Oleh
Kwee Oen Keng
Mengundjungi Buli-buli kaju dirumah SIU TJIN WAN.
Tetapi sepandjang pendengaran mereka jang disebut Bok Ho-louw
itu badannja besar dan tinggi, rupanja gagah, wadjahnja seram
dan usianja belumlah tinggi. Padahal pendeta ini sndah tua,
berdjanggut pandjang dan wadjahnja merah. Hal ini menimbulkan
kebimbangan djuga bagi mereka. Tetapi mereka hanja berdasarkan
pada kenjataan, bahwa pendeta itu dapat menggunakan pukulan
Tjuat-Kin Kuat-Meh Tjhiu-Hoat.
Maka dengan penuh keragu-raguan bertjampur bimbang mereka
ngatjir meninggalkan Siu Tjin Wan dengan penuh kekesalan,
Pendeta tua itu melompat turun masuk kedalam Siu Tjin Wan dengan
wadjah jang menjeramkan.
Tadi dalam menghadapi serangan In Yang Siang Sat, satu tapakpun
ia tidak bergeser dari tempatnja.
Inilah suatu bukti bahwa pendeta itu memang benar2 tinggi ilmu
silatnja!
Keng In Wan pelan2 siuman kembali. Ketika ia membuka matanja,
bukan ia rebah dilantai begitu sadja, melainkan ia terbaring
didalam sebuah kamar jang tenang. Tampak olehnja bahwa hiasan
dalam kamar itu teratur rapih. Tempat itu agak luas dan terang.
Tjahaja masuk kedalam kamar itu melalui djendela. Dibawah
djendela terdapat medja ketjil. Kamar itu sedap dipandang mata,
bahkan se-olah2 tempat itu seperti tempat batjaan.
Diatas medja terletaklah pendupaan jang mungil dan mengepulkan
asap jang berbau harum dan menjegarknn kepada jang mentjiumnja.
Dalam terkenang itu Keng In Wan ingat akan permulaan deritanja.
Ia ingat bahwa ia telah menjerahkan sebuah kotak kepada pendeta
tua itu. Ia ingat pula bahwa ia siap untuk ditawan. Jang
mengerikan ialah bahwa terlukanja oleh sendjata musuh sehingga
hampir2 djiwanja melajang.
Ia termennng-menung dikamar itu sambil merasakan lukanja jang
sungguh parah itu. Tidurpun sukar baginja, bahkan ketika ia baru
membuka matanja, ia ragu2 apakah ia betul2 masih hidup. Tetapi
dengan rasa sakit jang ada, dan ternjata ia masih dapat
menjaksikan segala jang ada disekitarnja, maka sadarlah ia bahwa
ia masih hidup.
Siapakah sebenarnja jang telah menolonguja, sehingga ia sampai
terbaring didalam kamar jang tenang itu. Kemudian ia ingat akan
benda peninggalan Kiang Lo Tjian-pwee jang harus disampaikan
kepada Bok Lo Tjian-pwee... Ia mempunjai sifat jang baik, jaitu
selalu ingin mendapat kepertjajaan orang.
Waktu itu, pintu berbunji dan kemudian terbuka. Seorang anak
gadis jang sangat djelek wadjahnja, dengan rambut terurai masuk
kedalam kamar itu. Ia membawa sebuah nampan tembaga sematjam
baki, jang diatasnja terisi bermatjam-matjam makanan.
Nampak olehnja bahwa anak perempuan itu kurang lebih empat belas
atau lima belas tahun sadja usianja, wadjahnja sangat buruk,
namun ketika ditelitinja. kedua matanja memantjarkan sinar jang
tadjam. Keng In Wan achir-achir ini senantiasa menerima
perlakuan kedjam dari orang lain, maka terhadap orang atau
sesuatu hal, senantiasa ia mempunjai suatu prasangka buruk.
Terlebih pula semendjak ia memandjat puntjak Mauw Li Hong
digunung Hwa San dan masuk Siu Tjin Wan, serta-merta ia ditjatji
dan dihadjar orang dengan tidak ada sebab jang pantas. Sekalipun
tempat itu tidak dikenalnja, namun menurut taksirannja mestinja
masih berada disekitar puntjak Mauw Li liong.........
Anak perempuan ini buruk rupanja, dengan sendiri terhadap orang
tak akan berlaku baik, demikianlah pikir Keng In Wan. Tetapi
ketika anak perempuan itu menjaksikan sipemuda sudah bangun dari
pingsannja, tiba2 ia bersenjum lalu bertanja dengan sikap jang
penuh perhatian.
"Masih sakitkah?"
Hampir2 sadja Keng In Wan tidak pertjaja akan pendengar
telinganja sendiri.
"Oh, sudah tidak mengapa! Nona, numpang tanja, bagaimana aku
dapat berada disini? Siapakah jang menolong daku? Dan, tempat
apakah ini?"
Demikianlah setjara bertubi-tubi Keng In Wan mengadjukan
pertanjaan. Anak perempuan itu mesem: "Ajahku pernah mengatakan
bahwa bisa ulat sutera berapi itu hanja dapat disingkirkan
dengan ulat sutera berapi djuga. Mula-mula aku tidak pertjaja,
tetapi kenjataan sekarang ini membuktikan bahwa ajah memang
banjak pengetahuan serta pengalamannja. Disini ada berapa matjam
makanan, menurut kata ajah, djika dimakan amatlah berguna bagi
kesehatanmu. Hanja sadja tidak enak, maka kau paksakanlah makan
sedikit. Setelah sembuh nanti aku menjadjikan jang lain
.....................”
Apa jang dikatakan perempuan ini tiada sangkut pautnja dengan
pertanjaannja, namun sikap dan bahasanja sungguh meresap bagi
Keng In Wan. Sekalipun tidak mengatakan siapakah jang
menolongnja, namun dari kata-katanja itu orang dapat mengetahui
pasti bahwa penolongnja itu tidak lain dari pada ajah si gadis.
Tetapi siapakah ajahnja itu?
Keng In Wan segera bangun dan duduk, ketjuali tangan dan kakinja
masih lemas dan linu, bagian dadanja masih agak sakit rasanja.
Ia segera merangkap tanganja memberi hormat lalu hendak berdiri
menjambut nampan itu, namun anak perempuan itu tjepat2 berkata:
"Djangan berlaku sungkan2, kau belum sembuh betul! Bersandarlah.
Makanan ini kau makan sadja diatas tempat tidur, tidak usah kau
susah-susah!"
Keng In Wan melengak demi mendengar kata-kata itu, hatinja
tergerak, hampir sadja air matanja mengutjur karena rasa terharu
dan terima kasihnja.
Nampan tembaga itu sudah lantas dihantar kehadapannja. Keng In
Wan menjaksikan bahwa di atas nampan itu terdapat empat piring
ketjil dan semangkok bubur putih jang masih mengepul. Setelah
mengeluarkan kata-kata merendah sebagai mana lazimnja, iapun
segera menjerbu makanannja.
Namun demi masuk dalam mulut, bubur itu bukan main rasa getir
dan pedasnja! Baru sesuap ia sudah memperlihatkan wadjah monjet
makan terasi. Namun terdengarlah pula suara empuk njaring dan
jang mengandung rasa bersungguh-sungguh dan seolah-olah
mengandung sifat mengharap.
"Turutilah kataku! Makanlah, sedikitpun djangan ada jang
ketinggalan! Bubur ini sangat baik untukmu."
Demi mendengar kata-kata itu, tergerak hati Keng In Wan.
Ditatapnja muka anak perempuan itu, jang mengandung sikap
mengharap. Maka Keng In Wan tidak menghiraukan lagi rasanja
bubur dan sajur-sajur itu, dimakannja habis semuanja ketjuali
satu piring jang isinja ulat2 hitam!
Berapa kali ia menggerakan sumpitnja untuk mengambil, namun
batal ditengah djalan tidak sampai musuk kemulut. Sementara itu
sigadis terus mengawasinja dengan gelisah dan mengharap.
Terpaksa Keng In Wan berkata: "Nona........... aku
.............”
"Dengarkanlah perkataanku! Lekas kau makan ulat2 Kwee-Hiang ini
jang baik chasiatnja! Pertjajalah padaku,” Sigadis berkata
dengan sungguh-sungguh. Keng In Wan mengeraskan hatinja,
disapitnja ulat2 itu dan dimasukkannja kedalam
mulutnja..................
Sementara itu sigadis memperlihatkan senjuman jang menandakan
rasa leganja.
Senjuman anak perempuan jang rupanja buruk itu sangat memikat
hati Keng In Wan, sehingga lupalah ia apa jang dikunjahnja
didalam mulutnja itu. Tiba-tiba sadja suatu bebauan harum jang
bertjampurkan haruman bunga kwee Hwa tertjium dalam lubang
hidungnja, sementara dalam mulutnja terasa rasa makanan jang
gurih lezat. Makan seekor sadja semangatnja terbangun dan
mengertilah ia bahwa barang jang aneh ini sebenarnja makanan
jang chasiatnja luar biasa. Dan memang ia belum kenjang, maka
kinipun ulat2 itu diganjangnja habis sama sekali. Setelah itu
barulah sigadis mengambil pulang mangkok piring dan nampan
tembaga itu, dengan berseri-seri meninggalkan kamar itu. Sebelum
menghilang dibalik pintu masih ia bersenjum dan berpesan:
"Turutilah perkataanku! Tidur baik-baiklah, esok kau akan sembuh
sama sekali."
Bagaikan bajangan si gadis lenjap dari pandangan matanja.
Keng In Wan melamun seorang diri.
"Semendjak datangnja kemalangan terhadap keluargaku, senantiasa
aku dirongrong oleh pihak musuh. Hanja Kiang Liang Souw
lotjianpwee seorang jang bersikap manis kepadaku dan gadis ini."
Lambat laun tanpa terasa olehnja Keng In Wan tertidur, ia tidur
njenjak sampai pagi hari esoknja.
Matahari sudah mulai naik dan melantjarkan sinarnja kedalam
kamar. Keng In Wan bangun dan mentjoba mengerahkan tenaganja.
Sedikitpun ia tidak menemui suatu hambatan. Ha! Ia telah sembuh
seluruhnja! Disekitar tempat itu sunji-sunji sadja, tidak
terdengar suara manusia. Keng In Wan ingin memanggil orang,
siapakah namanja gadis itu? Diam2 ia menjesali diri sendiri
mengapa setelah menerima pertolongan orang, ia tidak menanjakan
siapa sigadis itu? Ia berpikir-pikir, achirnja ia mengambil
ketetapan untuk mengetahui dimanakah ia berada. Ia berdjalan
keluar kamar. Terkedjutlah hatinja. Karena tempat itu sebenarnja
ruang pendopo dari Siu Tjin Wan! Nampaklah patung Sam Tjin
Tjindjin berdiri dengan augkernja. Djuga ia melihat djendela
berbentuk pandjang, dengan tirai kain kuning ..........
Kesemuanja ini, ah! Teringatlah ia sekarang, ia telah ditolong
oleh pendeta bermuka merah itu! Tergeraklah hatinja. Kini nampak
pula olehnja, sapu jang dipakainja untuk menjapu pekarangan
masih tinggal terletak disudut sebelah kiri. Dengan tidak ragu-
ragn lagi diambilnja sapu itu. disapunja ruang pendopo sampai
bersih lalu turun dan menjapu pekarangan. Baru sadja ia bekerdja
dengan giatnja atau tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk.
Terkesiap ia berpaling. Nampak olehnja seorang tua jang
djanggutnja sudah putih semua, punggungnja bungkuk.
"Anak ketjil, untnk apakah kau datang disini? Datang untuk
mentjuri atau hendak djadi katjung?" orang tua itu tahu2
mendamprat.
Kini Keng In Wan mempunjai perasaan lain terhadap Siu Tjin Wan.
Ia segera teringat akan pengalamannja jang dahulu, teringat
bahwa djiwanja ditolong oleh pendeta tua dari Siu Tjin Wan
bersama anak perempuan itu. Oleh karena itu siapapun penghuni
didalam kuil, senantiasa ia harus berlaku hormat. Ia mendjawab
dengan tjermat dan hati-hati seperti berikut: "Lo tjianpwee, aku
jang rendah bernama Keng In Wan, berkat izin totiang aku numpang
tinggal disini untuk berapa hari, untuk mendjumpai Bok Ho-lauw
lotjianpwee. Totiang menjuruh aku menjapu pekarangan sini agar
diperkenankan numpang tidur............dan saja numpang tanja
bagaimanakah sebutan kau orang tua ini?"
Tiba-tiba orang tua itu tertawa njaring sekali lalu berseru:
"Omong kosong! Disini mana ada totiang segala ...... anak
ketjil, berterus teranglah! maksudmu sebenarnja datang disini?!"
Keng In Wan mendjadi bengong. Terang-terang ia pernah bertemu
berapa kali dengan pendeta bermuka merah itu, bahkan benda
pentingnja pernah dititipkan padanja.
"Lotjianpwee, aku pernah bertemu totiang itu berapa kali,
diambang pintu, dipekarangan dan diruang pendopo ......... oh,
ja! Masih ada seorang anak perempuan jang menolong aku
dari kematian.”
Terdengar pula suara tawa aneh dari orang tua itu. "Ha-ha-ha!
Kau telah bertemu dengan setan! Atau barangkali kau salah lihat
orang, salah djalan salah tempat!"
Keng In Wan tidak bisa bilang apa-apa, ia tjeritakan tentang
rupa pendeta bermuka merah itu.
Achirnja orang tua itu dengan sungguh-sungguh berkata: "Kau
telah tertipu. Pendeta tua itu hanja numpang tinggal disini.
Sudahlah, baiknja kau tidak hendak berbuat apa-apa, hal ini kau
anggap sadja soalnja sudah lewat. Tapi jang kau sebut Bok
Lotjian-pwee (Bapak kaju) atau Hwee Lotjianpwee (bapak-api) itu
bagaimana asal usulnja?”
"Apa? Ia hanja numpang tinggal disini! Kapankah ia pergi?"
”Baru sadja ia pergi!"
Tanpa ajal pemuda kita membuang sapu ditangannja dan berlari
keluar. Tidak sempat pula ia menanjakan kemana arah pergi
sipendeta, karena perhatiannja hanja tertudju kepada kotak itu
jang menurut pendapatnja tidak boleh dititipkan pada orang jang
salah.
Setelah lari sepintas tiba-tiba ia sadar bahwa ia tertipu!
Siapakah orang tua itu? Semendjak ia tiba di Siu Tjin Wan, telah
bertemu berapa orang jang tidak dikenalnja. Jang pertama-tama
ditemuinja orang tua she Sin, jang kedua pendeta tua bermuka
merah, jang ketiga seorang anak perempuan terachir orang tua
bungkuk berdjanggut putih ini. Tiap orang jang ditemuinja, satu
sama lain berlainan. Kesemuanja mengaku sebagai tuan rumah Siu
Tjin Wan, lebih-lebih si anak perempuan itu.
Orang tua itu ! Dia sangat mentjurigakan! Dengan gusar ia
putarkan tubuhnja dan lari kembali kearah Siu Tjin Wan. Sebentar
sadja ia sudah tiba diambang pintu. Didorongnja pintu itu dan
masuk kedalam. Pada saat itu djuga ia medjerit bahna kagetnja.
Darah segar mengambang diatas tanah!
Ia berteriak berulang-ulang. Tetapi tidak ada orang jang
menjahut. Ia berdjalan masuk keruang pendopo. Nampak pula orang
jang menggeletak diatas lantai dan disana sini darah
bertjetjeran. Ketika diawasinja orang itu dengan teliti, ia
meudjadi putjat. Orang itu bukan lain dari pada si orang tua
jang bungkuk punggungnja!
Tiba-tiba suatu benda menarik perhatiannja. Itulah sebuah buli-
buli ketjil berwarna merah. Hampir sadja Keng In Wan mendjerit!
Dan tepat pada waktu itu terdengar suara tertawa jang aneh.,
suara tertawa jang seram dan bersifat sedih.
Bagaikan kilat Keng In Wan menengok dari mana suara itu datang!
Tapi mendadak angin dingin menjambar kearahnja!
TAMAT