Anda di halaman 1dari 37

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS BOSOWA

INFARK SEREBRAL

DISUSUN OLEH :

Nafiatul Muasyarah
4521112050

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. Ummu Athia, Sp. S (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2022
ii
ii

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nafiatul Muasyarah

NIM : 4521112050

Judul : Infark Serebral

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik


Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa.

Makassar,Oktober 2022

Mengetahui,
Pembimbing

(Dr. Ummu Athia, Sp. S (K))


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Infark Serebral merupakan penyakit neurovaskular dari stroke iskemik
akibat kerusakan fungsi dan struktur otak baik yang lama dan parah pada
fokal maupun global yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya
aliran darah pada parenkim otak, retina atau medulla spinalis, yang dapat
disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri
maupun vena.1

1.2 Epidemiologi
Setiap tahunnya, sekitar 795.000 orang di dunia terkena stroke, baik
merupakan stroke baru maupun stroke berulang. Sekitar 610.000 dari
jumlah tersebut merupakan kasus baru, sedangkan 185.000 sisanya
merupakan serangan berulang. Dari semua kasus stroke, 87%
diantaranya merupakan kasus ischemic stroke, 10% kasus intracerebral
hemorrhage dan 3% merupakan kasus subarachnoid hemorrhage stroke.
Setiap tahun, sekitar 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke,
dimana dari jumlah tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta mengalami cacat
permanen. Di negara maju, stroke merupakan penyebab utama kematian
dan demensia, dan merupakan penyebab utama kecacatan pada orang
dewasa.2
Jika dirata-rata, dapat dikatakan bahwa setiap 4 menit, 1 orang di
dunia meninggal akibat stroke. Stroke adalah penyebab kematian ketiga
terbanyak diantara semua penyebab kematian. Walaupun stroke
seringkali dihubungkan dengan penyakit orang tua, ternyata sepertiga
kejadian stroke terjadi pada orang yang berusia dibawah 65 tahun.2
1.3Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak disuplai oleh arteri karotis interna dekstra dan sinistra serta arteri
vertebralis dekstra dan sinistra. Empat arteri tersebut terletak di dalam
ruang subarachnoid, dan cabang-cabangnya beranastomosis di
permukaan inferior otak untuk membentuk Sirkulus Willisi.2

Gambar 1. Anatomi Perjalanan Arteri Karotis Interna dan Arteri


Vertebralis.3
Arteri karotis interna dimulai dari percabangan arteri karotis komunis, di
mana arteri ini biasanya memiliki dilatasi lokal, yang disebut sebagai sinus
karotis. Arteri karotis interna naik ke leher dan menembus dasar tengkorak
dengan melewati kanal karotis tulang temporal. Arteri ini kemudian
berjalan secara horizontal ke depan melalui sinus kavernosus dan muncul
di sisi medial prosesus klinoid anterior dengan menembus dura mater.
Selanjutnya memasuki ruang subarachnoid dengan menembus arachnoid
mater dan berbelok ke posterior ke daerah ujung medial sulkus serebral
lateral. Di sini, arteri karotis interna bercabang menjadi arteri serebri
anterior dan arteri serebri media.2,3
Arteri vertebralis, cabang dari arteri subklavia, naik ke leher dengan
melewati foramen di prosesus transversus padakeenam vertebra
servikalteratas. Selanjutnya memasuki tengkorak melalui foramen
magnum lalu menembus dura mater dan arachnoid mater untuk
memasuki ruang subarachnoid, lalu lewat ke atas, depan, dan ke medial
medula oblongata. Di batas bawah pons, arteri vertebralis dekstra dan
sinistra beranastomosis membentuk arteri basilaris yang kemudian akan
membentuk Sirkulus Willisi.3
Gambar 2. Arteri pada Permukaan Inferior Otak dan Formasi Sirkulus
Willisi.3

Sirkulus Willisi terletak di fossa interpeduncular di dasar otak. Sirkulus


Willisi dibentuk oleh anastomosis antara dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebralis (dekstra dan sinistra). Arteri komunikans anterior dan
posterior, arteri serebrianterior dan posterior, arteri karotis interna, serta
arteri basilaris,kesemuanya berkontribusi membentuk Sirkulus Willisi.
Sirkulus Willisi memungkinkan darah yang masuk dari arteri karotis interna
atau arteri vertebralis untuk didistribusikan ke setiap bagian di kedua
hemisfer otak.2,3

1.4 Faktor Risiko


Kelompok faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan kelompok
faktor risiko yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan
fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang
termasuk kelompok ini antara lain usia, jenis kelamin, ras, riwayat stroke
dalam keluarga, serta riwayat serangan transient ischemic attack atau
stroke sebelumnya.Bertambahnya usia merupakan faktor risiko paling
kuat pada penyakit stroke. Ketika seseorang melewati usia 55 tahun,
insiden stroke meningkat dua kali lipat setiap dekade. Separuh dari semua
stroke terjadi pada orang yang berusia lebih dari 75 tahun. Wanita
memiliki tingkat fatalitas kasus stroke yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pria. Pria usia 45-75 tahun mengalami insiden stroke iskemik lebih
tinggi dari wanita; setelah itu, angka insiden stroke menjadi lebih tinggi
perempuan.4
Kelompok faktor risiko yang dapat dimodifikasi merupakan akibat dari
gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi, yang meliputi merokok,
alkoholisme, hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit
jantung,dan obesitas.Risiko stroke pada perokok meningkat dua hingga
tiga kali lebih tinggi dari pada bukan perokok. Mekanisme peningkatan
aterogenesis yang disebabkan oleh rokok diantaranya yaitu menurunkan
kemampuan darah dalam mengantarkan oksigen,
meningkatkankoagulabilitas darah,serta memicu trombosis arteri dan
spasme arteri. Selain itu, merokok juga sangat berperan dalam
peningkatan tekanan darah.Hipertensi merupakan modifiable risk
factorpaling penting pada penyakit stroke dan merupakanfaktor risiko
paling kuat pada semua bentuk gangguan kognitif vascular (vascular
cognitive impairment). Menurunkantekanan darah pada penderita stroke
dapat membantu mencegah kekambuhandan usaha ini lebih penting
daripada pemberian obat spesifik.4

1.5 Patofisiologi
Pada dasarnya terjadinya infark cerebri meliputi dua proses yang saling
terkait, yaitu:2,4
1. Perubahan vaskuler, hematologik atau kardiologik yang menyebabkan
terjadinya kekurangan aliran darah ke bagian otak yang terserang.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak
 Keadaan pembuluh darah, menyempit akibat stenosis atau ateroma
maupun tersumbat oleh trombus/embolus
 Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang
meningkat (polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih
lambat, anemia yang berat menyebabkan oksigenasi ke otak menurun
 Kelainan jantung, menyebabkan menurunnya curah jantung, dan
lepasnya embolus dari jantung yang dapat menimbulkan iskemia otak
 Tekanan perfusi yang sangat menurun akibat sumbatan di proksimal
pembuluh arteri cerebri, seperti sumbatan pada arteri karotis, atau
vertebrobasiler
Infark cerebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow
(CBF) yang menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat
dan durasi penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) kemungkinan
berhubungan dengan jejas yang terjadi. Jika suplai darah ke otak
terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di otak akan berubah.
Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5 menit
terganggu dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak
dapat diperbaiki dengan cepat, kerusakan kemungkinan bersifat
reversibel.
2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemia hingga
terjadi nekrosis sel neuron, glia dan sel otak yang lain.
Dalam keadaan iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan
ATP dan kreatin fosfat. Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel
apabila sirkulasi dapat kembali normal. Ion kalium yang meninggi di ruang
ekstraseluler akan menyebabkan pembengkakan sel astroglia, sehingga
mengganggu transport oksigen dan bahan makanan ke otak. Sel yang
mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan aspartat yang
menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel.2,4
Kalsium yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan membran
fosfolipid sehingga terjadi asam lemak bebas, antara lain asam
arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan prekursor dari prostasiklin dan
tromboksan A2. Prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat dan
mencegah agregasi trombosit, sedangkan tromboksan A2 merangsang
terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan normal, prostasiklin dan
tromboksan A2 berada dalam keseimbangan sehingga agregasi trombosit
tidak terjadi. Bila keseimbangan ini terganggu, akan terjadi agregasi
trombosit. Prostaglandin, leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi.
Protein dan enzim intraseluler terdenaturasi, setelah itu sel membengkak
(edema seluler).2,4

Gambar 3 Efek dari Perfusi Otak Abnormal


Gejala yang ditimbulkan ditentukan dari letak kelainan perfusi, misalkan
pada area yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.
Gambar 4 Oklusi Pembuluh Darah sebagai Penyebab Iskemia
Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan
kerusakan sel. Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan
neurotoksik terjadi apabila kadar glukosa darah otak tinggi sehingga
terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan iskemia.2,4
Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan penurunan aliran
darah ke wilayah otak yang disuplai.Besarnya penurunan aliran darah
juga berhubungan dengan fungsi pembuluh darah kolateral dan ini
tergantung pada anatomi vaskular individu dan lokasi oklusi. Penurunan
aliran darah otak hingga0 mL menyebabkan kematian jaringan otak dalam
4–10 menit; <16-18 mL / 100 g jaringan per menit menyebabkan infark
dalam satu jam; dan<20 mL / 100 g jaringan per menit
menyebabkaniskemia tanpa infark kecualiterjadi berkepanjangan yaitu
selama beberapa jam atau hari. Jika aliran darah pulih sebelum sel yang
matijumlahnya signifikan, maka yang dialami pasien hanya gejala
sementara yaitu transient ischemic attack (TIA). Jaringan di sekitar daerah
inti infark mengalami iskemik tetapi bersifat reversible dan disebut sebagai
penumbra iskemik (ischemic penumbra). Penumbra dapat dicitrakan
dengan menggunakan pencitraan perfusi-difusi MRI. Penumbra iskemik
pada akhirnya akan mengalami infark jika tidak ada perubahan aliran
darah yang terjadi, dan oleh sebab itu menyelamatkan iskemik penumbra
adalah tujuan terapi revaskularisasi.5
Infark serebral fokal terjadi melalui dua jalur berbeda: (1) jalur nekrotik
(necrotic pathway), dimana kerusakan sitoskeletal seluler terjadi dengan
cepat terutama karena kegagalan energi sel; dan (2) jalur apoptosis
(apoptotic pathway), dimana sel diprogram untuk mati. Iskemia
menghasilkan nekrosis akibat neuron kelaparan akan zat glukosa, yang
pada gilirannya mengakibatkan kegagalan mitokondria untuk
memproduksi ATP. Tanpa ATP, pompa ion di membran sel berhenti
berfungsi dan neuron mengalami depolarisasi, menyebabkan peningkatan
kalsium intraseluler. Depolarisasi seluler juga menyebabkan pelepasan
glutamate dari terminal sinaptik,glutamat ekstraseluler yang berlebih
menyebabkan neurotoksisitas dengan mengaktifkan reseptorglutamat
post-synapsyang meningkatkan influx kalsium. Radikal bebas diproduksi
dari degradasi membran lipid dan disfungsi mitokondria. Radikal bebas
menyebabkan kerusakan katalitik pada membran dan juga
gangguanfungsi sel yang lain. Derajat iskemia yang lebih rendah, seperti
pada penumbra iskemik menyebabkan kematian sel secara apoptosis
yang menyebabkan sel mati dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu kemudian.5
Gambar 5. Kaskade Iskemia Serebral.5
Sistem saraf pusat membutuhkan energi dalam jumlah besar agar dapat
berfungsi dengan normal. Apabila sel saraf tidak mendapatkan suplai
oksigen dan glukosa yang adekuat, sel-sel tersebut dapat berhenti
berfungsi secara cepat. Oleh sebab itu, diperlukan suatu pengiriman
bahan metabolisme yang lancar agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
5

Laju aliran darah minimal yang dibutuhkan otak untuk fungsi pemeliharaan
adalah 5–8 ml per 100 g per menit, sedangkan laju aliran darah yang
diperlukan otak agar dapat berfungsi secara kontinu adalah 20 ml per 100
g per menit. Apabila terjadi suatu gangguan yang menyebabkan
terhentinya suplai darah, pasien akan mengalami gejala berupa defisit
neurologis. Namun pada kondisi tertentu seperti trombolisis, aliran darah
dapat kembali seperti semula setelah kejadian tersebut sehingga jaringan
otak dapat saja pulih dan berfungsi secara normal. Kondisi ini disebut
sebagai serangan iskemik sementara atau transien(Transient Ischaemic
Attack/TIA). 5
Gambar. 6 Penumbra concept pada stroke iskemik
Dalam kejadian infark serebral dan serangan iskemik transien, terdapat
suatu konsep yang disebut penumbra concept. Konsep tersebut
menjelaskan mengenai jaringan penumbra, yaitu jaringan yang berada di
sekitar lokasi yang mengalami infark dan juga berisiko untuk mengalami
infark apabila penyempitan pembuluh darah terjadi secara persisten. Oleh
sebab itu, penanganan segera perlu dilakukan agar jaringan penumbra ini
tidak ikut mengalami infark. 5
Infark pada jaringan dapat terjadi akibat kematian sel. Iskemia memicu
nekrosis/kematian karena sel mengalami kekurangan energi dalam bentuk
senyawa adenosin trifosfat (ATP). Tanpa adanya ATP, pompa ion dalam
membran sel akan berhenti bekerja sehingga terjadi perpindahan natrium
dan air ke dalam sel. Akibatnya, sel mengalami perubahan aktivitas
kelistrikan berupa depolarisasi. Depolarisasi akan memicu pelepasan
glutamat dari sinaps sel saraf. Kadar glutamat yang berlebihan bersifat
toksik terhadap sel saraf. Selain itu, tak berfungsinya mitokondria dan
degradasi membran lipid neuron akan memproduksi radikal bebas yang
akan merusak sel neuron. 5
1.6 Manifestasi Klinis
Serangan untuk tipe stroke apa pun akan menimbulkan deficit
neurologis yang bersifat akut, diantaranya adalah sebagai berikut:1,6
a. Hemiparese motorik
b. Hemiparese sensorik
c. Penurunan kesadaran
d. Kelumpuhan nervus VII (fasialis) dan nervus XII (hipoglosus) yang
bersifat sentral
e. Afasia dan demensia
f. Hemianopsia
g. Defisit batang otak

1.7Diagnosis
1.7.1 Anamnesis
Pada pasien dengan kelainan cerebrovascular, penting untuk mengetahui
faktor risiko yang memungkinan seperti TIA, hipertensi, dan diabetes.
Untuk perempuan, penggunaan kontrasepsi oral diduga berhubungan
dengan penyakit oklusi arteri dan vena cerebral, terutama pada keadaan
dimana disertai dengan hipertensi dan kebiasaan merokok. Keberadaan
kondisi medis seperti penyakit jantung iskemik, penyakit katup jantung,
atau aritmia jantung ada baiknya ditelusuri. Berbagai kelainan sistemik
yang meliputi kelainan darah dan pembuluh darah juga dapat
meningkatkan risiko stroke. Obat antihipertensi dapat menyebabkan
gejala cerebrovascular jika tekanan darah diturunkan secara drastis pada
pasien dengan okluasi cerebrovascular yang mendekati total disertai
sirkulasi kolateral yang tidak memadahi.1,6
Anamnesis harus ditujukan untuk mengetahui apakah gambaran klinis
tersebut merupakan TIA, stroke in evolution, atau complete stroke. Pada
beberapa kasus, dapat juga dievaluasi apakah stroke tersebut merupakan
stroke thrombotik ataupun embolik.
a. Ciri-ciri yang mengarah pada stroke thrombotik
Pasien dengan oklusi vaskuler thrombosis biasanya memberikan gejala
penambahan secara bertahap defisit neurologis. Kejadian oklusi biasanya
didahului oleh beberapa kali TIA.
b. Ciri-ciri yang mengarah pada stroke emboli
Emboli cerebri umumnya menyebabkan defisit neurologis yang terjadi
tiba-tiba dan maksimal pada saat kejadian. Pada banyak pasien, emboli
yang berasal dari jantung biasanya dicurigai dengan adanya tanda inferk
cerebri multifokal, penyakit katup jantung, cardiomegali, aritmia, atau
endocarditis.
Gangguan global berupa gangguan kesadaran
Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa : 1,6
a. Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas,
kelumpuhan
otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses
menelan,
wicara dan sebagainya
b. Gangguan fungsi keseimbangan
c. Gangguan fungsi penghidu
d. Gangguan fungsi penglihatan
e. Gangguan fungsi pendengaran
f. Gangguan fungsi Somatik Sensoris
g. Gangguan Neurobehavioral yang meliputi :
 Gangguan atensi
 Gangguan memori
 Gangguan bicara verbal
 Gangguan mengerti pembicaraan
 Gangguan pengenalan ruang
 Gangguan fungsi kognitif lain
1.7.2 Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik umum harus berfokus pada pencarian penyebab
sistemik yang mendasari penyakit serebrovaskular yaitu sebagai berikut:7

a. Tekanan darah harus diukur untuk mendeteksi hipertensi — faktor


risiko utama stroke.
b. Perbandingan tekanan darah dan nadi pada kedua sisi (kanan-kiri)
dapat mengungkapkan perbedaan terkait dengan aterosklerotik
lengkung aorta atau koarktasio aorta.
c. Pemeriksaan oftalmoskopi pada retina dapat memberikan bukti
embolisasi di sirkulasi anterior, berupaembolus yang terlihat di
pembuluh darah retina.
d. Pemeriksaan leher bisa menunjukkan tidak adanya pulsasikarotis atau
adanya bising karotis (carotid bruit). Namun, denyut nadi karotis yang
berkurang di leher merupakan indikator yang buruk untuk penyakit
arteri karotis interna, stenosis karotis yang signifikan dapat terjadi tanpa
bunyi bising, dan bising keras dapat terjadi tanpa stenosis.
e. Pemeriksaan jantung dapat mendeteksi aritmia, atau murmur yang
berhubungan dengan penyakit katup jantung, yang dapat menjadi
predisposisi stroke kardioemboli.
f. Palpasi arteri temporal berguna dalam mendiagnosis giant cell arteritis,
di mana pembuluh darah ini mungkin lunak, nodular, atau tidak
berdenyut.
g. Pemeriksaan kulit mungkin menunjukkan tanda-tanda gangguan
koagulasi, seperti ekimosis atau petekie.

B. Pemeriksaan Neurologis

Pasien dengan gangguan serebrovaskular mungkin memiliki atau tidak


memiliki temuan neurologis yang abnormal. Jika ditemukan defisit,
tujuannya adalah untuk menentukan lokasi anatomi lesi, yang mungkin
menunjukkan penyebab atau manajemen stroke yang optimal. Misalnya,
bukti keterlibatan sirkulasi anterior dapat mengarah pada evaluasi
angiografi untuk kemungkinan koreksi bedah pada lesi karotis internal,
sedangkan tanda-tanda yang menunjukkan infark vertebrobasilar atau
lacunar akan menentukan tindakan yang berbeda.7

a. Defisit kognitif seperti afasia, unilateral neglect, atau apraxia


konstruksional menunjukkan adanya lesi kortikal di sirkulasi anterior
dan menyingkirkan stroke vertebrobasilar atau lacunar. Koma
menyiratkan adanya keterlibatan batang otak atau kedua hemisfer.
b. Abnormalitas lapang pandang juga menyingkirkan infark lacunar, tetapi
hemianopia dapat terjadi dengan oklusi arteri serebri media atau
posterior, yang masing-masing memasok aliran darah menuju radiasi
optik dan korteks visual. Isolated hemianopia menunjukkan stroke arteri
serebri posterior, karena stroke arteri serebri media harus
menghasilkan defisit tambahan (motoris dan somatosensoris).
c. Ocular palsy, nistagmus, atau internuclear ophthalmoplegia
menandakan lesi yang mendasari tersebut terletak di batang otak atau
di sirkulasi serebri posterior.
d. Hemiparesis yang lebih dominan/berat pada wajah dan lengan
dibanding pada tungkai, merupakan karakteristik lesi arteri serebri
media. Sedangkan, apabila hemiparesis pada wajah, lengan, dan
tungkai terasa sama lemahnya, ini menandakan stroke pembuluh darah
besar di karotis interna, batang otak bagian tengah, vertebrobasilar,
atau infark lacunar. Hemiparesis menyilang yang melibatkan wajah di
satu sisi dan bagian tubuh lainnya di sisi lain, menandakan lesi terjadi di
batang otak antara inti nervus VII (fasialis) di pons dan dekusasio
piramidalis di medula.

C. Algoritma Stroke Gadjah Mada

Manajemen stroke yang rasional harus berdasarkan pengetahuan jenis


patologi stroke. Dengan pemeriksaan CT Scan kepala pada penderita
stroke, dapat dibedakan jenis patologi stroke, yaitu antara stroke
hemoragik dengan stroke non hemoragik atau stroke iskemik pada fase
akut dengan cepat dan akurat. Namun di Indonesia tidak semua fasilitas
kesehatan memiliki peralatan CT Scan, terutama di daerah perifer.
Keadaan tersebut di atas tentu akan sangat merugikan penderita stroke
karena diagnosis jenis patologisnya tidak ditegakkan dengan tepat dan
pengobatan dini tidak dapat dilakukan. Berangkat dari hal tersebut, maka
ahli neurologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
mengembangkan suatu tes diagnostik pengganti yang akurasinya
mendekati akurasi pemeriksaan CT Scan kepala dalam membedakan
jenis patologis stroke yang dinamakan Algoritma Stroke Gadjah Mada.8

Gambar 6. Algoritma Stroke Gadjah Mada.8

1.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab
stroke yang dapat diobati serta untuk menyingkirkan kondisi lain yang
menyerupi stroke.9

a. Hitung darah lengkap untuk menyelidiki kemungkinan penyebab


stroke seperti thrombocytosis, thrombocytopenia, polycytopenia, anemia
(termasuk sickle cell anemia), dan leukocytosis (misalnya leukemia).

b. Laju endap darah untuk mendeteksi adanya peningkatan yang


mengindikasikan giant cell arteritis atau vasculitis lain.

c. Pemeriksaan serologis sifilis, pemeriksaan treponema pada darah


atau pemeriksaan CSF-VDRL.

d. Glukosa serum untuk mendokumentasikan adanya hypoglycemia


atau hyperosmolar non ketotic hyperglycemia, yang dapat memberikan
tanda neurologis fokal dan mirip dengan stroke.

e. Kolesterol dan lipid serum utnuk medeteksi adanya peningkatan


yang dapat mewakili faktor risiko stroke.

Electrocardiogram (ECG/EKG)

EKG harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi kemungkinan adanya


infark myocard atau aritmia yang tidak diketahui sebelumnya, misalkan
fibrilasi atrium yang merupakan faktor risiko stroke embolik.9

Punksi Lumbal

Dapat dilakukan pada beberapa kasus untuk menyingkirkan diagnosis


perdarahan subarachnoid atau untuk mengetahui siphylis
meningovascular sebagai penyebab stroke. 9

Angiografi cerebral

Intraarterial angiography biasanya digunakan untuk mengidentifikasi lesi


carotis ekstracranial yang dapat dioperasi pada pasien dengan TIA pada
sirkulasi anterior, yang merupakan kandidat operasi yang baik.
Pemeriksaan ini juga berguna dalam mendiagnosis beberapa kelainan
vaskuler yang berhubungan dengan stroke, termasuk vaskulitis,
fibromuscular dysplasia, dan diseksi arteri carotis atau arteri vertebralis.

Ultrasonography

Doppler ultrasonography dapat mendeteksi adanya stenosis atau oklusi


dari arteri carotis internal, tetapi kurang sensitif jika dibandingkan dengan
angiography. Transcranial doppler ultrasonography kadang digunakan
dalam evaluasi dugaan stenosis arteri carotis interna, arteri cerebri
media, atau arteri basilaris serta untuk mendeteksi dan mengikuti
perjalanan vasospasme cerebral setelah perdarahan aneurysma
subarachnoid. 9

Echocardiography

Echocardiography dapat berguna untuk mendemonstrasikan lesi jantung


yang bertanggung jawab atas terjadinya stroke embolik pada pasien
9
dengan bukti klinis penyakit jantung yang jelas, misalkan fibrilasi atrium.

Electroencephalogram (EEG)

EEG kurang bermanfaat dalam mengevaluasi stroke. Tetapi dapat


digunakan untuk membedakan kelainan kejang dengan TIA atau antara
infark lacunar dengan kortikal pada pasien yang gejalanya tidak dapat
dibedakan. 9

Computed Tomography

Untuk evaluasi dari penyakit cerebrovascular oklusif, CT scan tanpa


kontras mampu membedakan daerah yang disuplai oleh arteri cerebri
besar dan mendeteksi perdarahan intracranial, edema otak, efek massa,
hidrocephalus, sumbatan darah pada pembuluh darah otak, dan
kalsifikasi. Sebagai tambahan, CT-scan kepala dengan kontras mampus
membedakan pembuluh darah yang normal dengan yang tersumbat
begitu juga dengan peningkatan abnormal pada area kerusakan otak
dengan rusaknya sawar darah otak. Fungsi utama dari CT scan dalam
evaluasi penyakit cerebrovascular oklusif dalah menyingkirkan adanya
kemungkinan perdarahan intracranial. 9

Ischemic Infarction

Gambaran CT scan dari stroke berhubungan dengan waktu antara


iskemik atau onset gejala dan pengambilan foto. Infark iskemi dapat dibagi
menjadi 4 tahap: hiperakut (sampai 24 jam), akut (24 jam sampai 7 hari),
9
subakut (8 sampai 21 hari), dan kronik (lebih dari 21 hari).

CT scan kepala non kontras baik digunakan untuk membedakan stroke


hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke
non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari infark dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain
yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). 9,10

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional
yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat
daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang
mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non
hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi
MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter. 9,10

1.8. Diagnosis banding

Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding stroke (AHA. 2010):

1. Stroke non hemoragik


2. Stroke hemoragik
3. Trauma kranioserebral/ servikal
4. Infeksi intracranial: Meningitis/ensefalitis
5. Masa Intrakranial (Tumor, hematoma subdural)
6. Kejang dengan gejala neurologis menetap
7. Migrain dengan gejala neurologis menetap: hemiplegik migren
8. Metabolik (hiperglikemi, hipoglikemi)
9. Iskemia post-cardiac arrest

BAB II

TATALAKSANA

Target manajemen pada infark akut adalah untuk menstabilkan pasien


dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya
pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit
setelah pasien tiba. 2,11
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak
adekuat atau paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian induksi
dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus
dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka target
pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol
intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus
mendapatkan bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau
pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke
non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial,
hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD. 2,11
b. Circulation
Pasien dengan infark akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien ini berisiko tinggi mengalami aritmia
jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial
fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke. 2,11
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait
dengan prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi
pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh
diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah
besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu
iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus
dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula
darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan
terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien pulang
untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian
insulin. 2,11
a. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih
maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring
telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh
karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala
ditinggikan sekitar 30-45 derajat. 12
b. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau
peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan
vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen arterial
pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan
aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan
tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang
nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain
didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika
pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220
mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik. 2,11

Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien


stroke non hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah
sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang
dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka
tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala
stroke serta komplikasinya harus ditangani.

Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik


antara 120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-
20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis
dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai
dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan
nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai
efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5
menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir
dapat diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe
pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah
berkurang 10-15 persen. 2,11
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik
lebih 185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka
dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan tekanan
darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat
diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat
diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah
nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15
mg/jam. 2,11
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan
darah harus diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama,
setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16
jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15
persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah selama
opname maka agen berikut dapat diberikan. 12
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka
dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat
diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika
diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg
dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine
infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari
karena dapat menyebabkan hipotensi ekstrim.

c. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami
demam karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah
onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah
penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan
dapat berfungsi sebagai neuroprotektor. 12
d. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non
hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah
onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.
e. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama
setelah onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan,
pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan
preparat antiepileptik tetap direkomendasikan. 12
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan
secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin
yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen
dan protein pembekuan lainnya. 12
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders
and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak
lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg
(maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara
bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan
setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat
atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di
Amerika Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.
12

Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute


Stroke Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1
mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak
lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan
fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini
dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua
(ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset.
Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan
pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar
8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.
12
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw
dkk mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random
dalam skala besar sebab resikonya sangat besar sedang
manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi
tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA
lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The
Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E)
dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu
jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan
mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke
iskemik akut tidak dianjurkan. 12

b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak
banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu
berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia.
Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis
arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat
kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin
tersebut. 12
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein
plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati,
ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah
48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang
merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir.
Normal terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan
protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah.
Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas
lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin.
Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau
infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus
initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis
atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin:
memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi:
sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat
dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal. Akan
tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan
intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam
pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100
unit).

c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu
peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal
eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah.
Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi
yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan
cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi
trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline
diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam
jendela waktu 12 jam sesudah onset. 12
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara
menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang
mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan
obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai
bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi
1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis
aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari
dengan hasil yang efikasius. 13
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin
harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan.
Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam
salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma:
50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam.
Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan
glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen
dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana
alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah,
perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye. 12,13
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin
antara lain adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada
dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk
menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping
kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid – oksigenase).
Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A 2 terjadi
dengan dosis rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara
permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada
yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk
wanita.
2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi
aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini
bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan
melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran
platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang
diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut
suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3
tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen
untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin. 12,13
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis
terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke
iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin,
disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo,
aspirin maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke
iskemik.
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan
netropenia (2,4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel.
Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan.
Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura
trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

BAB III

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


3.1Komplikasi
Stroke merupakan penyakit yang mempunyai risiko tinggi terjadinya
komplikasi medis, adanya kerusakan jaringan saraf pusat yang terjadi
secaradini pada stroke, sering diperlihatkan adanya gangguan kognitif,
fungsional, dan defisit sensorik. Pada umumnya pasien pasca stroke
memiliki komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko komplikasi medis
sistemik selama pemulihan stroke. Komplikasi medis sering terjadi dalam
beberapa minggu pertama serangan stroke. Pencegahan, pengenalan
dini, dan pengobatan terhadap komplikasi pasca stroke merupakan aspek
penting. Beberapa komplikasi stroke dapat terjadi akibat langsung stroke
itu sendiri, imobilisasi atau perawatan stroke. Hal ini memiliki pengaruh
besar pada luaran pasien stroke sehingga dapat menghambat proses
pemulihan neurologis dan meningkatkan lama hari rawat inap di rumah
sakit. Komplikasi jantung, pneumonia, tromboemboli vena, demam, nyeri
pasca stroke, disfagia, inkontinensia, dan depresi adalah komplikasi
sangat umum pada pasien stroke.13

3.2Prognosis
Outcome pasien pasca serangan stroke dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu tingkat keparahan defisit neurologis yang diakibatkan,
usia pasien, serta penyakit penyerta. Sekitar setengah dari penderita
stroke dipulangkan langsung dari rumah sakit, sedangkan sisanya
membutuhkan setidaknya perawatan sementara di rehabilitasi rawat inap
atau fasilitas perawatan. Sekitar 50% pasien kembali bekerja dalam 6-12
bulan setelah stroke. Kematian pasca stroke adalah 10% pada 30 hari,
20% pada 1 tahun, dan 40% pada 5 tahun. Secara keseluruhan, kurang
dari 80% pasien dengan stroke yang mampu bertahan setidaknya 1 bulan,
dan 10-years survival rate berkisar pada 35%. 13
BAB IV

PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder.
Pada pencegahan primer meliputi upaya – upaya perbaikan pola hidup
dan pengendalian faktor – faktor risiko. Pencegahan ini ditujukan kepada
masyarakat yang sehat dan belum pernah terserang stroke, namun
termasuk pada kelompok masyarakat risiko tinggi. Upaya - upaya yang
dapat dilakukan adalah:9,13
a. mengatur pola makan sehat
b. penanganan stress dan beristirahat yang cukup
c. pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan
obat)
Pencegahan sekunder, yakni dengan mengendalikan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi dan dapat digunakan sebagai penanda (marker)
stroke pada masyarakat, sedangkan pengendalian faktor risiko yang dapat
dimodifikasi kita dapat melakukan evaluasi kepada pasien stroke saat
dirawat maupun ketika keluar dari RS. Pencegahan sekunder yang dapat
dilakukan pada pasien stroke iskemik akut: 9,13
a. pemeriksaan MRI pada beberapa pasien dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan informasi tambahan dalam penegakan diagnosis dan
dalam membuat perencanaan perawatan selanjutnya
b. monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama
c. pemeriksaan diabetes mellitus dengan pengujian glukosa plasma
darah, hemoglobin A1c atau tes toleransi glukosa oral
d. pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah medapatkan
terapi statin
e. penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda
alteplase IV atau trombektomi
f. pemberian antikoagulasi pada pasien yang memiliki hasil tes koagulasi
abnormal pasca stroke iskemik
g. pemberian antitrombotik pada pasien stroke iskemik akut non
kardioembolik, yakni pemilihan antiplatelet dapat mengurangi risiko stroke
berulang dan kejadian kardiovaskular lainnya
h. pemberian terapi statin pada pasien selama periode akut
i. revaskularisasi karotid dapat dilakukan untuk pencegahan sekunder
pada pasien stroke dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak
ada kontraindikasi.
j. inisiasi intervensi di RS dengan menggabungkan farmakoterapi dan
dukungan terapi perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan
merokok, serta melakukan konseling rutin agar membantu pasien
berhenti merokok.
k. memberikan pendidikan tentang stroke. Pasien harus diberikan
informasi, saran, dan kesempatan untuk berdiskusi mengenai dampak
stroke dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Dengan demikian, pentingnya pencegahan sejak dini pada pasien stroke
iskemik akut, baik sebelum maupun sesudah serangan stroke. Berbagai
upaya – upaya pencegahan dapat berhasil dilakukan jika adanya
dukungan dari pihak keluarga, masyarakat, petugaskesehatan di FKTP,
termasuk profesional pemberi asuhan (PPA) di RS, sehingga masyarakat
dapat terhindar dari stroke dan yang dalam perawatan stroke
mendapatkan penanganan sesuai standar pelayanan stroke. 9,13
BAB V

KESIMPULAN

Cerebral infarction (infark cerebri) merupakan keadaan iskemia otak yang


mengakibatkan kematian jaringan lokal dan biasanya disertai defisit
neurologis fokal yang menetap pada area distribusi dari salah satu arteri
cerebral, disebut juga cerebral ischemia (iskemia cerebri). Stroke ditandai
dengan hilangnya aliran darah ke area tertentu dari otak yang
mengakibatkan hilangnya fungsi neurologis bersangkutan. Secara umum,
stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hemorrhagic dan ischemic.
Keadaan infak cerebri sendiri lebih umum dijumpai pada stroke iskemik.
Maka dari itu pentingnya penggunaan skoring pada penegakan diagnosis
stroke guna membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke non
hemoragik/stroke iskemik, salah satu sistem skoring yang dapat
digunakan adalah Algoritma Stroke Gadjah Mada.
Penatalaksanaan stroke iskemik harus dimulai sesegera mungkin setelah
onset serangan mengingat golden period terapi stroke iskemik yaitu <45
jam. Adapun terapi lini pertama stroke iskemik adalah trombolisis
intravena dengan pemberian alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB dalam
onset <4,5 jam setelah serangan. Pada pasien dengan kontraindikasi
trombolisis intravena atau pasien yang datang ke RS di atas 4,5 jam
setelah serangan, dapat diberikan trombolisis intraarteri atau dilakukan
trombektomi mekanik. Stroke dapat dicegah dengan mengendalikan faktor
– faktor risiko melalui perilaku hidup sehat dan pada individu berisiko yang
memiliki riwayat penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes,
diedukasiagar rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik


Klinis Neurologi. PERDOSSI. 2016.
2. Thomas Darmawan. Cerebral Infarction. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar. 2015
3. American Heart Association. Heart disease and stroke statistics - 2015
Update. Dallas: American Heart Association. Report No.: ISSN 1524-
4539
4. Demaerschalk BM.Evidence-Based Neurology:Management of
Neurological Disorders. 2nd ed. Oxford: BMJ Books. 2015.
5. Lilis Tri Widiyanti. Studi Pola Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien
Sroke Iskemik Akut . Universitas Airlangga. Surabaya. 2016
6. Raisa Mahmudah. Left Hemiparesis E.C Hemorrhagic Stroke Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. 2015
7. Hauser SL et al. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 2nd ed. Mc
Graw Hill Medical. 2010.
8. Gesti Chaerunnisa. Stroke Infark. Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2017
9. Mutiarasari D. Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and
Prevention. Medika Tadulako (2019) 6(1): 60-73.
10. Yanuarita Tursinawati dkk. Buku Ajar Sistem Syaraf. Fakultas
Kedokteran Universita Muhammadiyah Semarang. 2015
11. Simon RP et al. Clinical Neurology. 10th ed. United States of America:
Mc Graw Hill Lange. 2018.
12. Lamsudin R. Algoritma Stroke Gadjah Mada: Penyusunan dan
Validasi untuk Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral dengan
Stroke Iskemik Akut atau Stroke Infark. B.I.Ked (1996) 28(4): 181-187.
13. Ani Kartini, Mansyur Arif, Hardjoeno. Kadar Fibrin Monomer Dan
Ukuran Infark Di Strok Iskemik Akut.. Indonesian Journal Of Clinical
Pathology And Medical Laboratory. 2015

Anda mungkin juga menyukai