Anda di halaman 1dari 52

TRIPLE ELIMINASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu


Tugas STASE KEHAMILAN

Disusun oleh:
Kelompok III D

Ria Amalia 4009220022


Asri Eka Mutiara
Eka Ariani W
Euis Nurhayati
Gina Hardiati
Jajah Rohajati
Neng sri lestari R
Siti Hadidjah
Yanti Rohaeni

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA BANDUNG


PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya dengan tepat waktu kami telah menyelesaikan makalah tugas Stase Kehamilan
yang berjudul “Triple Eliminasi”.
Adapun tugas Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Stase
Kehamilan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami
mengharapkan dari semua pihak berkenan memberikan saran dan masukan untuk perbaikan ke
depannya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk memajukan bangsa Indonesia pada umumnya dan dunia pendidikan
kebidanan pada khususnya.

Bandung, September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................1
B. TUJUAN..................................................................................................................................4
C. SISTEMATIKA PENULISAN................................................................................................4

BAB II.............................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA TERKAIT TRIPEL ELIMINASI............................................................5
A. KEBIJAKAN TERKAIT TRIPEL ELIMINASI BAGI PROFESI BIDAN............................5
B. TARGET..................................................................................................................................9
C. STRATEGI.............................................................................................................................13
D. KEGIATAN TRIPEL ELIMINASI PENULARAN..............................................................15
E. PENANGANAN KASUS......................................................................................................21
F. MENCEGAH PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE BAYI............................28
G. DUKUNGAN PSIKOLOGIS DAN PSIKOSOSIAL............................................................29
H. KETERPADUAN PROGRAM DALAM PELAYANAN ANTENATAL...........................30
I. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA IBU HAMIL, BERSALIN DAN NIFAS....38
BAB III..........................................................................................................................................48
KESIMPULAN.............................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................50

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan menjadi salah satu fokus pemerintah dalam membuat


perencanaan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang baik di tingkat Nasional
maupun di bidang Kesehatan. Namun, dalam pelaksanaannya sendiri pembangunan kesehatan
di Indonesia menemui berbagai tantangan yang dapat mengancam derajat kesehatan
masyarakat. Untuk memastikan sumber daya manusia yang produktif tersebut negara wajib
menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak sebagai generasi penerus
bangsa memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sejak dalam kandungan.
Sejalan dengan tujuan pembangunan yang berkesinambungan atau Sustainable
Development Goals (SDGs), harus dilakukan promosi hidup sehat dan kesejahteraan bagi
semua orang dari segala usia dengan memperhatikan prioritas kesehatan sebagai wawasan
pembangunan, termasuk kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, dan penanggulangan
penyakit menular.
Beberapa penyakit menular seperti infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B adalah penyakit
yang dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke anaknya selama kehamilan, persalinan
dan menyusui, serta menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian, sehingga berdampak
buruk pada kelangsungan dan kualitas hidup anak. Namun demikian, hal ini dapat dicegah
dengan intervensi sederhana dan efektif berupa deteksi dini (skrining) pada saat pelayanan
antenatal, penanganan dini, dan imunisasi.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 tentang 3E (Triple Eliminasi): pemeriksaan
pada setiap ibu hamil terhadap HIV/AIDS, sifilis da

1
hepatitis B yang merupakan salah satu bukti komitmen negara Indonesia terhadap masalah ini
dengan tujuan penurunan angka infeksi baru pada bayi baru lahir sehingga terjadi pemutusan mata rantai
penularan dari ibu ke anak.

Upaya eliminasi penularan terhadap infeksi HIV/AIDS, Sifilis, dan Hepatitis B dilakukan secara
bersama-sama karena infeksi HIV/AIDS, Sifilis, dan Hepatitis B memiliki pola penularan relatif sama, yaitu
ditularkan melalui hubungan seksual, pertukaran/kontaminasi darah, dan secara vertikal dari ibu ke anak.

Untuk mengurangi risiko penularan tersebut, perlu dilakukan penatalaksanaan obstetri yang
aman, yang meliputi perawatan antenatal, persalinan terencana yang aman, dan perawatan pasca persalinan.
Perawatan antenatal meliputi manfaat tes rutin HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B untuk ibu hamil.
Penatalaksanaan persalinan termasuk menjelaskan keuntungan dan kerugian dari metode persalinan pilihan
bagi ibu dengan HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B. Sementara perawatan pasca persalinan meliputi
perawatan kebersihan dan kesehatan saat nifas, metode kontrasepsi yang dapat dipilih, menjelaskan
rujukan lembaga pemberi layanan kesehatan bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B.
Triple eliminasi merupakan pemeriksaan pada setiap ibu hamil terhadap HIV, Sifilis dan
Hepatitis B dimana tujuannya untuk penurunan infeksi terhadap bayi baru lahir. Masa kehamilan
dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, Ibu hamil merupakan salah satu dari populasi yang
berisiko tertular penyakit HIV/AIDS, Hepatitis, Sifilis yang dapat mengancam kelangsungan hidup,
sehingga meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi, anak, dan balita. Infeksi HIV, sifilis, dan hepatitis
pada anak lebih tertular dari ibu.
Risiko penularan dari ibu ke anak untuk penyakit HIV/AIDS, Hepatitis B dan Sifilis sangatlah besar.
Setiap ibu hamil diwajibkam untuk melakukam tes triple eliminasi untuk mencegah penularan penyakit
HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B,
Resiko penularan dari ibu ke anak untuk penyakit HIV/AIDS secara umum kehamilan berkembang
secara fisiologis. HIV/AIDS, Hepatitis B, dan Sifilis merupakan ancaman bagi keselamatan jiwa ibu dan
bayi yang dikandungnya, karena penularan terjadi dari ibu ke bayi. Jika ibu hamil tidak melakukan triple
eliminasi maka dapat mengancam kelangsungan hidup bayi. Pada ibu hamil yang menderita penyakit
sifilis sangat mungkin menularkan pada sang janin, terutama jika penyakit ini tidak ditangani dan terjadi
pada trimester kedua. Infeksi ini dapat menyebabkan terjadinya kecacatan pada bayi terutama kebutaan,
risiko berat badan lahir rendah, lahir prematur, keguguran bahkan lahir mati. Ibu hamil yang terdiagnosis
positif HIV dapat menularkan infeksinya pada bayi di dalam kandungan melalui plasenta, seorang ibu
hamil yang positif HIV berisiko menularkan virus pada anaknya selama kehamilan, penularan HIV dari
ibu hamil pada anaknya dapat terjadi selama proses persalinan normal, apabila bayi terpapar darah,
cairan ketuban yang pecah, cairan vagina atau cairan tubuh ibu lainnya. Pada ibu hamil yang menderita
penyakit Hepatitis B dapat menularkan kepada janinnya, pada saat persalinan dapat meningkatkan risiko bayi
lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan lahir rendah atau kelainan anatomi dan fungsi tubuh bayi.
Oleh karena itu diperlukan Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis B dengan
prioritas memutuskan rantai penularan secara komprehensif guna mencapai target ―3 Zeros, yaitu zero
2
new infection (menurunnya jumlah kasus baru, serendah mungkin), zero death (menurunnya angka
kematian) , zero stigma and discrimination (Menurunnya tingkat diskriminasi serendah mungkin), dan
peningkatan kualitas hidup. Sehingga sangat penting bagi setiap ibu hamil untuk dilakukan pemeriksaan
3E (Triple Eliminasi) untuk pencegahan dan penatalaksanaan lanjutan jika terdapat hasil positif dari
hasil pemeriksaan 3E (Triple Eliminasi) pada ibu hamil tersebut.

B. TUJUAN

Tujuan pembuatan makalah ini merupakan bagian dari reflektif


learning dari hasil belajar yang pernah diperoleh selama proses
pembelajaran sebelumnya.

C. SISTEMATIKA PENULISAN

Berikut sistematika penulisan makalah ini terdiri dari ;


Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan pembelajaran dan
sistematika penulisan.
BAB II : Kajian pustaka terkait peran bidan dalam
menjalankan Tripel Eliminasi.
BAB III : Simpulan dan
Saran Daftar Pustaka

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TERKAIT
TRIPEL ELIMINASI

A. KEBIJAKAN TERKAIT TRIPEL ELIMINASI BAGI PROFESI BIDAN

Kebijakan pemerintah terkait tripel eliminasi yang telah dikeluarkan


berdasarkan permenkes no 52 tahun 2017 tentang eliminasi penularan
human immunodeficiency virus, sifilis, dan hepatitis b dari ibu ke anak
memiliki tujuan seperti yang tertulis dalam pasal 2 yaitu ;
1) Memutus penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak
2) Menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat HIV,
Sifilis, dan Hepatitis B pada ibu dan anak,
3) Memberikan akses bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah,
tenaga kesehatan dan pemangku kepentingan lain dalam
penyelenggaraan eliminasi penularan.
Jika kita melihat pasal 2 ini jelas seluruh sector memiliki peran penting
terkait terlaksananya tripel eliminasi. Jika dikaitkan dengan kompetensi
bidan, jelas terdapat keterkaitan dengan kpmpetensi bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil yang tertuang dalam
Permenkes 21 tahun 2021, pada pasal 7 menjelaskan bahwa dalam
memberikan pelayanan kebidanan seorang tenaga kesehatan harus
melakukan pemeriksaan penunjang, sebagaimana yang dimaksud pada
pasal sebelumnya yaitu pasal 5, salah satunya adalah pemeriksaan
penyakitmenuar seksual dan pemeriksaan penujang lainnya.
Sedangkan di dalam menjalankan tugasnya sebagai bidan, sebaiknya
seorang bidan menjalankan tugasnya sesuai dengan kompetensi bidan.
Kompetensi Bidan adalah kemampuan yang dimiliki oleh lulusan pendidikan
profesi Bidan yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap
dalam

4
memberikan pelayanan kebidanan pada bayi baru lahir/neonatus, bayi,
balita dan anak prasekolah, remaja, masa sebelum hamil, masa
kehamilan, masa persalinan, masa pasca keguguran, masa nifas, masa
antara, pelayanan keluarga berencana, masa klimakterium,
kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan, serta keterampilan
dasar praktik klinis kebidanan. Dalam menjalankan tugasnya seorang
bidan sebaiknya bidan mengikuti aturan program pemerintah. Oleh
karena itu penting bagi seorang bidan memahami secara mendalam
terkait program tripel eliminasi.
Upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS pada dasarnya
untuk mencapai ―3 Zeros‖, yaitu zero new infection
(Menurunnya kasus baru HIV serendah mungkin)), zero AIDS
related death (Menurunnya angka kematian AIDS), zero stigma
and discrimination (Menurunnya tingkat diskriminasi serendah
mungkin), dan peningkatan kualitas hidup ODHA. Pada era yang
sangat dinamis saat ini, maka pendekatan 3 zero itu makin
diakselerasi menjadi 3E, ―triple eliminasi‖ untuk HIV, Sifilis
dan Hepatitis B melalui berbagai upaya kesehatan. Kebijakan
Upaya pencegahan dan pengendalian HIV, Sifilis dan Hepatitis
B, sebagai berikut:
a.Tujuan Umum
Meningkatnya pencegahan dan pengendalian HIV Sifilis dan Hepatitis B
secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
b.Tujuan khusus
1) Mewujudkan 3 zero pada HIV/AIDS yaitu :
(a) Menurunnya jumlah kasus baru HIV serendah mungkin
(target jangka panjang: zero new infection)
(b)Menurunnya tingkat diskriminasi serendah mungkin (target
jangka panjang: zero discrimination)

5
(c) Menurunnya angka kematian AIDS serendah mungkin
(target jangka panjang: zero AIDS related deaths)
c. Mewujudkan 3 eliminasi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
d. Mewujudkan 3 penguatan yaitu Penguatan deteksi dini dan layanan di
fasyankes primer, Penguatan layanan di fasyankes rujukan dan Penguatan
Sistem dan program kesehatan
e. Meningkatnya kualitas hidup dan kesehatan keluarga

Kebijakan kegiatan pencegahan dan pengendalian yang


dilaksanakan adalah dengan:
1) Mengutamakan promotif dan preventif.
2) Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan pengembangan kapasitas
3) Meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme
dalam pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, Sifilis dan
Hepatitis B
4) Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pencegahan, dan
pengendalian serta pelayanan HIV/AIDS, Sifilis dan Hepatitis
B
5) Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok
masyarakat berisiko tinggi, daerah tertinggal, terpencil,
perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan
6) Mengutamakan program berbasis masyarakat
7) Meningkatkan jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama.
8) Mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya.
9) Memprioritaskan pencapaian SDGs, komitmen nasional dan
internasional.

Berdasarkan Permenkes 51 Tahun 2013 tentang Pedoman PPIA


(Pencegahan Penularan dari ibu ke Anak) , kebijakan PPIA,
adalah sebagai berikut :

6
1) Pelayanan pencegahan penularan HIV/AIDS, dari ibu ke anak
(PPIA) diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Konseling remaja di
setiap jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara
bertahap dan melibatkan peran swasta, LSM dan komunitas.
2) PPIA dalam pelayanan KIA merupakan bagian dari Program
Nasional Pengendalian HIV-AIDS dan IMS.
3) Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja
harus mendapat informasi mengenai PPIA.
4) Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan
tes HIV kepada semua ibu hamil secara inklusif pada
pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan
antenatal atau menjelang persalinan.
5) Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga
kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB.
Pemeriksaan dilakukan secara inklusif dengan pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau
menjelang persalinan.
6) Untuk daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang
mampu atau berwenang, pelayanan PPIA dapat dilakukan
dengan cara:
a. Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai
b. Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga
kesehatan yang terlatih. Penetapan daerah yang
memerlukan task shifting petugas dilakukan oleh Kepala
Dinas Kesehatan setempat.
7) Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan
mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan
pengobatan

7
lebih lanjut (PDP)
8) Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik
(obat dan pemeriksaan tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen
P2PL, Kemenkes.
9) Pelaksanaan pertolongan persalinan baik secara per vaginam
atau per abdominam harus memperhatikan indikasi obstetrik
ibu dan bayinya serta harus menerapkan kewaspadaan
standar.
10) Pemberian ASI tidak menghilangkan risiko terjadinya
penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan HIV perlu
mendapat konseling pemberian nutrisi bayi dengan baik sejak
perawatan antenatal pertama, termasuk tentang risiko
penularan HIV melalui ASI. Dalam PP No. 33 Tahun 2012
tentang Pemberian ASI Eksklusif disebutkan bahwa ASI harus
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan sejak bayi
dilahirkan. Ketentuan tersebut tidak berlaku antara lain bila
ada indikasi medis. Bila ibu memilih memberikan ASI, maka
ibu perlu mendapat konseling laktasi sejak perawatan
antenatal pertama. Bila ibu memilih tidak memberikan ASI
maka, ibu, pasangan, dan keluarganya perlu mendapat
konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis
dan kebutuhan gizi bayi.
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori
epidemi tersebut dan karena upaya pencegahan sifilis congenital
dan hepatitis B diintegrasikan, maka tes sifilis dan hepatitis B
pun mengikuti kebijakan yang sama.

B. TARGET
Pemerintah menetapkan target pencapaian awal program
Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak
pada tahun 2022, dengan indikator Tripel Eliminasi Penularan
sebagai berikut:

8
1) HIV
Pengurangan jumlah kasus infeksi baru HIV pada bayibaru
lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi HIV per
100.000 kelahiran hidup.
2) Sifilis
Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Sifilis pada bayi
baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi
Sifilis per
100.000 kelahiran hidup.
3) Hepatitis B
Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Hepatitis B pada
bayi baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak terinfeksi
Hepatitis B per 100.000 kelahiranhidup.

Pemeriksaan ada atau tidaknya penularan HIV, Sifilis, dan


Hepatitis dari ibu ke anak dilakukan sesuai waktunya masing-
masing sebagai berikut :
1. Infeksi HIV dilakukan dengan pemeriksaan PCR DNA
kualitatif menggunakan sediaan darah (serum) atau Dried
Blood Spot (DBS) pada bayi usia 6 minggu atau lebih dan
dinyatakan terinfeksi HIVjika hasil pemeriksaan positif.
2. Infeksi Sifilis dengan pemeriksaan titer Reagen Plasma
Reagin (RPR) bayi pada usia 3 bulan dan ibu dan
dinyatakan terinfeksi Sifilis jika:
a. Titer bayi lebih dari 4 kali lipat titer ibunya, misal jika
titer ibu 1:4 maka titer bayi 1:16 atau lebih; atau
b. Titer bayi lebih dari 1:32.
3. Infeksi Hepatitis B dengan pemeriksaan HBsAg pada saat
bayi berusia 9 bulan ke atas dan dinyatakan terinfeksi
Hepatitis B

9
jika HBsAg positif.
Dalam menentukan tercapainya indikator Eliminasi
Penularan tersebut dapat dilihat dari cakupan kegiatan sebagai
berikut:

1
0
1
1
C. STRATEGI
Pemerintah mengupayakan strategi dalam mewujudkan target
program Tripel Eliminasi penularan meliputi:
1. Meningkatkan akses dan kualitas layanan bagi ibu hamil,
ibu menyusui, dan bayi/anak sesuai standar;
2. Meningkatkan peran fasilitas pelayanan kesehatan
dalam penatalaksanaan yang diperlukan untuk Eliminasi
penularan;
3. Meningkatkan penyediaan sumber daya di bidang kesehatan;
4. Meningkatkan jejaring kerja dan kemitraan, serta kerja sama
lintas program dan lintas sektor; dan
5. Meningkatkan peran serta masyarakat.
Dalam pencapaian target program Tripel Eliminasi Penularan
dilaksanakan pentahapan kegiatan sesuai dengan peta jalan yang
meliputi tahap akses terbuka, praEliminasi Penularan, Eliminasi
Penularan, dan pemeliharaan.
Kegiatan yang dilakukan pada peta jalan sebagai berikut:
1. Akses Terbuka
Tahap akses terbuka dilakukan dalam kurun waktu 2018-
2019. Pada tahap ini dibuka akses seluas-luasnya bagi setiap
ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal terpadu
lengkap yaitu timbang berat badan dan ukur tinggi badan,
ukur tekanan darah, nilai status gizi, ukur tinggi fundus uteri,
tentukan presentasi janindan Denyut Jantung Janin (DJJ),
skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi
Tetanus difteri (Td), beri tablet tambah darah (tablet besi), tes
laboratorium, tatalaksana/penanganan kasus, dan temu
wicara (konseling). Dalam pelaksanaan Eliminasi Penularan,
tes laboratorium yang merupakan bagian dalam pelayanan
antenatal terpadu

1
2
dilakukan secara inklusif bersama-sama meliputi pemeriksaan
tes kehamilan (HCG), golongan darah, kadar hemoglobin
darah (Hb), HIV, Sifilis, Hepatitis B, Malaria (untuk daerah
endemis) glukoprotein urin, dan Basil Tahan Asam (BTA) bagi
yang dicurigai tuberkulosis. Tahap akses terbuka dilakukan
pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) yang
memiliki kemampuan optimal dalam melakukan deteksi dini.
Dalam pelaksanaan tersebut harus dilakukan pencatatan dan
pelaporan untuk mendapatkan kondisi umum surveilans
berbasis layanan.
2. Tahap Pra Tripel Eliminasi Penularan
Tahap PraEliminasi Penularan dilakukan dalam kurun waktu
tahun 2020-2021. Pada tahap PraEliminasi Penularan
kegiatan pada tahap sebelumnya tetap dilakukan dan dimulai
penilaian Tripel Eliminasi Penularan.
3. Tahap Tripel Eliminasi Penularan
Tahap T r i p e l Eliminasi Penularan dicapai pada tahun
2022. Pada tahap Tripel Eliminasi Penularan, kegiatan pada
tahap sebelumnya tetap dilakukan dan penilaian terhadap
pelaksanaan Tripel Eliminasi Penularan dilakukan dengan
lebih menyeluruh dengan menghitung akses pelayanan
antenatal terpadu secara lengkap dan menghitung jumlah
bayi terinfeksi dibandingkan total bayi lahir hidup.
4. Tahap Pemeliharaan
Tahap pemeliharaan dilakukan pada kurun waktu tahun 2023-
2025. Pada tahap pemeliharaan harus mempertahankan dan
meningkatkan cakupan daerah Tripel Eliminasi Penularan,
memastikan seluruh daerah kabupaten/kota maupun provinsi

1
3
yang menyatakan eliminasi HIV, Sifilis dan Hepatitis B
mampu mempertahankan pelayanan kesehatan optimal,
mencatat dan melaporkan serta mendapatkan kondisi umum
surveilans berbasis layanan sesuaiketentuan. Sasaran
intervensi kegiatan dalam tahap ini adalah individu kasus
positif, khususnya kasus ibu hamil warga negara Indonesia
yang terinfeksi yang datang dari luar wilayah/negara.
Surveilans dan kohort layanan telah terlaksana dengan baik.

D. KEGIATAN TRIPEL ELIMINASI PENULARAN

Penyelenggaraan Eliminasi Penularan dilakukan melalui


kegiatan promosi kesehatan, surveilans kesehatan, deteksi dini,
dan/atau penanganan kasus.
1. Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi
advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan, yang
ditujukan untuk:
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat
deteksi dini penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B secara
inklusif terpadu dalam pelayanan antenatal sejak awal
kunjungan pemeriksaan trimester pertama (K1).
b. meningkatkan pengetahuan dan tanggung jawab ibu
hamil sampai menyusui, pasangan seksual, keluarga, dan
masyarakat perihal kesehatan dan keselamatan anak,
termasuk perilaku hidup bersih dan sehat serta
pemberian makanan pada bayi.
c. meningkatkan peran serta masyarakat untuk turut serta
menjaga keluarga sehat sejak dari kehamilan.

1
4
Dalam kegiatan promosi kesehatan, dipastikan
tersosialisasikannya peraturan dan pedoman ini bagi setiap ibu
hamil, masyarakat, dan pelaksana serta pengambil kebijakan di
setiap jenjang pemerintahan, dengan cara sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengetahuan, peran dan tanggung jawab
tenaga kesehatan pada umumnya dalam menjamin
kelahiran anak yang sehat dan bebas dari penyakit serta
ancaman kecacatan dan kematian.
b. meningkatkan peran dan tanggung jawab penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam memenuhi standar
pelayanan, standar prosedur operasional.
Secara khusus pesan promosi kesehatan yang utama bagi ibu
hamil yaitu:
a. Ibu hamil dan bayi yang dikandungnya berhak tetap sehat
dan makin sehat.
b. Pelayanan antenatal terpadu 10 T bermanfaat bagi
kesehatan ibu hamil dan bayi yang dikandungnya.
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak.
d. Deteksi dini penyakit baik menular maupun tidak menular
wajib ditangani secara dini pada ibu hamil.
e. Rujukan dan pendampingan dapat dilakukan tenaga
kesehatan untuk memastikan kehamilan berlangsung
dengan baik dan janin yang dikandung sejahtera.
f. Masyarakat dapat mendukung secara pribadi ataupun
kelompok agar setiap ibu/perempuan hamil tetap sehat.

1
5
2. Surveilans Kesehatan
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan
yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif
dan efisien.
Penyelenggaraan surveilans kesehatan merupakan
prasyarat programkesehatan, dilakukan secara pasif maupun
aktif untuk menyediakan informasi tentang situasi,
kecenderungan penyakit, dan faktor risikonya serta masalah
kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya secara objektif, terukur, dapat
diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan antar
kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.
Secara institusional kesehatan, pemantauan wilayah
setempat perlu dilakukan secara berkesinambungan sehingga
dapat memberikan informasi mengenai besaran masalah,
faktor risiko, endemisitas, patogentas, virulensi dan mutasi,
kualitas pelayanan, kinerja program serta dampaknya agar
dilakukan respon tindak lanjut dengan cepat. Pengambilan
keputusan sebagai respons cepat mempertimbangkan kondisi
sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan dan potensi
dampak yang dapat terjadi berbasis indikator keberhasilan
program.
Dalam program Eliminasi Penularan HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B dari ibu ke anak, populasi utama target
surveilans kesehatan adalah populasi ibu hamil di wilayah
kerja setiap

1
6
tahun secara berkesinambungan. Surveilans kesehatan pada
program Eliminasi Penularan ini dilaksanakan dengan
melakukan pencatatan, pelaporan, dan analisis terhadap data
ibu hamil dan anak yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Eliminasi Penularan. Pencatatan, pelaporan, dan analisis data
tersebut dapat menggunakan sistem informasi.
Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan, dalam
melakukan analisis data mengacu pada indikator kegitan
Eliminasi Penularan yang dibuat berdasarkan lingkup dalam
Eliminasi Penularan. Indikator kegiatan Eliminasi Penularan
tersebut terdiri atas indikator program kesehatan ibu dan
anak/kesehatan keluarga, program pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS dan PIMS khususnya Sifilis, serta
program pencegahan dan pengendalian Hepatitis Virus
khususnya Hepatitis B.

3. Deteksi Dini
Deteksi dini adalah upaya untuk mengenali secepat
mungkin gejala, tanda, atau ciri dari risiko, ancaman, atau
kondisi yang membahayakan. Deteksi dini, skrining, atau
penapisan kesehatan pada ibu hamil dilaksanakan pada saat
pelayanan antenatal agar seorang ibu hamil mampu
menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat,
serta melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Deteksi
dini dilakukan sejak masa konsepsi hingga sebelum mulainya
proses persalinan, sifatnya wajib melalui pelayanan antenatal
terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Untuk mewujukan deteksi dini yang paripurna
maka

1
7
dilakukan:
1. Deteksi dini kehamilan dalam pelayanan antenatal
terpadu berkualitas dan lengkap dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan
kesehatan.
2. Deteksi dini risiko infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B
dilakukan melalui pemeriksaan darah paling sedikit 1
(satu) kali pada masa kehamilan.

Pada Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari


ibu ke anak, deteksi dini penularan infeksi hanya dapat
diketahui dengan pemeriksaan laboratorium sampel darah
pada ibu hamil dan deteksi dini pada bayi yang dilahirkan
oleh ibu terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B. Pemeriksaan
laboratorium sebagai deteksi dini Eliminasi Penularan
dilakukan secara inklusif bersama pemeriksaan rutin lainnya
yang dilakukan pada ibu hamil sesuai dengan T8 pada
pelayanan antenatal terpadu lengkap. Pemeriksaan
laboratorium pada ibu hamil dan bayinya merupakan misi
negara sehingga ditetapkan sebagai standar bagi setiap ibu
hamil di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah
maupun masyarakat/swasta.
Deteksi dini HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dilaksanakan
dengan tes cepat (rapid diagnostic test). Untuk menjamin
hasil pemeriksaan yang akurat, setiap hasil yang reaktif pada
deteksi dini wajib dirujuk kepada dokter di Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) untuk penegakan diagnosis.
Puskesmas dengan sarananya harus melaksanakan
pengukuran, penetapan, dan pengujian terhadap bahan yang
berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit,

1
8
penyebaran penyakit, kondisi kesehatan, atau faktor yang
berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat.
Penyelenggaraan laboratorium puskesmas berdasarkan
kondisi dan permasalahan kesehatan masyarakat setempat
dengan tetap berprinsip pada pelayanan secara holistik,
komprehensif, dan terpadu dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya.
Untuk menjamin keberlangsungan program Eliminasi
Penularan maka kualitas baku mutu pemeriksaan
laboratorium menjadi pilar utama deteksi dini dan konfirmasi
diagnosis untuk intervensi program kesehatan.
Pemeriksaan laboratorium selama kehamilan, persalinan, dan
nifas merupakan salah satu komponen penting dalam
pelayanan antenatal untuk identifikasi risiko dan
komplikasi.
Bagan 2.1. Alur Deteksi Dini HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari Ibu
Hamil DalamPelayanan Antenatal Terpadu

1
9
Dari gambar skema ini terlihat bahwa pintu masuk upaya
Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B adalah
pemeriksaan Rapid Diagnostic Test (RDT) pada kunjungan
antenatal ibu hamil yang dilakukan bersama-sama secara inklusif
dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya pada ibu hamil
yaitu golongan darah dan Hb, disertai malaria untuk daerah
endemis, protein dari urin dan sputum dahak untuk basil tahan
asam (BTA) tuberkulosis bila ada indikasi batuk atau B3B.
Permintaan pemeriksaan laboratorium lain pada pelayanan
antenatal di Puskesmas dapat dilakukan sesuai dengan
ketentuan. Hasil yang diharapkan pada deteksi dini Eliminasi
Penularan adalah hasil yang negatif sehingga upaya lanjut yang
dilakukan adalah mempertahankan ibu hamil tersebut tetap
negatif. Deteksi dini pada kehamilan ini dapat diulang pada ibu
hamil dan pasangan seksualnya minimal 3 bulan kemudian atau
menjelang persalinan, atau apabila ditemukan indikasi atau
kecurigaan.

E. PENANGANAN KASUS

Penanganan kasus adalah proses atau cara menangani atau


mengatasi kasus/keadaan yang tidak diharapkan atau berisiko
membahayakan agar berubah menjadi tidak berisiko atau tidak
membahayakan. Untuk menghindari risiko atau bahaya
penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak,
dilakukan:
1. Penanganan yang diberikan sesuai kebutuhan kesehatan
masing- masing ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau
Hepatitis B dan bayi yang lahir dari ibu tersebut.
2. Penanganan bagi ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau

2
0
HepatitisB dilakukan sesuai dengan tata laksana kedokteran.
3. Penanganan bagi bayi yang dilahirkan dari ibu yang
terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dilakukan
sesuai kondisi kesehatan bayi tersebut.
Penanganan kasus terbagi atas penanganan pada ibu hamil
terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dan penanganan bayi
dari ibu yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B. Bentuk
penanganan tersebut sebagai berikut:
1. Penanganan Pada Ibu Hamil Terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B
Bagan 2.2. Penanganan pada ibu hamil terinfeksi HIV, Sifilis,
dan Hepatitis B

Apabila ibu hamil terinfeksi HIV, Siflis, dan/atau


Hepatitis B maka dilakukan penanganan kesehatan melalui
tata laksana medis, asuhan keperawatan, dan asuhan
kebidanan sesuai kebutuhan. Tata laksana medis, asuhan
kebidanan, dan

2
1
asuhan keperawatan pada ibu hamil terinfeksi HIV, Siflis,
dan/atau Hepatitis B dilakukan sesuai dengan tata laksana
keprofesian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selain tata laksana medis, asuhan kebidanan, dan
asuhan keperawatan, pada ibu hamil baik yang negatif
maupun positif terinfeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B juga
dilakukan konseling. Pada pelayanan antenatal maupun
pemeriksaan laboratorium HIV, Sifilis, dan Hepatitis B,
pemberitahuan hasil pemeriksaan laboratorium sama seperti
pada pemeriksaan laboratorium pada umumnya yaitu
dilakukan oleh yang meminta pemeriksaan, disertai
penjelasan atas hasil pemeriksaan disertai dengan rencana
tindak lanjut disebut konseling kesehatan pasca tes.
Penyampaian hasil tes dan konseling kesehatan diberikan
secara individual sesuai ketentuan. Apabila pasien masih
memerlukan konseling tambahan dapat dirujuk kepada
psikolog klinis atau dokter spesialis kedokteran jiwa, atau
pada kasus HIV dapat dirujuk ke konselor apabila stigma dan
diskrimasi tenaga pelaksana Eliminasi Penularan masih
tinggi. Konseling pada ibu hamil yang negatif maupun positif
terinfeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Konseling Kesehatan Untuk Ibu Hamil Negatif HIV,
Sifilis dan/atau Hepatitis B
1) Pesan mempertahankan hasil tetap negatif,
pencegahan agar tidak terinfeksi di kemudian hari.
2) Anjuran masuk kelas ibu hamil.
3) Ajakan agar pasangan juga diperiksa HIV, Sifilis
dan Hepatitis B.

2
2
4) Jadwalkan untuk tes ulang bila ada IMS, atau
termasuk populasi kunci dari anamnesis.
5) Hindari perilaku berisiko.

b. Konseling Untuk Ibu Hamil Positif HIV, Sifilis, dan/atau


Hepatitis B.
Apabila ditemukan hasil positif HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B, maka konseling yang diberikan
berupa:
1) Kepatuhan pengobatan
2) pilihan cara persalinan.
3) pilihan pemberian makanan bayi.
4) penanganan pada bayi.
5) Penurunan faktorrisiko penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B.
6) penanganan bagi pasangan seksualnya.

c. Penanganan Pada Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV, Sifilis,


dan/atau Hepatitis B.
Penanganan pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B dilakukan dengan:
1) Tata Laksana Medis
Tata laksana medis pada bayi dari ibu terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B dilaksanakan sesuai
dengan tata laksana keprofesian berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

2
3
2) Pemberian Makanan
Pemberian makanan pada bayi dari ibu terinfeksi
HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B seharusnya telah
dilakukan edukasi dan konseling selama kehamilan.
Secara umum Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan
terbaik bayi dan pilihan pertama, adapun pemberian
ASI sebagai berikut:
a) Pada bayi dari ibu dengan Sifilis dan Hepatitis B,
ASI Eksklusif dapat diberikan pada bayi dari ibu
terinfeksi Sifilis dan Hepatitis B.
b) Pada bayi dari ibu dengan HIV, pemberian
makanan pada bayi dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Jadwal Kunjungan Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV,


Sifilis, dan/atau Hepatitis B.
Jadwal kunjungan pemeriksaan bayi dari ibu
terinfeksi HIV, Sifilis dan Hepatitis B relatif sama
waktunya, terkecuali bila dianjurkan lain oleh dokter
spesialis anak yang menanganinya.

2
4
Jadwal Kunjungan pemeriksaan Bayi dari Ibu HIV,
Sifilisdan/atau Hepatitis B

2
5
d. Pemberian Imunisasi Bagi Bayi dari Ibu Terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B.
Imunisasi pada bayi dari ibu terinfeksi HIV, Sifilis,
dan/atau Hepatitis B dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penyelenggaraan immunisasi.
1) Anak dengan HIV tetap perlu diberikan imunisasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan kecuali beberapa jenis vaksin yang
mengandung mikroorganisme hidup seperti BCG dan
Polio oral. Pemberian imunisasi BCG dan Polio oral
pada ibu dengan HIV positif harus menunggu hasil
pemeriksaan bayi yang dilahirkan. Dalam hal hasil
pemeriksaan positif maka imunisasi BCG dan Polio oral
tidak boleh diberikan. Imunisasi campak/MR yang juga
mengandung mikroorganisme hidup dapat diberikan
kepada bayi dengan HIV apabila secara klinis kondisi
bayi baik (asimtomatik). Dianjurkan pemberian
imunisasi pada bayi dengan HIV dilakukan dengan
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.
2) Immunisasi pada bayi dari Ibu Sifilis
Setiap bayi dari ibu Sifilis wajib dilakukan imunisasi
sesuai dengan jadwal imunisasi rutin nasional.
Dianjurkan pemberian imunisasi pada bayi lahir dari
ibu sifilis dilakukan dengan berkonsultasi dengan
dokter spesialis anak.
3) Imunisasi pada bayi dari Ibu Hepatitis B
Setiap bayi dari ibu Hepatitis B wajib dilakukan

2
6
imunisasi dengan jadwal imunisasi seperti telah
ditetapkan, terutama untuk jadwal Imunisasi
Hepatitis yaitu HB0,1,2,3. Keberhasilan Eliminasi
Penularan Hepatitis B dari ibu ke anak bukan semata-
mata terlindungi dengan pemberian HBIg saat lahir
tetapi lebih merupakan kombinasi dengan imunisasi.

F. MENCEGAH PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE BAYI

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya


pencegahan penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko
penularan berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya
pencegahan, maka risiko penularan dapat diturunkan menjadi
kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan
perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan
anak yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan
menyusui bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian
terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu dapat mencegah
terjadinya sifilis kongenital pada bayinya.
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya
mencakup langkah-langkah sebagai berikut.
1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin
Penisilin (untuk sifilis) bagi ibu.
4. Konseling persalinan dan KB pasca persalianan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan
anak, serta KB.

2
7
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada
anak.
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi
ibu selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan
secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut
merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi
perempuan yang terinfeksi HIV dan sifilis serta mengurangi risiko
penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan, persalinan dan
pasca kelahiran.

G. DUKUNGAN PSIKOLOGIS DAN PSIKOSOSIAL

Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar


dapat bergaul dan bekerja mencari nafkah seperti biasa.
Dukungan medis dan perawatan diperlukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi akibat penurunan daya tahan tubuh.
Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan
keluarganya.
Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu
dengan HIV dan keluarganya cukup penting, mengingat ibu
dengan HIV maupun ODHA lainnya menghadapi masalah
psikososial, seperti stigma dan diskriminasi, depresi, pengucilan
dari lingkungan sosial dan keluarga, masalah dalam pekerjaan,
ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan psikososial dapat
diberikan oleh pasangan dan keluarga, kelompok dukungan
sebaya, kader kesehatan, tokoh agama dan masyarakat, tenaga
kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan psikososial dapat
berupa empat macam, yaitu:
(a) dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang;

2
8
(b) dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif;
(c) dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi
keluarga;
(d) dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-
AIDS dan seluruh layanan pendukung, termasuk informasi
tentang kontak petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan
sebaya.

H. KETERPADUAN PROGRAM DALAM PELAYANAN ANTENATAL

Penularan vertikal HIV, Sifilis, Hepatitis B dan IMS lainnya


dapat terjadi dari ibu ke bayi yang dikandungnya selama dalam
kandungan, persalinan dan menyusui. Upaya kesehatan
masyarakat untuk mencegah penularan ini dimulai dengan
skrining pada ibu hamil terhadap HIV, Sifilis dan Hepatitis B
pada saat pemeriksan antenatal pertama pada trimester pertama.
Tes skrining menggunakan tes cepat (rapid tes) HIV, tes cepat
sifilis (TP rapid) dan tes cepat HBsAg. Tes cepat ini relatif murah,
sederhana dan tanpa memerlukan keahlian khusus sehingga
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan (pemberi layanan
langsung/bidan). Skrining HIV, sifilis dan hepatitis B pada ibu
hamil dilaksanakan secara bersamaan dalam paket pelayanan
antenatal terpadu. Secara program nasional upaya pengendalian
terhadap ketiga penyakit infeksi menular langsung ini disebut
Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis dan hepatitis B dari
Ibu ke Anak (PPIA) dengan tujuan eliminasi penularan sesuai
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 tentang
Eliminasi Penularan HIV Sifilis dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak.
Kebijakan dalam pelaksanaan PPIA diintegrasikan dalam

2
9
layanan KIA sebagai berikut:
1. PPIA merupakan bagian dari program nasional pengendalian
HIV, IMS, Hepatitis B dan prgram kesehatan ibu dan anak.
2. Pelaksanaan kegiata PPIA diintegrasikan pada layanan KIA,
Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan remaja di setiap
jenjang pelayanan kesehatan dengan ekspansi secara bertahap
dn melibatkan peran non pemerintah, LSM dan komunitas.
3. Setiap tperempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja
mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.
4. Di setiap jenjang pelayanan KIA, tenaga kesehatan di fsilitas
pelayanan kesehatan wajib melakukan tes HIV, Sifilis dan
hepatitis B kepada semua ibu hamil minimal 1 kali sebagai
bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin pada waktu
pemeriksaan antenatal pada kunjungan 1 (K1) hingga
menjelang persalinan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
pada kunjungan pertama trimester 1.
5. Setiap kabupaten kota wajib melakukan orientasi bagi tenaga
kesehatan klinis/kebidanan agar FKTP dan FKRTL mampu
melakukan skrining tes HIV, Sifilis dan Hepatitis B, karena
skrining HIV merupakan SPM kesehatan kabupaten kota dan
pelaksanaan tesnya sama mudahnya antara HIV, Sifilis &
Hepatitis B yaitu menggunakan rapid tes (tes cepat).Dalam hal
FKTP dan jaringannya belum mampu maka:
i. Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan yang memadai;
ii. Melakukan on the job training bagi tenaga kesehatan
(pemberi pelayanan kesehatan langsung);
iii. Pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang
terlatih dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
setempat.

3
0
6. Setiap ibu hamil yang positif HIV, atau Sifilis atau Hepatitis B
wajib diberikan tatalaksana sesuai standar meliputi pemberian
terapi, pertolongan persalinan di fasilitas pelayanan keshatan,
konseling menyusui dan konseling KB.
7. Perencanaan ketersediaan logistik (obat dan reagen)
dilaksanakan secara berjenjang mulai dari Puskesmas, Rumah
Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota sampai Provinsi dan
berkoordinasi dengan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Kementerian Kesehatan.
8. Pencatatan valid berdasarkan nomor induk kependudukan
(NIK), NKK dan domisili (PP 40/2019 psl 30, Permenkes
31/2019).
9. Monitoring, evaluasi, pembinaan dan pengawasan teknis serta
umpan balik PPIA sebagai upaya kesehatan masyarakat.

3
1
Bagan 2.3. Alur Pemeriksaan Umum PPIA ( HIV, Sifilis dan Hepatitis B)

3
2
2.4. Alur Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis Selama Kehamilan

3
3
2.5. Alur Pencegahan dan Rujukan Hepatitis B Selama Kehamilan

Pengobatan ibu hamil dengan Hepatitis B yang dirujuk dan ditangani


oleh dokter spesialis penyakit dalam atau konsultan gastro enterologi dan
hepatologi di

3
4
Rumah Sakit Rujukan. Sebelum dirujuk, ibu hamil harus mendapatkan
informasi yang lengkap tentang penyakit Hepatitis B, cara pencegahan, cara
penularan serta pengobatan yang sesuai.
Kondisi medis ibu yang tidak dapat memberikan ASI Eksklusif karena harus
mendapat pengobatan sesuai dengan standar. Kondisi ibu tersebut antara
lain:
1. ibu yang dapat dibenarkan alasan tidak menyusui secara permanen
karena terinfeksi Human Immunodeficiency Virus. Dalam kondisi tersebut,
pengganti pemberian ASI harus memenuhi kriteria, yaitu dapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan, dan aman (acceptable,
feasible, affordable, sustainable, and safe). Kondisi tersebut bisa berubah
jika secara teknologi ASI Eksklusif dari ibu terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus dinyatakan aman bagi Bayi dan demi untuk
kepentingan terbaik Bayi. Kondisi tersebut juga dapat diberlakukan
bagi penyakit menular lainnya;
2. ibu yang dapat dibenarkan alasan menghentikan menyusui sementara
waktu karena:
a. penyakit parah yang menghalangi seorang ibu merawat Bayi,
misalnya sepsis (infeksi demam tinggi hingga tidak sadarkan diri);
b. infeksi Virus Herpes Simplex tipe 1 (HSV-1) di payudara; kontak
langsung antara luka pada payudara ibu dan mulut Bayi sebaiknya
dihindari sampai semua lesi aktif telah diterapi hingga tuntas;
c. pengobatan ibu:
1) obat–obatan psikoterapi jenis penenang, obat anti– epilepsi dan
opioid dan kombinasinya dapat menyebabkan efek samping
seperti mengantuk dan depresi pernapasan dan lebih baik
dihindari jika alternatif yang lebih aman tersedia;
2) radioaktif iodine–131 lebih baik dihindari mengingat bahwa
alternatif yang lebih aman tersedia, seorang ibu dapat melanjutkan
menyusui sekitar 2 (dua) bulan setelah menerima zat ini;
3) penggunaan yodium atau yodofor topikal misalnya povidone–iodine

3
5
secara berlebihan, terutama pada luka terbuka atau membran mukosa,
dapat menyebabkan penekanan hormon tiroid atau kelainan
elektrolit pada Bayi yang mendapat ASI dan harus dihindari;
dan
4) sitotoksik kemoterapi yang mensyaratkan seorang ibu harus
berhenti menyusui selama terapi.

3
6
I. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA IBU HAMIL, BERSALIN DAN NIFAS

1. Perubahan Nilai Laboratorium Pada Ibu Hamil


Pemeriksaan laboratorium selama kehamilan, persalinan dan nifas
merupakan salah satu komponen penting dalam pemeriksaan antenatal
dan identifikasi risiko komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Perlu
diingat, bahwa nilai rujukan laboratorium pada wanita yang tidak
hamil berbeda dengan nilai rujukan laboratorium wanita hamil. Hal ini
disebabkan karena adanya perubahan anatomi, fisiologi dan
biokimia ibu hamil, sebagai adaptasi terhadap kehamilannya.
Perubahan inilah yang harus dipahami oleh petugas kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pada Ibu Hamil

3
7
2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium Pada Ibu Hamil, Bersalin dan Nifas
Pemeriksaan laboratorium pada ibu hamil, bersalin dan nifas terbagi atas
tiga kelompok yaitu:
a) Pemeriksaan Laboratorium Rutin pada Ibu Hamil

b) Pemeriksaan Laboratorium Pada Daerah/Situasi Tertentu

3
8
c) Pemeriksaan Laboratorium Atas Indikasi Penyakit

Ket : √ = pemeriksaan laboratorium yang wajib


dikerjakan Catatan:
1) Pemeriksaan laboratorium/penunjang wajib dikerjakan sesuai tabel di
atas. Apabila di fasilitas tidak tersedia, maka tenaga kesehatan
harus merujuk ibu hamil ke fasilitas kesehatan yang lebih
mampu.
2) Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan
di fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV dan
sifilis kepada semua ibu hamil secara inklusif pada
pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal
atau menjelang persalinan.
3) Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes oleh tenaga
kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB
secara inklusif pada pemeriksaan antenatal atau menjelang
persalinan

3
9
4) Pemeriksaan HIV dapat dilakukan oleh bidan desa dan
bidan/perawat yang ada di Pustu yang telah dilatih
pemeriksaan HIV dan telah mendapatkan SK Penugasan dari
Kepala Dinas Kesehatan dengan menggunakan strategi I di
daerah epidemi HIV terkonsentrasi dan menggunakan strategi III
pada daerah epidemi HIV meluas, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Bila hasil pemeriksaan reaktif,
maka petugas kesehatan harus merujuk ke layanan tes dan
konseling untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
5) Pemeriksaan sifilis dapat dilakukan oleh bidan desa dan
bidan/perawat yang ada di Pustu yang telah dilatih pemeriksaan
sifilis dengan menggunakan rapid tes sifilis di daerah epidemik
HIV meluas dan terkonsentrasi.
6) Bidan/Perawat terlatih dimaksud harus mendapat SK Penunjukan
Kepala Dinas Kesehatan dengan rekomendasi dari Kepala
Laboratorium Rujukan Provinsi
7) Pemeriksaan RDT malaria dapat dilakukan oleh bidan desa
dan bidan/perawat yang ada di Pustu yang telah dilatih
melakukan pemeriksaan RDT malaria, di daerah endemis
tinggi dan sedang malaria
8) Pemeriksaan Oral Glucose Challenge Test (OGCT) atau Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan atas indikasi pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan.

4
0
3. Langkah Pemeriksaan Laboratorium

4
1
Hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan darah vena :
1. Pada umumnya vena yang baik untuk pengambilan darah ialah
vena yang cukup besar, letaknya superficial dan terfiksasi.
2. Untuk memudahkan penusukan, tekanan darah dalam vena ini
dapat dinaikkan dengan mengadakan pembendungan pada
bagian proksimal dari vena tersebut dan bila diambil dari vena
cubiti, hal ini dapat dibantu pula dengan menyuruh penderita
mengepal dan membuka tangan berulang-ulang.
3. Pembendungan vena tidak boleh dilakukan terlalu lama karena
hal ini dapat mengakibatkan terjadinya hemokonsentrasi
setempat.

Prosedur kerja dalam pemeriksaan laboratorium.


a. Pengambilan darah vena
1) Siapkan tabung vakum atau tabung mikrotainer dan beri
kode sesuai nomor ID.
2) Siapkan jarum dan beri tahu pasien yang akan diambil
darah sebelum membuka jarum bahwa jarum baru dan
steril. Bila menggunakan tabung mikrotainer siapkan
larutan EDTA 0,1 - 0,2% per ml darah.
3) Pasang jarum pada holder, taruh tutup diatas meja
pengambilan darah.
4) Letakan lengan pasien lurus diatas meja dengan telapak
tangan menghadap ke atas.
5) Torniquet dipasang ± 10 cm diatas lipat siku pada bagian
atas dari vena yang akan diambil (jangan terlalu kencang).
6) Pasien disuruh mengepal untuk mengisi pembuluh darah.
7) Dengan tangan pasien masih mengepal, ujung telunjuk kiri

4
2
memeriksa/mencari lokasi pembuluh darah yang akan
ditusuk.
8) Bersihkan lokasi dengan kapas alkohol 70% dengan usapan
lingkaran dari dalam keluar dan biarkan sampai kering,
kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi.
9) Pegang holder dengan tangan kanan dan ujung telunjuk
pada pangkal jarum.
10) Vena ditusuk dengan sudut 30-45º.
11) Bila jarum berhasil masuk vena, tekan tabung sehingga
vakumnya bekerja dan darah terhisap kedalam tabung. Bila
terlalu dalam, tarik sedikit atau sebaliknya.
12) Bila darah sudah masuk buka kepalan tangan.
13) Setelah cukup darah yang diambil, torniquet dilepas. Lepas
tabung dan lepas jarum perlahan-lahan sambil ditutup
kapas alkohol.
14) Homogenkan darah dengan cara membolak – balikan
secara perlahan.sebanyak minimal 8 kali.
15) Pasien diminta untuk menekan bekas tusukan dengan kapas
alkohol selama 1-2 menit (siku jangan dilipat).
16) Tutup bekas tusukan dengan plester.
17) Buang bekas jarum kedalam wadah tahan tusukan.
18) Bila ada Sentrifus, biarkan 30 menit kemudian sentrifus
pada RPM 3000 selama 15 menit sehingga diperoleh serum,
pindahkan supernatahn (lapisan atas yang bening kedalam
tabung eppendrof.
19) Bila tidak mempunyai sentrifus, diamkan tabung dalam rak
selama lebih kurang 1-2 jam.
20) Supernatan (lapisan atas yang bening) diambil
menggunakan pipet dan diteteskan ke dalam reagen Kit
HIV, Sifilis, dan

4
3
Hepatitis B sesuai instruksi kerja kit (insert kit) masing
masing.
21) Pemeriksaan dilakukan sesuai permintaan dokter/pengirim.
22)Hasil pemeriksaan diserahkan pada pasien dalam amplop
tertutup ditujukan pada dokter/pengirim yang meminta.
23) Jangan lupa mencatat pemeriksaan dalam buku besar
pemeriksaan di laboratorium.
24) Hal yang perlu diperhatikan mengenai Stabilitas sampel
darah vena:
a) Pada suhu ruangan (25° C), darah whole blood, serum
atau plasma, dapat di periksa maksimal 24 jam sejak
pengambilan darah.
b) Bila disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 2- 8°C,
sampel masih dapat diperiksa maksimal sampai 7 hari,
sejak pengambilan darah.
b. Pengambilan darah tepi/kapiler
1) Siapkan reagen RDT pemeriksaan HIV, Sifilis dan Hepatitis B.
2) Siapkan tabung mikrotainer EDTA (250-500 uL) dan beri
kode sesuai nomor ID.
3) Siapkan lancet khusus untuk pengambilan darah
tepi/kapiler (2.0 mm) dan beri tahu pasien yang akan
diambil darah sebelum membuka lancet bahwa lancet baru
dan steril.
4) Lokasi tusukan (fingertip) pada jari ke 3 atau ke 4 jari
tangan non-dominan.
5) Bersihkan lokasi dengan kapas alkohol 70% dengan usapan
lingkaran dari dalam keluar dan biarkan sampai kering,
kulit yang telah dibersihkan jangan dipegang lagi.
6) Dengan menggunakan lancet steril, buat tusukan tegak
lurus terhadap sidik jari pada tengah ujung jari sampai
pangkal

4
4
ujung lanset menekan kulit sehingga tetesan darah tidak
meleber ke seluruh buku jari.
7) Tetesan darah yang pertama keluar di hapus dengan kasa
steril.
8) Teteskan pada reagen tes cepat atau kumpulkan tetes
darah berikutnya ke dalam tabung mikrotainer yang
mengandung EDTA.
9) Tutup bekas tusukan dengan kasa steril selama beberapa
saat untuk menghentikan perdarahan.
10) Buang bekas lancet ke wadah tahan tusukan dan limbah
lainnya ke wadah infeksius.
11) Lakukan pemeriksaan dengan rapid tes sesuai manual
insert kit atau bawa/kirim segera ke laboratorium untuk
dilakukan pemeriksaan.
12) bila langsung diperiksa, pencatatan hasil dilakukan pada
buku KIA dan/atau Kartu Ibu.
c. Catatan pemeriksaan:
1) Tindakan di laboratorium harus tetap berprinsip dan
mengacu pada standar praktek laboratorium yang benar.
2) Pelaksana wajib membaca manual kit insert petunjuk
pemakaian yang terdapat dalam boks setiap reagen masing-
masing.
3) Pembacaan hasil sesuai waktu yang ditentukan dalam
petunjuk pemeriksaan dalam boks (manual kit insert).
4) Setiap reagensia yang digunakan harus sudah dievaluasi
oleh laboratorium yang ditunjuk dan sudah terdaftar sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Pemeriksaan dengan spesimen serum/plasma akan
menghasilkan nilai yang lebih nyata karena antibodi yang

4
5
diperiksa lebih banyak terdapat di dalamnya daripada whole
blood.
6) Pencatatan dilakukan pada buku KIA dan/atau Kartu Ibu.

d. Cara Membaca Validitas Hasil Pemeriksaan


1) Hasil valid apabila garis kontrol keluar garis/dot.
2) Hasil invalid apabila garis kontrol tidak keluar, maka
pemeriksaan harus diulang.
3) Hasil dinyatakan reaktif atau positif jika terdapat dua garis
yaitu garis kontrol dan garis hasil.
e. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium
Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menemukan kemungkinan infeksi, sebagai berikut:
1) Pada HIV, adanya antibodi HIV secara kualitatif pada
penggunaan RDT HIV pertama disebut darah reaktif, bukan
positif. Untuk menjadi diagnosis harus dilanjutkan dengan
RDT HIV kedua dan jika reaktif dilanjutkan dengan RDT HIV
ketiga. Jika ketiganya reaktif baru disebut positif HIV.
2) Pada Sifilis, adanya antibodi Treponema secara kualitatif
pada penggunaan RDT Treponema (TP Rapid) disebut darah
positif Sifilis
3) Pada Hepatitis B adanya HBsAg secara kualitatif pada
penggunaan RDT HBsAg (Hepatitis B surface Antigen)
disebut darah reaktif Hepatitis B.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan laboratorium
rapid test masing-masing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

4
6
BAB III
KESIMPULAN

Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) adalah kegiatan


yang komprehensif, dari pelayanan, pencegahan, terapi, dan perawatan,
untuk ibu hamil dan bayinya, selama masa kehamilan, persalinan,
dan sesudahnya. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil
dengan HIV ke bayi yang dikandungnya merupakan inti dari PPIA.
Intervensi yang dilakukan berupa: pelayanan kesehatan ibu dan anak
yang komprehensif, layanan testing dan konseling, pemberian obat
antiretrovirus (ARV), konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta
pemberian makanan bayi, dan persalinan yang aman.
Pada ibu hamil, HIV merupakan ancaman bagi keselamatan jiwa
ibu dan bayi yang dikandungnya, karena penularan terjadi dari ibu ke
bayi. Lebih dari 90 persen penularan HIV pada anak didapat vertikal
akibat transmisi dari ibu ke bayi. Mayoritas ditemukan pada anak
di bawah 5 tahun. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada
kehamilan 5-10 %, persalinan 10-15 %, dan pasca-persalinan 5-20 %.
Risiko penularan dari ibu ke anak, untuk sifilis adalah 69-80 % dan
untuk hepatitis B lebih dari 90
%.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2017 tentang
3E (Triple Eliminasi): pemeriksaan pada setiap ibu hamil terhadap HIV,
sifilis, dan hepatitis B yang merupakan salah satu bukti komitmen
negara Indonesia terhadap masalah ini dengan tujuan penurunan
angka infeksi baru pada bayi baru lahir sehingga terjadi pemutusan
mata rantai penularan dari ibu ke anak.
Syarat pelaksanaan PPIA seperti yang diharapkan pemerintah
dilaksanakan pemeriksaan skrining 3E pada saat ibu hamil datang
pertama kali ke tempat pelayanan kesehatan untuk periksa
kehamilannya (Ante Natal

4
7
Care/ANC). Support dan konseling keteraturan minum obat serta
pemeriksaan viral load pada ibu hamil dengan HIV positif pada
kehamilan 34-36 minggu dilakukan untuk menentukan cara persalinan
dan pemberian makanan pada bayi. Konseling makanan pada bayi yang
dikandung dari ibu menderita HIV bisa memberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan tanpa mix feeding/ makanan campuran atau bila
diberikan susu formula memperhatikan prinsip AFASS, yaitu
acceptable (diterima), feasible (terlaksanakan), affordable
(terjangkau), sustainable (berkelanjutan), dan safe (aman).
Pemberian profilaksis pengobatan pada bayi baru lahir juga
dilakukan sebelum bayi berumur 12 jam. Pemeriksaan pada bayi yang
lahir dari ibu dengan HIV positif dilakukan pada umur 6 minggu
dengan melakukan EID (Early Infant Diagnosis). Semua pelayanan untuk
ibu hamil ini dilakukan secara terintegrasi yang turut berperan serta
menyukseskan program WHO tentang penghapusan penularan HIV
dari ibu ke anak, hepatitis B, dan sifilis di Asia dan Pasifik tahun
2018-2030.

4
8
DAFTAR PUSTAKA

1. Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal


Kesehatan Masyarakat Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu.— Jakarta
: Kementerian Kesehatan RI. 2020.

2. Kementerian Kesehatan RI, 2012, Pedoman Nasional Pencegahan


Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).

3. Kementerian Kesehatan RI, 2017, Modul pelatihan bagi pelatih Triple


Eliminasi HIV, sifilis dan Hepatitis B.

4. Kemenkes RI, Permenkes RI Nomor 52 Tahun 2017 tentang Eliminasi


Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari ibu ke Anak.

5. Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina


Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan RI. Pedoman manajemen
program pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari ibu. 2015.

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun


2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah Melahirkan,
Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan Seksual.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang


Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif.

8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun


2015 Tentang Penyelenggaraan Pemeriksaan Laboratorium Untuk Ibu
Hamil, Bersalin, Dan Nifas Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dan
Jaringan Pelayanannya.

4
9

Anda mungkin juga menyukai