1. Hendri Makalua mengadukan kepada DKPP perkara perubahan perolehan suara.
Pengadu sebagai caleg nomor urut 1 dari Partai Gerindra mengklaim bahwa telah terjadi penggelembungan suara pada caleg Partai Gerindra nomor urut 7, Cok Hendri Ramapon yang berpengaruh pada berkurangnya perolehan suara pengadu. Bahwa dari hasil rekapitulasi perhitungan perolehan suara Calon Anggota DPRD Kalimantan Barat dalam Pemilihan Umum 2019, perolehan Suara Hendri Makalua sejumlah 5.325 sedangkan Cok Hendri Ramapon sejumlah 6.599. 2. Pengadu telah melaksanakan serangkaian prosedur pelaporan kepada Bawaslu Kabupaten Sanggau yang kemudian ditindaklanjuti oleh KPU Kabupaten Sanggau. Selain itu pengadu juga mendaftarkan permohonan PHPU di Mahkamah Konstitusi. 3. Kemudian KPU Sanggau melakukan koreksi perolehan suara Cok Hendri 3.964. sedangkan perolehan suara Hendri Makalua menjadi 5.384. 4. Merujuk pada Putusan MK yang menyatakan perolehan suara yang benar untuk Pemohon atas nama Hendri Makalu Calon Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat 6 Partai Gerindra Nomor Urut 1, Daerah Pemilihan Kalimantan Barat 6 adalah 5.384 suara. 5. Namun pada dalam prakteknya, KPU Provinsi Kalimantan Barat hanya menetapkan perbaikan perolehan suara Hendri Makaluasc saja dalam Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Calon Anggota DPRD Provinsi Pasca Putusan MK, tanpa memperbaiki perolehan suara Cok Hendri Ramapon. 6. Selanjutnya Pengadu mengajukan Laporan Pelanggaran Administrasi kepada Bawaslu RI, yang dalam putusannya memperkuat Putusan MK. Menindaklanjuti hal tersebut KPU Provinsi Kalimantan Barat bersurat ke KPU RI untuk meminta arahan terkait pelaksanaan Putusan Bawaslu RI. Sementara itu KPU Provinsi Kalimantan menggelar Rapat Pleno terbuka KPU Provinsi Kalimantan Barat untuk melaksanakan Putusan Bawaslu RI. Adapun hasil dari Rapat Pleno terbuka tersebut ialah menetapkan Hendri Makalu sebagai caleg terpilih dalam Pemilihan Calon Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat Dapil Kalbar 6 dari Partai Gerindra. 7. Terungkap fakta bahwa Teradu I s.d Teradu VII (KPU RI) memerintahkan Teradu VIII s.d Teradu XI (KPU Prov Kalbar) untuk membatalkan Keputusan Pleno penetapan calon terpilih. Selanjutnya Teradu III sebagai Koordinator Wilayah Kalimantan Barat memerintahkan Teradu VIII s.d Teradu XI untuk melaksanakan Rapat Pleno Tertutup di Kantor KPU RI. Hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 juncto Pasal 16 Ayat (1) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 yang mewajibkan penetapan hasil pemilu dilakukan dalam Rapat Pleno terbuka terhadap Penetapan Hasil Pemilu yang dihadiri saksi dan Bawaslu. 8. Tindakan Teradu I s.d Teradu VII terbukti sengaja secara melawan hukum memerintahkan Teradu VIII s.d Teradu XI menetapkan Cok Hendri Ramapon sebagai calon terpilih. 9. Teradu VII (Evi Novida Ginting) sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya. Selain itu Teradu VII juga menjabat Wakil Koordinator Wilayah untuk Provinsi Kalimantan Barat. Dengan demikian Teradu VII bertanggungjawab untuk mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, memantau, supervisi, dan evaluasi terkait Penetapan dan Pendokumentasian Hasil Pemilu. 10. Bahwa sebelumnya telah terjadi rangkaian pelanggaran etik oleh Teradu I s.d Teradu VII yang diberi sanksi Peringatan Keras dalam Perkara Nomor 330-PKE-DKPP/XI/2019 dan Nomor 06-PKEDKPP/I/2020. Hal ini menunjukkan kinerja Teradu I s.d Teradu VII tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. 11. Selain itu berdasarkan Putusan DKPP Nomor 31-PKE-DKPP/III/2019 tanggal 10 Juli 2019, Teradu VII terbukti melanggar Kode Etik dan dijatuhi Sanksi Peringatan Keras serta Diberhentikan dari Jabatan Ketua Divisi SDM, Organisasi, Diklat dan Litbang. Sanksi Etik berupa Peringatan Keras disertai pemberhentian dari Koordinator Divisi, merupakan kategori pelanggaran kode etik berat yang menunjukkan kinerja Teradu VII tidak dapat dipertanggungjawabkan. 12. Menurut DKPP, rangkaian sanksi etik berat dari sejumlah perkara, seharusnya menjadi pelajaran bagi Evi Novida Ginting untuk bekerja lebih profesional dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagai Penyelenggara Pemilu. Namun, DKPP menilai setelah menjadi Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, kinerja Evi Novida Ginting tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab divisi guna memastikan teknis penyelenggaraan pemilu yang menjamin terlayani dan terlindunginya hak-hak konstitusional setiap warga negara. Maka, atas dasar pelanggaran kode etik dan pedoman berilaku yang dilakukan lebih dari satu kali oleh Evi Novida Ginting, Putusan DKPP nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 telah didasarkan kepada Asas Keseimbangan dan pertimbangan yang komprehensif. 13. DKPP juga berpendirian, sekalipun mekanisme kerja KPU bersifat collective collegial, tetapi terhadap urusan teknis divisi berada pada Koordinator Divisi. Sehingga menurut DKPP, Evi Novida Ginting sepatutnya menjadi leading sector dalam menyusun norma standar yang pasti dan berlaku secara nasional dalam menetapkan perolehan suara dan calon terpilih menindaklanjuti Putusan MK tanpa mengorbankan kemurnian suara rakyat yang menjadi tanggungjawab hukum dan etik Teradu sebagai penanggungjawab divisi. 14. Merujuk pada putusan yang telah dikeluarkan, DKPP menilai Evi Novida Ginting terbukti melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf c dan huruf d Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf f, juncto Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, dan b, Pasal 15 huruf d, huruf e dan huruf f, Pasal 16 huruf e Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Yang mana hal ini memberikan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil pilkada Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Barat 6 yang tidak bisa dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya.