Anda di halaman 1dari 23

ISLAM DAN PERADABAN MELAYU

(SEJARAH DAN KESULTANAN MELAYU DI ACEH DAN


RIAU)

Disusun oleh :
M.Rizki Saputra (23041020010)

Dosen Pengampu:

MUZAIYANAH M.Pd

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAPALEMBANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum.wr.wb
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang, kami
panjatkan puja serta puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan hidayah
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
dan Kesultanan Melayu Di Aceh dan Riau”. Makalah ini telah kami buat dan kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai sumber sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih
kepada pihak yang berhubungan dengan adanya sumber yang menjadi acuan dari
makalah kami.
Sebagaimana pepatah yang menyatakan tiada gading yang tak retak, maka
penulisan makalah ini pun tentunya banyak dijumpai kekurangan dan kelemahannya.
Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta
saran-saran perbaikan, agar kekurangan dan kelemahan yang ada tidak mengurangi nilai
dan manfaat bagi pengembangan Islam dan Peradaban Melayu pada umumnya.
Wassalamualaikum.wr.wb

Palembang, 25 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................1
A. Latar belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................3
A. Sejarah Kesultanan Melayu Di Aceh ............................................. 3
1. Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun (1496-1903 M................... 3
2. Silsilah Daftar Para Sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan Aceh
Darussalam ........................................................................................ 4
3. Sistem Politik dan Pemerintahan ................................................. 6
4. Sistem Ekonomi, Sosial, dan Budaya ............................................ 7
5. Wilayah Kekuasaan ............................................................... 9
6. Kemunduran Kesultanan Aceh ................................................... 10
B. Sejarah Kesultanan Melayu Di Riau ............................................. 11
1. Kerajaan Melayu di Riau ............................................................. 11
2. Peninggalan Kerajaaan Melayu di Riau ....................................... 12
3. Kesultanan Riau .......................................................................... 13
4. Sistem Perdagangan .................................................................... 15
5. Cara Transaksi Barang Larangan Kepada sultan di Kerajaan ...... 17
6. Sistem Politik, Ekonomi, Social-budaya ..................................... 18
BAB III PENUTUP............................................................................. 19
A. Kesimpulan .................................................................................. 19
B. Saran ........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Sejarah Kesultanan Melayu di Aceh dan Riau memiliki latar belakang yang kaya dan
menarik. Kesultanan Melayu di Aceh didirikan pada abad ke13 oleh Sultan Alaidin
Mahmud Syah, sedangkan Kesultanan Melayu di Riau didirikan pada abad ke-18 oleh
Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah. Terbentuknya kedua kesultanan ini berhubungan erat
dengan perdagangan rempah-rempah yang melintasi wilayah tersebut. Aceh dan Riau
merupakan daerah strategis yang menjadi pusat perdagangan internasional pada masa
itu. Kedua kesultanan ini mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke
Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Selain itu, pembentukan kesultanan ini juga berkaitan dengan agama Islam. Pada
saat itu, Islam telah tersebar luas di wilayah Nusantara, termasuk Aceh dan Riau. Para
sultan dari kedua kesultanan ini memegang peran penting dalam penyebaran agama
Islam di daerah-daerah sekitarnya.Kesultanan Melayu di Aceh dan Riau juga memiliki
hubungan yang erat dengan bangsabangsa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan
Spanyol. Bangsa-bangsa tersebut berusaha mengendalikan perdagangan rempah-
rempah di wilayah tersebut sehingga terjadi konflik antara mereka dengan kedua
kesultanan ini.
Dalam makalah sejarah tentang kedua kesultanan ini, akan dibahas lebih lanjut
mengenai perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di Aceh dan Riau pada masa
kejayaan kesultanan Melayu. Selain itu, juga akan dibahas mengenai peran penting
kedua kesultanan ini dalam sejarah Nusantara serta pengaruhnya terhadap budaya dan
agama Islam di wilayah tersebut.
B.Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana Sejarah Terbentukanya Kesultanan Melayu Di Aceh?
2) Bagaimana Sejarah Terbentukanya Kesultanan Melayu Di Riau?

C.Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas,
maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1) Untuk mengetahui Sejarah Terbentukanya Kesultanan Melayu Di Aceh
2) Untuk mengetahui Sejarah Terbentukanya Kesultanan Melayu Di Riau
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesultana Melayu Di Aceh

1. Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun (1496-1903 M)

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.


Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai
ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami
kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke14 M, kerajaan Aceh
Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M).1 Pada tahun 1524 M,
Mughayat Syah berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya
kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa,
sebenarnya kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari Samudera Pasai untuk
membangkitkan dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah
dicapai sebelumnya.

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan
Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih
tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan
wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu,
sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir
timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat
Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial
Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk
menghambat pengaruh Portugis, kerajaankerajaan kecil tersebut kemudian ia
taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh
lebih dikenal dengan

1
Nyayu Soraya,Islam dan Peradaban Melayu (Banten : Dasanta Muliavisitama,2021)
nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-
kerajaan kecil di sekitarnya.2

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis


dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah
berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di
daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie,
Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai.
Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng
Portugis di Pasai.

Pendirian kerajaan Aceh Darussalam yang diisytiharkan Sultan Alaiddin ali


Mughaiyat Syah merupakan awal dari segala penyatuan dan perluasan dari sebuah
kerajaan Islam.3 Setelah negara Islam itu wujud yang dipimpin oleh raja-raja Islam,
maka pelaksanaan undang-undang Islam pun secara terus menerus dipraktikkan
dalam negara tersebut. Sebagai warisan dari kerajaan Islam Peureulak dan kerajaan
Islam Samudera Pasai yang menjadi kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara, maka
kerajaan Aceh Darussalam pun menjadikan Islam sebagai dasar negaranya.

2. Silsilah Daftar Para Sultan Yang Pernah Berkuasa Di Kerajaan Aceh Darussalam

Aceh adalah sebuah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera. Di
masa lampau Aceh berjaya menjadi sebuah Kerajaan Islam termegah di Asia
Tenggara. Bahkan, saat berada di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda,
Kerajaan Aceh Darussalam berhasil mencatatkan namanya pada posisi lima besar di
antara Kerajaan-kerajaan Islam terbesar

2
Ibid
3
Hasanuddin Yusuf Adan, Islam dan Sistem Pemerintahan Di Aceh Masa Kerajaan Aceh Darussalam,
(Banda Aceh, Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan ArraniryPress: 2013),
di dunia, di samping Kerajaan Islam Turki Usmani, Kerajaan Islam Morroko, Isfahan,
dan Akra.4

Pada abad 15 menjadi awal munculnya sebuah Kerajaan Islam di ujung utara
Pulau Sumatera dan paling barat dari Kepulauan Nusantara yaitu Kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan ini mulanya adalah Kerajaan Darussalam dengan raja terakhir
yaitu Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. Baginda merupakan Sultan terakhir
Kerajaan Darussalam sebelum ia memproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh
Darussalam.5

Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh 35sultan 45 dan 4 di antaranya


Sultanah dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam selama 59 tahun lamanya.
Kemunculan para pemimpin wanita ini membuat pro dan kontra di antara
masyarakat Aceh. Kepemimpinan sultanah diawali dengan meninggalnya Sultan
Iskandar Tsani yang tidak meninggalkan ahli waris kerajaan. Sepanjang riwayat
Kesultanan Aceh Darussalam sejak diproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh hingga
kepemimpinan para sultanah menurut Prof Ahwan, mengutip pada Harun Tucer
dalam Osmanlinin Gelgesyide Biz Uzakdogu Deobet Ace tercatat telah berganti 12
Sultan, diantaranya:6

a. Ali Mughayat Syah (1496-1528)

b. Salahuddin (1528-15370)

c. Alauddin al Kohar (1537-1568)

d. Husein Ali Riayat Syah (1569-1575)

e. Sri Alam (1575-1576)

f. Zaenal Abidin (1576-1577)

4
Tgk. A.K.Jakobi, Aceh dalam perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945- 1949 dan peranan
Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Seulawah RI-001, 1998),
5
Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),
6
Nyayu Soraya,Op,cid,,.
g. Alauddin Mansyur Syah (1577-1589)

h. Buyung (1589-1596)

i. Alauddin Riayat Syah (1596-1604)

j. Ali Riayat Syah (1604-1607)

k. Iskandar Muda (1607-1636)

l. Iskandar Tsani (1636-1641)

Dari 12 Sultan ini, berbeda dengan Hasjmy di dalam bukunya yang berjudul
Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, mengutip pendapat Yusuf Jamil ada 13
Sultan yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam sebelum dipimpin oleh para
Sultanah diantaranya:

a. Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah (1511-1530)

b. Sultan Salahuddin (1530-1539)

c. Sultan Alaiddin Riayat Syah II dengan gelar Al Qahhar (1539-1572)

d. Sultan Husain Alaiddin Riayat Syah III (1571-1579)

e. 28 hari (usia 7 bulan) Sultan Muda Bin Husain Syah (memimpin hanya 20 hari)
Sultan Mughal Seri Alam Periaman Syah (1579)

f. Sultan Alaiddin Mansur Syah (1579-1580)

g. Sultan Alaiddin Mansur Syah (1581-1587)

h. Sultan Buyung (1587-1589)

i. Sultan Alaiddin Riayat Syah IV (1589-1604)

j. Sultan Alaiddin Riayat Syah V (1604-1607)

k. Sultan Iskandar Muda (1607-1636)

l. Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)

3. Sistem Politik dan Pemerintahan

Kepopuleran Kerajaan Islam Aceh Darussalam diperoleh saat berada di


bawah kepemimpinan Ali Mughayyat Syah (1513-1530), Al-Qahhar (1537-1571) dan
mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1738). Mereka
menetapkan Islam sebagai agama resmi dan menjadikan hukum Islam sebagai
hukum negara. Kerajaan Aceh tersebut menggunakan sistem politik Islam dalam
mengayomi perpolitikan dan sosial kemasyarakatan sehingga Aceh disegani oleh
bangsabangsa luar terutama bangsa Eropa yang sangat anti terhadap Islam. Ternyata
dengan berpegang sepenuh hati kepada sistem politik Islam Aceh mampu

menempatkan dirinya sebagai salah satu negara super power dunia kala itu.

Bila Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah dikenal sebagai pendiri Kerajaan
Aceh Darussalam, maka Abdul Qahhar dikenang jasanya dalam membina organisasi
kerajaan dengan menyusun Undang-undang Dasar Negara yang diberi nama Kanun
Al-Asyi. Kanun tersebut pada masa Sultan Iskandar Muda disempurnakan dan beri
nama “Kanun Al-Asyi Meukuta Alam”.7

Satu contoh pelaksanaan undangundang Islam yang berkenaan dengan


hukum hudud dalam kerajaan Aceh Darussalam adalah apa yang terjadi pada masa
Sultan Alaiddin Riayat Syah II Al-Qahhar yang telah melakukan hukum bunuh
terhadap puteranya sendiri Abangta Ditangkap yang dihukum karena dhalim,
membunuh orang lain dan melawan hukun serta adat yang berlaku dalam kerajaan.8
Hukum bunuh semacam itu dalam hukum jenayah Islam disebut Qishash

4. Sistem Ekonomi, Sosial dan Budaya

a. Sistem Ekonomi

Perekonomian kerajaan Aceh Darusalam mencapai tingkat kejayaan pada


masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kebijakan penetapan harga dan
pengawasan dari orang asing menjadikan proteksi dalam jalur perdagangan
sangatlah aman. Penjajahpun menjadi enggan untuk menyerang kerajaan Aceh
Darusalam. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih dalam tentang sistem
ekonomi kerajaan Aceh Darusalam dengan lingkup pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda.Pembahasan mencakup kebijakan dan sistem ekonomi yang
diterapkan oleh kerajaan Aceh Darusalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penambah
ilmu

7
A Hasjmy, Iskandar A Muda Meukuta Alam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
8
Ibid
pengetahuan dan juga pendalaman analisis terkait sistem ekonomi yang bisa
diadopsi dari sistem ekonomi kerajaan Aceh Darusalam.

Sejarah mengatakan bahwa kondisi ekonomi kerajaan Aceh Darusalam pada


tahun 1500-1800 M didukung dengan masyarakatnya yang dominan berdagang dan
bercocok tanam. Sultan Iskandar Muda terus berusaha memperluas kekuasannya
hingga sampai semenanjung Malaka. Pada masa pemerintahannya, Aceh mampu
menjadi kerajaan yang besar dan mandiri perekonomiannya melalui perdagangan.
Komoditi yang dihasilkan dari kerjaan Aceh terdiri atas beras, daging, ikan, buah-
buahan, dan binatang ternak. Namun komoditi ini kalah menarik dengan komoditi
lada, timah, emas, sutra, minyak, kapur barus, kemenyan, pinang dan gajah.
Ekonomi kerajaan Aceh juga didukung oleh majunya perdagangan di daerah
pedesaan dan didukung pula hasil perdagangan di daerah kota bandar. Keuntungan
dagang diperoleh dari hasil monopoli raja terhadap barang di daerah kekuasaannya.
Proses produksi ditunjang oleh penerimaan pajak dari kepala lokal kepada raja dan
kepemilikan kebun atas nama raja yang menghasilkan komoditas lada dan terletak di
pedalaman.9

b. Sistem Sosial Budaya

Dalam hal ini, Kerajaan Darussalam yang pada awal merupakan Kerajaan
Hindu Budha kemudian berubah menjadi kerajaan Islam setelah melakukan
kerajasama dengan Kerajaan Islam Perlak, sehingga kehidupan masyarakat yang
telah melekat dengan keadaan agama yang dulu tidak secara mutlak dihilangkan
biarpun sudah menjadi kerajaan Islam. Kebudayaan-kebudayaan yang maju di
Kerajaan Darussalam pada masanya seperti telah adanya bangun masjid di daerah
Kota

9
Yeyen Novita; (dkk), Analisis Sistem Ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam pada Masa Pemerintahan
Sultan Iskandar Muda, Journal On Education, Vol. 5, No. 3 (Maret-April 2023)
Banda Aceh, yang merupakan lambang sebuah kerajaan Islam dan merupakan
lambing serta simbol kerajaan yang telah beragama Islam, dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah tahun 691 H/1292 M dengan nama
mesjidnya Mesjid Bait al-Rahman serta pada masa pemerintahan tersebut juga telah
banyak kemajuan yang dalami oleh kerajaan dengan adanya sebuah istana kerajaan
yang diberi nama “Keraton Dar al-dunya”.

5. Wilayah Kekuasaan

Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh


Darussalam, dari masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda,
mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir,
Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye.
Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di
sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar
Muda mulai mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.10

Pembagian wilayah kekuasaan 197 Kesultanan Aceh Darussalam pada masa


Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:

a. Wilayah Aceh Raja


Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kirakira setara dengan
kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar
Panglima Sagoe, yaitu:
1) Sagoe XXII Mukim,
2) Sagoe XXV Mukim
3) Sagoe XXVI Mukim.
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang dengan
daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah administratif yang kira-
kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah

10
Nyayu Soraya, Op,cid,,.
Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala yang
bergelar Imeum. Mukim terdiri dari beberapa kampung yang masingmasing dipimpin
oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.

b.Daerah Luar Aceh Raja

Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh


seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayahwilayah di bawahnya
diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.

c.Daerah yang Berdiri Sendiri

Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga


daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun
Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang
untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam.

6. Kemunduran Kesultanan Aceh

Pada saat masa Iskandar Muda dipenjara, kerajaan Aceh Darusalam


mengalami kemunduran akibat serangan dari bangsa Portugis. Sultan Ri‟ayat Syah
tidak mampu membendung serangan Portugis atas kerajaan Aceh. Melihat hal ini,
Iskandar Muda memohon kepada Sultan Ri‟ayat Syah untuk dibebebaskan dari
penjara dengan berjanji akan menundukkan bangsa Portugis. Akhirnya Sultan Ri‟ayat
Syah mengabulkannya. Dengan kecerdikan dan kekuatannya, Iskandar Muda berhasil
mengalahkan Portugis.11

Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda


agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi ke Sultan dan
kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck Hugronje, tulang
punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan

11
Yeyen Novita;(dkk),Op,cid..,
rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut.

Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan
menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang
dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda akhirnya
sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam
semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda.
Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai
Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya
terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan
masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang
yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim,
Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang
riwayatnya, Kesultanan Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh
sultan/ratu. Jejak yang panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh
Darussalam pernah menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap
riwayat kemajuan di bumi Melayu.12

B. Sejarah Kesultanan Melayu Di Riau

1. Kerajaan Melayu di Riau

Riau merupakan daerah yang kaya akan sejarah, Riau memiliki sejarah
kerajaan di masa lampau. Riau merupakan gabungan dari kerajaan Melayu yang
pernah ada. Yaitu, Kerajaan Indragiri (1658-1838), Kerajaan Siak (1723-1858),
Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan RiauLingga (1824- 1913) dan kerajaan-
kerajaan kecil lainnya,Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah merupakan
akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Kerajaan Islam
yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires antara lain Siak,
Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan ke-

12
Nyayu Soraya,Op,cid..,
14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka
kerajaankerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-
15.

Jika berdasarkan Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan
Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti
kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat
1477).Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala„uddin Ri„ayat Syah
(wafat 1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau, masuk
kekuasaan Kerajaan Malaka.13

2. Peninggalan Kerajaan Riau Melayu

Raja Ali Haji adalah salah satu dari sekian banyak ilmuwan Melayu yang
dilahirkan dari Pulau Penyengat, tempat masjid Sultan Riau berada. Masjid Sultan
Riau ini merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Melayu Riau-Lingga. Masjid
ini didirikan pada tahun pertama Raja Abdurrahman dinobatkan sebagai Yang
Dipertuan Muda, jabatan setingkat perdana menteri, pada tahun 1832 M-1844 M.

Pulau penyengat menjadi pusat kekuasaan Yang Dipertuan Muda


(selanjutnya disingkat YDM) Kesultanan Riau pada tahun 1808 setelah sebelumnya
berpindah-pindah dari Tanjung Pinang ke Pulau Bayan dan terakhir di Pulau
Penyengat ini. Jabatan Yang Dipertuan Muda ketika itu diemban oleh Raja Ja'far
(1808-1832). Sementara Ibukota kesultanan ketika itu di Pulau Daik Lingga dengan
Sultannya Yang Dipertuan Besar (selanjutnya disingkat YDB) Mahmudsyah (1761-
1812). Masjid Sultan Riau ini dibangun pada masa awal pemerintahan YDM Raja
Abdurrahman (1832-1844) yang menggantikan ayahnya, Raja Ja'far yang mangkat
pada tahun 1832. Masjid ini merupakan bangunan yang kokoh

13
Syaraini Tambak, “Implementasi Budaya Melayu dalam Kurikulum pendidikan Madrasah Ibtidayah
di Riau”, Jurnal, MIQOT Vol. XLI No. 2 Juli-Desember 2017
warisan kesultanan Melayu yang sampai saat ini masih tetap berdiri tegak.14

Masjid ini penting dikaji karena selain nilai historisnya yang amat tinggi, juga
karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, masjid ini dulunya merupakan
persinggahan jamaah haji Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji sebelum
menaiki kapal yang menuju Makkah yang berangkat dari Singapura. Karena itu, pulau
ini dijuluki Serambi Mekkah di Tanah Melayu.

Kedua, pulau Penyengat sejak zaman YDM Raja Ja'far bin Raja Haji
(memeritah 1805-1831) menjadi tempat yang menarik dikunjungi oleh para ulama.
Para ulama yang menjadi guru mengaji al-Quran pada zaman itu sangat dihormati.
Bahkan, mereka yang mau tinggal dan mengajar di Penyengat akan diberi gaji besar
oleh kerajaan.15 Puncaknya ketika Raja Abdullah (memerintah 1857-1858) dan Raja
Muhammad Yusuf (yang memerintah 1858-1899) menjabat Yang dipertuan Muda
Riau IX sekaligus Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyyah. Pulau ini ketika itu
menjadi pusat pendidikan keagamaan dan perkembangan tarekat ini sehingga sering
dikunjungi kaum muslimin dari luar pulau. Dari masjid inilah lahir para ulama dan
sastrawan Melayu, seperti Raja Ahmad dan Raja Ali Haji, dua ulama (ayah dan anak)
yang menjadi pelopor kesusasteraan Melayu sehingga menjadi Bahasa Indonesia
saat ini.

Ketiga, masjid ini memiliki keunikan dan keindahan arsitekturnya. Konon


arsiteknya adalah orang Singapura keturunan India, karena itu bangunannya
mengikuti model arsitektur Indiadan Turki.

3. Kesultanan di Riau

14
Saeful Bahri et. al. , Studi Arkeologi Keagamaan Masjid-Masjid Kuno, (Jakarta: Balai Litbang Agama
Jakarta, 2011)
15
Achmad Syahid, Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji,(Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan, 2009),
a. Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak Sri Indrapura antara lain
sebagai berikut16:

1) Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah)

2) Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil

3) Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748)

4) Sultan Said Ali (1784-1811)

5) Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864)

6) Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889- 1908)

7) Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915- 1945)

b. Bebeapa raja yang pernah memerintah Indragiri adalah sebagai berikut:

1) 298-1337: Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang

2) 1337-1400: Raja Iskandar alias Nara Singa I

3) 1400-1473: Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya.

4) 1473-1532: Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II


bergelar Zirullah Fil Alam

5) 1532-1557: Sultan Usulluddin Hasansyah

6) 1557-1599: Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah

7) 1559-1658: Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah

8) 1658-1669: Sultan Jamalluddin Suleimansyah

9) 1669-1676: Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah

10) 1676-1687: Sultan Usulluddin Ahmadsyah

11) 1687-1700: Sultan Abdul Jalilsyah

12) 1700-1704: Sultan Mansyursyah

13) 1704-1707: Sultan Modamadsyah

14) 1707-1715: Sultan Musafarsyah

15) 1715-1735: Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin

16) 1735-1765: Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah

16
Nyayu Soraya,Op,cid..,
17) 1765-1784: Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan

18) 1784-1815: Sultan Ibrahim

19) 1815-1827: Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu

20) 1827-1838: Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal

21) 1838-1876: Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah

22) 1876: Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah

23) 1877-1883: Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah

24) 1887-1902: Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah

25) 1902-1912: Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri

26) 1912-1963: Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah

4. Sistem Perdagangan

Wilayah Kerajaan Siak terdiri dari wilayah daratan di pesisir timur Pulau
Sumatera yang membentang dari perbatasan dengan Kerajaan Indragiri di selatan
terus ke utara meliputi bagian hilir sungai Kampar, sungai Rokan, Asahan, Deli
sampai Temiang yang berbatasan dengan Aceh. Wilayah daratan ini memiliki potensi
ekonomi yang besar karena pada masa itu sudah dijumpai barang tambang berupa
emas dan timah di Petapahan.Hutannya yang luas dan lebat menghasilkan kayu
untuk keperluan perumahan, kapal, dan lainnya.Demikian pula hasil hutan lainnya
seperti rotan, madu, lilin, gaharu, cula badak, gading gajah, amat banyak dihasilkan.

a.Wilayah siak sebagai urat nadi perhubungan dan Perdagangan timah dengan
Malaka

Diwilayah kerajaan Siak mengalir tiga sugai besar yaitu sungai Siak, sungai
Kampar dan sungai Rokan, di tambah pula dengan sungaisungai kecil lainnya.Ke
semua sungai tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi kehidupan
masyarakat karena merupakan urat nadi perhubungan, baik untuk transportasi
orang maupun mobalitas barang. Sungai tersebut bukan saja menjadi jalur
perhubungan dalam wilayah Kerajaan Siak saja, akan tetapi juga merupakan jalan
perhubungan orang dan komoditi dagang dari Minangkabau ke bandar pelabuhan
yang ada di selat Malaka, demikian pula sebaliknya. Dengan ramainya lalu lintas
orang dan perdagangan melalui sungai-sungai tersebut, maka sudah jelas akan
meningkatkan penghasilan kerajaan dan masyarakatnya. Misalnya ada bea cukai,
pancung alas, tapak lawang, sewa pelabuhan, bongkar muat, pergudangan dan
lainnya akan memberikan sumber pendapatan kerajaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat.

b. Hubungan perdagangan
dengan kerajaan sekitar dan Pulau Bengkalis

Selanjutnya, Kerajaan Siak memiliki wilayah lautan dan pulaupulau di sepanjang


selat Malaka yang berbatasan dengan kerajaan Johor-Riau. Salah satunya adalah
pulau Bengkalis yang merupakan bandar dagang yang ramai. Daerah ini merupakan
pintu perdagangan bagi Siak yang membuka hubungan dagang Malaka, Singapura,
dan Johor-Riau. Selain itu, daerah ini juga mempunyai komoditin dagang penting
yaitu hasil laut dan yang paling terkenal adalah ikan Terubuk dan telornya sehingga
perairan Bengkalis dikenal oleh para pedagang Nusantara dan Internasional.

Pada permulaan abad ke-18 Bengkalis yang menjadi bagian wilayah Kerajaan
Siak sangat berperan penting dan besar dalam perdagangan di Selat Malaka. Letak
bengkalis di bagian pesisir timur Sumatera berhampiran dengan selat Malaka. Pulau
Bengkalis mempunya pelabuhan alam yang baik mendukung lancarnya arus masuk
dan keluar bagi kapal-kapl niaga, baik kapal niaga Nusantara maupun kapal niaga
asing. Kegiatan perdagangan di Bengkalis menjadi ramai karena disitu dilakukan
transaksi perdagangan yang menawarkan komoditi dari berbagai berbagai daerah
termasuk dari daerah siak dan dari daerah Minangkabau seperti gambir dan lada.
c.Komoditi hasil utama dan jenis barang larangan sultan

Semakin ramai transaksi perdagangan semakin banyak keuntungan diperoleh


rakyat dan secara otomatis kerajaan siak akan memperolah keuntungan. Komoditi
perdagangan di wilayah siak adalah :

1) Emas dan biji timah yang merupakan hasil dari Petapahan

2) Petapahan ini mengahasilkan emas antara 4-5 ribu tahil (250-312 kg) setiap
tahun.

3) Ikan Terubuk dan telor ikannya

5. Cara transaksi barang larangan kepada sultan di Kerajaan

a. Gading Gajah

Setiap gajah jantan yang ditemukan, salah satu gadingnya harus diserahkan
kepada sultan semetara gading yang lainnya menjadi hak penemunya. Apabila sultan
mengehendaki gading yang kedua, maka sultan harus membayar kepada penemu
sesuai dengan harga pasar.

b.Cula badak

Cula badak yang ditemukan harus dipersembahkan kepada sultan dan


penemunya akan dapat penggantinya. Cula badak merupakan obat yang sangat
manjur terutama untuk penyembuhan luka-luka dan bekas gigitan ular.

b.Geliga

Geliga adalah sejenis batu permata yang halus yang terdapat dalam tubuh
beberapa ekor hewan seperti beruang, kera, ular, dan babi hutan. Geliga yang ada di
Siak termasuk jenis larangan sultan dan ini banyak terdapat di Mandau hulu.
Biasanya suku Sakailah yang selalu mengumpulkan jenis bebatuan ini. Sebagian
diserahkan kepada sultan sebagai pajak dan yang lainnya diserahkan kepada sultan
sebagi serahan barang larangan.

c.Benda lain
Benda lain yang harus diserahkan kepada sultan adalah cula tupai, musang cabu
yaitu sejenis musang berwarna putih.

6. Sistem Politik, Ekonomi, social-budaya

Pada masa pemerintahan Kerjaan Siak, pusat pemerintahan selalu


berubah.Setiap raja mengambil kebijakan 219 masing-masing.Mulai awal masa
pemerintahan Raja Siak yang pertama sampai selanjutnya. Bisa kita lihat dari sejarah
Kerajaan Siak ini yang mana pada masa awalnya Pusat pmerintahan berada di
Buatan oleh Raja Kerajaan Siak yang pertama yaitu Raja Kecil yang beegelar Sultan
Abdul Jalil RAchmadsyah (1723– 1746).Setelah raja kecil mangkat beliau diganti oleh
Putra Bungsu, pada masa pemerintahan Sultan ini pusat pemerintahan ke
Mapura.Setelah Raja ini mangkat pusat pemerintahan di pindahkan lagi ke
Senapelan.17

17
Nyayu Soraya,Op,cid..,
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Kesultanan Melayu di Aceh dan Riau memiliki peran penting dalam perkembangan
sejarah Nusantara. Aceh, yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera, telah menjadi
pusat perdagangan dan kekuasaan sejak abad ke-13. Kesultanan Aceh dikenal sebagai
salah satu kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara pada masa itu. Kesultanan Aceh
didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1511. Pada puncak kejayaannya,
kesultanan ini menguasai wilayah yang luas, termasuk bagian utara Sumatera,
Semenanjung Malaya, dan Kepulauan Andaman. Selain sebagai pusat perdagangan
rempah-rempah seperti lada dan cengkih, Aceh juga menjadi pusat penyebaran agama
Islam di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Kesultanan Riau berdiri pada abad ke-18 di Kepulauan Riau. Kesultanan
ini merupakan hasil dari penggabungan beberapa kerajaan Melayu yang ada di wilayah
tersebut. Riau juga merupakan pusat perdagangan penting dalam jalur rempah-rempah
antara Asia Timur dan Barat. Kedua kesultanan ini memiliki hubungan erat dengan
bangsa-bangsa asing seperti Inggris, Belanda, dan Portugal. Namun, mereka berhasil
mempertahankan kemerdekaan mereka dengan melakukan diplomasi cerdas serta
menjaga integritas wilayahnya. Dalam perkembangannya, kedua kesultanan ini
mengalami kemunduran akibat campur tangan kolonialisme Eropa. Kesultanan Aceh
jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1903, sedangkan Kesultanan Riau menjadi bagian
dari Hindia Belanda pada tahun 1911.

B.Saran

Demikianlah makalah yang kami susun semoga bermanfaat, dan sebagai khasanah
pengetahuan bagi semua pihak. Dan kami senantiasa mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca guna perbaikan penulisan atau penyusunan
kedepan, kemudian atas saran, kritik dan kesediaan membacanya kami ucapkan terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Adan, Hasanuddin Yusuf. 2013. Islam dan Sistem Pemerintahan Di Aceh Masa Kerajaan Aceh
Darussalam, Banda Aceh: Lembaga Naskah Aceh (NASA) dan
ArraniryPress

Bahri, Saeful et. al. 201. Studi Arkeologi Keagamaan Masjid-Masjid Kuno. Jakarta: Balai Litbang
Agama Jakarta

Hasjmy, Ali. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Bulan Bintang

Jakobi, Tgk. A.K.. 1998. Aceh dalam perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945-1949
dan peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama & Seulawah RI-

Novita, Yeyen; (dkk). 2023. Analisis Sistem Ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam pada Masa
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Journal On Education, Vol.
5, No. 3.

Soraya, Nyayu. 2021. Islam dan Peradaban Melayu. Banten: Desenta Muliavisitama

Syahid, Achmad. 2009. Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji. Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan

Tambak, Syaraini. 2017. “Implementasi Budaya Melayu dalam Kurikulum pendidikan Madrasah
Ibtidayah di Riau”, Jurnal MIQOT Vol. XII

Anda mungkin juga menyukai