Anda di halaman 1dari 7

G30S/PKI

Oleh :
Nama : Susilo Bagus Setiawan
No : 30
Kelas : IX G

Dikumpulkan Dalam Rangka Tidak Mengikuti Upacara Hari Kesaktian Pancasila

SMP N 1 GANTIWARNO
TAHUN 2023
A. Sejarah Singkat G30S/PKI
G30S merupakan gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden
Sukarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Gerakan ini dipimpin oleh DN Aidit
yang saat itu merupakan ketua dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 1 Oktober 1965 dini
hari, Letkol Untung yang merupakan anggota Cakrabirawa (pasukan pengawal Istana)
memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI.
Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang
menjadi target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju
Lubang Buaya. Jenazah ketujuh perwira TNI AD itu ditemukan selang beberapa hari kemudian.
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S. Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran
perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas
dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan
nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari
"sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman
sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Gelar pahlawan revolusi pun diberikan oleh negara sesuai dengan Keputusan Presiden tahun
1965. Berikut nama-nama mereka:

1. Jenderal Ahmad Yani

Jendral Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922. Perjalanan karir militer beliau
dimulai saat memutuskan berhenti sekolah formal dan menjadi bagian dari tentara Hindia
Belanda. Setelah menjalani pendidikan militer untuk menjadi komandan peleton, Yani dikirim
ke Magelang untuk menjadi instruktur tentara. Beliau diangkat menjadi Menteri Angkatan
Darat pada 21 Juli 1962. Perbedaan paham antara Yani dan Presiden Sukarno saat itu yang
cenderung lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia membuat dirinya perlu menunda perintah
presiden untuk mempersenjatai rakyat. Pada 1 Oktober 1965, beliau diculik dan dibunuh.
Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya.

2. Letnan Jenderal Suprapto

Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Beliau ditempa pendidikan militer
di Koninklijke Militaire Akademie Bandung. Meskipun pendidikan militernya belum selesai
karena Jepang yang sudah lebih dulu mendarat di Indonesia, Suprapto yang ditahan berhasil
melarikan diri dan menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto.

Sejak menjadi bagian dari TKR, Suprapto memiliki karir yang cukup baik di militer hingga
diangkat menjadi Deputi (wakil) Kepala Staf Angkatan Darat. Penolakannya terhadap
pembentukan angkatan perang kelima yang diajukan oleh PKI yang mengakibatkan dirinya
menjadi salah satu korban dari G30S/PKI bersama para petinggi TNI AD lainnya.

3. Letnan Jenderal S. Parman

Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Tgl. 4 Agustus 1918) termasuk pahlawan revolusi.
Setelah Indonesia merdeka, beliau bergabung dengan TKR lalu diangkat menjadi kepala staf
Militer di Yogyakarta pada Desember 1945. Perjalanannya harus berakhir ketika beliau
diculik dan jasadnya ditemukan bersama 6 jenderal lainnya pada 4 Oktober 1964 di Lubang
Buaya.

4. Letnan Jenderal M.T Haryono

Mas Tirtodarmo Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924 ini termasuk jendral bintang
tiga. Beliau diangkat menjadi seorang Mayor di TKR di Jakarta.

Karena kemahirannya berbahasa asing seperti Belanda, Inggris, dan Jerman, beliau pernah
dipercaya menjabat Sekretaris Delegasi Militer Indonesia dan Panglima Angkatan Darat.
Beliau termasuk satu dari tujuh pahlawan yang diculik, dieksekusi, dan dikubur di Lubang
Buaya pada peristiwa G30S/PKI.

5. Mayjen D.I. Pandjaitan

D.I Pandjaitan lahir di Balige, Tapanuli pada 9 Juni 1925. Ia memulai karir militernya di
Bukittinggi, Sumatera Barat dan lulus dengan pangkat Letnan Dua. Setelah menyelesaikan
pendidikannya, D.I Pandjaitan ditugaskan di Pekanbaru hingga Indonesia merdeka. Kemudian
ia bergabung dengan TKR dengan menjabat Komandan Batalyon I.

Karir militernya terus menanjak hingga akhirnya diangkat Asisten IV Menteri / Panglima
Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal. Saat Agresi Militer Belanda II, beliau
dipercaya memimpin Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Hingga
akhirnya beliau gugur di tangan PKI dan jasad beliau pun dikumpulka ke Lubang Buaya
bersama para jenderal lainnya.

6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Perwira Tinggi TNI-AD ini lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Sebelum
bergabung di militer, Sutoyo adalah seorang pegawai negeri. Setelah proklamasi
kemerdekaan, beliau bergabung di TKR sebagai anggota Korps Polisi Militer dan diangkat
menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto. Karir beliau menanjak dan menjabat kepala bagian
Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo. Beliau menjadi pahlawan revolusi setelah
ditemukan gugur di Lubang Buaya pada peristiwa G30S/PKI karena menentang pembentukan
angkatan kelima.

7. Kapten Pierre Tendean

Kapten CZI (Anumerta) Pierre Andreas Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939.
Beliau mengenyam pendidikan militer di Akademi Teknik Angkatan Darat Bandung hingga
menjabat komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Militer II di Medan pada
1962. Setelah itu, ia pun diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan
tiga tahun kemudian. Kapten Tendean termasuk pahlawan revolusi setelah ditangkap dan
dibunuh PKI. Hal ini karena beliau mengaku sebagai Jenderal A.H. Nasution.

8. AIP Karel Satsuit Tubun

Karel Satsuit Tubun (lahir di Maluku tgl. 14 Oktober 1928) merupakan polisi yang
dianugerahi gelar pahlawan nasional. Beliau merupakan ajudan Johanes Leimena (tetangga
A.H. Nasution) yang saat itu berusaha menghalau PKI yang mengepung rumah A.H.
Nasution.

9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo


Brigjen Katamso yang lahir di Sragen, 5 Februari 1923 wafat bersama Kolonel Sugiono di
Yogyakarta setelah menjadi target pembunuhan PKI.

10. Kolonel Sugiono Mangunwiyoto

Beliau lahir di Gunung Kidul Tgl. 12 Agustus 1926 dan wafat saat bertugas di Yogyakarta
bersama Brigjen Katamso oleh PKI. Selain 10 pahlawan tersebut, turut menjadi korban
juga Ade Irma Suryani (Putri A.H Nasution) yang berusia 5 tahun dalam upaya penculikan
ayahnya.

B. Pasca Kejadian
Beberapa bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang
yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan
ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan
untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Jumlah orang yang
dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-
tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang
didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana
udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini
bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-
mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-
galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-
an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

C. Diperingati Pada Zaman Orba


Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, G30S/PKI selalu diperingati setiap tanggal 30
September. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober juga diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Untuk mengenang jasa ketujuh Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa ini, Soeharto
juga menggagas dibangunnya Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

D. Diabadikan dalam Film Propaganda


Pada tahun 1984, film dokudrama propaganda tentang peristiwa ini yang berjudul
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film
Negara yang saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana yang juga staf kepresidenan Soeharto dan
menelan biaya Rp 800 juta. Mengingat latar belakang produksinya, banyak yang menduga bahwa
film tersebut ditujukan sebagai propaganda politik. Apalagi di era Presiden Soeharto, film
tersebut menjadi tontonan wajib anak sekolah yang selalu ditayangkan di TVRI tiap tanggal 30
September malam.
Sejak Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, film garapan Arifin C. Noer tersebut
berhenti ditayangkan oleh TVRI. Hal ini terjadi setelah desakan masyarakat yang menganggap
film tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya

Anda mungkin juga menyukai