Anda di halaman 1dari 52

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, serta kasih
sayang-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Laporan kegiatan magang
Ekstramural Kesmavet Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) di Dinas Ketahanan Pangan
dan Pertanian Kota Bandung dengan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan, dukungan, bimbingan serta arahan, sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan
laporan ini dengan baik dan tepat waktu. Kelancaran kegiatan koasistensi dan penyusunan
laporan ini tentunya tidak luput dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada:

1. Dr. drh. Sarasati Windria, selaku dosen pengampu stase ekstramural kesmavet DKPP
yang mengarahkan dan membimbing penulis dalam pelaksanaan kegiatan PPDH stase
ekstramural kesmavet hingga penyusunan laporan ini.
2. drh. Buhori Muslim dan drh. Khansa Mahdiyah selaku dosen pembimbing lapangan yang
telah dengan tulus dan sabar membimbing penulis dalam kegiatan magang koasistensi di
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung.
3. Seluruh staff bidang peternakan, bidang RPH, dan bidang keamanan pangan yang telah
membimbing dan membantu dalam proses pelaksaan Pendidikan Profesi Dokter Hewan
(PPDH) stase ekstramural kesmavet di DKPP Kota Bandung.
4. Kolega PPDH Kelompok 4 Angkatan III Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
yang selalu memberikan dorongan, semangat, inspirasi dan keceriaan.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan, oleh
kareananya segala kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan untuk perbaikan
selanjutnya. Penulis berharap laporan ini dapat memberikan wawasan serta manfaat untuk para
pembaca.

Bandung, Oktober 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) adalah segala urusan kesehatan hewan
dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memiliki keterkaitan dengan
kesehatan manusia. Kesmavet dilakukan dengan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam
bentuk pengendalian dan penanggulangan zoonosis, penjaminan keamanan, kesehatan,
keutuhan, dan kehalalan produk hewan (ASUH), penjaminan hygiene dan sanitasi. Kesmavet
merupakan salah satu bidang yang memiliki keterkaitan erat dengan penyediaan dan
penjaminan mutu dari sumber produk hewani. Hal tersebut sejalan dengan definisi kesmavet
menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Produk asal hewan berupa
daging, telur, dan susu memiliki nilai dan kualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Namun demikian, pangan asal hewan merupakan bahan pangan yang mudah rusak
(perishable food) dan memiliki potensi bahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan
(hazardous food) karena mudah tercemar secara fisik, kimiawi, dan biologis sehingga dapat
membahayakan keselamatan hidup manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, Oleh karena
itu, untuk mencegah dan mengurangi risiko yang dapat membahayakan keselamatan hidup
manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan, segala urusan mengenai kesmavet penting untuk
diselenggarakan dengan baik.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung di bentuk pada tanggal 15 April
Tahun 2001. Berdasarkan Perda Kota Bandung No. 26 tahun 2001, Dinas Pertanian dan
Ketahanan Pangan Kota Bandung merupakan gabungan dari 3 dinas yaitu, Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan. Oleh karena itu, Dinas Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung memiliki kewenangan yang meliputi
subsektor pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan bidang perkebunan.
Selanjutnya pada tahun 2010 berdasarkan Perda No. 13 tahun 2009 kembali bergabung
Bagian Ketahanan Pangan menjadi salah satu Bidang di Dinas Pertanian sehingga nama
Dinas berubah menjadi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung. Pada Januari
tahun 2017 berdasarkan Peraturan Wali Kota Nomor 1389 Tahun 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Pangan dan Pertanian Kota
Bandung nomenklatur dinas berubah manjadi Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung,
dengan Urusan Pangan sebagai urusan wajib diikuti dengan Urusan Pertanian dan Urusan
Perikanan sebagai urusan pilihan. Menurut Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian Kota Bandung mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian urusan Pemerintah
Bidang Pangan, Pertanian dan Perikanan berdasarkan asas otonomi dan pembantuan yang
diserahkan oleh Walikota. Berdasarkan tugas pokok tersebut, DKPP Kota Bandung dianggap
dapat menjadi tempat yang dapat menunjang mahasiswa PPDH dalam pembelajaran
mengenai kesmavet.
1.2 Tujuan
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai regulasi terkait berbagai aspek kesehatan
masyarakat veteriner.
2. Mendapatkan pengetahuan dan pengalaman mengenai praktik di Rumah Potong Hewan
(RPH) dan kaitannya dengan kesehatan masyarakat veteriner.
3. Mendapatkan pengetahuan mengenai pengujian produk asal hewan di laboratorium dan
kaitannya dengan keamanan pangan untuk kesehatan masyarakat veteriner.
4. Mengasah kemampuan untuk menciptakan program pengendalian atau penanggulangan
penyakit hewan menular strategis yang disertai dengan kajian ekonomi veteriner.
1.3 Manfaat
1. Mengetahui regulasi terkait berbagai aspek kesehatan masyarakat veteriner.
2. Mengetahui dan mendapatkan pengalaman mengenai praktik di Rumah Potong Hewan
(RPH) dan kaitannya dengan kesehatan masyarakat veteriner.
3. Mengetahui tata cara pengujian produk asal hewan di laboratorium dan kaitannya dengan
keamanan pangan untuk kesehatan masyarakat veteriner.
4. Mengetahui cara untuk menciptakan program pengendalian atau penanggulangan
penyakit hewan menular strategis yang disertai dengan kajian ekonomi veteriner.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan


A. World Rabies Day (WRD)
Louis Pasteur adalah seorang ahli mikrobiologi asal Prancis yang merupakan
pengembang vaksin rabies pertama yang berhasil mencegah kematian populasi akibat
gigitan anjing gila. Pada tanggal 28 September, diketahui bahwa pada tanggal 28
September Louis Pasteur dinyatakan meninggal dunia. Oleh karena itu, tanggal 28
September diperingati sebagai hari rabies sedunia atau World Rabies Day (WRD)
(Gomes, 2021). WRD merupakan hari untuk memperingati rabies yang diselenggarakan
di seluruh dunia. Hari Rabies Sedunia atau WRD mulai diselenggarakan pada tahun 2007
yang diinisiasi oleh The Alliance for Rabies Control (ARC) dan Centers for Disease
Control (CDC). Secara umum, WRD ditetapkan untuk memperingati rabies dengan
dilakukannya kampanye global yang mencakup rangkaian kegiatan berupa sosialiasi
kepada masyarakat dan vaksinasi rabies terhadap hewan, terutama anjing. Tujuan yang
ingin dicapai oleh kampanye ini adalah menjadikan dunia bebas dari penyakit rabies pada
tahun 2030 (WHO, 2023). Hari peringatan rabies merupakan sebuah momentum untuk
dapat meningkatkan kembali kesadaran masyarakat terhadap penyakit rabies, bahwa
penyakit rabies merupakan penyakit mematikan (Kemenkes, 2022).
Penyakit rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus rabies jenis
Rhabdho virus. Secara umum, penyakit rabies dapat menyerang seluruh hewan mamalia
atau hewan berdarah panas seperti sapi, kerbau, kambing, kuda, monyet, kera, babi,
anjing, kkucing, dan sebagsanya (Pudjiatmoko, 2014). Virus rabies yang menginfeksi
hewan akan memasuki tubuh hewan melalui luka terbuka yang dapat berupa luka gigitan
atau cakaran yang umumnya disebabkan oleh hewan lain yang tertular rabies. Virus akan
memasuki tubuh hewan bersamaan dengan air liur melalui luka gigitan. Selain dapat
menularkan dari hewan ke hewan lain, penyakit rabies juga bersifat zoonosis atau dapat
juga menular kepada manusia (Kemenkes RI, 2016). Hewan yang sering menularkan
virus rabies kepada manusia adalah anjing, kucing, dan kera sehingga hewan-hewan
tersebut disebut sebagai Hewan Penular Rabies (HPR). HPR utama penyebab rabies pada
manusia adalah anjing (Ridwan et al., 2021).
Kejadian rabies pada tahun 2023 diumumkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, selama bulan Januari-April, tercatat sebanyak 31.113 kasus rabies,
23.211 kasus gigitan hewan yang sudah mendapatkan vaksin antirabies, dan 11 kasus
kematian yang disebabkan oleh penyakit rabies. Dari laporan kasus tersebut, Bali
menempati urutan pertama dengan jumlah 14.827 kasus rabies, yang kemudian disusul
urutan kedua oleh Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 3.437 laporan kasus rabies.
Sementara itu, urutan ketiga kasus rabies terbanyak ditempati oleh Sulawesi Selatan
dengan total 2.338 kasus rabies. Selanjutnya di posisi keempat terdapat Kalimantan Barat
dengan 1.188 kasus dan urutan kelima kasus rabies terbanyak adalah Sumatra Barat
dengan laporan sebesar 1.171 kasus rabies. Saat ini, terdapat 26 provinsi di Indonesia
yang menjadi endemis rabies. Tetapi hanya 11 provinsi yang bebas rabies diantaranya
adalah Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan
(Tarmizi, 2023).

Grafik x. Kasus rabies di Indonesia Januari-April 2023


Jawa Barat pernah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies pada tahun 2004 dan
tercantum pada Surat Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangani pada 6 Oktober
2004. Namun, status bebas rabies dicabut pada tahun 2005 karena adanya laporan kasus
rabies. Sejak saat itu, Jawa Barat hingga kini masih dalam proses untuk mengembalikan
status daerah bebas rabies. Di Provinsi Jawa Barat, kasus rabies terakhir kali dilaporkan
pada tahun 2020, yaitu di Kabupaten Bandung tercatat 1 kasus dan Kabupaten Bandung
Barat 2 kasus. Adapun pada tahun 2021, terdapat 313 kasus gigitan HPR di 138
kecamatan dan 233 kelurahan/desa di 23 kabupaten/kota. Berdasarkan epidemiologi
penyakit, Jawa Barat terbagi menjadi tiga kategori daerah dengan status rabies, dan Kota
Bandung termasuk pada salah satu dari sebelas daerah dengan kategori terancam rabies
(Humas Jabar, 2022).

B. Pelayanan Masyarakat
Kucing dan anjing, khususnya kucing merupakan hewan yang sangat umum
ditemui, baik sebagai hewan peliharaan maupun hewan liar (Prayoga et al., 2021). Siklus
birahi pada kucing merupakan siklus birahi seasonal polyestrus yang dalam satu periode
kebuntingan dapat melahirkan sekitar 1-6 ekor anak kucing. Jika dikalkulasikan, dalam
sehatun kucing dapat beranak 1-3 kali sehingga satu ekor kucing betina dapat melahirkan
sekitar 40 ekor anak kucing selama 5 tahun masa hidupnya (Kennedy et al., 2020).
Apabila tidak adanya kontrol populasi jumlah kucing di lingkungan liar, kontak antara
kucing jantan dan betina pada masa birahi dapat menyebabkan peluang kebuntingan yang
bertambah hingga 18 kali lipat (Rahmiati et al., 2020). Adanya permasalahan peningkatan
populasi kucing liar dapat berbanding lurus dengan terbentuknya permasalahan global
terkait aspek animal welfare dan resiko penularan penyakit zoonosis. Dari segi aspek
animal welfare, peningkatan populasi yang tidak sebanding dengan ketersediaan pakan
akan berdampak pada persaingan untuk mendapat makanan sehingga aspek animal
walfare tidak terpenuhi. Selain itu, semakin tinggi populasi kucing maka akan semakin
tinggi pula kontak dengan manusia sehingga dapat meningkatkan resiko penularan
penyakit zoonosis diantaranya adalah cacing tambang Ancylostoma tubaeforme,
Toksoplasmosis dan Rabies. (Flockhart & Coe, 2018; Kennedy et al., 2020)
Peningkatan populasi kucing dapat diatasi dengan upaya kontrasepsi, sterilisasi
dan euthanasia (Prayoga et al., 2021). Menurut Wionarski et al. (2019), terdapat beberapa
metode pengendalian populasi kucing antara lain dengan mengasingkan kucing di pulau
tersendiri, menggunakan umpan racun, menggunakan perangkap, perburuan, mengurangi
populasi mangsa, menambah populasi predator serta TNR (Trap-Neuter-Release). Pada
kegiatan ini, upaya pengendalian peningkatan populasi kucing yang dilakukan untuk
mencegah permasalahan animal welfare dan penyebaran penyakit zoonosis pada kucing,
dilakukan dengan melakukan sterilisasi. Sterilisasi merupakan tindakan pembedahan
untuk mengangkat atau menghilangkan testis (jantan) atau ovarium (betina). Sterilisasi
pada hewan jantan dinamakan kastrasi atau orchiectomy, sedangkan pada hewan betina
dinamakan ovariohysterectomy (OH). Sterilisasi reproduksi melalui pembedahan dapat
memiliki tujuan untuk terapi penyakit reproduksi, mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan pemilik hewan terkait dengan aktivitas hormonal serta pengendalian populasi
kucing (Prayoga et al., 2019).
Pada tanggal 27 September 2023, di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
dilakukan kegiatan kastrasi gratis yang diselenggarakan dalam rangka memperingati
World Rabies Day 2023. Target acara kastrasi gratis ini adalah pemilik kucing di seluruh
Kota Bandung. Teknis dari acara kastrasi gratis ini dimulai dari pemilik hewan
mendaftarkan kucing peliharaannya terlebih dahulu kemudian dapat membawa
peliharaannya pada hari H acara. Pada acara tersebut, DKPP Kota Bandung bekerjasama
dengan sejumlah dokter hewan praktisi swasta di Kota Bandung sehingga proses
pembedahan kastrasi dilakukan oleh 12 dokter hewan praktisi swasta terkait. Sebelum
dilakukan proses pembedahan, dilakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu pada kucing
yang meliputi penimbangan berat badan, pengukuran suhu, dan pemeriksaan keseluruhan
pada fisik. Kucing yang akan dilakukan bedah kastrasi, harus memiliki status fisik yang
sehat. Kucing yang telah dilakukan pemeriksaan fisik kemudian diberikan sediaan
anestesi berupa Ketamin dan Xylazine untuk menurunkan kesadaran kucing. Setelah
kesadaran kucing menurun, dilakukan pencukuran di area bedah yang kemudian diikuti
oleh proses pembedahan. Kucing yang telah selesai dilakukan proses pembedahan
kemudian diberikan infus NaCl, vitamin Biosan, antibiotic spray Limoxin.
Gambar x. Kastrasi gratis pada acara WRD 2023

3.2 Bidang Keamanan Pangan


A. Uji Boraks
Pada produk olahan pangan umumnya terdapat beberapa bahan tambahan yang
digunakan untuk melengkapi produk olahan. Namun, bahan tambahan pangan yang
digunakan pada proses produksi pangan umumnya harus menggunakan bahan tambahan
pangan yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA), Codex Alimentarius
atau Direktorat Standarisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia (BPOM RI). Peraturan tentang bahan tambahan pangan yang
diizinkan dan yang tidak diizinkan telah dijelaskan dalam Codex Alimentarius beserta
dengan nilai ADI (Acceptable Daily Intake) dari masing – masing bahan tambahan
pangan. Boraks merupakan salah satu bahan yang dilarang untuk ditambahkan dalam
bahan pangan, namun harganya yang murah membuat boraks masih sering digunakan
sebagai pengawet oleh beberapa produsen (Septiani & Roswiem, 2018).
Daging merupakan salah satu makanan yang tinggi peminat dan permintaan dari
konsumen. Daging memiliki rasa gurih dan kandungan nutrisi yang baik. Daging dapat
diproses menjadi bahan pangan olahan seperti abon, kornet, bakso, dan sosis. Namun,
daging memiliki kandungan aktivitas air (Aw) yang tinggi sehingga mikroorganisme
dapat dengan sangat mudah mengkontaminasi daging. Salah satu langkah untuk
menghindari kontaminasi adalah dengan menggunakan pengawet. Di Indonesia, masih
ditemukan produsen yang menggunakan bahan pengawet yang dilarang seperti boraks
untuk mengawetkan pangan olahan daging (Aryani & Widyantara, 2018; Azmi et al.,
2018).
Boraks atau natrium tetraborat adalah zat kimia yang memiliki rumus molekul
Boraks (natrium tetraborat) merupakan zat kimia yang memiliki rumus molekul
Na2B4O7.10H2O. Boraks memiliki bentuk kristal berwarna putih, tidak berbau, stabil pada
kondisi kamar, dan memiliki rasa sedikit asam (Suseno, 2019). Boraks merupakan
senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B) yang banyak digunakan dalam industri
pembuatan taksidermi, insektarium dan herbarium. Dalam penggunaan sehari-hari,
boraks biasa digunakan sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada
kosmetik. Tetapi seiring berjalannya waktu, hingga sekarang, boraks cenderung
digunakan dalam industri rumah tangga sebagai bahan pengawet makanan seperti pada
pembuatan mie, bakso, dan sosis (Septiani & Roswiem, 2018). Menurut Suharyani et al.
(2021), bahan makanan yang menduduki peringkat teratas mengandung boraks adalah
ikan laut, mie basah, tahu dan bakso.
Boraks sebagai pengawet untuk bahan pangan telah dilarang penggunaannya sejak
tahun 1979 (Septiani & Roswiem, 2018). Larangan penggunaan boraks dalam makanan
telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 033 tahun 2012 mengenai
penggunaan bahan tambahan pangan yang diperuntukkan makanan. Boraks dilarang
penggunaannya sebagai penambah bahan makanan karena adanya berbagai efek samping
yang merugikan dari boraks bila masuk ke dalam tubuh. Efek samping dari boraks
diantaranya adalah iritasi pada saluran pencernaan, yang menimbulkan gejala berupa
diare, mual, muntah, pusing, dan sakit kepala. Efek yang lebih berat juga dapat
disebabkan karena efek samping boraks yaitu gangguan pada ginjal, sampai terjadinya
shock dan menyebabkan kematian jika dosis yang tertelan mencapai 5 – 10 g/kg berat
badan (Suharyani et al., 2021).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi adanya boraks dalam sampel
makanan dengan jenis yang berbeda-beda. Analisis kualitatif boraks dalam sampel
makanan diantaranya dapat dilakukan dengan uji nyala, metode kertas turmerik, reaksi
dengan filtrat ubi ungu, dan spektrofotometri FTIR (Suharyani et al., 2021). Dari
berbagai metode yang telah dikembangkan untuk analisis kualitatif boraks, metode
analisis kualitatif yang paling banyak dilakukan adalah uji dengan menggunakan metode
kertas turmerik yang memanfaatkan zat warna alami kurkumin dari kunyit (Curcuma
domestica). Metode uji menggunakan kertas turmerik dilakukan dengan mencelupkan
kertas ke dalam sampel yang telah dilarutkan dalam air. Jika terjadi reaksi dengan boraks,
kandungan kurkumin pada kertas akan membentuk kompleks rososianin yang berwarna
merah, sebagai tanda adanya boraks dalam sampel (Septiani & Roswiem, 2018;Suharyani
et al., 2021). Pada percobaan uji boraks yang dilakukan pada sampel sosis, didapatkan
hasil tidak adanya perubahan warna pada kertas turmerik. Hal tersebut menandakan
bahwa sampel sosis yang diuji tidak mengandung bahan penambah berupa boraks.
Menurut Suseno (2019), Hasil positif pada metode kertas turmerik ditunjukkan oleh
adanya perubahan warna pada kertas kurkumin dari kuning cerah menjadi coklat tua
kemerahan. Pada suasana asam, sampel yang mengandung boraks berwarna merah
kecoklatan, sementara pada suasana basa, ketika dikenai uap amonia maka akan berubah
sedikit kebiruan (Suharyani et al., 2021).

Gambar x. Contoh hasil uji boraks pada sampel sosis

B. Uji Organoleptik
Daging merupakan bahan pangan dengan kandungan gizi tinggi, lengkap, dan
seimbang yang sangat bermanfaat bagi manusia terutama sebagai sumber protein hewani
yang dibutuhkan oleh tubuh. Daging sapi juga merupakan bahan pangan asal ternak yang
memiliki kandungan nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral, dan sedikit karbohidrat
(glikogen dan glukosa) (Sinaga et al., 202). Namun, gizi tinggi yang terkandung pada
daging merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, sehingga daging
merupakan suatu bahan pangan yang mudah rusak. Kerusakan pada daging dapat
disebabkan oleh benturan fisik, perubahan kimia, maupun aktivitas mikroba (Usman,
2022). Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih
jenis daging tertentu, antara lain cita rasa, budaya, kepercayaan kandungan nutrient, dan
kualitas fisik daging (Sriyani et al., 2015). Secara keseluruhan, kualitas daging
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pakan yang dikonsumsi sapi semasa hidupnya,
kondisi kesehatan, perlakuan terhadap ternak sapi sebelum dipotong dan setelah
dipotong, serta pengaruh mikroorganisme. Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain: genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, umur,
pakan, aditif, dan stress. Faktor setelah pemotongan meliputi pemotongan, pelayuan,
pembersihan sampai dengan pemasakan (Wibisono, 2015). Faktor kualitas daging
ditentukan oleh keempukan atau tekstur, warna, flavour atau cita rasa termasuk bau dan
kesan jus daging (juiciness) (Sinaga et al., 2021). Penurunan kualitas daging secara fisik
dan kimiawi dapat diketahui dari beberapa metode pengujian kualitas daging diantaranya
adalah uji organoleptik (warna, bau, konsistensi), pH, pengujian susut masak, dan awal
pembusukan (eber dan postma) (Wibisono, 2015).
Pada kegiatan laboratorium di bidang keamanan pangan DKPP Kota Bandung,
didapatkan 4 sampel daging yang diperoleh secara aktif dari salah satu pasar di Kota
Bandung. Keempat sampel tersebut dilakukan pemeriksaan kualitas daging dengan uji
organoleptik. Menurut Usman (2022), pemeriksaan organoleptik pada daging memiliki
prinsip uji yang dilakukan dengan menggunakan pancaindra. Dari keempat sampel,
masing-masing sampel daging diamati warna, bau dan konsistensinya. Hasil pemeriksaan
kualitas daging dengan uji organoleptik pada keempat sampel terangkum pada tabel
dibawah ini.

Tabel x. Hasil uji organoleptik pada sampel daging

No. Uji Organoleptik Sampel


D1 D2 D3 D4
1. Bau Khas Khas Khas Khas
2. Warna Merah Pucat Merah Merah
3. Konsistensi Kering, Kenyal Kenyal Kering
sedikit keras
Keterangan:

Sampel D1 dan D3 : daging sapi


Sampel D2 dan D4 : daging domba

Gambar x. Sampel daging uji organoleptik

Daging segar yang berkualitas baik, secara fisik maupun kimiawi akan memiliki
perbedaan kualitas dengan daging busuk. Cara sederhana yang paling mudah untuk
mengetahui kualitas daging dapat dilihat melalui warna, bau, dan konsistensi daging
(Sinaga et al., 2021). Menurut Wibisono (2014), daging sapi segar memiliki warna merah
terang, sedangkan bau nya memiliki khas daging sapi dan konsistensi yang kenyal. Pada
pemeriksaan warna, pemeriksaan dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada
keempat sampel yang telah diletakkan didalam cawan petri kering dan bersih.
Berdasarkan pemeriksaan warna, didapatkan hasil bahwa sampel daging 2 memiliki
warna yang lebih pucat dibandingkan dengan ketiga sampel lainnya. Faktor utama yang
dapat mempengaruhi penentu utama warna daging adalah konsentrasi pigmen daging
yang disebut mioglobin (Usman, 2022). Selain ditentukan oleh pigmen daging, warna
daging juga dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, pakan, aktivitas otot,
penanganan daging, dan reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di dalam daging (Sinaga et
al., 2021). Menurut BBPP Batu (2012), warna daging sapi memiliki warna yang lebih
gelap jika dibandingkan dengan warna daging domba.
Aroma atau bau merupakan salah satu sifat sensori penting yang dapat
mempengaruhi daya terima (akseptabilitas) konsumen terhadap bahan pangan. Kualitas
daging yang baik dapat dinilai dari aromanya. Daging yang segar memiliki bau yang
khas. Jika daging yang sudah rusak akan tercium bau tidak sedap, bau ini disebabkan oleh
aktifitas mikroorganisme (Usman, 2022). Pada pemeriksaan bau dari keempat sampel,
didapatkan hasil bahwa seluruh sampel memiliki bau khas daging dan tidak ada satupun
daging yang memiliki bau tidak sedap. Aroma pada daging dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah jenis hewan, pakan, umur daging, jenis kelamin,
lemak, lama waktu, dan kondisi penyimpanan. Selain itu, aroma daging dari hewan
dengan usia tua relatif lebih kuat dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari
hewan jantan memiliki aroma yang lebih kuat daripada hewan betina (Sinaga et al.,
2021).
Tekstur daging merupakan penampakan bagian luar daging untuk mengetahui
kasar dan halusnya daging. Menilai tekstur suatu bahan adalah salah satu unsur kualitas
bahan pangan yang dapat dirasa dengan cara diraba ujung jari (usman, 2022).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan perabaan ujung jari, pada sampel daging 1 dan 4
memiliki konsistensi yang kering dan sedikit keras, sedangkan daging 2 dan 3 memiliki
konsistensi yang kenyal. Pada sampel daging 2 dan 3 terbukti kualitas teksturnya dengan
kembalinya daging kebentuk semula setelah dilakukan penekanan dengan tangan. Daging
segar memiliki tekstur kenyal, padat dan tidak kaku, bila ditekan dengan tangan, bekas
pijatan kembali ke bentuk semula (Sinaga et al., 2021).

3.3 Bidang Rumah Potong Hewan


A. Rumah Potong Hewan Ruminansia
a. Kajian Penilaian Kesejahteraan Hewan di RPH
Tingginya permintaan konsumen terhadap daging sapi, menyebabkan
intensitas pemotongan yang meningkat. Di beberapa rumah potong hewan (RPH),
karena tingginya permintaan pemotongan, maka cara pemotongan hewan menjadi
kurang diperhatikan. Cara pemotongan hewan memiliki kesesuaian aspek yang
harus dipenuhi yaitu aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan (animal
welfare) yang sesuai dengan ketentuan Office International des Epizooties (OIE)
sebagai organisasi kesehatan hewan dunia (Wijoyo et al., 2020). Masih adanya
RPH yang kurang memperhatikan aspek-aspek tersebut menyebabkan kasus
kesejahteraan hewan menjadi salah satu permasalahan dalam proses pemotongan
hewan. Terdapat hal-hal yang harus diperhatikan pada proses penyembelihan
hewan yang sesuai dengan kaidah kesejahteraan hewan, yakni penurunan hewan
dari truk ke kandang penampungan, penggiringan hewan dari kandang
penampungan hewan menuju ruang pemotongan, perebahan hewan, proses
penyembelihan hewan dan penentuan kematian hewan. Menurut Mandala et al.
(2016), keuntungan pemotongan hewan dengan pendekatan animal welafere dapat
memudahkan ketika proses penanganan hewan, memperkecil terjadinya
kecelakaan hewan dan tukang potong, memperoleh kualitas daging yang ASUH
(aman, sehat, utuh dan halal), tidak menurunkan kandungan gizi serta tidak
membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi daging.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 95 tahun 2012 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, proses pemotongan hewan
merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai dari kedatangan hewan hingga
tersembelih dan dilakukannya pemeriksaan karkas serta jeroan dengan
memperhatikan berbagai aspek termasuk kesejahteraan hewan. Pada kegiatan
penyembelihan hewan, terdapat dua kegiatan utama yang perlu dilakukan yaitu
(Hidayat, 2023):
1. Kegiatan memasukkan ternak ke dalam area RPH yang dimulai dari
menurunkan ternak (unloading) hingga membawa atau meninggiring ternak
ke dalam kandang penampungan.
2. Pengistirahatan ternak di dalam kandang penampungan dengan pemberian
pakan dan minum secukupnya.

Sapi yang telah datang di RPH, diturunkan dari mobil angkutan ke tempat
unloading dengan perlakuan yang menjunjung kesejahteraan hewan. Menurut
Mandala et al. (2016), hewan ternak harus diturunkan 30 menit setelah truk
sampai untuk mengurangi tingkat stres pada hewan selama perjalanan. Untuk
menunjang proses penurunan sapi, diperlukan fasilitas berupa rampa agar sapi
tidak cedera akibat melompat atau tergelincir. Rampa merupakan sarana untuk
memindahkan sapi dari/ke kendaraan pengangkut. Fasilitas rampa yang
digunakan perlu memenuhi persyaratan yaitu ketinggiannya harus disesuaikan
dengan ketinggian kendaraan pengangkut, memiliki lantai yang tidak licin, dan
dapat meminimalisir terjadinya kecelakaan (Hidayat, 2023). Menurut Hidayat
(2023), desain rampa yang ideal untuk hewan ternak di RPH adalah sebagai
berikut:

1. Jalur untuk sapi naik memiliki lebar 60 - 80 cm


2. Jalur untuk sapi turun memiliki lebar 2,6 – 2,9 m
3. Memiliki pintu model geser
4. Memiliki tinggi landasan 1,5 m atau ketinggiannya disesuaikan dengan
tinggi lantai dasar bak truk pengangkut sapi
5. Lebar bibir landasan rampa 20 – 30 cm
6. Memiliki kemiringan sudut 20 – 30°
7. Lantai landasan tidak licin dan dilengkapi pagar penahan

Gambar x. Contoh desain rampa di RPH. a) jalur sapi naik; b) jalur sapi turun; c)
pintu geser rampa; d) tinggi landasan; e) lebar bibir landasan; f) kemiringan
rampa; g) lantai landasan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, Rumah Potong Hewan
(RPH) Ciroyom Kota Bandung, secara umum memiliki desain rampa yang telah
memenuhi kriteria rampa yang ideal untuk proses unloading sapi. Rampa yang
terdapat di RPH Ciroyom merupakan jenis rampa permanen, memiliki pagar
penahan, kemiringan sudut sekitar 20 – 30°, pagar penutup, dan lantai yang tidak
licin. Tetapi, pada desain rampa di RPH Ciroyom ini tidak dibedakan jalur untuk
sapi naik dan turun sehingga rampa hanya memiliki satu jalur.

Gambar x. Desain rampa di RPH Ciroyom Kota Bandung


Sapi yang telah diturunkan dari mobil pengangkut kemudian diarahkan
menuju kandang penampungan dengan melewati gangway. Fasilitas gangway
harus memiliki desain yang kuat, aman, tidak licin, tidak ada bagian yang tajam,
berukuran tertentu sehingga sapi tidak bisa keluar dari jalur, tidak bisa berputar,
tidak bisa berbalik arah (Hidayat, 2023). Setelah sapi berada di kandang
penampungan, sapi perlu diistirahatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan proses
penyembelihan. Pengistirahatan sapi dilakukan dengan memuasakan pakan
terlebih dahulu dan diistirahatkan selama 12 sampai 24 jam di kandang
penampungan. Tujuan dilakukannya pengistirahatan sapi sebelum penyembelihan
adalah menghindari stress pada sapi, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan
cukup tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna. Selain itu, sapi
yang telah menempuh perjalanan perlu diistirahatkan karena sapi yang langsung
disembelih tanpa pengistirahatan akan menghasilkan daging yang berwarna gelap
yang biasa disebut dark cutting meat, karena ternak mengalami stres (Beef Stress
Syndrome), sehingga sekresi hormon adrenalin meningkat dan menyebabkan
adanya gangguan metabolisme glikogen pada otot (Mandala et al., 2016). Sapi
yang telah diistirahatkan kemudian dapat digiring ke stunning box melalui
gangway untuk dapat melanjutkan proses penyembelihan.

Gambar x. Gangway di RPH Ciroyom Kota Bandung

Gambar x. Kandang penampungan di RPH Ciroyom Kota Bandung

Menurut UU No. 18 Tahun 2009 pasal 66 bagian kesejahteraan hewan,


tindakan yang berkaitan dengan pemotongan dan pembunuhan hewan harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut
dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan. Selain itu, menurut Peraturan
Pemerintah No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Kesejahteraan Hewan, pada proses penyembelihan hewan yang dilakukan di RPH
tidak boleh menyebabkan hewan tersakiti, ketakutan, dan stress. Oleh karena itu,
dilakukan metode stunning terlebih dahulu sebelum proses penyembelihan (Akbar
& Ramli, 2017). Metode stunning atau pemingsanan pada sapi sebelum dilakukan
proses penyembelihan merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk
memaksimalkan poin kesejahteraan hewan bebas dari rasa sakit dan takut ketika
dilakukan penyembelihan (Mandala et al., 2016).

Gambar x. Stunning box RPHR Ciroyom Kota Bandung


Proses pemingsanan atau stunning pada sapi harus dilakukan satu kali
dengan tepat sasaran. Pelaksanaan metode stunning yang tidak tepat dapat
menimbulkan resiko yang menyebabkan sapi mati sebelum disembelih. Sapi yang
mati sebelum disembelih akan menjadi bangkai dan berdampak pada status halal
dari daging sapi tersebut sehingga bersifat haram untuk dikonsumsi oleh
konsumen muslim (Akbar & Ramli, 2017). Menurut Standari Nasional Indonesia
(SNI) 99003 2018, pemingsanan sapi dilakukan dengan persyaratan sebagai
berikut:
1. RPH harus memiliki sarana kekang sapi (gangway dan stunning box),
platform atau tempat operator berdiri, sarana pemingsanan (stunner gun) dan
operatornya (stunner man).
2. Penggunaan mesin stunning hanya bertujuan untuk membuat rebahnya hewan
di tempat penyembelihan serta meringankan rasa sakit saat penyembelihan.
3. Jika telah terjadi proses pemingsanan tetapi penyembelihan tidak jadi
dilaksanakan, maka hewan akan bangun, berdiri dan segar seperti semula dan
dapat meninggalkan tempat penyembelihan tanpa bantuan (fully reversible).
4. Perlu dilakukan pemantauan terhadap tingkat keberhasilan stunning. Kriteria
keterterimaan stunning didasarkan pada pedoman yang tercantum dalam SNI
99003 2018.
5. Setelah penyembelihan, darah harus memancar seirama dengan denyut
jantung.
6. Penyelia halal melakukan pemeriksaan kelayakan stunning dan
penyembelihan serta medokumentasikan hasil pemeriksaan tersebut.

Terdapat tiga metode pemingsanan yang dapat dilakukan pada sapi yaitu
metode fisik/mekanis, metode kimiawi, dan metode listrik. Proses pemingsanan
sapi yang dilakukan di RPH Ciroyom Kota Bandung adalah secara fisik/mekanis
dengan memberikan tekanan pada kepala sapi di titik khusus (os frontal, pusat
kesadaran dan rasa sakit) dan membuat hewan tersebut kehilangan kesadaran
secara langsung. Jenis stunner yang diperbolehkan adalah stunner yang bersifat
non-penetrative yang terbagi menjadi dua jenis yaitu (Hidayat, 2023):

1. Stunner Gun tipe Pneumatic Percussive Stunning, merupakan stunner


berkekuatan angin atau udara terkompresi sebesar 160 – 190 psi atau 10 – 15
bar. Jenis stunner gun ini adalah stunner tanpa peluru hampa, sehingga untuk
penggunaannya membutuhkan pasokan listrik yang tinggi.
2. Stunner gun tipe Captive Bolt, merupakan stunner dengan bentuk silinder dan
penggunaannya memakai cartridge atau peluru. Stunner gun tipe captive bolt
memiliki beberapa jenis yang berbeda-beda tergantung kebutuhan
pemakaiannya. Pemakaian captive bolt disesuaikan dengan bobot badan sapi
sehingga sebelum proses pemingsanan harus diketahui terlebih dahulu bobot
sapi yang akan disembelih.
Tabel x. Jenis peluru stunner gun tipe captive bolt

Bobot Sapi Peluru

150 – 250 Kg Kuning


250 – 400 Kg Oranye
350 – 500 Kg Hitam
500 – 550 Kg Hijau
> 551 Kg Merah

Gambar x. Stunner gun tipe pneumatic percussive stunning

Gambar x. Stunner gun tipe captive bolt

Pemingsanan dengan stunner gun dilakukan pada lokasi penembakan yang


berada 2 cm diatas titik hasil persilangan garis antara mata dan tanduk. Stunner
gun diarahkan ke arah kepala sapi secara tegak lurus dari permukaan os frontal,
setelah tepat sasaran maka stunner gun dapat ditembakkan. Sapi yang telah
ditembak oleh stunner gun secara tepat, maka akan pingsan dengan segera. Sapi
dapat dinyatakan pingsan dengan baik jika tidak ada reflek kornea mata, tidak ada
gerakan berputar bola mata (nystagmus/ rotated eyeball), dilatasi pupil dan reaksi
menendang minimal saat disentuh (Hidayat, 2023). Setelah sapi dipastikan
pingsan, sapi dapat dikeluarkan dari stunning box lalu disembelih. Proses
penyembelihan harus dilakukan oleh Juru Sembelih Halal (juleha) dalam satu kali
sayatan. Penyembelihan yang baik memiliki syarat pemotongan yaitu
terpotongnya trachea, esophagus, vena jugularis dan arteri carotis communis.
Sapi yang telah disembelih kemudian dilakukan pemisahan ekstrimitas, kepala,
dan ekor, pengulitan, pemisahan jeroan, pemeriksaan postmortem, dan pemberian
cap pada karkas.

Gambar x. Lokasi penembakan stunner gun

b. Kajian Penilaian Kelayakan Desain RPH


Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 13 Tahun tentang Persyaratan
Rumah Potong Hewan Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting
Plant), Rumah Potong Hewan merupakan bangunan atau kompleks bangunan atau
kompleks bangunan yang didesain khusus untuk memenuhi persyaratan teknis
dan higienis tertentu serta digunakan sebagai unit pemotongan hewan. Adanya
permentan tersebut dapat berfungsi sebagai acuan dan dasar hukum bagi siapapun
yang hendak membangun dan mengembangkan RPH. Definisi RPH juga
disebutkan dalam SNI 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan yaitu
RPH merupakan kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang
memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat
memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat umum. Hewan
potong menurut definisi SNI adalah hewan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing,
domba, burung unta, dan hewan lain yang dagingnya lazim dan layak dikonsumsi
oleh manusia. Di RPH milik Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota
Bandung terdapat dua jenis RPH yaitu Rumah Potong Hewan Ruminansia dan
Rumah Potong Hewan Babi.
Rumah potong hewan merupakan unit pelayanan penyediaan daging yang
siap untuk dipasarkan ke masyarakat. RPH yang baik harus memenuhi standar
yang terdiri dari 3 aspek yang telah ditentukan. 3 aspek penilaian RPH yang baik
yaitu aspek teknis, teknologi dan lingkungan. Apabila ketiga aspek sudah
terpenuhi maka RPH sudah dapat menghasilkan produk yang baik serta
mengurangi dampak negatif bagi lingkungan. Aspek tersebut harus disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/Ot.140/1/2010 tetang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminasia dan Penanganan Daging (Meat
Cutting Plan). RPH yang tidak memenuhi standar akan berdampak negatif bagi
lingkungan dari segi social, ekonomi, lingkungan maupun kesehatan (Alpina et
al., 2021). Tabel dibawah ini merupakan tabel ringkasan evaluasi terhadap RPHR
Ciroyom Kota Bandung yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.13
Tahun 2010.
Tabel x. Evaluasi kelayakan desain RPHR Ciroyom Kota Bandung

Indikator Keterangan Dokumentasi


Persyaratan Teknis
RPH merupakan unit
a. Sudah sesuai
pelayanan masyarakat
b. Sudah sesuai
dalam penyediaan daging
c. Sudah sesuai
yang aman, sehat, utuh, dan
halal, serta berfungsi
sebagai sarana untuk
melaksanakan:
a. pemotongan hewan
secara benar, (sesuai
dengan persyaratan
kesehatan masyarakat
veteriner,
kesejahteraan hewan
dan syariah agama)
b. pemeriksaan kesehatan
hewan sebelum
dipotong (ante-mortem
inspection) dan
pemeriksaan karkas,
dan jeroan (post-
mortem inspektion)
untuk mencegah
penularan penyakit
zoonotik ke manusia
c. pemantauan dan
surveilans penyakit
hewan dan zoonosis
yang ditemukan pada
pemeriksaan ante-
mortem dan
pemeriksaan post-
mortem guna
pencegahan,
pengendalian, dan
pemberantasan
penyakit hewan
menular dan zoonosis
di daerah asal hewan.
Persyaratan Lokasi
Lokasi RPH harus sesuai Sudah sesuai
dengan Rencana Umum
Tata Ruang Daerah
(RUTRD) dan Rencana
Detil Tata Ruang Daerah
(RDTRD) atau daerah yang
diperuntukkan sebagai area
agribisnis
Lokasi RPH harus a. DKPP Kota
memenuhi persyaratan: Bandung
a. Tidak berada di daerah berada di lokasi
rawan banjir, tercemar yang rawan
asap, bau, debu, dan tercemar oleh
kontaminan lainnya asap, bau, dan
b. Tidak menimbulkan debu karena
gangguan dan kantor berada
pencemaran di jalan raya
lingkungan besar. Tetapi
c. Letaknya lebih rendah lokasi RPH
dari pemukiman berada di
d. Mempunyai akses air dalam
bersih yang cukup lingkungan
untuk pelaksanaan belakang
pemotongan hewan kantor DKPP
dan kegiatan Kota Bandung
pembersihan serta sehingga jauh
desinfeksi dari jalan raya.
e. Tidak berada dekat b. Sudah sesuai
industri logam dan c. Sudah sesuai
kimia d. Sudah sesuai
f. Mempunyai lahan e. Sudah sesuai
yang cukup untuk f. Sudah sesuai
pengembangan RPH g. Sudah sesuai
g. Terpisah secara fisik
dari lokasi kompleks
RPH babi atau dibatasi
dengan pagar tembok
dengan tinggi minimal
3 meter untuk
mencegah lalu lintas
orang, alat, dan produk
antar rumah potong
Persyaratan Sarana Pendukung
RPH harus dilengkapi a. Sudah sesuai a.
dengan sarana/prasarana b. Sudah sesuai
pendukung paling kurang c. Sudah sesuai
meliputi: d. Sudah sesuai
a. Akses jalan yang baik
menuju RPH yang
dapat dilalui
kendaraan pengangkut
hewan potong dan
d.
kendaraan daging
b. Sumber air yang
memenuhi persyaratan
baku mutu air bersih
dalam jumlah cukup,
paling kurang 1.000
liter/ekor/hari
c. Sumber tenaga listrik
yang cukup dan
tersedia terus menerus
d. Fasilitas penanganan
limbah padat dan cair.
Persyaratan Tata Letak, Disain, dan Konstruksi (Pasal 8)
Kompleks RPH harus Komplek RPH tidak
dipagar, dan harus memiliki memiliki pagar tetapi
pintu yang terpisah untuk memiliki pintu
masuknya hewan potong terpisah untuk
dengan keluarnya karkas masuknya hewan
dan daging potong dengan
keluarnya karkas dan
daging
Bangunan dan tata letak a. Sudah sesuai
dalam kompleks RPH b. Sudah sesuai
paling kurang meliputi: c. Sudah sesuai
a. bangunan utama d. Sudah sesuai
b. area penurunan hewan e. Terdapat ruang
(unloading sapi) dan pelayuan tetapi
kandang sudah tidak
penampungan/kandan digunakan
g istirahat hewan f. Sudah sesuai
c. kandang penampungan g. Sudah sesuai
khusus ternak h. Sudah sesuai
ruminansia betina i. Sudah sesuai
produktif j. Sudah sesuai
d. kandang isolasi k. Sudah sesuai
e. ruang pelayuan l. Sudah sesuai
berpendingin (chilling m. Sudah sesuai
room)
f. area pemuatan
(loading)
karkas/daging
g. kantor administrasi
dan kantor Dokter
Hewan
h. kantin dan mushola
i. ruang istirahat
karyawan dan tempat
penyimpanan barang
pribadi (locker)/ruang
ganti pakaian
j. kamar mandi dan WC
k. fasilitas pemusnahan
bangkai dan/atau
produk yang tidak
dapat dimanfaatkan
atau incinerator
l. sarana penanganan
limbah
m. rumah jaga

Dalam kompleks RPH yang RPH Ciroyom


menghasilkan produk akhir merupakan tempat
daging segar dingin usaha pemotongan
(chilled) atau beku (frozen) hewan yang
harus dilengkapi dengan: memiliki bentuk
a. ruang pelepasan akhir hanya berupa
daging (deboning daging segar, tanpa
room) dan adanya penanganan
pemotongan daging apapun
(cutting room)
b. ruang pengemasan
daging (wrapping and
packing)
c. fasilitas chiller
d. fasilitas freezer dan
blast freezer
e. gudang dingin (cold
storage).
RPH berorientasi ekspor Daging yang
dilengkapi dengan dihasilkan dari RPH
laboratorium sederhana Ciroyom Kota
Bandung
diorientasikan untuk
wilayah dalam negeri

Secara garis besar, RPHR Ciroyom Kota Bandung telah memenuhi


persyaratan didirikannya RPH berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 13
Tahun 2010 seperti persyaratan teknis, persyaratan lokasi, persyaratan sarana
pendukung. Namun, pada persyaratan tata letak, disain, dan konstruksi terdapat
poin yang belum memenuhi nilai kelayakan diantaranya adalah dinding yang
kurang berwarna terang dan lantai yang licin, tidak adanya pagar pembatas pada
kompleks RPHR, dan tidak memiliki ruang penanganan daging karena RPH
Ciroyom hanya menghasilkan daging potong segar.

h. Kajian Sanitasi Lingkungan RPH


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 95 Tahun 2012, sanitasi memiliki
definisi sebagai usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau
mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan
penyakit tersebut. Dalam praktek sehari-hari di RPHR, higien sanitasi adalah
kegiatan menjaga kebersihan di seluruh tahap kegiatan penyembelihan sapi serta
menghindari, mengurangi hingga menghilangkan bahaya atau zat atau materi
yang dapat mengganggu kesehatan manusia (bahaya fisik, bahaya biologi dan
bahaya kimia) (Hidayat, 2023). Praktek higiene dan sanitasi di RPHR Ciroyom
telah dibuktikan melalui terdapatnya sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
Sertifikasi NKV adalah sertifikasi sebagai bukti tertulis yang sah telah
dipenuhinya higiene dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan pada
unit usaha produk hewan (Puspitawati et al.,, 2021). Menurut Peraturan Menteri
Pertanian No. 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol
Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan adalah setiap unit usaha Pangan Asal
Hewan (PAH) wajib memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) yaitu sertifikat
sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higiene sanitasi
sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha
pangan asal hewan.
Pada pelaksanaan praktek sanitasi, RPH Ciroyom Kota Bandung
melakukan pembersihan area RPH secara berkala yang dilakukan setiap kali
adanya pemotongan. RPH Ciroyom Kota Bandung memiliki form checklist yang
digunakan setiap harinya untuk kontroling kebersihan area RPH. Praktek sanitasi
dan higiene yang telah dilakukan oleh RPH Ciroyom telah bersertifikasi NVK
yang ditetapkan pada Agustus 2017. Dengan adanya sertifikat NKV, maka RPHR
Ciroyom Kota Bandung telah secara tertulis memenuhi persyaratan higiene dan
sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan pangan nasal hewan.
Gambar x. Sertifikat NKV RPHR Ciroyom Kota Bandung

Gambar X. Form checklist pengawasan dan pengendalian lingkungan RPH


Ciroyom Kota Bandung

B. Rumah Potong Hewan Babi


a. Ante-mortem Babi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 13 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging
(Meat Cutting Plant) disebutkan bahwa pemotongan hewan adalah kegiatan untuk
menghasilkan daging hewan yang terdiri dari pemeriksaan ante-mortem,
penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem.
Pemeriksaan ante-mortem (ante-mortem inspection) adalah pemeriksaan
kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas
pemeriksa berwenang. Maksud dari dilakukannya pemeriksaan ante-mortem
adalah untuk menyaring hewan sakit dan hewan sehat sehingga hewan yang akan
disembelih hanyalah hewan sehat, normal dan memenuhi syarat, sebaliknya,
ternak yang sakit sebaiknya tidak dipotong. Tujuan pemeriksaan ante-mortem
agar daging dan jeroan yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang
benar-benar sehat dan berkualitas (Swacita, 2017).
Pemeriksaan ante-mortem dilakukan oleh dokter hewan berwenang dan
dilakukan di kandang penampungan maksimal 24 jam sebelum hewan disembelih.
Hal tersebut sesuai dengan PERMENTAN No. 13 Tahun 2010 bahwa dokter
hewan penanggungjawab teknis adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh
Manajemen RPH berdasarkan rekomendasi dari Gubernur/Bupati/ Walikota yang
bertanggungjawab dalam pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem serta
pengawasan di bidang kesehatan masyarakat veteriner di RPH serta definisi
kandang penampung yaitu kandang yang digunakan untuk menampung hewan
potong sebelum pemotongan dan tempat dilakukannya pemeriksaan ante-mortem.
Adapun prosedur pemeriksaan kesehatan ante-mortem adalah sebagai berikut
(Swacita, 2017):
1. Pemeriksaan kesehatan ante-mortem dilakukan maksimal 24 jam sebelum
hewan dipotong, jika melibihi waktu tersebut, maka dilakukan pemeriksaan
ante-mortem ulang.
2. Hewan harus diistirahatkan minimal 12 jam sebelum dipotong. Untuk
memulihkan kadar glikogen pada hewan dan juga menghindari hewan dari
stres agar daging yang diperoleh berkualitas, maka hewan wajib
diistirahatkan.
3. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati gejala klinis dan patognomonik.
a. Pengamatan (inspeksi) terhadap sikap dan kondisi (status gizi, sistem
pernafasan, sistem pencernaan dan lain-lain), sikap berdiri atau bergerak
yang dilihat dari segala arah. Hewan dibangunkan dan diperhatikan waktu
bergerak. Hewan lumpuh atau patah kaki, bergerak kaku dll, dipindahkan
ke kandang khusus untuk mendapat pemeriksaan yang lebih teliti.
b. Pengamatan terhadap lubang-lubang kumlah (mulut), telinga, hidung,
anus), serta kelenjar getah bening (limfoglandula superficialis) pada
hewan, apakah terdapat pembengkakan atau tidak. Adanya kotoran pada
mata, keluar cairan pada mata, (lakrimasi) dan keluar leleran pada hidung
juga dilakukan pencatatan.
c. Pengamatan kemungkinan adanya babi bunting.

Setelah dilakukan pemeriksaan ante-mortem, status kesehatan hewan telah


dapat diketahui. Menurut BBPP Batu (2019), ciri hewan sehat adalah sebagai
berikut:

1. Kepala tegak dan sigap


2. Mata yang bening, hidung yang basah dan tidak meludah berlebihan
3. Kotoran berkonsistensi normal dan tidak berdarah
4. Warna kencing berwarna kuning-jerami
5. Tidak menampakkan masalah dalam bergerak
6. Bernafas normal dan tidak bersuara
7. Berinteraksi dan beraktifitas dengan lingkungannya
8. Gusi yang merah muda dan sehat dan mukosa yang sehat pula
9. Tidak bersuara atau berteriak, menggiling gigi, kejang-kejang atau
melengkungkan punggung
10. Tidak adanya tanda-tanda kesakitan, abses, luka, memar, patah
11. Tidak adanya tanda-tanda stres panas maupun dingin
Gambar x. Ternak babi di kandang penampungan

Tabel x. Nilai normal suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan pulsus babi

Suhu Tubuh Frekuensi Napas Frekuensi Pulsus


(°C) (per menit) (per menit)
38,9 – 39,8 83 55 – 86

Setelah serangkaian pemeriksaan ante-mortem dilakukan, maka akan


didapatkan keputusan akhir pemeriksaan ante-mortem yang terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu (BBPP Batu, 2019)
1. Kelompok hewan yang dapat dipotong regular, yaitu kelompok hewan yang
sehat, normal, dan memenuhi syarat (tidak melanggar peraturan pemotongan)
2. Kelompok hewan yang ditolak untuk dipotong, yaitu kelompok hewan yang
menderita penyakit, abnormal, dan melanggar peraturan pemotongan. Contoh
hewan untuk kelompok ini adalah hewan sakit, hewan cacat, hewan betina
produktif, bibit, hewan bunting, dan hewan yang umurnya terlalu muda.
3. Kelompok hewan yang ditunda untuk dipotong, yaitu hewan yang menderita
kelainan lokal seperti patah kaki/fraktur, luka, memar, abses,
neoplasma/tumor, dan kondisi hewan tersebut meragukan. Hewan kelompok
ketiga ini dipisahkan dari pemotongan regular hingga pemotongan selesai
dilakukan.
b. Kelayakan Desain RPBH Babi
Berdasarkan definisi SNI 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan
Hewan, RPH merupakan kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi
khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat
umum. Menurut definisi hewan potong dari SNI, babi merupakan salah satu
hewan yang dagingnya layak potong dan lazim untuk dikonsumsi sehingga
termasuk kedalam golongan hewan potong. Rumah pemotongan hewan
merupakan titik kritis pertama yang menentukan keamanan produk daging yang
dijual di masyarakat. Oleh karena itu, dalam penjaminan hasil keamanan pangan,
titik kritis penularan zoonosis kepada manusia dimulai dari titik awal penyediaan
daging. RPH yang berkualitas akan turut mendorong terciptanya keamanan
pangan bagi manusia dimana kualitas ini dapat dinilai dari pelaksanaan RPH yang
sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah ditetapkan (Lawu et al.,
2014). Mengacu pada SNI 01-6159-1999, sebelum dilakukan Pembangunan RPH,
terdapat standar penting agar pembangunannya dapat menciptakan RPH yang
berkualitas baik. Standar yang diatur dalam SNI tentang rumah potong hewan
meliputi persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, higiene
sanitasi karyawan dan perusahaan, pengawasan kesmavet, kendaraan pengangkut
daging, ruang pendingin/pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas dan
pengemasan daging serta laboratorium. Tabel dibawah ini merupakan ringkasan
evaluasi terhadap RPHB Ciroyom Kota Bandung yang mengacu pada SNI 01-
6159-1999.
Tabel x. Evaluasi kelayakan desain RPHB Ciroyom Kota Bandung

Indikator Keterangan Dokumentasi


Persyaratan Lokasi
Lokasi RPH harus sesuai Sudah sesuai
dengan Rencana Umum
Tata Ruang Daerah
(RUTRD) dan Rencana
Detil Tata Ruang Daerah
(RDTRD) atau daerah yang
diperuntukkan sebagai area
agribisnis
Tidak berada di bagian kota Sudah sesuai
yang padat penduduknya
serta letaknya lebih rendah
dari pemukiman penduduk,
tidak menimbulkan
gangguan atau pencemaran
lingkungan.
Tidak berada dekat industri Sudah sesuai
logam dan kimia, tidak
berada di daerah rawan
banjir, bebas dari asap, bau,
debu dan kontaminan
lainnya.
Memiliki lahan yang relatif
datar dan cukup luas untuk
pengembangan rumah
pemotongan hewan.
Persyaratan Sarana
Rumah Pemotongan a. Sudah sesuai
Hewan harus dilengkapi b. Sudah sesuai
dengan : c. Sudah sesuai
a. Sarana jalan yang d. Sudah sesuai
baik menuju Rumah e. Sudah sesuai
Pemotongan Hewan
yang dapat dilalui
kendaraan
pengangkut hewan
potong dan kendaraan
daging.
b. Sumber air yang
cukup dan memenuhi
persyaratan SNI 01-
0220-1987
c. Persediaan air yang
minimum harus
disediakan untuk babi
450 liter/ekor/hari.
d. Sumber tenaga listrik
yang cukup.
e. Pada Rumah
Pemotongan Hewan
Babi harus ada
persediaan air panas
untuk pencelupan
sebelum pengerokan
bulu.
Pada Rumah Pemotongan Sudah sesuai
Hewan seyogyanya
dilengkapi dengan instalasi
air bertekanan dan/atau air
panas (suhu 80°C).
Persyaratan Bangunan dan Tata Letak
Kompleks Rumah a. Sudah sesuai
Pemotongan Hewan harus b. Sudah sesuai
terdiri dari: c. Sudah sesuai
a. Bangunan Utama d. Sudah sesuai
b. Kandang Penampung e. Terdapat
dan Istirahat Hewan tempat
c. Kandang Isolasi istirahat,
d. Kantor Administrasi kanntin, dan
dan Kantor Dokter mushola
Hewan berbentuk
e. Tempat Istirahat majjd’
Karyawan, Kantin f. Sudah sesuai
dan Mushola g. Sudah sesuai
f. Tempat Penyimpanan h. Sudah sesuai
Barang Pribadi
(locker)/Ruang Ganti
Pakaian
g. Kamar Mandi dan
WC
h. Sarana Penanganan
Limbah
Kompleks Rumah Sudah sesuai, pintu
Pemotongan Hewan harus masuk RPHB
dipagar sedemikian rupa terpisah dari pintu
sehingga dapat mencegah keluar daging
keluar masuknya orang
yang tidak berkepentingan
dan hewan lain selain
hewan potong. Pintu masuk
hewan potong harus
terpisah dari pintu keluar
daging.
Kompleks Rumah RPHB terpisah total
Pemotongan Hewan babi dengan dinding
harus dipisahkan dengan tembok RPHR dan
kompleks Rumah memiliki pagar
Pemotongan Hewan lain sekitar 3 m
dengan jarak yang cukup
jauh atau dibatasi dengan
tinggi pagar minimal 3
meter atau terpisah total
dengan dinding tembok
serta terletak di tempat
yang lebih rendah daripada
Rumah Pemotongan
Hewan lain.
Kendaraan Pengangkut Sudah sesuai
Daging harus dimiliki oleh
Rumah Pemotongan
Hewan.
Rumah Pemotongan RPH Ciroyom
Hewan seyogyanya merupakan tempat
dilengkapi dengan: usaha pemotongan
a. Ruang Pendingin hewan yang
(chilling room) atau memiliki bentuk
Ruang Pelayuan. akhir hanya berupa
b. Ruang Pembeku daging segar, tanpa
c. Ruang Pembagian adanya penanganan
Karkas (meat cutting apapun
room) dan
Pengemasan
d. Laboratorium
Sistem saluran a. Sudah sesuai
pembuangan limbah cair: b. Sudah sesuai
a. Sistem saluran c. Sudah sesuai
pembuangan limbah
cair harus cukup
besar, didisain agar
aliran limbah
mengalir dengan
lancar, terbuat dari
bahan yang mudah
dirawat dan
dibersihkan, kedap air
agar tidak mencemari
tanah, mudah diawasi
dan dijaga agar tidak
menjadi sarang tikus
atau rodensia lainnya.
Saluran pembuangan
dilengkapi dengan
penyaring yang
mudah diawasi dan
dibersihkan.
b. Di dalam kompleks
Rumah Pemotongan
Hewan, sistem
saluran pembuangan
limbah cair harus
selalu tertutup agar
tidak menimbulkan
bau.
c. Di dalam bangunan
utama, sistem saluran
pembuangan limbah
cair terbuka dan
dilengkapi dengan
grill yang mudah
dibuka-tutup, terbuat
dari bahan yang kuat
dan tidak mudah
korosif.
Bangunan utama Rumah a. Sudah sesuai
Pemotongan Hewan terdiri b. Sudah sesuai
dari:
a. Daerah kotor :
a) Tempat
pemingsanan,
tempat
pemotongan dan
tempat
pengeluaran
darah.
b) Tempat
penyelesaian
proses
penyembelihan
(pemisahan
kepala, keempat
kaki sampai tarsus
dan karpus,
pengulitan,
pengeluaran isi
dada dan isi perut)
c) Ruang untuk
jeroan,
d) Ruang untuk
kepala dan kaki
e) Ruang untuk kulit.
f) Tempat
pemeriksaan
postmortem
b. Daerah bersih :
a) Tempat
penimbangan
karkas
b) Tempat keluar
karkas
Jika Rumah Pemotongan Terdapat ruang
Hewan dilengkapi dengan pelayuan tetapi
Ruang pendingin/pelayuan, sudah tidak
ruang pembeku, ruang digunakan
pembagian karkas dan
pengemasan daging, maka
ruang-ruang tersebut
terletak di daerah bersih.
Bangunan utama Rumah a. Sudah sesuai
Pemotongan Hewan harus b. Sudah sesuai,
memenuhi persyaratan : dinding
a. Tata ruang : berwarna
a) Tata ruang harus terang dan
didisain agar mudah
searah dengan alur dibersihkan
proses serta c. Sudah sesuai,
memiliki ruang lantai mudah
yang cukup dibersihkan dan
sehingga seluruh tidak licin
kegiatan d. Sudah sesuai
pemotongan e. Sudah sesuai
hewan dapat
berjalan baik dan f. Sudah sesuai
higienis. g. Sudah sesuai
b) Tempat h. Sudah sesuai,
pemotongan pintu terbuat
didisain dari kayu
sedemikian rupa
sehingga
pemotongan
memenuhi
persyaratan halal.
c) Besar ruangan
disesuaikan
dengan kapasitas
pemotongan.
d) Adanya
pemisahan
ruangan yang
jelas secara fisik
antara “daerah
bersih” dan
“daerah kotor”.
e) Di daerah
pemotongan dan
pengeluaran darah
harus didisain
agar darah dapat
tertampung.
b. Dinding :
a) Tinggi dinding
pada tempat
proses
pemotongan dan
pengerjaan karkas
minimum 3 meter.
b) Dinding bagian
dalam berwarna
terang dan
minimum setinggi
2 meter terbuat
dari bahan yang
kedap air, tidak
mudah korosif,
tidak toksik, tahan
terhadap benturan
keras, mudah
dibersihkan dan
didesinfeksi serta
tidak mudah
mengelupas.
c. Lantai:
a) Lantai terbuat dari
bahan kedap air,
tidak mudah
korosif, tidak
licin, tidak toksik,
mudah
dibersihkan dan
didesinfeksi dan
landai ke arah
saluran
pembuangan.
b) Permukaan lantai
harus rata, tidak
bergelombang,
tidak ada celah
atau lubang
d. Sudut pertemuan :
a) Sudut pertemuan
antara dinding dan
lantai harus
berbentuk
lengkung dengan
jari-jari sekitar 75
mm.
e. Langit-langit :
a) Langit-langit
didisain agar tidak
terjadi akumulasi
kotoran dan
kondensasi dalam
ruangan.
b) Langit-langit
harus berwarna
terang, terbuat
dari bahan yang
kedap air, tidak
mudah
mengelupas, kuat,
mudah
dibersihkan serta
dihindarkan
adanya lubang
atau celah terbuka
pada langit-langit.
f. Pencegahan serangga,
rodensia dan burung:
a) Masuknya
serangga harus
dicegah dengan
melengkapi pintu,
jendela atau
ventilasi dengan
kawat kasa atau
dengan
menggunakan
metode
pencegahan
serangga lainnya.
b) Konstruksi
bangunan harus
dirancang
sedemikian rupa
sehingga
mencegah
masuknya tikus
atau rodensia,
serangga dan
burung masuk dan
bersarang dalam
bangunan.
g. Pertukaran udara
dalam bangunan
harus baik.
h. Pintu dibuat dari
bahan yang tidak
mudah korosif, kedap
air, mudah
dibersihkan dan
didesinfeksi dan
bagian bawahnya
harus dapat menahan
agar tikus/rodensia
tidak dapat masuk.
Pintu dilengkapi
dengan alat penutup
pintu otomatik.
i. Penerangan dalam
ruangan harus cukup
baik. Lampu
penerangan harus
mempunyai
pelindung, mudah
dibersihkan dam
mempunyai intensitas
penerangan 540 luks
untuk tempat
pemeriksaan
postmortem dan 220
luks untuk ruang
lainnya.

Secara garis besar, RPHB Ciroyom Kota Bandung telah memenuhi


persyaratan didirikannya RPH berdasarkan acuan SNI 01-6159-1999 seperti
persyaratan lokasi, persyaratan sarana, dan persyaratan bangunan dan tata letak.
Namun, pada persyaratan bangunan dan tata letak, terdapat poin yang belum
memenuhi nilai kelayakan diantaranya adalah tidak adanya pagar pembatas pada
kompleks RPHB, dan tidak memiliki ruang penanganan daging karena RPH
Ciroyom hanya menghasilkan daging potong segar.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, V., & Ramli, T. (2017). Metode Stunning pada Proses Penyembelihan Hewan Ditinjau
dari Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Kesejahteraan Hewan dan Hukum Islam dalam Rangka Perlindungan
Konsumen Muslim. Prosiding Ilmu Hukum, 3(2), 643-648. ISSN: 2460-643X

Alpina, C., Amin, B., & Mubarok. (2021). ANALISIS MANAJEMEN RUMAH POTONG
HEWAN KECAMATAN TAMPAN KOTA PEKANBARU DAN DAMPAKNYA
TERHADAP LINGKUNGAN. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15(2), 130-139. DOI
10.31258/jil.15.2.p.130-139

Ariana, T., Lindawati, S., & Oka, A. (2013). STATUS FISIOLOGI BABI YANG DIBERI
LARUTAN ORALIT SELAMA PENUNDAAN WAKTU PEMOTONGAN. Majalah
Ilmiah Peternakan, 16(1), 32-35. ISSN : 0853-8999

Aryani, T., & Widyantara, A. B. (2018). Analisis Kandungan Boraks Pada Makanan Olahan Yang
Dipasarkan Di Sekitar Kampus. Jurnal Riset Kesehatan, 7(2), 106.

Azmi, A. R., Masri, M., & Rasyid, R. (2018). Uji Kualitatif Boraks Pada Beberapa Produk
Kerupuk Ikan Yang Dijual Di Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(4),
521.

Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu. (2012). Sifat Dan Kualitas Daging Segar – BBPP BATU.
Kementerian Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian, Balai Besar Pelatihan Peternakan
Batu. https://bbppbatu.bppsdmp.pertanian.go.id/2012/06/14/sifat-dan-kualitas-daging-
segar/

Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu. (2019). PEMERIKSAAN


ANTEMORTEM,POSTMORTEM DAN PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN SESUAI
SYARI’AT [PowerPoint]. Balai Besar Pelatihan Peternakan Batu Kementerian
Pertanian. https://fkh.ub.ac.id/wp-content/uploads/2019/08/drh-Reni_Ante-Postmortem-
Penyembelihan-Kurban4.pdf
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. (2018). Pedoman Pengawasan Kesehatan
Masyarakat Veteriner (1st ed.). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian Indonesia. https://civas.net/cms/assets/uploads/2019/02/Buku-
Pedoman-Pengawas-Kesmavet_edit5.pdf

Flockhart DTT, Coe JB. (2018). Multistate Matrix Population Model to Assess the Contributions
and Impacts on Population Abundance of Domestic Cats in Urban Areas Including
Owned Cats, Unowned Cats, and Cats in Shelters. PloS ONE 13: 1- 34.

Gomes, M. D. (2021). Louis Pasteur and Dom Pedro II engaged in rabies vaccine
development. Journal of Preventive Medicine and Hygiene, 62(1). https://doi.org/
10.15167/2421-4248/jpmh2021.62.1.1631

Humas Jabar. (2022). Jabar Canangkan kick out rabies. Berita Jawa
Barat. https://jabarprov.go.id/berita/jabar-canangkan-kick-out-rabies-7052

Kennedy BPA, Cumming B, Brown WY. (2020). Global Strategies for Population Management
of Domestic Cats (Felis catus): A Systematic Review to Inform Best Practice
Management for Remote Indigenous Communities in Australia. Animals (Basel) 10: 1-
17.

Kementerian Kesehatan. (2016). BUKU SAKU PETUNJUK TEKNIS PENATALAKSANAAN


KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES DI INDONESIA (1st ed.). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan. (2022). Peringatan World Rabies Day, dengan Tema One Health, Zero
Death. Kementerian Kesehatan
RI. https://p2pm.kemkes.go.id/publikasi/artikel/peringatan-world-rabies-day-dengan-
tema-one-health-zero-death

Lawu, M., Yuliawati, S., & Saraswati, L. (2014). Gambaran Pelaksanaan Rumah Pemotongan
Hewan Babi (Studi Kasus di Rumah Pemotongan Hewan Kota Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 2(2), 127-131. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm
Mandala, A., Swacita, I., & Suada, I. (2016). Penilaian Penerapan Animal Welfare pada Proses
Pemotongan Sapi di Rumah Pemotongan Hewan Mambal Kabupaten Badung. Indonesia
Medicus Veterinus, 5(1), 1-12. pISSN : 2301-7848; eISSN : 2477-6637

Prayoga, S., Fikri, F., & Purnama, M. (2020). Electrical Stunning sebelum Penyembelihan dapat
Menurunkan Serum Superoxide Dismutase Babi Landrace Crossbred. Jurnal Sain
Veteriner, 38(3), 214-221. DOI: 10.22146/jsv.53464

Prayoga, S., Megawati, N., Arifin, E., & Nangoi, L. (2021). Ovariohysterectomy pada kucing
liar. Ovozoa, 10(3), 98-104. https://e-journal.unair.ac.id/OVZ/index

Puspitawati, M., Hoesni, F., & Firmansyah. (2021). ANALISIS PENERAPAN


KESEJAHTERAAN HEWAN DAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) DI
RUMAH POTONG HEWAN (RPH) PEMERINTAH DAN SWASTA DI PROVINSI
JAMBI. Jurnal Agri Sains, 5(1), 1-13. http://ojs.umb-bungo.ac.id/index.php/JAS/index

Rahmiati DU, Wismandanu O, Anggraeni TK. (2020). Kontrol Populasi dengan Kegiatan
Sterilisasi Kucing Liar di Lingkungan UNPAD. J Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat 9:
114-6.

Ridwan, M., Suzzana, Dedrinaldi, & Destika, S. (2021). PELAKSANAAN VAKSINASI


RABIES PADA HPR DI KENAGARIANKAMANG MUDIAK, KABUPATEN AGAM,
SUMATRA BARAT. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(3), 188-190.

Septiani, T., & Roswiem, A. (2018). ANALISIS KUALITATIF KANDUNGAN BORAKS


PADA BAHAN PANGAN DAGING OLAHAN DAN IDENTIFIKASI SUMBER
BORON DENGAN FTIR – ATR. Indonesian Journal of Halal, 48-52. ISSN: 2623-162X

Sinaga, M., Sriyani, N., & Suarta, I. (2021). Kualitas Organoleptik Daging Sapi Bali yang
Dilayukan Dengan Lama Waktu yang Berbeda. Jurnal Harian Regional UNUD, 77-
81. p-ISSN 0853-8999 e-ISSN 2656-8373

Suharyani, I., Rohadi, D., Kunaedi, A., Tomi, Arisandi, D., Hasim, I., Fauziah, R., & Jullinar, S.
(2021). REVIEW: BERBAGAI METODE ANALISIS KUALITATIF DAN
KUANTITATIF BORAKS DALAM SAMPEL MAKANAN. Journal of
Pharmacopolium, 4(3), 174-179. http://ejurnal.stikes-bth.ac.id/index.php/P3M_JoP
Suseno, D. (2019). Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Kandungan Boraks Pada Bakso
Menggunakan Kertas Turmerik, FT – IR Spektrometer dan Spektrofotometer Uv -Vis.
Indonesia Journal of Halal, 2(1), 1.

Sriyani, N. L. P., N. M. A. Rasna., S. A. Lindawati., A. A. Oka. (2015). Studi perbandingan


kualitas fisik daging babi bali dengan babi landrace persilangan yang dipotong di rumah
potong hewan tradisional. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol. 18 No. 1: 26-29.

Swacita, I. (2017). TECHNICAL TRAINING ON MEAT INSPECTOR (KEURMASTER)


PEMERIKSAAN KESEHATAN TERNAK SEBELUM DIPOTONG [PDF].
LABORATORIUM KESMAVET FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR-
BALI. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/
bb2bd9d2f9bc6fe408c370320fabd6c5.pdf

Tarmizi, S. (2023). Hingga April 2023 ada 11 Kasus Kematian Karena rabies, Segera Ke Faskes
jika Digigit Anjing! Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230602/3343156/
hingga-april-2023-ada-11-kasus-kematian-karena-rabies-segera-ke-faskes-jika-digigit-
anjing/

Usman. (2022). KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING SAPI DENGAN


PEMBERIAN MINYAK CENGKEH. Jurnal Agrokompleks Tolis, 2(2), 31-
35. https://media.neliti.com/media/publications/555949-karakteristik-organoleptik-
daging-sapi-d-82c1ae75.pdf

Wibisono, F. (2014). PENGUJIAN KUALITAS DAGING SAPI DAN DAGING AYAM DI


PASAR DUKUH KUPANG BARAT KOTA SURABAYA. Departemen Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.

Wijoyo, I., Rawendra, R., & Purba, S. (2020). Penilaian Penerapan Aspek Kesejahteraan Hewan
di Rumah Potong Hewan (RPH) eks-Karesidenan Madiun. Jurnal Agriekstensia, 19(1),
64-69. https://jurnal.polbangtanmalang.ac.id/index.php/agriekstensia/article/view/
926/116
Woinarski JC, Legge SM, Dickman CR. (2019). Cats in Australia: Companion and Killer.
CSIRO Publishing. Clayton, Australia.

World Health Organization. (2023). This year’s World Rabies Day theme is: “All for 1, One
Health for all”. https://www.who.int/news-room/events/detail/2023/09/28/default-
calendar/world-rabies-day-2023

Anda mungkin juga menyukai