat. Sementara di bagian dalam hutan lebih

tenang daripada bagian luarnya.

Hutan mangrove ada kemiripan dengan hutan yang lainnya, yakni di

bgaian hutan yang berhadapan langsung dengan muara sungai. Melihat

kenyataan keadaan di hutan mangrove ini, terlebih berkaitan dengan

terpaan ombak, maka sudah bisa dipastikan bahwa tanaman yang berada di

luar dan berada di dalam berbeda. Jenis tanaman yang berada di luar

tentunya lebih kuat daripada yang ada di dalam karena harus berhadapan

langsung dengan ombak dan aliran air yang keras. Jenis mangrove yang

tumbuh di bagian luar dan sering digempur ombak adalah mangrove

Rhizophora spp. Jenis mangrove yang ada di bagian dalam dimana air

lebih teang adalah adalah jenis api- api hitam atau Avicennia alba.

3. Penggenangan oleh air

Faktor fisik yang ketiga yang mempengaruhi jenis tumbuhan di hutan

bakau adalah tentang genanagn air. Di hutan mangrove yang mana bagian

luarnya selalu terkena terpaan ombak, maka akan mengalami genangan air

yakni genangan air ombak maupun air pasang. Terkadang genangan ini

akan merendam dalam waktu yang lama daripada di bagian lainnya.


9

Sehingga dapat dipastikan bahwa di hutahn mangrove akan terbentuk

variasi kondisi lingkungan, dimana bagian luar akan sangat basah, bagian

tengan lembab, dan bagian dalam yang relatif lebih kering.

Dengan adanya perbedaan kondisi yang demikian ini maka akan tercipta

zonasi vegetasi mangrove yang berlapis- lapis secara alami, dan jenis

mangrove yang tumbuh pun berbeda- beda di setiap zona nya. Di bagian

yang lebih dalam, dimana banyak terdapat air yang tergenang ditmbuhi R.

mucronata dengan jenis kendeka atau Bruguiera spp, kaboa atau Aegiceras

corniculata, dan lain sebagainya.

A.3. Bentuk adaptasi hutan mangrove

Semua makhluk hidup harus melakukan adaptasi demi bisa bertahan hidup

di lingkungannya. Demikian halnya dengan pepohonan yang berada di

hutan mangrove ini. Pepohonan mangrove harus melalukan adaptasi demi

bertahan hidup melawan kerasnya lingkungan hidupnya, yakni yang

berada di tepi pantai. Adaptasi tersebut dilakukan baik secara fisik maupun

secara non fisik atau secara fisiologis. Beberapa bentuk adaptasi yang

dilakukan oleh tumbuh- tumbuhan yang ada di hutan mangrove ini antara

lain adalah:

 Mengembangkan akar tunjang – Pengembangan akar tunjang ini

dilakukan oleh mangrove Rhizophora spp. Mangrove ini biasanya hidup

di zona terluar dari lingkungan hutan mangrove. Pengembangan akar


10

tunjang ini dilakukan untuk bisa bertahan hidup dari ganasnya

gelombang laut yang menerpa.

 Menumbuhkan akar napas – Penumbuhan akar napas ini dilakukan

oleh mangrove jenis Avicennia spp dan Sonneratia spp. Akar napas

tersebut muncul dari pekatnya lumpur dan bertujuan untuk mengambil

oksigen dari udara.

 Penggunaan akar lutut – Untuk pohon kendeka atau Bruguiera spp,

bentuk adaptasi yang dilakukan adalah akar lutut atau knee root.

 Akar papan – Adaptasi dengan menggunakaan akar papan dilakukan

oleh tumbuhan nirih atau Xylocarpus spp. Akar papan yang dimiliki

oleh tumbuhan ini berbentuk panjang dan berkelok- kelok. Keduanya

ini untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur dan untuk

mendapatkan udara untuk bernapas.

 Lubang pori atau lentisel – Kebanyakan dari flora yang tumbuh di

hutan mangrove ini memiliki lentisel atau lubang pori. Lubang ini

digunakan untuk bernafas. Contohnya adalah di tanaman pepagan.

 Mengeluarkan kelebihan garam – Mengeluarkan kelebihan garam

adalah bentuk adaptasi fisiologis. Adaptasi ini dilakukan oleh

Avicennia spp, untuk mengatasi salinitas yang tinggi. Avicennia spp

mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya.

 Pengembangan sistem perakaran yang hampir tidak tertembus

oleh air garam – Adaptasi ini dilakukan oleh Rhizophora spp, dimana

air yang telah terserap telah hampir tawar. Kandungan garam sekitar
11

90% hingga 97% tidak mampu melewati saringan akar- akar ini.

sementara untuk garam yang sudah terserap di tubung pohon akan

diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang saat daun tersebut gugur.

A.4. Fungsi hutan mangrove

Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya hutan merupakan sesuatu

yang sangat penting di Bumi. Hutan sebagai paru-paru dunia memiliki

fungsi yang sangat vital dalam berbagai hal. Misalnya sebagai penetralisir

udara yang ada di Bumi dimana telah terkontaminasi dengan berbagai

polusi di udara. Selain sebagai pembersih udara, hutan juga sangat

berperan sebagai penangkal banjir dan juga tanah longsor. Selain itu hutan

juga berperan sebagai penyeimbang ekosistem dan menyimpan cadangan

air di akar- akar pohonnya, sehingga ketika musim kemarau tiba kita tidak

akan kehabisan air tawar. Itulah fungsi dari hutan secara umum. Lalu,

apakan hutan mangrove ini memiliki fungsi seperti dengan hutan- hutan

pada umumnya? Tentu saja ya, hutan mangrove memiliki fungsinya

sendiri. Beberapa fungsi atau manfaat yang dimiliki oleh hutan mangrove

ini antara lain adalah:

1. Fungsi ekonomi. Dilihat dari segi ekonomisnya, hutan mangrove ini

memiliki fungsi sebagai berikut:

 Menghasilkan beberapa jenis kayu yang kualitasnya diakui baik

 Menghasilkan hasil- hasil non kayu. Hasil non kayu yang dihasilkan

hutan ini dikenal sebagi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hasil hutan
12

bukan kayu ini biasanya serupa arang kayu, tanin, bahan pewarna,

kosmetik, hewan, serta bahan pangan dan juga minuman.

2. Fungsi ekologis. Dilihat dari segi ekologisnya, hutan mangrove ini

memiliki fungsi sebagai berikut:

 Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi

ombak- ombak laut yang bisa mengikis pinggir- pinggir pantai

 Menjadi habitat berbagai jenis hewan. Hewan- hewan yang hidup di

sekitar pantai antara lain biawak air, kepiting bakau, udang lumpur,

siput bakau, dan berbagai jenis ikan belodok

 Menjadi tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora

A.5. Pesebaran hutan mangrove

Hutan mangrove ini bukanlah hutan yang sulit untuk kita temui

keberadaannya. Ada berbagai wilayah yang memiliki hutan mangrove.

Hutan mangrove ini tersebar luas di bagian memiliki iklim cukup panas di

dunia. Hutan mangrove ini terutama banyak di temui di daerah sekitar

garis khatulistiwa tau ekuator, yakni daerah yang memiliki iklim tropis,

dan sedikit di daerah yang memiliki iklim sub tropika.

Sementara di Indonesia, adalah negara yang memiliki hutan mangrove

terluas di dunia, yaitu antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar. Luas sekian ini

melebihi hutan mangrove yang ada di Brazil yakni 1,3 jukta hektar,

Nigeria yakni 1,1 juta hektar, dan Australia yakni 0.97 hektar. Luas hutan

mangrove yang dimiliki Indonesia ini memenuhi 25% dari total semua
13

hutan mangrove yang ada di dunia. Meskipun jumlahnya banyak, namun

sebagian dari kondisi hutan mangrove tersebut kondisinya rusak.

Di Indonesia sendiri, hutan mangrove yang paling luas terdapat di sekitar

Dangkala Sunda yang relatif tenang. Tempat ini juga merupakan tembat

bermuaranya berbagai sungai- sungai besar, yakni di pantai timur

Sumatera dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Selain itu hutan

mangrove terdapat di pantai utara Pulau Jawa, namun di wilayah ini

kondisi hutan mangrove yang ada telah lama terkikis oleh kebutuhan

penduduknya terhadap lahan yang ada.

Upaya Melestarikan Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan yang mempunyai banyak sekali manfaat.

Manfaat- manfaat dari hutan mangrove sendiri telah dipaparkan di atas.

Oleh karena hutan mangrove ini mempunyai banyak sekali manfaat dan

juga sifat penting, maka keberadaan hutan mangrove ini perlu dilestarikan.

Sementara itu hutan mangrove yang ada di Indonesia sudah banyak

mengalami kerusakan, maka dari itulah perlu dilakukan upaya- upaya

untuk melestarikan kembali hutan mangrove yang telah rusak. Beberapa

cara untuk melestarikan kembali hutan mangrove yang telah rusak antara

lain adalah sebagai berikut:

1. Penanaman kembali hutan mangrove

Perbaikan dan pelestarian hutan mangrove bisa dilakukan dengan

melakukan peneneman kembali pohon- pohon mangrove. Penanaman ini

jangan lupa untuk selalu melibatkan masyarakat sekitar. Mengapa harus


14

melibatkan masyarakat? Hal selain akan meringankan proses penanaman

kembali, juga akan menumbuhkan rasa kepemilikan dan kesadaran pada

masyarakat sebagai pemilik wilayah, sehingga nantinya masyarakat akan

turut serta melindungi hutan mangrove tersebut. Selain itu, masyarakat

sekitar juga akan mendapatkan beberapa keuntungan seperti terbukanya

peluang kerja, sehingga otomatis akan meningkatkan pendapatan

masyarakat.

2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir

Selain penanaman kembali, upaya pelestarian hutan mangrove juga dapat

dilakukan dengan mengatur ulang wilayah pesisir, seperti pemukiman,

vegetasi, dan lain sebagainya. Hal ini karena wilayah pesisir pantai dapat

dijadikan kota ekologi sekaligus berpotensi sebagai objek wisata, sehingga

hutan mangrove yang berada di sekitar wilayah tersebut akan dapat

dikelola dengan baik.

3. Peningkatan kesadaran masyarakat

Kesadaran masyarakat juga merupakan hal yang harus ditumbuhkan demi

terciptanya hutan mangrove yang lestari. Bagaimanapun juga, masyarakat

sekitar adalah orang- orang yang paling dekat dengan hutan mangrove,

sehingga apabila masyarakat yang berada di sekitarnya memiliki

kesadaran yang tinggi, hal itu akan berpotensi menjadikan hutan mangrove

tetap lestari.
15

4. Peningkatan pengetahuan masyarakat dan penerapan kearifan

lokal mengenai konservasi

Seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya hutan mangrove ini

memiliki fungsi sebagai konservasi lahan pantai, sehingga keberadaan

hutan mangrove ini sangatlah penting. Masyarakat perlu mengetahui dan

juga menyadari tentang fungsi dari hutang mangrove ini dan juga

memahami dengan jelas arti dari konservasi. Jika masyarakat memahami

arti penting konservasi, maka hutan mangrove akan dapat diselamatkan

dari tangan- tangan jahil masyarakat yang tidak bertanggung jawab dan

ingin mengubahnya menjadi lahan- lahan yang bernilai komaersial.

5. Program komunikasi konservasi hutan mangrove

Selain perlunya mmebangun kesadaran mengenai hutan mangrove, perlu

juga diadakan tentang komunikasi atau penyuluhan mengenai konservasi

hutan mangrove ini. Hal ini tentu saja sangat penting untuk menjaga

kelestarian hutan mangrove. Selain bertujuan agar masyarakat memahami

arti penting konservasi hutan mangrive, juga bertujuan menginformasikan

kepada masyarakat bagaimana caranya untuk melakukan upaya pelestarian

kepada hutan mangrove tersebut, sehingga pada akhirnya masyarakat

dapat berduyun- duyun untuk melestarikan hutan mangrove secara

bersama- sama dengan pemerintah atau pengelola wilayah sekitar hutan

tersebut.
16

6. Perbaikan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis

masyarakat

Hal ini berarti dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir pantai,

masyarakt sangat penting utuk selalu dilibatkan. Hal ini karena masyarakat

mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain itu

kearifan loka juga perlu dikembangkan sejauh dapat mendukung program

ini dengan baik.

B. Malaria

Malaria merupakan penyakit infeksi yang menjadi perhatian WHO.

Sebagian besar daerah di Indonesia masih merupakan daerah endemic

infeksi malaria, yaitu Indonesia bagian Timur seperti Papua, Maluku, Nusa

Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan bahkan beberapa daerah seperti

Lampung, Bengkulu, Riau, daerah di Jawad an Bali, walaupun endemitas

sudah sangat rendah, masih sering dijumpai kasus malaria (Harijanto,

2011). Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

karena mempengaruhi tingginya angka kesakitan dan kematian. Sampai

saat ini malaria ditemukan tertular luas di Indonesia dan bahkan dapat

timbul secara tiba-tiba di suatu daerah yang telah dinyatakan bebas

malaria.

Malaria dapat menyebabkan kekurangan darah karena sel-sel darah banyak

yang hancur atau dimakan oleh plasmodium. Malaria juga menyebabkan


17

splenomegaly yaitu pembesaran limpa yang merupakan gejala khas

malaria klinik.

Anemia terjadi terutama karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi,

plasmodium falsifarum menginfeksi seluruh stadium sel darah merah

hingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis (Depkes 2010).

Penyakit malaria disebabkan oleh Plasmodium Sp. Spesies plasmodium

yang menginfeksi manusia tidak dapat menginfeksi hewan model non

primate. Oleh karena itu, evaluasi in vivo senyawa antiplasmodium dapat

menggunakan parasite malaria golongan rodensia Plasmodium berghei (P.

berghei), P. yoelii, P. chabaudi, dan P. vinckei.

Pengobatan malaria menggunakan sediaan tanaman banyak digunakan,

seperti di negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara (Omar, 2000).

Upaya-upaya pengembangan obat tradisional anti malaria bersumber dari

tanaman ditempuh dalam yang panjang karena harus melewati beberapa

fase, seperti uji preklinik yang dilakukan pada hewan coba (Srisilam dan

Veersham, 2003). Hal ini dilakukan agar teruji khasiat dan keamanannya

agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Salah satu tanaman yang merupakan satu keluarga dengan tumbuhan

Artemisia annua y adalah mangrove

C. Mangrove Xylocarpus Granatum

Pohon berukuran sedang, tinggi mencapai 22 m, dan bergaris tengah

hingga 1 m, terkadang dijumpai pohon berakar banir, sering dijumpai

sistem akar berupa akar napas atau permukaan akar seperti pita. Kulit
18

batang bercelah atau bersisik. Daun majemuk menyirip genap, berseling,

bentuk anak daun jorong atau bulat telur sungsang. Bunga malai tumbuh

pada ketiak daun, uniseksual, daun-daun mahkota berwarna putih-krem.

Buah kapsul, halus berkayu, bergaris tengah hingga 25 cm, mengandung 6

– 18 biji. Biji berbentuk persegi empat, panjang hingga 6 cm, berwarna

coklat.

Xylocarpus Granatum, biasa dikenal dengan sebutan nyiri tumbuh di

sepanjang pinggiran sungai pasang surut, pinggir daratan dari mangrove,

dan lingkungan payau lainnya yang tidak terlalu asin.

D. Mangrove Sonneratia Alba

Sonneratia alba adalah salah satu jenis pohon yang hidup di hutan

mangrove. Jenis yang merupakan famili dari Sonneratiaceae ini memiliki

nama daerah antara lain pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, posi –

posi, wahat, putih, berapak, bangka, susup, kedada, muntu, pupat dan
19

mange – mange. Namun masyarakat di sekitar Taman Nasional Baluran

mengenalnya dengan sebutan Pedada.

Klasifikasi :

Divisi :Magnoliophyta

Kelas :Magnoliopsida

Bangsa :Magnoliales

Suku :Sonneratiaceae

Marga :Sonneratia

Jenis :Sonneratia alba

Ciri-cirinya :

 Kulit kayunya berwarna putih tua hingga coklat.

 Tangkai bunga pohon ini tumpul dengan panjang 1 cm.

 Daun mahkota warnanya putih, mudah rontok.


20

Buahnya seperti bola, ujung bertangkai dan terbungkus kelopak bunga.

Benang sari banyak, ujung berwarna putih dan pangkalnya berwarna

kuning serta mudah rontok.Kelopak bunga 6 – 8, berkulit, bagian luar

warnanya hijau sedangkan di dalamnya kemerahan.

Akarnya berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul di atas permukaan

tanah sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul.

Daunnya berkulit, bentuknya bulat telur terbalik ujungnya membundar.


21

E. Terpenoid

Terpena merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan

oleh tumbuhan dan terutama terkandung pada getah dan vakuola selnya.

Pada tumbuhan, senyawa-senyawa golongan terpena dan modifikasinya,

terpenoid.

Senyawa terpenoid terdapat hampir diseluruh jenis tumbuhan dan

penyebarannya juga hampir semua jaringan tumbuhan mulai dari akar,

batang dan kulit, bunga, buah dan paling banyak adalah daun. Bahkan

beberapa batang dan eksudat (getah) juga mengandung terpenoid.

Struktur terpenoid beragam yaitu: rantai terbuka, monosiklik dan polisiklik

serta mempunyai gugus fungsi yang beragam pula. Penggolongan

terpenoid yang lebih umum ditinjau berdasarkan aspek fitokimia (kimia

tumbuhan) dan kemotaksonomi yaitu tumbuhan spesiesnya sama, maka

kandungan kimianya pun pada umumnya sama (Sitorus, 2010).

Semua senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2=C(CH3)-

CH=CH2 dan kerangka karbonya (carbon skeleton) disusun dengan

menyambung dua atau lebih satuan isoprena tersebut (C5) seperti pada

Gambar 1. Berdasarkan alasan tersebut, maka senyawa terpenoid

seringkali dinyatakan dengan istilah “isoprenoid”. Namun, senyawa

isoprena sendiri tidak terdapat di alam, senyawa yang sebenarnya terlibat

adalah isopentenil pirofosfat, CH2=C(CH3)-CH2-CH2-OPP. Hal ini

menyebabkan ada sebagian senyawa terpenoid yang tidak tersusun dari

molekul isoprena tersebut (Tukiran, 2010).


22

Gambar 1. Struktur isopren

Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai dari komponen

minyak atsiri, yaitu monoterpena dan sesquiterepena yang mudah

menguap (C10 dan C15), diterpena menguap, yaitu triterpenoid dan sterol

(C30), serta pigmen karotenoid (C40). Masing-masing golongan terpenoid

itu penting, baik dalam pertumbuhan dan metabolisme maupun pada

ekologi tumbuha. Terpenoid merupakan unit isoprena (C5H8). Terpenoid

merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan

isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 siklik

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit,

kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau atom karboksilat. Mereka berupa

senyawa berwarna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan

aktif optik yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan

kimianya.

Secara umum terpenoid terdiri dari unsur-unsur C dan H dengan rumus

molekul umum (C5H8)n.


23

Klasifikasi biasanya tergantung pada nilai n.

Nama Rumus Sumber

Monoterpen C10H16 Minyak Atsiri

Seskuiterpen C15H24 Minyak Atsiri

Diterpen C20H32 Resin Pinus

Triterpen C30H48 Saponin, Damar

Tetraterpen C40H64 Pigmen, Karoten

Politerpen (C5H8)n n 8 Karet Alam

Dari rumus di atas sebagian besar terpenoid mengandung atom karbon

yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Penyelidikan selanjutnya

menunjukan pula bahwa sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka

karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang disebut unit

isopren. Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya

seperti senyawa isopren. Wallach (1887) mengatakan bahwa struktur

rangka terpenoid dibangun oleh dua atau lebih molekul isopren. Pendapat

ini dikenal dengan “hukum isopren” (Anna, 2011)..


24

(carey, 2001. Organic chemistry . fourth edition. Mc Graw-Hills.1058-

1066.)

Secara umum, biosintesa dari terpenoid terjadi dengan 3 reaksi dasar yaitu:

1) Pembentukan isoprena aktif berasal dari asam asetat melalui asam

mevalonat.
25

2) Penggabungan kepala dan ekor dua unit isopren akan membentuk

mono-, seskui-, di-, sester-, dan poli-terpenoid.

3) Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20

menghasilkan triterpenoid dan steroid.

D.1. Kegunaan Terpenoid

Kegunaan terpenoid bagi tumbuhan antara lain :

a. Fitoaleksin

Fitoaleksin adalah suatu senyawa anti-mikrobial yang dibiosintesis

(dibuat) dan diakumulasikan oleh tanaman setelah terjadi infeksi dari

mikroorganisme patogen atau terpapar senyawa kimia tertentu dan

radiasi dengan sinar UV.

b. Bioaktivitas terpenoid sebagai antioksidan dan antikanker

c. Insect antifectan, repellant

d. Pertahanan tubuh dari herbifora

e. Feromon Hormon tumbuhan.

Feromon adalah sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang

dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.
26

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam penulisan jurnal dilakukan dalam dua tahap yaitu

prosedur penelitian kadar Terpenoid dalam mangrove jenis Xylocarpus

Granatum dan prosedur percobaan obat anti malaria.

A. Prosedur penentuan kadar Terpenoid

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan

teknik observasi, meliputi penyiapan alat, bahan, preparasi sampel, ekstraksi

dan uji fitokimia. Berikut penjelasan detailnya.

Uji terpenoid
27

Data hasil penelitian ekstraksi dihitung berdasarkan jumlah

rendemen ekstrak yang dihasilkan dari masing-masing pelarut, sedangkan

hasil uji fitokimia senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun

mangrove, dinyatakan dengan nilai positif (+) apabila ditemukan senyawa

terkandung dan bernilai negative (-) apabila tidak ditemukan senyawa

terkandung. Data kemudian dibandingkan pada tiap fraksi dan disajikan

dalam bentuk table dan gambar yang kemudian dianalisis secara deskriptif.

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi dengan

methanol 95% dengan perbandngan 1:9 (w/v) pada suhu ruang. Ekstrak

diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 45oC dan dengan

kecepatan 100 rpm hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak difraksinasi

menggunakan kromatografi kolom vakum, dengan eluen n-heksana. DCM,

dan methanol. Fraksi-fraksi yang keluar dari kolom ditampung dalam

botol vial, selanjutnya dilakukan uji KLT untuk mengetahui kandungan

dalam fraksi secara kuantitatif. Fraksi-fraksi yang memiliki Rf noda yang

hamper saama dijadikan satu fraksi besar. Fraksi besar yang diperoleh

diuji kandungan tritepenoid menggunakan reagen Lieberman-Burchad

dengan indicator terjadi warna.

B. Uji aktifitas antimalaria dari kandungan Terpenoid mangrove jenis

Xylocarpus Granatum dan Sonneratia Alba

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak

lengkap (RAL) melalui percobaan dengan lima kelompok perlakuan. Tiap


28

perlakuan terdiri dari lima ekor mencit. Kelompok perlakuan tersebut

sebagai berikut.

1. Kelompok PI : dosis pemberian fraksi senyawa triterpenoid 0,1 mg/kg

BB

2. Kelompok PII : dosis pemberian fraksi senyawa triterpenoid 1 mg/kg

BB

3. Kelompok PIII : dosis pemberian fraksi senyawa triterpenoid 10 mg/kg

BB

4. Kelompok PIV : dosis pemberian fraksi senyawa triterpenoid 100

mg/kg BB

5. Kelompok K : control negatif menggunakan CMC 1%

Populasi dalam penelitian ini adalah mencit galur murni strain Balb/c

kelamin jantan. Sampel yang digunakan yaitu 25 ekor mencit jantan yang

berumur 8 minggu dengan rentang berat badan 19-22 gr, sehat, dan aktif

bergerak. Bahan dan alat yang digunakan meliputi tanaman A.camansi,

bahan dan alat ekstraksi, fraksinasi dan uji aktivitas malaria.

Mencit sebagai hewan coba diaklimatisasi selama 7 hari. Proses

inokulasi P. berghei dilakukan dengan memberikan 1x107/0,1 mL

suspense secara intra peritoneal pada mencit donor. Mencit donor yang

digunakan harus memiliki persentase parasitemia lebih dari 20%.

Selanjutnya, darah mencit donor diambil dari jantung dan diinfeksikan

sebanyak 1x107/0,1 mL kepala mencit perlakuan sebagai hewan coba

secara intra peritoneal.


29

Uji aktivitas antimalaria pada mencit sesuai dengan kelompok

perlakuan. Pemberian fraksi triterpenoid dilakukan setelah 24 jam (sehari

pasca infeksi) menggunakan sonde lambung sekali dalam sehari. Hari

penginfeksi disebut hari ke-0 (D0) dan hari pemberian fraksi dilakukan

selama 3 hari mulai hari-1, hari-2, hari-3 (D1, D2, dan D3). Pengamatan

angka parasitema dilakukan dengan membuat preparat hapusan darah tipis

yang diambil dari vena ekor setiap hari mulai dari hari-1 sampai ke-7.

Pengambilan darah dilakukan dengan memotong ujung ekor mencit

secaraa aseptis.

Preparat hapusan darah tipis dibuat dengan meneteskan darah ke elas

obyek secara duplo. Darah dibiarkan kering pada suhu kamar kemudian

difiksasi dengan methanol absolute. Selanjutnya hapusan darah tipis

diwarnai dengan larutan Giemsa (5% larutan Giemsa selama 30 menit)

lalu dibilas. Sediaan hapusan darah diperiksa dibawah mikrokop dengan

perbesaran 1000 kali menggunakan minyak emersi.

Data persentase parasitema dianalisis menggunakan Anava dua jalur

taraf kepercayaan 0,95 ( 0,05). Sebelum itu, terlebih dahul dilakukan uji

normalitas dan homogenitas data untuk mengetahui data terdistribusi

normal dan memiliki varian yang homogeny. Analisis dilanjutkan dengan

uji Tukey HSD dengan bantuan SPSS 18 for Windows .


30

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan kadar Terpenoid

a) Ekstraksi Daun Mangrove Xylocarpus granatum dan Sonneratiae Alba

Ekstraksi senyawa metabolit sekunder daun mangrove dilakukan dengan

metode maserasi menggunakan pelarut metanol (polar dan n-heksana (non

polar) dengan perbandingan 1 : 9. Diperoleh hasil ekstrak daun mangrove

Xylocarpus granatum yang disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Ekstrak daun mangrove Xylocarpus granatum

Hasil perhitungan rendemen ekstrak dengan pelarut metanol didapatkan

14,46%. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung pada daun

mangrove Xylocarpus granatum cenderung bersifat polar. Hal ini juga

ditemukan oleh Darwis (2000) dalam oktavianus (2012), yang menyatakan

bahwa secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak

digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena hampir

dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder.


31

b) Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan analisis kualitatif yang dilakukan untuk mengetahui

senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam tiap ekstrak daun

mangrove

Triterpenoid dan Steroid

Indikator positif dari uji triterpenoid dan steroid adalah dengan terbentuknya

larutan berwarna merah untuk pertama kali pada reaksi positif triterpenoid

dan selanjutnya terbentuknya larutan biru dan hijau untuk reaksi positif

steroid. Hasil uji triterpenoid dan steroid dapat dilihat pada gambar 2

Gambar 2. Uji Triterpenoid

Pengujian fitokimia ekstrak kasar metanol, positif mengandung senyawa

triterpenoid. Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C30 yang

menyebabkan sifatnya non-polar sehingga mudah terekstrak dalam pelarut yang

bersifat non polar. Ada beberapa senyawaan triterpenoid berstruktur siklik yang

berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat (Harborne, 1987). Senyawaan yang

berstruktur alkohol yang memiliki gugus –OH menyebabkan sifatnya menjadi

semi polar, sehingga dapat terekstrak dalam pelarut etil asetat (semi polar)

(Sriwahyuni, 2010).
32

Hasil ekstraksi dan identifikasi senyawa metabolit sekunder pada daun

Xylocarpus granatum menunjukkan pada fraksi pelarut metanol memiliki nilai

rendemen ekstrak sebesar 14,46% dan memiliki kandungan senyawa metabolit

sekunder triterpenoid

Berdasarkan hasil uji fitokimia dan karakterisasi senyawa metabolit

sekunder pada daun Sonneratia Alba berhasil diisolasi senyawa golongan

triterpenoid.

B. Uji aktivitas anti malaria

Hasil analisis persentase parasitemia mencit menunjukkan bahwa rerata

persentase parasitemia pada empat kelompok dosis perlakuan dari hari pertama

sampai hari ke-4 mengalami penurunan (Gambar 3). Penurunan tertinggi dicapai

oleh kelompok perlakuan PIV dengan dosis 100 mg/kg BB, kemudian diikuti

oleh PIII (dosis 10 mg/kg BB), PII (1 mg/kg BB) dan PI (0,1 mg/kg BB).

Pada kelompok kontrol rerata persentase parasitemia mengalami

peningkatan mulai dari hari pertama sampai hari ke-7 pengamatan. Hal ini

disebabkan larutan CMC 1% tidak dapat menghambat pertumbuhan parasit P.

berghei sehingga angka parasitemia meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian lain bahwa mencit yang

terinfeksi P. berghei tanpa pengobatan dan dipelihara pada suhu kamar

mengalami peningkatan angka parasitemia [8]. Dua hari setelah pemberian fraksi

triterpenoid dihentikan, persentase parasitemia meningkat mengikuti kelompok

kontrol.
33

Gambar 3. Rerata (±1SE) persentase parasitemia pada kelompok perlakuan dan

control.

Persentase parasitemia berbeda signifikan jika ditinjau dari lama waktu

pemberian fraksi (P < 0,05). Lama waktu yang paling efektif adalah pada hari ke-

3 dan ke-4. Pengobatan selama 3 hari berturut-turut sesuai dengan keputusan

Departemen Kesehatan RI tahun 1995. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi

senyawa triterpenoid daun A. camansi dapat dijadikan obat antimalaria. Terdapat

interaksi antara kelompok dosis perlakuan dan lama waktu pemberian fraksi

terhadap persentase parasitemia (P < 0,05). Kelompok dosis perlakuan dan lama
34

waktu pemberian fraksi yang paling berpengaruh adalah perlakuan dosis 100

mg/kg BB dengan lama waktu pemberian selama 3 hari.


35

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di

atas, maka dapat dismpulkan sebagai berikut :

1. Kandungan senyawa triterpenoid pada daun mangrove Xylocarpus

Granatum dan dengan nilai rendamen 14,46%. Berdasarkan hasil uji

fitokimia dan karakterisasi senyawa metabolit sekunder pada daun

Sonneratia Alba berhasil diisolasi senyawa golongan triterpenoid.

2. Hasil uji aktivitas antimalaria menunjukkan bahwa senyawa triterpenoid

dari ekstrak metanol daun Xylocarpus Granatum dan Sonneratia Alba

berpengaruh terhadap aktivitas antimalaria. Besar dosis yang paling efektif

adalah 100 mg/kg BB selama tiga hari dengan waktu pemerian sehari

setelah mencit terinfeksi parasit.

B. Saran

Diharapkan ada penelitian lanjutan untuk jenis tumbuhan mangrove

yang lain sebagai obat anti malaria.


36

DAFTAR PUSTAKA

Bidigare Robert, T. 2013. Terpenoids As Therapeutic Drugs and Pharmaceutical


Agents. DOI:10.1007/978-1-59259-976-9_9

Endang, T. 2014. Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sukun Kering (Artocarpus altilis).
Universitas Muhammadiyah Semarang: Semarang

Eriani R.I., Usman. 2017. Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak Metanol Daun
Mangrove Sonneratia Alba dan Sifat Toksisitasnya. Prosiding Seminar
Nasional Kimia 2017. ISBN 978-602-50942-0-0

Hayati, EK., Jannah A, dan Ningsih R.2012.Identifikasi Senyawa Dan Aktivitas


Antimalaria IN VIVO Ekstrak Etil Asetat Tanaman Anting – Anting
(Acalypha indica L). Molekul.

Irawan, H., Ekstraksi Senyawa Metabolit Sekunder yang terdapat pada Daun
Mangrove Xylocarpus Granatum dengan pelarut yang berbeda.

Kaur, R and Harpreet Kaur. 2017. Plant Derived Antimalarial Agents. Journal of
Medicinal Plants Studies. Volume 5 No. 1

Lopez, D.,dkk. Evaluation of antiparasitic, anticancer, antimoicrobial and


hypoglycemic properties of organic extracts from Panamian mangrove
plants. 2018. Asian Pasific Journal of Tropical Medicine. Volume 11

Musa, W.J., Duengo S and Tahir R. 2017. Senyawa Triterpenoid dari Tumbuhan
Mangrove Sonneratia Alba. Jurnal ITEKIMIA. Vol.1 No.1

Onguéné, Pascal Amoa,dkk.2013. The potential of anti-malarial compounds


derived from African medicinal plants, part I: a pharmacological evaluation
of alkaloids and terpenoids. Amoa Onguéné et al. Malaria Journal,(12):449

Paputungan, Z., Wonggo, D., and Kaseger, B.E. 2017. Uji Fitokimia dan
Aktivitas Antioksidan Buah Mangrove Sonneratia Alba di Desa Nunuk
Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Jurnal Media Teknologi Hasil
Perikanan. Vol.5. No.3
37

Ragasa, C.Y., dkk. 2015.. Triterpenes and Sterols from Sonneratia alba. 2015.
International Journal of Current Pharmaceutical Review and Research. Vol.6.
No.6

Sucilestari, R.,Soelistya D, Bachtiar I.2013.Uji Aktivitas Antimalaria Fraksi


Triterpenoid dari Ekstrak Metanol Daun Artocarpus camansi terhadap
Plasmodium berghei secara In vivo. NATURAL B,(2):2

Waterman, C., Mutika, S.T., Sheung Ma, W., Maignam, P. 2013. Screening
Mangrove Endophtic for Antimalarial Nature Products. 2013. Article in
marine drugs. ISSN 1660-3397

Anda mungkin juga menyukai