Anda di halaman 1dari 196

FAKTOR RESIKO PARENTAL BURNOUT PADA IBU YANG MEMILIKI

ANAK AUTIS DI SLB C YAKUT PURWOKERTO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana


S-1 Bidang Psikologi

Oleh :

Anis Mukarromah
1907010044

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2023
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Anis Mukarromah

Tempat/Tanggal Lahir :

NIM :

Fakultas :

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul : “Faktor

Resiko Parental Burnout pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB C Yakut

Purwokerto” adalah asli bukan menjiplak karya penelitian lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dan apabila di kemudian hari

ditemukan ada unsur penjiplakan, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan

sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Purwokerto,

Yang menyatakan,

Anis Mukarromah

ii
HALAMAN PENGESAHAN

FAKTOR PENYEBAB PARENTAL BURNOUT PADA IBU YANG


MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB C YAKUT PURWOKERTO

Yang diajukan oleh :

ANIS MUKARROMAH
NIM : 1907010044

Pada tanggal….
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Ketua, Sekretaris,

……………….. …………..

Penguji I, Penguji II,

…………….. ……………..

Penguji III,

………………….

Mengetahui
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Dr. Nur’aeni, S.Psi, M.Si


NIK/NIP. 2160205

iii
HALAMAN MOTTO

“Dan (Allah) berfirman, janganlah kamu khawatir, sesungguhnya Aku


bersama kamu, Aku mendengar dan melihat”

(QS. At-Taha 20:46)

“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.”

(QS. Ali Imran 3:139)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.”

(QS. Al-Baqarah 2:286)

“ Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat.


Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menimpakan
ujian untuk mereka. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan
murka.”

(HR. Ibnu Majah)

“Hidup tidak pernah menjadi semakin lemah, kamu yang harus menjadi
semakin kuat, jangan pernah menyerah.”

(Peneliti)

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahiim…

Dengan penuh rasa syukur kepada Ilahi Robbi, usaha tanpa henti, do’a yang
selalu terucap, asa yang tak pernah mati.

Karya skripsi ini peneliti persembahkan kepada :

Bapak Sakhudin dan Ibu Siti Saodah selaku orang tua saya tercinta

Terima kasih selalu memberika do’a, dukungan, semangat tanpa henti kepada
peneliti sehingga peneliti bisa dan yakin akan kemampuan yang peneliti miliki.

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti mendapatkan kesempatan
untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor Resiko
Parental Burnout pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB C Yakut
Purwokerto” sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi strata satu untuk
mencapai gelar sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah
Purwokerto. Proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari campur tangan Allah
SWT dan dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak yang terkait atas
informasi maupun data yang membantu proses penyusunan skripsi ini. Oleh
karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati tanpa mengurangi rasa
hormat, maka peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Nur’aeni, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas


Muhammadiyah Purwokerto yang telah memberikan bimbingan selama ini
2. Gisella Arnis Grafiyana, S.Psi., M.A, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah memberikan masukan
3. Imam Faisal Hamzah, S.Psi., M.A., selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Purwokerto sekaligus dosen Pembimbing
Akademik (PA) yang telah membimbing dan Bersama selama masa
perkuliahan
4. Dr. Tri Na’imah, S.Psi, M. Psi., selaku dosen pembimbing seminar proposal
dan skripsi yang senantiasa membimbing, memberikan arahan, dukungan dan
ilmu, dalam penyusunan proposal dan skripsi.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang berharga selama masa
perkuliahan

vi
6. Seluruh staff Tata Usaha (TU) dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Purwokerto yang telah membantu peneliti dalam urusan
administrasi dan operasional selama perkuliahan.
7. Terima kasih kepada partisipan AMD, YN, dan TKF yang bersedia terlibat
dan meluangkan waktunya untuk penelitian ini sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
8. Kepada Linda dan Septi yang telah menjadi sahabat baik. Terima kasih telah
memberi warna disetiap harinya, selalu memotivasi dan selalu menjadi
support system sampai saat ini.
9. Terima kasih kepada “Qasidahria Genk” yang telah memberi tawa saat
bersama
10. Terima kasih pada diri sendiri, yang sudah mau berusaha dan berjuang
menyelesaikan penelitian untuk tugas akhir skripsi
11. Kepada teman-teman dekat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dan
teman-teman seperjuangan Psikologi 2019 khususnya kelas A serta teman-
teman seperbimbingan, yang selalu membersamai peneliti sampai pada titik
ini. Terima kasih atas dorongan, motivasi dan bantuan yang diberikan serta
pengalaman yang berkesan selama perkuliahan

Peneliti menyadari bahwa dalam penyususnan skripsi ini masih terdapat


kekurangan. Oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun
guna memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini bermanfaat
bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh
Purwokerto, 14 Juli 2023
Peneliti

Anis Mukarromah

vii
DAFTAR ISI

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anak yang terlahir sempurna sesuai dengan tahap perkembangannya

merupakan harapan keluarga saat anak hadir di kehidupan keluarga. Realitanya

tidak semua ibu melahirkan anak sesuai dengan tahap perkembangan dan

harapannya. Anak autis disebut dengan anak yang mempunyai keterbatasan

dalam hal psikis maupun fisik. Anak berkebutuhan khusus ialah anak yang

berbeda dari rata-rata anak normal dari segi perilaku sosial, kemampuan

sensorik, ciri-ciri mental, kemampuan berkomunikasi, emosional, dan fisik,

atau gabungan dari dua atau lebih dari hal-hal di atas (Normasari et al., 2021).

Orang tua merupakan orang yang bertanggung jawab pada penanganan

dan pengasuhan anak autis. Secara emosional dan teknis, ibu berada pada

posisi teratas dalam kesiapan dan penerimaan dalam mendidik dan mengasuh

autis. Ibu merasa bertanggung jawab atas kondisi normal maupun abnormal

pada anaknya dikarenakan seorang ibu yang merasa merawat dan menjaga

anak sejak dalam perutnya, saat persalinan, sampai fase pertumbuhan

(Miranda, 2013).

Salah satu fenomena yang saat ini semakin marak adalah hadirnya

anak-anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), karena autis masih

menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orang tua (Hapsari et al., 2019).

Tidak mudah dalam mendidik dan merawat anak autis bagi orang tua dengan

ix
karakteristik dan permasalahan yang dimiliki, acceptance dari keluarga adalah

sesuatu yang sangat diharapkan anak agar tumbuh kembang anak dapat optimal

(Faradina, 2016).

Menjadi ibu dari anak dengan gangguan autisme tidaklah mudah,

beberapa hal yang harus dilakukan, dipertimbangkan, dan dipahami. Akan

muncul seperti ibu merasa kesulitan mencari informasi tentang kondisi

anaknya, kebingungan karena anak tidak berkembang sebagaimana mestinya,

ibu juga merasa malu dan tertekan dengan kondisi anaknya dan juga sulit

membagi perhatian terhadap pasangan. Seorang ibu dapat merasakan kesulitan

saat mengelola emosinya karena adanya keterbatasan yang dimiliki anak,

sehingga ibu akan lebih mudah mengalami kekhawatiran, kecemasan,

perasaan putus asa, gejala depresi, dan stress (Maysa & Khairiyah, 2019).

Kehadiran anak dengan gangguan autisme memunculkan berbagai

reaksi emosi dan akan mengalami fase dinamika psikologis yang dirasakan Ibu

(Lerner & Kline, 2006) yaitu fase shock, fase ketidakpercayaan, fase penolakan

atau penyangkalan, fase marah, fase tawar menawar, dan fase depresi (Dewi &

Widiasavitri, 2019). Seorang ibu akan merasa mudah stres dibanding suami

kerena tanggung jawab merawat serta mengasuh anak. Hal ini sesuai dengan

penjelasan R. Dewi et al (2018) secara khusus, ibu akan merasakan stres yang

lebih besar dibandingkan dengan suaminya.

Ibu yang memiliki anak autis harus menyiapkan diri dalam menghadapi

dampak sosial yang terjadi karena pandangan masyarakat terhadap

ketidakmampuan anak dalam menerima dan melakukan norma sosial, sehingga

x
anak tidak mampu berbuat sesuatu akibat autisnya, hal tersebut menyebabkan

kurangnya dukungan sosial pada ibu sehingga muncul perasaan tertekan dan

kelelahan secara berlebih sampai merasakan burnout (Cristiani et al., 2021).

Parental burnout adalah keadaan orangtua mengalami kelelahan yang

luar biasa akibat stress yang berkepanjangan dalam perannya sebagai orangtua.

Parental burnout ditandai dengan tiga karakter utama, yaitu kelelahan secara

emosional, adanya jarak secara emosional dengan anak (emotional distancing),

dan hilangnya pencapaian pribadi (Roskam et al., 2018).

Burnout banyak diteliti dalam berbagai domain pekerjaan, namun

burnout dalam hal pekerjaan dianggap berbeda dengan burnout yang dialami

oleh orangtua yang kemudian disebut dengan parental burnout. Salah satu

perbedaan yang paling utama adalah komponen depersonalisasi yang ada

dalam job burnout tetapi tidak ada pada perental burnout (Roskam &

Mikolajczak, 2018).

Sebuah survey yang dilakukan terhadap ribuan orang tua dari 42 negara

yang berbeda di seluruh dunia, dilaporkan 5-8% orang tua mengalami parental

burnout (Roskam & Mikolajczak, 2021). Konsep dari parental burnout berbeda

dengan kondisi stress, depresi, atau burnout secara umum, dengan konteks

yang unik terjadi pada konteks kelelahan orang tua yang berkepanjangan

karena pekerjaan mengasuh anak (Roskam et al., 2017).

Kondisi parental burnout berawal dari kelelahan emosional, dimana

kelelahan emosional kemudian berkontribusi terhadap munculnya jarak

emosional dengan anak. Jarak emosional dan juga perasaan tidak mampu

xi
mengasuh anak lalu saling menguatkan. Apabila tidak segera ditangani,

parental burnout dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah pada

kehidupan perkawinan, pengabaian terhadap anak, dan kekerasan (Paula et al.,

2021).

Parental burnout jika tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan

ledakan kemarahan, pelecehan verbal dan fisik, dan pengabaian terhadap anak

(Paula et al., 2021). Mikolajczak et al (2019) menemukan bahwa faktor resiko

Parental burnout terjadi lebih kuat jika dikaitkan dengan kelelahan kerja,

karena dapat mempengaruhi ketidakpuasan dalam pernikahan, mengakibatkan

keinginan untuk melarikan diri, penelantaran anak, dan kekerasan orang tua.

Dewi & Widiasavitri, (2019) mengatakan bahwa tekanan stres pada ibu

yang memiliki anak autism dikarenakan menghabiskan waktu yang lebih

secara signifikan dalam pengasuhan anaknya yang mengakibatkan parental

burnout memiliki tingkat yang lebih besar. Penelitian Phelps et al (2009)

membuktikan bahwa dari beberapa orangtua yang memiliki anak berkebutuhan

khusus seperti down syndrome, Tourette syndrome, autisme, dan ADHD,

menemukan bahwa yang memiliki tingkat stres pengasuhan tertinggi adalah

orangtua dari anak dengan sindrom autisme. Hal ini disebabkan oleh kesulitan

ibu dalam menghadapi masalah pada anak autis seperti perilaku yang diulang-

ulang (ritual), kesulitan berkomunikasi, perilaku yang tidak biasa, dan kesulitan

bersosialisasi (Berawi & Puspitha, 2016).

Parental burnout sangat dirasakan berat oleh ibu, perilaku yang muncul

pada anak penyandang autis menyebabkan ibu harus ekstra 24 jam mengawasi

xii
anaknya, sehingga berpengaruh pada pekerjaan dan waktu istirahat ibu. Ibu

yang memiliki anak autis juga harus mengerahkan usaha yang lebih dalam

mengasuh dan memberikan perhatian kepada anaknya (Berawi & Puspitha,

2016)

Anak autis tidak berharap untuk dilahirkan dan tidak tahu dalam

keadaan tidak sempurna dan tidak melihat masa lalu orang tuanya. Anak autis

dapat muncul dari keluarga siapa saja, tanpa memandang status pendidikan dan

ekonomi orang tersebut. Anak autis yang tumbuh dan berkembang

dibandingkan dengan anak lain seusianya membutuhkan layanan pendidikan

khusus. Oleh karena itu, peranan keluarga pada anak sangat berpengaruh,

terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritis, apabila seorang ibu tidak

bisa mengelola emosi negatifnya dengan baik, maka akan sangat

mempengaruhi psikologis anak (Poernomo & Wulansari, 2015).

Penanganan anak autis mempunyai tujuan agar anak sanggup mencapai

kemandirian hidup. Penanganan anak autis dapat mengajarkan anak dalam

mengeksplor keterampilannya, menaruh motivasi, perhatian & bimbingan agar

anak bisa berkembang menggunakan baik (Putri et al., 2021). Anak autis

didefinisikan sebagai anak yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi dengan

orang lain, dalam mencapai suatu kemandirian pada kehidupannya kelak, anak

autis memerlukan bantuan orangtua (Daulay, 2016). Anak autis memiliki

karakteristik seperti gangguan dalam kemampuan berkomunikasi, gangguan

perilaku, dan gangguan interaksi sosial (Dewi et al., 2018)

xiii
Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara di

SLB C Yakut Purwokerto pada bulan Oktober 2022 di SLB C Yakut

Purwokerto sebanyak 15 partisipan ibu yang memiliki anak autis. Peneliti

mendapatkan keterangan bahwa terdapat 7 ibu yang mempunyai pengalaman

kelelahan dalam pengasuhan dengan gejala insomnia, sakit kepala, putus asa,

malu, menarik diri dari lingkungan, menyalahkan diri sendiri, ketakutan.

Peneliti menemukan 3 partisipan yang mengalami beberapa permasalahan

dalam pengasuhan anak, seperti stress yang berlebih, kecemasan, merasa tidak

berdaya, energi merasa terkuras. Dengan demikian dari tanda-tanda tersebut,

partisipan mengalami kecenderungan kelelahan dalam pengasuhan. Ketiga

partisipan tersebut pertama berinisial YN, partisipan kedua berinisial AMD dan

partisipan ketiga berinisial TKF.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dari partisipan YN yang

merupakan seorang ibu berusia 40 tahun yang memiliki 2 anak berkebutuhan

khusus. Anak pertama laki-laki berusia 13 tahun dengan diagnosa autism, lalu

anak kedua adalah perempuan yang berusia 10 tahun dengan diagnosa

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Saat YN mengetahui hasil

diagnosa anak pertamanya, dirinya merasa kaget, marah, takut, dan

menyalahkan diri sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, kesulitan-

kesulitan dalam mendidik terus muncul, YN mengatakan bahwa anak

pertamanya sering tantrum, memberantakkan barang-barang yang ada di

rumah, sehingga harus menjaga anaknya 24 jam. Dirinya merasa tertekan

karena banyak tugas yang harus dikerjakan.

xiv
YN mengatakan bahwa anaknya sering menangis yang tidak terkontrol

sepanjang hari tanpa sebab yang membuatnya cemas dan takut. Ketika anaknya

tantrum dan tidak bisa dikendalikan terkadang YN memukul atau mencubit.

YN mengatakan bahwa dirinya ingin bekerja lagi seperti dulu, dirinya merasa

bosan dan stress jika kesehariannya hanya di rumah bersama anak. Suaminya

yang menginginkan perhatian dari YN merasa tidak mendapatkan perhatian

darinya, sehingga sering berantem, beda pendapat. YN merasa susah membagi

perhatiannya antara anak dan kepada pasangan namun belum maksimal.

Dirinya merasa tidak punya energi untuk merawat anak-anaknya, sedangkan

dirinya menginginkan ada ruang untuk dirinya agar bisa ke salon,

menenangkan pikiran. Berdasarkan wawancara tersebut, YN terkuras secara

emosional dalam mengasuh anak, kehilangan arah sebagai ibu, sehingga tidak

bisa mengatasi tugas sebagai ibu dan istri. Hal ini berdampak kualitas terhadap

pasangan menjadi buruk, sehingga timbul kebencian. Paula et al (2021)

menjelaskan Pada gilirannya, mengasuh anak atau tanggung jawab sebagai

orang tua dalam perawatan dan pengasuhan anak-anak adalah pekerjaan yang

melelahkan yang membutuhkan waktu dan, seringkali dengan mengorbankan

kekurangan perawatan diri, yang dapat menyebabkan stres, menjadikannya

kronis dan menyebabkan kelelahan fisik dan emosional.

Adapun hasil wawancara yang dilaksanakan pada partisipan pertama

yang berinisial AMD yaitu seorang ibu berusia 33 tahun yang memiliki dua

orang anak kembar yang berusia 11 tahun dimana kedua anak kembar tersebut

mengalami autis. Partisipan saat ini berjualan online shop, partisipan

xv
mengatakan tidak dapat mengerjakan pekerjaanya dengan tuntas yang

membuat AMD marah dengan diri sendiri, sering menyalahkan diri sendiri dan

perasaan yang kacau membuat konsentrasinya pecah sehingga menimbulkan

stress dan rasa tidak puas dengan pendapatan yang sedikit.

AMD pernah marah yang tidak terkontrol ketika mengasuh dan

mendampingi anak yang membuatnya sering memarahi dengan kata-kata kasar

dan menggunakan nada yang tinggi, membentak, selalu merasa kesal yang

membuatnya ingin memukul anaknya agar tidak nakal. Berdasarkan

wawancara tersebut, AMD mengalami kecenderungan kelelahan dalam

pengasuhan yang mengakibatkan dirinya kurangnya kontrol emosi, kehilangan

kesabaran, ketidakpuasan diri, dan perlakukan kekerasan fisik maupun verbal.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paula et al (2021) yaitu

kelelahan dalam pengasuhan jika tidak diidentifikasi dapat mengakibatkan

ledakan kemarahan, kekerasan verbal dan fisik, dan pengabaian terhadap anak-

anak.

Partisipan ketiga yang berinisial TKF merupakan seorang ibu berusia

32 tahun yang memiliki anak autis yang berusia 10 tahun. Sejak anaknya

berusia 3 tahun, TKF merasa ada yang berbeda dari tumbuh kembang anaknya,

seperti lebih tertarik sesuatu yang berputar-putar, dan melakukan sesuatu yang

berulang-ulang. TKF memutuskan membawa anaknya ke Rumah Sakit untuk

melakukan pemeriksaan, diagnosis dokter mengatakan anaknya mengalami

autis. TKF mengatakan saat itu langsung terdiam, tidak percaya, dan bingung.

Setelah beberapa hari perasaannya mulai berkecamuk, hancur dan marah

xvi
dengan keadaan serta cemas karena memikirkan masa depan anaknya. Dirinya

tidak mau bersosialisasi dengan lingkungan serta mengurung diri dalam

beberapa waktu karena malu.

TKF mengeluh sering sakit kepala, jantung berdebar ketika menghadapi

anak. Dirinya merasa hidupnya berantakan, putus asa, tidak berdaya untuk

mengasuh anak. TKF mengatakan pernah berpikir untuk bunuh diri karena

merasa sudah tidak ada jalan keluar lagi. Berdasarkan wawancara tersebut TKF

merasa terkuras secara emosional dan mengalami frustasi, tertekan, merasa

terbelenggu oleh tugas-tugas rutin dalam mengasuh anaknya yang autis. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Roskam & Mikolajczak (2020)

mengatakan bahwa ada efek utama dari kelelahan orang tua yaitu melarikan

diri, ide untuk bunuh diri, pengabaian orang tua, dan kekerasan. Semakin tinggi

tingkat kelelahan orang tua, semakin besar konsekuensinya.

Fenomena yang terjadi diatas inilah yang melatarbelakangi peneliti

tertarik dalam meneliti hal tersebut. Berdasarkan masalah tersebut maka

tampaklah perasaan kelelahan secara berlebihan dalam mengasuh anak autis.

Ketiga partisipan tersebut mengalami parental burnout berupa fisik, emosi dan

mental yaitu sakit kepala, jantung berdebar, mengalami kebosanan, mengurung

diri, putus asa, kesepian, mudah tersinggung dan cemas. Namun, partisipan

TKF cenderung lelah secara emosional dan mental karena kurangnya dukungan

keluarga. Kurangnya dukungan yang didapatkan TKF dari tetangga dan

keluarga sehingga kondisi mental TKF lebih sensitif, stress, mengasingkan diri,

dan kehilangan semangat untuk hidup. Hal tersebut menimbulkan resiko

xvii
ketidakpuasan terhadap pernikahan, pengabaian terhadap anak dan kekerasan.

Oleh karena itu gambaran parental burnout pada ibu yang memiliki anak autis

perlu untuk diteliti lebih dalam.

B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan dari penelitian yang

diajukan peneliti adalah bagaimana faktor resiko parental burnout pada Ibu

yang memiliki anak autis di SLB C Yakut Purwokerto?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang faktor resiko

parental burnout pada ibu yang memiliki anak autis di SLB C Yakut

Purwokerto.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu Psikologi

khususnya pada Psikologi keluarga tentang parental burnout pada ibu yang

memiliki anak autis.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi pihak sekolah

untuk mengadakan sosialisasi parenting mengenai parental burnout.

E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya


Penelitian ini dilakukan karena peneliti ingin mengkaji faktor resiko

parental burnout pada ibu yang memiliki anak autis menggunakan metode

xviii
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Adapun perbedaan dengan

penelitian sebelumnya, yaitu:

Hubert & Aujoulat (2018) melakukan penelitian terhadap ibu dari anak

yang tidak berkebutuhan khusus, dengan hasil yang menunjukkan bahwa ibu

mengalami kelelahan secara fisik dan emosional. Perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan peneliti terletak pada karakteristik anak. Samsuddin

(2013) juga melakukan penelitian burnout terhadap terapis anak berkebutuhan

khusus yang hasilnya adalah subjek mengalami kelelahan emosional, menarik

diri dan rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri. Perbedaan penelitian ini

adalah penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada subjek.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Fauziah & Kartikasari (2017)

yang melakukan penelitian pada guru SLB dengan hasil menunjukkan bahwa

burnout yang dirasakan oleh guru pada dimensi kelelahan emosional adalah

tingkat rendah (86,36%), dimensi depersonalisasi memiliki burnout tingkat

rendah (77,27), dan dimensi penghargaan diri sendiri memiliki tingkat sedang

(54,55%). Faktor-faktor yang menjadi sumber burnout pada guru antara lain

karakteristik anak didik yang tergolong sulit ditangani dan beban kerja yang

berlebih karena keterbatasan tenaga pengajar. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada subjek dan fokus

penelitian.

xix
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Parental Burnout

1. Konsep Parental Burnout

Istilah Parental burnout pertama kali dicetuskan oleh Roskam,

mikolajczak, dan Raes (2017) yang melakukan penelitian pertama kali

mengenai kelelahan dalam pengasuhan yang dialami orangtua. Awalnya

penelitian mengenai parental burnout kurang dapat diterima karena

memiliki tumpang tindih pada burnout dalam dunia kerja. Parental

burnout dapat diasesment pertama kali menggunakan parental burnout

inventory dengan menggunakan Maslach Burnout Inventory (MBI),

Parental Stress Questionnaire (PSQ) dan Beck Depression Inventory

(BDI). Hasil riset ditemukan parental burnout bukan hanya sekedar

burnout, simtom stress dan depresi namun orangtua mengalami keletihan

bekerpanjangan dan harapan yang dimiliki untuk memerankan peran

sebagai orang tua (Roskam et al., 2017).

Salah satu teori yang menjelaskan bagaimana parental burnout

terjadi adalah teori Between Risk and Resources (Roskam & Mikolajczak,

2018). Parental burnout adalah sindrom psikologis akibat stres kronis

pada orangtua dalam pengasuhan. Hal ini ditandai dengan kelelahan

emosional, jarak emosional dari anak-anak, dan hilangnya kepuasan orang

xx
tua, semuanya berbeda dengan apa yang orang tua rasakan sebelumnya

tentang mengasuh anak.

Ibu yang mengalami parental burnout mengalami kelelahan secara

fisik dan mental, adanya keluhan fisik yang mengakibatkan kualitas tidur

berkurang, menjaga jarak emosi pada anaknya dan merasa tidak

berkompeten menjalankan peran sebagai orangtua (Roskam &

Mikolajczak, 2018).

Kehadiran seorang anak dengan gangguan autisme dapat

memunculkan fase dinamika psikologis yang dirasakan seorang ibu

(Lerner & Kline, 2006). Fase-fase tersebut adalah :

a. Fase shock, yaitu ketika seorang ibu mengetahui pertama kali bahwa

anaknya mengalami autis, yang dirasakan adalah perasaan kaget

sehingga seolah-olah mati rasa sejenak.

b. Fase ketidakpercayaan, yaitu ketika mendengar anaknya didiagnosis

autis, perasaan ibu akan muncul berupa ketidakpercayaan.

c. Fase penolakan atau penyangkalan, yaitu perasaan penolakan dari

kesadaran ibu bahwa anaknya mengalami autis dan ibu berusaha untuk

mencari diagnosis banding.

d. Fase marah, yaitu perasaan penolakan secara meledak karena kondisi

anaknya yang autis semakin nyata.

e. Fase tawar-menawar (bargaining), yaitu perasaan yang mulai sepakat

dengan diagnosis bahwa anaknya autis dan mulai memberi keputusan

xxi
bahwa untuk mengurangi efek dari autis tersebut dengan memberikan

segala kontribusi adalah sikap yang baik.

f. Fase depresi, yaitu perasaan putus asa karena ibu merasa sudah

melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah anaknya yang autis.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ketika anak

didiagnosa gangguan autis, seorang ibu dapat memunculkan fase dinamika

psikologis yaitu fase shock, fase ketidakpercayaan, fase penolakan atau

penyangkalan, fase marah, fase tawar menawar, dan fase depresi.

2. Aspek parental burnout

Menurut Roskam & Mikolajczak (2018) terdapat tiga aspek parental

burnout:

a. Kelelahan emosional (Emotional Exhaustion)

Merupakan aspek yang diakibatkan karena lelah yang

berkepanjangan secara fisik (sakit kepala, flu, insomnia), mental (merasa

tidak bahagia, tidak berharga, rasa gagal) dan emosional (bosan, sedih,

tertekan). Ketika mengalami kelelahan, individu akan merasakan

energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan kosong yang tidak

dapat diatasi lagi. Orangtua merasa lelah ketika bangun di pagi hari dan

harus menghadapi hari lain dengan anak-anaknya. Orang tua merasa

terkuras secara emosional oleh perannya (Septianisa & Caninsti, 2018).

b. Jarak emosional terhadap anak (Emotional distancing)

Merupakan aspek yang ditandai dengan keengganan untuk

melakukan melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Individu

xxii
cenderung ingin menjaga jarak dengan orang lain akan tetapi dituntut

untuk tetap bersosialisasi maka keluarlah perilaku bersikap acuh, dingin.

Orangtua yang kelelahan menjadi semakin tidak terlibat dalam

pengasuhan dan hubungan dengan anak-anaknya. Orangtua melakukan

seminimal mungkin untuk anak-anaknya. Interaksi terbatas pada aspek

fungsional/instrumental dengan mengorbankan aspek emosional (Ramli

et al., 2022).

c. Hilangnya pencapaian pribadi (Low personal accomplishment)

Orangtua merasa tidak dapat menangani masalah dengan tenang

dan efektif lagi, orangtua tidak menikmati bersama anak-anaknya lagi.

merupakan aspek yang ditandai dengan menurunnya self-efficacy pada

individu membuat rendahnya motivasi dan penurunan rasa percaya diri

karena merasa dirinya tidak memiliki kompetensi (Fauziah &

Kartikasari, 2017).

Berdasarkan pada uraian aspek yang telah dijelaskan diatas, dapat

disimpulkan bahwa individu dapat dikatakan mengalami parental burnout

menurut Roskam & Mikolajczak (2018) apabila individu mengalami

kelelahan emosional, jarak emosional terhadap anak, dan hilangnya

pencapaian pribadi.

3. Faktor Resiko Parental Burnout

Faktor resiko dari parental burnout menurut Paula et al (2021) yaitu :

a. Ketidakpuasan terhadap pernikahan

xxiii
Parental burnout erat kaitannya dengan konflik perkawinan dan

pola pikir kerenggangan pasangan, yang dapat menyebabkan

ketidakpuasan terhadap pernikahan (Cheng et al., 2020).

b. Pengabaian terhadap anak

Pengabaian terhadap anak dapat terjadi pada ibu, hal ini

dikarenakan ibu tidak memiliki pilihan untuk berhenti atau menunda

peran sebagai ibu, sehingga memunculkan ide untuk mengabaikan anak

dan bahkan sampai melarikan diri (Roskam & Mikolajczak, 2018)

c. Kekerasan

Tingginya tingkat stress orang tua kepada anak dapat

menimbulkan kekerasan secara fisik misalnya dalam rangka pemberian

disiplin kepada anaknya (Brianda et al., 2020).

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti dapat mengambil

kesimpulan bahwa faktor resiko individu mengalami parental burnout

menurut Paula et al (2021) yaitu ketidakpuasan terhadap perkawinan,

keinginan untuk bunuh diri dan kekerasan.

B. Ibu yang Memiliki Anak Autis

Tokoh utama yang mempunyai peranan penting dalam keluarga

adalah ibu. Ibu mampu melakukan banyak hal untuk kebutuhan anggota

keluarganya seperti menata rumah, memasak, mendidik, dan mengasuh anak.

Sosok ibu tidak bisa dideskripsikan begitu banyaknya peran yang

dilakukannya. Kedudukan ibu dalam keluarga dan masyarakat perlu

ditingkatkan dan dipelihara agar bisa berperan yang besar bagi pembangunan

xxiv
bangsa dengan memperhatikan harkat dan martabat serta kodratnya (Zahrok

& Suarmini, 2018).

Ibu adalah landasan belajar sepanjang hayat seorang anak. Ibu juga

diidentikkan sebagai ujung tombak pengasuhan dan tanggung jawab

membesarkan anak. Peran ibu adalah menjadi perawat utama anaknya.

Kepribadian ibu yang peduli sangat mempengaruhi baik buruknya perilaku

anak. Ibu harus berperan aktif dalam pengasuhan anak karena hal ini

berdampak pada anak (Maysa & Khairiyah, 2019).

Saat anak dalam usia perkembangan, keluarga berpengaruh sangat

besar salah satunya ibu. Salah satu peranan seorang ibu bagi pendidikan anak

adalah memberikan pendidikan dasar, keterampilan dasar, sikap, seperti

sopan santun, budi pekerti, rasa aman, estetika, kasih sayang, dan dasar-dasar

dalam menanamkan kebiasan-kebiasaan yang baik dan mematuhi peraturan.

Kewajiban sebagai seorang ibu adalah mendidik, mengasuh dan membina

anak di rumah untuk membentuk pribadi anak. Pembentukan kepribadian

anak dapat melalui dengan sosialisasi. Adanya sosialisasi yang baik, maka

anak akan merasa diperhatikan oleh ibunya sehingga anak dapat membentuk

kepribadian yang baik karena mendapat motivasi. Oleh karena itu, ibu sangat

berpengaruh besar terhadap sosialisasi anak.

Ibu memiliki peranan dan mampu melakukan hal-hal untuk kebutuhan

semua anggota keluarga. Ibu adalah sosok seorang super women yang mampu

untuk menata rumah, memasak, mendidik, mengasuh anak. Adanya peran ibu

yang tidak sedikit, tidak bisa digambarkan seberapa hebat sosok seorang ibu.

xxv
Sosok yang memberikan keseimbangan dalam sebuah keluarga adalah ibu.

Oleh karena itu untuk membangun bangsa, kedudukan para ibu dalam

keluarga dan masyarakat perlu ditingkatkan dan dipelihara sehingga dapat

memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya dengan memperhatikan harkat,

martabat, dan kodratnya (Zahrok & Suarmini, 2018).

Memiliki anak yang mengalami autis merupakan pukulan tersendiri

bagi orang tua terutama bagi sosok ibu karena ibu memiliki ikatan emosional

yang kuat dengan anak. Ibu cenderung lebih mudah merasa bersalah

dibandingkan dengan ayah karena ibu merasa menjadi sumber penyebab

gangguan yang diderita anaknya dengan alasan yang subyektif. Sulit bagi ibu

untuk menerima kenyataan bahwa anaknya mengalami autis. Ibu yang tidak

bisa menerima anaknya akan menunjukkan sikap yang kurang memberikan

perhatian kepada anak, menyalahkan, mengabaikan, mencemooh, tidak mau

bercakap dengan baik pada anak, dan terlalu mengawasi (Indiarti, 2020).

Ibu yang memiliki anak autis seringkali merasa sedih, kelelahan,

marah, dan frustrasi. Seorang ibu menginginkan orang di sekitarnya

memahami, namun untuk memahami keadaan ini tidak semua orang bisa

memahami. Ibu sebagai pengasuh utama agar dapat keluar dari situasi yang

sulit mencoba berusaha menerima kondisi anaknya. Proses ini dipengaruhi

oleh dua faktor yaitu dukungan lingkungan sosial dan pengalaman mengasuh

anak autis. Selain itu, pengalaman dan kondisi spiritual sang ibu juga

menentukan keyakinannya untuk kuat dan mampu membesarkan dan

xxvi
mengasuh anak yang istimewa, serta mampu menerima takdir Tuhan (Nura &

Sari, 2018).

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti dapat mengambil

kesimpulan bahwa ibu adalah orang pertama yang menjadi landasan dari

tanggungjawab mendidik dan merawat dalam pembelajaran kehidupan anak-

anaknya. Ibu yang memiliki anak autis merupakan pukulan tersendiri bagi

orang tua terutama bagi sosok ibu karena dirinya memiliki ikatan emosional

yang kuat dengan anak. Ibu yang memiliki anak autis seringkali merasa sedih,

kelelahan, marah, dan frustrasi. Gejala tersebut dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu dukungan lingkungan sosial dan pengalaman mengasuh anak autis

C. Anak Autis

1. Pengertian Anak Autis

Mirza Rina (2016) mengatakan autisme merupakan keabnormalan

yang jelas serta adanya gangguan interaksi sosial, perkembangan dalam

berkomunikasi, keterbatasan yang jelas dalam ketertarikan dan aktivitas.

Kanner (2019) pertama kali memperkenalkan autis pada tahun 1943. Autis

merupakan ketidakmampuan dalam menjalin hubungan dengan orang lain,

gangguan tersebut nampak melalui kemampuan penguasaan berbahasa yang

tertunda, aktivitas bermain yang repetitif (pengulangan), arah ingatan yang

kuat, ecocalia (mengulang kata), pembalikan kalimat, mutism (tidak mau

berbicara), serta obsesi untuk mempertahankan keteraturan dalam

lingkungannya (Dewi et al., 2018).

xxvii
Faktor yang menyebabkan anak autisme yaitu berat badan lahir,

riwayat asfiksia, usia ibu saat lahir, usia ayah saat lahir, riwayat penggunaan

antidepresan, ras ibu, cara persalinan, dan riwayat terkena paparan asap

tembakau pada ibu hamil. ibu hamil, jenis kelamin bayi, jumlah kehamilan,

riwayat stress saat ibu hamil, riwayat perdarahan ibu, riwayat MP-ASI

sebelum usia 6 bulan, riwayat infeksi pada ibu hamil. Secara langsung atau

tidak langsung dari beberapa faktor tersebut akan menghambat

perkembangan otak janin sehingga mengarah pada autisme (Pangestu &

Fibriana, 2017).

Anak dengan kondisi autisme terdapat gangguan perkembangan dalam

berbagai bidang yaitu, gangguan interaksi sosial (penolakan atau

penghindaran pertemuan tatap muka), gangguan permainan (permainan

yang sangat monoton), perilaku ritualistik, hiperaktivitas (keinginan untuk

mengulang gerakan tertentu) tertentu), baik komunikasi verbal maupun non

verbal (komunikasi dalam bahasa berbeda), gangguan perasaan dan

emosional (kejang tak terkendali) dan gangguan persepsi sensoris (kepekaan

terhadap sensor tertentu). (Pangestu & Fibriana, 2017).

Tahun 2010, Centre for Disease Control and Prevention Amerika

Serikat menyebutkan, saat ini 1 dari setiap 110 anak menderita autisme.

Angka ini meningkat 57% dari data tahun 2002 yang diperkirakan 1 dari

150 anak. Badan Penelitian Statistik (BPS) menyebutkan sejak 2010 hingga

2016 kurang lebih 140.000 anak di bawah usia 17 tahun menderita autisme

di Indonesia (Andiani & Fauziah, 2016).

xxviii
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa anak autis memiliki

gangguan perkembangan neurobiologis meliputi gangguan interaksi,

gangguan perilaku dan gangguan bahasa. Saat anak berusia kurang dari 3

tahun, mulai dapat terlihat gangguan perkembangan pada anak autis.

2. Karakteristik Anak Autis

Dewi et al (2018) mengatakan anak autis memiliki karakteristik

berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Karakteristik tersebut yaitu :

a. Kemampuan komunikasi

Anak dengan gangguan autis sering mengoceh kata-kata yang tidak

dapat memiliki arti secara berulang dan sulit dipahami orang lain,

berbicara tidak terbiasa dengan komunikasi dan lebih suka meniru atau

belajar dengan hafalan. Anak autis berkomunikasi dengan cara menunjuk

suatu objek agar orang lain dapat memahami maksudnya. (Pangestu &

Fibriana, 2017).

b. Gangguan perilaku

Anak autis memiliki gangguan limbik yang menjadi pusat

emosinya, anak akan mengalami kesulitan mengendalikan emosinya,

marah, tantrum, marah tanpa sebab, agresi, dan ketakutan terhadap hal-

hal tertentu. Anak-anak menyukai rutinitas yang dilakukan tanpa

memikirkannya dan dapat berdampak buruk jika dilarang, karena akan

membuat mereka marah. Gangguan lobus perientalis menjadi penyebab

kemampuan anak berinteraksi sosial mengalami hambatan perhatian

terhadap lingkungan (Santoso & Kawangmani, 2019).

xxix
c. Gangguan Interaksi Sosial

Gangguan interaksi sosial dapat dilihat ketika anak menghindar

saat melakukan eye contact, jika dipanggil tidak menoleh, tidak dapat

merasakan empati, tidak memiliki keinginan untuk melakukan interaksi

dengan orang lain, suka bermain sendiri, menjauh jika didekati untuk

diajak bermain, dan seringkali menolak untuk dipeluk. Cara anak autis

berinteraksi yaitu dengan menarik-narik tangan orang lain agar dapat

memahami keinginannya.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik

pada anak autis yaitu kemampuan komunikasi, gangguan perilaku, dan

gangguan interaksi sosial.

3. Gejala Autis

Gejala autisme pada anak dapat diketahui sejak usia dini sebelum anak

menginjak usia tiga tahun. Terdapat ciri-ciri anak autis (Santoso &

Kawangmani, 2019) yaitu :

a. Keterlambatan bahkan kesulitan berbicara

b. Kesulitan untuk berkomunikasi

c. Ketidakmampuan dalam memahami perasaan orang lain

d. Menghindari kontak fisik

e. Sensitif terhadap suara keras

f. Senang dengan tindakan yang berulang-ulang

g. Perkembangan tidak seimbang

h. Kesulitan belajar

xxx
i. Senang menggoyang-goyang atau berputar, atau menggerakkan tangan

(bertepuk tangan).

D. Kerangka Berpikir

Bukan hal yang mudah untuk mendidik anak autis, meskipun

melibatkan terapis. Adanya penyusunan prioritas program pendidikan harus

tetap ada dengan keterlibatan ibu. Keberhasilan anak autis tidak lepas dari

tanggung jawab seorang ibu dan dasar pendidikan yang digunakan (Suteja,

2014).

Ibu yang terlibat langsung dalam pengasuhan anak autis akan melalui

banyak fase emosional yang seringkali dirasakan sebelum menerima keadaan.

fase tersebut adalah fase syok, fase ketidakpercayaan, fase penolakan, fase

kemarahan, fase negosiasi (barganing), fase putus asa (Lerner & Kline,

2006). Bermula dari fase-fase tersebut, ketika seorang ibu mengetahui bahwa

anaknya mengidap autisme merupakan proses yang panjang untuk

menerimanya.. Menerima kondisi anak adalah kunci untuk merawat anak

autis (Andiani & Fauziah, 2016).

Terdapat perbedaan dampak pada anak autisme pada setiap tahap

perkembangannya, dampak autisme sebelum sekolah adalah tantrum (luapan

emosi), kurangnya eye contact dan senyum, terlambat bicara, tidak bisa

memahami aturan dan suka menyendiri. Setelah memasuki usia sekolah,

sikap menarik diri akan berkurang, tetapi masih memiliki kesulitan ketika

bergaul dengan anak seusianya karena tidak bisa berempati, memiliki

hambatan dalam bahasa, dan mengembangkan tugas kognitif yang tidak

xxxi
seimbang. Anak autis akan mengalami gangguan dalam interaksi sosial

timbal balik, gangguan dalam komunikasi verbal dan nonverbal serta bahasa.

Gangguan autisme merusak kesadaran sosial, keterampilan, dan interaksi

sosial, ketiganya penting dalam kehidupan sosial (Pangestu & Fibriana,

2017).

Anak autis menunjukkan banyak karakteristik unik dan terkadang

aneh, termasuk pada interaksi sosialnya, komunikasi dengan lingkungan, serta

perilaku. Kelainan anatomi dan fungsi bagian otak tertentu, diikuti dengan

gejala yang dapat diamati. Interaksi sosial anak autis ini akan memiliki gejala

berupa ketidakmampuan untuk melakukan interaksi sosial yang memadai,

ketidakmampuan untuk bermain dengan teman, ketidakmampuan untuk

mengetahui apa yang dirasakan oleh orang sekitar serta kurang adanya timbal

balik hubungan sosial dan emosional. Gejala autisme pada gangguan

komunikasi adalah keterlambatan bicara, bahkan gagal berkembang sama

sekali, sering menggunakan bahasa asing dan variasi permainan yang buruk.

Sedangkan pada gangguan tingkah laku, gejala autisme terpaku pada aktivitas

ritual, memiliki gerakan-gerakan yang aneh, aneh dan seringkali sangat kaku

pada bagian-bagian objek tertentu (Daulay, 2016).

xxxii
Berdasarkan penjelasan diatas dapat digambarkan melalui bagan

sebagai berikut :

Ibu yang memiliki anak Parental burnout


autis

Menimbulkan :
Gambar 1. Kerangka Berpikir Faktor resiko :
1. Kelelahan
a. Fisik : sakit a. Ketidakpuasan
kepala, terhadap
insomnia perkawinan
b. Mental : merasa b. Pengabaian terhadap
tidak Bahagia,
anak dan melarikan
merasa gagal
diri
c. Emosi : bosan,
c. Kekerasan
tertekan, sedih
2. Depersonalisasi
Enggan melakukan
hubungan dengan orang lain
3. Berkurangnya penghargaan
diri

Dinamika psikologis
1. Shock
2. Ketidakpastian
3. Penolakan
4. Marah
5. Tawar menawar
6. Depresi

xxxiii
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode

fenomenologi. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang

diarahkan pada fenomena yang dirasakan oleh subjek penelitian seperti

persepsi, perilaku, motivasi, tindakan secara keseluruhan dan melalui

deskripsi verbal, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Barlian, 2016).

Penelitian kualitatif memfokuskan pada proses serta cara dalam

bagaimana mengkaji perspektif dan partisipan, menggunakan teknik yang

bersifat interaktif dan fleksibel, yang mana bahwa penelitian kualitatif

dimaksudkan untuk dapat memahami suatu fenomena sosial dari sudut

pandang yang dirasakan oleh partisipan (Siyoto & Sodik, 2015).

Pendekatan metode fenomenologis bertujuan untuk mengetahui lebih

dalam terkait strutkur kesadaran yang berbentuk suatu pengalaman

manusia tentang suatu fenomena atau gejala, fokusnya pada pelaku dalam

memandang dan menafsirkan pada suatu fenomena yang terjadi (Raco,

2010).

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

fenomenologis, yang secara khusus menerapkan analisis interpretasi

fenomenologi atau Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) yang

xxxiv
merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian kualitatif yang bertujuan

untuk menggali, mendalami, menemukan dan menguji bagaimana seorang

individu dalam memahami dan memaknai intisari dari hal-hal penting

yang telah terjadidalam kehidupan mereka masing-masing yang bisa

disebut sebagai pengalaman hidup juga peristiwa dan status yang tidak

hanya mengenai kehidupan pribadinya melainkan juga dari kehidupan

sosialnya (Kahija, 2017)

Terdapat tiga dasar dalam penelitian IPA, yaitu yang pertama

fenomenologi yang berarti penelitian yang berarti mengaitkan dengan

fenomena pengambilan keputusan, yang kedua hermeneutika yang berarti

memahami pernyataan dari ungkapan partisipan yang masih terhubung

dengan keseluruhan transkrip, dan yang ketiga idiografi yang berarti

adanya pengamatan terhadap keunikan yang ditunjukan maupun yang

tidak ditunjukkan oleh partisipan (Kahija, 2017).

Melalui pendekatan fenomenologis yang dianggap sesuai dalam

penelitian ini dengan tujuan untuk dapat memahami secara menyeluruh

dan mendalam terkait fenomena yang diteliti.

B. Fokus Penelitian

Topik yang menjadi fokus penelitian ini adalah faktor resiko

parental burnout pada ibu yang memiliki anak autis. Parental burnout

merupakan sindrom psikologis akibat stres kronis pada orangtua dalam

pengasuhan. Orangtua yang mengalami parental burnout mengalami

kelelahan secara fisik dan mental, adanya keluhan fisik yang

xxxv
mengakibatkan kualitas tidur berkurang, menjaga jarak emosi pada

anaknya dan merasa tidak berkompeten menjalankan peran sebagai

orangtua.

C. Partisipan Penelitian

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik

snowball sampling. snowball sampling merupakan teknik pengambilan

sampel yang mula-mula dalam jumlah kecil, kemudian membesar. Dalam

penentuan sampel, pertama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena du

orang ini belum merasa lengkap atas data yang diberikan, maka peneliti

mencari orang lain yang dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua

orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin

banyak (Sugiyono, 2016).

Pengambilan partisipan penelitian dilakukan mengarah kepada

individu-individu yang memiliki pengalaman sesuai fenomena yang akan

diteliti. Peneliti telah menetapkan terlebih dahulu kriteria-kruteria

partisipan yang telah ditentukan yaitu :

1. Partisipan merupakan Ibu yang memiliki anak autis yang bersekolah di

SLB Yakut C Purwokerto

2. Partisipan merupakan Ibu yang mengasuh anak autis berusia 10-15

tahun

3. Partisipan mempunyai anak yang telah didiagnosa autis sejak usia 3

tahun

xxxvi
4. Partisipan merupakan Ibu dari anak autis yang mengalami parental

burnout

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data berupa

wawancara semi terstruktur menggunakan pedoman daftar pertanyaan

yang bersifat terbuka. Partisipan merasa leluasa ketika menceritakan serta

menjabarkan pengalaman yang dialami dan partisipan tidak memiliki rasa

dibatasi oleh bias peneliti serta penemuan penelitian sebelumnya sehingga

peneliti menggunakan pertanyaan yang bersifat terbuka. Langkah pertama

setelah memperoleh partisipan yaitu dengan building rapport dan

menjelaskan mengenai informed consent untuk kemudian disetujui.

Sebelum melakukan sesi wawancara, peneliti membuat prosedur

perekaman dengan daftar pertanyaan yang berdasarkan rumusan

pertanyaan penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan

data wawancara.

1. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

mengkonstruksikan dalam topik. Esterberg (2002) mengatakan jika

wawancara adalah jantungnya penelitian sosial. Dengan melakukan

wawancara, peneliti akan mengetahui sesuatu yang secara mendalam

tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dann fenomena

yang terjaditidak dapat dilakukan melalui observasi.

xxxvii
Wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ialah in-

depth interview yang mempunyai tujuan memperoleh informasi yang

mendalam tentang makna subjektif, pemikiran, perasaan, sikap,

perilaku, persepsi, keyakinan, dan motivasi (Gumilang, 2016).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan Teknik wawancara

semi terstruktur. Menurut Sugiyono (2016) dalam semi terstruktur

pertanyaannya bersifat terbuka, namun juga memiliki batasan tema dan

alur, urutan, dan penggunaan kata. Tetapi dalam penelitian

fenomenologi, Kahija (2017) mengatakan jika peneliti diperbolehkan

saat wawancara tanpa menggunakan panduan. Hal tersebut

mendapatkan hasil yang mendalam oleh sumber data, namun mengalir

tanpa panduan menggunakan jam terbang yang tinggi. Maka dari itu

wawancara semi struktur adalah pilihan terbaik dalam penelitian ini,

namun masih menggunakan pedoman wawancara, dan memiliki

fleksibilitas demi tertunjangnya adat lebih lengkap.

Alat yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut :

a. Pedoman wawancara, berisikan pertanyaan berdasarkan indikator

yang telah peneliti rangkai mengenai hal-hal yang ingin digali oleh

peneliti.

b. Alat tulis yang terdiri dari pulpan, penghapus, dan buku catatan,

guna untuk mencatat segala hasil temuan peneliti pada saat

melakukan penelitian.

xxxviii
c. Alat perekam (handphone), digunakan untuk merekam suara ketika

wawancara berlangsung.

2. Observasi

Menurut Creswell (2015) menyatakan observasi merupakan

sebuah proses penggalian data yang dilakukan langsung oleh peneliti

dengan cara melakukan pengamatan mendetail terhadap manusi sebagai

objek observasi dan lingkungannya dalam kancah riset. Creswell (2015)

lebih menekankan bahwa observasi tidak dapat memisahkan objek

manusia dengan lingkungannya karena manusia dan lingkungan adalah

satu kesatuan. Manusia adalah produk dari lingkungannya dimana

terjadi proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya (Sidiq &

Choiri, 2019). Penelitian ini, peneliti menggunakan observasi

partisipan, dimana pada saat observasi berlangsung, peneliti terjun

langsung bersama partisipan dari penelitian ini.

E. Kredibilitas Penelitian

Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian

kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan, triangulasi, analisis kasus negatif, bahan referensi

dan member check. Namun pada penelitian ini, peneliti hanya

menggunakan kredibilitas data dengan perpanjangan pengamatan dan

bahan referensi.

a. Perpanjangan pengamatan yaitu peneliti kembali ke lapangan,

melakukan pengamatan, wawancara kembali dengan partisipan yang

xxxix
ditemui ataupun yang baru. Perpanjangan pengamatan ini, akan

membuat hubungan peneliti dengan partisipan semakin akrab sehingga

partisipan menjadi terbuka, dan menjadi saling percaya sehingga

peneliti mendapatkan data yang lengkap.

b. Meningkatkan ketekunan yaitu melakukan pengamatan dengan lebih

cermat dan berkesinambungan. Dengan meningkatkan ketekunan,

peneliti dapat melakukan pengecekan kembaliapakah data yang telah

ditemukan salah atau tidak. Selain itu, peneliti juga dapat memberikan

deskripsi data yang akurat dan sistematis.

c. Triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan

berbagai cara, dan berbagai waktu. Terdapat tiga teknik triangulasi,

yaitu sumber, triangulasi teknik, triangulasi waktu (Creswell, 2013) :

1) Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilaksanakan dengan meninjau kembali

informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Triangulasi sumber

menunjukkan penulis untuk mengumpulkan segala informasi dari

sumber-sumber yang tersedia, karena informasi yang serupa lebih

dapat diandalkan ketika digali dari sumber yang berbeda.

2) Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik didefinisikan triangulasi yang dapat

dilakukan dengan menggunakan beberapa teori yang relevan pada

analisis data penelitian.

3) Triangulasi waktu

xl
Waktu sering mempengaruhi kredibilitas data. Pengambilan

data harus disesuaikan dengan kondisi narasumber.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya

dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, Menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang

akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada

orang lain (Sugiyono, 2010).

Penelitian ini menggunakan metode analisis IPA (Interpretative

Phenomenological Analysis). Analisis dalam IPA adalah analisis terhadap

transkrip dengan menjalankan tiga pilar penelitian dengan IPA, yaitu (1)

fenomenologi bersandar pada epoche, (2) interpretasi yang bersandar pada

pemahaman setiap pernyataan partisipantanpa melepaskannya dari seluruh

transkrip, dan (3) idiografi yang memperhatikan keunikan partisipan.

Tujuan analisis ini untuk mengungkap secara detail bagaimana partisipan

memaknai dunia personal dan sosial kehidupannya. Pendekatan ini

berusaha mengeksplorasi pengalaman pribadi seseorang tentang peristiwa

tertentu (Kahija, 2017).

Menurut Kahija (2017) analisis IPA (Interpretative

Phenomenological Analysis) dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu :

xli
1. Peneliti membaca transkrip berulang-ulang

Peneliti mulai menganalisis data dimulai dengan membaca dan

membaca ulang transkrip yang telah dibuat agar dapat lebih mendalami

diri dalam data asli

2. Peneliti memberi catatan pada transkrip (initial notting)

Peneliti membuat catatan-catatan awal dengan memberi

komentar-komentar (komentar eksploratoratoris) tentang maksud dari

transkrip itu. Jadi peneliti melakukan komentar pernyataan interpretatif

peneliti terhadap pernyataan partisipan yang dirasakan penting dalam

transkrip. Terdapat tiga jenis komentar eksploratoris, yaitu (1) komentar

deskriptif menggunakan ketikan biasa, (2) komentar linguistis

menggunakan ketikan miring, (3) komentar konseptual menggunakan

ketikan garis bawah.

3. Peneliti mengembangkan tema yang muncul (tema emergen)

Peneliti mulai membuat tema emergen yang berupa pemadatan

dari komentar yang telah peneliti buat sebelumnya.

4. Peneliti melakukan perumusan tema superordinate

Peneliti mulai melakukan perumusan tema superordinat yang

menampung beberapa tema emergen

5. Peneliti mengkonstruksi penjelasan makna dan esensi pengalaman

Peneliti mulai menjelaskan tentang makna dan esensi

pengalaman, pada tahap ini peneliti melaporkan hasil penelitiannya

pada hasil penelitian.

xlii
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini membahas tentang parental burnout pada ibu yang

memiliki anak autis. Sebelum penelitian, peneliti terlebih dahulu

menentukan tempat untuk menentukan penelitian. Peneliti melakukan

penelitian di SLB Yakut C Purwokerto berdasarkan data yang didapatkan

dengan tingginya anak autis. Kemudian peneliti melakukan studi

pendahuluan terhadap beberapa partisipan sebagai langkah awal untuk

mencari informasi mengenai permasalahan pada ibu yang memiliki anak

autis. Setelah melakukan studi pendahuluan, akhirnya peneliti memutuskan

untuk meneliti parental burnout pada ibu yang memiliki anak autis.

Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti membuat pedoman

wawancara yang mengacu pada aspek-aspek parental burnout sebagai

pedoman untuk menggali informasi mengenai parental burnout pada ibu

yang memiliki anak autis. Peneliti melakukan wawancara dengan partisipan

yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Setelah peneliti mendapatkan

data partisipan yang benar-benar sesuai dengan dengan kriteria, peneliti

melakukan perkenalan dengan tujuan membangun raport yaitu membina

hubungan baik dengan informan dengan cara memperkenalkan identitas

peneliti kepada informan. Raport dilakukan peneliti dengan tujuan menjalin

xliii
hubungan yang baik antara peneliti dan informan agar tidak terjadi

kesalahpahaman diantara peneliti dan informan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara semi

terstruktur dalam pengambilan data dan proses wawancara dilakukan secara

langsung (tatap muka). Selain data dari wawancara yang dilakukan, peneliti

juga menggunakan jurnal dan artikel untuk menambah referensi untuk

memperkuat data. Pengambilan data dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan handphone sebagai alat perekam yang digunakan pada saat

wawancara dengan informan.

Perizinan penelitian dilakukan secara personal dari peneliti kepada

informan dengan menyertakan informed consent yang berisi data partisipan

dan kesediaan partisipan dalam memberikan data sebagai bukti kesediaan

partisipan sebagai narasumber selama penelitian berlangsung.

Terdapat tiga partisipan dalam penelitian ini yaitu ibu yang memiliki

anak autis yang mengalami parental burnout. Partisipan pertama berinisial

AMD yang berusia 33 tahun yang memiliki anak kembar laki-laki dan

keduanya didiagnosa autis. Partisipan kedua berinisial YN yang berusia 40

tahun yang memiliki anak pertama laki-laki didiagnosa autis dan anak kedua

perempuan didiagnosa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).

Partisipan ketiga berinisial TKF merupakan seorang ibu rumah tangga

berusia 32 tahun yang memiliki anak laki-laki 10 tahun yang didiagnosa

autis. Ketiga partisipan bertempat tinggal di salah satu wilayah di

Purwokerto.

xliv
Penelitian ini dimulai dengan melakukan studi pendahuluan kepada

tiga orang partisipan pada bulan oktober 2023 dan pelaksanaan pengambilan

data berlangsung pada bulan maret 2023 kepada ketiga partisipan yang

sudah ditentukan yang memiliki profil sebagai berikut :

Tabel 1

Profil Partisipan

Partisipan Usia Pekerjaan Pendidikan

AMD 33 tahun Onlineshop SMA

YN 40 tahun Ibu Rumah Tangga SMA

TKF 32 tahun Ibu Rumah Tangga SMA

B. Analisis Data

Menurut Kahija (2017) tahap-tahap dalam analisis IPA (Interpretative

Phenomenological Analysis) antara lain sebagai berikut :

1. Peneliti disarankan untuk membaca transkrip secara berulang-ulang dengan

tujuan agar bisa memahami dan atau menyatu dengan transkrip yang mana

berisi pengalaman-pengalaman partisipan dalam bentuk tulisan.

2. Peneliti membuat catatan-catatan awal (initial noting) dengan memberikan

komentar-komentar tentang maksud dari transkrip tersebut. Komentar

peneliti dalam transkrip disebut juga dengan komentar eksploratoris

(exploratory comment). Disebutkan bahwa terdapat tiga jenis komentar

eksploratoris, antara lain (1) komentar deskriptif yang berarti komentar yang

mendeskripsikan isi ucapan partisipan. (2) komentar linguistis yang berarti

xlv
komentar yang berisikan penggunaan bahasa oleh partisipan. (3) komentar

konseptual yaitu komentar yang mengarah pada pertanyaan kritis dalam

pikiran peneliti pada saat membaca transkrip, komentar konseptual ditulis

dengan ketikan underline.

3. Peneliti mulai mengembangkan semua tema-tema yang muncul (tema

emergen). Tema yang dibuat pada dasarnya berasal dari pemadatann

komentar-komentar yang telah peneliti buat sebelumnya.

4. Peneliti melakukan perumusan tema superordinate yang mana berasal dari

beberapa tema-tema emergen yang sudah dikembangkan oleh peneliti.

5. Peneliti mulai mengkontruksikan seluruh penjelasan yang berkaitan dengan

makna dan value dari pengalaman partisipan. Peneliti menjelaskan tentang

esensi dari pengalaman, ditahap ini peneliti melaporkan hasil penelitiannya

pada hasil penelitian.

Membaca transkrip
Esensi pengalaman
berulang-ulang

Gambar 2. Analisis Data

Perumusan tema
Memberi catatan pada
superordinate
transkrip

Mengembangkan
tema yang muncul
(Tema Emergen)
xlvi
Berikut ini adalah tabel hasil analisi data :

Tabel 2

Hasil Analisis Data

Tema superordinat
Tema Tema Tema
Aspek
Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3
Fisik Fisik Fisik
Kelelahan
Emosi Emosi Emosi
emosional
Mental Mental Mental
Jarak
Nyaman ketika Tenang ketika Senang ketika
emosional
anak tidak ada anak tidak ada anak tidak ada
terhadap anak
Kehilangan Kehilangan Kehilangan
Hilangnya
minat untuk minat untuk minat untuk
pencapaian
mengembangka mengembangkan mengembangkan
pribadi
n potensinya potensinya potensinya
Faktor resiko
Tema Tema Tema
Faktor resiko
Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3
Ketidakpuasan Ketidakpuasan Ketidakpuasan Ketidakpuasan
terhadap terhadap terhadap terhadap
pernikahan pernikahan pernikahan pernikahan
Pengabaian Pengabaian Pengabaian Pengabaian
terhadap anak terhadap anak terhadap anak terhadap anak
Kekerasan Kekerasan Kekerasan
Kekerasan
verbal dan fisik verbal dan fisik verbal dan fisik
Trauma Keinginan untuk Keinginan untuk
Faktor lain
memiliki anak bercerai bunuh diri

C. Hasil Penelitian

1. Partisipan 1 (YN)

a. Aspek parental burnout

1) Kelelahan Emosional

xlvii
Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan YN, dirinya

mengatakan mempunyai pengalaman saat mengasuh anaknya. Ketika

anaknya tantrum, sering melempar barang-barang yang ada di

rumah, dan harus berjaga-jaga agar anak tidak keluar kamar setiap

malam. Dengan adanya hal tersebut secara fisik YN sering

mengalami pusing, badan sering pegal-pegal, gangguan tidur atau

insomnia. Secara emosi, YN mudah marah, mudah cemas, bingung,

kesepian, takut dan malu. Dirinya merasa malu karena memiliki anak

yang autis dan juga mengidap sinus yang sangat berbau. Secara

mental, dirinya merasa lelah, energi terkuras habis, putus asa,

menarik diri dari lingkungan, dan tekanan batin. Dirinya menarik diri

dari lingkungan dengan menghabiskan waktunya di rumah dan tidak

mau untuk keluar. Berdasarkan indikator diatas menandakan bahwa

YN mengalami kelelahan emosional.

“Sempet susah tidur mba, karena kan anaknya juga sering


melek malem. Terus badanku sering pegel-pegeel banget,
padahal ya ora ngapa-ngapa. sini loh yang bagian pelipis itu
sering pusing banget, kalau dipijet tuh enak banget” (P1-
YN-B346-352)

“aku gampang banget marah mba, padahal sing dihadapi


masalah cilik tapi gampang banget kesuhan” (P1-YN-B383-
385)

“Iya cemas, takut, apa maning ganu itu banyak banget


masalah ya, wis ekonomi urung stabil, baru mulai usaha,
sekolah biayane lumayan, anak tantrum, nganti
nganu/mukul, sering ngomong kasar, yang seharusnya tidak
terucap. Koe nggawe dosa mamah terus, nggawe kesuh
mama terus, iya itu pernah” (P1-YN-B400-406)

xlviii
“Banget mba banget, iya mba pernah banget putus asa,
nyong arep ngelangkah kaya apa kue bingung” (P1-YN-
B409-411)

“yaa hawane ke kesuh bae, misal wong tuane lagi nyamed


gawe, terus dia itu mberantakin apa gitu. Pernah itu tengah
malem, aku lagi bebikinan makanan buat dijual, saya udah
prepare semuanya nah aku kecapean, ketiduran terlelap. Ehh
diacak-acak sama dia, dia mainin, ya air, ya adonan terigu
semuanya, saya udah nggak bisa apa-apa ya Allah saya
udah marah banget, tek bentak-bentak, sering mukul tuh aku
dulu” (P1-YN-B420-429)

“Pernah ngerasa capek, lelah, kadang mikir apa kie salahku


apaya, apa salaeh suami gitu” (P1-YN-B461-463)

“Emm.. menarik diri iya pernah mba, dadi neng ngumaaah


bae ndina-ndinane. Terus emm.. kalo malu mba juga iya,
apalagi pas sinusnya bau, aku kadang berpikir, deneng aku
anake loro pisan kaya kie ya. kadang ana sing ngomong aku
“nikah sodara deneng anake nganti kaya kie” (P1-YN-
B471-477)

“Terus emm.. kesepian mba” (P1-YN-B484)

“Jadi tuh tekanan batin dalam artian udah punya anak kaya
gini” (P1-YN-B515-512)

2) Aspek jarak emosional terhadap anak

YN mengatakan bahwa dirinya tidak suka menunjukkan rasa

cinta terhadap anaknya. Dirinya merasa kewalahan dan

menginginkan agar anaknya bisa mandiri yang tidak

menggantungkan dirinya dalam segala aktifitas anaknya. Jika ada

waktu senggang, YN lebih memilih waktunya dimanfaatkan untuk

dirinya sendiri karena menganggap bahwa saat jauh dengan anak

akan membuatnya nyaman dan ada ruang untuk dirinya. Hal tersebut

dapat dilihat dari cara pengucapan “nyamaaan” yang panjang dan

xlix
pengulangan “tuh” dengan sesekali memejamkan mata penuh

dengan perasaan yang mendalam. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa YN menjauhkan diri secara emosional dan membatasi

interaksi dengan anak.

“Aku tuh bukan Ibu yang perhatian, masalahnya kalo aku


ngurusin kakaknya, adiknya cemburu” (P1-YN-B585-588)

“Gimana ya mba, aku juga bingung, pengennya sih anak


bisa main sendiri, nggak menggantungkan aku. Kalau apa-
apanya sama aku lah yaa aku juga kewalahan mba. Aku juga
pengen nonton drakor, menghibur diri yah gitu-gitu lah
mba” (P1-YN-B591-596)

“Saya itu termasuk Ibu yang nggak suka nunjukkin rasa


cinta ya, saya termasuk ibu yang galak, tegas, walopun anak
saya salah ya salah walopun seperti itu, saya itu bukan tipe
ibu yang terlalu sayang sama anak” (P1-YN-B599-603)

“Emm.. aku si nggak kepikiran buat ada waktu bareng sama


anak ya mba, soalnya waktuku aja habis sama anak, udah
nggak ada waktu buat aku sendiri. jadi kalau ada waktu aku
lebih memilih me time sih” (P1-YN-B606-610)

“Emm… gimana yah mba, istilahnya tuh aku tuh sayang ya


sama anak, tapi kalau misalnya anakku jauh tuh aku ngerasa
nyamaaaan banget. Aku jadi punya waktu untuk sendiri, bisa
tenang kalau ngerjain kerjaan rumah, tenang” (P1-YN-
B623-628)

3) Aspek hilangnya pencapaian pribadi

YN mengatakan bahwa dirinya mempunyai bakat untuk

memasak, dirinya juga menyukai dunia fashion. Dirinya senang

membuat baju, membuat kreasi dari kain, namun dengan adanya

anak yang membutuhkan pengasuhan ekstra, dirinya tidak bisa

mengembangkan potensinya karena harus membagi waktunya.

Aktifitas yang terus-menerus tidak ada hentinya mengurus anak autis

l
membuatnya kehilangan minat untuk mengembangkan potensinya

sehingga lupa dengan potensi yang dimikinya.

“sebenernya kalo dikembangkan ya, saya itu punya potensi


masak, mungkin karena turunan ya, masakanku menurutku
enak. Terus suka dengan fashion, saya sering bikin baju dari
kresek untuk fashion show anak-anak, saya suka itu” (P1-
YN-B632-637)

“Cuma ya itu saya nggak bisa ngembangin karena harus


membagi waktu, pikiran, tenaga, perhatian. Nah itu jadinya
nggo ngelangkah kue angel” (P1-YN-B637-640)

“Kadang bikin bikin kue gitu-gitu. Yaa karena semua udah


terbiasa hidupku kaya gini jadi ya udah nggak ada keinginan
buat ngembangin, udah males hawane. Udah nggak mikir
buat sendiri, sepenuhnya buat anak” (P1-YN-B661-665)

b. Faktor resiko

1) Ketidakpuasan terhadap pernikahan

YN mengatakan bahwa suaminya setiap hari sibuk untuk

bekerja, ketika pulang hanya sekedar untuk tidur, lalu berangkat

kerja kembali. Hal ini membuat YN merasa terbebani atas tanggung

jawabnya dalam mengasuh anak. Dirinya ingin sekedar berbagi

cerita kepada pasangannya, namun YN merasa hanya akan

menambah masalah seperti kejadian sebelum-sebelumnya yang

nantinya hanya akan selalu saling menyalahkan. Dirinya sering

berbeda pendapat dengan suaminya ketika menerapkan pola asuh

terhadap anak, sehingga timbul sering cekcok. Suaminya juga sering

merasa cemburu ketika YN mengantar anak ke sekolah dengan baju

yang rapi, namun YN melakukan hal itu karena untuk kepuasan diri

li
sendiri bukan untuk orang lain. Hal ini membuat kualitas hubungan

menjadi buruk sehingga menjadi ketidakpuasan dalam pernikahan.

“Apa yaa.. Mm.. kalau sama suami Oo nggak mungkin, yang


ada nambah masalah” (P1-YN-B454-455)

“Dulu pernah reuni alumni kerjaan dulu, pas pulang pulang


langsung ditanya, ketemu sama, siapa dimana, hp langsung
diambil terus dibanting jann lara ati banget”
(P1-YN-B485-488)

“Jadi tuh tekanan batin dalam artian udah punya anak kaya
gini, terus belum lagi ngimbangin karakter suami kaya gitu
yang suka marah nggak tau sebabnya apa, Namanya rumah
tangga baru kan buat ngimbangi karakter kan”
(P1-YN-B515-520)

“Posisi nggak pernah di rumah ya, dalam artian bali mung


turu, mangkat maning, kaya kue terus apa maning di rumah
orang tua ya jadi belum ada penyesuaian dari kita”
(P1-YN-B545-549)

“Iyaa, kadang akune sing nyanteng apa kepriwe. Nah ganu


pas hamile N aku esih baperan, siki tah wis ngonoh arep
ngapa, ora digawa rasa arep polah kaya apaya. dia itu lebih
suka diam, jadi di situ nggak ngomong kalau ada masalah.
Lebih banyak diam jadi aku nggak tau masalah saya dimana.
Soale suami itu Sukanya bawa-bawa masalah di kerjaan ke
rumah gitu yang saya tau dia nggak mau cerita. Jadi aku tuh
mikir dewek, apa kesalahane akuu” (P1-YN-B551-560)

“soalnya kan suami cemburuan, itu yang selama ini saya


jalani (nada bergetar)” (P1-YN-B566-568)

“sebenere aku mempercantik diri, ke sekolah nganter anak


itu bukan buat orang lain, tapi buat kepuasan sendiri, oh aku
masih cantik ya, bukan buat menggoda orang lain, ya kalau
dia suka dengan dandanan aku kaya gini kan aku memang
dicukupkan sama dia”. (P1-YN-B642-647)

“Sebenernya gini ya, nomor satu itu pasangan. Nah saya itu
tipe orang yang nggak mau disalahkan, nah suamiku tipe
orang yang suka nyalahin. Jadi yaudahlah prinsip saya,
selama dia bisa mencukupi, yaudahlah aku ngalah” (P1-YN-
B655-660)

lii
“Ya karena ora didukung ketambahan anak yawis. Ditambah
suamiku itu nggak mau kalo aku ada diatasnya dia secara
ekonomi yang saya liat dari karakternya dia, ya aku
menghargai. Disamping aku yang keras aku juga
menghindari hal hal yang nggak diinginkan” (P1-YN-687-
693)

“(menangis) ditambah lagi suami itu cemburu yang terlalu


besar. Terus juga dulu itu tu masih menyalahkan gara-gara
anak kaya kie kue sekang keturunanmu udu keturunanku,
jadi masih saling menyalahkan” (P1-YN-B697-702)

“hawane wis kesuh disit, dadi bocah sing tek omeih. Suami
juga ngomong, apa-apa aja bocah sih sing dadi sasaran. Lah
maksude kue wis gede, diwei arahan, Cuma nerimane bojoku
beda ora tau ngerasakna si ngasuh dewekan” (P1-YN-B709-
715)

“Karena aku sing watake keras, bojone keras yawis bubar.


Wong aku sing due anak loro kaya kie be disangka aku ana
apa-apa karo tanggane, ribut-ribut” (P1-YN-B753-756)

2) Pengabaian terhadap anak

YN merasa terlalu berat untuk menanggung semua beban

dalam mengasuh anak, sehingga tidak ada waktu untuk dirinya

sendiri. Saat dihadapkan masalah pada anak, dirinya memilih untuk

tidur-tiduran, merasa malas untuk mengasuh anak. YN lebih memilih

untuk menghibur diri seperti menonton drama korea.

“Terus tiduran, nah itutu jadi hawane ngapa-ngapa males,


arep ngapa-ngapa ogah-ogahan gitu, nggak ngapa-ngapain
jadi kaya wong sing dablongan banget, dadi kepengine arep
apa gitu ya wis ada di depan mata, kaya pengen makan”
(P1-YN-B366-371)

“Aku juga pengen nonton drakor, menghibur diri yah gitu-


gitu lah mba” (P1-YN-B594-596)

liii
“Waktuku aja habis sama anak, udah nggak ada waktu buat
aku sendiri. jadi kalau ada waktu aku lebih memilih me time
sih” (P1-YN-B608-610)

“Aku jadi punya waktu untuk sendiri” (P1-YN-B626-627)

“Ya karena udah cape ya jadi mager” (P1-YN-B707-708)

3) Kekerasan

YN mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa mengontrol

jika sedang marah, dirinya sering mengucapkan kata-kata kasar

(kekerasan verbal) dan sering memukul (kekerasan fisik). Dirinya

menganggap bahwa melakukan kekerasan merupakan penyebab dari

perilaku anak yang tidak bisa diatur.

“Iya cemas, takut, apa maning ganu itu banyak banget


masalah ya, wis ekonomi urung stabil, baru mulai usaha,
sekolah biayane lumayan, anak tantrum, nganti
nganu/mukul, sering ngomong kasar, yang seharusnya tidak
terucap. Koe nggawe dosa mamah terus, nggawe kesuh
mama terus, iya itu pernah” (P1-YN-B400-406)

“Ya hawane ke kesuh bae, misal wong tuane lagi nyamed


gawe, terus dia itu mberantakin apa gitu. Pernah itu tengah
malem, aku lagi bebikinan makanan buat dijual, saya udah
prepare semuanya nah aku kecapean, ketiduran terlelap.
Ehh diacak-acak sama dia, dia mainin, ya air, ya adonan
terigu semuanya, saya udah nggak bisa apa-apa ya Allah
saya udah marah banget, tek bentak-bentak, sering mukul
tuh aku dulu” (P1-YN-B420-429)

“Yaa tek salurkan bae emosine mba, misale lagi kesuh, ya


wis kesuh bae, aku ora bisa tek tahan. jane ya, anak dengan
keadaan kaya kie kue tergantung orang tua, kalo ibu tenang,
anak pasti tenang (nada bergetar), tapi kalau orang tua lagi
tukaran, musuhan, hawane kesuh anak juga bawaane marah.
Mungkin karena keadaan ya, itu capeknyaa, kesel, punya
anak seperti ini. Terus anaknya itu seolah-olah mancing bae,
nggawe marah” (P1-YN-B439-448)

liv
“Kaya rumah berantakan pengen beresi hawane wis kesuh
disit, dadi bocah sing tek omeih” (P1-YN-B708-710)

4) Trauma memiliki anak

YN mengatakan bahwa pengalaman melahirkan anak

pertama dan kedua membuatnya trauma, karena pengalaman setelah

melahirkan ada masalah pada bayinya yang harus segera ditangani

sehingga harus di rujuk dari rumah sakit ke rumah sakit lain. Dirinya

tidak mau menambah anak lagi, karena trauma dengan keberadaan

kedua anaknya yang berkebutuhan khusus yang akan menambah

beban untuk dirinya.

“Dulu waktu anak pertama iya pengen punya anak lagi, pas
punya anak ternyata kondisinya sama cuma beda jenis.
Setelah itu saya nggak mau punya anak lagi, saya trauma
mba” (P1-YN-B798-801)

“Ayahnya si pengennya punya anak lagi, Cuma kan dia


nggak tau permasalahan di rumah gimana. Ayahnya
mikirnya eh siapa tau normal biar bisa ada yang jagain
kakak-kakaknya” (P1-YN-B803-808)

“Kalau keinget pas lahiran aja yang harus dirujuk kesini,


kesini itu bikin trauma loh mba, aku nggak mau melahirkan
lagi dan punya anak lagi. Udah cukup dua aja, ini aja aku
harus ngeladenin kebutuhannya kan” (P1-YN-B808-812)

2. Partisipan 2 (AMD)

a. Aspek parental burnout

1) Kelelahan Emosional

lv
Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan AMD,

dirinya mengatakan bahwa secara fisik dirinya pernah mengalami

sakit lambung,sakit kepala, mudah lelah secara fisik, dan gangguan

tidur. Dirinya merasa tekanan darah selalu naik dan mengeluh sakit

kepala ketika menghadapi anak, karena menurutnya mengasuh satu

anak autis sama dengan mengasuh 10 anak normal yang mudah

untuk mengalami kelelahan secara fisik. Secara emosi AMD

mengatakan bahwa dirinya sering marah yang tidak terkontrol

terhadap anak, mudah menangis, dan mudah lupa seperti menaruh

kacamata, dompet, kunci sehingga membuat dirinya tidak bisa fokus.

Secara mental AMD pernah merasa putus asa, kesepian, menarik

diri, malu, lelah secara mental dan energi terkuras. Dirinya

mengatakan putus asa karena harus tinggal bersama mertua, dan juga

ada adik ipar. Namun dengan adanya ibu mertua dan adik ipar tidak

merasa terbantu dengan adanya tugas-tugas di rumah. AMD yang

memiliki anak autis harus memperhatikan kebutuhan anaknya seperti

menyuapi, memandikan, masak untuk keluarga yang membuat

dirinya kelelahan. Disisi lain banyak tugas yang harus diselesaikan

di rumah sehingga dirinya merasa tertekan. Berdasarkan indikator

diatas menandakan bahwa AMD mengalami kelelahan emosional.

“Mm.. siraeh cenut-cenut, dulu itu saya sering sakit lambung


mba, kalo dicek itu tekanan darahku selalu naik, jadi aku
ngerasa ngasuh anak 2 kembar itu kaya ngasuh ke 10 anak
normal. Bener-bener bikin capek banget, memang kalau
menghadapi anak kaya gitu tu harus dibilangin terus, sampe
10x paling capek ya harus berkali-kali ngomongnya jadi

lvi
lebih emosi, sakit kepala juga karena pada ngomong koe
anake loro loh ya. wong anak 1 autis be wis ngorong-
ngorong bae apa maning 2, gitu pada ngomong” (P2-AMD-
B33-42)

“Gampang kesel mba dulu, apalagi aku kan ikut sama


mertua ya, jadi ya umah kudu bersih terus, disisi lain aku
kudu ngurusi anake” (P2-AMD-B45-47)

“Anakku kan dua ya, nah tiap malem itu seringnya anak-
anakku kebangun keluar kamar, nah aku harus jaga-jaga.
Kalau siang seringnya aku ngantuk, ya nggak bisa tidur”
(P2-AMD-B49-52)

“Mm.. aku seringnya marah-marah mba, kaya nggak ke


kontrol gitu kemarahanku” (P2-AMD-B80-81)

“Biasane kalau udah hawane marah-marah tu aku


dadisering lupa. Kaya misal naruh kacamata, kunci, dompet
ya banyak lah. Jadi nggak bisa fokus” (P2-AMD-B90-92)

“Kadang ya mba, aku sering nangis nek wis ora tahan”


(P2-AMD-94-95)

“Aku sempet putus asa, gimana ya mba, aku disini tinggal


bareng mertua, ada adik ipar,. Tapi mereka nggak bisa
diandelin, kayaknya adaa aja masalah-masalah sepele. Ya
walaupun masalah sepele tapi bikin aku capek. Aku udah
banyak ngurusin anak-anakku yang kaya gitu, ditambah
yang di rumah” (P2-AMD-125-130)

“Lama mba, bertahun-tahun. Karena ya malu ya punya anak


kaya gini, ada 2 lagi, kembar” (P2-AMD-B138-139)

“Yaa malu, karena anakku nggak kaya anak normal lainnya.


Dadi isin gitu mba” (P2-AMD-B141-142)

“Aktifitas kaya biasanya, cuma ngerasa capek banget,


capek.. ngurusin anak kaya gini nguras tenaga banget loh.
Karena kan kita bener-bener ngeladeni semua keperluan
anak dari mandiin, pakai baju, nyuapin, masak. Soalnya
saya kalau masak sehari 3x loh mba. Pagi aku masak untuk
sarapan, siang aku masak lagi, sore aku juga masak lagi.
Jadi nggak pernah masak sekali doang gitu” (P2-AMD-
B144-151)

lvii
2) Jarak emosional terhadap anak

AMD mengatakan bahwa dirinya sayang terhadap anaknya,

namun merasa tidak bisa menikmati kebersamaan dengan anak.

Dirinya merasa ada ketenangan jika tidak ada anak, karena AMD

merasa sudah banyak waktu dihabiskan untuk mengurus anak, dan

kehilangan waktu untuk dirinya sendiri.

“Saya biasa aja sih mba sama anak, sayang ya sayang.


Cuma ada momen tertentu yang sering aku kehilangan waktu
untuk diriku sendiri” (P2-AMD-B162-164)

“Kalau anakku di rumah terus tak suruh main sama temen-


temennya biar aku ada waktu sendiri” (P2-AMD-B171-172)

“Aku hampir nggak bisa menikmati kebersamaan sama


anak-anak saya” (P2-AMD-B183-184)

“Tenang, kadang aku mikir ada ketenangan kalau nggak ada


anak” (P2-AMD-B200-201)

3) Hilangnya pencapaian pribadi

AMD mengatakan bahwa dirinya menyukai traveling,

menjadi pembawa acara, tour guide atau sesuatu yang bisa

berinteraksi dengan orang lain yang sebenarnya bisa dikembangkan.

Namun dengan keadaan anak-anaknya membuat dirinya tidak

percaya diri, sampai dirinya kehilangan minat untuk

mengembangkan potensinya tersebut,

“Aku itu seneng ketemu orang banyak mba, kaya jadi


pembawa acara, suka traveling, jadi tour guide ya
begitulah”
(P2-AMD-B313-315)

“Yaa.. kalau dalam kondisi kaya gini ya udah nggak bisa”

lviii
(P2-AMD-B318-319)

“emm.. bisa jadi ya mba, karena keadaan anak yang nggak


bisa ditinggal, terus suami kaya gitu, ya aku udah nggak
kepikiran lagi buat diri sendiri keinginannya apa” (P2-
AMD-322-324)

“Jadi udah nggak kepengin ngembangin keinginan diri


sendiri (menangis)” (P2-AMD-B327-329)

b. Faktor resiko

1) Ketidakpuasan terhadap pernikahan

AMD merasa pernikahannya sudah tidak sehat lagi, karena

sifat pasangan yang sangat keras bagi dirinya, sering marah-marah,

setiap hari selalu meributkan hal-hal yang menurutnya tidak penting

yang membuat komunikasi menjadi buruk. AMD mengatakan bahwa

dirinya selalu salah dimata pasangannya, karena banyaknya

perbedaan persepsi, sudut pandang yang membuat dirinya dan

pasangan sering cekcok sampai pasangannya sering melakukan

KDRT. Terutama dalam hal penerapan pola asuh, AMD sedang

mengajarkan anak untuk makan sendiri, namun makanan berceceran

yang diketahui oleh suaminya. Lalu suaminya langsung marah

dengan mengatakan AMD tidak becus sebagai ibu. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa ketidakpuasan dalam pernikahan yang

menimbulkan kebencian satu sama lain.

“Kalau suamiku itu keras banget mba, keras. Dia kan ojek
online, tapi juga sering di rumah. Hawane panas banget nek
ada suami” (P2-AMD-B203-205)

“Ya apa-apane kue di komplaaiiin terus” (P2-AMD-B207)

lix
“Yaaahh.. boro-boro bantu mba, isine mung ngomeih tok.
Nek mau bantuin si nggak papa ya, lah dia cuma cung cung..
terus ngomeih sabendina ya apa ora uteke panas”
(P2-AMD-B218-221)

(mengambil nafas panjang).. “Mm.. aku ya mba, kalau


ngomongin suami itu kaya nggak ada habisnya loh. Aku
belum ngomong aja ngerasa wis kesel disit (mata berkaca-
kaca)
(P2-AMD-B223-226)

Aku selalu disalahin (menangis). Ada masalah kecil selalu


dibesar-besarkan yang sebenernya nggak perlu di bahas”
(P2-AMD-B232-234)

“Aku sampe disumpahin sama suami, suami suka banget


nyumpahin aku yang bikin aku khawatir mbok kejadian
beneran”
(P2-AMD-B245-247)

“Nggak sering lagi mba, hampir tiap hari kami ribut. Adaaa
aja yang diributin” (P2-AMD-B249-250)

“Kami sering ribut itu seringnya tentang anak, kita beda


banget tentang menerapkan pola asuh” (P2-AMD-B252-
253)

“Jadi apapun yang terjadi di rumah itu semua salah aku


(menangis) dia mengira aku nggak becus ngurus rumah,
nggak becus ngurus anak, jadi aku harus siaga jangan
sampai ada kejadian yang dia nggak suka” (P2-AMD-B271-
274)

“Aku itu banyak banget masalah sama suami, kayaknya


semua yang aku lakukan itu salah terus dimata dia. Aku
salah 1 kata aja dia langsung marah” (P2-AMD-277-280)

“Nggak jarang juga aku kena KDRT” (P2-AMD-B291)

“Iya, yaa karena masalah-masalah sepele yang harusnya


bisa diselesaikan dengan porsinya, aku malah kena pukulan.
Dulu pas anak masih kecil, suamiku hampir setiap hari kalau
ada masalah larinya ke KDRT, sampai suatu hari, selama
seminggu aku nggak di KDRT in sampai heran, tumben kok
dia seminggu ini nggak mukulin aku” (P2-AMD-B293-299)

lx
2) Pengabaian terhadap anak

AMD merasa hidup hanya untuk anaknya yang autis, yang

belum bisa mandiri dalam melakukan aktifitas sehari-sehari

membuat AMD merasa lelah dan frustasi. Saat berhadapan dengan

anak, tidak jarang AMD meninggalkan anak-anaknya ke kamar

untuk tidur-tiduran sambil bermain handphone. Ketika stress dengan

keadaan, dirinya memilih untuk bersenang-senang dengan dirinya

seperti berdandan dan berfoto. Dirinya juga sering menonton drama

korea berjam-jam sedangkan anaknya diberikan handphone agar

dirinya tidak diganggu oleh anaknya.

“Saya biasanya tek bawa tidur-tiduran aja mba sambil main


hp” (P2-AMD-B62-63)

“Soalnya aku udah capek sama aktifitasku, nah ketambahan


anakku ya daripada aku stress ya mending masuk kamar”
(P2-AMD-B65-67)

“Aku biasane tek bawa dandan sendiri, terus selfie-selfie


sendiri” (P2-AMD-B121-122)

“Aku lebih seringnya nonton drakor mba, jadi jam 7 pagi


tuh, suami berangkat kerja, aku langsung nonton drakor
sampai jam 9” (P2-AMD-B154-156)

“Anak-anak tek kasih handphone, biarin mereka main


handphone” (P2-AMD-B158-159)

3) Kekerasan

AMD mengatakan bahwa dirinya sering marah-marah

terhadap anaknya ketika anaknya tidak mengerti apa yang dikatakan.

Dirinya merasa energinya habis untuk anak-anaknya sehingga AMD

lxi
tidak jarang mengeluarkan kata-kata kasar kepada anaknya dan

bahkan sampai memukul dan mencubit. Hal ini membuat dirinya

melakukan kekerasan secara verbal dan fisik.

“Pengine ngomong kasar bae, nek getet ya nganti tek ciwit,


tabok” (P2-AMD-B84-85)

“Iya kaya contone anakku lagi gawe ulah apa gitu ya, terus
aku nggak suka. Aku reflek bilang “bego banget sih koe, gini
aja nggak bisa” (P2-AMD-B87-89)

“Kadang ya, aku sering nangis nek wis ora tahan, nganti
ngomong “jaannn kudu kepriwe mama kuee, wis ngomong
bolak balik ora mudeng-mudeng, goblok” (P2-AMD-B94-
96)

4) Keinginan untuk bercerai

AMD mengatakan bahwa hidup dengan suaminya hanya

menambah beban, dirinya tidak tahan dengan sifatnya yang

tempramen, selalu menyalahkan, dan sering melakukan KDRT

terhadap dirinya. Banyaknya permasalahan yang ada dalam rumah

tangga AMD, membuat dirinya ada rencana untuk berpisah dengan

suaminya.

“Aku sebenere pengin cerai mba, soale nek dipikir-pikir ya,


aku due bojo kaya nggo pelampiasane kae tok loh. Aku
sampe nggak gila aja udah alhamdulillah. Mikir anak wis
kaya kue, mikir bojo kaya kue, kaya ruwet banget hidupku”
(P2-AMD-B301-305)

“Nek pisah kan jelas, bebanku berkurang 1, aku bisa fokus


sama anak-anak” (P2-AMD-B305-306)

“Tapi memang aku udah ada rencana, kalau dia mukulin aku
lagi, aku bakal pisah” (P2-AMD-B307-308)

3. Partisipan 3 (TKF)

lxii
a. Aspek Kelelahan Emosional

1) kelelahan Emosional

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan TKF, dirinya

mengatakan bahwa secara fisik pernah merasakan sakit kepala,

pusing, jantung berdebar, tangan sering berkeringat pada saat

mengasuh anak. TKF merasakan hal tersebut ketika dirinya harus

mengulang-ulang apa yang dikatakan agar anak paham, saat anak

tidak memahami intruksinya, saat anak tidak bisa diajak kerjasama,

saat anak tantrum, dan harus menyiapkan segala sesuatu untuk

anaknya.

Secara emosi TKF mengatakan bahwa dirinya mudah marah,

mudah lupa, putus asa, mudah menangis, dan stress saat menghadapi

anak. Hal tersebut terjadi ketika anaknya sering melempar barang,

teriak-teriak, menjedutkan kepala ke tembok, menjatuhkan badan ke

lantai, sehingga dirinya tidak dapat mengendalikan anaknya.

Secara mental TKF mengatakan bahwa dirinya merasa lelah,

tidak berdaya, merasa terpuruk, putus asa, kesepian, malu, energi

terkuras habis, menarik diri dari lingkungan, dan jenuh ketika

menghadapi anak. TKF merasa hidupnya berantakan, lelah dengan

semuanya dan tidak jarang membandingkan kehidupan dirinya

dengan kehidupan orang lain yang bahagia. TKF merasa kesepian

karena tidak memiliki teman untuk berbagi cerita. Dirinya merasa

kehabisan energi karena merasa terlalu banyak tugas yang harus

lxiii
dikerjakan. Berdasarkan indikator diatas menandakan bahwa TKF

mengalami kelelahan emosional.

“Tiep hari kan saya harus nyiapin makanan buat keluarga,


apalagi kan makanan anak autis itu nggak sembarangan ya,
jadi harus bener-bener ngupreeek di dapur lamaa, belum
lagi mberesin rumah, mandiin, nyuapin, belum lagi ini itu
banyak banget yang harus dikerjain, nah itu kepala saya itu..
sakiiit banget terus bawaannya pusing kalau lagi sama anak.
iya mungkin karena apa-apanya dikerjain sendiri ya jadi
hawane kesuh terus loh (P3-TKF-B169-178)

“Mm.. jantungku jadi sering dag dig dug kenceng, sampe


keringetan, nggak tahan sebenernya” (P3-TKF-B181-183)

“Kalau anak saya dibilangin berkali-kali nggak paham-


paham maksudnya. jadi kalo ngomong itu harus diulang-
ulaang terus yang bikin saya capek. Terus anak autis kan
nggak bisa diem ya, dia itu kuat banget tenaganya. Nah pas
anak lagi tantrum itu nggak bisa dikendalikan. Nah kalau
udah kaya gitu tu langsung kepala saya sakit banget”
(P3-TKF-B189-196)

“Kaya tertekan gitu hidupku sama anakku jadinya hawanya”


(P3-TKF-B269-270)

“Saya nggak punya temen buat cerita, buat berbagi itu


sering ngerasa kesepian” (P3-TKF-B275-277)

“Saya.. saya.. nangis mba, kaya capek gitu, lelah dengan


semuanya. Hanya bisa nangis. Kenapa hidupku kaya gini.
Hmm.. seneng gitu ngeliat orang-orang kok hidupnya pada
enak, bisa enjoy ya..” (P3-TKF-B301-305)

“Kaya morat marit banget hidupnya. berantakan semua,


saya padahal pengen ini, pengen itu, banyak yang harus saya
lakukan, tapi yaa.. gitu” (P3-TKF-B310-312)

“Iya mba, mungkin kalau capek itu biasa ya mba, tapi saat
itu tu udah lelah banget, entah mau gimana lagi, kaya udah
nggak ada tenaga. Sampai saya itu malu dengan tetangga,
nggak mau keluar rumah. Keluarpun bukan di komplek sini
gitu” (P3-TKF-B388-393)

“Iya mba, saya malu sama anak saya” (P3-TKF-B396)

lxiv
“Mm.. rasanya nggak enak si mba di rumah terus. Sumpek
liatnya, itu itu terus yang diliatnya, ya kerjaan rumah,
ketemu sapu pel lagi, rumah berantakan nggak pernah ada
beresnya. jenuh sebenernya saya” (P3-TKF-B429-433)

2) Jarak emosional terhadap anak

Setiap hari TKF selalu bersama dengan anak, namun tidak

merasa ada kedekatan secara emosional. TKF mengatakan bahwa hal

ini dikarenakan dirinya belum menerima dengan keadaan anaknya.

Terkadang TKF merasa kasihan terhadap anak, karena anaknya lahir

tidak seperti anak normal lainnya. Namun ketika dihadapkan dengan

perilaku anaknya, dirinya ingin menjauh. Saat jauh dari anak, TKF

mengatakan merasa senang, karena dapat melakukan apa saja yang

diinginkan tanpa ada yang mengganggu, karena dirinya juga

membutuhkan waktu untuk diri sendiri.

“Saya si kalau dibilang deket sama anak dulu itu kurang


mba, karena saya belum nerima dengan keadaan anak saya.
Jadi walaupun serumah itu kaya nggak ada chemistry gitu”
(P3-TKF-B446-449)

“Saya elus-elus, kadang saya nangis. Tapi kalau udah pagi


siang itu nggak tau kenapa saya bawaannya nggak mau saya
deket-deket anak saya” (P3-TKF-B456-459)

“Terkadang ya mba, pas mood saya lagi bagus, saya pengen


main bareng sama anak, nonton tv. Tapi itu pun jarang
banget si mba, soalnya anak saya kan lebih suka main
sendiri, asik dengan dunianya sendiri, kalau diganggu tu
nggak mau. Tapi kalau dirasa justru itu waktu yang baik
buat saya karena saya bisa me time, jadi kalau dirasa-rasa
ya buat menikmati waktu sama anak belum ada pikiran
kesitu sih” (P3-TKF-B469-477)

lxv
“Kalau saya jauh dari anak itu ada senengnya dan ada
sedihnya juga. senengnya saya bisa melakukan hal apa saja
nggak ada yang menghalangi aktifitas saya”
(P3-TKF-B495-500)

3) Hilangnya pencapaian pribadi

TKF mengatakan dirinya memiliki bakat menjahit dan

berjualan, namun karena terkendala anaknya yang membutuhkan

pengasuhan ekstra menjadikan potensi tersebut tidak dapat

dikembangkan. Dirinya pernah mencoba mulai mengembangkan

untuk menjahit, namun anaknya telah membuat kekacauan dengan

merobek-robek kain yang akan dijahit saat dirinya sedang membuat

pola. Dari kejadian tersebut TKF sudah tidak mau meneruskannya

lagi. Sehingga sampai sekarang dirinya sudah kehilangan minat

untuk mengembangkan potensinya. Sebenarnya TKF masih banyak

pencapaian yang harus dilakukan, namun dirinya takut untuk

mengungkapkan apa yang sebenarnya Ia rasakan bahwa anak yang

menjadi penghalang dirinya tidak bisa mengembangkan potensinya.

“Iya, berantakan semua, saya padahal pengen ini, pengen


itu, banyak yang harus saya lakukan, tapi yaa.. gitu” (P3-
TKF-B310-312)

“Susah ya mba.. ya sekarang kalau saya kerja gitu ya anak


saya nggak ada yang jagain. Rasanya kaya udah nggak bisa
dikembangin lagi mba, saya udah capek ngurusin anak saya,
jadi udah nggak kepengen lagi” (P3-TKF-B513-517)

“Mm.. mm.. saya dosa nggak si kalau saya ngerasa anak


saya itu menghambat saya. Yaa.. mm.. kalau dibilang itu si
kayaknya si iya mba. Soalnya semenjak ada anak ini
kondisinya kaya gini saya ngerasa nggak bisa ngapa-
ngapain lagi” (P3-TKF-B521-526)

lxvi
“Mm.. agak susah ya mba. Dulu pernah nyoba ya, ada
beberapa yg bikin baju sama saya, pas saya lagi bikin pola,
anak saya itu mainin kainnya sampai sobek-sobek, nah pas
lagi tantrum semuanya jadi kacau sampai saya harus
mengganti kain yang mau dibuat baju. Jadi kayaknya saya
harus mengubur semua keinginan-keinginan saya” (P3-
TKF-B558-565)

b. Faktor resiko

1) Ketidakpuasan terhadap pernikahan

TKF memiliki suami yang tidak bisa diandalkan untuk bisa

berbagi tugas dengannya. Saat kelelahan seharian mengasuh

anaknya, dirinya ingin sekedar bercerita dan didengar oleh

pasangannya yang selama ini dijadikan sebagai sandarannya. Saat

ingin berbagi cerita, namun reaksi suami sering marah dan tidak

jarang selalu berbeda pendapat. Hal ini menunjukkan kualitas

pernikahan TKF bersama pasangan menjadi buruk dan komunikasi

terhadap pasangan menjadi terganggu dan menjadikan dirinya timbul

kebencian terhadap pasangannya.

“Suami saya pendiem mba, dia itu nggak bisa diajak


ngobrol. Pulang kerja capek, saya pengen istilahnya gendu-
gendu rasa itu ya, itu tu nggak bisa. Kalau saya pengen
cerita tentang keseharian dia sukanya marah-marah.
Padahal Cuma pengen cerita, pengen ada sandaran. Kadang
kalau dia ndengerin dia selalu beda pendapat” (P3-TKF-
B291-298)

2) Pengabaian terhadap anak

TKF mengatakan bahwa dirinya sering tidur-tiduran di

kamar, karena ketika menghadapi anak, dirinya sering merasa lelah

walaupun tidak melakukan apapun. TKF sering keluar rumah untuk

lxvii
sekedar makan bakso dan rebahan di masjid untuk menenangkan

diri. Ketika anaknya berantem dengan adiknya, dirinya tiba-tiba

diam seperti orang kebingungan yang tidak tahu apa yang harus

diperbuat. TKF mengatakan, suatu hari anaknya menjedutkan kepala

ke tembok dan menjatuhkan badan ke lantai, namun dirinya yang

merasa sudah lelah dengan keadaan, hanya membiarkan hal itu

terjadi. Hal ini menunjukkan TKF melarikan diri dari tugasnya

sebagai ibu, dan perilaku anak membuat dirinya tidak tahan sehingga

dirinya mengabaikannya.

“Saya tiduran aja udah. Berasanya juga capeeekkk banget


padahal nggak ngapa-ngapain” (P3-TKF-B210-212)

“saya keluar sebentar buat makan bakso yang puedeesss bgt


biar kepyar. Terus tenangin diri di luar ntar pas pulang
mendingan lah ya walaupun kalau pulang sumpek lagi..
jadinya juga males ngapa-ngapain”(P3-TKF-B214-217)

“saya biasanya rebahan aja di masjid” (P3-TKF-B221)

“saya ngerasa nggak ada yang support, semuanya pada


nyalahin saya. Saya udah capek ngurusin anak ditambah lagi
nggak ada yang bantuin yang ada nyalahin terus. Pernah
kaya.. kaya.. pengen bunuh diri, soalnya aku.. aku.. emm..
ngerasa harus ngeladenin anakku terus” (P3-TKF-B252-
256)

“pas anak lagi berantem gitu ya, yang harusnya aku bilangin
ke anak tapi aku kaya orang bingung, aduh aku harus
gimana ini, gimana. Jadi kalo nggak marah ya tek diemin”
(P3-TKF-B265-269)

“Pergi sendiri mba, yaa.. pergi kemana gitu, misal ke mall


gitu” (P3-TKF-B315-316)

“Saya titipin ke mbahnya atau Ibu saya” (P3-TKF-B319)

3) Kekerasan

lxviii
TKF mengaku bahwa dirinya adalah orang yang tidak sabar

dalam mengasuh anak sehingga membuatnya mudah stress. Saat

menutup pintu, dirinya menutup dengan keras, melakukan

kekerasan verbal dan sampai memukul anaknya. TKF mengatakan

bahwa anaknya masih terkendala dengan komunikasi, sehingga

dirinya harus menjelaskan berulang-ulang kepada anaknya ketika

berbicara, yang membuat dirinya sering berteriak kencang bahkan

sampai melakukan kekerasan fisik.

“Mm.. kadang kan anak kalau dibilangin nggak ngerti-ngerti


ya, capek ngomong berkali-kali, jadi aku sering saya mukul,
reflek itu. saya kan capek” (P3-TKF-B207-210)

“Karena saya kan orangnya nggak sabaran. Kalo diterusin


takutnya saya stress sendiri malah jadi nggak terkendali
nanti yang jadi sasaran anak saya, ya mukul lah, ngata-
ngatain yang nggak pantes” (P3-TKF-B324-328)

“Kadang saya marah-marah sendiri mba, bawaannya tu


pengen teriak-teriak terus sampe kalau nutup pintu aja keras
banget. Kan kalau anak autis kan terkendala komunikasi,
jadi pas saya lagi capek, anak dibilangin nggak ngerti-ngerti
kadang saya sampai mukul. Gregetan gitu mba” (P3-TKF-
B437-443)

4) Keinginan untuk bunuh diri

TKF mengatakan dirinya merasa lelah dengan perilaku

anaknya yang sering menjedutkan kepala, menjatuhkan badannya ke

lantai sampai dirinya membiarkan hal itu terjadi. TKF juga merasa

sendiri karena tidak ada yang mensupport, tidak ada yang membantu

dalam pengasuhan. Dirinya menganggap bahwa orang sekitarnya

lxix
hanya bisa menyalahkan dirinya, sehingga dirinya punya keinginan

untuk melakukan bunuh diri.

“Mm.. yang membuat saya lelah itu tu.. kaya misal tiba-tiba
anak saya jedotin kepala ke tembok berulang-ulang, saya
menghalangi dia tapi dia itu lebih kenceng malah, kalau
jedotin kepala kan dia nggak ngerasa sakit ya. sampai saya
marah-marah” (P3-TKF-B415-420)

“Kadang kalau saya udah capek tak biarin sampe mikir, ya


Allah sampe kapan aku ngeliat dia kaya gini terus. Jedotin
kepala, terus jatuh-jatuhin badan ke lantai, yaa gitu.. jadi
malu, takut ada tetangga yang ketakutan ngeliat anak saya”
(P3-TKF-B420-425)

lxx
D. Temuan keseluruhan partisipan

Penelitian ini untuk mengkaji faktor resiko parental burnout pada ibu

yang memiliki anak autis di SLB C Yakut Purwokerto. Dalam penelitian ini

terdapat tiga partisipan. Partisipan YN merupakan seorang ibu berusia 40 tahun

yang memiliki 2 anak berkebutuhan khusus. Anak pertama laki-laki berusia 13

tahun dengan diagnosa autism, lalu anak kedua adalah perempuan yang berusia

10 tahun dengan diagnosa Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Selanjutnya partisipan AMD yang merupakan seorang ibu berusia 33 tahun

yang memiliki dua orang anak kembar yang berusia 11 tahun dimana kedua

anak kembar tersebut mengalami autis. Partisipan terakhir adalah TKF

merupakan seorang ibu berusia 32 tahun yang memiliki anak autis yang berusia

10 tahun.

Partisipan YN merasa kelelahan emosional ketika menghadapi anak,

karena merasa anaknya sering tantrum, memberantakkan barang-barang yang

ada di rumah. YN merasa kewalahan dan menginginkan agar anaknya bisa

mandiri yang tidak menggantungkan dirinya dalam segala aktifitas anaknya

karena dirinya juga merasa butuh waktu untuk dirinya sendiri.

(Sedang dilanjutkan)

lxxi
lxxii
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN

lxxiii
DAFTAR PUSTAKA

Andiani, A., & Fauziah, N. (2016). Hubungan Antara Adversity Inteligence


dengan Keterbukaan Diri pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme di Kota
Surakarta. Empati, 5(4), 615–622.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/empati.2016.15407
Barlian, E. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Sukabina
Press.
Berawi, K. N., & Puspitha, F. C. (2016). Terapi Diet Bebas Gluten dan Bebas
Casein pada Autism Spectrum Disorder (ASD). Jurnal Majority, 5(1), 38–
42.
Brianda, M. E., Roskam, I., Gross, J. J., Franssen, A., Kapala, F., Gérard, F., &
Mikolajczak, M. (2020). Treating Parental Burnout: Impact of Two
Treatment Modalities on Burnout Symptoms, Emotions, Hair Cortisol, and
Parental Neglect and Violence. Psychotherapy and Psychosomatics, 89(5),
330–332. https://doi.org/10.1159/000506354
Cheng, H., Wang, W., Wang, S., Li, Y., Liu, X., & Li, Y. (2020). Validation of a
Chinese Version of the Parental Burnout Assessment. Frontiers in
Psychology, 11(March), 1–11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00321
Creswell, J. (2015). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed (Ketiga). Pustaka Pelajar.
Cristiani, A., Dewi, N., & Adhi, N. K. (2021). Dinamika Kelelahan Emosi Orang
Tua Yang Memiliki ABK Tunagrahita di SLB Kota Denpasar. Jurnal
Psikologi Mandala, 5(1), 43–54.
https://jurnal.undhirabali.ac.id/index.php/mandala/article/view/1629
Daulay, N. (2016). Gambaran Ketangguhan Ibu dalam Mengasuh Anak Autis.
Psikohumaniora, 1(1), 49–74.
https://doi.org/https://doi.org/10.21580/pjpp.v1i1.929
Dewi, R., Inayatilah, & Yullyana, R. (2018). Pengalaman Orangtua dalam
Mengasuh Anak Autis di Kota Banda Aceh. Psikoislamedia Jurnal
Psikologi, 3(2), 288–301.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/psikoislamedia.v3i2.5625
Dewi, & Widiasavitri, P. N. (2019). Resiliensi ibu dengan anak autisme. Jurnal
Psikologi Udayana, 6(01), 193.
https://doi.org/10.24843/jpu.2019.v06.i01.p19
Esterberg, K. (2002). Qualitative Methods in Social Research. McGraw.
Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri pada Orang Tua yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus. Psikoborneo : Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(1), 18–23.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30872/psikoborneo.v4i1.3925

lxxiv
Fauziah, F., & Kartikasari, R. (2017). Gambaran Tingkat Burnout Pada Guru SLB
di SLB-B Negeri Cicendo Kota Bandung. Jurnal Kesehatan Aeromedika,
3(1), 17–21. https://doi.org/https://doi.org/10.58550/jka.v3i2.5
Gumilang, S. (2016). Metode Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bimbingan dan
Konseling. Jurnal Fokus Konseling, 2(2). http://ejournal.stkipmpringsewu-
lpg.ac.id/index.php/fokus/a
Hapsari, R. D., Putri, A. M., & Fitriani, D. (2019). Hubungan antara Dukungan
Sosial dengan Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Penderita Autisme.
Jurnal Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, 1(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.36269/psyche.v1i2.101
Hubert, S., & Aujoulat, I. (2018). Parental burnout: When exhausted mothers
open up. Frontiers in Psychology, 9(JUN), 1–9.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01021
Indiarti, P. T. (2020). Penerimaan Ibu yang Memiliki Anak Autis. Jurnal
Psikologi Perseptual, 1(5), 34–54.
https://doi.org/https://doi.org/10.24176/perseptual.v5i1.5087
Kahija. (2017). Penelitian Fenomenologis : Jalan Memahami Pengalaman Hidup
(G. Sudibyo (ed.)). PT Kanisius.
Kanner, L. (2019). Leo Kanner and autism : a 75-year perspective. International
Review of Psychiatry, 0(0), 1–15.
https://doi.org/10.1080/09540261.2018.1455646
Maysa, P., & Khairiyah, U. (2019). Hardiness dan Stres Pengsuhan pada Ibu
dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi),
10(1), 88–101. https://doi.org/https://doi.org/10.24036/rapun.v10i1.105017
Mikolajczak, M., Gross, J. J., & Roskam, I. (2019). Parental Burnout: What Is It,
and Why Does It Matter? Clinical Psychological Science, 7(6), 1319–1329.
https://doi.org/10.1177/2167702619858430
Miranda, D. (2013). Strategi Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional
Exhaustion) pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebuuhan Khusus.
Psikoborneo, 1(2), 64–71.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30872/psikoborneo.v1i2.3283
Mirza Rina. (2016). Menerapkan Pola Asuh Konsisten pada Anak Autis.
Tarbiyah, 23(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30829/tar.v23i2.117
Normasari, E., Fitrianawati, M., & Rofiah, N. (2021). Akseptabilitas Orang Tua
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Yogyakarta ( Studi Kasus Pada
Lembaga Federasi Komunikasi Keluarga Penyandang Disabilitas ). Wasis :
Jurnal Ilmiah Pendidikan, 2(2), 133–139.
https://doi.org/10.24176/wasis.v2i2.6927
Nugrahani, F. (2014). Metode Peneliatian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan

lxxv
Bahasa.
Nura, A., & Sari, K. (2018). Kebersyukuran pada Ibu yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ecopsyurnal Ecopsy, 5, 73–80.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20527/ecopsy.v5i2.5041
Pangestu, N., & Fibriana, A. I. (2017). Faktor Risiko Kejadian Autisme. Higeia
Journal of Public Health, 1(2), 141–150.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/14019
Paula, A. J. de, Condeles, P. C., Moreno, A. L., Ferreira, M. B. G., Fonseca, L. M.
M., & Ruiz, M. T. (2021). Parental burnout: a scoping review. Revista
Brasileira de Enfermagem, 75Suppl. 3(Suppl. 3), e20210203.
https://doi.org/10.1590/0034-7167-2021-0203
Phelps, K. W., McCammon, S. L., Wuensch, K. L., & Golden, J. A. (2009).
Enrichment, stress, and growth from parenting an individual with an autism
spectrum disorder. Journal of Intellectual and Developmental Disability,
34(2), 133–141. https://doi.org/10.1080/13668250902845236
Poernomo, U., & Wulansari, N. (2015). Pengaruh Konflik antara Pekerjaan-
Keluarga pada Kinerja Karyawan dengan Kelelahan Emosional Sebagai
Variabel Pemediasi. Management Analysis Journal, 4(3), 190–199.
https://doi.org/https://doi.org/10.15294/maj.v4i3.8870
Putri, E., Suryani, K., & Daeli, N. E. (2021). Konsep Diri dan Resiliensi Orangtua
yang Memiliki Anak Tunagrahita. Jumantik : Jurnal Ilmiah Penelitian
Kesehatan, 6, 65–69. https://doi.org/10.30829/jumantik.v6i1.7957
Raco, J. (2010). BAB I Pengertian Tujuan dan Latar Belakang Penelitian
Kualitatif. In Metode Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya).
Ramli, M. A., Jufri, M., & Djalal, N. M. (2022). Perbedaan Strategi Coping
Terhadap Burnout Guru Honorer Sekolah Luar Biasa di Kota Makassar.
PESHUM: Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Humaniora, 1(4), 359–368.
http://ulilalbabinstitute.com/index.php/PESHUM/article/view/469
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2018). A theoretical and clinical framework for
parental burnout: The balance between risks and resources. Frontiers in
Psychology, 9(JUN). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00886
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2020). Gender Differences in the Nature,
Antecedents and Consequences of Parental Burnout. Sex Roles, 83(7–8),
485–498. https://doi.org/10.1007/s11199-020-01121-5
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2021). The Slippery Slope of Parental
Exhaustion: A Process Model of Parental Burnout. Journal of Apllied
Developmental Psychology, 77.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.appdev.2021.101354
Roskam, I., Raes, M. E., & Mikolajczak, M. (2017). Exhausted parents:

lxxvi
Development and preliminary validation of the parental burnout inventory.
Frontiers in Psychology, 8(FEB), 1–12.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00163
Roskam, I., Raes, M. E., & Mikolajczak, M. (2018). Corrigendum: Exhausted
parents: Development and preliminary validation of the parental burnout
inventory. Frontiers in Psychology, 9(JAN), 1–2.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00073
Samsuddin, S. (2013). Burnout pada Terapis Anak Berkebutuhan Khusus.
Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 108–114.
https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v1i2.3291
Santoso, S., & Kawangmani, S. (2019). Model Konseling Holistik Alkitabiah
kepada Anak Autis. Gamaliel, 1(1), 41–51.
https://doi.org/https://doi.org/10.38052/gamaliel.v1i1.13
Septianisa, S., & Caninsti, R. (2018). Hubungan Self Efficacy dengan Burnout
Pada Guru Di Sekolah Dasar Inklusi. Journal Psikogenesis, 4(1), 126.
https://doi.org/10.24854/jps.v4i1.523
Sidiq, U., & Choiri, M. (2019). Metode Penelitian Kualitatif di Bidang
Pendidikan. In A. Mujahidin (Ed.), Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9).
http://repository.iainponorogo.ac.id/484/1/METODE PENELITIAN
KUALITATIF DI BIDANG PENDIDIKAN.pdf
Siyoto, S., & Sodik, A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. In Bandung :
IKAPI.
Suteja, J. (2014). Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme Akibat
Bentukan Perilaku Sosial. Edueksos, 3(1), 119–133.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24235/edueksos.v3i1.325
Zahrok, S., & Suarmini, N. W. (2018). Peran Perempuan dalam Keluarga.
IPTEK : Journal of Proceedings Series, 5, 61–65.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.12962/j23546026.y2018i5.4422
Andiani, A., & Fauziah, N. (2016). Hubungan Antara Adversity Inteligence
dengan Keterbukaan Diri pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme di Kota
Surakarta. Empati, 5(4), 615–622.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/empati.2016.15407
Barlian, E. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Sukabina
Press.
Berawi, K. N., & Puspitha, F. C. (2016). Terapi Diet Bebas Gluten dan Bebas
Casein pada Autism Spectrum Disorder (ASD). Jurnal Majority, 5(1), 38–
42.

lxxvii
Brianda, M. E., Roskam, I., Gross, J. J., Franssen, A., Kapala, F., Gérard, F., &
Mikolajczak, M. (2020). Treating Parental Burnout: Impact of Two
Treatment Modalities on Burnout Symptoms, Emotions, Hair Cortisol, and
Parental Neglect and Violence. Psychotherapy and Psychosomatics, 89(5),
330–332. https://doi.org/10.1159/000506354
Cheng, H., Wang, W., Wang, S., Li, Y., Liu, X., & Li, Y. (2020). Validation of a
Chinese Version of the Parental Burnout Assessment. Frontiers in
Psychology, 11(March), 1–11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00321
Creswell, J. (2015). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed (Ketiga). Pustaka Pelajar.
Cristiani, A., Dewi, N., & Adhi, N. K. (2021). Dinamika Kelelahan Emosi Orang
Tua Yang Memiliki ABK Tunagrahita di SLB Kota Denpasar. Jurnal
Psikologi Mandala, 5(1), 43–54.
https://jurnal.undhirabali.ac.id/index.php/mandala/article/view/1629
Daulay, N. (2016). Gambaran Ketangguhan Ibu dalam Mengasuh Anak Autis.
Psikohumaniora, 1(1), 49–74.
https://doi.org/https://doi.org/10.21580/pjpp.v1i1.929
Dewi, R., Inayatilah, & Yullyana, R. (2018). Pengalaman Orangtua dalam
Mengasuh Anak Autis di Kota Banda Aceh. Psikoislamedia Jurnal
Psikologi, 3(2), 288–301.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/psikoislamedia.v3i2.5625
Dewi, & Widiasavitri, P. N. (2019). Resiliensi ibu dengan anak autisme. Jurnal
Psikologi Udayana, 6(01), 193.
https://doi.org/10.24843/jpu.2019.v06.i01.p19
Esterberg, K. (2002). Qualitative Methods in Social Research. McGraw.
Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri pada Orang Tua yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus. Psikoborneo : Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(1), 18–23.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30872/psikoborneo.v4i1.3925
Fauziah, F., & Kartikasari, R. (2017). Gambaran Tingkat Burnout Pada Guru SLB
di SLB-B Negeri Cicendo Kota Bandung. Jurnal Kesehatan Aeromedika,
3(1), 17–21. https://doi.org/https://doi.org/10.58550/jka.v3i2.5
Gumilang, S. (2016). Metode Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bimbingan dan
Konseling. Jurnal Fokus Konseling, 2(2). http://ejournal.stkipmpringsewu-
lpg.ac.id/index.php/fokus/a
Hapsari, R. D., Putri, A. M., & Fitriani, D. (2019). Hubungan antara Dukungan
Sosial dengan Tingkat Stres Orang Tua dengan Anak Penderita Autisme.
Jurnal Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, 1(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.36269/psyche.v1i2.101
Hubert, S., & Aujoulat, I. (2018). Parental burnout: When exhausted mothers

lxxviii
open up. Frontiers in Psychology, 9(JUN), 1–9.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01021
Indiarti, P. T. (2020). Penerimaan Ibu yang Memiliki Anak Autis. Jurnal
Psikologi Perseptual, 1(5), 34–54.
https://doi.org/https://doi.org/10.24176/perseptual.v5i1.5087
Kahija. (2017). Penelitian Fenomenologis : Jalan Memahami Pengalaman Hidup
(G. Sudibyo (ed.)). PT Kanisius.
Kanner, L. (2019). Leo Kanner and autism : a 75-year perspective. International
Review of Psychiatry, 0(0), 1–15.
https://doi.org/10.1080/09540261.2018.1455646
Maysa, P., & Khairiyah, U. (2019). Hardiness dan Stres Pengsuhan pada Ibu
dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi),
10(1), 88–101. https://doi.org/https://doi.org/10.24036/rapun.v10i1.105017
Mikolajczak, M., Gross, J. J., & Roskam, I. (2019). Parental Burnout: What Is It,
and Why Does It Matter? Clinical Psychological Science, 7(6), 1319–1329.
https://doi.org/10.1177/2167702619858430
Miranda, D. (2013). Strategi Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional
Exhaustion) pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebuuhan Khusus.
Psikoborneo, 1(2), 64–71.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30872/psikoborneo.v1i2.3283
Mirza Rina. (2016). Menerapkan Pola Asuh Konsisten pada Anak Autis.
Tarbiyah, 23(2). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30829/tar.v23i2.117
Normasari, E., Fitrianawati, M., & Rofiah, N. (2021). Akseptabilitas Orang Tua
terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Yogyakarta ( Studi Kasus Pada
Lembaga Federasi Komunikasi Keluarga Penyandang Disabilitas ). Wasis :
Jurnal Ilmiah Pendidikan, 2(2), 133–139.
https://doi.org/10.24176/wasis.v2i2.6927
Nugrahani, F. (2014). Metode Peneliatian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan
Bahasa.
Nura, A., & Sari, K. (2018). Kebersyukuran pada Ibu yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus. Jurnal Ecopsyurnal Ecopsy, 5, 73–80.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20527/ecopsy.v5i2.5041
Pangestu, N., & Fibriana, A. I. (2017). Faktor Risiko Kejadian Autisme. Higeia
Journal of Public Health, 1(2), 141–150.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/14019
Paula, A. J. de, Condeles, P. C., Moreno, A. L., Ferreira, M. B. G., Fonseca, L. M.
M., & Ruiz, M. T. (2021). Parental burnout: a scoping review. Revista
Brasileira de Enfermagem, 75Suppl. 3(Suppl. 3), e20210203.
https://doi.org/10.1590/0034-7167-2021-0203

lxxix
Phelps, K. W., McCammon, S. L., Wuensch, K. L., & Golden, J. A. (2009).
Enrichment, stress, and growth from parenting an individual with an autism
spectrum disorder. Journal of Intellectual and Developmental Disability,
34(2), 133–141. https://doi.org/10.1080/13668250902845236
Poernomo, U., & Wulansari, N. (2015). Pengaruh Konflik antara Pekerjaan-
Keluarga pada Kinerja Karyawan dengan Kelelahan Emosional Sebagai
Variabel Pemediasi. Management Analysis Journal, 4(3), 190–199.
https://doi.org/https://doi.org/10.15294/maj.v4i3.8870
Putri, E., Suryani, K., & Daeli, N. E. (2021). Konsep Diri dan Resiliensi Orangtua
yang Memiliki Anak Tunagrahita. Jumantik : Jurnal Ilmiah Penelitian
Kesehatan, 6, 65–69. https://doi.org/10.30829/jumantik.v6i1.7957
Raco, J. (2010). BAB I Pengertian Tujuan dan Latar Belakang Penelitian
Kualitatif. In Metode Kualitatif (Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya).
Ramli, M. A., Jufri, M., & Djalal, N. M. (2022). Perbedaan Strategi Coping
Terhadap Burnout Guru Honorer Sekolah Luar Biasa di Kota Makassar.
PESHUM: Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Humaniora, 1(4), 359–368.
http://ulilalbabinstitute.com/index.php/PESHUM/article/view/469
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2018). A theoretical and clinical framework for
parental burnout: The balance between risks and resources. Frontiers in
Psychology, 9(JUN). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00886
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2020). Gender Differences in the Nature,
Antecedents and Consequences of Parental Burnout. Sex Roles, 83(7–8),
485–498. https://doi.org/10.1007/s11199-020-01121-5
Roskam, I., & Mikolajczak, M. (2021). The Slippery Slope of Parental
Exhaustion: A Process Model of Parental Burnout. Journal of Apllied
Developmental Psychology, 77.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.appdev.2021.101354
Roskam, I., Raes, M. E., & Mikolajczak, M. (2017). Exhausted parents:
Development and preliminary validation of the parental burnout inventory.
Frontiers in Psychology, 8(FEB), 1–12.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00163
Roskam, I., Raes, M. E., & Mikolajczak, M. (2018). Corrigendum: Exhausted
parents: Development and preliminary validation of the parental burnout
inventory. Frontiers in Psychology, 9(JAN), 1–2.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00073
Samsuddin, S. (2013). Burnout pada Terapis Anak Berkebutuhan Khusus.
Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 108–114.
https://doi.org/10.30872/psikoborneo.v1i2.3291
Santoso, S., & Kawangmani, S. (2019). Model Konseling Holistik Alkitabiah
kepada Anak Autis. Gamaliel, 1(1), 41–51.

lxxx
https://doi.org/https://doi.org/10.38052/gamaliel.v1i1.13
Septianisa, S., & Caninsti, R. (2018). Hubungan Self Efficacy dengan Burnout
Pada Guru Di Sekolah Dasar Inklusi. Journal Psikogenesis, 4(1), 126.
https://doi.org/10.24854/jps.v4i1.523
Sidiq, U., & Choiri, M. (2019). Metode Penelitian Kualitatif di Bidang
Pendidikan. In A. Mujahidin (Ed.), Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9).
http://repository.iainponorogo.ac.id/484/1/METODE PENELITIAN
KUALITATIF DI BIDANG PENDIDIKAN.pdf
Siyoto, S., & Sodik, A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. In Bandung :
IKAPI.
Suteja, J. (2014). Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme Akibat
Bentukan Perilaku Sosial. Edueksos, 3(1), 119–133.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24235/edueksos.v3i1.325
Zahrok, S., & Suarmini, N. W. (2018). Peran Perempuan dalam Keluarga.
IPTEK : Journal of Proceedings Series, 5, 61–65.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.12962/j23546026.y2018i5.4422

lxxxi
LAMPIRAN

lxxxii
LAMPIRAN 1
INFORMED
CONSENT

lxxxiii
Informed Consent (Pernyataan Kesetujuan)

PERNYATAAN PERSETUJUAN UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI

PARTISIPAN DALAM PENELITIAN KUALITATIF

“Faktor Resiko Parental Burnout pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB

C Yakut Purwokerto”

Uraian tertulis dibawah ini merupakan pernyataan yang akan membantu

Anda dalam memutuskan apakah Anda bersedia menjadi partisipan untuk

berpartisipasi dalam penelitian yang akan dilakukan. Anda memiliki hak penuh

untuk bebas menentukan apakah bersedia berpartisipasi, tidak bersedia

berpartisipasi, atau mengundurkan diri kapan pun Anda inginkan, tanpa tuntutan

apa pun, tanpa mempengaruhi hubungan apa pun dengan peneliti.

Anda berpartisipasi untuk memberikan informasi dan menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian tentang Faktor Resiko

Parental Burnout pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB C Yakut

Purwokerto yang dilakukan oleh Anis Mukarromah mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang disupervisi oleh Dr. Tri

Na’imah, S.Psi., M.Psi, selaku dosen Fakultas Psikologi. Penelitian ini didukung

oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas

Muhammadiyah Purwokerto.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Faktor Resiko Parental Burnout

pada Ibu yang Memiliki Anak Autis. Tujuan penelitian ini bukan untuk

memberikan penilaian baik atau buruk, benar atau salah, dan sejenisnya.

lxxxiv
Seluruh identitas dan informasi yang diberikan akan dijamin oleh peneliti

untuk digunakan sebaik-baiknya dalam penelitian maupun pihak yang memiliki

wewenang terhadap hasil penelitian ini. Informasi mengenai identitas partisipan

yang berpartisipasi dalam penelitian ini hanya akan diketahui oleh peneliti dan

pihak-pihak terkait yang memang mengetahuinya, kecuali inisial nama ataupun

data umum lainnya yang telah disetujui bersama.

Anda berhak bertanya dan memperoleh jawaban sejujurnya dari peneliti

mengenai partisipasi Anda dalam penelitian yang dilakukan. Peneliti menjamin

tidak akan ada resiko atau ketidaknyamanan dalam penelitian yang dilakukan.

Peneliti bersedia menyampaikan hasil penelitian penelitian selesai.

Demikian informed consent (pernyataan kesediaan) dibuat, partisipasi

dalam penelitian ini bersifat sukarela. Jika Anda telah memahami dan bersedia

berpartisipasi sebagai partisipan dalam penelitian yang akan dilakukan, mohon

menyatakan kesediaan dengan menandatangani surat pernyataan inipada kolom

yang telah tersedia dibawah ini. Peneliti akan memberikan Salinan kopian surat

pernyataan untuk Anda simpan. Terima kasih.

Partisipan Peneliti

(…………….) Anis Mukarromah

lxxxv
Foto lembar persetujuan (3 partisipan)

lxxxvi
lxxxvii
lxxxviii
LAMPIRAN 2
PEDOMAN
WAWANCARA

lxxxix
PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Partisipan
Nama :
Usia :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Hari/tanggal :
Waktu :
B. Struktur Wawancara
a. Perkenalan diri interviewer
b. Memberitahu tujuan wawancara
C. Daftar Pertanyaan
Aspek

1. Kelelahan emosional
a. Fisik
1) Bisa diceritakan pengalaman awal mula bagaimana perasaan Ibu ketika
mendengar bahwa anak Ibu didiagnosa autis?
2) Bisa diceritakan pengalaman sakit secara fisik apa saja yang pernah Ibu
rasakan ketika menghadapi anak?
a) Secara fisik, gejala apa saja yang muncul ketika Ibu menghadapi
anak?
b) Apakah Ibu pernah mengalami sakit kepala, pusing, otot menjadi
tegang, atau gangguan tidur ketika menghadapi anak?
c) Coba Ibu ceritakan apa yang dirasakan di badan ibu ketika
menghadapi anak?
d) Pada saat anak berperilaku seperti apa sehingga ibu mengalami
sakit kepala, pusing, otot menjadi tegang, atau gangguan tidur?
e) Apa yang dilakukan Ibu saat mengalami sakit kepala, pusing, otot
menjadi tegang, atau gangguan tidur ketika menghadapi anak?

xc
f) Apa yang membuat Ibu merasa lebih ringan atau lebih baik pada
saat itu?
b. Emosi
Bisa Ibu ceritakan bagaimana perasaan Ibu memiliki anak dengan diagnosa
autis?
1) Ceritakan apa saja yang Ibu rasakan secara emosional ketika
menghadapi anak?
2) Apakah ibu sering merasa mudah cemas, mudah lupa, tertekan, sedih,
mudah marah, merasa kesepian bahkan putus asa dalam menghadapi
anak?
3) Mengapa ibu merasa tertekan, sedih, marah, putus asa dengan keadaan
Ketika menghadapi anak?
4) Apa yang dilakukan ketika ibu cemas, mudah lupa, tertekan, sedih,
mudah marah, merasa kesepian bahkan putus asa ketika menghadapi
anak?
5) Apa yang membuat Ibu merasa lebih baik saat itu?
c. Mental
1) Apakah selama kehamilan Ibu mengetahui bahwa anak Ibu ada
kelainan?
2) Coba ceritakan pengalaman mengenai mental Ibu ketika menghadapi
anak?
a) Masalah mental apa saja yang Ibu alami ketika menghadapi anak?
b) Apakah Ibu sempat menarik diri dari lingkungan karena keberadaan
anak?
c) Apakah dengan keberadaan anak, Ibu merasa lelah?
d) Coba ceritakan apa yang membuat Ibu merasa lelah dan menarik
diri dari lingkungan?
e) Apa saja yang dirasakan ketika Ibu menarik diri dari lingkungan
karena keberadaan anak?
f) Bisa Ibu ceritakan apa saja yang dilakukan Ibu ketika merasa lelah
dan menarik diri dari lingkungan?

xci
2. Jarak emosional terhadap anak
Bisa Ibu ceritakan bagaimana kedekatan Ibu dengan anak?
a. Coba ceritakan bagaimana perasaan Ibu ketika dekat dengan anak?
b. Bagaimana cara Ibu menunjukkan rasa sayang kepada anak?
c. Coba Ibu ceritakan bagaimana cara Ibu menikmati kebersamaan dengan
anak?
d. Bisa Ibu ceritakan hal yang paling berkesan ketika bersama anak?
e. Apa yang muncul dalam pikiran Ibu ketika jauh dari anak?
3. Hilangnya pencapaian pribadi
Coba Ibu ceritakan potensi-potensi apa saja yang Ibu miliki?
a. Bagaimana Ibu mengembangkan potensi tersebut?
b. Apakah dengan kondisi anak Ibu saat ini menjadi penghambat dalam
mengembangkan potensi Ibu?
c. Apakah Ibu pernah merasakan kurang percaya diri dengan keberadaan
anak?
d. Bisa ceritakan pengalaman Ibu saat merasa kurang percaya diri dengan
keberadaan anak?
e. Apa saja yang dilakukan Ibu ketika merasa kurang percaya diri dengan
keberadaan anak?
f. Menurut Ibu, apa keinginan Ibu untuk masa depan Ibu sendiri?
g. Bagaimana cara mencapai keinginan tersebut meskipun dengan keberadaan
anak?
h. Menurut Ibu, seperti apa hidup Ibu seandainya Ibu mempunyai anak
normal seperti yang lainnya?
i. Menurut Ibu, hal apa yang membuat Ibu bahagia?
j. Ceritakan apakah Ibu sudah merasakan bahagia dengan keberadaan anak?
k. Apakah Ibu sudah dapat menerima dengan keberadaan anak?
l. Ceritakan bagaimana proses sampai dapat menerima keadaan anak Ibu?

xcii
xciii
LAMPIRAN 3
PEDOMAN
OBSERVASI

xciv
Panduan Observasi
FAKTOR RESIKO PARENTAL BURNOUT PADA IBU YANG MEMILIKI
ANAK AUTIS DI SLB C YAKUT PURWOKERTO

PARTISIPAN
Berikut ini adalah panduan observasi yang digunakan dalam penelitian ini :
No Aspek-aspek Keterangan
.
4. Kondisi lingkungan - Keadaan tempat wawancara
partisipan dan setting - Interaksi partisipan dengan lingkungan
tempat wawancara sekitar
- Suasana dan kondisi sekitar tempat
tinggal partisipan
- Suasana dan kondisi pada saat
wawancara berlangsung
5. Kegiatan partisipan - Interaksi partisipan dengan lingkungan
pada saat wawancara berlangsung

xcv
LAMPIRAN 4
VERBATIM
PARTISIPAN 1
(YN)

xcvi
VERBATIM
Nama : YN
Tanggal wawancara : 10 Mei 2023
Durasi wawancara : 95 menit
P : Peneliti
P2 : Partisipan 1
No. Hasil Wawancara Tema
1 P : Assalamu’alaikum warohmatullah Rapport
2 wabarakatuh
3 P1: Wa’alaikumsalam warohmatullah
4 wabarakatuh
5 P : Iya, sebelumnya saya akan
6 memperkenalkan diri dulu ya bu, nama saya
7 Anis Mukarromah dari fakultas Psikologi
8 Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
9 Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih
10 karena telah meluangkan waktunya dan
11 mempersilahkan saya untuk berbagi
12 pengalaman mengenai pengasuhan terhadap
13 anak. disini saya sedang melakukan penelitian
14 mengenai parental burnout dimana parental
15 burnout merupakan kelelahan pengasuhan
16 pada ibu. sebelumnya saya mohon maaf jika
17 nantinya harus mengingat pengalaman masa
18 lalu yang harus diingat kembali. karena
19 mungkin dari pengalaman yang Ibu bagi disini
20 akan bermanfaat untuk para Ibu dalam
21 mengasuh yang memiliki anak berkebutuhan
22 khusus. Saya mohon maaf jika ada kata-kata
23 yang kurang berkenan, namun dalam hal ini
24 saya tidak bermaksud untuk membedakan
25 pengasuhan dengan yang ibu lainnya. Karena
26 setiap orang memiliki permasalahan sendiri-
27 sendiri ya. Jadi monggoh silahkan Ibu untuk
28 memperkenalkan diri dulu
29 P1 : Baik mba, perkenalkan saya YN, disini
30 saya mempunyai 2 orang anak kebetulan anak
31 pertama saya didiagnosa autis dan anak yang
32 kedua didiagnosa ADHD.
33 P : Baik, terima kasih Ibu, sekarang boleh
34 ceritakan bagaimana saat kehamilan anak N
35 dulunya bagaimana bu?
P1 : Iya sebenernya si waktu hamil si normal-

xcvii
36 normal aja, wong yang namanya kehamilan
37 pertama ada yang namanya apaya itu ngidam - Saat kehamilan sehat
38 ya saya pikir itu biasa saja - Saat kehamilan Ibu
39 P : Mm iya, maaf dulu saat menikah usia Ibu mengkonsumsi jamu-
40 berapa tahun? jamuan, obat cina, obat
41 P1 : Alhamdulillah saya nikah normal usia 24 dari dokter untuk
42 tahun dan suami 28 tahun. Menikah tahun memperlancar
43 2009. Waktu hamil normal aja si ya, ya karena persalinan.
44 anak pertama jadi ke dokter yang bagus dan - Ibu memakan kopi
45 dicek juga bagus. Memang berat badan kurang bubuk
46 ideal. Dulu badan saya kecil banget, umur
47 udah 24 tahun tapi orang ngira masih muda
48 banget.
49 P : Oo awet muda berati ya hehe..
50 P1 : Iya dikiranya umur 12 tahun, soalnya
51 kecil banget si mba, hamilnya N kecil banget
52 P : Berat badan Ibu berapa waktu itu?
53 P1 : Dulu 45kg, nah kalau lagi hamil kan
54 harusnya jangan kecil banget ya, nah saya
55 setiap kontrol kan di USG, nah kalo di USG
56 kan terlihat baik-baik saja, semuanya bagus ya
57 kita nggak mikir yang gimana-gimana. Nah
58 kebetulan dulu masih tinggal sama orang tua
59 jadi minum jamu, jadi obat masuk, jamu
60 masuk, yang buat lancar persalinan itu loh
61 P : Oo.. bukan rumput fatimah ya?
62 P1 : Bukan, itu tu ting bao, juga aku dulu
63 doyan banget makan kopi pas hamilnya N,
64 nggak tau apa itu efek dari campuran semua
65 apa gimana
66 P : maksudnya makan kopi bagaimana?
67 P1 : kopi pahit dijambal yang masih dalam
68 bentuk bubuk.
P : masih dalam bentuk bubuk?
69 P1 : Iya mba jadi kaya keenakan, nah pas N
70 lahir, beratnya si normal ya 2,8kg itu normal
71 cuman ketubannya itu kering jadi anaknya
72 ngokop ketuban diputer ari-ari. Nah ndilalah
73 pas babarannya itu ngangkat kidang loh jadi
74 berasa jam 9 lalu lahir jam 9 pagi, jan luar
75 biasa banget, nah itu keluar darah dulu kan.
76 Pas N lahir itu nggak langsung nangis jadi dia
77 pernafasan kurang. Nah saya nggak tau
78 pastinya ya, saya lahiran di bidan Limas
79 Agung, nah disana nggak ada oksigen, lalu
80 saya dibawa ke RS DKT, nah di DKT nggak

xcviii
ada fasilitas nah terakhir dibawa ke Margono,
81 nangiisss terus Saat anak dilahirkan
82 P : Oo jadi pindah-pindah ya -Berat badan 2,8kg
83 P1 : Iya, jadi dari Limas Agung si N itu sama -Saat lahir bayi tidak
84 sekali nggak nete saya sampai dibawa ke menangis
85 Margono lha anaknya kurang oksigen si, dia -Bayi kekurangan
86 nangiiisss terus, apalagi malem-malem oksigen
87 nangiiiss terus nggak berhenti-berhenti, kan -Dilahirkan di bidan
88 yang jagain mbah putri sama budenya pada dirujuk ke RS DKT lalu
89 bilang iya kok nangis terus anakku. Kan aku dirujuk lagi ke RS
90 di masih di Bidan, dan si N di Margono Margono karena
91 P : Oo berjauhan fasilitas lebih lengkap
92 P1 : iya, nah anaknya kan belum ngerasain -Anak menangis terus
93 susu, ndilalahnya saya kan awam, putingnya menerus
94 nggak keluar, susunya nggak langsung -Memanggil paranormal
95 disedotin jadi nggak langsung keluar. Nah karena anak menangis
96 sudah itu kami pulang, terpaksanya dikasih kejer setiap hari
97 susu formula, karena di Margono kan udah puncaknya pada waktu
98 dikasih susu formula kan nah pas diajarin maghrib
99 minum ASI itu nggak mau-mau terus -Malampun sering
100 nangisnya ngejer jadi setiap hari itu nangis menangis
101 terus. Apalagi habis maghrib itu nangis, habis -Ibu merasa bingung
102 maghrib pasti nangis. Nah kalo kata orang karena anak menangis
103 jawa bilang kena sawan. Nah pas masih usia sepanjang hari
104 sebulan kan udah dipanggil orang pinter ke -ASI belum keluar,
105 rumah, beberapa bulan panggil lagi orang diberi susu formula
106 pinternya. Jadi sama dibawa ke dokter masih
107 nangis nangis terus. Ya singkat cerita dari usia
108 0-6 bulan di situ bermasalah lah, ya nangis
109 teruuss, nangis tidak ada sebabnya apalagi kan
110 nggak ngearasain yang namanya nyusu ASI
111 ya. Ya udah kaya gitu gimana si, stress kan
112 ngeliatnya lha kie kepriwe nangis bae aku
113 bingung ya kan
114 P : Mm Ibu sempat mengalami
115 P1 : pas mau ngajari nenen, anaknya nangis baby blues
116 duluan, anaknya nggak sabar jadi terpaksanya - Stress, bingung karena
117 kasih sufor lagi. Mungkin dari anaknya di anak sepanjang hari
118 tenggorokannya masih ada bekas selang kali menangis terus selama
119 ya 0-6 bulan
120 P : Maksudnya selangnya masuk ke dalam - Anak terkena flek paru,
121 tenggorokan saat di Margono? lalu pengobatan selama
122 P1 : iya, aku malah pahamnya malah maju 6 bulan
123 kesini, ibu saya sibuk, saya nggak ngerti,
124 suami juga capek kerja, kadang kan saja
125 fokusnya sendiri, anak nangis terus wis

xcix
126 hawane eeeehhh…
127 P : Itu sempet baby blues nggak bu?
128 P1 : Ya iya lah mba
129 P : Apa yang dirasakan waktu itu?
130 P1 : Ya stress, bingung anak selalu nangis
131 malem-malem. Pas dibawa ke dokter eh nggak
132 jadi nangis. Ngasih numpak becak jaman ganu
133 udan-udan, gerimis gutul dokter anak berkoh
134 itu Priyanto apaya nah wis gutul ngonoh koh
135 bocaeh meneng dadi aku minta vitamin lah.
136 Pas diperiksa anaknya nggak kenapa-napa kok
137 bu, nggak panas nggak apa jajal
138 P : Oo itu pas usia berapa bulan bu?
139 P1 : Itu belum ada 6 bulan, pas 6 bulan kesana
140 pengalamannya baru lagi hehehe
141 P : Berarti itu diperiksa karena nangis terus ya
142 P1 : Iya, lalu dikasih vitamin untuk otak
143 mungkin lagi pusing apa gimana ya jadi
144 dikasih vitamin untuk otak. Nah terus udah
145 berjalan setengah tahun, nah saya lihat
146 perkembangannya, pas ada suntik. Pas
147 ditimbang kok BB anak nggak nambah-
148 nambah ya bu coba ganti susu mba. Tapi
149 terkadang dia itu badannya merah-merah ya
150 mungkin karena alergi susu sapi, sering si
151 kaya bercak-bercak, nah pas umur berapa gitu
152 dia udah kena campak, panas tinggi, diare
153 terus. Nah terus ke RS Bunda ke dokter anak
154 lalu didiagnosa flek pas usia 6 bulan dan
155 obatnya dikasih yang merah itu diminum
156 setiap pagi dan harus setiap hari itu selama 1,5
157 tahun apa ya
158 P : Oh bukan 6 bulan ya?
159 P1 : iya 6 bulan, terus berjalan 3 bulan lagi
160 jadi 9 bulan, karena masih terlihat bercak di
161 paru-paru. 6 bulan kan di rontgen lagi tuh, itu
162 agak mending terus berjalan 3 bulan lagi.
163 Terus anaknya kurus, makannya susah terus
164 saya bawa ke dokter anak. dokter Mukson,
165 tapi disuruh periksa otak
166 P : Itu usia berapa tahun anaknya bu?
167 P1 : Itu pas selesai flek ya setahun lebih, coba
dibawa di dokter anak mbok ada perbedaan
168 P : Oo dibawa ke dokter, itu kenapa bisa - Ada kecurigaan badan
169 dibawa ke dokter bu? dan kepala tidak bisa
170 P1 : Itu karena kepalanya nggak bisa tegak, tegak, lalu disembur

c
171 tengkleng tengkleng bae. Ya sampe dibawa oleh paranormal
172 pijet, digawa ming wong pinter sing endi bae - N mengikuti terapi
173 ya, ana sing nganti disembur karena urung - Saat N usia 2,5 tahun
174 bisa tegak si. karena kan mertuaku orang desa lalu Ibu melahirkan
175 nah orang tuaku nol banget nggak tau hal-hal anak kedua
176 kaya gitu dan sedikit tidak percaya ya aku
177 manuti pihak mertua lah ya. nah jadi
178 dokternya jalan, orang pinternya juga jalan
179 hahaha..
180 P : Mm kolaborasi ya hehe..
181 P1 : Iyaa, ya percaya nggak percaya lah ya
182 intine pengalaman si N itu luar biasa
183 prosesnya. Udah anak pertama, kondisi fisik
184 lemah, anaknya kecil nah ndilalaeh saya
185 berhenti KB kok hamil
186 P : Pas hamil adiknya si N usia berapa tahun?
187 P1 : Si N usia 2 tahun apaya eh, dadi hamil
188 besar adiknya babaran si N 3 tahun eh 2,5
189 tahun. Iya 2,5 tahun
190 P : Lalu perkembangannya bagaimana bu?
191 P1 : Iya melalui proses mba, ya merangkaknya
192 lama sampe naik tangga tapi kalau adiknya
193 nggak ada proses merangkak. Terus si N juga
194 lemah di kaki, karena dia tinggi
195 P : terapi juga ya bu?
196 P1 : iya terapi, tapi nek terapi tuh ya
197 terapisnya ngomong bae dadi anake ya turu,
198 kaya berasa didongengi hihihi, yang pak Tri
itu terapis okupasi
199 P : Berarti pas didiagnosa autis itu usia berapa Awal mula didiagnosa
200 tahun bu? autis
201 P1 : Ya 1,5 tahun apaya, pokoknya pas udah - Usia 1,5 tahun anak di
202 selese flek, setelah sembuh disuruh rontgen rontgen terlihat struktur
203 otak ternyata apaya tidak penuh katanya, jadi otak tidak penuh, lalu
204 bagian otak apa gitu nggak penuh, jadi sama divaksin untuk
205 dokter dikasih vaksin untuk otak takutnya ada mencegah kanker otak
206 kanker otak 1 kali, terus disarankan untuk - Saat disekolahkan usia
207 terapi lengkap karena anak udah usai 2 tahun 3,5 tahun mulai timbul
208 belum bisa ngomong, belum bisa jalan. kecurigaan saat di
209 Terapinya wicara, okupasi sama sensorik. sekolah seperi eye
210 Pernah yang sensorik yang disinar sinar, teru contact, sikap dan pola
211 ditekuk kakinya anaknya
212 P : Berarti itu belum didiagnosa autis ya?
213 P1 : didiagnosanaya, iya belum. Diagnosanya
214 itu pas habis terapi 1,5 tahun, karena saya
215 merasa terapinya tidak efisien 3 tahun

ci
216 langsung adiknya lahir, 3,5 tahun si N
217 langsung dimasukkin Calita (sekolah inklusi),
218 pas 3 tahun udah bisa jalan tapi secara fisik
219 dia belum maksimal masih kurus, kecil juga
220 jam tidurnya kurang bagus tapi tak paksain dia
221 harus sekolah terapi yang langsung terjun gitu
222 ya. soalnya kalo terapi hanya 1 jam, kalo
223 sekolah kan waktunya lumayan. Nah pas
224 sekolah itu baru didiagnosa autis
225 P : Mm..
226 P1 : langsung saya browsing-browsing dan
227 beli buku nah dari situ saya tau. Oo iya ya,
228 dilihat dari tatapan matanya, sikapnya,
229 polanya, yang flufing
230 P : lalu bagaimana reaksi pertama Ibu ketika Ketika didiagnosa autis
231 anaknya didagnosa autis? - kaget
232 P1 : kaget mba, kaget banget. Memang saya
233 lihat perbedaan dari anak saya sama anak lain.
234 Tapi untungnya anak saya udah bisa jalan, nah
235 pas pertama kali bisa jalan, lagi seneng-
236 senenge jalan jadi jalaaaannn terus nggak bisa
237 diem hehehe.. nah pas usia 5 tahun, dia kena
238 sinus yang berbau, jadi bauu.. banget.
239 Mungkin karena dia minum susu terus. Aku
240 aja anak saya nggak boleh minum susu pas
241 sekolah di Calita. Nah biasalah ya anak
242 pertama pengennya yang terbaik susunya yang
243 mahal, kaya Nutrilon wong duit ya bisa
244 nggolet, diet kan nggak boleh, sekarang
245 minumnya SGM yang soya. dia lebih banyak
246 minum susu dibandingkan makan, jadi giginya
247 karies. Mungkin karena giginya rusak apa
248 gimana terus jadi akibatnya di sinus, tapi
249 sinusnya itu yang berbau itu loh mba. Jadi
250 pilek tapi yang berbau banget
251 P : Mm tapi ingusnya keluar?
252 P1 : iya keluar, aku aja baru tau loh ada
253 penyakit kaya gitu. Jadi sempet tek berhentiin
254 sekolah karena sinus. Mungkin karena sinus
255 ya, giginya jadi sering sakit jadi buat makan
256 nggak terlalu nafsu. Nah karena daripada
257 nggak masuk makanan sama sekali, maunya
258 hanya mie instan saman dog, yawislah gak
259 papa. Terus daripada nggak ada asupan
260 minuman akhirnya aku kasih teh
261 P : Mm.. maaf bukannya tidak boleh terlalu

cii
262 banyak minum teh ya?
263 P1 : iya sebenernya nggak boleh sama dokter,
264 tapi ada dokter yang bilang daripada nggak
265 ada asupan sama sekali. Makanya ini anak kan
266 gering banget, bener-bener kaya anak kurang
267 gizi. Udah nggak suka susu si, maunya teh teh
268 bae. Nah pas umur 8 tahun opname di
269 Margono 3 hari di cek semuanya. Nah dulu
270 kan pernah flek, ini kena flek lagi, pengobatan
271 lagi. Terus ke dokter gigi, cabut gigi yang
272 item-item itu jenn kepenak banget nyabute
273 koh. Hahaha…
274 P : Mmm..
275 P1 : nah setelah pengobatan flek itu 6 bulan,
276 sinusnya malah sembuh, ya jajal banyangin
277 mba, anak sinus sing nganti mambu selama 2
278 tahun mbok
279 P : Iya ya, apalagi anak nggak bisa
280 mengutarakan apa yang diinginkan
281 P1 : Iyaa itu, kadangkan kalau sama orang lain
282 saya nggak enak kan ya, wong keadaan dia
283 autis aja nggak nyaman apalagi ditambah
284 sinus yang bau banget
285 P : nah pas N usia 3,5 tahun kan adiknya lahir
286 ya, nah itu direncanakan atau tidak?
287 P1 : enggak-enggak, wong pas testpack kaget
288 mbok, loh deneng aku hamil. Jadi gini
289 ceritanya, kan walopun wis Ibu-ibu pengene
290 kan penampilan tetep dijaga, nah dulu aku KB
291 sunti, sedangkan kalo suntik kan ngefeke
292 gemuk. Akhire mandeg KB, nah terus sing
293 jenenge lagi main kan ada aja ya, sampe
294 kejebolan, kebablasan haha
295 P : waktu hamil anak kedua ada perbedaan
296 tidak bu, karena pengalaman anak pertama
297 dilakuin dan anak kedua tidak dilakukan?
298 P1 : iya adaa, ada ketakutan. Tapi di
299 kehamilan kedua ini malah saya sehat, gemuk,
300 doyan makan, vitamin masuk. Nah pas hamile
301 N memang banyak drama, jadi selama 9 bulan
302 masih mual, nah buat ngilangin mualnya itu,
303 saya makanin kopi gituu. Pas adiknya malah
304 lahirnya sehat, anaknya gemuk nggak
305 bermasalah, nah tapi yang Namanya anak
306 beda sama yang normal ya, pas umur 6 bulan
307 kaya beda gitu

ciii
308 P : bedanya gimana bu?
309 P1 : jadi tatapan nggak fokus, nah kalau bayi
310 itu yang dilihat pertama itu mata, fokus nggak
311 kalau dipanggil. Kalau secara fisik adiknya ini
312 bagus semua, Cuma dari perkembangan dia
313 melewati tahapan merangkak, jadi langsung
bisa duduk dan jalan. Nah adiknya kena
ADHD, langsung terapi ke Margono
314 P : Mm.. nah dulu pas pertama kali mendengar Perasaan ketika
315 N didiagnosa autis itu bagaimana perasaan mendengar anaknya
316 Ibu? autis :
317 P1 : Kaget mba, sempet marah dan takut, terus - Kaget
318 aku menyalahkan anak, kaya ngeluarin kata- - Marah
319 kata yang nggak harus diucapin terus sempet - Takut
320 bertanya kenapa si koe lahir. sedih, aku - Sedih
321 langsung beli buku autis dan indigo, - Menyalahkan anak
322 P : Indigo? - Menanyakan mengapa
323 P1 : Iya, anak saya itu sensitive, dan bisa anak ini lahir
324 melihat hal-hal yang nggak bisa kita lihat, tapi - Ke paranormal untuk
325 dia diem kalau dia lihat, nggak ngomong berobat
326 nggak nunjuk-nunjuk. Paling pas kecil itu dia
327 kalau liat sesuatu pasti nangis. Terus ke orang
328 pinter, diraupin, ada yang bilang ada ngikutin
329 lah inilah itulah..
330 P : Mm..
331 P1 : Terus saya bawa ke RS Banyumas untuk
332 terapi biar bisa ngomong
333 P : Mm berarti Ibu sudah melakukan banyak
334 hal untuk N ya
335 P1 : laaahhh mbaa.. aku kue wis tau njajal
336 kabeh, wis maring ngendi bae men N mari, iya
337 maring wong pinter, disembur. Nah aku siki
338 nggawe kesimpulan, jane obate kue neng
339 awake dewek janeee.
340 P : Mm..
341 P1 : Apalagi aku kan nggak jauh dari
342 kehidupan keluarga ya, keluarga yang masih
percaya ke orang pinter, aku udah nggak tau
jalan lain lagi.
343 P : Nah Ibu dulu saat sedang bersama anak Gejala fisik yang
344 pernah merasakan sakit fisik nggak? Misal dihadapi ketika
345 sakit kepala, pusing atau apa gitu? menghadapi anak
346 P1 : iya dulu ituu.. sempet susah tidur mba, - Gangguan tidur
347 karena kan anaknya juga sering melek malem. - Badan pegal-pegal
348 Terus badanku sering pegel-pegel, padahal ya - Pusing
349 ora ngapa-ngapa.

civ
350 P : lalu apa lagi yang Ibu rasakan?
351 P1 : sini loh yang bagian pelipis itu sering
352 pusing, kalau dipijet tuh enak banget
353 P : Pada saat anak sedang apa sehingga Ibu mengalami
354 membuat Ibu mengalami gejala fisik? gangguan tidur, pusing
355 P1 : seringnya kan ya anakku suka banget dan pegal-pegal ketika
356 berantakin barang-barang yang ada di rumah, anak:
357 wis diberesi berantakan maning, nah terus kan - Tantrum
358 anakku cokan kulitnya ruam-ruam merah - Memberantakkan
359 karena alergi barang-barang
360 P : Mm.. lalu apa lagi? - Ruam kemerahan
361 P1 : pas lagi tantrum mba, itutuh yang bikin karena alergi
362 bener-bener rasanya kaya kepala mau pecah
363 P : lalu apa yang dilakukan Ibu ketika Yang dilakukan Ibu
364 gangguan tidur, pusing dan pegal-pegal? ketika mengalami
365 P1 : Mmm.. biasane ya tek gawa cerita mba gangguan tidur, pusing
366 sama ibu, apa sing tek rasa tek cerita. Terus dan pegal-pegal
367 tiduran, nah itutu jadi hawane ngapa-ngapa - Tidur-tiduran
368 males, arep ngapa-ngapa ogah-ogahan gitu, - Bermalas-malasan
369 nggak ngapa-ngapain jadi kaya wong sing - Cerita apa yang
370 dablongan banget, dadi kepengine arep apa dirasakan
371 gitu ya wis ada di depan mata, kaya pengen
makan
372 P : lalu apa yang membuat ibu lebih baik saat Yang membuat Ibu
373 itu? merasa lebih baik
374 P1 : ya mikir, jane semuanya itu tergantung - Menjalani hidup
375 dari pikiran kita. ya jadi hidup dijalani aja, - Ubah mindset
376 P : Mm..
377 P1 : Apalagi aku kan nggak jauh dari
378 kehidupan keluarga ya, keluarga yang masih
379 percaya ke orang pinter, aku udah nggak tau
jalan lain lagi.
380 P : bisa diceritakan pengalaman Ibu ketika Yang dirasakan secara
381 menghadapi anak apa yang dirasakan secara emosional : emosi
382 emosional? - Mudah marah
383 P1 : aku gampang banget marah mba, padahal - Cemas
384 sing dihadapi masalah cilik tapi gampang - Takut
385 banget kesuhan - Overthinking
386 P : Mm.. - Sering bicara kasar
387 P1 : terus iya pernah, dulu pesti pas arep pada anak
388 maghrib aku was-was, takut, aduh anakku - Putus asa
389 pasti nangis-nangis, temenan dadi nangis - Memukul anak
390 P : oo berarti seringnya nangisnya itu pas
391 setelah maghrib? Pagi siang sore enggak
392 nangis ya
393 P1 : iyaa enggak, iya mungkin karena diliatin

cv
394 makhluk itu ya. mungkin sekarang dia udah
395 biasa ya, jadi kalau dia diliatin paling cuma
396 gini gini tok. Kalau di rumah ini si biasa ya,
397 paling di kontrakan sebelumnya itu sering
398 diliatin
399 P : berarti Ibu pas mau maghrib itu ada rasa
400 cemas?
401 P1 : iya cemas, takut, apa maning ganu itu
402 banyak banget masalah ya, wis ekonomi urung
403 stabil, baru mulai usaha, sekolah biayane
404 lumayan, anak tantrum, nganti nganu/mukul,
405 sering ngomong kasar, yang seharusnya tidak
406 terucap. Koe nggawe dosa mamah terus,
407 nggawe kesuh mama terus, iya itu pernah
408 P : Mm.. dengan semua yang Ibu alami,
409 apakah Ibu pernah putus asa dengan
410 keberadaan anak?
411 P1 : banget mba banget, iya mba pernah
412 banget putus asa, nyong arep ngelangkah kaya
413 apa kue bingung, soalnya kan basic saya
414 dulunya pernah kerja, masih layak, saya masih
415 bisa bekerja walaupun dengan kondisi anak
416 saya begini. saya bisa usaha, tapi nggak bisa
komitmen loh. Kaya lagi nyamed gawe bocah
ganggu, jadi nggak bisa fokus
417 P : pada saat anak berperilaku seperti apa Alasan mengapa cemas,
418 sehingga Ibu menjadi mudah marah, sering mudah marah, bicara
419 bicara kasar, cemas? kasar
420 P1 : ya hawane ke kesuh bae, misal wong - Anak selalu
421 tuane lagi nyamed gawe, terus dia itu memancing ibu untuk
422 mberantakin apa gitu. Pernah itu tengah marah
423 malem, aku lagi bebikinan makanan buat - Anak mengacak-acak
424 dijual, saya udah prepare semuanya nah aku barang-barang di
425 kecapean, ketiduran terlelap. Ehh diacak-acak rumah
426 sama dia, dia mainin, ya air, ya adonan terigu - Memberantakkan apa
427 semuanya, saya udah nggak bisa apa-apa ya yang sudah dilakukan
428 Allah saya udah marah banget, tek bentak- ibu
429 bentak, sering mukul tuh aku dulu.
430 P : Mm iya iya
431 P1 : ya emang beda si ya sing ekonominya
432 lagi labil sama yang udah stabil. Emosinya
433 beda, kalo dulu kan ya waah sangat nguras
434 emosi banget. Nah siki ya wis mendingan ya
435 ora begitu.
436 P : Mm.. lalu apa yang dilakukan Ibu ketika Yang dilakukan ketika
437 cemas, mudah marah, bicara kasar dan lain- cemas, mudah marah,

cvi
438 lain? putus asa
439 P1 : yaa tek salurkan bae emosine mba, misale - Meluapkan emosi yang
440 lagi kesuh, ya wis kesuh bae, aku ora bisa tek dirasakan
441 tahan. jane ya, anak dengan keadaan kaya kie - Bercerita dengan orang
442 kue tergantung orang tua, kalo ibu tenang, yang nyaman(Ibu)
443 anak pasti tenang (nada bergetar), tapi kalau - Berpikir semua
444 orang tua lagi tukaran, musuhan, hawane tergantung dari mindset
445 kesuh anak juga bawaane marah. Mungkin Ibu
446 karena keadaan ya, itu capeknyaa, kesel,
447 punya anak seperti ini. Terus anaknya itu
448 seolah-olah mancing bae, nggawe marah.
449 P : bisa Ibu ceritakan apa yang dilakukan Ibu
450 ketika merasa cemas, mudah marah, putus asa
451 dengan keberadaan anak?
452 P1 : apa yaa.. Mm..
453 P : apa dengan bercerita ke suami atau
454 gimana?
455 P1 : Oo nggak mungkin, yang ada nambah
456 masalah. Jadi aku tuh sama ibuku kaya besti,
457 jadi ibuku ngerasani ramaku, aku ngerasani
bojoku. Hahaha..
458 P : Ibu dalam mengasuh N masalah mental apa Mengalami kelelahan
459 yang pernah Ibu alami, seperti contohnya emosional : mental
460 pernah merasa aduh kok capek banget ya - Capek
461 P1 : Iyaa mba, pernah ngerasa capek, lelah, - Lelah
462 kadang mikir apa kie salahku apaya, apa - Menyalahkan orang
463 salaeh suami gitu. sekitar
464 P : Mm.. - Menyalahkan diri
465 P1 : terus kadang nyalahin dewek, apa sendiri karena terlalu
466 mungkin ganu aku kakehen minum obat apa banyak minum obat
467 ya dadi bocaeh kaya kie, dongene aku aja dan jamu
468 minum jamu ya dadine kie bocah ora ngokop - Menarik diri dari
469 ketuban lingkungan
470 P : apakah Ibu pernah merasakan menarik diri - Malu
471 dari lingkungan atau malu begitu? - Kesepian
472 P1 : emm.. menarik diri iya pernah mba, dadi - Tekanan batin
473 neng ngumaaah bae ndina-ndinane. Terus - Tidak bisa menjadi diri
474 emm.. kalo malu mba juga iya, apalagi pas sendiri
475 sinusnya bau, aku kadang berpikir, deneng aku
476 anake loro pisan kaya kie ya. kadang ana sing
477 ngomong aku nikah sodara deneng anake
478 nganti kaya kie
479 P : dari keluarganya Ibu ada yang mengalami
480 autis tidak?
481 P1 : kalau dari keluarganya aku si ada, adikku,
482 tapi cerebal palsy

cvii
483 P : lalu apalagi bu yang dirasakan secara
484 mental?
485 P1 : terus emm.. kesepian mba, dulu pernah
486 reuni alumni kerjaan dulu, pas pulang pulang
487 langsung ditanya, ketemu sama, siapa dimana,
488 hp langsung diambil terus dibanting jann lara
489 ati banget.
490 P : Mm..
491 P1 : nek melihat ke belakang ya, pas jaman
492 jamane gadis, ndeleng wong lanang kaya kue
493 ya wis, moh. Ana sing kaya kae , yam oh. Ora
494 sreg setitik, moh. Njeleih cut kabeh.
495 P : apakah Ibu menyesal dengan semuanya?
496 P1 : Mm.. menyesal si enggak ya, Cuma
497 deneng kaya kiye, apa sih. Cuma kalo misal
498 ada laki-laki terus saya tertarik, yaitu enggak,
499 karena arahnya udah ke anak. mungkin ada
500 beberapa yang naksir gitu ya, tapi aku
501 mending enggak gitu, dadi ngana wis paham
502 aku wis ngehindar
503 P : tadi Ibu sempat bilang malu, malu yang
504 seperti apa bu?
505 P1 : iyaaa.. itu, saya malu banget, karena
506 anaknya udah autis ditambah lagi punya sinus
507 yang bauu banget jadi saya takut kalau orang
508 lain nggak nyaman dengan adanya anak saya
509 pas dideketnya, soalnya anak saya di sekolah
510 masih sering mukul, suka ngusel-ngusel
511 P : jadi Ibu nggak enak sendiri ya?
512 P1 : nahh iya..
513 P : lalu apalagi yang Ibu rasakan?
514 P1 : emm.. tekanan batin mba
515 P : bisa dijelaskan tekanan batin seperti apa?
516 P1 : jadi tuh tekanan batin dalam artian udah
517 punya anak kaya gini, terus belum lagi
518 ngimbangin karakter suami kaya gitu yang
519 suka marah nggak tau sebabnya apa, Namanya
520 rumah tangga baru kan buat ngimbangi
521 karakter kan
522 P : iya iya..
523 P1 : terus juga saya nggak bisa jadi diri sendiri
524 mba, karena ngerasa hidupku harus
525 dipertaruhkan untuk anak-anakku
P : Mm..
526 P : apa yang dirasakan Ibu ketika lelah, Yang dirasakan Ibu
527 menyalahkan orang sekitar, menarik diri dari ketika merasa lelah,

cviii
528 lingkungan? menyalahkan orang
529 P1 : Sebenernya aku semenjak punya anak itu sekitar, menarik diri,
530 menjauh dari teman-teman, jadi nggak punya kesepian :
531 teman, hanya sama teman-teman tertentu yang - Takut menjadi bahan
532 dekat. Karena mikirnya itu ntar kalo nggak perbincangan orang
533 menjauh dari temen-temen malah nggo
534 rasanan. Dadi ngubek ubek neng ngumah bae.
535 makanya aku bikin rumus sendiri, sebelum
536 aku gela, mending aku menghindar
537 P : lalu bagaimana hubungan Ibu dengan Hubungan dengan suami
538 suami saat ada anak N ini?
539 P1 : dulu kan masih awam, tingkat
540 kedewasaannya belum ya, masih awal-awal
541 pernikahan juga ya, ditambah dengan adanya
542 N. ternyata waktu pacaran kaya gini kok pas
543 udah rumah tangga kok kaya gini, ya kaget.
544 Apalagi pas baru nikah langsung hamil, jadi
545 kebawa pas hamil, posisi nggak pernah di
546 rumah ya, dalam artian bali mung turu,
547 mangkat maning, kaya kue terus apa maning
548 di rumah orang tua ya jadi belum ada
549 penyesuaian dari kita.
550 P : Emm.. kaya beda pendapat ya?
551 P1 : Iyaa, kadang akune sing nyanteng apa
552 kepriwe. Nah ganu pas hamile N aku esih
553 baperan, siki tah wis ngonoh arep ngapa, ora
554 digawa rasa arep polah kaya apaya. dia itu
555 lebih suka diam, jadi di situ nggak ngomong
556 kalau ada masalah. Lebih banyak diam jadi
557 aku nggak tau masalah saya dimana. Soale
558 suami itu Sukanya bawa-bawa masalah di
559 kerjaan ke rumah gitu yang saya tau dia nggak
560 mau cerita. Jadi aku tuh mikir dewek, apa
561 kesalahane akuu.
562 P : Mm..
563 P1 : yaa jadi hidup dijalani aja, karena saya
564 nggak punya teman, jadi tuh dulu saya punya
565 banyak teman pas sebelum menikah. Nah pas
566 udah nikah udah “cut” nggak ada teman sama
567 sekali, soalnya kan suami cemburuan, itu yang
568 selama ini saya jalani (nada bergetar). Soalnya
kita juga sama-sama keras,
568 P : Ibu ada rencana kedepan mau gimana Rencana untuk masa
569 untuk anak? depan
570 P1 : iya pastilah mba, kan kalau anak kaya - Mengasah
571 gini nggak mungkin kerja, nggak mungkin keterampilan anak

cix
572 untuk intelektualnya kita menuntut yang
573 berlebih, walaupun sekarang udah kelas 5 SD
574 ya belum bisa baca, menulis 1-10 aja udah
575 alhamdulillah, jangan menuntut ini itu, aku
576 melihatnya ke bawah, masih ada yang pake
577 kursi roda yang lebih parah, ada yang
578 ngeblank, mung awake tok sing gede,
579 diprentah ora ngerti, paling anak saya diasah
580 misal keterampilan, kita sebagai orang tua
581 harus memfasilitasi. Ya kita sebagai orang tua
582 harus priatin buat kedepannya anak, nggak
papa ngoyo
583 P : coba Ibu ceritakan tentang kedekatan Ibu Kedekatan Ibu dengan
584 dengan anak? anak
585 P1 : aku tuh bukan Ibu yang perhatian - Bukan tipe ibu yang
586 P : Oh maksudnya gimana bu? perhatian terhadap
587 P1 : iya masalahnya kalo aku ngurusin yang anak
588 ini, yang sana cemburu
589 P : lalu bagaimana perasaan Ibu ketika dekat Perasaan ketika dekat
590 dengan anak? dengan anak
591 P1 : gimana ya mba, aku juga bingung,
592 pengennya sih anak bisa main sendiri, nggak
593 menggantungkan aku. Kalau apa-apanya sama
594 aku lah yaa aku juga kewalahan mba. Aku
595 juga pengen nonton drakor, menghibur diri
596 yah gitu-gitu lah mba
597 P : bagaimana Ibu cara menunjukkan rasa Cara Ibu menunjukkan
598 cinta ke anak? rasa cinta terhadap anak
599 P1 : saya itu termasuk Ibu yang nggak suka - Tidak suka
600 nunjukkin rasa cinta ya, saya termasuk ibu menunjukkan rasa cinta
601 yang galak, tegas, walopun anak saya salah ya - Bukan tipe Ibu yang
602 salah walopun seperti itu, saya itu bukan tipe terlalu sayang anak
603 ibu yang terlalu sayang sama anak
604 P : emm lalu bagaimana cara ibu dalam Cara menikmati
605 menikmati kebersamaan dengan anak? kebersamaan dengan
606 P1 : Emm.. aku si nggak kepikiran buat ada anak
607 waktu bareng sama anak ya mba, soalnya
608 waktuku aja habis sama anak, udah nggak ada
609 waktu buat aku sendiri. jadi kalau ada waktu
610 aku lebih memilih me time sih
611 P : lalu coba ceritakan pengalaman apa saja Hal yang paling
612 yang berkesan bagi Ibu ketika bersama dengan berkesan ketika bersama
613 anak? anak
614 P1 : saya itu terkesan kalo ada kemajuan hal- - Jika ada kemajuan
615 hal kecil, kaya toilet training. Sebelumnya kan perkembangan dari
616 pake pampers, nah terus belajar toilet training anak

cx
617 ada kemajuan. Pipis langsung ke toilet gitu.
618 Tapi kalau aku ngeliat nggak ada kemajuan
619 dari anak, terus ngeliat anak lain bisa ini itu
620 tuh itu aku kaya ngerasa gagal gitu jadi ibu
621 P : bagaimana perasaan Ibu jika jauh dengan Nyaman saat jauh
622 anak? dengan anak
623 P1 : emm… gimana yah mba, istilahnya tuh
624 aku tuh sayang ya sama anak, tapi kalau
625 misalnya anakku jauh tuh aku ngerasa
626 nyamaaaan banget. Aku jadi punya waktu
627 untuk sendiri, bisa tenang kalau ngerjain
628 kerjaan rumah, tenang
629 P : coba ceritakan potensi-potensi apa saja Potensi yang dimiliki
630 yang Ibu miliki? ibu
631 P1 : sebenernya kalo dikembangkan ya, saya - Mahir memasak
632 itu punya potensi masak, mungkin karena - Berbakat dalam dunia
633 turunan ya, masakanku menurutku enak. Terus fashion
634 suka dengan fashion, saya sering bikin baju - Merasa masih layak
635 dari kresek untuk fashion show anak-anak, untuk bekerja karena
636 saya suka itu. Cuma ya itu saya nggak bisa mempunyai badan
637 ngembangin karena harus membagi waktu, yang bagus
638 pikiran, tenaga, perhatian. Nah itu jadinya
639 nggo ngelangkah kue angel
640 P : Mm..
641 P1 : sebenere aku mempercantik diri, ke
642 sekolah nganter anak itu bukan buat orang
643 lain, tapi buat kepuasan sendiri, oh aku masih
644 cantik ya, bukan buat menggoda orang lain, ya
645 kalau dia suka dengan dandanan aku kaya gini
646 kan aku memang dicukupkan sama dia.
647 P : mm..
648 P1 : terus saya kan juga bosen ya karena kan
649 nggak kerja hanya di rumah ngurus anak,
650 kasarane aku kan esih ayu, badane apik esih
651 bisa dadi SPG maning dan masih berlaku kan.
652
653 P : Mm.. jika bukan karena anak bagaimana Cara mengembangkan
654 cara mengembangkan potensi yang Ibu miliki? potensi Ibu
655 P1 : sebenernya gini ya, nomor satu itu - Memasak lalu dijual
656 pasangan. Nah saya itu tipe orang yang nggak - Bisa bekerja
657 mau disalahkan, nah suamiku tipe orang yang
658 suka nyalahin. Jadi yaudahlah prinsip saya,
659 selama dia bisa mencukupi, yaudahlah aku
660 ngalah. Sebenere gatel banget pengen kerja.
661 Kadang bikin bikin kue gitu-gitu. Yaa karena
662 semua udah terbiasa hidupku kaya gini jadi ya

cxi
663 udah nggak ada keinginan buat ngembangin,
664 udah males hawane. Udah nggak mikir buat
665 sendiri, sepenuhnya buat anak
666 P : Ibu senang dengan bebikinan makanan
667 terus dijualin ya?
668 P1 : seneng mba, aku kan suka masak. Jadi
669 kaya menyalurkan hobiku, terus dijual-jualin
670 ke pasar. Dapet duit seneng aku dan puas bisa
671 dapet duit sendiri. sebenere kalo dibilang
672 kurang ya ora kurang, kadang kan wong
673 wadon ada kepuasan tersendiri kan
674 P : iya iya..
675 P1 : suami juga membolehkan terserah
676 uangnya mau dipake buat apa buat seneng
677 seneng, tapi kan aku kadang suka mikir mikir
678 nek arep nganggo duite suami, pengine due
679 usaha dewek. Siki sing penting kue ibune, nek
680 ibune happy pesti neng ngumah happy, tapi
681 nek ibune gemrungsung dadine kan penyakit
682 P : Mm..
683 P : apakah Ibu merasa terhambat karena Kondisi anak
684 adanya anak Ibu? menghambat potensi
685 P1 : sebenernya jaman sekarang nggak sulit, yang dimiliki Ibu
686 apa-apa udah dimudahkan, nek aku arep maju
687 gari nggawa rewang, kan kepenak. Ya karena
688 ora didukung ketambahan anak yawis.
689 Ditambah suamiku itu nggak mau kalo aku
690 ada diatasnya dia secara ekonomi yang saya
691 liat dari karakternya dia, ya aku menghargai.
692 Disamping aku yang keras aku juga
693 menghindari hal hal yang nggak diinginkan.
694 P : Mm..
695 P1 : yaa.. karena punya anak N jadi ya
696 fokusnya disituu terus, sudah bukan jadi diri
697 sendiri, fokus ke anak, itulah, proses lah
698 (menangis), ditambah lagi suami itu cemburu
699 yang terlalu besar. Terus juga dulu itu tu
700 masih menyalahkan gara-gara anak kaya kie
701 kue sekang keturunanmu udu keturunanku,
702 jadi masih saling menyalahkan, ya ana sing
703 ngomong bahwa kue tumbale sekang bose.
704 Tapi ya aku serahkan sama yang diatas.
705 P : Mm.. untuk ibu sendiri itu sering ada
706 waktu untuk me time tidak?
707 P1 : iya saya ngerasanya gitu, ya karena udah
708 cape ya jadi mager, kaya rumah berantakan

cxii
709 pengen beresi hawane wis kesuh disit, dadi
710 bocah sing tek omeih. Suami juga ngomong,
711 apa-apa aja bocah sih sing dadi sasaran. Lah
712 maksude kue wis gede, diwei arahan, Cuma
713 nerimane bojoku beda
714 P : Mm..
715 P1 : ora tau ngerasakna si ngasuh dewekan
716 P : lalu Ibu pernah merasakan tidak percaya Kurang percaya diri
717 diri dengan adanya anak? dengan adanya anak
718 P1 : iya pernah ngerasain itu, isinlah jane
719 P : bisa diceritakan bagaimana rasa tidak
720 percaya diri itu?
721 P1 : yaaa, emm.. sebenere takut diomong
722 wong si mba, aku nggak mau orang-orang itu
723 beranggapan yang enggak-enggak sama anak
724 saya
725
726 P : lalu apa yang dilakukan Ibu ketika ada rasa Yang dilakukan ketika
727 tidak percaya diri? merasa kurang percaya
728 P1 : ya paling di rumah aja mba diri
729 P : coba Ibu ceritakan keinginan Ibu untuk Keinginan untuk masa
730 kedepannya itu seperti apa? depan
731 P1 : aku si pengennya punya usaha sendiri ya,
732 punya asset buat masa depan kaya kos-kosan,
733 jaga kesehatan, buat peninggalan anak, pengen
734 punya usaha yang kira-kira anak bisa
735 meneruskan
736 P : Mm..
737 P1 : sebenere nek aku nggak ada pasangan lah
738 bisa apa-apane dewek, lah ini ada pasangan
739 semua jadi ada batasan buat melangkah.
740 Apalagi nek liat sosial media, ndeleng klambi-
741 klambi nah kue otakku wis muter, wah bisa
742 kie didol maning
743 P : untuk mencapai semua itu, apa yang Cara mencapai
744 dilakukan Ibu? keinginan Ibu
745 P1 : aku harus priatin, mau nggak mau ya,
746 percaya aja semua bisa dijalani, yaa berbaik
747 sangka aja sama sang maha pencipta, kaya aku
748 diwei anak kaya kie pastilah bertanya ya kan
749 pasti ada rencana Allah
750 P : nah sekarang jika Ibu mempunyai anak Seandainya Ibu
751 normal, menurut Ibu hidupnya bagaimana? memiliki anak normal
752 P1 : nek aku diwei anak normal ya wis bubar
753 kabeh mba, karena aku sing watake keras,
754 bojone keras yawis bubar. Wong aku sing due

cxiii
755 anak loro kaya kie be disangka aku ana apa-
756 apa karo tanggane, rebut-ribut. Apa maning
757 nek anake normal sing diwei kemudahan.
758 P : lalu apa yang membuat Ibu Bahagia? Hal yang membuat Ibu
759 P1 : ya dibuat sendiri aja mba, ya walaupun bahagia
760 pasangan punya banyak kekurangan ya, kae
761 bombong be aku wis seneng. Terus anak sehat
762 aku wis seneng, yaa walopun kadang punya
763 anak kaya gini kan suka bosen, jenuh ya, yaitu
764 pelariannya belanja
765 P : lalu apakah Ibu sudah menerima dengan Berusaha menerima
766 keeradaan anak sekarang? keberadaan anak
767 P1 : emm.. yaaaahh pelan-pelan ya mba,
768 soalnya masih ada adiknya ini si, keadaannya
769 juga sama. Aku terus berdoa biar aku bisa
770 menerima semuanya
771
772 P : coba Ibu ceritakan bagaimana proses Proses sampai dapat
773 sampai Ibu bisa menerima dengan semuanya? menerima anak
774 P1 : yaaa gimana ya, aku melihat orang yang
775 dibawahku aja, masih banyak. Kalo anak
776 nggak sekolah, terus aku sibuk di ekonomi
777 mungkin sampe sekarang aku nggak mau
778 punya anak seperti itu. Ya mungkin itu
779 ndilalah aku dikasih ekonomi yang bagus dan
780 aku bisa fokus sama anak, ngeliat orang lain
781 ya itulah masih bersyukur. Secara fisik aku ya
782 sehat arep ngapa ngapa kepenak, due anak
783 kaya kie esih bisa motoran, ada ibune yang
784 nggak bisa motoran harus boncengan karo
785 bapake, ya hal-hal kecil kaya gitu yang
786 disyukurin dulu sampe akhirnya kita
787 menerima. Yaa dari semuanya yak arena aku
788 melihat yang lain. Nah pas awal awal anakku
789 sekolah neng Yakut aku down, nangis, deneng
790 anakku sekolah neng kene, bojoku juga nangis
791 P : Mm..
792 P1 : nah yang aku liat ya anak-anak yang
793 sekolah di Yakut itu gengsi ya, tapi ternyata
794 anak-anak yang dari Calita, Anida larinya
795 pada ke Yakut
796 P : Mm.. iya iya.. lalu apakah Ibu ada
797 keinginan untuk menambah momongan lagi?
798 P1 : dulu waktu anak pertama iya pengen
799 punya anak lagi, pas punya anak ternyata
800 kondisinya sama cuma beda jenis. Setelah itu

cxiv
801 saya nggak mau punya anak lagi, saya trauma
802 mba.
803 P : Mm..
805 P1 : ayahnya si pengennya punya anak lagi,
806 Cuma kan dia nggak tau permasalahan di
807 rumah gimana. Ayahnya mikirnya eh siapa tau
808 normal biar bisa ada yang jagain kakak-
809 kakaknya. Kalau keinget pas lahiran aja yang
810 harus dirujuk kesini, kesini itu bikin trauma
811 loh mba, aku nggak mau melahirkan lagi dan
812 punya anak lagi. Udah cukup dua aja, ini aja
aku harus ngeladenin kebutuhannya kan
813 P : baik Ibu terima kasih banyak atas Penutup
814 waktunya dan ngobrol-ngobrolnya sampai
815 malam hampir jam setengah 12 malam
P1 : iya nggak papa mba, saya ada waktunya
816 hanya malam saja
817 P : baik Ibu, kalau besok-besok saya mau
818 ngobrol-ngobrol lagi bolehkah saya main
819 kesini lagi?
820 P1 : iya boleh mba silahkan
821 P : iya bu, terima kasih. Wassalamu’alaikum
822 wr.wb
823 P1 : wa’alaikumsalam wr.wb
824

cxv
LAMPIRAN 5
ANALISIS
PARTISIPAN 1
(YN)

cxvi
ANALISIS TAHAP 1-3
(Transkrip Orisinal, Komentar Eksploratif, Tema Emergen)

Transkrip Orisinal Komentar Eksploratis Tema emergen


P : Bagaimana reaksi pertama kaget karena melihat Kaget
Ibu ketika anaknya didagnosa perbedaan dengan anak
autis? yang lain
P1 : kaget mba, kaget banget.
Memang saya lihat perbedaan
dari anak saya sama anak lain
(P1-YN-10-B230-233)
P : Mm.. nah dulu pas pertama pertama kali mendengar Kaget
kali mendengar N didiagnosa N didiagnosa autis itu Marah
autis itu bagaimana perasaan bagaimana perasaan Ibu? Sedih
Ibu? “kaget, marah, sedih dan Takut
P1 : Kaget mba, sempet marah takut, lalu menyalahkan
dan takut, terus aku anak dengan Menyalahkan
menyalahkan anak, kaya mengeluarkan kata-kata anak
ngeluarin kata-kata yang nggak yang tidak pantas.
harus diucapin terus sempet Mempertanyakan
bertanya kenapa si koe lahir. “mengapa anak ini
Sedih, aku langsung beli buku lahir”. Hal ini
autis dan indigo. Iya, anak saya merupakan dampak dari
itu sensitif, dan bisa melihat diagnosa autis yang
hal-hal yang nggak bisa kita dialami anaknya.
lihat, tapi dia diem kalau dia
lihat, nggak ngomong nggak
nunjuk-nunjuk. Paling pas kecil
itu dia kalau liat sesuatu pasti
nangis. Terus ke orang pinter,
diraupin, ada yang bilang ada
ngikutin lah inilah itulah.. (P1-
YN-B314-328)
P : Nah Ibu dulu saat sedang Gejala fisik yang timbul Gejala fisik
bersama anak pernah karena kelelahan Gangguan tidur
merasakan sakit fisik nggak? emosional “sempet Insomnia
Misal sakit kepala, pusing atau susah tidur, Terus Badan sering
apa gitu? badanku sering pegel- pegal
P1 : iya dulu ituu.. sempet pegeel banget, pusing” pusing
susah tidur mba, karena kan Berulang-ulang
anaknya juga sering melek mengucapkan kata
malem. Terus badanku sering “banget” menandakan
pegel-pegeel banget, padahal ya bahwa partisipan
ora ngapa-ngapa. sini loh yang mengalami gejala fisik

cxvii
bagian pelipis itu sering pusing, akibat kelelahan
kalau dipijet tuh enak banget mengasuh anak yang
(P1-YN-B343-352) benar-benar terasa
efeknya
P : Pada saat anak sedang apa Hal yang membuat Guncangan
sehingga membuat Ibu partisipan timbul gejala perasaan
mengalami gejala fisik? fisik saat anak tantrum
P1 : seringnya kan ya anakku dan sering
suka banget berantakin barang- memberantakkan barang-
barang, melempar barang yang barang yang ada di
ada di rumah, wis diberesi rumah
berantakan maning, nah terus
kan anakku cokan kulitnya “bener-bener rasanya
ruam-ruam merah karena kaya kepala mau
alergi. pas lagi tantrum mba, pecah”menunjukkan
itutuh yang bikin bener-bener gunjangan perasaan yang
rasanya kaya kepala mau pecah luar biasa
(P1-YN-B353-362)
P : lalu apa yang dilakukan Ibu Melakukan dengan Ketidakberdayaan
ketika gangguan tidur, pusing mengutarakan apa yang dalam mengasuh
dan pegal-pegal? dirasakan
P1 : Mmm.. biasane ya tek “Terus tiduran, nah
gawa cerita mba sama ibu, apa itutu jadi hawane ngapa-
sing tek rasa tek cerita. Terus ngapa males, arep
tiduran, nah itutu jadi hawane ngapa-ngapa ogah-
ngapa-ngapa males, arep ogahan. kepengine arep
ngapa-ngapa ogah-ogahan gitu, apa gitu ya wis ada di
nggak ngapa-ngapain jadi kaya depan mata”
wong sing dablongan banget, menunjukkan
dadi kepengine arep apa gitu ya ketidakberdayaan dalam
wis ada di depan mata, kaya mengasuh
pengen makan (P1-YN-B363-
371)
P : lalu apa yang membuat ibu Memilih jalan untuk Kekawatiran
lebih baik saat itu? percaya kepada
P1 : ya mikir, jane semuanya paranormal karena
itu tergantung dari pikiran kita. khawatir terhadap
ya jadi hidup dijalani aja, anaknya
Apalagi aku kan nggak jauh
dari kehidupan keluarga ya,
keluarga yang masih percaya ke
orang pinter, aku udah nggak
tau jalan lain lagi (P1-YN-
B372-379)
P : bisa diceritakan pengalaman Saat menghadapi anak Mudah marah
Ibu ketika menghadapi anak menjadi mudah marah,

cxviii
apa yang dirasakan secara sering melakukan Kekerasan fisik
emosional? kekerasan terhadap anak,
P1 : aku gampang banget marah berkata kasar Kekerasan verbal
mba, padahal sing dihadapi “Koe nggawe dosa
masalah cilik tapi gampang mamah terus, nggawe Kecemasan
banget kesuhan. terus iya kesuh mama terus”
pernah, dulu pesti pas arep Muncul kecemasan dan Ketakutan
maghrib aku was-was, takut, ketakutan
aduh anakku pasti nangis- “apa maning ganu itu
nangis, temenan dadi nangis. banyak banget masalah
iya cemas, takut, apa maning ya, wis ekonomi urung
ganu itu banyak banget masalah stabil, baru mulai usaha,
ya, wis ekonomi urung stabil, sekolah biayane
baru mulai usaha, sekolah lumayan, anak
biayane lumayan, anak tantrum, tantrum,”
nganti nganu/mukul, sering Keadaan dimana saat
ngomong kasar, yang berada dalam guncangan
seharusnya tidak terucap. Koe kehidupan yang penuh
nggawe dosa mamah terus, dinamika
nggawe kesuh mama terus, iya
itu pernah (P1-YN-B380-406)
P : Mm.. dengan semua yang Pengulangan “banget” Keputusasaan
Ibu alami, apakah Ibu pernah menunjukkan benar-
putus asa dengan keberadaan benar putus asa dan Bingung
anak? bingung
P1 : Banget mba banget, iya
mba pernah banget putus asa, merasa putus asa karena
nyong arep ngelangkah kaya masih pantas untuk
apa kue bingung, soalnya kan bekerja, namun dengan
basic saya dulunya pernah keadaan anak yang tidak
kerja, masih layak, saya masih memungkinkan untuk
bisa bekerja walaupun dengan ditinggal
kondisi anak saya begini. saya
bisa usaha, tapi nggak bisa
komitmen loh. Kaya lagi
nyamed gawe bocah ganggu,
aku kudu ngladeni bocah,
sabendina, jadi nggak bisa
fokus (P1-YN-B407-416)
P : pada saat anak berperilaku Saat anak sedang Energi terkuras
seperti apa sehingga Ibu memberantakkan barang- habis
menjadi mudah marah, sering barang yang ada di
bicara kasar, cemas? rumah
P1 : ya hawane ke kesuh bae, “saya udah nggak bisa
misal wong tuane lagi nyamed apa-apa ya Allah saya
gawe, terus dia itu mberantakin udah marah banget, tek

cxix
apa gitu. Pernah itu tengah bentak-bentak, sering
malem, aku lagi bebikinan mukul”
makanan buat dijual, saya udah Partisipan
prepare semuanya nah aku menghembuskan nafas
kecapean, ketiduran terlelap. terengah-engah saat
Ehh diacak-acak sama dia, dia bercerita menunjukkan
mainin, ya air, ya adonan terigu terkuras energinya dalam
semuanya, saya udah nggak menghadapi anak
bisa apa-apa ya Allah saya udah
marah banget, tek bentak-
bentak, sering mukul tuh aku
dulu. ya emang beda si ya sing
ekonominya lagi labil sama
yang udah stabil. Emosinya
beda kalo dulu kan ya waah
sangat nguras emosi banget.
Nah siki ya wis mendingan ya
ora begitu (P1-YN-B417-435)
P : Mm.. lalu apa yang emosi yang tidak
dilakukan Ibu ketika cemas, “yaa tek salurkan bae stabil
mudah marah, bicara kasar dan emosine mba, misale
lagi kesuh, ya wis kesuh menyalahkan
lain-lain?
bae, aku ora bisa tek anak
P1 : yaa tek salurkan bae tahan”
emosine mba, misale lagi Menunjukkan tidak bisa menyadari
kesuh, ya wis kesuh bae, aku mengontrol emosi
ora bisa tek tahan. jane ya, anak
dengan keadaan kaya kie kue Menyadari bahwa semua
tergantung orang tua, kalo ibu tergantung dari emosi
tenang, anak pasti tenang (nada dan keadaan psikologis
bergetar), tapi kalau orang tua orang tua.
lagi tukaran, musuhan, hawane
kesuh anak juga bawaane “Terus anaknya itu
marah. Mungkin karena seolah-olah mancing
keadaan ya, itu capeknyaa, bae, nggawe marah”
kesel, punya anak seperti ini. Menunjukkan anak
Terus anaknya itu seolah-olah merupakan penyebab
mancing bae, nggawe marah dirinya marah
(P1-YN-B436-448)
P : bisa Ibu ceritakan apa yang Menganggap bahwa jika Komunikasi
dilakukan Ibu ketika merasa bercerita kepada dengan pasangan
cemas, mudah marah, putus asa pasangan bukanlah terganggu
dengan keberadaan anak? solusi“Mm.. kalau sama
P1 : apa yaa.. Mm.. kalau sama suami Oo nggak
suami Oo nggak mungkin, yang mungkin, yang ada
ada nambah masalah. Jadi aku nambah”

cxx
tuh sama ibuku kaya besti, jadi
ibuku ngerasani ramaku, aku
ngerasani bojoku. Hahaha..
(P1-YN-B449-457)
P : Ibu dalam mengasuh N
masalah mental apa yang
pernah Ibu alami, seperti
contohnya pernah merasa aduh
kok capek banget ya “pernah ngerasa capek,
P1 : Iyaa mba, pernah ngerasa lelah, kadang mikir apa Kelelahan
capek, lelah, kadang mikir apa kie salahku apaya, apa
kie salahku apaya, apa salaeh salaeh suami gitu” Menyalahkan diri
suami gitu. : terus kadang sendiri
nyalahin dewek, apa mungkin Menyalahkan diri sendiri
ganu aku kakehen minum obat dan pasangan atas Menyalahkan
apa ya dadi bocaeh kaya kie, keadaan anak orang lain
dongene aku aja minum jamu
ya dadine kie bocah ora ngokop
ketuban (P1-YN-B458-468)
P : apakah Ibu pernah
merasakan menarik diri dari
lingkungan atau malu begitu?
P1 : emm.. menarik diri iya
pernah mba, dadi neng Di rumah terus tidak Menarik diri dari
ngumaaah bae ndina-ndinane. mau keluar rumah lingkungan
Terus emm.. kalo malu mba
juga iya, apalagi pas sinusnya Malu
bau, aku kadang berpikir,
deneng aku anake loro pisan Kesepian
kaya kie ya. kadang ana sing Kecemburuan dari
ngomong aku nikah sodara pasangan saat keluar Komunikasi
deneng anake nganti kaya kie. rumah, dituduh dengan pasangan
Terus emm.. kesepian mba, melakukan hal-hal yang terganggu
dulu pernah reuni alumni dzalim
kerjaan dulu, pas pulang pulang
langsung ditanya, ketemu sama,
siapa dimana, hp langsung
diambil terus dibanting jann
lara ati banget. nek melihat ke
belakang ya, pas jaman jamane
gadis, ndeleng wong lanang
kaya kue ya wis, moh. Ana sing
kaya kae , yam oh. Ora sreg
setitik, moh. Njeleih cut kabeh
(P1-YN-B469-493)
P : apakah Ibu menyesal Tidak suka dengan Kualitas terhadap

cxxi
dengan semuanya? pasangan yang selalu pasangan menjadi
P1 : Mm.. menyesal si enggak menganggap dirinya buruk
ya, Cuma deneng kaya kiye, berpaling darinya
apa sih. Cuma kalo misal ada
laki-laki terus saya tertarik,
yaa.. itu enggak, karena
arahnya udah ke anak. mungkin
ada beberapa yang naksir gitu
ya, tapi aku mending enggak
gitu, dadi ngana wis paham aku
wis ngehindar (P1-YN-B494-
501)
P : tadi Ibu sempat bilang malu,
malu yang seperti apa bu?
P1 : iyaaa.. itu, saya malu
banget, karena anaknya udah “karena anaknya udah Malu
autis ditambah lagi punya sinus autis ditambah lagi
yang bauu banget jadi saya punya sinus yang bauu Tekanan batin
takut kalau orang lain nggak banget jadi saya takut
nyaman dengan adanya anak kalau orang lain nggak Tidak bisa
saya pas dideketnya, soalnya nyaman” menjadi diri
anak saya di sekolah masih Menunjukkan tidak enak sendiri
sering mukul, suka ngusel- jika orang lain tidak
ngusel. emm.. tekanan batin nyaman bila berada
mba, jadi tuh tekanan batin didekat anaknya
dalam artian udah punya anak
kaya gini, terus belum lagi “udah punya anak kaya
ngimbangin karakter suami gini, terus belum lagi
kaya gitu yang suka marah ngimbangin karakter
nggak tau sebabnya apa, suami kaya gitu yang
Namanya rumah tangga baru suka marah nggak tau
kan buat ngimbangi karakter sebabnya apa,”
kan. “terus juga saya nggak
terus juga saya nggak bisa jadi bisa jadi diri sendiri
diri sendiri mba, karena ngerasa mba, karena ngerasa
hidupku harus dipertaruhkan hidupku harus
untuk anak-anakku(P1-YN- dipertaruhkan untuk
B502-524) anak-anakku”
tertekan karena merasa
hidupnya dipertaruhkan
hanya untuk anak-anak

P : apa yang dirasakan Ibu “Sebenernya aku Menarik diri dari


ketika lelah, menyalahkan semenjak punya anak itu lingkungan

cxxii
orang sekitar, menarik diri dari menjauh dari teman-
lingkungan? teman, jadi nggak punya
P1 : Sebenernya aku semenjak teman. Karena mikirnya
punya anak itu menjauh dari itu ntar kalo nggak
teman-teman, jadi nggak punya menjauh dari temen-
teman, hanya sama teman- temen malah nggo
teman tertentu yang dekat. rasanan”
Karena mikirnya itu ntar kalo Merasa nyaman jika jauh
nggak menjauh dari temen- dengan teman-teman
temen malah nggo rasanan. karena jika berkumpul
Dadi ngubek ubek neng dengan teman-temannya
ngumah bae. makanya aku menganggap bahwa
bikin rumus sendiri, sebelum hanya akan membuat
aku gela, mending aku berita yang tidak baik
menghindar(P1-YN-B526-536) tentang dirinya dan anak-
anaknya
P : lalu bagaimana hubungan
Ibu dengan suami saat ada anak
N ini?
P1 : Iyaa, kadang akune sing
nyanteng apa kepriwe. Nah
ganu pas hamile N aku esih
baperan, siki tah wis ngonoh
arep ngapa, ora digawa rasa
arep polah kaya apaya. dia itu
lebih suka diam, jadi di situ
nggak ngomong kalau ada
masalah. Lebih banyak diam
jadi aku nggak tau masalah
saya dimana. Soale suami itu
Sukanya bawa-bawa masalah di
kerjaan ke rumah gitu yang
saya tau dia nggak mau cerita.
Jadi aku tuh mikir dewek, apa
kesalahane akuu (P1-YN-
B537-560)
P : Ibu ada rencana kedepan
mau gimana untuk anak?
P1 : iya pastilah mba, kan kalau
anak kaya gini nggak mungkin Rela dirinya dan Harapan yang
kerja, nggak mungkin untuk pasangan saat ini bekerja tinggi
intelektualnya kita menuntut demi untuk masa depan
yang berlebih, walaupun anak, untuk
sekarang udah kelas 5 SD ya menyekolahkan anak,
belum bisa baca, menulis 1-10 agar bisa mandiri,
aja udah alhamdulillah, jangan mengasah keterampilan

cxxiii
menuntut ini itu, aku
melihatnya ke bawah, masih
ada yang pake kursi roda yang
lebih parah, ada yang ngeblank,
mung awake tok sing gede,
diprentah ora ngerti, paling
anak saya diasah misal
keterampilan, kita sebagai
orang tua harus memfasilitasi.
Ya kita sebagai orang tua harus
priatin buat kedepannya anak,
nggak papa ngoyo (P1-YN-
B568-582)
P : coba Ibu ceritakan tentang Merasa bukan termasuk
kedekatan Ibu dengan anak? ibu yang perhatian
P2 : aku tuh bukan Ibu yang terhadap anak
perhatian. iya masalahnya kalo Tidak perhatian
aku ngurusin yang ini, yang terhadap anak
sana cemburu “gimana ya mba, aku
P : lalu bagaimana perasaan Ibu juga bingung,
ketika dekat dengan anak? pengennya sih anak bisa
P2 : gimana ya mba, aku juga main sendiri, nggak Merasa tidak ada
bingung, pengennya sih anak menggantungkan aku” ruang untuk
bisa main sendiri, nggak Keinginan agar anak bisa dirinya
menggantungkan aku. Kalau bermain sendiri secara
apa-apanya sama aku lah yaa mandiri yang tidak
aku juga kewalahan mba. Aku menggantungkan
juga pengen nonton drakor, dirinya, agar dirinya ada
menghibur diri yah gitu-gitu lah ruang untuk diri sendiri
mba (P1-YN-B583-596)
P : bagaimana cara Ibu “saya itu termasuk Ibu Tidak suka
menunjukkan rasa cinta ke yang nggak suka menunjukkan
anak? nunjukkin rasa cinta ya, rasa cinta
P1 : saya itu termasuk Ibu yang saya termasuk ibu yang terhadap anak
nggak suka nunjukkin rasa galak, tegas, walopun
cinta ya, saya termasuk ibu anak saya salah ya salah
yang galak, tegas, walopun walopun seperti itu, saya
anak saya salah ya salah itu bukan tipe ibu yang
walopun seperti itu, saya itu terlalu sayang sama
bukan tipe ibu yang terlalu anak”
sayang sama anak (P1-YN-
B597-603)
P : emm lalu bagaimana cara
ibu dalam menikmati “udah nggak ada waktu
kebersamaan dengan anak? buat aku sendiri. jadi
P1 : Emm.. aku si nggak kalau ada waktu aku

cxxiv
kepikiran buat ada waktu lebih memilih me time Kurang
bareng sama anak ya mba, sih” menikmati
soalnya waktuku aja habis sama Menunjukkan lebih kebersamaan
anak, udah nggak ada waktu memilih jika ada waktu dengan anak
buat aku sendiri. jadi kalau ada senggang hanya untuk
waktu aku lebih memilih me diri sendiri
time sih (P1-YN-B604-610)
P : lalu coba ceritakan Merasa berkesan jika Menganggap
pengalaman apa saja yang melihat kemajuan gagal menjadi ibu
berkesan bagi Ibu ketika perkembangan anak.
bersama dengan anak? namun akan merasa ibu
P1 : saya itu terkesan kalo ada yang gagal jika tidak ada
kemajuan hal-hal kecil, kaya kemajuan perkembangan
toilet training. Sebelumnya kan anak
pake pampers, nah terus belajar
toilet training ada kemajuan.
Pipis langsung ke toilet gitu.
Tapi kalau aku ngeliat nggak
ada kemajuan dari anak, terus
ngeliat anak lain bisa ini itu tuh
itu aku kaya ngerasa gagal gitu
jadi ibu (P1-YN-B611-620)
P : bagaimana perasaan Ibu jika “em… gimana ya mba, Nyaman saat jauh
jauh dengan anak? istilahnya tuh aku tuh dengan anak
P1 : em… gimana yah mba, sayang ya sama anak,
istilahnya tuh aku tuh sayang ya tapi kalau misalnya
sama anak, tapi kalau misalnya anakku jauh tuh aku
anakku jauh tuh aku ngerasa ngerasa nyamaaaan
nyamaaaan banget. Aku jadi banget”
punya waktu untuk sendiri, bisa Pengucapan “nyamaaan”
tenang kalau ngerjain kerjaan menjadi panjang dan
rumah, tenang (P1-YN-B621- pengulangan “tuh”
628) menunjukkan dirinya
sayang terhadap anak
namun ada rasa ingin
menjauh dari anak
P : coba ceritakan potensi- Merasa mempunyai Merasa
potensi apa saja yang Ibu potensi yang sebenarnya potensinya
miliki? bisa dikembangkan, terkendala
P1 : sebenernya kalo namun tidak bisa dengan anak
dikembangkan ya, sayaitu melangkah untuk meraih
punya potensi masak, mungkin potensi-potensi tersebut
karena turunan ya, masakanku
menurutku enak. Terus suka
dengan fashion, saya sering
bikin baju dari kresek untuk

cxxv
fashion show anak-anak, saya
suka itu. Cuma ya itu saya
nggak bisa ngembangin karena
harus membagi waktu, pikiran,
tenaga, perhatian. Nah itu
jadinya nggo ngelangkah kue
angel (P1-YN-B629-640)
P : Mm.. jika bukan karena “saya itu tipe orang Kualitas terhadap
anak bagaimana cara yang nggak mau pasangan menjadi
mengembangkan potensi yang disalahkan, nah suamiku buruk
Ibu miliki? tipe orang yang suka
P1 : sebenernya gini ya, nomor nyalahin” Timbul kebencian
satu itu pasangan. Nah saya itu Sering berbeda pendapat
tipe orang yang nggak mau dengan pasangan lalu
disalahkan, nah suamiku tipe timbul kebencian
orang yang suka nyalahin. Jadi
yaudahlah prinsip saya, selama “Yaa aku ngerasa punya
dia bisa mencukupi, yaudahlah banyak potensi lah, tapi
aku ngalah. Sebenere gatel yaa.. karena semua udah Hilang minat
banget pengen kerja. Kadang terbiasa hidupku kaya dalam
bikin bikin kue gitu-gitu. Yaa gini jadi ya udah nggak mengembangkan
karena semua udah terbiasa ada keinginan buat potensi
hidupku kaya gini jadi ya udah ngembangin potensiku,
nggak ada keinginan buat udah males hawane,
ngembangin, udah males Udah nggak mikir buat
hawane. Udah nggak mikir buat sendiri, sepenuhnya buat
sendiri, sepenuhnya buat anak anak”
(P1-YN-B653-665) Menunjukkan autopilot
dalam menjalankan
kehidupannya dan terlalu
memperhatikan
kebutuhan anak sehingga
lupa dengan dirinya
sendiri
P : apakah Ibu merasa “yaa.. karena punya Ketidakpuasan
terhambat karena adanya anak anak N jadi ya fokusnya diri
Ibu? disituu terus, sudah
P1 : yaa.. karena punya anak N bukan jadi diri sendiri,
jadi ya fokusnya disituu terus, fokus ke anak”
sudah bukan jadi diri sendiri, terlalu memperhatikan
fokus ke anak, itulah, proses lah kebutuhan anak sehingga
(menangis), ditambah lagi lupa dengan dirinya
suami itu cemburu yang terlalu sendiri. Menangis,
besar. Terus juga dulu itu tu momen yang sangat
masih menyalahkan gara-gara emosional
anak kaya kie kue sekang

cxxvi
keturunanmu udu keturunanku,
jadi masih saling menyalahkan,
ya ana sing ngomong bahwa
kue tumbale sekang bose. Tapi
ya aku serahkan sama yang
diatas (P1-YN-B683-704)
P : Mm.. untuk ibu sendiri itu “iya saya ngerasanya Merasa tertekan
sering ada waktu untuk me time gitu, ya karena udah
tidak? cape ya jadi mager, kaya Kehilangan
P1 : iya saya ngerasanya gitu, rumah berantakan kesabaran
ya karena udah cape ya jadi pengen beresi hawane
mager, kaya rumah berantakan wis kesuh disit”
pengen beresi hawane wis Banyak tugas yang harus
kesuh disit, dadi bocah sing tek dikerjakan sehingga
omeih. Suami juga ngomong, merasa tertekan dengan Kurangnya
apa-apa aja bocah sih sing dadi beban-beban tersebut dukungan
sasaran. Lah maksude kue wis
gede, diwei arahan, cuma Merasa tidak ada Marah dengan
nerimane bojoku beda dukungan sehingga keadaan
P : Mm.. marah dengan keadaan,
P1 : ora tau ngerasakna si lama-kelamaan lelah, Konflik dengan
ngasuh dewekan (P1-YN- bosan dan sering terjadi pasangan
B705-715) konflik dengan pasangan
P : lalu Ibu pernah merasakan Takut akan anggapan Tidak percaya
tidak percaya diri dengan orang lain terhadap diri
adanya anak? anaknya
P1 : iya pernah ngerasain itu,
isinlah jane
P : bisa diceritakan bagaimana
rasa tidak percaya diri itu?
P1 : yaaa, emm.. sebenere takut
diomong wong si mba, aku
nggak mau orang-orang itu
beranggapan yang enggak-
enggak sama anak saya (P1-
YN-B716-725)
P : coba Ibu ceritakan Merasa jika tidak ada Ketidakpuasan
keinginan Ibu untuk anak dan pasangan diri
kedepannya itu seperti apa? dirinya akan bebas
P1 : sebenere nek aku anaknya melakukan apa saja
nggak kaya gitu dan nggak ada untuk mengembangkan
pasangan lah bisa apa-apane potensinya.
dewek, lah ini ada pasangan Menunjukkan perasaan
semua jadi ada batasan buat dipenjara oleh keadaan
melangkah. Apalagi nek liat
sosial media, ndeleng klambi-

cxxvii
klambi nah kue otakku wis
muter, wah bisa kie didol
maning
(P1-YN-B729-742)
P : untuk mencapai semua itu, Berpikir bahwa semua Ikhlas
apa yang dilakukan Ibu? sudah atas kehendak-
P1 : aku harus priatin, mau Nya
nggak mau ya percaya aja
semua bisa dijalani, yaa berbaik
sangka aja sama sang maha
pencipta, kaya aku diwei anak
kaya kie pastilah bertanya ya
kan, pasti ada rencana Allah
(P1-YN-B749)
P : nah sekarang jika Ibu “nek aku diwei anak Timbul kebencian
mempunyai anak normal, normal ya wis bubar
menurut Ibu hidupnya kabeh mba, karena aku
bagaimana? sing watake keras,
P1 : nek aku diwei anak normal bojone keras yawis
ya wis bubar kabeh mba, bubar”
karena aku sing watake keras, Penuh dengan
bojone keras yawis bubar. kemarahan
Wong aku sing due anak loro
kaya kie be disangka aku ana
apa-apa karo tanggane, ribut-
ribut. Apa maning nek anake
normal sing diwei kemudahan
(P1-YN-B750-757)
P : lalu apa yang membuat Ibu “ya dibuat sendiri aja Ketidakpuasan
bahagia? mba, ya walaupun diri
P1 : ya dibuat sendiri aja mba, pasangan punya banyak
ya walaupun pasangan punya kekurangan ya, kae
banyak kekurangan ya, kae bombong be aku wis
bombong be aku wis seneng. seneng”
Terus anak sehat aku wis Menunjukkan bahwa
seneng, yaa walopun kadang rasa kebahagiaan harus
punya anak kaya gini kan suka diciptakan sendiri
bosen, jenuh ya, yaa.. itu
pelariannya belanja (P1-YN-
B758-764)
P : lalu apakah Ibu sudah “emm.. yaaaahh pelan- Berusaha untuk
menerima dengan keeradaan pelan ya mba, soalnya menerima
anak sekarang? masih ada adiknya ini si,
P1 : emm.. yaaaahh pelan-pelan keadaannya juga sama.
ya mba, soalnya masih ada Aku terus berdoa biar
adiknya ini si, keadaannya juga aku bisa menerima

cxxviii
sama. Aku terus berdoa biar semuanya”
aku bisa menerima semuanya menjawab dengan nada
(P1-YN-B765-771) pelan menunjukkan
ketidakyakinan dirinya
akan bisa menerima anak
P : coba Ibu ceritakan Berusaha melihat Berusaha untuk
bagaimana proses sampai Ibu kehidupan orang-orang menerima
bisa menerima dengan yang berada dibawahnya
semuanya? akan menjadi dirinya
P1 : yaaa gimana ya, aku lebih bersyukur
melihat orang yang dibawahku
aja, masih banyak. Kalo anak
nggak sekolah, terus aku sibuk
di ekonomi mungkin sampe
sekarang aku nggak mau punya
anak seperti itu. Ya mungkin
itu ndilalah aku dikasih
ekonomi yang bagus dan aku
bisa fokus sama anak, ngeliat
orang lain ya itulah masih
bersyukur. Secara fisik aku ya
sehat arep ngapa ngapa
kepenak, due anak kaya kie
esih bisa motoran, ada ibune
yang nggak bisa motoran harus
boncengan karo bapake, ya hal-
hal kecil kaya gitu yang
disyukurin dulu sampe akhirnya
kita menerima. Yaa dari
semuanya yak arena aku
melihat yang lain. Nah pas awal
awal anakku sekolah neng
Yakut aku down, nangis,
deneng anakku sekolah neng
kene, bojoku juga nangis (P1-
YN-B772-790)

cxxix
ANALISIS TAHAP 4 PARTISIPAN 1
Sebaran Awal Tema Emergen
Kaget Kesepian
Kaget Komunikasi dengan pasangan
terganggu
Sedih Kualitas terhadap pasangan menjadi
buruk
Takut Malu
Menyalahkan anak Tekanan batin
Ketidakpuasan diri Tidak bisa menjadi diri sendiri
Gangguan tidur Menarik diri dari lingkungan
Insomnia Harapan yang tinggi
Badan sering pegal Tidak perhatian terhadap anak
Pusing Merasa tidak ada ruang untuk dirinya
Guncangan perasaan Tidak suka menunjukkan rasa cinta
terhadap anak
Ketidakberdayaan dalam mengasuh Kurang menikmati kebersamaan
dengan anak
Kekhawatiran Menganggap gagal menjadi ibu
Kekerasan fisik Nyaman saat jauh dengan anak
Kekerasan verbal Merasa potensinya terkendala
Kecemasan Kualitas terhadap pasangan menjadi
buruk
ketakutan Timbul kebencian
Keputusasaan Hilang minat dalam mengembangkan
potensi

cxxx
Bingung Ketidakpuasan diri
Energi terkuras habis Tertekan
Emosi yang tidak stabil Kehilangan kesabaran
Menyalahkan anak Kurangnya dukungan
Menyadari Marah dengan keadaan
Komunikasi dengan pasangan Konflik dengan pasangan
terganggu
Kelelahan Tidak percaya diri
Menyalahkan diri sendiri Ketidakpuasan diri
Menyalahkan orang lain Ikhlas
Menarik diri dari lingkungan Timbul kebencian
Malu Berusaha untuk menerima

Pengelompokan Tema dan Pengembangan Tema Superordinat


Partisipan 1

Dampak psikologis mendengar anak Pasangan


didiagnosa autis - Komunikasi dengan pasangan
- Kaget terganggu
- Sedih - Kualitas terhadap pasangan menjadi
- Takut buruk
- Menyalahkan anak - Konflik dengan pasangan
- Bingung - Timbul kebencian
Pengasuhan terhadap anak Gejala Kelelahan emosional (bold)
- Ketidakberdayaan dalam mengasuh - Insomnia
- Menyalahkan anak - Badan sering pegal
- Harapan yang tinggi - Pusing
- Tidak perhatian terhadap anak - Keputusasaan
- Tidak suka menunjukkan rasa cinta - Energi terkuras habis
terhadap anak - Emosi yang tidak stabil

cxxxi
- Kurang menikmati kebersamaan - Kelelahan
dengan anak - Malu
- Nyaman saat jauh dengan anak - Tidak percaya diri
- Kekerasan fisik - Kecemasan
- Kekerasan verbal
- Kehilangan kesabaran
Masalah diri sendiri dan orang lain Potensi diri
- Menyalahkan diri sendiri - Merasa potensinya terkendala
- Menyalahkan orang lain - Hilang minat dalam
- Menarik diri dari lingkungan mengembangkan potensi
- Tidak bisa menjadi diri sendiri - Ketidakpuasan diri
- Tekanan batin Gejolak emosi
- Kurangnya dukungan - Ketakutan
- Merasa tidak ada ruang untuk - Tertekan
dirinya - Marah dengan keadaan
- Menganggap gagal menjadi ibu - Guncangan perasaan
- Kesepian
Acceptance
- Menyadari
- Ikhlas
- Berusaha untuk menerima

cxxxii
LAMPIRAN 6
VERBATIM
PARTISIPAN 2
(AMD)

cxxxiii
VERBATIM AMD
No. Hasil wawancara Tema
1 P : Assalamu’alaikum wr.wb Rapport
2 P2 : Wa’alaikumsalam wr.wb
3 P : baik ibu kita melanjutkan obrolan yang kemarin
4 lagi ya
5 P2 : iya mba
6 P : ketika anak Ibu didiagnosa autis pertama kali itu Perasaan saat
7 bagaimana perasaan ibu? mendengar anak
8 P2: Pas pertama kali didiagnosa itu saya menolak apa didignosa
9 yang didiagnosa dokter. Pikiran bener-bener kosong.. autism
10 nggak percaya, soalnya keliatannya anak saya itu biasa - Denial
11 aja mba kalo diliat dari fisik kaya orang normal. - Pikiran kosong
12 P : Mm.. menolak? - Sedih
13 P2: Iya ada penolakan mba, sedih banget kenapa kok - Bingung
14 aku punya anak seperti ini.
15 P : Mm.. Ibu tadi mengatakan sedih, sedih yang
16 bagaimana bu?
17 P2: iya sedih mba, saya kan lagi kaget mendengar
18 diagnosa anak saya, malah saya dimarahin sama
19 dokter karena kenapa baru sekarang, padahal aku itu
20 merasa penangananku udah cepet loh. Padahal 2 tahun
21 saya langsung ke dokter. Ditanya lagi sama dokter
22 kenapa nggak dari umur satu tahun, lah satu tahun kan
23 belum keliatan
24 P : O gitu.. baik ibu, sekarang anak-anak usia berapa Mengalami
25 tahun? kelelahan
26 P2: 11 tahun emosional
27 P : Coba Ibu ceritakan pengalaman secara fisik apa secara fisik
28 saja yang Ibu rasakan ketika menghadapi anak? - Gangguan
29 P2: Maksudnya gimana mba? lambung
30 P : yang dirasakan di badan Ibu, misalnya ketika - Tekanan darah
31 menghadapi anak, Ibu merasa sakit kepala, otot jadi naik
32 tegang atau gangguan tidur atau yang lain? - Sakit kepala
33 P2: Mm.. siraeh cenut-cenut, dulu itu saya sering sakit - Mudah lelah
34 lambung mba, kalo dicek itu tekanan darahku selalu secara fisik
35 naik, jadi aku ngerasa ngasuh anak 2 kembar itu kaya - Gangguan tidur
36 ngasuh ke 10 anak normal. Bener-bener bikin capek
37 banget, memang kalau menghadapi anak kaya gitu tu
38 harus dibilangin terus, sampe 10x paling capek ya
39 harus berkali-kali ngomongnya jadi lebih emosi, sakit
40 kepala juga karena pada ngomong koe anake loro loh
41 ya. wong anak 1 autis be wis ngorong-ngorong bae
42 apa maning 2, gitu pada ngomong
43 P : lalu selain sakit lambung, cepet capek, sakit kepala
44 ada lagi yang Ibu rasakan?

cxxxiv
45 P2 : gampang kesel mba dulu, apalagi aku kan ikut
46 sama mertua ya, jadi ya umah kudu bersih terus, disisi
47 lain aku kudu ngurusi anake
48 P : untuk tidur bagaimana bu?
49 P2 : anakku kan dua ya, nah tiap malem itu seringnya
50 anak-anakku kebangun keluar kamar, nah aku harus
51 jaga-jaga. Kalau siang seringnya aku ngantuk, ya
52 nggak bisa tidur
53 P : Pada saat anak berperilaku seperti apa sehingga Ibu Mengalami
54 mengalami gangguan lambung dan sakit kepala? gejala fisik saat
55 P2 : kadang ya mba anak saya itu suka lempar- anak :
56 lemparin barang-barang yang ada di rumah, terus - Lempar barang
57 dianya aktif banget yang nggak bisa dikendalikan, - Saat anak aktif
58 sayanya nggak bisa berhentiin anak saya. Yaudah itu tak terkendali
59 efeknya ke lambung saya
60 P : apa yang membuat Ibu lebih baik ketika Dengan tidur-
61 mengalami itu semua? tiduran akan
62 P2 : saya biasanya tek bawa tidur-tiduran aja mba membuatnya
63 sambil main hp lebih baik
64 P : main hp?
65 P2 : iya, soalnya aku udah capek sama aktifitasku, nah
66 ketambahan anakku ya daripada aku stress ya mending
67 masuk kamar
68 P : O iya iya.. Bisa Ibu ceritakan bagaimana perasaan Perasaan
69 Ibu yang memiliki anak yang didiagnosa autis? memiliki anak
70 P2: Maksude? autis
71 P : Kalau tadi kan perasaan ketika mendengar anaknya - Cemas akan
72 didagnosa autis. Nah kalau ini bagaimana perasaan Ibu masa depan
73 yang mempunyai anak autis? anak yang
74 P2: Mm.. aku berpikir kepriwe anake aku ya mbesuke, belum bisa
75 aku mikir kudu kepriwe ya anake urung bisa mandiri, mandiri
76 nek pikiranku si ora muluk-muluk, Cuma kepengen
77 anakku kue bisa mandiri (mata berkaca-kaca)
78 P : ceritakan apa saja yang Ibu rasakan secara Yang dirasakan
79 emosional ketika menghadapi anak? secara
80 P2 : Mm.. aku seringnya marah-marah mba, kaya emosional :
81 nggak ke kontrol gitu kemarahanku. Padahal ya - Mudah marah
82 sebenere kerjaanku nggak terlalu banyak ya - Berkata kasar
83 menurutku, kalau dibandingkan sama temen-temen - Mudah lupa
84 yang lain, tapi mbuh kalau anak gawe ulah rasane - Mudah
85 jenn.. pengine ngomong kasar bae, nek getet ya nganti menangis
86 tek ciwit, tabok
87 P : ngomong kasar?
88 P2 : iya kaya contone anakku lagi gawe ulah apa gitu
89 ya, terus aku nggak suka. Aku reflek bilang “bego
90 banget sih koe, gini aja nggak bisa” ya gitu mba. Nah

cxxxv
91 biasane kalau udah hawane marah-marah tu aku dadi
92 sering lupa. Kaya misal naruh kacamata, kunci,
93 dompet ya banyak lah. Jadi nggak bisa fokus
94 P : Mm…
95 P2 : kadang ya, aku sering nangis nek wis ora tahan,
96 nganti ngomong “jaannn kudu kepriwe mama kuee,
wis ngomong bolak balik ora mudeng-mudeng,
goblok”
97 P : pada saat anak berperilaku apa sehingga membuat Hal yang
98 ibu marah, berkata kasar dan yang Ibu sebutkan tadi? dirasakan secara
99 P2: Yaa misal pas lagi angel diomongi ya kue ya aku emosional ketika
100 sempet marah tapi terus tek cipret-cipreti air, kan kae menghadapi
101 takut air anak :
102 P : Berarti kalau menghadapi anak yang membuat Ibu - Anak tidak
103 marah langsung di cipretin gitu ya bisa diajak
104 P2: Iya Kerjasama
105 P : Nah itu apa yang membuat Ibu jadi marah kepada - Permintaan
106 anak? anak tidak
107 P2: Biasane nek permintaane ora dituruti dituruti
108 P : Mm..
109 P2: kan memang nggak semua permintaan harus
110 dituruti, walalupun aku bisa aja nuruti permintaan, tapi
111 kan aku ya nanti dulu
112 P : contohnya apa bu?
113 P2: ya kaya misale njaluk jalan-jalan harus sekarang.
114 Karena anak autis kan disiplin banget waktune yah,
115 jadi itu harus berulang-ulang ngomongnya. misal
116 kalau udah jam segini waktunya makan ya makan,
117 waktunya tidur ya tidur. Di sekolahpun begitu, misal
118 waktunya istirahat tapi dia belum istirahat ya dia
119 langsung ngamuk. Dia harus istirahat
120 P : apa yang membuat Ibu merasa lebih baik saat itu? Membuat lebih
121 P2 : aku biasane tek bawa dandan sendiri, terus selfie- baik dengan
122 selfie sendiri. yaa kaya narsis gitu berdandan, foto
123 P : coba ceritakan pengalaman mengenai mental Ibu Pengalaman
124 ketika menghadapi anak? mental ketika
125 P2 : aku sempet putus asa, gimana ya mba, aku disini menghadapi
126 tinggal bareng mertua, ada adik ipar,. Tapi mereka anak:
127 nggak bisa diandelin, kayaknya adaa aja masalah- - Putus asa
128 masalah sepele. Ya walaupun masalah sepele tapi - Lelah secara
129 bikin aku capek. Aku udah banyak ngurusin anak- mental
130 anakku yang kaya gitu, ditambah yang di rumah. - Kesepian
131 P : apakah Ibu memiliki teman yang bisa diajak untuk - Menarik diri
132 berbagi? dari
133 P2 : nah itu mba, aku dari dulu semenjak punya anak lingkungan
134 ini aku ngerasa aku harus menghindar dari temen- - Malu

cxxxvi
135 temen aku, dari lingkungan yang ada disini untuk - Energi merasa
136 menghindari omongan yang enggak-enggak. terkuras
137 P : selama berapa lama Ibu menghindar?
138 P2 : lama mba, bertahun-tahun. Karena ya malu ya
139 punya anak kaya gini, ada 2 lagi, kembar
140 P : Mm.. apa yang membuat Ibu malu?
141 P2 : yaa malu, karena anakku nggak kaya anak normal
142 lainnya. Dadi isin gitu mba
143 P : lalu dengan aktifitas Ibu sendiri bagaimana?
144 P2 : aktifitas kaya biasanya, cuma ngerasa capek
145 banget, capek.. ngurusin anak kaya gini nguras tenaga
146 banget loh. Karena kan kita bener-bener ngeladeni
147 semua keperluan anak dari mandiin, pakai baju,
148 nyuapin, masak. Soalnya saya kalau masak sehari 3x
149 loh mba. Pagi aku masak untuk sarapan, siang aku
150 masak lagi, sore aku juga masak lagi. Jadi nggak
151 pernah masak sekali doang gitu
152 P : apa yang Ibu lakukan ketika kelelahan, menarik Yang
153 diri, kesepian, energi merasa terkuras? dilakukan :
154 P2 : aku lebih seringnya nonton drakor mba, jadi jam - Nonton drama
155 7 pagi tuh, suami berangkat kerja, aku langsung korea
156 nonton drakor sampai jam 9. Terus lanjut masak - Anak-anak
157 P : lalu anak-anak bagaimana bu? dibari
158 P2 : anak-anak tek kasih handphone, biarin mereka handphone
159 main handphone sing penting aku bombing disit
160 P : bisa Ibu ceritakan bagaimana kedekatan Ibu Tidak terlalu
161 dengan anak-anak? dekat dengan
162 P2 : saya biasa aja sih mba sama anak, sayang ya anak,, dirinya
163 sayang. Cuma ada momen tertentu yang sering aku merasa
164 kehilangan waktu untuk diriku sendiri. kehilangan
165 P : lalu bagaimana perasaan Ibu ketika dekat dengan waktu untuk
166 anak-anak? dirinya sendiri
167 P2 : rasanya gimana ya, yaa kaya yang aku jelasin tadi
168 mba. Aku ngerasa hidupku hanya untuk ngeladenin Merasa
169 anakku, aku udah capek, pengen ada waktu buat aku waktunya habis
170 yang nggak bener-bener diganggu. Jadi ya makanya hanya untuk
171 kalau anakku di rumah terus tak suruh main sama anak
172 temen-temennya biar aku ada waktu sendiri
173 P : coba ceritakan bagaimana cara Ibu menunjukkan Menunjukkan
174 rasa sayang kepada anak? rasa sayang
175 P2 : yaa kadang tek peluk-pelukin, tapi memang kalau
dengan cara
176 anak autis itu nggak suka dipeluk ya, ya paling tek
membelikan
177 beliin makanan kesukaannya makanan
178 kesukaan
179 anaknya
180 P : lalu bagaimana cara Ibu menikmati kebersamaan Tidak bisa

cxxxvii
181 dengan anak-anak? menikmati
182 P2 : aku hampir nggak bisa menikmati kebersamaan kebersamaan
183 sama anak-anak saya ya mba. soalnya aku udah sibuk dengan anak
184 ini itu, belum lagi orderan online, ngurus rumah, karena
185 ngurus makanan. Yaa udah nggak mikir buat kesibukannya
186 menikmati kebersamaan
187
188 P : bisa Ibu ceritakan hal yang paling berkesan ketika
Hal yang paling
189 bersama anak? berkesan adalah
190 P2 : pas anak nambah perkembangan mba, misal ada dengan melihat
191 kemajuan bisa ambil minum sendiri kalau lagi haus, kemajuan
192 yaa pas ada inisiatif sendiri dalam melakukan sesuatu
perkembangan
193 lah itu aku seneng banget anaknya, dan
194 ada inisiatif dari
195 anaknya
196 P : apa yang muncul dipikiran Ibu ketika jauh dari Merasa tenang
197 anak? ketika jauh dari
198 P2 : tenang anak
199 P : tenang?
200 P2 : iya tenang, kadang aku mikir ada ketenangan
201 kalau nggak ada anak. tapi aku sayang sama anak-
anak.
202 P : lalu dengan suami bagaimana? Hubungan
203 P2 : kalau suamiku itu keras banget mba, keras. Dia dengan
204 kan ojek online, tapi juga sering di rumah. Hawane pasangan :
205 panas banget nek ada suami - Suami sangat
206 P : maksudnya panas itu bagaimana? keras pada
207 P2 : ya apa-apane kue di komplaaiiin terus. Kaya dirinya
208 contone nek masalah anak, maksude akua rep ngajari masalah kecil
209 anak men bisa makan sendiri ya, nah wajar lah nek selalu dibesar-
210 esih cilik anake makan berantakan. Nah nek bojone besarkan
211 weruh bisa kesuh banget kue. Ya maksudku ngko disit - Berbeda dalam
212 nek wis rampung kabeh maeme tembe tek beresi, tapi menerapkan
213 suamiku tu nggak bisa liat makanan berceceran. pola asuh
214 Sedangkan kan yang namanya masih belajar, kita juga - Suaminya
215 perlu usaha ekstra sering marah
216 P : Mm.. lalu suami membantu tidak dalam masalah - Dirinya merasa
217 itu? selalu salah
218 P2 : yaaahh.. boro-boro bantu mba, isine mung dihadapan
219 ngomeih tok. Nek mau bantuin si nggak papa ya, lah pasangan
220 dia cuma cung cung.. terus ngomeih sabendina ya apa - Sering
221 ora uteke panas berantem
222 P : lalu komunikasi Ibu dengan suami bagaimana? - KDRT
223 P2 : (mengambil nafas panjang).. Mm.. aku ya mba, - Sudut pandang
224 kalau ngomongin suami itu kaya nggak ada habisnya yang tidak bisa
225 loh. Aku belum ngomong aja ngerasa wis kesel disit disatukan

cxxxviii
226 (mata berkaca-kaca) - Keinginan
227 P : Ow.. jika Ibu berkenan boleh bu untuk bercerita, untuk cerai
228 sedikit saja kalau berkenan
229 P2 : aku ya mba, sebenere.. Mm.. suami sebenere
230 nggak pengen punya anak dulu, semenjak anak ini
231 lahir, dia selalu nyalahin aku terus. Gara-gara aku
232 nggak mau ngegugurin kandungan dulu. Aku selalu
233 disalahin (menangis). Ada masalah kecil selalu
234 dibesar-besarkan yang sebenernya nggak perlu di
235 bahas
236 P : contohnya seperti apa bu?
237 P2 : ya kaya misal mainan mobil-mobilan anakku, ada
238 part yg ilang nyarinya ya Allah sampe bongkar-
239 bongkar kasur, kursi digeser-geser. Dicari di mobil
240 bener-bener nggak ketemu. Nah pas nggak sengaja
241 kakiku diatas keset, ternyata ada disitu yg lagi dicari.
242 Otomatis aku ngasih tau ke suami dong, eeeh malah
243 aku yang dimarahin, dikira aku yang ngumpetin, aku
244 yang cari gara-gara, ribut besar aku sama dia, lha
245 wong aku nemu mau ngasih tau kok malah dituduh
246 yang enggak-enggak. Aku sampe disumpahin sama
247 suami, suami suka banget nyumpahin aku yang bikin
248 aku khawatir mbok kejadian beneran.
249 P : maaf jadi Ibu dengan suami sering berantem ya?
250 P2 : nggak sering lagi mba, hampir tiap hari kami
251 ribut. Adaaa aja yang diributin
252 P : yang paling sering itu meributkan mengenai apa
253 bu?
254 P2 : kami sering ribut itu seringnya tentang anak, kita
255 beda banget tentang menerapkan pola asuh
256 P : contohnya seperti apa bu?
257 P2 : ya kaya misal, kita kan hidup di Indonesia ya,
258 budaya Indonesia kan biasanya kalau salaman sama
259 orang tua, kakek, nenek atau yang usianya jauh
260 diatasnya kita kalau salim kan cium tangan. Nah
261 persepsinya dia itu kalau orang yang cium tangan itu
262 dikira derajat kita turun, apalagi kalau pas lagi lebaran
263 kan biasanya kita sungkem sama orang tua ya, nah dia
264 itu mikirnya kita nyembah sama orang tua. Nah hal-
265 hal yang kaya gitu yang seringnya kita ribut gitu loh.
266 P : berarti perbedaan persepsi ya
267 P2 : iya, terus juga kalau misal anak ngompol, inget
268 banget itu. Padahal kasurnya udah aku kasih sprei
269 waterproof terus aku alasin lagi pakai perlak, pas
270 bangun tidur anakku ngompol, suami tau, mukaku
271 langsung dilempar sama bekas ompolnya anakku.

cxxxix
272 P : Bisa begitu ya
273 P2 : jadi apapun yang terjadi di rumah itu semua salah
274 aku (menangis), dia mengira aku nggak becus ngurus
275 rumah, nggak becus ngurus anak, jadi aku harus siaga
276 jangan sampai ada kejadian yang dia nggak suka.
277 P : lalu untuk komunikasi Ibu dengan suami
278 bagaimana?
279 P2 : aku itu banyak banget masalah sama suami,
280 kayaknya semua yang aku lakukan itu salah terus
281 dimata dia. Aku salah 1 kata aja dia langsung marah.
282 P : contohnya seperti apa bu?
283 P2 : kaya misalnya, kan biasanya aku ajak anakku
284 ngobrol ya, misal “hai lagi ngapain?” nah kalau
285 suamiku denger aku bisa kena marah, karena aku
286 ngomong tidak sesuai EYD, harusnya “hai kamu
287 sedang apa?”. Dari situ aku langsung dikatain jadi
288 istri dan ibu yang nggak kompeten. Gimana anaknya
289 mau pinter kalau ibunya modelnya kaya gini. Sakit
290 banget mba aku digituin. Apalagi kejadian itu nggak
291 seklai dua kali.
292 P : Mmm..
293 P2 : nggak jarang juga aku kena KDRT
294 P : KDRT?
295 P2 : iya, yaa karena masalah-masalah sepele yang
296 harusnya bisa diselesaikan dengan porsinya, aku
297 malah kena pukulan. Dulu pas anak masih kecil,
298 suamiku hampir setiap hari kalau ada masalah larinya
299 ke KDRT, sampai suatu hari, selama seminggu aku
300 nggak di KDRT in sampai heran, tumben kok dia
301 seminggu ini nggak mukulin aku
302 P : Mm..
303 P2 : aku sebenere pengin cerai mba, soale nek dipikir-
304 pikir ya, aku due bojo kaya nggo pelampiasane kae tok
305 loh. Aku sampe nggak gila aja udah alhamdulillah.
306 Mikir anak wis kaya kue, mikir bojo kaya kue, kaya
307 ruwet banget hidupku. Nek pisah kan jelas, bebanku
308 berkurang 1, aku bisa fokus sama anak-anak. tapi
309 memang aku udah ada rencana, kalau dia mukulin aku
lagi, aku bakal pisah. Sudah.. sudah mba kok malah
jadi kemana-mana obrolannya. Maaf ya mba
(menangis)
310 P : tidak apa-apa bu, baik, kita kembali ke obrolan tadi Potensi yang
311 lagi ya bu. Bisa Ibu ceritakan potensi apa saja yang dimiliki :
312 Ibu miliki? - Senang
313 P2 : aku itu seneng ketemu orang banyak mba, kaya bertemu
314 jadi pembawa acara, suka traveling, jadi tour guide ya dengan banyak

cxl
315 begitulah orang banyak
316 P : lalu bagaimana Ibu bisa mengembangkan potensi - MC
317 tersebut? - Traveling
318 P2 : yaa.. kalau dalam kondisi kaya gini ya udah - Tour Guide
319 nggak bisa
320 P : apakah dengan kondisi anak ibu saat ini menjadi Keadaan anak
321 penghambat dalam mengembangkan potensi? yang membuat
322 P2 : emm.. bisa jadi ya mba, karena keadaan anak dirinya tidak
323 yang nggak bisa ditinggal, terus suami kaya gitu, ya bisa
324 aku udah nggak kepikiran lagi buat diri sendiri mengembangkan
325 keinginannya apa. Apalagi ditambah lingkungan disini potensinya
326 kalau ibunya ngapain gitu ya, maksudnya me time itu
327 dianggapnya nggak ngurusin anak, egois lah. Jadi
328 udah nggak kepengin ngembangin keinginan diri
329 sendiri (menangis)
330 P : apakah Ibu merasa kurang percaya diri dengan Tidak merasa
331 keberadaan anak? percaya diri
332 P2 : gimana ya mba, ya mungkin bisa dibilang kaya dengan adanya
333 gitu, karena aku tau teman-temanku gimana, anak
334 lingkunganku gimana.
335 P : bisa diceritakan bagaimana mmengantisipasinya
336 bu?
337 P2 : misal pas aku ajak anak-anak ke taman, niatku
338 kan biar ganti suasana ya, biar anak-anak juga bisa
339 melihat luar, tapi orang-orang malah pada menjauh, ya
340 akhirnya aku sing lara ati dewek, nganti mikir emange
341 anakku ngapa si, ora mukul ora ngapa. Jadi aku sing
342 tersinggung
343 P : lalu apa yang dilakukan Ibu ketika muncul rasa
344 tidak percaya diri?
345 P2 : Kalau ada anak keadaan kaya gini, mereka kan
346 masih awam, mereka pasti menjauh, akunya juga akan
347 mengantisipasi
348 P : Menurut Ibu, apa keinginan Ibu untuk masa depan Sudah tidak
349 Ibu sendiri? memikirkan
350 P2 : Aku udah nggak mikir buat diri aku sendiri mba, untuk dirinya
351 sing tek pikir keh nek ngko aku wis langka, nek aku sendiri, yang
352 mati anak-anake aku arep kepriwe, nek langka nyong dipikirkan hanya
353 sing ngurusi sapa. dipikiranku hanya anakku ngko untuk anak-
354 nggo masa depan lah, arep kepriwe kaya kue anaknya
355 P : menurut Ibu, seperti apa hidup Ibu seandainya Ibu Seandainya
356 mempunyai anak normal seperti yang lainnya? dirinya
357 P2 : kalau aku punya anak normal ya mungkin memunyai anak
358 hidupku nggak sekelam ini ya, aku nggak khawatir normal, dirinya
359 akan masa depan anakku bagaimana. Karena kan tidak akan
360 kalau anak autis nggak mungkin bisa kerja. Ya kalau khawatir akan

cxli
361 anakku normal aku bisa ada waktu untuk sendiri, bisa masa depan
362 dengan teman-teman anaknya dan
363 dirinya punya
364 waktu lebih
365 banyak
366 P : menurut Ibu hal apa yang membuat Ibu bahagia? Yang membuat
367 P2 : yang membuat aku bahagia punya suami yang dirinya Bahagia
368 sayang sama aku, yang peduli, nggak main tangan, adalah dengan
369 yang bertanggung jawab, anak-anak bisa mandiri. Itu memiliki suami
370 yang membuat aku bahagia idaman. Dirinya
371 P : apakah Ibu saat ini sudah merasakan bahagia belum
372 dengan keberadaan anak? merasakan
373 P2 : belum mba, karena masalahku aku rasa terlalu Bahagia dengan
374 banyak jadi kaya numpuk-numpuk terus, jadi aku keberadaan anak
375 belum bener-bener bahagia dengan dengan diri aku
376 P : lalu apakah Ibu sudah menerima keadaan anak? Membutuhkan
377 P2 : aku lagi nyoba buat nerima apa yang dikasih proses untuk
378 Allah ya, tapi memang harus butuh waktu dan proses menerima anak
ya
379 P : baik Ibu ngobrol-ngobrolnya kali ini sampai disini
380 dulu, terima kasih banyak atas waktunya ya bu
381 P2 : iya mba sama-sama
382 P : mohon maaf tadi mungkin Ibu sampai meneteskan
383 air mata jadi teringat lagi
384 P2 :nggak papa mba
385 P : baik Ibu cukup sekian, wassalamu’alaikum wr. wb

cxlii
LAMPIRAN 7
ANALISIS
PARTISIPAN 2
(AMD)

cxliii
TEMA EMERGEN AMD
Transkrip Orisinal Tema Eksploratoris Tema Emergen
P : ketika anak Ibu didiagnosa Ciri fisik anak terlihat Kaget
autis pertama kali itu bagaimana seperti anak normal
perasaan ibu? lainnya. Hal ini yang Denial
membuat dirinya
P2: Pas pertama kali didiagnosa
denial, tidak percaya Pikiran kosong
itu saya menolak apa yang ketika anaknya
didiagnosa dokter. Pikiran bener- didiagnosa autis.
bener kosong.. nggak percaya, Sedih
soalnya keliatannya anak saya itu Perasaan kaget dan
biasa aja mba kalo diliat dari fisik juga sedih mengapa
kaya orang normal. dirinya mempunyai
anak seperti ini
Iya ada penolakan mba, sedih
banget kenapa kok aku punya anak
seperti ini.
iya sedih mba, saya kan lagi kaget
mendengar diagnosa anak saya,
malah saya dimarahin sama dokter
karena kenapa baru sekarang,
padahal aku itu merasa
penangananku udah cepet loh.
Padahal 2 tahun saya langsung ke
dokter. Ditanya lagi sama dokter
kenapa nggak dari umur satu
tahun, lah satu tahun kan belum
keliatan (P2-AMD-B6-23)
P : Coba Ibu ceritakan pengalaman merasa mengurus 1 Sakit lambung
secara fisik apa saja yang Ibu anak autis seperti
rasakan ketika menghadapi anak? mengasuh 10 anak Tekanan darah
nornal naik
P2: Mm.. siraeh cenut-cenut, dulu
itu saya sering sakit lambung mba, Sakit kepala
kalo dicek itu tekanan darahku merasa lelah tinggal di
selalu naik, jadi aku ngerasa rumah mertua yang Mudah lelah
ngasuh anak 2 itu kaya ngasuh ke mengharuskan kondisi secara fisik
10 anak normal. Bener-bener rumah selalu bersih,
capek banget, memang kalau sedangkan dirinya Gangguan tidur
harus mengurus anak-
menghadapi anak kaya gitu tu
anaknya
harus dibilangin terus, sampe 10x
paling capek ya harus berkali-kali
ngomongnya jadi lebih emosi,
sakit kepala juga karena pada
ngomong koe anake loro loh ya.

cxliv
wong anak 1 autis be wis ngorong-
ngorong bae apa maning loro, gitu
pada ngomong,
gampang kesel mba dulu, apalagi
aku kan ikut sama mertua ya, jadi
ya umah kudu bersih terus, disisi
lain aku kudu ngurusi anake
anakku kan dua ya, nah tiap
malem itu seringnya anak-anakku
kebangun keluar kamar, nah aku
harus jaga-jaga. Kalau siang
seringnya aku ngantuk, ya nggak
bisa tidur (P2-AMD-B27-52)
P : Pada saat anak berperilaku Saat anak tantrum dan Anak melempar
seperti apa sehingga Ibu suka melempar barang- barang
mengalami gangguan lambung dan barang yang ada di
rumah yang tidak bisa tantrum
sakit kepala?
dikendalikan membuat
P2 : kadang ya mba anak saya itu dirinya sakit lambung
suka lempar-lemparin barang-
barang yang ada di rumah, terus
dianya aktif banget yang nggak
bisa dikendalikan, sayanya nggak
bisa berhentiin anak saya. Yaudah
itu efeknya ke lambung saya (P2-
AMD-B53-59)
P : apa yang membuat Ibu lebih “saya biasanya tek Tidur-tiduran
baik ketika mengalami itu semua? bawa tidur-tiduran aja
P2 : saya biasanya tek bawa tidur- mba sambil main hp” Bermain
handphone
tiduran aja mba sambil main hp “daripada aku stress
iya, soalnya aku udah capek sama ya mending masuk
aktifitasku, nah ketambahan kamar”
anakku ya daripada aku stress ya Mengantisipasi agar
mending masuk kamar
dirinya tidak stress
(P2-AMD-B60-67)
dengan bermain
handphone sambil
tiduran
P : O iya iya.. Bisa Ibu ceritakan “Mm.. aku berpikir Kekhawatiran
bagaimana perasaan Ibu yang kepriwe anake aku ya
memiliki anak yang didiagnosa mbesuke, aku mikir Harapan
kudu kepriwe ya anake
autis?
urung bisa mandiri”
P2 : Mm.. aku berpikir kepriwe
anake aku ya mbesuke, aku mikir Dengan mata berkaca-

cxlv
kudu kepriwe ya anake urung bisa kaca menunjukkan
mandiri, nek pikiranku si ora kekhawatiran akan
muluk-muluk, Cuma kepengen masa depan anak
anakku kue bisa mandiri (mata karena anak belum bisa
berkaca-kaca) mengurus dirinya
(P2-AMD-B68-77) sendiri
P : ceritakan apa saja yang Ibu Marah yang
rasakan secara emosional ketika Aku reflek bilang tidak terkontrol
menghadapi anak? “bego banget sih koe,
gini aja nggak bisa” Kekerasan
P2 : aku seringnya marah-marah
Menunjukkan marah verbal
mba, kaya nggak ke control gitu yang tidak terkontrol
kemarahanku. Padahal ya sebenere sampai ada kekerasan Mudah lupa
kerjaanku nggak terlalu banyak ya verbal
kalau dibandingkan sama temen- “Nah biasane kalau Tidak fokus
temen yang lain, tapi mbuh kalau udah hawane marah-
anak gawe ulah rasane jenn.. marah tu aku dadi
sering lupa. Kaya
pengine ngomong kasar
misal naruh kacamata,
Kaya contone anakku lagi gawe kunci, dompet ya
ulah apa gitu ya, terus aku nggak banyak lah”
suka. Aku reflek bilang “bego “kadang ya mba, aku
banget sih koe, gini aja nggak sering nangis nek wis
bisa” ya gitu mba. Nah biasane ora tahan”
kalau udah hawane marah-marah Menunjukkan efek
sering marah
tu aku dadi sering lupa. Kaya
menjadikan mudah
misal naruh kacamata, kunci, lupa
dompet ya banyak lah. Jadi nggak
bisa fokus
kadang ya mba, aku sering nangis
nek wis ora tahan, nganti ngomong
“jaannn kudu kepriwe mama kuee,
wis ngomong bolak balik ora
mudeng-mudeng”
(P2-AMD-B78-96)
P : pada saat anak berperilaku apa Saat anak tidak bisa Anak sulit diajak
sehingga membuat ibu marah, diajak kerjasama kerjasama
cemas dan yang Ibu sebutkan tadi? membuat dirinya
marah dan menciprat Anak meminta
P2 : Yaa misal pas lagi angel
dengan air yang sesuatu harus
diomongi ya kue ya aku sempet membuat anak takut dituruti
marah tapi terus tek cipret-cipreti
air, kan kae takut air
Biasane nek permintaane ora
dituruti

cxlvi
ya kaya misale njaluk jalan-jalan
harus sekarang. Karena anak autis
kan disiplin banget waktune yah,
jadi itu harus berulang-ulang
ngomongnya. misal kalau udah
jam segini waktunya makan ya
makan, waktunya tidur ya tidur. Di
sekolahpun begitu, misal
waktunya istirahat tapi dia belum
istirahat ya dia langsung ngamuk.
Dia harus istirahat (P2-AMD-
B97-119)
P : apa yang membuat Ibu merasa Dengan berdandan, Coping stress
lebih baik saat itu? selfie sendiri membuat
P2 : aku biasane tek bawa dandan dirinya merasa lebih
sendiri, terus selfie-selfie sendiri. baik
yaa kaya narsis gitu
(P2-AMD-B120-122)
P : coba ceritakan pengalaman Tinggal bersama Putus asa
mengenai mental Ibu ketika mertua, adik ipar yang
menghadapi anak? yang tidak bisa Lelah secara
P2 : aku sempet putus asa, gimana diandalkan, merasa mental
ya mba, aku disini tinggal bareng setiap hari ada masalah
mertua, ada adik ipar,. Tapi yang harus yang Menarik diri dari
mereka nggak bisa diandelin, menurutnya sepele. lingkungan
kayaknya adaa aja masalah- Namun itu yang
masalah sepele. Ya walaupun membuat lelah dan Malu
masalah sepele tapi bikin aku putus asa
capek. Aku udah banyak ngurusin Energi terkuras
anak-anakku yang kaya gitu, “Aku udah banyak habis
ditambah yang di rumah. ngurusin anak-anakku
P : apakah Ibu memiliki teman yang kaya gitu,
yang bisa diajak untuk berbagi? ditambah yang di
P2 : nah itu mba, aku dari dulu rumah”
semenjak punya anak ini aku Menunjukkan banyak
ngerasa aku harus menghindar dari masalah eksternal yang
temen-temen aku, dari lingkungan muncul
yang ada disini untuk menghindari
omongan yang enggak-enggak. “aku dari dulu
P : selama berapa lama Ibu semenjak punya anak
menghindar? ini aku ngerasa aku
P2 : lama mba, bertahun-tahun. harus menghindar dari
Karena ya malu ya punya anak temen-temen aku”
kaya gini, ada 2 lagi, kembar Menunjukkan dirinya
P : Mm.. apa yang membuat Ibu menarik diri dari
malu? lingkungan untuk

cxlvii
P2 : yaa malu, karena anakku menghindari gaal-hal
nggak kaya anak normal lainnya. yang tidak diinginkan
Dadi isin gitu mba
P : lalu dengan aktifitas Ibu sendiri
bagaimana? “yaa malu, karena
P2 : aktifitas kaya biasanya, cuma anakku nggak kaya
ngerasa capek banget, capek.. anak normal lainnya.
ngurusin anak kaya gini nguras Dadi isin gitu mba”
tenaga banget loh. Karena kan kita merasa malu anaknya
bener-bener ngeladeni semua tidak seperti anak
keperluan anak dari mandiin, normal lainnya
pakai baju, nyuapin, masak.
Soalnya saya kalau masak sehari “cuma ngerasa capek
3x loh mba. Pagi aku masak untuk banget, capek..
sarapan, siang aku masak lagi, ngurusin anak kaya
sore aku juga masak lagi. Jadi gini nguras tenaga
nggak pernah masak sekali doang banget loh”
gitu Merasa lelah secara
(P2-AMD-B123-151) mental dan energi
terkuras habis
P : apa yang Ibu lakukan ketika “jam 7 pagi tuh, suami Coping stress
kelelahan, menarik diri, kesepian, berangkat kerja, aku
energi merasa terkuras? langsung nonton Tidak berdaya
P2 : aku lebih seringnya nonton drakor sampai jam 9” dalam mengasuh
drakor mba, jadi jam 7 pagi tuh, Menunjukkan coping
suami berangkat kerja, aku stres di pagi hari
langsung nonton drakor sampai
jam 9. Terus lanjut masak Anak-anak diberikan
anak-anak tek kasih handphone, gadget agar dirinya
biarin mereka main handphone bisa melakukan
sing penting aku bombing disit aktifitas
(P2-AMD-B152-159)
P : bisa Ibu ceritakan bagaimana Tidak ada ruang
kedekatan Ibu dengan anak-anak? “Aku ngerasa hidupku untuk dirinya
P2 : saya biasa aja sih mba sama hanya untuk
anak, sayang ya sayang. Cuma ada ngeladenin anakku, Tertekan dengan
momen tertentu yang sering aku aku udah capek, banyaknya tugas
kehilangan waktu untuk diriku pengen ada waktu buat
sendiri. aku yang nggak bener- Pengabaian
rasanya gimana ya, yaa kaya yang bener diganggu” terhadap anak
aku jelasin tadi mba. Aku ngerasa Merasa hidupnya
hidupku hanya untuk ngeladenin hanya untuk mengasuh
anakku, aku udah capek, pengen anak, dan kehilangan
ada waktu buat aku yang nggak waktu untuk dirinya
bener-bener diganggu. Jadi ya sendiri karena banyak
makanya kalau anakku di rumah tugas yang harus

cxlviii
terus tak suruh main sama temen- dikerjakan
temennya biar aku ada waktu
sendiri “Jadi ya makanya
(P2-AMD-B160-172) kalau anakku di rumah
terus tak suruh main
sama temen-
temennya”
Demi ada waktu untuk
diri sendiri anak
disuruh main dengan
teman-temannya
P : coba ceritakan bagaimana cara Membelikan makanan Membelikan
Ibu menunjukkan rasa sayang kesukaan anak cara makanan
kepada anak? dirinya menunjukkan
P2 : yaa kadang tek peluk-pelukin, rasa sayang
tapi memang kalau anak autis itu
nggak suka dipeluk ya, ya paling
tek beliin makanan kesukaannya
(P2-AMD-B173-179)
P : lalu bagaimana cara Ibu Tidak bisa menikmati Tidak
menikmati kebersamaan dengan kebersamaan dengan menikmati
anak-anak? anak karena banyak kebersamaan
P2 : aku hampir nggak bisa tugas yang harus dengan anak
menikmati kebersamaan sama dikerjakan
anak-anak saya ya mba. soalnya
aku udah sibuk ini itu, belum lagi
orderan online, ngurus rumah,
ngurus makanan. Yaa udah nggak
mikir buat menikmati
kebersamaan
(P2-AMD-B180-187)
P : bisa Ibu ceritakan hal yang “bisa ambil minum Kemajuan dari
paling berkesan ketika bersama sendiri kalau lagi anak
anak? haus, yaa pas ada membuatnya
P2 : pas anak nambah inisiatif sendiri dalam berkesan
perkembangan mba, misal ada melakukan sesuatu lah
kemajuan bisa ambil minum itu aku seneng banget”
sendiri kalau lagi haus, yaa pas
ada inisiatif sendiri dalam
melakukan sesuatu lah itu aku
seneng banget (P2-AMD-B188-
193)
P : apa yang muncul dipikiran Ibu “tenang” Merasa tenang
ketika jauh dari anak? Kata sederhana namun jika jauh dengan
P2 : tenang mempunyai makna anak
P : tenang? yang mendalam untuk

cxlix
P2 : iya tenang, kadang aku mikir dirinya
ada ketenangan kalau nggak ada
anak. tapi aku sayang sama anak-
anak
(P2-AMD-B196-201)
P : lalu dengan suami bagaimana? “Hawane panas Sering terjadi
P2 : kalau suamiku itu keras banget nek ada suami” konflik dengan
banget mba, keras. Dia kan ojek pasangan
online, tapi juga sering di rumah. Mempunyai pasangan
Hawane panas banget nek ada yang keras kepala
suami membuatnya merasa
ya apa-apane kue di komplaaiiin tidak ada ketenangan
terus. Kaya contone nek masalah jika ada pasangan
anak, maksude aku arep ngajari
anak men bisa makan sendiri ya,
nah wajar lah nek esih cilik anake
makan berantakan. Nah nek
bojone weruh bisa kesuh banget
kue. Ya maksudku ngko disit nek
wis rampung kabeh maeme tembe
tek beresi, tapi suamiku tu nggak
bisa liat makanan berceceran.
Sedangkan kan yang namanya
masih belajar, kita juga perlu
usaha ekstra
yaaahh.. boro-boro bantu mba,
isine mung ngomeih tok. Nek mau
bantuin si nggak papa ya, lah dia
cuma cung cung.. terus ngomeih
sabendina ya apa ora uteke panas
(P2-AMD-B202-221)
P : lalu komunikasi Ibu dengan (mengambil nafas Sering berbeda
suami bagaimana? panjang).. aku ya mba, pendapat
P2 : (mengambil nafas panjang).. kalau ngomongin
Mm.. aku ya mba, kalau suami kaya nggak ada Lelah dengan
ngomongin suami itu kaya nggak habisnya loh. Aku sikap pasangan
ada habisnya loh. Aku belum belum ngomong aja
ngomong aja ngerasa wis kesel ngerasa wis kesel disit sering miss
disit (mata berkaca-kaca) (mata berkaca-kaca) komunkasi
aku ya mba, sebenere.. Mm.. Merasa energi terkuras dengan
suami sebenere nggak pengen ketika bersama pasangan
punya anak dulu, semenjak anak pasangan karena sering
ini lahir, dia selalu nyalahin aku berbeda pendapat
terus. Gara-gara aku nggak mau sehingga timbul Timbul
ngegugurin kandungan dulu. Aku kebencian kebencian
selalu disalahin (menangis). Ada

cl
masalah kecil selalu dibesar- Kualitas
besarkan yang sebenernya nggak terhadap
perlu di bahas pasangan
ya kaya misal mainan mobil- menjadi buruk
mobilan anakku, ada part yg ilang
nyarinya ya Allah sampe bongkar-
bongkar kasur, kursi digeser-geser. Sudut pandang
Dicari di mobil bener-bener nggak yang berbeda
ketemu. Nah pas nggak sengaja dengan
kakiku diatas keset, ternyata ada pasangan
disitu yg lagi dicari. Otomatis aku
ngasih tau ke suami dong, eeeh Sering ribut
malah aku yang dimarahin, dikira dengan
aku yang ngumpetin, aku yang cari pasangan
gara-gara, ribut besar aku sama
dia, lha wong aku nemu mau
ngasih tau kok malah dituduh yang
enggak-enggak. Aku sampe
disumpahin sama suami, suami
suka banget nyumpahin aku yang
bikin aku khawatir mbok kejadian
beneran.
nggak sering lagi mba, hampir tiap
hari kami ribut. Adaaa aja yang
diributin
kami sering ribut itu seringnya
tentang anak, kita beda banget
tentang menerapkan pola asuh
ya kaya misal, kita kan hidup di
Indonesia ya, budaya Indonesia
kan biasanya kalau salaman sama
orang tua, kakek, nenek atau yang
usianya jauh diatasnya kita kalau
salim kan cium tangan. Nah
persepsinya di aitu kalau orang
yang cium tangan itu dikira derajat
kita turun, apalagi kalau pas lagi
lebaran kan biasanya kita sungkem
sama orang tua ya, nah dia itu
mikirnya kita nyembah sama
orang tua. Nah hal-hal yang kaya
gitu yang seringnya kita ribut gitu
loh
iya, terus juga kalau misal anak
ngompol, inget banget itu. Padahal
kasurnya udah aku kasih sprei

cli
waterproof terus aku alasin lagi
pakai perlak, pas bangun tidur
anakku ngompol, suami tau,
mukaku langsung dilempar sama
bekas ompolnya anakku.
jadi apapun yang terjadi di rumah
itu semua salah aku (menangis),
dia mengira aku nggak becus
ngurus rumah, nggak becus ngurus
anak, jadi aku harus siaga jangan
sampai ada kejadian yang dia
nggak suka (P2-AMD-B222-274)
P : lalu untuk komunikasi Ibu Tipe pasangannya Serba salah
dengan suami bagaimana? yang perfeksionis dimata pasangan
P2 : aku itu banyak banget membuatnya serba
masalah sama suami, kayaknya salah dalam melakukan Pasangan sering
semua yang aku lakukan itu salah banyak hal malakukan
terus dimata dia. Aku salah 1 kata KDRT
aja dia langsung marah. “nggak jarang juga aku
kaya misalnya, kan biasanya aku kena KDRT” Kualitas
ajak anakku ngobrol ya, misal Sering mendapatkan bersama
“hai lagi ngapain?” nah kalau KDRT dari pasangan
suamiku denger aku bisa kena pasangannya menjadi buruk
marah, karena aku ngomong tidak
sesuai EYD, harusnya “hai kamu Keinginan untuk
sedang apa?”. Dari situ aku bercerai
langsung dikatain jadi istri dan ibu
yang nggak kompeten. Gimana
anaknya mau pinter kalau ibunya
modelnya kaya gini. Sakit banget
mba aku digituin. Apalagi
kejadian itu nggak seklai dua kali.
nggak jarang juga aku kena KDRT
iya, yaa karena masalah-masalah
sepele yang harusnya bisa
diselesaikan dengan porsinya, aku
malah kena pukulan. Dulu pas
anak masih kecil, suamiku hampir
setiap hari kalau ada masalah
larinya ke KDRT, sampai suatu
hari, selama seminggu aku nggak
di KDRT in sampai heran, tumben
kok dia seminggu ini nggak
mukulin aku
aku sebenere pengin cerai mba,
soale nek dipikir-pikir ya, aku due

clii
bojo kaya nggo pelampiasane kae
tok loh. Aku sampe nggak gila aja
udah alhamdulillah. Mikir anak
wis kaya kue, mikir bojo kaya kue,
kaya ruwet banget hidupku. Nek
pisah kan jelas, bebanku
berkurang 1, aku bisa fokus sama
anak-anak. tapi memang aku udah
ada rencana, kalau dia mukulin
aku lagi, aku bakal pisah. Sudah..
sudah mba kok malah jadi
kemana-mana obrolannya. Maaf
ya mba (menangis) (P2-AMD-
B275-309)
P : Bisa Ibu ceritakan potensi apa Merasa memiliki Merasa
saja yang Ibu miliki? banyak potensi namun mempunyai
P2 : aku itu seneng ketemu orang tidak bisa potensi namun
banyak mba, kaya jadi pembawa mengembangkannya tidak dapat
acara, suka traveling, jadi tour karena keberadaan dikembangkan
guide ya begitulah anak
P : lalu bagaimana Ibu bisa
mengembangkan potensi tersebut?
P2 : yaa.. kalau dalam kondisi
kaya gini ya udah nggak bisa
(P2-AMD-B319)
P : apakah dengan kondisi anak Mengorbankan potensi Ketidakpuasan
ibu saat ini menjadi penghambat yang dimiliki karena diri
dalam mengembangkan potensi? ada anak yang lebih
P2 : emm.. bisa jadi ya mba, membutuhkan dirinya Marah dengan
karena keadaan anak yang nggak keadaan
bisa ditinggal, terus suami kaya “Jadi udah nggak
gitu, ya aku udah nggak kepikiran kepengin ngembangin Berkurangnya
lagi buat diri sendiri keinginannya keinginan diri sendiri minat dalam
apa. Apalagi ditambah lingkungan (menangis)” mengambangkan
disini kalau ibunya ngapain gitu Menangis potensi
ya, maksudnya me time itu menjunjukkan marah
dianggapnya nggak ngurusin anak, dengan keadaan Anak menjadi
egois lah. Jadi udah nggak penghambat
kepengin ngembangin keinginan dalam
diri sendiri (menangis) (P2-AMD- mengembangkan
B320-329) potensinya
P : apakah Ibu merasa kurang “aku tau teman- Tidak percaya
percaya diri dengan keberadaan temanku gimana, diri
anak? lingkunganku gimana”
P2 : gimana ya mba, ya mungkin Memahami kondisi
bisa dibilang kaya gitu, karena aku lingkungannya

cliii
tau teman-temanku gimana, sehingga menjadikan
lingkunganku gimana. tidak percaya diri
P : bisa diceritakan bagaimana
mmengantisipasinya bu?
P2 : misal pas aku ajak anak-anak
ke taman, niatku kan biar ganti
suasana ya, biar anak-anak juga
bisa melihat luar, tapi orang-orang
malah pada menjauh, ya akhirnya
aku sing lara ati dewek, nganti
mikir emange anakku ngapa si, ora
mukul ora ngapa. Jadi aku sing
tersinggung
P : lalu apa yang dilakukan Ibu
ketika muncul rasa tidak percaya
diri?
P2 : Kalau ada anak keadaan kaya
gini, mereka kan masih awam,
mereka pasti menjauh, akunya
juga akan mengantisipasi
(P2-AMD-B330-347)
P : Menurut Ibu, apa keinginan Ibu “Aku udah nggak Terlalu
untuk masa depan Ibu sendiri? mikir buat diri aku memikirkan
P2 : Aku udah nggak mikir buat sendiri mba, sing tek masa depan anak
diri aku sendiri mba, sing tek pikir pikir keh nek ngko aku
keh nek ngko aku wis langka, nek wis langka, nek aku Kecemasan
aku mati anak-anake aku arep mati anak-anake aku
kepriwe, nek langka nyong sing arep kepriwe” Lupa dengan
ngurusi sapa. dipikiranku hanya Inilah sumber kebutuhan diri
anakku ngko nggo masa depan lah, kecemasan dirinya sendiri
arep kepriwe kaya kue yang terlalu
(P2-AMD-B348-354) memikirkan masa
depan anak sehingga
mengabaikan dirinya
sendiri
P : menurut Ibu, seperti apa hidup Keinginan yang Harapan yang
Ibu seandainya Ibu mempunyai terpendam jika tinggi
anak normal seperti yang lainnya? memiliki anak normal,
P2 : kalau aku punya anak normal seperti bisa bekerja,
ya mungkin hidupku nggak hidupnya tidak merasa
sekelam ini ya, aku nggak kelam, ada waktu
khawatir akan masa depan anakku untuk sendiri dan
bagaimana. Karena kan kalau anak teman-temannya
autis nggak mungkin bisa kerja.
Ya kalau anakku normal aku bisa
ada waktu untuk sendiri, bisa

cliv
dengan teman-teman
(P2-AMD-B355-361)
P : menurut Ibu hal apa yang Menyampaikan hal Harapan yang
membuat Ibu bahagia? yang membuatnya tinggi
P2 : yang membuat aku bahagia bahagia adalah
punya suami yang sayang sama kehidupan yang
aku, yang peduli, nggak main sempurna bersama
tangan, yang bertanggung jawab, dengan pasangan
anak-anak bisa mandiri. Itu yang idaman, dan anak yang
membuat aku bahagia mandiri
P : apakah Ibu saat ini sudah
merasakan bahagia dengan
keberadaan anak?
P2 : belum mba, karena masalahku
aku rasa terlalu banyak jadi kaya
numpuk-numpuk terus, jadi aku
belum bener-bener bahagia dengan
dengan diri aku
(P2-AMD-B366-375)
P : lalu apakah Ibu sudah Sedang mencoba untuk Mencoba untuk
menerima keadaan anak? menerima keadaan menerima
P2 : aku lagi nyoba buat nerima yang sudah Allah keadaan
apa yang dikasih Allah ya, tapi berikan
memang harus butuh waktu dan
proses ya
(P2-AMD-B376-378)

clv
ANALISIS TAHAP 4 PARTISIPAN 2
Sebaran Awal Tema Emergen
Kaget Coping stress
Denial Tidak berdaya dalam mengasuh
Pikiran kosong Tidak ada ruang untuk dirinya
Sedih Tertekan dengan banyaknya tugas
Sakit lambung Pengabaian terhadap anak
Tekanan darah naik Tidak menikmati kebersamaan dengan
anak
Sakit kepala Perkembangan anak membuatnya
berkesan
Mudah lelah secara fisik Merasa tenang jika jauh dengan anak
Gangguan tidur Sering terjadi konflik dengan
pasangan
Tidur-tiduran Sering berbeda pendapat dengan
pasangan
Berman handphone Lelah dengan sikap pasangan
Kekhawatiran Sering miss komunikasi dengan
pasangan
Harapan Timbul kebencian
Marah yang tidak terkontrol Kualitas terhadap pasangan menjadi
buruk
Kekerasan verbal Sudut pandang yang berbeda dengan
pasangan
Mudah lupa Sering ribut dengan pasangan
Tidak fokus Serba salah dimata pasangan
Coping stress Pasangan sering melakukan KDRT
Putus asa Kualitas pasangan menjadi buruk
Lelah secara mental Keinginan untuk bercerai
Menarik diri dari lingkungan Ketidakpuasan diri
Malu Marah dengan keadaan
Energi terkuras habis Tidak percaya diri
Terlalu memikirkan masa depan anak Mencoba untuk menerima keadaan
Kecemasan Harapan yang tinggi

clvi
Lupa dengan kebutuhan diri sendiri Harapan yang tinggi
Merasa mempunyai potensi namun Berkurangnya minat dalam
tidak dapat dikembangkan mengambangkan potensi
Anak menjadi penghambat dalam
mengembangkan potensinya

Pengelompokkan Tema dan Pengembangan Tema Superordinat


Partisipan 2
Dampak psikologis mendengar anak Gejolak emosi
didiagnosa autis
- Tertekan dengan banyaknya tugas
- Kaget - Kekerasan verbal
- Denial - Coping stress
- Pikiran kosong - Mencoba untuk menerima keadaan
- Sedih Harapan yang tinggi
Pasangan Gejala kelelahan emosional (bold)

- Sering terjadi konflik dengan - Fisik : sakit lambung, tekanan darah


pasangan naik, sakit kepala, mudah lelah
- Sering berbeda pendapat pendapat secara fisik, gangguan tidur
dengan pasangan - Emosi : marah yang tidak terkontrol,
- lelah dengan sikap pasangan mudah lupa, tidak fokus, malu
- sering miss komunikasi dengan - Mental : putus asa, Lelah secara
pasangan mental, menarik diri dari
- timbul kebencian lingkungan, energi terkuras habis,
- kualitas terhadap pasangan menjadi kecemasan
buruk
- sudut pandang yang berbeda dengan
pasangan
- sering ribut dengan pasangan
- serba salah di mata pasangan
- pasangan sering melakukan KDRT
- kualitas terhadap pasangan menjadi
buruk
keinginan untuk bercerai

clvii
Masalah dengan diri sendiri dan Potensi diri
orang lain - Merasa mempunyai potensi namun
- Ketidakpuasan diri tidak dapat dikembangkan
- Marah dengan keadaan - Anak menjadi penghambat dalam
- Tidak percaya diri mengembangkan potensinya
- Lupa dengan kebutuhan diri sendiri - Berkurangnya minat dalam
- Terlalu memikirkan masa depan mengambangkan potensi
anak
Pengasuhan terhadap anak
- Tidak berdaya dalam mengasuh
- Tidak menikmati kebersamaan
dengan anak
- Pengabaian terhadap anak
Merasa tenang jika jauh dengan anak

LAMPIRAN 8
VERBATIM
PARTISIPAN 3

clviii
(TKF)

clix
VERBATIM
Nama : TKF
Tanggal wawancara : 15 Mei 2023
Durasi wawancara : 55 menit
P : Peneliti
P3 : Partisipan 3

No. Hasil Wawancara Tema


1 P : Assalamu’alaikum warohmatullah Rapport
2 wabarakatuh
3 P3: Wa’alaikumsalam warohmatullah
4 wabarakatuh
5 P : Iya, sebelumnya saya akan
6 memperkenalkan diri dulu ya bu, nama saya
7 Anis Mukarromah dari fakultas Psikologi
8 Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
9 Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih
10 karena telah meluangkan waktunya dan
11 mempersilahkan saya untuk berbagi
12 pengalaman mengenai pengasuhan terhadap
13 anak. Disini saya sedang melakukan penelitian
14 mengenai parental burnout dimana parental
15 burnout merupakan kelelahan pengasuhan
16 pada ibu. Sebelumnya saya mohon maaf jika
17 nantinya Ibu harus mengingat pengalaman
18 masa lalu yang harus diingat kembali. Karena
19 mungkin dari pengalaman yang Ibu bagi disini
20 akan bermanfaat untuk para Ibu dalam
21 mengasuh yang memiliki anak berkebutuhan
22 khusus. Saya mohon maaf jika ada kata-kata
23 yang kurang berkenan, namun dalam hal ini
24 saya tidak bermaksud untuk membedakan
25 pengasuhan dengan yang ibu lainnya. Karena
26 setiap orang memiliki permasalahan sendiri-
27 sendiri ya bu. Jadi monggoh silahkan Ibu
28 untuk memperkenalkan diri dulu
29 P3 : Iya mba, saya TKF, disini saya
30 mempunyai anak 1 laki-laki yang sangat
special.
31 P : Baik, terima kasih Ibu. langsung saja ya Perkembangan sebelum
32 bu, saat anak Ibu didiagnosa autis itu saat usia didiagnosa autism
33 berapa tahun ya?
34 P3 : Mm.. anak saya didiagnosa autis itu

clx
35 waktu umur 3,5 tahun mba.
36 P : Oo.. apakah sebelumnya Ibu ada
37 kecurigaan pada anak Ibu?
38 P3 : Maksudnya gimana mba?
39 P : Iya maksudnya apakah saat anak masih
40 bayi ada (maaf) dari perkembangannya
41 terhambat?
42 P3 : Mm.. saya sebenernya awam banget mba
43 tentang masalah anak berkebutuhan khusus,
44 karena dari keluarga saya itu tidak ada yang
45 yang seperti ini. Waktu pas umur 4 bulan
46 kalau nggak salah itu kan tengkurap ya, nah..
47 anak saya itu nggak merangkak mba, jadi
48 langsung jalan gitu
49 P : Ooh, tapi melalui fase duduk nggak bu?
50 P3 : Kalau duduk si iya ya tapi cuma sebentar.
51 Yang cepetnya itu yaa langsung bisa jalan itu.
52 P : O begitu..
53 P3 : Nah saya kira itu bagus kan ya
54 maksudnya saya nggak kepikiran yang
55 gimana-gimana. Terus saya curiga itu pas
56 umur 1,5 tahun, anak saya kalau dipanggil itu
57 nggak nengok gitu loh. terus dipanggil sama
58 siapapun itu nggak nengok-nengok mba
59 P : Mmm..
60 P3 : Nah, terus orang-orang sekitar itu pada
61 bilang nggak papa nggak papa. Terus pas
62 umur 2,5 tahun anak saya juga belum bisa
63 ngomong, hanya dieem aja gitu, terus juga
64 kontak mata juga nggak ada. Terus pas umur 3
65 tahunan anak saya itu nggak suka main sama
66 temen-temennya, jadi fokus sama dunianya
67 sendiri gitu loh mba
68 P : Mm.. iya ya biasanya keluarga atau
69 tetangga ada saja yang bilang begitu ya. Lalu?
70 P3 : Teruus.. kan disini saya tinggal di tempat
71 yang kebetulan banyak orang jaman dulu jadi
72 ngeliat anak saya kaya gitu itu pada bilang gak
73 papa, nanti ada masanya sendiri. Jadi saya
74 tenang aja gitu, jadi secara nggak sadar say
75 aitu kaya terlena dengan omongan mereka,
76 jadi sama sekali nggak kepikiran buat
konsultasi ke dokter atau ke orang yang lebih
ahli gitu mba
77 P : Oo gitu.. Timbul kecurigaan
78 P3 : Terus udah gitu, pas anak saya usia 3,5 terhadap perkembangan

clxi
79 tahun saya nyoba sekolahin tuh ke play grup anak
80 biar ada temennya gitu kan. Nah pas beberapa
81 bulan sekolah, itu gurunya manggil saya untuk
82 membicarakan mengenai anak saya. Gurunya
83 bilang gini “ Ibu, anak Ibu sepertinya harus
84 dibawa ke dokter anak karena para guru
85 melihat perkembangan dari anak Ibu itu
86 sepertinya terhambat”.
87 P : Mmm..
88 P3 : Laah Saya kaget dong. “Loh ada apa bu
89 guru dengan anak saya? Anak saya sehat-sehat
90 aja loh ini” kata saya gitu. Terus gurunya
91 bilang “sebelum terlambat mending ke dokter
92 anak aja kalau nggak ke psikolog gitu”.
93 P : Mm..
94 P3 : Terus saya pulang dengan keadaan marah
95 sama guru itu mba, wong anak saya baik-baik
96 aja kok malah disuruh ke dokter anak, terus ke
97 psikolog pula. Emangnya anak saya gila?
98 P : Mm.. jadi Ibu mengalami denial ya
99 P3 : Iyaa mba.. terus besokannya saya anter
100 anak saya ke sekolah lagi kan, terus saya
101 ditanyain sama gurunya udah ke dokter
102 belum? Saya jawab belum, terus bu gurunya
103 bilang kalau anak saya ini nggak ada kontak
104 mata, nggak bisa bicara sama sekali, cuma
105 nunjuk-nunjuk aja, terus suka terhadap benda
106 yang berputar-putar. Sebaiknya harus dibawa
107 ke psikolog. Hmm.. Terus saya nggak gubris,
108 malah tambah sebel saya sama guru itu
109 P : Mm.. tapi Ibu sempat curiga nggak sama
110 anak?
111 P3 : Nah iya mbaa, pas beberapa hari saya itu
112 baru merhatiin dan ngeh, mikir terus “loh iya
113 ya anak saya kok kaya gini”. Saya baru mikir
114 P : Mm.. lalu? Diagnosa dari Psikolog
115 P3 : Terus saya akhirnya nyoba ke psikolog,
116 disana saya dikasih kuesioner yang isinya
117 pertanyaan-perntanyaan, seperti apakah anak
118 Anda tidak menoleh saat dipanggil? Apakah
119 anak Anda bla bla bla…gitu kaan ya ada
120 banyak banget, nah pas saya mengisi itu kok
121 jawabannya “IYA” semua.
122 P : Emm.. iya iya
123 P3 : Terus psikolognya ngasih surat diagnose,
124 bilang kalau anak saya itu autism disorder

clxii
125 P : Mm ya ampun, ikut sedih bu.. Perasaan saat mendengar
126 Coba ceritakan pengalaman awal mula anak didignosa autism
127 bagaimana perasaan Ibu ketika mendengar - Terdiam
128 anak Ibu didiagnosa autis? - Tidak percaya
129 P3 : Mm.. saat itu saya terdiam mba, saya - Syok
130 nggak ngerti apa yang ada dipikiran saya, saya - Bingung
131 nggak bisa mikir apa-apa saat itu (nada bicara - Denial
132 bergetar) - Menolak bertemu
133 P : Mm.. tidak percaya? orang
134 P3 : Iya, nggak percaya kalo anak saya itu - Hancur
135 ternyata autis mba. Hmm.. Nggak tau harus - Marah
136 gimana saya, apa yang harus aku lakukan - Kacau
137 sama anak kaya gini. Saya menyangkal, terus-
138 terusan saya nangis berhari-hari. Nggak mau
139 ketemu orang sama sekali
140 P : tidak mau ketemu orang?
141 P3 : iya, hp saya matikan, saya di kamar terus
142 nggak mau keluar.
143 P : Oo kenapa itu bu?
144 P3 : Saya masih mikirin anak saya mba,
145 kenapa aku punya anak kaya gini, yaa dulu itu
146 ya saya ada perasaan benci banget kalau liat
147 anak sayawaktu itu mba. Hidup saya merasa
148 hancur.. hancur.. (dengan nada merintih)
149 dengan adanya dia.
150 P : Mm.. kalau untuk Ibu sendiri bagaimana?
151 P3 : kalau saya itu, marah sama diri sendiri,
152 suka pukulin sendiri, dan pertanyaanku hanya
153 kenapa kenapa kenapa harus saya yang hidup
154 ngurusin anak kaya gini. Wah kacau banget
155 saat itu mba
156 P : maaf bisa dijelaskan lagi kacaunya?
157 P3 : saya kan hidup pas-pasan, suami saya
158 juga gajinya pas-pasan. nah kalau ngurusin
159 anak autis kan harus banyak biaya kaya buat
160 terapi, sekolah, saya harus stay 24 jam, nggak
161 bisa ditinggal. Nah saya orangnya nggak
162 sabaran. Kacau lah mba, kacau. Hmm…
163 P : Mm.. sekarang bisa Ibu ceritakan Mengalami kelelahan
164 pengalaman gejala-gejala sakit fisik yang emosional secara fisik
165 muncul dan Ibu rasakan ketika menghadapi - Sakit kepala
166 anak? - Jantung berdebar
167 P3 : Maksudnya sakit fisik gimana mba? - Tangan berkeringat
168 P : Seperti pusing, sakit kepala - Pusing
169 P3 : tiep hari kan saya harus nyiapin makanan
170 buat keluarga, apalagi kan makanan anak autis

clxiii
171 itu nggak sembarangan ya, jadi harus bener-
172 bener ngupreeek di dapur lamaa, belum lagi
173 mberesin rumah, mandiin, nyuapin, belum lagi
174 ini itu banyak banget yang harus dikerjain,
175 nah itu kepala saya itu.. sakiiit banget terus
176 bawaannya pusing kalau lagi sama anak. iya
177 mungkin karena apa-apanya dikerjain sendiri
178 ya jadi hawane kesuh terus loh, sampe banting
179 pintu keras jebreeettt..
180 P : Lalu otot jadi tegang gitu bu?
181 P3 : Iya jantungnya sering dag dig dug
182 kenceng, sampe keringetan, nggak tahan
183 sebenernya
184 P : Pada saat berperilaku seperti apa sehingga Mengalami gejala fisik
185 Ibu mengalami, pusing, sakit kepala dan yang saat anak :
186 disebutkan Ibu tadi? - Tidak memahami
187 P3 : Emm.. yaa itu mba yang tadi saya bilang, instruksi
188 ngurusin rumah masak segala macem. Terus - Komunikasi yang
189 itu tu kalau anak saya dibilangin berkali-kali repetitif
190 nggak paham-paham maksudnya. jadi kalo - Tantrum
191 ngomong itu harus diulang-ulaang terus yang - Melempar barang
192 bikin saya capek. Terus anak autis kan nggak - Berteriak
193 bisa diem ya, dia itu kuat banget tenaganya. - Menghentakkan kepala
194 Nah pas anak lagi tantrum itu nggak bisa di tembok
195 dikendalikan. Nah kalau udah kaya gitu tu
196 langsung kepala saya sakit banget
197 P : oo gitu.. bisa diceritakan tantrumnya
198 seperti apa bu?
199 P3 : Ya kaya nglempar barang, suka teriak-
200 teriakan, jedotin kepala sendiri ke tembok, itu
201 kan nggak bisa dikenalikan ya, dikasih tau
202 nggak paham-paham dia teriak saya juga
203 ikutan teriak
204 P : Mm.. lalu apa yang dilakukan Ibu saat Yang dilakukan saat
205 mengalami pusing, sakit kepala, dan otot mengalami gejala fisik :
206 tegang? - Tidur-tiduran
207 P3 : Mm.. kadang kan anak kalau dibilangin - Keluar rumah sejenak
208 nggak ngerti-ngerti ya, capek ngomong
209 berkali-kali, jadi aku sering saya mukul, reflek
210 itu. saya kan capek, jadi saya tiduran aja udah.
211 Berasanya juga capeeekkk banget padahal
212 nggak ngapa-ngapain. Kalo nggak ya saya
213 keluar sebentar buat makan bakso yang
214 puedeesss bgt biar kepyar. Terus tenangin diri
215 di luar ntar pas pulang mendingan lah ya
216 walaupun kalau pulang sumpek lagi.. jadinya

clxiv
217 juga males ngapa-ngapain
218 P : Mm iya iya.. lalu apa yang membuat Ibu Yang membuat terasa
219 merasa lebih ringan atau lebih baik saat itu? ringan :
220 P3 : Mm.. biar lebih ringan ya.. itu tu pas lagi - Keluar rumah sendiri
221 diluar itu, saya biasanya rebahan aja di masjid - Rebahan di masjid
222 sambil browsing-browsing kenapa sih anak sambil browsing
223 autis kok bisa tantrum. Oh ternyata saya salah mengenai anak autis
224 juga dalam memberi makanan. Anak autis kan
225 nggak boleh makan yang mengandung tepung
226 tepungan, cokelat, susu gitu gitu ya mba. Itu
227 ternyata bikin anak autis itu tantrum. Nah jadi
228 anak autis juga harus dijaga pola makannya.
229 Nah dari situ saya jadi tau mba. Tapi
230 terkadang saya itu berpikiran kalau saya pergi,
231 ninggalin semua mungkin saya akan ngerasa
232 tenang, nggak gemrungsung kaya gini. Pernah
233 ada kepikiran kaya gitu
234 P : Ooh jadi setiap Ibu pusing, sakit kepala
235 dan lain-lain, Ibu selalu keluar rumah lalu
236 rebahan di masjid ya?
237 P3 : Yaa seringnya begitu mba, sampai
238 penjaga masjidnya hapal sama saya, soalnya
239 saya merasa tenang mba kalau mau browsing-
240 browsing di tempat yang sepi gitu
241 P : Mm.. iya ya
242 P : Bisa Ibu ceritakan bagaimana perasaan Ibu Perasaan memiliki anak
243 memiliki anak dengan diagnosa autis? autis :
244 P3 : Mm.. sedih mba - Sedih
245 P : Sedihnya yang bagaimana bu? - Berpikir bagaimana
246 P3 : Sedih buat masa depannya gimana kalo nasib anak ketika
247 nggak ada orang tuanya. Sedangkan dia itu tidak ada orang tua
248 belum bisa mandiri (nada bergetar). Mandi
249 juga masih dimandiin, makan masih disuapin,
250 terus buat dia kerja itu gimana, ditambah lagi
251 saya ngerasa nggak ada yang support,
252 semuanya pada nyalahin saya. Saya udah
253 capek ngurusin anak ditambah lagi nggak ada
254 yang bantuin yang ada nyalahin terus. Pernah
255 kaya.. kaya.. pengen bunuh diri, soalnya aku..
256 aku.. emm.. ngerasa harus ngeladenin anakku
terus.
257 P : Mm.. begitu ya, sekarang bisa Ibu Pengalaman secara
258 ceritakan pengalaman apa saja yang Ibu emosional ketika
259 rasakan secara emosional ketika menghadapi menghadapi anak :
260 anak? - Putus asa
261 P3 : Maksudnya gimana mba? - Mudah marah

clxv
262 P : Maksudnya apa Ibu sering merasa cemas, - Mudah lupa
263 mudah lupa atau yang yang lain mengenai - Kesepian
264 mental Ibu?
265 P3 : Ooh.. saya dulu itu sering putus asa, kaya
266 contohnya tu pas anak lagi berantem gitu ya,
267 yang harusnya aku bilangin ke anak tapi aku
268 kaya orang bingung, aduh aku harus gimana
269 ini, gimana. Jadi kalo nggak marah ya tek
270 diemin. kaya tertekan gitu hidupku sama
271 anakku jadinya hawanya itu marah-marah
272 terus loh, lupaan banget
273 P : Mm.. mengapa Ibu merasa tertekan, putus
274 asa dengan keadaan ketika menghadapi anak?
275 P3 : Iya gitu mba, masih belum nerima
276 kayaknya ya. ditambah lagi saya nggak punya
277 temen buat cerita, buat berbagi itu sering
ngerasa kesepian
278 P : Kesepian? Bisa Ibu ceritakan kesepiannya Ibu merasa kesepian :
279 bagaimana? - Teman-teman menjauh
280 P3 : Iya jadi dulu itu saya kan punya banyak - Malu memiliki anak
281 temen, nah semenjak punya anak ini temen- autis
282 temen saya pada ngejauhin saya, nggak ada - Suami pendiam, tidak
283 yang mau deket sama saya bisa menghibur
284 P : O kenapa bisa begitu?
285 P3 : Mungkin karena malu kali ya punya
286 temen yang anaknya beda sama mereka. Jadi
287 saya pun jadi malu juga kalau bawa anak saya
288 kemana-mana. Saya kalau pergi itu sendiri,
289 jadi sering ngerasa kesepian
290 P : Mm.. bagaimana dengan suami bu?
291 P3 : Suami saya pendiem, dia itu nggak bisa
292 diajak ngobrol. Pulang kerja capek, saya
293 pengen istilahnya gendu-gendu rasa itu ya, itu
294 tu nggak bisa. Kalau saya pengen cerita
295 tentang keseharian dia sukanya marah-marah.
296 Padahal cuma pengen cerita, pengen ada
297 sandaran. Kadang kalau dia ndengerin dia
298 selalu beda pendapat
299 P : Apa yang dilakukan ketika Ibu kesepian, Yang dilakukan Ibu saat
300 putus asa, maupun cemas? kesepian :
301 P3 : Saya.. saya.. nangis mba, kaya capek gitu, - Nangis
302 lelah dengan semuanya. Hanya bisa nangis. - Membandingkan
303 Kenapa hidupku kaya gini. Hmm.. seneng gitu kehidupan dirinya
304 ngeliat orang-orang kok hidupnya pada enak, dengan orang lain
305 bisa enjoy ya.. - Belum menerima
306 P : Mm.. Ibu melihat kehidupan orang lain ya? - Merasa hidupnya

clxvi
307 P3 : Iya, saya dulu belum bisa mengikhlaskan berantakan
308 semuanya. Kaya morat marit banget hidupnya - Ingin melakukan
309 P : Morat marit? banyak hal namun
310 P3 : iya, berantakan semua, saya padahal tidak bisa
311 pengen ini, pengen itu, banyak yang harus
312 saya lakukan, tapi yaa.. gitu
313 P : Mm.. lalu apa yang membuat Ibu merasa Hal yang membuat
314 lebih baik saat itu? merasa lebih baik :
315 P3 : Pergi sendiri mba, yaa pergi kemana gitu, - Pergi seorang diri ke
316 misal ke mall gitu mall
317 P : kalau Ibu pergi sendiri lalu anak - Menitipkan anak ke
318 bagaimana? orang tua
319 P3 : Saya titipin ke mbahnya atau Ibu saya,
320 Ibu saya sangat memahami saya itu gimana
321 orangnya
322 P : Mm..jadi dengan pergi sendiri Ibu merasa
323 lebih baik ya?
324 P3 : Iya mba, karena saya kan orangnya nggak
325 sabaran. Kalo diterusin takutnya saya stress
326 sendiri malah jadi nggak terkendali nanti yang
327 jadi sasaran anak saya, ya mukul lah, ngata-
328 ngatain yang nggak pantes
329 P : Maaf kita mundur sejenak ya bu, apakah Tidak memperhatikan
330 selama kehamilan Ibu mengetahui bahwa anak fase tumbuh kembang
331 Ibu ada kelainan? anak
332 P3 : Enggak mba, sehat banget malah.
333 Biasanya kalau Ibu hamil pada umumnya kan
334 mual muntah ya, nah ini saya enggak
335 ngalamin itu. Makan juga doyan doyan aja
336 P : Oo begitu ya
337 P3 : Iya makanya saya heran selama
338 kehamilan baik-baik aja, lahir juga sehat kok
339 malah autis.
340 P : Mmm.. nah dulu Apakah Ibu sempat
341 melihat perkembangan anak di setiap usianya?
342 Misal empat bulan bisa tengkurap, terus
343 merangkak, merambat, berjalan, bisa bicara
344 dan lain-lain?
345 P3 : Nah iya ini salah saya juga sih ya,
346 harusnya saya merhatiin di buku
347 perkembangan anak itu yang warna pink, kan
348 disitu ada perkembangan sebulan bisa apa,
349 tiga bulan bisa apa, enam bulan bisa apa itu tu
350 saya nggak merhatiin itu. Anak saya nggak
351 merangkak jadi dari tengkurap langsung
352 berjalan. Jadi merangkak sama duduk

clxvii
353 terlewati itu ternyata nggak bagus buat
perkembangannya. Harusnya saya nggak
354 dengerin orang lain yang pada bilang gak
355 papa, gakpapa, eehh.. ternyata saya harus
356 nerima semuanya.
357 P : Lalu kata dokter bagaimana?
358 P3 : Dulu saya dimarahin sama dokternya,
359 Dokter bilang, kalau ada gejala-gejala misal
360 umur 9 bulan belum bisa ngoceh-ngoceh harus
361 diperiksa, terus sosialnya gimana dengan
362 temen-temennya, asik sendiri apa gimana, ah
363 banyak mba dokternya bilang tuh
364 P : Lalu anak Ibu senang dengan 1 hal yang
365 itu itu terus tidak?
366 P3 : Iya, jadi dulu waktu anakku umur 1,5
367 tahun suka banget sama kipas angin, kan
368 muter-muter, terus sama roda, dia mainin itu
terus. Saya karena nggak paham jadi tek
biarin.
369 P : Mm.. tadi Ibu bilang merasa bersalah - Merasa bersalah karena
370 dengan anak karena tidak diperiksa dari dulu? tidak secepatnya
371 Bisa Ibu ceritakan merasa bersalahnya diperiksa ke dokter saat
372 bagaimana? usia 1,5 tahun
373 P3 : iya saya ngerasa bersalah banget karena - Menyesal
374 kata dokter kalau diobatin diatas dua tahun itu - Malu terhadap diri
375 udah nggak bisa diobatin lagi. Harusnya pas sendiri
376 masih setahunan waktu itu saya harus bawa ke
377 dokter, nanti bisa antisipasi, diobati, terapi itu
378 akan sembuh. Nyesel saya mba.
379 P : Ibu menyesal sekarang?
380 P3 : Iya menyesal banget, sampai sekarang
381 saya malu sama diri sendiri
382 P : Bisa Ibu ceritakan pengalaman mengenai Pengalaman mental
383 mental Ibu ketika menghadapi anak? ketika menghadapi anak
384 P3 : Pengalaman mental maksudnya yang - Capek
385 gimana mba? - Lelah
386 P : Misal seperti Ibu capek dengan semua atau - Kehabisan tenaga
387 bagaimana? - Malu dengan tetangga
388 P3 : Iya mba, mungkin kalau capek itu biasa - Tidak mau keluar
389 ya mba, tapi saat itu tu udah lelah banget, rumah
390 entah mau gimana lagi, kaya udah nggak ada - Malu dengan
391 tenaga. Sampai saya itu malu dengan tetangga, keberadaan anak
392 nggak mau keluar rumah. Keluarpun bukan di - Lelah dengan hari-
393 komplek sini gitu harinya
394 P : Jadi Ibu menarik diri dari lingkungan Ibu
395 sendiri begitu ya?

clxviii
396 P3 : Iya mba, saya malu sama anak saya
397 (Nada berubah menjadi pelan)
P : Tadi Ibu menyebutkan lelah dengan
adanya anak, itu bisa Ibu ceritakan bagaimana
399 lelahnya?
400 P3 : Iya misal gini, saya mau ngerjain
401 pekerjaan rumah gitu ya, itu tuh udah ngerasa
402 capek duluan, belum juga mulai. Hari-hari itu
403 berasa lama banget
404 P : Berarti Ibu lelah dengan keberadaan anak
405 ya?
406 P3 : Mm.. sebenernya si Mm.. iya mba,
407 walaupun ini padahal anak masih kelas 6 SD,
408 saya mikir ntar kalau SMP, SMA itu gimana.
409 Masa iya ngandelin saya terus
410
411
412 P : Mm.. Coba ceritakan apa yang membuat Hal yang membuat lelah
413 Ibu merasa lelah sampai menarik diri dari dan menarik diri dari
414 lingkungan karena keberadaan anak? lingkungan karena
415 P3 : : Mm.. yang membuat saya lelah itu tu.. keberadaan anak
416 kaya misal tiba-tiba anak saya jedotin kepala - Sering marah sampai
417 ke tembok berulang-ulang, saya menghalangi memukul
418 dia tapi dia itu lebih kenceng malah, kalau - Kecewa dengan
419 jedotin kepala kan dia nggak ngerasa sakit ya. keadaan
420 sampai saya marah-marah, kadang kalau saya - Tidak nyaman di
421 udah capek tak biarin sampe mikir, ya Allah rumah terus menerus
422 sampe kapan aku ngeliat dia kaya gini terus.
423 Jedotin kepala, terus jatuh-jatuhin badan ke
424 lantai, yaa gitu.. jadi malu, takut ada tetangga
425 yang ketakutan ngeliat anak saya.
426 P : Mm.. lalu apa saja yang dirasakan ketika
427 Ibu menarik diri dari lingkungan karena
428 keberadaan anak?
429 P3 : Mm.. rasanya nggak enak si mba di
430 rumah terus. Sumpek liatnya, itu itu terus
431 yang diliatnya, ya kerjaan rumah, ketemu sapu
432 pel lagi, rumah berantakan nggak pernah ada
433 beresnya. jenuh sebenernya saya.
434 P : Mm.. bisa diceritakan apa saja yang Hal yang dilakukan
435 dilakukan Ibu ketika merasa lelah dan jenuh ketika merasa lelah dan
436 dengan keberadaan anak? jenuh
437 P3 : kadang saya marah-marah sendiri mba, - Marah sendiri
438 bawaannya tu pengen teriak-teriak terus - Teriak-teriak
439 sampe kalau nutup pintu aja keras banget. Kan - Ketika menutup pintu
440 kalau anak autis kan terkendala komunikasi, keras

clxix
441 jadi pas saya lagi capek, anak dibilangin - Memukul anak
442 nggak ngerti-ngerti kadang saya sampai
443 mukul. Gregetan gitu mba
444 P : Oow.. bisa Ibu ceritakan bagaimana Kedekatan dengan anak
445 kedekatan Ibu dengan anak Ibu? - Belum adanya
446 P3 : saya si kalau dibilang deket sama anak kedekatan dengan anak
447 dulu itu kurang mba, karena saya belum
448 nerima dengan keadaan anak saya. Jadi
449 walaupun serumah itu kaya nggak ada
chemistry gitu
450 P : Mm begitu ya, lalu bagaimana perasaan Perasaan ketika dekat
451 Ibu ketika dekat dengan anak? dengan anak
452 P3 : Saya kadang itu ngerasa kasian sama - Kasihan melihat anak
453 anak saya, dia lahir dengan keadaan kaya gitu
454 juga pasti dalam hatinya juga nggak mau.
455 Biasanya kalau pas mau tidur, saya liatin dia
456 terus ini anak mau gimana kedepannya. Saya
457 elus-elus, kadang saya nangis. Tapi kalau
458 udah pagi siang itu nggak tau kenapa saya
459 bawaannya nggak mau deket-deket anak saya
460 P : Oo gitu, lalu bagaimana cara Ibu Menunjukkan rasa
461 menunjukkan rasa sayang kepada anak? sayang
462 P3 : Mm.. saya itu - Tidak pernah
463 nggak pernah nunjukkin ya, saya malu, menunjukkan rasa
464 mungkin karena nggak terbiasa ya. saya sayang dengan kata-
465 nunjukkin itu dengan kalau habis sholat itu kata, hanya dengan
466 saya berdoa terus buat dia do’a
467 P : Coba Ibu ceritakan bagaimana cara Ibu Cara menikmati
468 menikmati kebersamaan dengan anak? kebersamaan dengan
469 P3 : Terkadang ya mba, pas mood saya lagi anak
470 bagus, saya pengen main bareng sama anak, - Bermain bersama
471 nonton tv. Tapi itu pun jarang banget si mba, - Menonton televisi
472 soalnya anak saya kan lebih suka main sendiri,
473 asik dengan dunianya sendiri, kalau diganggu
474 tu nggak mau. Tapi kalau dirasa justru itu
475 waktu yang baik buat saya karena saya bisa
476 me time, jadi kalau dirasa buat menikmati
477 waktu sama anak belum ada pikiran kesitu sih
478 P : Bisa Ibu ceritakan hal yang paling Hal yang paling
479 berkesan ketika bersama anak? berkesan ketika bersama
480 P3 : Hal yang paling berkesan itu ketika anak anak
481 saya menunjukkan kemajuan hal-hal kecil. - Adanya kemajuan
482 P : Bisa dicontohkan kemajuannya perkembangan pada
483 bagaimana? anak
484 P3 : Misalnya anak saya bisa nyendok sendiri
485 saya udah seneng banget. Biasanya kalau anak

clxx
486 normal lainnya kan itu hal biasa ya, tapi buat
487 anak gini tuh buat saya seneng banget. Contoh
488 lagi, anak saya bisa pipis sendiri, ke kamar
489 mandi sendiri itu hal yang luar biasa buat
490 saya. Terus anak saya itu anaknya detail dan
491 daya ingatnya tajam, misal buat nginget
492 kejadian yang luar bias aitu dia hafal tanggal,
hari, jam, menit ke berapa gitu
493 P : Mm begitu ya, lalu apa yang muncul dalam Ketika jauh dari anak
494 pikiran Ibu ketika jauh dari anak? - Senang
495 P3 : Kalau saya jauh dari anak itu ada - Sedih
496 senengnya dan ada sedihnya juga
497 P : maksudnya bagaimana bu?
498 P3 : maksudnya itu senengnya saya bisa
499 melakukan hal apa saja nggak ada yang
500 menghalangi aktifitas saya. Emm.. sedihnya
501 itu ya mungkin karena tiap hari bareng ya,
502 jadi kalau nggak ada anak saya jadi sepi, biasa
503 saya ngomel-ngomel, kalau nggak ada anak
504 jadi nggak ada yang diomelin, jadi kaya
505 kehilangan gitu mba
506 P : Oo.. sekarang coba Ibu ceritakan potensi Hilangnya pencapaian
507 apa saja yang Ibu miliki? pribadi
508 P3 : saya suka menjahit dan suka jualan.
509 Sebelum ada anak kan saya biasa bikin baju,
510 pesenan snack box gitu gitu mba
511 P : Mm.. bagus bu, lalu bagaimana Ibu
512 mengembangkan potensi tersebut?
513 P3 : susah ya mba.. ya sekarang kalau saya
514 kerja gitu ya anak saya nggak ada yang jagain.
515 Rasanya kaya udah nggak bisa dikembangin
516 lagi mba, saya udah capek ngurusin anak saya,
517 jadi udah nggak kepengen lagi
518 P : apakah dengan kondisi anak Ibu saat ini Anak menjadi
519 menjadi penghambat dalam mengembangkan penghambat potensi
520 potensi Ibu? yang Ibu miliki
521 P3 : Mm.. mm.. saya dosa nggak si kalau saya
522 ngerasa anak saya itu menghambat saya. Yaa..
523 mm.. kalau dibilang itu si kayaknya si iya
524 mba. Soalnya semenjak ada anak ini
525 kondisinya kaya gini saya ngerasa nggak bisa
526 ngapa-ngapain lagi
527 P : Apakah Ibu pernah merasakan kurang - Kurang percaya diri
528 percaya diri dengan keberadaan anak? dengan keberadaan
529 P3 : Iya pernah mba, nggak pede kalau anak
530 kemana-mana saya bawa anak - Takut orang lain

clxxi
531 P : Bisa diceritakan pengalaman Ibu saat mencibir
532 merasa kurang percaya dirinya?
533 P3 : Mm.. gimana ya, saya takut mba. Takut
534 orang-orang itu mencibir. Karena pernah
535 kejadian saya lagi main di taman sama anak
536 saya, terus orang-orang yang ada di taman itu
537 pada ngeliatin kaya nggak mau deket-deket
538 sama kita gitu. Mereka jaga jarak, terus kaya
539 jijik ngeliat anak saya gitu. Jadi saya kadang
540 nggak pede kalau bawa anak saya.
541 P : Mm.. begitu ya, lalu apa yang dilakukan
542 Ibu ketika merasa kurang percaya diri dengan
543 keberadaan anak?
544 P3 : Saya seringnya kalau mau pergi, anak
545 saya tinggal di rumah sama neneknya. Jadi
546 kalau saya mau ketemu orang nggak ada
547 hambatan, nggak ada drama, dan saya nggak
548 ngerasa yang gimana gimana.
549 P : Menurut Ibu, apa keinginan Ibu untuk Ingin menjadi Designer
550 masa depan Ibu sendiri?
551 P3 : saya itu pengennya jadi designer mba,
552 karena saya suka bikin baju, menjahit sendiri,
553 jadi saya itu kalau melakukan hal itu tuh kaya
554 menjadi diriku sendiri, aku banget gitu
555 P : Mm.. lalu bagaimana cara mencapai Tidak bisa mencapai
556 keinginan tersebut meskipun dengan keinginannya karena
557 keberadaan anak? terhambat anak
558 P3 : Mm.. agak susah ya mba. Dulu pernah
559 nyoba ya, ada beberapa yg bikin baju sama
560 saya, pas saya lagi bikin pola, anak saya itu
561 mainin kainnya sampai sobek-sobek, nah pas
562 lagi tantrum semuanya jadi kacau sampai saya
563 harus mengganti kain yang mau dibuat baju.
564 Jadi kayaknya saya harus mengubur semua
565 keinginan-keinginan saya
566 P : Menurut Ibu, seperti apa hidup Ibu Merasa lebih baik jika
567 seandainya Ibu mempunyai anak normal mempunyai anak normal
568 seperti yang lainnya?
569 P3 : Ya ini yang saya liat ya mba, kayaknya
570 enak kalau punya anak normal, nggak
571 nyusahin, dibilangin apa-apa langsung ngerti,
572 apa-apanya bisa sendiri, nggak semuanya saya
573 yang ngerjain dari bangun tidur sampai tidur
574 lagi. Kalau punya anak normal itu nggak
575 nguras emosi, tenaga dan pikiran. Dan
576 mungkin saya bisa melakukan hal-hal yang

clxxii
577 saya ingin lakukan
578 P : Menurut Ibu hal apa yang membuat Ibu hal yang membuat Ibu
579 bahagia? Bahagia
580 P3 : Yang membuat saya bahagia itu anak
581 saya bisa mandiri, apa-apanya bisa melakukan - Anak bisa mandiri
582 sendiri, bisa ngerti kalo dibilangin - Memahami dalam
583 berkomunikasi
584
585 P : Bisa diceritakan apakah Ibu sudah Belum merasakan
586 merasakan bahagia dengan keberadaan anak? kebahagiaan dengan
587 P3 : Saya lagi berusaha untuk bahagia ya mba, keberadaan anak
588 tapi entah kenapa nggak bisa-bisa. Saya
589 pernah dengar kebahagiaan anak itu adalah
590 ibunya yang bahagia dulu nanti akan
591 menularkan ke anak
592 P : Mm.. lalu apakah Ibu sudah dapat Belum menerima
593 menerima dengan keberadaan anak? sepenuhnya dengan
594 P3 : Saya sudah mencoba buat menerima keberadaan anak
595 semuanya mba, tapi kenapa susah banget ya,
596 pengen ikhlas biar lepas dari kejenuhan ini
597 semua, cuma saya nggak tau caranya gimana?
598 P : Mm.. apa yang membuat Ibu belum
599 menerima anak Ibu?
600 P3 : Mm.. mungkin karena saya nggak
601 sabaran ya orangnya, ditambah lagi ini anak
602 pertama saya laki-laki jadi banyak harapan
saya ke dia
603 P : Mm.. bisa dicontohkan seperti apa harapan Banyak harapan yang
604 Ibu? diinginkan dari anak
605 P3 : yaa.. kaya kalau laki-laki kan nanti kalau laki-laki
606 saya sakit dia bisa merawat saya. Terus kalau
607 saya meniggal dia yang menyolati dan
608 ngadzanin. Nah kalo kondisi kaya gini kan
609 saya nggak ada harapan apa-apa ke anak
610 P : Oo begitu ya, baik Ibu segini dulu Merasa lega karena apa
611 wawancara hari ini, bila ada kekurangan data yang dirasakan bisa
612 boleh saya main ke rumah dan ngobrol- tersampaikan
613 ngobrol lagi bu?
614 P3 : Iya boleh mba, nanti kabari aja ya
615 P : Baik Ibu, terima kasih atas waktunya,
616 mohon maaf kalau selama wawancara ada
617 pertanyaan yang kurang berkenan.
618 P3 : Oh enggak mba, saya malah jadi kaya
619 gimana ya, enak gitu bisa mengutarakan unek-
620 unek yang saya rasakan.
621 P : Oh begitu ya

clxxiii
622 P3 : Iya selama ini nggak pernah ngeluarin
623 apa yang saya rasakan, nah ini dari
624 pertanyaan-pertanyaannya bisa lega gitu mba
625 P : Baik Ibu, kalau Ibu pengen cerita, dengan
626 senang hati saya mendengarkan Ibu
627 P 3 : Iya mba, makasih
628 P : Sama-sama Ibu.. baik kalau begitu
629 wawancara saya akhiri, wassalamu’alaikum
630 wr.wb
631 P 3 : Wa’alaikumalam

clxxiv
LAMPIRAN 9
ANALISIS
PARTISIPAN 3
(TKF)

clxxv
ANALISIS TAHAP 1-3
(Transkrip Orisinal, Komentar Eksploratif, Tema Emergen)
Transkrip Orisinal Komentar eksploratoris Tema emergen
P : Coba ceritakan pengalaman Mengulang “hmm” dan Pikiran kosong
awal mula bagaimana perasaan hembusan nafas
Ibu ketika mendengar anak Ibu terengah-engah Syok
didiagnosa autis? Saat mendengar kabar
P3 : Mm.. saat itu saya terdiam anak didiagnosa autis Tidak percaya
mba, saya nggak ngerti apa langsung terdiam, tidak
yang ada dipikiran saya, saya bisa berpikir. Bingung
nggak bisa mikir apa-apa saat
itu hmmm.. (nada bicara Menangis berhari-hari Tidak tau harus
bergetar) (P3-TKF-B126-132) sampai tidak mau bagaimana
Iya, nggak percaya kalo anak bertemu orang
saya autis. Nggak tau harus Denial
gimana, apa yang harus aku
lakukan sama anak kaya gini. Menangis
Saya menyangkal, terus-
terusan saya nangis berhari- Menolak untuk
hari. Nggak mau ketemu orang bertemu orang
sama sekali (P3-TKF-B134-
139)
hp saya matikan, saya di kamar
terus nggak mau keluar (P3- Mempertanyakan “
TKF-B141-142) mengapa punya anak Tidak menerima
saya masih mikirin anak saya seperti ini?” keberadaan anak
mba, kenapa aku punya anak Pengulangan“hancur”
kaya gini, yaa dulu itu ya saya Benci terhadap
ada perasaan benci banget saya anak
liat anak saya waktu itu. Hidup
saya merasa hancur.. hancur.. Hancur
(nada merintih) dengan adanya
dia (P3-TKF-B144-149)
kalau saya itu, marah sama diri
sendiri, suka pukulin sendiri,
dan pertanyaanku hanya
kenapa kenapa kenapa harus
saya yang hidup ngurusin anak
kaya gini. Wah kacau banget
saat itu mba (P3-TKF-B151-
155)
saya kan hidup pas-pasan, saya
harus kerja, suami saya juga
gajinya pas-pasan. Sedangkan
kalau ngurusin anak autis kan

clxxvi
harus banyak biaya yang harus
dikeluarin, kaya buat terapi,
sekolah, saya harus stay 24
jam, nggak bisa ditinggal. Nah
saya orangnya nggak sabaran.
Kacau lah mba, kacau
hmmmm.. (P3-TKF-B157-
162)
P : Mm.. sekarang bisa Ibu
ceritakan pengalaman gejala-
gejala sakit fisik yang muncul “Tiep hari kan saya Sakit kepala
harus nyiapin makanan
dan Ibu rasakan ketika
buat keluarga, apalagi Pusing
menghadapi anak? (P3-TKF- kan makanan anak autis
B163-166) itu nggak sembarangan Jantung berdebar-
P3 : tiep hari kan saya harus ya, jadi harus bener- debar
nyiapin makanan buat bener ngupreeek di
keluarga, apalagi kan makanan dapur lamaa, belum lagi Mudah
anak autis itu nggak mberesin rumah, berkeringat
sembarangan ya, jadi harus mandiin, nyuapin, belum
bener-bener ngupreeek di lagi ini itu banyak Energi terkuras
dapur lamaa, belum lagi banget yang harus
mberesin rumah, mandiin, dikerjain”
nyuapin, belum lagi ini itu Menunjukkan terlalu
banyak banget yang harus memperhatikan
dikerjain, nah itu kepala saya kebutuhan anak sehingga
itu.. sakiiit banget terus lupa dengan diri sendiri
bawaannya pusing kalau lagi dan menimbulkan gejala
sama anak. iya mungkin karena fisik
apa-apanya dikerjain sendiri ya
jadi hawane kesuh terus loh, Kehabisan energi karena
sampe banting pintu keras merasa banyak tugas
jebreeettt.. Mm.. jantungku jadi yang harus dikerjakan
sering dag dig dug kenceng,
sampe keringetan, nggak tahan
sebenernya (P3-TKF-B169-
183)
P : Pada saat berperilaku
seperti apa sehingga Ibu “Jadi kalo ngomong itu Merasa anak
mengalami, pusing, sakit harus diulang-ulaang penyebab utama
terus loh yang bikin saya
kepala dan yang disebutkan
capek, pas anak lagi Berteriak-teriak
Ibu tadi? tantrum, nglempar
P3 : Emm.. yaa itu mba yang barang, suka teriak-
tadi saya bilang, ngurusin teriakan, jedotin kepala
rumah masak segala macem. sendiri ke tembok,

clxxvii
Terus itu tu kalau anak saya dikasih tau nggak
dibilangin berkali-kali nggak paham-paham dia teriak
paham-paham maksudnya. Jadi saya juga ikutan teriak”.
kalo ngomong itu harus
Anak susah diajak
diulang-ulaang terus loh yang
kerjasama
bikin saya capek. Terus anak
Anak tidak memahami
autis kan nggak bisa diem ya,
instruksi, perilaku anak
dia itu kuat banget tenaganya.
yang membuatnya
Nah pas anak lagi tantrum itu
muncul gejala fisik.
nggak bisa dikendalikan. Nah
Anak sulit diberitahu
kalau udah kaya gitu tu
karena terkendala
langsung kepala saya sakit
komunikasi
banget (P3-TKF-B184-196)
Ya kaya nglempar barang, suka
teriak-teriakan, jedotin kepala
sendiri ke tembok, itu kan
nggak bisa dikendalikan ya,
dikasih tau nggak paham-
paham dia teriak saya juga
ikutan teriak
(P3-TKF-B199-203)
P : Mm.. lalu apa yang
dilakukan Ibu saat mengalami
pusing, sakit kepala, dan otot
tegang?
P3 : Mm.. kadang kan anak
kalau dibilangin nggak ngerti- Tidak sabar terhadap Kurangnya
ngerti ya, capek ngomong anak mengakibatkan control emosi
berkali-kali, jadi aku sering kekerasan fisik terhadap
saya mukul, reflek itu. kan anak Kekerasan fisik
capek ya, jadi saya tiduran aja
Tidak bersemangat untuk Perasaan malas
udah. Berasanya juga
beraktifitas
capeeekkk banget padahal Merasa lelah
nggak ngapa-ngapain. Kalo “Berasanya juga meski tidak
nggak ya saya keluar sebentar capeeekkk banget melakukan
buat makan bakso yang padahal nggak ngapa- aktifitas
puedeesss bgt biar kepyar. ngapain”Menunjukkan
Terus tenangin diri di luar ntar rasa lelah meskipun tidak Hilang minat
beraktifitas dalam menjalani
pas pulang mendingan lah ya
“jadinya juga males hari
walaupun kalau pulang sumpek ngapa-ngapain”

clxxviii
lagi hehe.. jadinya juga males Menunjukkan tidak ada
ngapa-ngapain minat dalam menjalani
(P3-TKF-B204-217) hari
P : lalu apa yang membuat Ibu “Tapi terkadang saya itu Keinginan untuk
merasa lebih ringan atau lebih berpikiran kalau saya melarikan diri
baik saat itu? pergi, ninggalin semua
mungkin saya akan Kehilangan
P3 : Mm.. biar lebih ringan ya..
ngerasa tenang, nggak kemampuan tugas
itu tu pas lagi diluar itu, saya gemrungsung kaya gini. sebagai ibu
biasanya rebahan aja di masjid Pernah ada kepikiran
sambil browsing-browsing kaya gitu” Kehilangan
kenapa sih anak autis kok bisa Menunjukkan tidak kesabaran
tantrum. Oh ternyata saya salah mampu menjalankan
juga dalam memberi makanan. tugas sebagai ibu
Anak autis kan nggak boleh
makan yang mengandung
tepung tepungan, cokelat, susu
gitu gitu ya mba. Itu ternyata
bikin anak autis itu tantrum.
Nah jadi anak autis juga harus
dijaga pola makannya. Nah
dari situ saya jadi tau mba.
Soalnya saya merasa tenang
mba kalau mau browsing-
browsing di tempat yang sepi
gitu
Tapi terkadang saya itu
berpikiran kalau saya pergi,
ninggalin semua mungkin saya
akan ngerasa tenang, nggak
gemrungsung kaya gini.
Pernah ada kepikiran kaya gitu
(P3-TKF-B218-233)
P : Bisa Ibu ceritakan Menangis, momen yang Harapan yang
bagaimana perasaan Ibu sangat emosional tinggi
memiliki anak dengan “Sedih buat masa Kecemasan yang
depannya gimana kalo intens
diagnosa autis?
nggak ada orang tuanya.
P3 : Mm.. sedih mba. Sedih Sedangkan dia itu belum
buat masa depannya gimana bisa mandiri”(nada
kalo nggak ada orang tuanya. bergetar)
Sedangkan dia itu belum bisa Menunjukkan

clxxix
mandiri (nada bergetar). Mandi kekhawatiran akan masa
juga masih dimandiin, makan depan anak
masih disuapin, terus buat dia
“ditambah lagi saya
kerja itu gimana, ditambah lagi
ngerasa nggak ada yang
saya ngerasa nggak ada yang support, semuanya pada Tidak ada
support, semuanya pada nyalahin saya. Saya dukungan
nyalahin saya. Saya udah udah capek ngurusin
capek ngurusin anak ditambah anak ditambah lagi Kelelahan
lagi nggak ada yang bantuin nggak ada yang bantuin
yang ada nyalahin terus. yang ada nyalahin Stress
terus” (menangis)
Pernah kaya.. kaya.. pengen
Merasa tidak ada Perasaan muak
bunuh diri, soalnya aku.. aku.. dukungan menjadikan
emm.. ngerasa harus marah dan lelah dengan Keinginan untuk
ngeladenin anakku terus keadaan bunuh diri
(P3-TKF-B242-256)
“Pernah kaya.. kaya.. Merasa tidak
pengen bunuh diri, berdaya
soalnya aku.. aku.. emm..
ngerasa harus
ngeladenin anakku
seumur hidupku”
(berlinang air mata)
Pengulangan kata “aku”
Menunjukkan rasa tidak
berdaya
Terpikir untuk bunuh diri
karena merasa sudah
tidak ada jalan keluar lagi
P : Mm.. begitu ya, sekarang
bisa Ibu ceritakan pengalaman
apa saja yang Ibu rasakan
secara emosional ketika
menghadapi anak?
P3 : putus asa mba, dulu sering Putus asa
putus asa, kaya contohnya tu “aku kaya orang
pas anak lagi berantem gitu ya, bingung, aduh aku harus Kehilangan tugas
yang harusnya aku bilangin ke gimana ini.. gimana.. sebagai ibu
anak tapi aku kaya orang Jadi kalo nggak marah
ya tek diemin” Pengabaian
bingung, aduh aku harus
Menunjukkan tidak tahu terhadap anak
gimana ini.. gimana.. Jadi kalo harus bagaimana
nggak marah ya tek diemin. bersikap Mudah lupa
kaya tertekan gitu hidupku

clxxx
sama anakku jadinya hawanya “ditambah lagi saya Mudah marah
itu marah-marah terus loh, nggak punya temen buat
lupaan banget. cerita, buat berbagi jadi
sering ngerasa
Masih belum nerima kayaknya
kesepian”
ya. ditambah lagi saya nggak Menunjukkan tidak ada Kesepian
punya temen buat cerita, buat tempat untuk
berbagi jadi sering ngerasa mencurahkan segala
kesepian (P3-TKF-B257-277) perasaan
P : Kesepian? Bisa Ibu
ceritakan kesepiannya
bagaimana?
P3 : Iya jadi dulu itu saya kan
punya banyak temen, nah
semenjak punya anak ini “semenjak punya anak Kesepian
temen-temen saya pada ini temen-temen saya
ngejauhin saya, nggak ada pada ngejauhin saya, Malu
yang mau deket sama saya. nggak ada yang mau
Mungkin karena malu kali ya deket sama saya.
Mungkin karena malu
punya temen yang anaknya
kali ya. Jadi saya pun
beda sama mereka. Jadi saya jadi malu juga kalau
pun jadi malu juga kalau bawa bawa anak saya kemana-
anak saya kemana-mana. Saya mana”
kalau pergi itu sendiri, jadi Merasa teman-temannya
sering ngerasa kesepian (P3- menjauh
TKF-B278-289) Malu jika bepergian
bersama anak, dampak
P : Mm.. bagaimana dengan
dari diagnosa anaknya
suami bu? autis
P3 : Suami saya pendiem, dia
itu nggak bisa diajak ngobrol. “Kalau saya pengen Kualitas bersama
Pulang kerja capek, saya cerita tentang keseharian pasangan menjadi
pengen istilahnya gendu-gendu dia sukanya marah- buruk
rasa itu ya, itu tu nggak bisa. marah”
Timbul kebencian
Kalau saya pengen cerita Menunjukkan kualitas
tentang keseharian dia sukanya bersama pasangan
marah-marah. Padahal Cuma menjadi buruk.
pengen cerita, pengen ada Komunikasi dengan
pasangan terganggu
sandaran. Kadang kalau dia
ndengerin dia selalu beda
pendapat (P3-TKF-B290-298)
P : Apa yang dilakukan ketika “Saya.. saya.. nangis Mudah menangis

clxxxi
Ibu kesepian, putus asa, mba, kaya capek gitu,
maupun cemas? lelah dengan semuanya. Kelelahan
P3 : Saya.. saya.. nangis mba, Kenapa hidupku kaya
gini” Ketidakberdayaan
kaya capek gitu, lelah dengan
Pengulangan “saya”
semuanya. Hanya bisa nangis. menunjukkan Guncangan
Kenapa hidupku kaya gini. ketidakberdayaan emosional
Hmm.. seneng gitu ngeliat “Hmm.. seneng gitu
orang-orang kok hidupnya ngeliat orang-orang kok
pada enak, bisa enjoy ya.. saya hidupnya pada enak,
belum bisa mengikhlaskan bisa enjoy ya..” Ketidakpuasan
Membandingkan diri
semuanya. Kaya morat marit
hidupnya dengan
banget hidupnya. berantakan kehidupan orang lain Merasa terpuruk
semua, saya padahal pengen “Kaya morat marit
ini, pengen itu, banyak yang banget hidupnya.
harus saya lakukan, tapi yaa.. berantakan semua, saya
gitu (P3-TKF-B299-312) padahal pengen ini,
pengen itu, banyak yang
harus saya lakukan” Kehilangan jati
diri
P : Mm.. lalu apa yang Berusaha membuang Kehilangan
membuat Ibu merasa lebih baik emosi negatif untuk kemampuan tugas
saat itu? mengantisipasi luapan sebagai ibu
emosi terhadap anak
P3 : Pergi sendiri mba, yaa
pergi kemana gitu, misal ke
mall gitu. Karena saya kan
orangnya nggak sabaran. Kalo
diterusin takutnya saya stress
sendiri malah jadi nggak
terkendali nanti yang jadi
sasaran anak saya, ya mukul
lah, ya ngata-ngatain yang
nggak pantes
(P3-TKF-B313-328)
P : Mm.. tadi Ibu bilang
merasa bersalah dengan anak “saya ngerasa bersalah Menyalahkan diri
karena tidak diperiksa dari banget” sendiri
Merasa bersalah tidak
dulu? Bisa Ibu ceritakan
langsung diperiksa Malu terhadap
merasa bersalahnya dokter, merasa tidak bisa diri sendiri dan
bagaimana? mengatasi sebagai ibu sebagai ibu
P3 : iya saya ngerasa bersalah
banget karena kata dokter Tidak ada lagi yang

clxxxii
kalau diobatin diatas dua tahun dirasa berarti pada diri
itu udah nggak bisa diobatin sendiri
lagi. Harusnya pas masih
setahunan waktu itu saya harus
bawa ke dokter, nanti bisa
antisipasi, diobati, terapi itu
akan sembuh. Nyesel saya
mba. Iya menyesal banget,
sampai sekarang saya malu
sama diri sendiri
(P3-TKF-B369-381)
P : Bisa Ibu ceritakan “mungkin kalau capek Merasa energi
pengalaman mengenai mental itu biasa ya mba, tapi terkuras habis
Ibu ketika menghadapi anak? saat itu tu udah lelah
banget, entah mau
P3 : mungkin kalau capek itu
gimana lagi, kaya udah
biasa ya mba, tapi saat itu tu nggak ada tenaga”
udah lelah banget (mendesah, (mendesah, rasa sedih)
rasa sedih) entah mau gimana Menunjukkan energi
lagi, kaya udah nggak ada terkuras habis
tenaga. Sampai saya itu malu
dengan tetangga, nggak mau “Sampai saya itu malu Tidak mau
dengan tetangga, nggak bertemu orang
keluar rumah. Keluarpun
mau keluar rumah” lain
bukan di komplek sini gitu. Menunjukkan tidak mau
(P3-TKF-B382-393 bertemu dengan orang Malu
Saya malu, malu.. sama anak lain
saya (Nada berubah menjadi
pelan) (P3-TKF-B396-397) Pengulangan “malu” Tidak bisa
Iya misal gini, saya mau Menunjukkan malu mengatasi sebagai
kepada orang lain dengan ibu
ngerjain pekerjaan rumah gitu
adanya anak
ya, itu tuh udah ngerasa capek “saya mikir ntar kalau
duluan, belum juga mulai. SMP, SMA itu gimana.
Hari-hari itu berasa lama Masa iya ngandelin saya
banget. terus”
Mm.. sebenernya si Mm.. iya Menunjukkan Tidak
mba, walaupun ini padahal tahan dengan tanggung
jawab sebagai ibu
anak masih kelas 6 SD, saya
mikir ntar kalau SMP, SMA itu
gimana. Masa iya ngandelin
saya terus (P3-TKF-B402-
411)

clxxxiii
P : Mm.. Coba ceritakan apa “kadang kalau saya
yang membuat Ibu merasa udah capek tak biarin
lelah sampai menarik diri dari sampe mikir, ya Allah
sampe kapan aku ngeliat Rasa tidak
lingkungan karena keberadaan
dia kaya gini terus. menentu
anak? Jedotin kepala, terus
P3 : Mm.. yang membuat saya jatuh-jatuhin badan ke keletihan
lelah itu tu.. kaya misal tiba- lantai, yaa gitu..”
tiba anak saya jedotin kepala Merasa letih,
ke tembok berulang-ulang, mempertanyakan sampai
saya menghalangi dia tapi dia kapan semua ini berakhir
itu lebih kenceng malah, kalau
jedotin kepala kan dia nggak
ngerasa sakit ya. sampai saya Perilaku anak membuat
marah-marah, kadang kalau dirinya tidak tahan
saya udah capek tak biarin sehingga mengabaikan Pengabaian
sampe mikir, ya Allah sampe terhadap anak
kapan aku ngeliat dia kaya gini
“Sumpek liatnya, itu Kehilangan tugas
terus. Jedotin kepala, terus
ituu.. terus yang sebagai ibu
jatuh-jatuhin badan ke lantai, diliatnya, ya kerjaan
yaa gitu.. jadi malu, takut ada rumah, ketemu sapu pel Tidak tahan
tetangga yang ketakutan lagi, rumah berantakan dengan tanggung
ngeliat anak saya (P3-TKF- nggak pernah ada jawabnya
B412-425) beresnya. jenuh
P : Mm.. lalu apa saja yang sebenernya”. Jenuh
Menunjukkan jenuh
dirasakan ketika Ibu menarik dengan pekerjaan rumah
diri dari lingkungan karena yang tidak ada liburnya
keberadaan anak?
P3 : Mm.. rasanya nggak enak
si mba di rumah terus. Sumpek
liatnya, itu itu terus yang
diliatnya, ya kerjaan rumah,
ketemu sapu pel lagi, rumah
berantakan nggak pernah ada
beresnya. jenuh sebenernya
saya (P3-TKF-B426-433)
P : Mm.. bisa diceritakan apa
saja yang dilakukan Ibu ketika “kadang saya marah- Berteriak-teriak
merasa lelah dan jenuh dengan marah sendiri mba,
bawaannya tu pengen Mudah marah
keberadaan anak?
teriak-teriak terus sampe
P3 : kadang saya marah-marah kalau nutup pintu aja Kemarahan yang

clxxxiv
sendiri mba, bawaannya tu keras banget” mendalam
pengen teriak-teriak terus Kemarahan dalam diri
sampe kalau nutup pintu aja yang menumpuk
keras banget. Kan kalau anak
Terkendala komunikasi Kekerasan fisik
autis kan nggak jelas ya, nggak anak autis sehingga
mudeng-mudeng. Jadi pas saya membuat dirinya sering
lagi capek, anak dibilangin berteriak dan kekerasan
nggak ngerti-ngerti kadang fisik
saya sampai mukul. Gregetan
gitu mba.. (P3-TKF-B434-
443)
P : Oow.. bisa Ibu ceritakan Selalu bersama namun Tidak ada
bagaimana kedekatan Ibu tidak ada kedekatan kedekatan
dengan anak Ibu? secara emosional. Efek emosional
belum ada penerimaan
P3 : saya si kalau dibilang
terhadap anak
deket sama anak dulu itu
kurang mba, karena saya
belum nerima dengan keadaan
anak saya. Jadi walaupun
serumah itu kaya nggak ada
chemistry gitu
(P3-TKF-B444-449)
P : Mm begitu ya, lalu Terkadang menunjukkan
bagaimana perasaan Ibu ketika empati ketika anak tidur,
dekat dengan anak? merasa kasihan
P3 : Saya kadang itu ngerasa
“Biasanya kalau pas Merasa bersalah
kasian sama anak saya, dia mau tidur, saya liatin dia menjadi ibu
lahir dengan keadaan kaya gitu terus ini anak mau
juga pasti dalam hatinya juga gimana kedepannya.
nggak mau. Biasanya kalau pas Saya elus-elus, kadang
mau tidur, saya liatin dia terus saya nangis”
ini anak mau gimana Menunjukkan ada rasa
bersalah terhadap anak
kedepannya. Saya elus-elus,
kadang saya nangis. Tapi kalau
udah pagi siang itu nggak tau
kenapa saya bawaannya nggak
mau saya deket-deket anak
saya
(P3-TKF-B450-459)
P : Oo gitu, lalu bagaimana Tidak pernah Tidak bisa

clxxxv
cara Ibu menunjukkan rasa menunjukkan rasa sayang menunjukkan
sayang kepada anak? terhadap anak, hanya perasaan sayang
P3 : Mm.. saya itu nggak dengan do’a terhadap anak
pernah nunjukkin ya, saya
malu, mungkin karena nggak
terbiasa ya. saya nunjukkin itu
dengan kalau habis sholat itu
saya berdoa terus buat dia
(P3-TKF-B460-466)
P : Coba Ibu ceritakan Tidak terbiasa menikmati Tidak menikmati
bagaimana cara Ibu menikmati kebersamaan dengan kebersamaan
kebersamaan dengan anak? anak sehingga tidak dengan anak
pernah menikmati
P3 : Terkadang ya mba, pas
kebersamaan dengan
mood saya lagi bagus, saya anak.
pengen main bareng sama
anak, nonton tv. Tapi itu pun “Tapi kalau dirasa-rasa
jarang banget si mba, soalnya ya justru itu waktu yang
anak saya kan lebih suka main baik buat saya karena
sendiri, asik dengan dunianya saya bisa me time”
Menunjukkan dirinya
sendiri, kalau diganggu tu
membutuhkan waktu
nggak mau. Tapi kalau dirasa untuk diri sendiri
justru itu waktu yang baik buat
saya karena saya bisa me time,
jadi kalau dirasa-rasa ya buat
menikmati waktu sama anak
belum ada pikiran kesitu sih
(P3-TKF-B467-477)
P : Bisa Ibu ceritakan hal yang Ketika anak Berkesan
paling berkesan ketika bersama menunjukkan kemajuan
anak? dalam perkembangannya,
mempunyai daya ingat
P3 : Hal yang paling berkesan
yang tajam dan mendetail
itu ketika anak saya membuatnya terkesan
menunjukkan kemajuan hal-hal
kecil.
Misalnya anak saya bisa
nyendok sendiri saya udah
seneng banget. Biasanya kalau
anak normal lainnya kan itu hal
biasa ya, tapi buat anak gini
tuh buat saya seneng banget.

clxxxvi
Contoh lagi, anak saya bisa
pipis sendiri, ke kamar mandi
sendiri itu hal yang luar biasa
buat saya. Terus anak saya itu
anaknya detail dan daya
ingatnya tajam, misal buat
nginget kejadian yang luar bias
aitu dia hafal tanggal, hari,
jam, menit ke berapa gitu
(P3-TKF-B478-492)
P : Mm begitu ya, lalu apa “maksudnya itu
yang muncul dalam pikiran Ibu senengnya saya bisa
ketika jauh dari anak? melakukan hal apa saja Butuh ruang
nggak ada yang untuk dirinya
P3 : Kalau saya jauh dari anak
menghalangi aktifitas
itu ada senengnya dan ada saya”
sedihnya juga. maksudnya itu Menunjukkan dirinya Autopilot ledakan
senengnya saya bisa sebenarnya emosi
melakukan hal apa saja nggak membutuhkan ruang
ada yang menghalangi aktifitas untuk diri sendiri
saya. Emm.. sedihnya itu ya
“jadi kalau nggak ada
mungkin karena tiap hari
anak saya jadi sepi,
bareng ya, jadi kalau nggak biasa saya ngomel-
ada anak saya jadi sepi, biasa ngomel, kalau nggak ada
saya ngomel-ngomel, kalau anak jadi nggak ada
nggak ada anak jadi nggak ada yang diomelin, jadi kaya
yang diomelin, jadi kaya kehilangan gitu mba”
kehilangan gitu mba (P3-TKF- Menunjukkan ledakan
emosi yang terbiasa
B493-505)
dilakukan sudah
terbentuk secara otomatis
yang dilakukan setiap
harinya
P : Sekarang coba Ibu Sebenarnya memiliki Potensi yang
ceritakan potensi apa saja yang potensi yang bisa tidak bisa
Ibu miliki? dikembangkan namun dikembangkan
terkendala anak yang
P3 : saya suka menjahit dan
membutuhkan Hilangnya minat
suka jualan. Sebelum ada anak pengasuhan ekstra
kan saya biasa bikin baju, menjadikan dirinya tidak
pesenan snack box gitu gitu bisa mengembangkan
mba sehingga kehilangan
P : Mm.. bagus bu, lalu minat

clxxxvii
bagaimana Ibu
mengembangkan potensi
tersebut?
P3 : susah ya mba.. ya
sekarang kalau saya kerja gitu
ya anak saya nggak ada yang
jagain. Rasanya kaya udah
nggak bisa dikembangin lagi
mba, saya udah capek ngurusin
anak saya, jadi udah nggak
kepengen lagi (P3-TKF-B506-
517)
P : apakah dengan kondisi anak Mengulang “mm..” Merasa anak
Ibu saat ini menjadi menunjukkan takut untuk menjad
penghambat dalam mengungkapkan apa penghambat
yang sebenarnya ia
mengembangkan potensi Ibu?
rasakan
P3 : Mm.. mm.. saya dosa
nggak si kalau saya ngerasa
anak saya itu menghambat
saya. Yaa.. mm.. kalau dibilang
itu si kayaknya si iya mba.
Soalnya semenjak ada anak ini
kondisinya kaya gini saya
ngerasa nggak bisa ngapa-
ngapain lagi
(P3-TKF-B518-526)
P : Apakah Ibu pernah “saya kadang nggak pede Tidak percaya diri
merasakan kurang percaya diri kalau bawa anak saya”
dengan keberadaan anak? Merasa tidak percaya diri Ketakutan
dengan adanya anak. ada
P3 : Iya pernah mba, nggak perasaan takut orang lain
pede kalau kemana-mana saya akan mencibir
bawa anak. Mm.. gimana ya,
saya takut mba. Takut orang-
orang itu mencibir. Karena
pernah kejadian saya lagi main
di taman sama anak saya, terus
orang-orang yang ada di taman
itu pada ngeliatin kaya nggak
mau deket-deket sama kita

clxxxviii
gitu. Mereka jaga jarak, terus
kaya jijik ngeliat anak saya
gitu. Jadi saya kadang nggak
pede kalau bawa anak saya
(P3-TKF-B527-540)
P : Mm.. begitu ya, lalu apa
yang dilakukan Ibu ketika Nyaman saat jauh
merasa kurang percaya diri dengan anak
dengan keberadaan anak? “Jadi kalau saya mau
P3 : Saya seringnya kalau mau ketemu orang nggak ada
pergi, anak saya tinggal di hambatan, nggak ada
rumah sama neneknya. Jadi drama, dan saya nggak
kalau saya mau ketemu orang ngerasa yang gimana
nggak ada hambatan, nggak gimana”
ada drama, dan saya nggak Menunjukkan lebih baik
ngerasa yang gimana gimana jika tidak ada anak
(P3-TKF-B541-548)
P : Menurut Ibu, apa keinginan Terdapat keinginan yang Keinginan yang
Ibu untuk masa depan Ibu terpendam terpendam
sendiri?
P3 : saya itu pengennya jadi
designer mba, karena saya
suka bikin baju, menjahit
sendiri, jadi saya itu kalau
melakukan hal itu tuh kaya
menjadi diriku sendiri, aku
banget gitu
(P3-TKF-B549-554)
P : Mm.. lalu bagaimana cara “Jadi kayaknya saya Hilangnya
mencapai keinginan tersebut harus mengubur semua pencapaian
meskipun dengan keberadaan keinginan-keinginan pribadi
saya”
anak?
Pikiran berulang semakin
P3 : Mm.. agak susah ay ai. kuat, anak menjadi
Dulu pernah nyoba ya, ada penyebab kendala
beberapa yg bikin baju sama potensinya
saya, pas saya lagi bikin pola,
anak ay aitu mainin kainnya
sampai sobek-sobek, nah pas
lagi tantrum semuanya jadi

clxxxix
kacau sampai saya harus
mengganti kain yang mau
dibuat baju. Jadi kayaknya
saya harus mengubur semua
keinginan-keinginan saya
(P3-TKF-B555-565)
P : Menurut Ibu, seperti apa “kayaknya enak kalau Membandingkan
hidup Ibu seandainya Ibu punya anak normal, dengan dengan
mempunyai anak normal nggak nyusahin, orang lain
dibilangin apa-apa
seperti yang lainnya?
langsung ngerti, apa-
P3 : Ya ini yang saya liat ya apanya bisa sendiri”
mba, kayaknya enak kalau Menunjukkan dirinya
punya anak normal, nggak membandingkan dengan
nyusahin, dibilangin apa-apa kehidupan orng lain yang
langsung ngerti, apa-apanya tampaknya tidak ada
bisa sendiri, nggak semuanya kendala.
saya yang ngerjain dari bangun
“Kalau punya anak
tidur sampai tidur lagi. Kalau normal itu nggak nguras
punya anak normal itu nggak emosi, tenaga dan
nguras emosi, tenaga dan pikiran”
pikiran. Dan mungkin saya Dirinya menganggap jika
bisa melakukan hal-hal yang mempnyai anak normal
saya ingin lakukan tidak akan menguras
emosi, tenaga dan pikiran
(P3-TKF-B566-577)
P : Menurut Ibu hal apa yang Penuh dengan harapan Harapan
membuat Ibu bahagia? agar anak bisa mandiri,
P3 : Yang membuat saya bisa survive ketika
orangtua tidak ada
bahagia itu anak saya bisa
mandiri, apa-apanya bisa
melakukan sendiri, bisa ngerti
kalo dibilangin
(P3-TKF-B578-584)
P : Bisa diceritakan apakah Ibu Belum merasakan Berusaha untuk
sudah merasakan bahagia kebahagiaan dengan bahagia
dengan keberadaan anak? keberadaan anak, dirinya
menyadari bahwa dirinya
P3 : Saya lagi berusaha untuk
harus bahagia terlebih
bahagia ya mba, tapi entah dahulu
kenapa nggak bisa-bisa. Saya
pernah dengar kebahagiaan
anak itu adalah ibunya yang

cxc
bahagia dulu nanti akan
menularkan ke anak
(P3-TKF-B585-591)
P : Mm.. lalu apakah Ibu sudah Mempertanyakan Kelelahan mental
dapat menerima dengan bagaimana cara agar bisa
keberadaan anak? ikhlas untuk menerima
(mendesah, rasa sedih)
P3 : Saya sudah mencoba buat
Dirinya merasa segalanya
menerima semuanya mba, tapi sudah melelahan
kenapa susah banget ya,
pengen ikhlas biar lepas dari
kejenuhan ini semua, cuma
saya nggak tau caranya
gimana?
P : Mm.. apa yang membuat
Ibu belum menerima anak Ibu?
P3 : Mm.. mungkin karena
saya nggak sabaran ya
orangnya, ditambah lagi ini Harapan dari anak laki-
anak pertama saya laki-laki lakinya agar bisa Harapan yang
jadi banyak harapan saya ke merawat dirinya ketika tinggi
sudah berumur
dia
yaa.. kaya kalau laki-laki kan
nanti kalau saya sakit dia bisa
merawat saya. Terus kalau
saya meniggal dia yang
menyolati dan ngadzanin. Nah
kalo kondisi kaya gini kan saya
nggak ada harapan apa-apa ke
anak (P3-TKF-B609)

cxci
ANALISIS TAHAP 4 PARTISIPAN 3
Sebaran Awal Tema Emergen

Pikiran kosong Kecemasan yang intens


Shock Tidak ada dukungan
Tidak percaya Kelelahan
Bingung Stress
Tidak tau harus bagaimana Perasaan muak
Denial Keinginan untuk bunuh diri
Menangis Merasa tidak berdaya
Menolak untuk bertemu orang Putus asa
Tidak menerima keberadaan anak Kehilangan kemampuan tugas sebagai
ibu
Benci terhadap anak Pengabaian terhadap anak
Hancur Mudah lupa
Sakit kepala Mudah marah
Pusing Kesepian
Jantung berdebar-debar Kesepian
Mudah berkeringat Malu
Energi terkuras Timbul kebencian
Merasa anak penyebab utama Kualitas Bersama pasangan menjadi
kemarahannya buruk
Berteriak-teriak Mudah menangis
Kurangnya control emosi Kelelahan
Kekerasan fisik Ketidakberdayaan
Perasaan malas Guncangan emosional
Merasa lelah meski tidak melakukan Ketidakpuasan diri
aktifitas
Hilang minat dalam menjalani hari Merasa terpuruk
Keinginan untuk melarikan diri Kehilangan jati diri
Kehilangan kemampuan tugas sebagai Kehilangan kemampuan tugas sebagai
ibu ibu
Kehilangan kesabaran Menyalahkan diri sendiri
Harapan yang tinggi Malu terhadap diri sendiri dan sebagai
ibu
Merasa energi terkuras habis Merasa bersalah menjadi ibu
Tidak mau bertemu orang lain Tidak bisa menunjukkan perasaan
sayang terhadap anak
Malu Tidak bisa menikmati kebersamaan
dengan anak

cxcii
Tidak bisa mengatasi sebagai ibu Berkesan ketika ada kemajuan dari
anak
Rasa tidak menentu Membutuhkan ruang untuk dirinya
Keletihan Ledakan emosi
Pengabaian terhadap anak Potensi yang tidak bisa dikembangkan
Kehilangan kemampuan tugas sebagai Hilangnya minat
ibu
Tidak tahan dengan tanggung Merasa anak menjadi penghambat
jawabnya
Jenuh Tidak percaya diri
Berteriak-teriak Ketakutan
Mudah marah Nyaman saat jauh dengan anak
Kemarahan yang mendalam Keinginan yang terpendam
Kekerasan fisik Hilangnya pencapaian pribadi
Tidak ada kedekatan secara emosional Membandingkan dengan orang lain
Harapan Kelelahan mental
Berusaha untuk bahagia Harapan yang tinggi

cxciii
Pengelompokan Tema dan Pengembangan Tema Superordinat
Partisipan 2

Dampak psikologis ketika Gejala Kelelahan emosional (bold)


mendengar anak didiagnosa autis - Sakit kepala
- Pikiran kosong - Pusing
- Shock - Jantung berdebar-debar
- Tidak percaya - Mudah berkeringat
- Bingung - Energi terkuras
- Denial - Kelelahan
- Menangis - Putus asa
- Menolak bertemu orang - Mudah lupa
- Tidak menerima keberadaan anak - Mudah marah
- Benci terhadap anak - Mudah menangis
- Hancur - Malu
- Jenuh
- Tidak percaya diri

cxciv
Masalah diri sendiri Pengasuhan terhadap anak
- Kurangnya control emosi - Kehilangan kemampuan tugas
- Perasaan malas sebagai ibu
- Merasa lelah meski tidak melakukan - Pengabaian terhadap anak
aktifitas - Kekerasan fisik
- Hilang minat dalam menjalani hari - Perasaan malas
- Keinginan untuk melarikan diri - Harapan yang tinggi
- Kehilangan kesabaran - Tidak tahan dengan tanggung
- Rasa tidak menentu jawabnya
- Merasa tidak berdaya - Kekerasan fisik
- Kehilangan jati diri - Tidak ada kedekatan secara
- Menyalahkan diri sendiri emosional
- Merasa bersalah menjadi ibu - Tidak bisa menunjukkan perasaan
- Membandingkan dengan orang lain sayang terhadap anak
- Keinginan untuk bunuh diri - Tidak bisa menikmati kebersamaan
- Kesepian dengan anak
- Tidak ada dukungan - Nyaman saat jauh dengan anak
- Merasa anak penyebab utama
kemarahannya
Gejolak emosi Potensi diri
- Berteriak-teriak - Ketidakpuasan diri
- Kecemasan yang intens - Membutuhkan ruang untuk dirinya
- Stress - Potensi yang tidak bisa
- Perasaan muak dikembangkan
- Kemarahan yang mendalam - Hilangnya minat
- Guncangan emosional - Merasa anak menjadi penghambat
- Merasa terpuruk - Keinginan yang terpendam
- Ledakan emosi - Hilangnya pencapaian pribadi
- Ketakutan - Berusaha untuk bahagia

cxcv
Pasangan
- Timbul kebencian
- Kualitas bersama pasangan menjadi
buruk

cxcvi

Anda mungkin juga menyukai