Anda di halaman 1dari 10

BENTUK BIROKRASI DAN PERDAGANGAN PERUSAHAAN HINDIA

BELANDA DAN INGGRIS DI ASIA

(K.N. Chaudhuri. “Trade and Civilisation in the Indian Ocean: Chapter 4 –


The Dutch and English East India Companies and the Bureaucratic form of
trade in Asia”)

Oleh:
Zukhrufa Ken Satya Dien
2206114702

Bentuk birokrasi dan perdagangan diwilayah Samudera Hindia sudah


dimulai sejak abad ke-16. Birokrasi dan perdagangan diwilayah Samudera Hindia
terjadi ketika kedatangan bangsa Portugis. Pada saat itu, Portugis melakukan
perdagangan maritim ke daerah Mocha, Aden, dan Surat di barat Samudera Hindia.
Kemudian ke Meliapur, Masulipatan, Hungli di India Selatan dan Timur.
Selanjutnya di Aceh, Banten dan Manila di kepulauan Indonesia. melengkapi
perdagangan Portugis, melakukan di Malaka, Kanton, Makau, dan Nagasaki di
Timur Jauh. Akan tetapi, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama, yang mana
kekuasaan birokrasi dan perdagangan tersebut dilanjutkan oleh armada
perdagangan perusahaan Hindia Belanda dan Inggris. Kedatangan armada
perusahaan perdagangan Hindia Belanda dan Inggris terjadi pada akhir abad ke-16.
Kedatangan armada kapal Inggris dan Belanda pada akhir abad ke-16,
menjadi tantangan besar bagi Portugis untuk menghadapi mereka di wilayah Asia
yang mengancam masalah kekuasaan dan perekonomian. Sejak pertengahan abad
ke-16 para pedagang Inggris sudah melakukan sebuah upaya untuk mendapatkan
akses pasar pemasok barang Asia, baik melalui Mediterania timur maupun jalur
darat yang melintas Rusi dan Kaspia. Sebenarnya pendirian Perusahaan Levant
Inggris tahun 1581 sudah melakukan konsesi perdagangan formal yang diberikan
oleh pemerintah Ottoman. Perusahan Levant yang dihasilkan membuka konsulat
Inggris di seluruh wilayah Ottoman seperti, Mesir, Suriah, Aljir, Barbary, Patras,
Morea dan Chios. Barang ekspor berasal dari kain dan timah, untuk barang impor
sutra mentah, mohair, wol, benang, karpet, obat-obatan, rempah-rempah, nila,
kismis, dan kapas. Kemudian pada tahun 1600 Kerajaan Inggris membatalkan
piagam kerajaan ketika perusahaan tersebut menolak sebuah tuntutan pemerintah
untuk membagi sebuah keuntungan yang diperoleh. Kejadian tersebut membuat
Ratu Elizabeth I memberikan izin pendirian kongsi dagang East India Company
(IEC) pada 31 Desember 1600.
Perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) milik
Belanda didirikan pada tahun 1602, selisih dua tahun dari pendirian IEC milik
Inggris. Setelah berdirinya VOC, pemerintah Belanda mengizinkan perusahaan
dagang tersebut untuk melakukan pelayaran ke wilayah Asia. Pelayaran VOC
bersamaan dengan IEC, hal ini membuat VOC merasa IEC saingan utama
perusahaan dagang di wilayah Asia. Pada abad ke-17 IEC menjadi saingan
perusahaan dagang VOC yang sudah diprediksi awal pelayaran ke wilayah Asia.
Sebelum terjadinya saingan perusahaan dagang antara VOC dan IEC
keduanya memiliki kesatuan struktural yang diciptakan oleh sebuah ritme periodic
angin muson dan saling memiliki ketergatungan ekonomi antara satu wilayah
dengan wilayah yang lain. Kesadaran mengenai sebuah jaringan perdagangan dan
keuangan yang terintegrasi dan luas membuat terdorongnya perusahaan birokrasi
untuk mengikuti sebuah kontur alam geografi komersial dan merancang sistem
operasi terkoordinasi yang membentang dari Laut Merah dan Teluk Persia hingga
Laut Cina Selatan. Kesatuan dan rencana yang dilakukan oleh kedua perusahaan
dagang tersebut diarahkan dan dikendalikan langsung dari Amsterdam dan London.
Perencanaan yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris dalam melakukan operasi
dari Laut Merah hingga Laut Cina Selatan tersebut disebabkan oleh jumlah dan
akumulasi modal yang diperkuat oleh manajemen dalam pengambilan keputusan
dari berbagai tingkat organisasi.
Keberhasilan keduanya dalam melakukan operasi maritim, kinerja ekomoni
yang semakin membaik ternyata bergantung pada kemampuan direktur di Eropa
dan para pejabat di Asia untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada. Sebuah
perusahaan perlu sebuah tujuan dan pedoman politik agar dapat menentukan
hubungan mereka dengan penguasa Asia dan sesama orang Eropa. Antara tahun
1600an hingga 1663an Estado da India mengalami kemunduran besar di tangan
Belanda, akibat dari ideologi politik yang tidak baik dalam hubungan dengan
sesama Eropa. Hal ini membuat para pejabat Portugis merasa ironis bahwa
pemikiran politik dan metode perdagangan mereka di Asia seperti itu. Tuntutan
yang dilakukan oleh pemerintah Portugis ditolak oleh Belanda. Kejadian tersebut
membuat Inggris lebih hati-hati dalam melakukan sesuatu.
Pada tahun 1605 VOC berhasil merebut benteng Portugis di Ambonia
sebagai awal strategi untuk membangun kendali angkatan laut diperairan
Nusantara. Kemudian pada tahun 1606 VOC melakukan serangan ke Benteng
Malaka, akan tetapi serangan tersebut berhasil digagalkan yang membuat rugi pihak
VOC. Pihak VOC masih belum berhasil menyingkirkan Portugis dari wilayah
Hindia Timur, sehingga perlu melakukan sebuah strategi untuk melakukan
perebutan. Strategi yang dilakukan VOC untuk melawan Portugis baru terlaksana
pada tahun 1636. Pada saat itu Antonio van Diemen menjadi gubernur jenderal
VOC di Hindia timur melakukan blokade setiap tahunnya sampai perbatasan Goa
pusat Portugis di wilayah Hindia Timur. Pada 25 Desember 1637 enam kapal
Portugis meninggalkan pelabuhan dan melakukan penyerangan terhadap 12 kapal
yang memblokade. Penyerangan yang berlangsung selama tujuh jam tersebut
berhasil meledakkan kapal Portugis S. Bartholomeus, ketiga kapal milik Belanda
tenggelam akibat tembakan.
Hubungan antara Inggris dan Portugis setelah melakukan sebuah
perundingan yang panjang pada tahun 1635 yang dilakukan oleh Conde de Linhares
dan Presiden William Methworld menghasilkan sebuah gencatan senjata dan
perjanjian. Hubungan yang membuat Inggris dan Portugis bertahan lama ketika
penyerahan Bombay. Pada tahun 1661 Bombay diserahkan kepada Charles II oleh
pemerintah Portugis di Lisbon sebagai bagian dari penyelesaian pernikahan Infanta
Catherine. Kemudian Charles II menyerahkan Bombay kepada East India Company
untuk dikelola dengan baik.
Ternyata ketegangan politik yang terjadi antara pedagang Eropa di Asia
menjadi konflik berkempanjangan antara Belanda dan Inggris pada abad ke-17.
Seperti perkiraan awal pelayaran yang dilakukan keduanya ke wilayah Asia yang
menyebabkan terjadinya persaingan antar perusahaan perdagangan. Sebelumnya
terjadi sebuah Perang Suksesi Spanyol, yang menyebabkan Perusahaan Hindia
Timur mengambil alih peran angkatan laut yang mendominasi VOC di Samudera
Hindia. Pada tahun 1720an mucul sebuah kekuatan komersial dan maritim di
Samudera Hindia dalam bentuk Compagnie des Indes Orintales (CIO) Prancis yang
kedua. Pada kompeni yang pertama didirikan oleh Colbert, yang mana tidak pernah
berhasil dalam mencapai stastus organisasi dan keuntugan seperti VOC dan IEC di
Asia. Meskipun begitu, bangkitnya Prancis menjadi sebuah kekuatan terkemuka di
Eropa, yang membuat terbukalah jalan bagi siklus perang laut global diantara
negara maritim barat.
Terjadinya perang laut global dimulai pada tahun 1740an dan 1750an yang
secara bertahap melibatkan Perusahaan India Timur di India dalam perang dinasti
yang mulai melemahkan kohesi politik Kerajaan Mughal. Para pedagang dan
penguasa di Asia tidak mengabaikan fakta bahwa dua penyebab konflik antara
bangsa Eropa dapat ditemukan dalam peristiwa politik yang berasal dari Eropa dan
sebuah kekuatan untuk melakukan monopoli perdagangan di Eurasia dengan
mengesampingkan semua negara. Kurangnya angkatan laut yang efektif di Asia
menyebabkan tidak dapat mencegah orang Eropa saling berperang di laut.
Permasalahan hubungan internasional yang terjadi di Samudera Hindia merupakan
kejadian terburuk sepanjang abad ke-17 dan abad ke-18.
Kemudian, dimensi maritim ternyata menciptakan salah satu kelemahan
krusial dalam struktur hubungan internasional di Samudera Hindia dan diskursus
sejarah yang memburuk sepanjang abad ketujuh belas dan ke delapan belas. Dalam
kaitan ini, perusahaan dagang birokrasi merumuskan ideologi politik terhadap para
saudagar dan pangeran Asia yang khas seperti Estado da India. Prinsip
pengendalian pedagang pribumi di Samudera Hindia didukung sepenuhnya oleh
penjualan izin perilaku aman dan ancaman pembalasan angkatan laut terhadap
pelayaran tanpa dokumen tersebut. Lembaga ini berguna untuk meningkatkan
pendapatan dan menjadi alat tawar menawar dalam negosiasi dengan otoritas
pelabuhan.
Sejak tahun 1618, Thomas Roe, utusan Perusahaan Hindia Timur untuk
Mughal mengklaim bahwa Inggris dan Belanda diizinkan berdagang di Surat
karena para kekaisaran takut akan kekuatan mereka di laut. Perusahaan Inggris
menganut kebijakan preskriptif yang digariskan oleh Roe, hampir sampai
pertengahan tahun abad ke-18. Satu-satunya pengecualian adalah kegagalan upaya
melancarkan perang laut terhadap Kekaisaran Mughal pada tahun 1688-1690. VOC
juga mengambil kesimpulan yang sama secara independen, berdasarkan
pengalamannya sendiri dalam berdagang di Samudera Hindia. Namun pada
awalnya, Direktorat Belanda memutuskan untuk menerapkan sistem perjanjian
eksklusif dengan pangeran lokal di Asia, untuk menjual rempah-rempah dan lada
secara eksklusif kepada VOC. Di pelabuhan dan pasar-pasar, para pejabat VOC
mengikuti cara orang Inggris yang mengandalkan pembelian kompetitif untuk
menyediakan muatan bagi kapal-kapal yang kembali. Ketika hubungan dengan
perwakilan kerajaan terpusat tegang, kedua kompeni (Inggris dan Belanda)
menggunakan kapal mereka untuk menghalangi pergerakan barang milik pedagang
lokal Asia. Jika metode tersebut mengundang pembalasan terhadap properti dan
personel Eropa yang tersisa di pelabuhan dan kota-kota pedalaman, maka
penyelesaian akhir selalu diatur melalui intervensi dan lembaga diplomatik para
pedagang.
Upaya yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Eropa Utara pada abad ke-
17, untuk memperoleh pemukiman teritorial di kawasan komersial yang sibuk di
Samudera Hindia dan klaim terkait untuk membentengi tempat tinggal dan tempat
kerja, tidak diragukan lagi berasal dari Portugis. Peluang perdagangan damai di
Asia terbuka bagi Belanda dan Inggris, namun tidak mengambilnya karena mereka
percaya bahwa baik dari Portugis dan penguasa dari Asia tidak akan mengizinkan
mereka melakukan hal itu tanpa sanksi senjata. Jika kebijakan perdagangan
bersenjata di Samudera Hindia terkadang dikritik oleh para Direktur VOC dan East
India Company, selalu ditahan karena pertimbangan biaya dan secara umum
penggunaan kekerasan tetap menjadi bagian integral dari kehadiran komersil di
Asia. Hal ini dapat ditelusuri dari kombinasi tiga faktor, selain bahaya dari negara-
negara eropa, yaitu sumber daya alam yang didukung oleh monopoli nasional yang
memerlukan lokasi geografi yang sesuai agar operasi ekonomi dapat berfungsi
secara rasional dan efisien, unsur monopoli yang paling kuat diikuti oleh VOC dan
berusaha mengeluarkan semua pedagang saingannya dengan paksa dari wilayah
lalu lintas antar Samudera Hindia yang sangat menguntungkan dan perusahaan
berusaha untuk menginternalisasikan biaya perlindungan yang harus ditanggung
oleh semua pedagang luar negeri dalam bentuk pembayaran finansial kepada
otoritas publik. Mereka membayar bea masuk, hadiah dan suap jika diperlukan
biaya seperti itu dan tidak hanya di Asia, tetapi juga di negara Eropa.
Biaya pembangunan dan perlengkapan armada besar, serta biaya
operasional pemukiman yang dibentengi, selalu memberikan beban berat pada
perdagangan Eropa dalam bentuk biaya overhead tetap. Menurut Direktorat
Belanda, Hereen XVII menyimpulkan bahwa sejak awal biaya-biaya tersebut dapat
ditanggung dengan baik jika pasokan rempah-rempah, baik cengkeh, pala dan
bunga pala dikontrol secara ketat dan akses ke daerah penghasil seperti Kepulauan
Maluku tidak diberikan untuk yang lainnya. Penaklukan Banda menjamin pasokan
pala bagi VOC. Namun, untuk pengendalian terhadap cengkeh yang ditanam di
pulau-pulau terluar lebih sulit tercapai. VOC mengorganisir serangan berkala
terhadap perkebunan cengkeh yang tidak diawasi, untuk menebang pohon dan
perdagangan penyelundupan tidak dihentikan secara efektif sampai penaklukkan
pelabuhan Makasar yang berkembang pesat pada tahun 1666-1668.
Setiap musim perdagangan, kapal-kapal Belanda menurunkan sejumlah
besar rempah-rempah, lada, timah, tembaga, dan kayu cendana di emponia
komersial Samudera di Surat, Masulipatam dan Hugli, di Bandar Abbas dan Mocha.
Hal ini para pejabat Perusahaan Hindia Timur Inggris merasa iri dengan lalu lintas
tahunan yang didirikan oleh Belanda dan membiayai sebagian investasi mereka di
Eropa dari keuntungan perdagangan antar daerah. Ketika EIC memberikan
kebebasan kepada para pegawainya untuk terlibat dalam perdagangan pribadi,
perbedaan yang tidak nyaman langsung muncul antara kepentingan kompeni dan
kepentingan para karyawannya, sedangkan VOC mempertahankan kontrol yang
lebih ketat terhadap pegawainya, meskipun para direktur Belanda tidak dapat
mencegah korupsi perusahaan-perusahaan mereka di Asia, seperti halnya para
direktur Inggris.
Tidak butuh waktu lama bagi Inggris dan Belanda untuk mengetahui bahwa
perekonomian komersial India dan Tiongkok memegang peranan penting dalam
arus barang melintasi Samudera Hindia. Sejak tahun 1607, VOC berencana
mengirim kapalnya ke Laut Merah dan Gujarat di India barat, sebelum armadanya
melanjutkan ke Banten dan Maluku untuk membeli lada dan rempah-rempah. Izin
resmi untuk berdagang di Surat baru diperoleh pada tahun 1612, namun setelah
didirikannya pabrik Inggris, pabrik tersebut menjadi pabrik yang paling penting di
zona aktivitas Barat, sedangkan untuk Belanda berusaha mencapai Surat sejak
tahun 1602, meskipun baru tahun 1617 Pieter van den Broeke berhasil membuka
pabrik di kota pelabuhan atas nama VOC. Upaya memperluas pasar grosir di Surat
ke daerah-daerah penghasil merupakan gejala kegelisahan yang ditunjukkan oleh
Inggris dan Belanda dalam menciptakan organisasi perdagangan yang efektif di
India dan terhubung dengan struktur maritim yang lebih besar di Asia dan Eropa.
Hubungan komersial yang erat antara Gujarat, Malabar dan Timur Tengah
membawa perusahaan ke arah Laut Merah dan Laut Merah, serta Teluk Persia
dalam serangkaian eksplorasi. Bahwa perdagangan lintas benua Eurasia saat ini
melewati Laut Merah sudah diketahui oleh para pedagang Inggris di Levant. Pada
tahun 1607-1608, para komandan Kompeni Hindia Timur membawa instruksi
untuk mengingatkan para gubernur di Laut merah bahwa Inggris secara teratur
melakukan perdagangan ke Kairo, Aleppo, Damaskus, Konstatinopel, dan tempat-
tempat lain di Kekaisaran Turki. Persahabatan yang ditunjukkan oleh
Penandatanganan Agung terhadap bangsa Inggris telah mendorong Kompeni untuk
mengirimkan ke wilayah tersebut. Kemudian, ketertarikan EIC pada pasar Persia
muncul dari prospek menjual barang-barang wol Inggris dalam jumlah besar dan
membeli sutra mentah dari distrik Kaspia.
Surat, India bagian barat, Malabar dan Teluk Persia merupakan satu unit
operasi dalam organisasi perusahaan yang memasok banyak barang dagangan yang
menguntungkan untuk pengiriman langsung ke Eropa. Namun, perselisihan politik
dengan penguasanya, Istana Golconda dan kesadaran bahwa distrik Karnatik di
bagian selatan juga menghasilkan banyak kain bagus, menyebabkan Belanda dan
orang Inggris bermigrasi ke pesisir. VOC menetap di Pulicut (1610) dan kemudian
di Negapatam (1690), sedangkan EIC memperoleh hak untuk membangun pabrik
dan benteng di desa nelayan Madras pada tahun 1639. Pada paruh kedua abad ke-
17, kain Chintz Coromandel berwarna cerah dan barang-barang katun lainnya
sangat diminati oleh para pedagang pakaian mode di Amsterdam dan London,
seperti halnya dengan para pedagang yang berdagang ke Afrika Barat, Amerika
Spanyol dan Hindia Barat.
Perdagangan maritim Benggala tidak memiliki ketenaran dan prestise
seperti Surat dan para pedagang yang hemat. Pelabuhan laut yang cocok untuk
menampung kapal-kapal besar tidak ada di wilayah tersebut dan pendangkalan
selalu menjadi bahaya. Provinsi subur dan kerajinan tangan legendarisnya tertutup
oleh perairan muara yang berbahaya. Bahkan, kapal laut EIC yang berpengalaman
pada awalnya enggan mengarungi sungai Hugli, namun memberikan akses ke pasar
komersial pedalaman Benggala.
Konsolidasi organisasi komersial VOC dan EIC di Samudera Hindia bagian
bagian barat diikuti dengan perluasan perdagangan ke Timur Jauh. Ada beberapa
alasan. Keuntungan besar yang diperoleh Portugis dalam pelayaran mereka ke
Malaka, Makau, dan Nagasaki sudah terkenal. Jepang muncul pada periode ini
sebagai produsen perak terbesar kedua di dunia. Tiongkok selalu mempunyai daya
tarik yang luar biasa bagi konsumen Eropa karena produksi porselen dan sutranya
yang tak tertandingi. VOC dan EIC menemukan pasar yang berkembang pesat di
Belanda, Inggris dan Prancis berdasarkan preferensi konsumen terhadap
Chinoiserie, kemudian diikuti dengan meluasnya popularitas minuman teh.
Penetapan Manchu di atas takhta kekaisaran menstabilkan situasi kacau di
provinsi pesisir Tiongkok yang disebabkan oleh perang saudara dan jatuhnya
Dinasti Ming pada tahun 1640-an. Beberapa tingkat legalitas internasional
dipulihkan antara VOC dan kekaisaran Tiongkok. Namun kompeni tetap pasif dan
tahun 1727, VOC baru mulai berdagang langsung dengan Kanton. Perkembangan
ini sebagian besar merupakan hasil keberhasilan EIC dalam perdagangannya di
Tiongkok. Sejak tahun 1710, Kompeni diizinkan memasuki Kanton secara rutin dan
membeli teh, sutra mentah dan porselen sebagai imbalan atas perak yang sangat
dibutuhkan kekaisaran Tiongkok. Orang-orang Tiongkok yang bertindak atas
perintah kekaisaran melakukan penegakan peraturan yang ketat dan dijadikan
landasan istana dalam melakukan perdagangan luar negeri. Kanton adalah satu-
satunya pelabuhan yang terbuka bagi orang-orang Eropa dan mereka harus
menyerahkan senjata dan amunisi kapal mereka sebelum memasuki pelabuhan di
Sungai. Pembelian dan penjualan barang terjadi melalui asosiasi pedagang
Tiongkok yang diakui disebut Hongs of Canton. Kargo super atau agen perusahaan
diizinkan masuk ke kota hanya selama musim perdagangan dan harus berangkat
dengan kapal. Dari peraturan tersebut menjadi sumber perselisihan antara Kompeni
dan Tiongkok, namun hubungan antara orang Eropa dan China lebih ramah dan
terhormat dibandingkan di sebagian besar wilayah Asia.
VOC, EIC dan Compagnie des Indes Orientales memiliki banyak ciri
kelembagaan yang sama. Prinsip modal saham gabungan, monopoli nasional dan
organisasi terintegrasi di Asia merupakan elemen inovatif yang tidak tersebar luas
dalam perdagangan Eropa saat itu. keberhasilan para industrialis Barat dalam
memanfaatkan tabungan pribadi atau institusi melalui modal saham didasarkan
pada jenis pasar uang dan praktik keuangan yang jauh lebih tua dibandingkan
dengan penemuan teknologi pada akhir abad ke-18. Dampak yang paling kuat dan
revolusioner dari perusahaan terletak pada penerimaan masyarakat terhadap
anggapan bahwa kewajiban keuangan perusahaan adalah aset orang lain. Transaksi
modal VOC dan EIC pada puncak aktivitas komersial mereka pada paruh pertama
abad ke-18 sebanding dengan peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga
nasional seperti Bank of Amsterdam dan Bank of England.
Penataan kembali arus perdagangan lintas benua antara tahun 1600 dan
1750 juga sama mencoloknya. Sebelumnya, barang-barang dari Timur telah
melewati wilayah Timur Tengah dan Mediterania dalam waktu singkat, melewati
banyak tangan dan sering kali pecah dalam jumlah besar. Pada periode selanjutnya,
Kompeni membawa barang-barang tersebut dalam satu perjalanan yang tidak
terputus ke pusat distribusi poin di Eropa. Amsterdam dan London menjadi emporia
terkemuka di Barat dan tugas mengekspor kembali barang-barang impor dari Asia
atau dunia Baru diambil alih oleh kelompok pedagang grosir sekunder yang berasal
dari seluruh wilayah Eropa. Kawasan perdagangan di Samudera Hindia-India,
Tiongkok dan Asia Tenggara terseret ke dalam sistem hubungan ekonomi yang
saling bergantung, meskipun perekonomian internal mereka sebagian besar tetap
mengikuti ritme aktivitas yang otonom. Rantai ini meluas ke dunia baru, tempat
munculnya bentuk baru produksi dan pengolahan pertanian, berdasarkan tenaga
kerja budak di Afrika. Real delapan menjadi mata uang pembayaran internasional
yang diterima. Spanyol memegang kunci pasokan uang, namun EIC bersama
dengan para pedagang Levant menyebarkan likuiditas baru ke seluruh Samudera
Hindia.

Daftar Pustaka
Didik Pradjoko. 2006. “Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda dan kekuatan
Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX”. Makalah dipresentasikan
dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII pada 14-16 November
2006 di Jakarta.
K.N. Chaudhuri. 2002. Trade and Civilisation in the Indian Ocean: an Economic
History From the Rise of Islam. UK: Cambridge University Press.
Michael G. Van. 2014. “When the World Came to Soytheast Asia: Malacca and the
Global Economy”. Education About Asia Journal Vol. 19 No. 2
Zoltan Biedermann. 2020. “The Portuguese Estado da India (Empire in Asia)”. Web
University College London, dapat diakses melalui
https://discovery.ucl.ac.uk/id/eprint/10118027/ pada 5 Oktober
2023

Anda mungkin juga menyukai