East India Company (EIC) merupakan kongsi dagang yang mewakili kerajaan Inggris untuk menguasai
perdagangan rempah wilayah pantai Barat Sumatera.
Sama-sama terjebak dalam kasus korupsi dan keserakahan sebagai akibat dari runtuhnya kongsi
dagang tersebut.
Imperium perdagangan di Hindia Timur (selanjutnya Hindia Belanda) telah eksis sejak abad ke-17.
Sebelum VOC berdiri pada 1602, telah hadir lebih dulu kongsi dagang Inggris bernama East India
Company (EIC) yang didirikan di London pada 31 Desember 1600. Ratu Elizabeth I memberikan hak
istimewa berupa izin pendirian kongsi dagang tersebut.
Sir James Lancaster dipilih sebagai pemimpin pelayaran pertama EIC. Pada Juni 1602, ia tiba di Aceh
yang selanjutnya berlayar menuju Banten. EIC memperoleh izin mendirikan kantor dagang di Banten
yang terkenal sebagai bandar lada terkaya. Lancaster pun kembali ke Inggris dengan membawa lada
berjumlah besar.
Pelayaran kedua EIC dilakukan pada 1604 di bawah pimpinan Sir Henry Middleton. Ia berhasil
menjangkau Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda. Namun, EIC mengalami petaka lantaran di wilayah
tersebut mendapat serangan dari VOC. Akibatnya, dimulailah persaingan antara Inggris dan Belanda
dalam memperoleh rempah-rempah.
31 Desember 1600: East India Company (EIC) Didirikan
EIC hadir dalam upaya memonopoli perdagangan di tengah sengitnya persaingan kongsi dagang di
Hindia Belanda.
Sir James Lancaster dipilih sebagai pemimpin pelayaran pertama EIC. Pada Juni 1602, ia tiba di Aceh
yang selanjutnya berlayar menuju Banten. EIC memperoleh izin mendirikan kantor dagang di Banten
yang terkenal sebagai bandar lada terkaya. Lancaster pun kembali ke Inggris dengan membawa lada
berjumlah besar.
Pelayaran kedua EIC dilakukan pada 1604 di bawah pimpinan Sir Henry Middleton. Ia berhasil
menjangkau Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda. Namun, EIC mengalami petaka lantaran di wilayah
tersebut mendapat serangan dari VOC. Akibatnya, dimulailah persaingan antara Inggris dan Belanda
dalam memperoleh rempah-rempah.
Selama tahun 1611–1617 orang-orang Inggris mendirikan kantor dagang EIC di sejumlah wilayah
Hindia Belanda di antaranya Sukadana (Kalimantan Barat Daya), Makassar, Jayakarta, Jepara, Aceh,
Pariaman, dan Jambi. Persaingan antara Inggris-Belanda kian sengit saat orang-orang Belanda
menganggap cita-cita monopoli mereka telah meleset.
Di sisi lain, kondisi global di Eropa pada 1620 memaksa Belanda melakukan kontak kerja sama singkat
dengan Inggris. Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2004, hal tersebut
dilakukan sebagai pertimbangan diplomatik di Eropa saat itu.
Inggris diizinkan mendirikan kantor dagangnya di Ambon. Namun, pada 1623 terjadi pembantaian
Amboyna (Ambon) yang mengubur seluruh gagasan atas kerja sama keduanya. Peristiwa tersebut
mengakibatkan sepuluh orang Inggris dan sepuluh orang Jepang serta seorang Portugis dihukum mati.
Meski tak sampai menciptakan peristiwa yang lebih tegang, namun pertikaian diplomatik di Eropa tak
terhindari. Selain itu, Inggris sejak saat itu secara diam-diam menarik diri dari wilayah Hindia Belanda,
kecuali Banten. Banten telah menjadi pusat aktivitas bagi orang-orang Inggris dalam kurun waktu
lama hingga 1682. Perhatian Inggris selanjutnya lebih difokuskan pada wilayah-wilayah Asia lainnya.
Mengenai EIC, The Archives of the Dutch East India Company VOC and the Local Institutions in Batavia
Jakarta, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, menulis bahwa di awal pendiriannya EIC belum
cukup mampu menandingi VOC. Kala itu EIC belum memiliki kas keuangan yang memadai, struktur
organisasi yang andal, serta kurangnya dukungan dari pemerintah Inggris semakin membuat EIC tidak
cukup berhasil mengungguli VOC.
Meski perdagangan di Hindia Belanda masih dimonopoli oleh VOC, namun pada akhir abad ke-17 EIC
tumbuh pesat sebagai pesaing VOC yang patut disegani. Sepanjang abad ke-18 EIC bahkan mampu
mengungguli VOC di sejumlah bidang.
Pada perkembangannya, EIC turut melakukan ekspansi bisnisnya ke sejumlah wilayah Hindia Belanda,
salah satunya Bengkulu. Hubungan antara Bengkulu dan EIC bermula dari perjanjian pada 1685 antara
penguasa Selebar dan EIC. Atas perjanjian tersebut, EIC mulai menjalankan kesepakatan dengan
kerajaan-kerajaan di wilayah Bengkulu. Di Bengkulu, EIC mencapai keberhasilan di mana perdagangan
di seluruh wilayah tersebut, termasuk Mukomuko, berhasil dipegang oleh EIC hingga tahun 1752.
Pada pertengahan dekade tahun 1760, EIC menyadari akan kemajuan kongsi dagangnya. Salah satu
perdagangan yang dijalankan EIC ialah candu. Pada tahun-tahun tersebut, perdagangan candu antara
Bengal dan Hindia Belanda mengalami kemajuan.
16 Desember 1931 : ekonomi ditanah gayo Guna memenuhi kepentingan pemerintah Inggris, EIC
berupaya mencari wilayah dagang di pantai timur Sumatra. EIC melakukannya dengan memperbarui
hubungan dagang dengan Aceh yang sebelumnya sempat pasang surut. Aceh dipilih karena kerajaan
makmur dengan posisi geografis yang sangat strategis.
Sama seperti VOC, ekspansi yang dilakukan EIC di sejumlah wilayah juga bertujuan lain. Dengan
mendirikan kantor dagangnya di berbagai wilayah, Inggris hendak menunjukkan kedudukan dan
meneguhkan legitimasi kekuasaannya, tak hanya secara ekonomi namun juga politik.