Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH TSUNAMI ACEH

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi paling barat Indonesia. Secara


geografis, Aceh berbatasan dengan Samudra Indonesia di sebelah barat, Selat Malaka di utara
dan timur, serta Provinsi Sumatera di sebelah selatan. Letak Aceh yang sebagian besar
dikelilingi oleh laut lepas membuat daerah tersebut rawan terjadi gempa dan tsunami. Salah
satu gempa dan tsunami terbesar di Aceh pernah terjadi tahun 2004.

Tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, yaitu “tsu” dan “nami”. Tsu berarti
pelabuhan, sedangkan nami artinya gelombang lain. Sementara itu, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, tsunami adalah gelombang laut dahsyat yang terjadi karena gempa bumi
atau letusan gunung api di dasar laut.

Hampir 19 tahun yang lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,1
– 9,3 skala richter (SR) melanda Aceh, sekitar pukul 07.58 WIB. Gempa tersebut berpusat di
Samudera Hindia, tepatnya 149 kilometer di sebelah barat Meulaboh. Kedalaman gempa
berada sekitar 10 kilometer di dasar laut.

Setelah gempa terjadi selama kurang lebih 10 menit, tsunami setinggi 30 meter
dengan kecepatan sekitar 100 meter per detik dari laut lepas pun menghantam daratan. Saking
dahsyatnya gempa dan tsunami tersebut, dampak yang ditimbulkan tidak hanya dirasakan
oleh warga Aceh, tapi juga masyarakat dari negara lain, seperti Bangladesh, India, Sri Lanka,
Myanmar, Malaysia, Thailand, hingga Afrika. Akibatnya, korban meninggal dan terluka pun
berjatuhan, begitu pula dengan bangunan yang beruntuhan.

Tercatat terdapat 226.308 korban jiwa meninggal akibat gempa dan tsunami tersebut.
173.741di antaranya adalah korban jiwa dari Indonesia, termasuk turis asing yang sedang
berada di Aceh. Tak hanya itu, tragedi memilukan tersebut juga membuat hampir 64.000 KK
kehilangan tempat tinggal hingga memaksa lebih 600.000 orang mengungsi setelah
kehilangan rumah serta harta benda.
Tak sampai 24 jam setelah gempa dan tsunami terjadi, pesawat dan helikopter pun
datang dari berbagai negara untuk membantu Tim SAR dalam mengevakuasi korban. Negara-
negara tersebut antara lain, Malaysia, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Singapura, Jerman,
Inggris, hingga Spanyol. Tak hanya makanan, para relawan tersebut juga mengangkut
bantuan lainnya, seperti obat-obatan, peralatan medis, minuman, bahkan pakaian untuk para
korban bencana gempa dan tsunami Aceh.

Untuk mengenang para korban dari peristiwa dahsyat tersebut, pada 26 Desember
2006 pemerintah meresmikan Museum Tsunami Aceh yang terletak di Jl. Sultan Iskandar
Muda, Kota Banda Aceh. Dirancang oleh Ridwan Kamil, Museum Tsunami Aceh
menyimpan lebih dari 6.000 koleksi, di antaranya adalah koleksi arkelogika, seni rupa,
filologika, biologika, teknologika, keramonologika, etnografika, numismatika dan heraldika,
geologika, serta historika dan ruang audio visual.

Tak hanya museum, pemerintah juga mulai memperbaiki sarana dan prasarana yang
rusak karena terjangan tsunami, salah satunya adalah pembangunan tanggul pengaman pantai
untuk mengatasi masalah daya rusak air yang mampu menimbulkan abrasi pantai.

Selain itu, tragedi gempa dan tsunami Aceh 2004 juga membuat masyarakat Aceh
menjadi lebih waspada dalam mengantisipasi adanya bencana serupa serta saling bekerja
sama untuk memulihkan keadaan. Hal-hal tersebut diterapkan dalam berbagai hal, mulai dari
pendidikan kebencanaan, partisipasi program bantuan lokal dan internasional untuk
membantu memulihkan kondisi psikologis korban selamat tsunami Aceh, serta pelatihan drill
yang dilakukan oleh komunitas-komunitas mitigasi bencana di Aceh.

Referensi : Contoh Teks Cerita Sejarah Tsunami Aceh beserta Strukturnya – Blog Mamikos

Anda mungkin juga menyukai