Anda di halaman 1dari 7

PATANJALA

Sebuah Dramatisasi
Puisi Oleh Teater Hayat

(SUARA BAPAK)

HAYAT

Bersama pesan
yang halimun sematkan
saban Senin,
aku hablurkan tanya
sekujur gerimis:
Bagaimana jika welas asih
belum tuntas kusemai.
Lembar hikayat
sebentar lagi tamat?

Kelopak cahaya
akan menjelma engkau.
Di dermaga yang lain,
kehidupan yang baik
adalah apa
yang kita
percaya sebagai
yang ada di
tingkap waktu.

Mengapa rumpun serai


meruapkan
perpisahan,
kesedihan?

1
O, hidup, hidup,
engkau
mengasihiku!

2
(PENARI MENARI MEMBAWA RANTING, MENGIBASKAN KAIN, DUDUK DI
PANGGUNG SAMBIL MEMELUK KAKI. LALU CISANTAJA MASUK KE PANGGUNG,
MENGIBAS-NGIBASKAN TANGAN KARENA BANYAK NYAMUK DAN MEMAKAI
LOTION AUTAN KE RAMBUT)

CISANTAJA: Menanti, di bawah pohon kemboja datangmu, adikku yang kucinta…. Aku
kembali, ke kota tempatku lahir. Namaku Cisantaja. Aku masih ingat, petang itu, tidak lama
setelah Ayah-Ibu bercerai, aku yang berusia enam tahun ikut dengan bapak. Sedangkan adikku
Patanjala, ikut Ibu. Sejak itu kami berpisah. Dan belum bertemu lagi hingga kini.
Menanti, di bawah pohon kemboja, datangmu, adikku yang kucinta…

(CISANTAJA DUDUK MEMBELAKANGI PENONTON, MEMEGANG KAIN PUTIH, IA


MENJADI TUKANG JAHIT)

(PATANJALA NAIK KE PANGGUNG)

PATANJALA: Sekarang hari perpisahan sekolah. Baju belum diambil di tukang jahit. Katanya
seminggu lagi selesai, sekarang sudah hari ke 10. Masa belum selesai juga. Kalau saja Ibu
masih ada. Ibu adalah tukang jahit paling hebat di dunia. Permisi....
TUKANG JAHIT: Ya, iya...
PATANJALA: Jahitan sudah beres kan, Pak.
TUKANG JAHIT: Belum, belum selesai. Belum dikasih kancing dan belum dilubangin.
PATANJALA: Ya Allah. Bukankah sudah saya bayar lunas di awal. Masa belum juga selesai.
TUKANG JAHIT: Nanti saja atuh ke sini lagi. Lagian memangnya mau ke mana, meni riweuh,
ih geuleuh aing mah.

3
PATANJALA: Bajunya mau saya pakai hari ini buat baca puisi di acara perpisahan sekolah.
Bagaimana sih.
TUKANG JAHIT: Besok saja ke sini lagi.
PATANJALA: Besok saja? Mau dipakainya sekarang! Sudah sudah, jangan pegang-pegang,
jangan pegang-pegang.
TUKANG JAHIT: Ih, siapa lagi yang mau pegang-pegang.
PATANJALA: Saya ambil saja bajunya. Uang sudah masuk, pekerjaan belum selesai.
TUKANG JAHIT: Silakan saja, lagian saya nggak rugi. Kan uangnya sudah saya terima.

(PATANJALA MENGENAKAN BAJU YANG BELUM SELESAI, LALU PENARI MENARI


TARIAN RANTING, DISUSUL PATANJALA BACA PUISI SETELAH MENGENAKAN BAJU
YANG BELUM SELESAI):

Telah ibu titipkan aroma serai wangi


di sekujur tubuhmu.
Hingga samping kebat
menjelma selimut hangat.
Sebab kata-kata dalam buku kehidupan
adalah tangkai puisi
yang siap kau petik.
Maka terjagalah wahai pucuk mimpi.

Bulir embun masih menari


di antara kuntum seruni
yang menguarkan wangi.
Sementara anak sungai
masih menenun ingatan tentang perpisahan.

3
(TUKANG JAHIT MENJADI CISANTAJA, MELANJUTKAN BACA PUISI):

Patanjala,
jalaran ci ibun
geus lungsur
sareng lungsurna hujan
ti langit ka leuweung,
ti leuweung ka susukan,
ti susukan ka basisir
tempat kasono urang hurung
lir cucuk panonpoe
nyangsang di regang tatangkalan.

Ngaput manah nu raheut.

PATANJALA: kakak...
CISANTAJA: Sebentar, agar harum, kita pakai parfum ini dulu. Mmm, wanginya membuat
nyamuk- nyamuk nakal lupa diri. Oke, mari kita selesaikan puisi yang ibu tulis untuk kita ini.
(PATANJALA DAN CISANTAJA BACA PUISI BARENG):

Maka Ibu titipkan doa


seperti induk burung
menitipkan puisi daun kering
di ranting angin,
pohon kehidupan.

(PENARI BERHENTI MENARI, DUDUK DI PANGGUNG MEMBELAKANGI PENONTON)

4
CISANTAJA: Kakak lihat, bajumu belum dipasangi kancing. Ini kebetulan kakak bawa peniti.
Bisa kamu pakai dulu sementara waktu.

(PATANJALA MENERIMA PENITI, SAMBIL MEMASANG PENITI DI BAJU,


PATANJALA BICARA)

PATANJALA: Kakak sudah tahu jika ibu sudah meninggal?


CISANTAJA: Ya, bersyukur ada paman dan bibi yang merawatmu. Kamu pun sudah tahu jika
bapak sudah meninggal satu tahun yang lalu?

(PATANJALA MENGGELENG)

PATANJALA: Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Kenapa baru bilang sekarang?


CISANTAJA: Ah, makanya aku ke sini menemuimu. Hhmm, biarpun bajunya belum dipasangi
kancing, tapi bisa kamu kenakan saat ziarah ke makam bapak dan ibu besok. Jangan lupa
pasang penitinya.
Patanjala, kamu ingat kata-kata yang sempat Bapak kita ucapkan? Bapak kita, yang mengajari
kita menulis dan membaca puisi. Coba dengar sayup-sayup suaranya dari kejauhan…
SUARA ALMARHUM BAPAK : Aku mengasihimu dengan butir air mata cinta. Sebelum
kertak dahan terdengar dan tiba sinar fajar, hablurkan kembali doa-doa suci di ujung sujudmu.

(PATANJALA DUDUK BERSIMPUH DI ATAS SAJADAH, LALU BERDOA)

PATANJALA: Ya Allah, ini doa untuk almarhum kedua orang tuaku. Semoga doaku ini bisa
menjadi bola cahaya, dan semoga kami bisa dipertemukan kembali nanti, di surga. Amin.

(TUKANG JAHIT DAN SEORANG PENARI MENARI BERSAMA)

CISANTAJA: Patanjala, sudah kakak bilang, pakai penitinya. Baiklah, sini kakak pasangkan.

(CISANTAJA SEOLAH MENUSUK LEHER PATANJALA, PATANJALA MERINGIS


SERAYA BILANG KAKAK, LALU IA JATUH. CISANTAJA MELILITKAN KAIN HITAM
KE LEHER PATANJALA, SEOLAH MENARIKNYA)

5
CISANTAJA: Aku memang mewarisi bakat ibu dalam menjahit, tetapi tidak dengan kasih
sayangnya.

(CISANTAJA LALU MENUTUPI TUBUH PATANJALA MENGGUNAKAN KAIN PUTIH)

TUKANG JAHIT: Patanjala, seperti Ikarus, kau terlalu dekat dengan matahari. Kau harus jatuh.
Seperti Ikarus. Biar kakak saja yang menjaga peninggalan dan harta warisan Ayah-Ibu.

(CISANTAJA NAIK KE MEJA)

CISANTAJA: Que sera, sera, what will be, will be. Que sera, sera … Que sera, sera ...

(PARA PEMAIN NAIK KE PANGGUNG, MEMBERI HORMAT)

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai