Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT KUSTA

Disusun oleh:

ARIA RIZKI

NIM.2124201018

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MOJOPAHIT
MOJOKERTO
2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN KUSTA

A. DEFINISI
Kusta adalah penyakit kronik yang pertama kali menyerang susunan saraf perifer,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas,
kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukannya yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta adalah penyakit yang
menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf
tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

B. ETIOLOGI
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang
saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa salurean napas bagian atas, hati, dan
sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah diri M. leprae 12-21 hari dan
masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun. M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman
penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8
micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
C. KLASIFIKASI
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang
dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala
berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( –
) dan uji lepramin ( + ) kuat.

2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4
buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi
”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak
begitu jelas pada tepi luarnya.

 Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( – ).
1. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi
asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( – ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( – ).

2. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat
banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa
hidung, uji Lepromin ( – ).

 WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :


1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari
penyakit tersebut yaitu:
1. Bercak kulit berbentuk seperti koin di mana pada tempat bercak tersebut hilangnya atau
berkurangnya kemampuan kulit untuk merasakan sensasi sentuhan, nyeri, panas, atau dingin
(mati rasa);
2. Hilangnya kemampuan saraf yang terkena infeksi untuk merasakan sensasi di kulit.
3. Lemas dan kelemahan otot;
4. Foot drop atau clawed hand (tangan seperti mencakar) yang disebabkan nyeri akibat
kerusakan saraf dan kerusakan saraf yang cepat.
5. Luka bergaung umumnya pada tangan dan kaki
6. Perubahan bentuk dari anggota gerak maupun struktur wajah karena rusaknya saraf
7. Berubahnya kulit wajah menjadi lebih tebal (pada kusta lanjut).
Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Noreksia
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis, dan Hepatosplenomegali.
7. Neuritis
E. PATOFISIOLOGI
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (Sel
Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak
mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh
menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam
tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas pasien. Mycobacterium
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda.
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding
dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta
disebut penyakit imonologik.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir
hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada orang
lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit
kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa inkubasinya yaitu 3-5
tahun
F. KOMPLIKASI
Komplikasi kusta bergantung pada seberapa cepat penyakit ini didiagnosis dan diobati secara
efektif. Sangat sedikit komplikasi terjadi jika penyakit ini diobati cukup awal, tapi berikut ini
ialah daftar komplikasi yang dapat terjadi ketika diagnosis dan pengobatan baik ditunda atau
mulai terlambat dalam proses penyakit:
 Kehilangan sensori (biasanya dimulai pada ekstremitas)
 Kerusakan saraf permanen (biasanya di kaki)
 Kelemahan otot
 Cacat Progresif (misalnya, alis hilang, cacat jari-jari kaki, jari, dan hidung)
Selain itu, kehilangan sensori menyebabkan orang untuk melukai bagian tubuh tanpa
individu menyadari bahwa ada cedera, hal ini dapat menyebabkan masalah tambahan seperti
infeksi dan penyembuhan luka yang buruk.

F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Jenis-jenis obat kusta:
o obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide, prothionamide.
o obat sekunder: INH, streptomycine
 Dosis menurut rekomendasi WHO :
a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Ket: Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6 dosis dalam 9 bulan dan diawasi
selam 2 tahun.
b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
- Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian dilajutkan dengan 1 x 50
mg/hari
Ket : Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan
dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
 Dosis untuk anak
a. Klofazimin:Umur dibawah 10 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/2kali/minggu
- Umur 11-14 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/3kali/minggu
- DDS:1-2mg /Kg BB
b. Rifampisin:10-15mg/Kg BB
1) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB
dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-
5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan
dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
2) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya
maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat
12 dosis dari yang seharusnya.
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat
pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun
karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.

 Perawatan mata dengan lagophthalmos


o Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran.
o Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat.
o Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
 Perawatan tangan yang mati rasa
o Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
o Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
o Keadaan basah diolesi minyak
o Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
o Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
o Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
 Perawatan kaki yang mati rasa
o Penderita memeriksa kaki tiap hari
o Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
o Masih basah diolesi minyak
o Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
o Jari-jari bengkok diurut lurus
o Kaki mati rasa dilindungi
 Perawatan luka
o Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
o Luka dibalut agar bersih
o Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
o Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
o Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
o Kulit halus dan berminyak
o Tidak ada kulit tebal dan keras
o Luka dibungkus dan bersih
o Jari-jari bengkak menjadi kaku

G. PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit
kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti
keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang
kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses
peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit
sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan
masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti
pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan
bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi
BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita
kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman
menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan tertier
a. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya
pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :
a) Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat,
pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi
saraf.
b) Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan
perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri
secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial
dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan
sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang
akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap
penderita kusta meliputi :
a) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur.
b) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat
tekanan yang berlebihan.
c) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
d) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada
tangan.
e) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita

Anda mungkin juga menyukai