Anda di halaman 1dari 242

Pengantar Pendidikan Sosiologi

(Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi)

Editor:
Ubedilah Badrun
Syaifudin

Penerbit:
Labpendsos UNJ

Penerbit:
Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang perlindungan Hak Cipta dan Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling sedikit 1 (satu) bulan dan/ atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.0000.000,00
(lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau


menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau
hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pengantar Pendidikan Sosiologi
(Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi)

Editor:
Ubedilah Badrun; Syaifudin

Copyright© 2020 oleh Labpendsos UNJ

Desain sampul: Labpendsos UNJ


Tata letak: Achmad Siswanto

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh:


Labsos UNJ
Gedung K. FIS, Lantai 4, R. 403, Kampus A UNJ
Jalan Rawamangun Muka, Jakarta 13220

Hak cipta dilindungi oleh undang – undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa
izin tertulis dari penerbit.

Cetakan keempat, September 2020

ISBN: 978-602-74610-0-0
PENGANTAR EDITOR

Alhamdulillah akhirnya buku Pengantar Pendidikan


Sosiologi (Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi) ini telah
dirampungkan. Buku ini hadir selain untuk memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan juga untuk memenuhi dahaga
keilmuan dosen dan mahasiswa Pendidikan Sosiologi dan
Antropologi di banyak Universitas yang memiliki latar
belakang Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Buku ini merupakan permulaan atau awal yang
baik untuk memberikan kejelasan tentang posisi ilmu
pendidikan sosiologi.
Buku Pengantar Pendidikan Sosiologi (Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi) ini, merupakan bunga rampai
atau kumpulan tulisan dan pemikiran para dosen yang
tergabung dalam Asosiasi Program Studi Pendidikan
Sosiologi dan Antropologi Indonesia (APPSANTI).
Sebagai buku bunga rampai tentu belum memiliki
keutuhan keilmuan, namun demikian secara bertahap akan
terus disempurnakan, karena akan terus secara dinamis
digunakan dalam diskusi-diskusi di kelas dalam mata kuliah
Pengantar Pendidikan Sosiologi. Selain itu dalam buku ini
juga ditambahkan bab penelitian sosial. Sebab dalam
pembelajaran sosiologi saat ini, peserta didik diharapkan
dapat melakukan penelitian sosial sederhana. Melalui bab
ini, guru maupun peserta didik dapat melihat contoh –
contoh dalam penelitian sosiologi.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada para
penulis yang sangat antusias untuk berkontribusi dalam
penulisan buku ini seperti Prof. Dr. Warsono, M.S, Dr. Evy
Clara, M.Si, Dr. Robertus Robert M.A, Dr. Komarudin
Sahid, M.Si, Dr. Linda Darmajanti, MT, Dr. Nursalam,

i
M.Si, Dr. Erianjoni, M.Si, Drs. Martinus Legowo, M.A, Drs.
F.X. Sri Sadewo, M.Si, Atik Catur Budiati, M.A, Ahmad
Tarmiji Alkhudri, M.Si, dan Achmad Siswanto, M.Si.
Sebagai buku yang belum sempurna tentu memiliki
sejumlah kelemahan dan kekurangan, oleh karenanya kritik
dan saran sangat kami harapkan sebagai perbaikan buku
ini.

September, 2020

Editor
Ubedilah Badrun
Syaifudin

ii
DAFTAR ISI

BAB I ONTOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI ............. 1

Menimbang Pendidikan Sosiologi Sebagai


Ilmu Pengetahuan Mikro .................................................. 2

Oleh: Ubedilah Badrun

A. Menimbang Pendidikan Sosiologi Sebagai


Ilmu Pengetahuan Mikro ..................................... 3
B. Hakikat Pendidikan Sosiologi ............................. 5
C. Objek Kajian Pendidikan Sosiologi ................... 9

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 11

Diskursus Kurikulum Sosiologi: Menumbuhkan


Imajinasi Sosiologis sebagai Tujuan Pembelajaran
Sosiologi ................................................................................ 12

Oleh: Robertus Robet


A. Pengantar ........................................................... 12
B. Empat Bidang Sosiologi .................................. 15
C. Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan
Pembelajaran Sosiologi .................................... 17
D. Peningkatan Kualitas Berfikir dengan Imajinasi
Sosiologis ........................................................... 20
E. Metode Pembelajaran Imajinasi Sosiologis ... 23
F. Beberapa Pandangan Mengenai Sosiologi
dalam Kurikulum 2013 .......................................... 25
G. Kesimpulan ........................................................ 27

iii
DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 28

Kurikulum Sosiologi Antropologi 2013: Titik Lemah,


Relevansi Sosial Kemasyarakatan dan Tantangan
Pembelajaranya ................................................................... 29
Oleh: Warsono
A. Matapelajaran Sosiologi Antropologi dalam
Kurikulum 2013 ................................................ 40
B. Relevansi dengan Sosial Kemasyarakat ......... 46
C. Tantangan Pembelajarannya ........................... 49

DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 52

Analisis Konsep – Konsep Dasar Kurikulum Sosiologi


2013 54
Oleh: Linda Darmajanti
A. Pengantar ............................................................. 54
B. Kurikulum 2013 Sosiologi dan Antropologi ... 57
C. Konsep-konsep Dasar Sosiologi dan
Antropologi .............................................................. 60
D. Penutup ................................................................ 64

DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 66

iv
BAB II EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
SOSIOLOGI ........................................................................ 67

Tantangan Metodologi Pembelajaran


Sosiologi-Antropologi: Sebuah Pemikiran Awal ....... 68
Oleh: Komarudin Sahid
A. Pengantar ............................................................. 69
B. Tantangan Pembelajaran Sosiologi dan
Antropologi .............................................................. 70
C. Bangunan Sosiologi-Antropologi Indonesia ... 71
D. Tujuan Sosiologi-Antropologi Indonesia ........ 72
E. Metodologi Pembelajaran yang Perlu
Dikembangkan ......................................................... 73
F. Penutup ................................................................. 79

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 80

Potensi Ajar dan Kesulitan Peserta Didik Dalam


Belajar Sosiologi ................................................................. 81
Oleh: Erianjoni
A. Pendahuluan ........................................................ 81
B. Sosiologi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia 82
C. Potensi Peserta Didik dalam Pembelajaran
Sosiologi .............................................................. 85
D. Bekal Ajar Awal Peserta Didik dalam
Pembelajaran Sosiologi .................................... 90
E. Kesulitan Belajar Peserta Didik Pada
Pembelajaran Sosiologi ...................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 98

v
BAB III AKSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 100

Pengembangan Model Bahan Ajar Sosiologi SMA


Berbasis Karakter ............................................................. 101
Oleh: Evy Clara dan Ahmad Tarmiji Alkhudri
A. Pendahuluan ........................................................... 101
B. Metodologi ............................................................. 103
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan........................ 104
D. Penutup ................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 119

Penggunaan Facebook Sebagai Alternatif Media


Pembelajaran Sosiologi di Era Internet....................... 123
Oleh: Ahmad Siswanto
A. Facebook Sebagai Produk Internet ................... 126
B. Pemanfaatan Jejaring Sosial Facebook sebagai Media
Pembelajaran Sosiologi ......................................... 134

DAFTAR PUSTAKA........................................................ 141

Pembelajaran Sosiologi di Sekolah: Permasalahan dan


Alternatif Sumber Pembelajaran ................................. 142
Oleh: Syaifudin
A. Guru dan Proses Pembelajaran ...................... 146
B. Surat Kabar Cetak: Alternatif Sumber
Pembelajaran ..................................................... 149

DAFTAR PUSTAKA........................................................ 153

vi
BAB IV PENELITIAN SOSIAL................................. 154

Konstruksi Sosial Sekolah di Kalangan Pelajar Kota


Surakarta ............................................................................. 155
Oleh: Atik Catur Budiati
A. Pendahuluan ...................................................... 155
B. Metode Penelitian ............................................. 170
C. Hasil dan Pembahasan ..................................... 171
D. Kesimpulan dan Saran ..................................... 181

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 183

Pengembangan Desa Produktif Dalam Upaya


Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin Pedesaan Di
Jawa Timur ......................................................................... 184
*Martinus Legowo dan F.X. Sri Sadewo
A. Pendahuluan ...................................................... 184
B. Proses Penelitian ............................................... 187
C. Hasil dan Pembahasan ................................... 188
D. Peran Pemerintah dan Masyarakat Industri
dalam
Upaya Pengentasan Kemiskinan .................... 193
E. Keterlibatan Keluarga Miskin dalam upaya
peningkatan
perekonomian keluarga dan keikutsertaan dalam
Pengembangan Desa Produktif. ........................ 200

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 205

vii
Implikasi Sosial Diskriminasi Gender: Studi
Kampung Bungung Katammung, Kabupaten
Bantaeng ........................................................................... 209

Oleh: Nursalam

A. Pendahuluan .................................................... 209


B. Landasan Teori .................................................. 210
C. Hasil dan Pembahasan ....................................... 220
D. Kesimpulan ......................................................... 225

DAFTAR PUSTAKA ............................................ 226

viii
BAB I
ONTOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

Diskursus kelahiran suatu ilmu pengetahuan selalu melalui proses yang panjang.
Pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar patut diajukan dan jawaban-jawaban ilmiah patut
dipaparkan. Karena dinamika pertanyaan dan jawaban yang seringkali belum tuntas memerlukan
waktu yang lama dan memerlukan uji ilmiah tertentu maka suatu ilmu pengetahuan tidak lahir
begitu saja. Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ―On/Ontos” yang
artinya ada, dan ―Logos‖ yang artinya ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Pada bab
ini bermaksud menjelaskan secara ontologis dari Pendidikan Sosiologi, baik maknanya maupun
pembelajarannya.

1 1
Menimbang Pendidikan Sosiologi Sebagai Ilmu
Pengetahuan Mikro

Oleh:
Ubedilah Badrun*

Diskursus kelahiran suatu ilmu pengetahuan selalu


melalui proses yang panjang. Pertanyaan-pertanyaan filosofis
mendasar patut diajukan dan jawaban-jawaban ilmiah patut
dipaparkan. Karena dinamika pertanyaan dan jawaban yang
seringkali belum tuntas memerlukan waktu yang lama dan
memerlukan uji ilmiah tertentu. Maka untuk itu suatu ilmu
pengetahuan tidak lahir begitu saja. Buku ini hadir semacam
permulaan upaya untuk melahirkan Pendidikan Sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan mikro (berbeda dengan Sosiologi
Pendidikan yang penulis posisikan sebagai ilmu pengetahuan
makro). Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
mikro, ia lebih operasional. Posisi keilmuannya dijadikan
sebagai pengantar kearah pemahaman bahwa Pendidikan
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tersendiri. Dengan posisi
tersebut buku ini dijadikan sebagai mata kuliah pengantar bagi

*
Ubedilah Badrun, Peneliti Sosial, Pendidikan dan Politik Universitas
Negeri Jakarta (UNJ). Pengajar Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
UNJ. Sekretaris Forum Komunikasi Program Studi Pendidikan Sosiologi
& Antropologi Se-Indonesia dan Ketua Laboratorium Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial (FIS) UNJ.

2
mahasiswa Pendidikan Sosiologi. Dalam konteks tersebut,
Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan memiliki
fungsinya yang jelas.

A. Menimbang Pendidikan Sosiologi Sebagai Ilmu


Pengetahuan Mikro

Ernest Negel dalam The Structure of Science


mengemukakan bahwa diantara fungsi ilmu pengetahuan
adalah fungsi deskriptif atau menjelaskan tentang hakikat
sesuatu. Negel (1961) kemudian menjelaskan bahwa secara
garis besar ada beberapa pola penjelasan ilmu pengetahuan,
yaitu: pola deduktif, induktif, probabilistik, fungsional, dan
genetik. 1 Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
mikro memiliki sejumlah pola penjelasan deduktif, induktif,
probabilistik, fungsional maupun genetik. Penjelasan deduktif
yang dipahami sebagai cara menarik kesimpulan secara logis
dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya
dimungkinkan nampak dalam Pendidikan Sosiologi. Misalnya
premis bahwa Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan
mikro. Sebagai ilmu pengetahuan mikro maka Pendidikan
Sosiologi memiliki kejelasan obyek studi yang lebih
operasional. Diantara obyek studi yang operasional dalam

1
Ernest Nagel. The Structure of Science (New York: Harcourt, Brace &
World, 1961), hlm. 20-26.

3
Pendidikan Sosiologi adalah tentang bagaimana mengajarkan
Sosiologi kepada siswa SMA. Dari penjelasan deduktif ini
maka muncul gagasan mata kuliah seperti Metode
Pembelajaran Sosiologi. Penjelasan induktif juga
dimungkinkan demikian melekat pada Pendidikan Sosiologi
karena penarikan kesimpulan pengetahuan Pendidikan Sosiologi
dibangun dari realitas praksis, misalnya dari sejumlah
praktik-praktik empirik pembelajaran Sosiologi kemudian
dibangun kesimpulan tentang model pembelajaran Sosiologi di
SMA maupun Perguruan Tinggi. Demikian juga penjelasan
probabilistik, fungsional maupun genetik. Penjelasan
probabilistik Pendidikan Sosiologi dimungkinkan dapat
ditemukan dalam sejumlah penelitian dengan pendekatan
kuantitatif, misalnya pengaruh latar belakang pendidikan guru
yang tidak sesuai dengan bidang Sosiologi dalam mengajar
Sosiologi di SMA. Penjelasan fungsional lebih kepada
keberfungsian pembelajaran Pendidikan Sosiologi bagi para
calon guru. Sementara penjelasan genetik Pendidikan Sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan mikro dapat dijelaskan dari genetika
ilmu pendidikan dan genetika ilmu Sosiologi. Bahwa
Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu mikro secara genetik lahir
karena perpaduan atau dikenal dengan istilah interdisipliner
dua ilmu pengetahuan, yaitu: ilmu pendidikan disatu sisi dan
Sosiologi disisi yang lain.

4
Menurut The Liang Gie, ilmu pengetahuan memiliki lima
ciri. Pertama, empiris, artinya pengetahuan diperoleh
berdasarkan pengamatan dan percobaan. Kedua, sistematis,
artinya berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai
kumpulan pengetahuan dan mempunyai hubungan yang teratur.
Ketiga, objektif, artinya ilmu pengetahuan itu bebas dari
prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi. Keempat, analitis,
artinya pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok
soalnya dan peranan dari bagian-bagiannya. Kelima, verifikatif,
artinya dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.2 Kehadiran
buku Pengantar Pendidikan Sosiologi ini semacam 'proposal'
Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mikro yang
operasional tetapi tidak menafikan karakteristik dasar dari
sebuah ilmu pengetahuan (empiris, sistematis, obyektif,
analitis, dan verifikatif) dan melekat pada Pendidikan Sosiologi
secara lebih kuat.
Pertanyaan - pertanyaan filosofis mendasar terkait sesuatu
disebut ilmu pengetahuan diantaranya adalah pertanyaan yang
bersifat ontologis, epistemologis dan aksiologis. Pertanyaan-
pertanyaan ontologis terkait Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan misalnya adalah apakah hakikat ilmu Pendidikan
Sosiologi? Apakah Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu

2
The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2010).

5
pengetahuan memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan?
Apa saja objek kajian Pendidikan Sosiologi? Apakah
Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan berdiri
sendiri atau merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner?
Demikian diantara pertanyaan-pertanyaan ontologis yang
patut di jawab dalam bab 1 buku ini. Sementara pertanyaan -
pertanyaan epistemologis akan diajukan dan dijawab pada bab
2 buku ini dan pertanyaan-pertanyaan aksiologis akan dijawab
pada bab 3 buku ini.

B. Hakikat Pendidikan Sosiologi


Pertanyaan "apakah hakikat ilmu Pendidikan Sosiologi?"
patut dijawab dalam sub bab 1 buku ini. Pendidikan Sosiologi
secara etimologis berasal dari dua kata yang basis ilmu
pengetahuannya berbeda yaitu pendidikan dan Sosiologi.
Pendidikan sebagai ilmu pengetahuan memiliki definisi dan
perspektifnya sendiri, demikian juga Sosiologi memiliki
definisi dan perspektifnya sendiri sebagai ilmu pengetahuan.
Pendidikan secara etimologis berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ―paedagogie” yang memiliki makna membimbing anak
atau mengasuh anak. Sementara ilmu pendidikan secara
etimologis berasal dari kata ―paedagogiek” yang memiliki
makna sebagai disiplin ilmu yang mengkaji dan menganalisis
berbagai hal terkait dengan kegiatan pendidikan. Bahasa lain

6
pendidikan dalam bahasa latin adalah educare yang berarti
memandu manusia untuk menjadi terkemuka atau terpelajar. 3
Dalam bahasa Inggris pendidikan merupakan terjemahan
dari kata education. Dalam kamus Webster, education dimaknai
sebagai the action or process of teaching someone especially in
a school, college, or university.4 Lebih lanjut dimaknai sebagai
the knowledge and development resulting from en educational
process, dan the field of study that deals mainly with methods of
teaching and learning in school. Tiga makna tersebut (tindakan
atau proses mengajar, pengetahuan, dan bidang kajian terkait
metode belajar di sekolah) menunjukan bahwa pendidikan secara
garis besar tidak hanya dimaknai sebagai proses mengajar tetapi
juga bisa ditempatkan sebagai ilmu pengetahuan tentang
bagaimana mengajar dan mendidik manusia dari usia dini
sampai akhir hidup manusia. Sesunggunya pendidikan dapat
dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia.
Karena begitu pentingnya posisi pendidikan, seluruh
negara di dunia saat ini memiliki perhatian khusus pada
bidang pendidikan, termasuk Indonesia. Kehadiran
Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional nomor 20 tahun
2003 adalah fakta yang menunjukan bahwa negara memiliki

3
Eman Surachman. Pengantar Ilmu Pendidikan (Bogor: Edukati Press,
2013), hlm.1.
4
http://www.merriam-webster.com/dictionary/education diakses 3 Mei
2016.

7
perhatian secara regulatif pada pendidikan. Menurut
undang-undang Sisdiknas ini pendidikan dimaknai sebagai
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akahlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai sebuah ilmu, maka ilmu pendidikan dapat
dimaknai sebagai ilmu tentang pendidikan yang meniscayakan
pentingnya bangunan teoritik. Misalnya terkait teori
pendidikan makro seperti teori nativisme Arthur
Schopenhauer (1788-1860), teori Empirisme John Locke
(1704-1832), teori Naturalisme J.J.Roussea (1712-1778),
dan teori Konvergensi William Stern (1871-1939).
Berbagai teori pendidikan dalam makna praksis mikro
kemudian berkembang, misalnya yang berbasis pada teori
belajar behavioristik, kognitivistik, konstruktivistik sampai
teori humanistik yang pada tititk tertentu berkembang menjadi
pedagogi kritis (critical pedagogy). Teori pendidikan
pedagogi kritis merupakan tantangan dan kritik akan
kemapanan modernisme serta kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan yang bersifat opresif dalam situasi sosial yang
juga opresif karena mengacu pada pandangan metanarasi/

8
grand narasi yang mengabaikan narasi-narasi lokal. Oleh
karena itu pedagogi kritis sering diindukan/ diilhami/ terkait
dengan mazhab Frankfurt dan post modernisme, serta non
essensialisme. Hal ini karena tekanan yang amat kuat pada
pendidikan sebagai praktek pembebasan manusia dari tatanan
sosial ekonomi yang termanifestasikan dalam proses
pendidikan.
Uhar Suharsaputra (2010) membuat kesimpulan menarik
bahwa pedagogi kritis mendapat pengaruh yang kuat dari
5
pemikiran-pemikiran Paulo Freire. Paulo Freire sering
dipandang sebagai pelopor pemikir pedagogi kritis, seorang
pendidik asal Brazil (pernah menjadi Menteri Pendidikan)
yang dalam karya tulisnya antara lain: Education as the
practice of liberation, Pedagogy oh the oppressed, pedagogy
of the heart, The Politic of Education, Culture, Power, and
Liberation, mengelaborasi bagaimana pendidikan harus
dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia pada situasi
sosial dan pendidikan yang menekan, mendominasi dan
menjadikan manusia harus menerima apa adanya dalam
situasi sosial yang ada tanpa menyadari dan mengkritisi
situasi tersebut.
Sementara Sosiologi sebagai ilmu tersendiri dalam frase

5
Uhar Suharsaputra, Apa itu Pedagogi Kritis, Makalah 2010.

9
Pendidikan Sosiologi memiliki makna dan akar keilmuan
tersendiri yang memiliki sejarah panjang dan akar keiomuan
yang kuat. Dalam banyak literatur istilah Sosiologi pertama
kali dicetuskan oleh Auguste Comte dalam bukunya Cours de
la Philosovie Positive. Auguste Comte dikenal dengan bapak
sosilogi. Comte menyebut Sosiologi adalah ilmu pengetahuan
tentang masyarakat. Kata Sosiologi sebenarnya berasal dari
bahasa Latin yaitu 'socius' yang berarti teman atau kawan dan
'logos' yang berarti ilmu pengetahuan. Menurut Auguste
Comte, Sosiologi adalah ilmu pengetahuan. Sebuah
pengetahuan dikatakan sebagai ilmu karena mengembangkan
suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang
didasarkan pada penelitian yang ilmiah. Sosiologi
mendasarkan penelaahannya pada bukti-bukti ilmiah dan
metode-metode ilmiah.
Sosiologi juga seringkali dipahami sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari jaringan hubungan antara
manusia dalam masyarakat. Sedangkan secara luas Sosiologi
dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat,
mempelajari masyarakat sebagai kompleksitas yang
didalamnya terdapat beragam kekuatan kekuatan sosial,
hubugan sosial, sosialisasi, jaringan sosial, lapisan-lapisan
sosial, lembaga, struktur sosial dan berbagai persoalan sosial
diantaranya penyimpangan sosial dan konflik sosial. Diantara

10
ilmuwan Sosiologi yang kerap perspektifnya dikutip terkait
pengertian Sosiologi antara lain adalah perspektif dari Pitirim
Sorokin. Menurut Pitirim Sorokin (1947), Sosiologi
didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial
(misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral).
Selain itu Sosiologi oleh Pitirim Sorokin juga dimaknai
sebagai ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh
timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan
dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum
semua jenis gejala-gejala sosial.6 Ilmuwan lainya yang juga
sering dirujuk untuk memahami Sosiologi antara lain Max
Weber sampai Paul B. Horton. Sebagai sebuah ilmu
pengetahun Sosiologi memiliki metodologi yang kuat dan
objek kajian yang jelas. Secara teoritik juga tumbuh
berkembang dari teori Sosiologi klasik sampai teori Sosiologi
modern, dari teori kelas yang sangat klasik era Karl Marx
sampai teori masyarakat kritisnya Habermas. Dari teori
interaksi sosial, gejala sosial, tindakan sosial sampai teori civil
society dan liquid modernity, dan seterusnya.
Dengan memperhatikan dua perspektif ilmu pengetahuan
diatas, antara ilmu pendidikan dan ilmu Sosiologi, maka

6
Pitirim Sorokin, Society, Culture, and Personality: Their Structure and
Dynamics, A System of General Sociology, Harper & Brothers Publishers,
New York & London, 1947.

11
Pendidikan Sosiologi secara ontologis dapat dimaknai sebagai
ilmu yang di bangun dengan teori pendidikan yang kuat dan
dengan teori Sosiologi yang kuat untuk mempersiapkan
peserta didiknya (mahasiswa) sebagai calon guru Sosiologi
yang memiliki keahlian pendidikan dan memiliki pemahaman
yang benar dan utuh tentang Sosiologi sehingga mampu
diajarkan dengan baik sesuai tujuan pembelajarannya.

C. Objek Kajian Pendidikan Sosiologi


Penjelasan tentang hakekat Pendidikan Sosiologi
sebagaimana dinarasikan diatas sesungguhnya dapat diurai
sampai pada objek kajian yang dikaji dalam Pendidikan
Sosiologi. Bahwa objek kajian Pendidikan Sosiologi tidak
bisa lepas dari makna ontologisnya.
Sebagai sebuah ilmu, maka objek kajian Pendidikan
Sosiologi secara garis besar memuat dua materi keilmuan,
yaitu: materi mata kuliah yang berbasis pada teori ilmu
pendidikan dan teori Sosiologi. Berikut ini adalah tabel objek
kajian Pendidikan Sosiologi yang dikonstruksi menjadi mata
kuliah yang patut dipelajari oleh seluruh mahasiswa yang
memilih program studi Pendidikan Sosiologi.

12
Tabel 1 Objek Kajian Pendidikan Sosiologi
No Ilmu Pendidikan Ilmu Sosiologi
1 Pengantar Ilmu Pendidikan Pengantar Sosiologi
2 Teori Belajar dan Teori Sosiologi Klasik
Pembelajaran
3 Teori Pendidikan Alternatif Teori Sosiologi Modern
4 Teori Pedagogi Kritis Sosiologi pedesaan
5 Sistem Pendidikan Indonesia Sosiologi Perkotaan
6 Model, Metode dan Strategi Sosiologi Politik
Pembelajaran Sosiologi
7 Kurikulum Sosiologi SMA Perencanaan Sosial
8 Evaluasi Pembelajaran Sosiologi Pembangunan
9 Pengantar Pendidikan Sosiologi Kebudayaan
Sosiologi
10 Sosiologi Kurikulum Sosiologi Kewargaan
11 Dasar – Dasar IPS Psikologi Sosial
12 Filsafat Pendidikan Ekologi Sosial
13 Perencanaan Pembelajaran Sosiologi Komunikasi
Sosiologi
14 Profesi Kependidikan Metode Penelitian Sosial (Kuantitatif)
15 Praktek Ketrampilan Metode Penelitian Sosial (Kualitatif)
Mengajar

Dengan adanya tabel di bagian penghujung narasi ini,


maka diketahui ada dua bagian besar objek kajian Pendidikan
Sosiologi, yaitu: ilmu pendidikan dan ilmu Sosiologi. Dengan
demikian Pendidikan Sosiologi secara ontologis patut menjadi
perbincangan dan bahkan patut diperdebatkan dilingkungan
kampus untuk menemukan konstruksi keilmuan Pendidikan
Sosiologi yang lebih kokoh. Implikasi lebih jauh dari ontologi
Pendidikan Sosiologi, yaitu hadirnya konstruksi epistemologi
dan aksiologi dari Pendidikan Sosiologi sebagai "ilmu
pengetahuan mikro".

13
DAFTAR PUSTAKA

Hamlyn, D.W. Metaphysics. Cambridge University Press,


1984.

http://www.merriam-webster.com/dictionary/education
diakses 3 Mei 2016.

Mannheim, Karl & Paul Keceskemeti. Essays on the


Sociology of Knowledge. Oxford University Press,
1952.

Nagel, Ernest. The Structure of Science. New York: Harcourt,


Brace & World, 1961.

Sahakian, William S. History of Philosophy, Barnes & Noble,


1968.

Sorokin, Pitirim. Society, Culture, and Personality: Their


Structure and Dynamics, A System of General
Sociology, Harper & Brothers Publishers, New York
& London, 1947.

Suharsaputra, Uhar. Apa itu Pedagogi Kritis. Makalah 2010.

Surachman, Eman. Pengantar Ilmu Pendidikan. Bogor:


Edukati Press, 2013.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar


Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

14
Diskursus Kurikulum Sosiologi: Menumbuhkan Imajinasi
Sosiologis sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi

Oleh:
Robertus Robet*

A. Pengantar
Tulisan ini pada dasarnya ingin memeriksa segi-segi
mendasar yang muncul atau yang bakal muncul dalam
pengajaran mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi: apa dan
bagaimana kompetensi, substansi Sosiologi dan Antropologi
untuk sekolah dalam kurikulum 2013. Untuk memenuhi
keperluan itu, tulisan berikut bermaksud menyampaikan
beberapa pandangan ringkas mengenai kompetensi dan
substansi kurikulum 2013. Namun karena alasan kapabilitas,
penulis hanya akan berfokus pada mata pelajaran Sosiologi
saja.
Apakah tujuan dan kegunaan mempelajari Sosiologi bagi
siswa/mahasiswa Sosiologi? Apakah Sosiologi memiliki
kegunaan yang kuat dan khas bagi profesi-profesi di luar
Sosiolog? Apa guna Sosiologi bagi yang tidak mencintai
Sosiologi sebagai disiplin keilmuan?

*
Robertus Robet, Dosen di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

15
Selama ini, tujuan-tujuan pembelajaran Sosiologi selalu
dirumuskan secara praktis melalui jalur atau cara di luar
disiplin Sosiologi. Rumusan tujuan-tujuan itu bersifat umum
dan tidak menunjukkan kekhasan yang membedakan
Sosiologi dengan disiplin lainnya. Banyak orang, misalnya,
yang secara sederhana menjelaskan Sosiologi sebagai ilmu
yang mempelajari masyarakat dan fakta sosial. Rumusan ini
memiliki dua kesalahan yakni: bahwa di satu sisi ia terlampau
umum dan tidak bisa secara jernih dan spesifik membedakan
Sosiologi misalnya dengan etnografi yang sama-sama
mempelajari masyarakat. Di saat yang sama rumusan itu juga
terlalu sempit ketika menyebut Sosiologi mempelajari fakta
sosial mengingat ada banyak pemikir Sosiologi dari klasik
hingga kontemporer yang sama sekali membantah bahwa
fakta sosial adalah subject matter Sosiologi. Marx misalnya
lebih menekankan formasi sosial dan mode produksi
masyarakat, sementara Weber misalnya lebih menekankan
tindakan sosial yang dimaknai sebagai subject matter
Sosiologi. Di sini, tujuan pembelajaran Sosiologi mestinya
dirumuskan di dalam Sosiologi tapi sekaligus dengan
melampaui perbedaan mazhab serta variasi paradigmatis dari
para pemikir Sosiologi yang beragam.
Dalam praktik, baik di sekolah maupun di perguruan
tinggi pembelajaran Sosiologi bahkan sering dilakukan dalam

16
kekaburan yang menunjukkan keraguan bahkan dari guru dan
dosen terhadap substansi, disiplin dan kegunaan pelajaran itu.
Hal ini nampak dari fakta bahwa guru dan dosen biasanya
sering mencampur-aduk antara subject matter Sosiologi
dengan tujuan pembelajaran sosiologi; antara obyek pikiran
dalam Sosiologi dengan kualitas berfikir yang hendak dicapai
oleh pembelajaran Sosiologi. Ketika guru misalnya
mengatakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat, maka
hampir pasti guru akan kesulitan menjawab pertanyaan
berikut: apa pentingnya, apa gunanya mempelajari masyarakat?
Kesulitan muncul pertama persis karena bisa saja guru juga
tidak yakin bahwa mempelajari masyarakat itu penting. Kedua,
karenabanyak kita memang sedari awal telah salah paham
karena menempatkan ‗mempelajari masyarakat‘ sebagai
tujuan sekaligus subject matter Sosiologi. ―Mempelajari
masyarakat‘ untuk satu perspektif memang adalah materi
utama Sosiologi, tapi ia bukan tujuan dari pembelajaran yang
khas Sosiologi. Dalam banyak percakapan pengantar antara
guru dengan murid di kelas, topik ini yang lebih banyak
diungkap sementara apa dan bagaimana tujuan mempelajari
sosiologi tidak pernah diungkap secara benar dan tepat.
Akibatnya, selama bertahun-tahun siswa juga memandang
Sosiologi sebagai pelajaran yang penuh kekaburan, abstrak,
umum dan kurang penting, kurang berguna.

17
Dengan kekaburan macam itu, efek epistemik mengenai
guna pengetahuan Sosiologi bagi kualitas pikiran siswa-secara
subyektif-memang menjadi tidak terjelaskan. Pada
matematika atau bahasa Inggris aspek estetis dan efek
epistemic terasa jelas; setelah belajar matematik bisa
menghitung dan memecahkan rumus; setelah belajar bahasa
Inggris bisa mendapat kosa kata baru, sementara pada
Sosiologi setelah belajar Parsons saya bisa apa? Apa yang
berubah pada saya kalau saya mengetahui atau hafal semua
teori itu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggantung,
sementara kita hanya menjawab dengan bulak-balik
menyodorkan masyarakat, masyarakat dan masyarakat.
Untuk itu penelusuran epsitemis diperlukan untuk bisa
menemukan tujuan pembelajaran sosiologi yang jelas dan
khas sosiologi sekaligus merangkum semua pendirian dalam
berbagai teori sosiologi yang terus muncul dan berkembang
hingga saat ini. Untuk itu, dalam diskusi ini, saya hendak
mengajukankembali konsep lama yang dikemukakan oleh
sosiolog Amerika C Wright Mills mengenai Imajinasi
Sosiologis. Saya ingin menekankan bahwa –dengan mengikuti
Mills, selayaknya tujuan pembelajaran sosiologi mesti
dirumuskan sebagai upaya untuk membangun/membentuk/
memberdayakan imajinasi sosiologis. Imajinasi sosiologis di
sini dimengerti sebagai kualitas pikiran atau kapasitas intelek

18
tertentu yang memungkinkan orang (siswa) memahami diri,
sejarah serta dunia atau struktur masyarakat secara simultan.
Imjinasi sosiologis sebagai kemampuan untuk mentrans-
formasikan perkara atau soal-soal yang semula ‗polos‘ menjadi
soal-soal kepublikan yang mengundang perhatian.
Namun demikian, sebelum menjelaskan lebih jauh
Imajinasi Sosiologis sebagai tujuan pembelajaran sosiologi
ada baiknya kita memahami terlebih dahulu bidang-bidang
kajian yang berkaitan dengan peran sosiologi di dalam
masyakarat.

B. Empat Bidang Sosiologi


Sosiologi M. Burwoy menjelaskan bahwa dengan
mempertimbangkan peran dan kegunaanya dalam masyarakat,
pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi empat
bidang kajian yakni: Pertama Sosiologi Profesional, Kedua,
Sosiologi Kritis, ketiga, Sosiologi Kebijakan dan Keempat
Sosiologi Publik. Tentu saja keempat bidang ini tidak terpisah
secara ketat dan steril. Masing-masing bidang bisa saling
mempengaruhi satu-sama lain
Dalam skema Burawoy, Sosiologi Profesional adalah
sosiologi yang diarahkan dan berkonsentrasi pada pendalaman
pengetahuan empirik dan pemahaman teoritis. Sosiologi
profesional tercermin dari kerja-kerja serius di bidang

19
pendalaman ilmu sosiologi dan pengajarannya: mengajar,
menulis teks, meneliti. Sosiologi profesional boleh dibilang
merupakan landasan atau dasar dari profesi sosiologi yang
lainnya. Hampir sebagain besar pemikir sosiologi dari klasik
hingga kontemporer memulai dirinya dengan sosiologi
professional. Hal ini nampak dari fakta bahwa kebanyakan
mereka memulai diri sebagai guru besar di kampus-kampus.
Sementara Sosiologi Kritis diarahkan pada maksud untuk
memberikan evaluasi atas perkembangan dalam masyarakat.
Sosiologi kritis tumbuh dan diarahkan sebagai bagian dari
perubahan sosial. Tidak jarang, sosiologi kritis kemudian juga
ikut ambil bagian berbagai perumusan kritik dan aktivitas
politi. Untuk peran ini sosiolog seperti Marx adalah figure
yang sering disebut, namun demikian dalam konteks masa
kini guru besar dan teoritisi seperti Anthony Giddens,
Jurgen Habermas, yang hidup dan karyanya berbasis di
pengajaran universitas juga sangat dikenal sebagai sosiolg
yang menganjurkan keterlibatan dan peran dalam Sosiologi
Kritis.
Sosiologi Kebijakan adalah sosiologi yang diarahkan
untuk menggunakan pengetahuan empiric dan teoritis untuk
menyelesaikan persoalan konkret dan penyusunan kebijakan.
Sosiologi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas yang
bersifat teknikal teknokratis dengan tujuan yang telah makin

20
spesifik. Misalnya bagaimana merancang tata kota yang lebih
manusiawi, bagaimana membangun industri tanpa menimbulkan
konflik sosial.
Sementara Sosiologi Publik adalah memfokuskan diri
pada transfer pengetahuan dan informasi dalam berbagai
perbincangan public. Sosiologi public dalam arti yang mirip
bisa dikatakan sebagai ‗kritisisme sosial‘ yakni penggunaan
pemikiran sosiologis dalam perbincangan/diskurus publik
debat‘ dan penulisan. Sejumlah sosiolog ternama seperti
Pierre Bourdieu, Michele Foucault boleh dibilang adalah para
guru besar yang dikenal sebagai penganjur kritisisme sosial.
Namun demikian, perlu untuk dipahami bahwa meski
keempat orientasi sosiologi ini dapa dibedakan berdasarkan
orientasi praktisnya, namun keempatnya jelas membutuhkan
satu syarat fundamental yakni pembelajaran sosiologi sebagai
ilmu dengan segala kelengkapan teoritis, metodis dan
pengalaman menangani persoalan empiris di dalamnya. 7

7
Burawoy.M, (2005), For Public Sociology, dalam Jurnal American
Socilogical Review, No 70. Hlm. 4-28.

21
Tabel 2. Bidang-bidang dalam Sosiologi
Bidang Sosiologi Sosiologi Sosiologi Sosiologi
Sosiologi Profesional Kritis Kebijakan Publik
Fokus Pengembangan Aktivitas Penyusunan Sikap
Ilmu, penelitian dalam Kebijakan Intelektual
dan Metodelogi perubahan Publik. dan
sosial. perbincangan
Publik.
Profesi Pengajar/peneliti Aktivis, Teknokrat Aneka
Praktisi. profesi
Peneliti public:
pengamat,
penulis,
wartawan.

C. Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan Pembelajaran


Sosiologi

Pada tahun 1959, tokoh sosiologi kenamaan Amerika


Serikat C. Wright Mills mengukuhkan suatu pandangan –yang
untuk konteks Amerika- baru dan progresif mengenai fungsi
sosiologi dalam kehidupan akademis dan publik. Mills
menyebutnya dengan istilah Imajinasi Sosiologis. Seperti
mengantisipasi pemikiran sosiologi kontemporer mengenai
kesatuan agen-struktur sebagaimana disajikan oleh sosiolog
seperti Giddens dan Bourdieu, Mills mengungkapkan apa
yang dimaksud dengan Imajinasi Sosiologis sebagai berikut:
The sociological imagination enables its possessor to
understand the larger historical scene in terms of its
meaning for the inner life and external career of a variety
of individuals. It enables him to take into account how
individuals, in the welter of the daily experience, often

22
become falsely conscious of their social positions. Within
that welter, the framework of modern society is sought,
and within that framework the psychologies of variety of
men and women are formulated. By such means the
personal uneasiness of individuals is focused upon explicit
troubles and the indifference of publics is transformed into
involvement with public issues. (Mills, 1959, hlm. 12).

Imajinasi Sosiologis merupakan kemampuan epistemik


yang memungkinkan orang memahami khasanah kesejarahan
yang luas dalam pengertian makna ‗kehidupan dalam‘ dan
ekspresi eksternal berbagai kehidupan individu. Imajinasi
Sosiologi memungkinkan orang memahami pengalaman
individual dalam kaitannya dengan struktur dan relasi
masyarakat yang lebih luas. Menurut Mills, untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai
masalah yang dialami oleh individu, maka individu itu mesti
dilihat dalam suatu kerangka situasional periodic dan dalam
historisitasnya, serta membangun tautan antara kehidupan
privatnya dengan kebijakan sosial dalam masyarakat di mana
dia hidup.
Dari sini, Mills kemudian membuat pemisahan antara apa
yang disebutnya sebagai ‗the personal troubles of milieu’ dan
‗the public issues of social structure’. (Mills, hlm. 13).
Pemisahan ini sedemikian fundamental, karena menurut Mills
inilah yang kemudian mendasari secara metodologis makna
dari Imajinasi Sosiologis. Tanpa Imajinasi Sosiologis, individu

23
tak akan mungkin memahami diri dan permasalahannya, hingga
akibatnya dengan itu ia juga tidak akan pernah sampai untuk
tiba pada pemahaman mengenai struktur masyarakatnya. Dari
sini Mills kemudian menegaskan Imajinasi Sosiologis sebagai
sejenis techne untuk memahami diri-sejarah-masyarakat.
Pertama, ide bahwa individu dapat memahami
pengalaman-pengalaman nyatanya hanya dengan menempatkan
dirinya dalam suatu konteks. Ide bahwa ia hanya akan mampu
memahami kesempatan-kesempatan dalam hidupnya dengan
menyadari kehidupan dalam lingkungannya. Dengan itu, kita
dapat memahami bahwa setiap individu, dari generasi ke
genarasi, hidup dan berelasi dalam masyarakatnya dalam sekuen
historis.
Kedua, imajinasi sosiologis adalah kapasitas mental yang
memberdayakan hingga memberikan kemampuan untuk
memahami sejarah, masyarakat dan biografi diri dan relasi
keduanya dalam masyarakat. Inilah kemampuan yang nampak
secara jelas melalui karya tokoh-tokoh sosiologi utama
mulaidari August Comte, Marx, Weber, Durkheim, Karl
Mannhein (Mills, hlm 3-5).
Dengan dua ide besar itu, Mills kemudian menurunkan
Imajinasi Sosiologis ke dalam tiga aspek utama yang
dirumuskannya dalam tiga pertanyaan penting yakni (Mills,
hlm.6-7):

24
Pertama, apa dan bagaimana struktur masyarakat
particular sebagai suatu keseluruhan. Apa saja
komponen-komponen esensial dari struktur dan bagaimana
mereka saling berelasi satu dengan yang lain? Bagaimana
struktur tersebut dapat dibedakan dengan berbagai variasi
tatanan sosial yang ada. Bagaimana struktur itu lestari dan
bagaimana ia berubah?
Kedua, di mana tempat masyarakat yang eksis itu dalam
perjalanan temporalitasnya atau dalam sejarah yang ada.
Apa faktor-faktor penggerak perubahannya? Bagaimana ia
ditempatkan dan bagaimana ia dimaknasi dalam kerangka
pembangunan kemanusiaan secara umum? Apa karakter yang
muncul dalam cara-cara bagaimana sejarah dan masyarakat
berubah?
Ketiga, apa dan bagaimana ragam variasi manusia yang
muncul dalam masyarakat dan suatu periode historis? Apa
benih-benih keaktoran/agen yang potesial muncul di masa
depan? Bagimana mereka diseleksi, dibentuk, dimaknai,
dibebasnkan dan disajikan dalam sejarah dan struktur
masyarakat. Apa dan bagaimana ciri ‗human nature’ yang
berhasil kita pahami dari struktur dan kekinian.

25
D. Peningkatan Kualitas Berfikir dengan Imajinasi
Sosiologis
Dengan kemampuan mengajukan dan menjawab tiga
pertanyaan dasar dalam Imajinasi Sosiologis, dimana individu
diharapkan memiliki kemampuan untuk: Pertama, mampu
membedakan troubles (persoalan-persoalan) dengan issues
(masalah-masalah). Persoalan (trouble) adalah hal atau
perkara dalam karakter individual dalam tautan langsungnya
dengan individu lainnya yang bersifat personal (interaksi).
Persoalan adalah soal privat. Sementara masalah (issue)
merupakan hal atau perkara yang berkaitan dengan relasi
antara kehidupan individu dengan lingkungannya (relasi).
Masalah adalah hal publik.
Kedua, kemampuan melampaui hal-hal yang bersifat
privat dan personal dan hingga mampu mencipatkan
pemahaman akan dunia public yag baru dan lebh baik. (Mills,
hlm 8).
Untuk memahami perbedaan keduanya (persoalan
dengan masalah), Mills mengajukan beberapa ilustrasi.
Misalnya perang. Perang sebagai persoalan individual/privat
misalnya adalah mengenai bagaimana seseorang bertahan,
hidup atau mati secara terhormat. Bagaimana mencapai
pangkat yang lebih tinggi dalam dunia militer saat perang.
Perang sebagai masalah (public), berkaitan dengan apa

26
sebab-sebab perang, tipe-tipe aktor bagaimana yang terlibat
dalam berbagai keputusan perang, apa efeknya terhadap
keadilan, keluarga, perempuan dan anak, kebijakan ekonomi
danpolitik. Contoh lain adalah soal perkawinan. Keputusan
dan peristiwa perkawinan adalah pengalaman individual.
Akan tetapi apabila diketahui bahwa dari 1000 pasangan
terdapat 250 pasangan yang bercerai di usia empat tahun
pernikahan mereka, maka ini masalah publik bukan lagi soal
privat.

Tabel 2 Contoh Pengembangan Konsep Kunci Imajinasi


Sosiologis
Konsep Kunci Pertanyaan Pertanyaan Pertanyaan
Imajinasi Ontologis Epistemis etis/aksiologis/
Sosiologis metodologis
Apa Bagaimana saya Bagaimana saya
Struktur elemen-elemen memahami terlibat dalam
Masyarakat pokok dalam dinamika perubahan?
dan masyarakat saya masyarakat
Perubahannya kini? saya?

Apa yang paling Bagaimana saya


memungkinkan memahami
perubahan? pertumbuhan,
keretakan dan
perubahan
masyarakat?
Bagaimana Pengetahuan apa Bagaimana
Sejarah dan saya, keluarga, yang khas dan saya, keluarga,
Konteks kota dan spesifik yang kota,
Keberadaan masyarakat saya tumbuh dan masyarakat saya
Masyarakat tumbuh? berkembang dari menilai
masa lalu perubahan?
hingga kini?

27
Konsep Kunci Pertanyaan Pertanyaan Pertanyaan
Imajinasi Ontologis Epistemis etis/aksiologis/
Sosiologis metodologis

Bagaimana
kedudukan saya,
keluarga, kota,
masyarakat saya
di masa lalu,
kini dan apa
yang bisa terjadi
di masa depan?

Tipe-tipe Siapakah Saya ? Bagaimana Apa saja


Manusia serta saya pola-pola
bentuk-bentuk Di mana tempat mengetahui tindakan,
keaktoran saya dalam status dan aktivitas yang
masyarakat? kedudukan terjadi pada
saya ? saya, keluarga,
Apakah kota dan
keluarga, kota, Bagaimana masyarakat
komunitas? saya saya?
memahami diri
saya dalam
konteks
keluarga, kota,
Negara?

E. Metode Pembelajaran Imajinasi Sosiologis


Dalam praktik pengajaran sosiologi umum, pandangan
Mills ini mulai diterima. Imajinasi sosiologis mulai diletakkan
sebagai tujuan sekaligus metoda pokok dalam pembelajaran
soiologi baik di sekolah maupun di universitas. Studi-studi
mengenai ini telah banyak dilakukan. Rick Eckstein dan
kawan-kawan misalnya mengajukan meneliti dinamika kelas

28
untuk memahami persoalan dalam penerapan Imajinasi
Sosiologis (Eckstein, 1995). Karina C. Hoop mengembangkan
metode yang menekankan narasi pengalaman kehidupan siswa
dalam pengajaran Imajinasi Sosiologis (Katrina Hoop, 2013).
Sementara Debbie Storrs mengajukan pengalaman mengajar
dengan ‗story telling‘ untuk mengembangkan Imajinasi
Sosiologis di sekolah-sekolah di Tokyo. (Debbie Storrs, 2009).
Sementara David S. Adam menjelaskan bagaimana ujian tulis
dilakukan dengan mempertimbangkan Imajinasi Sosiologis
(Adam, 1986).
Penjelasan yang sedikit ebih memadai menyangkut
bagaimana membangun Imajinasi sosiologis dikemukakan oleh
Barbara Trepagnier (Trepagnier, 2002). Menurutnya Imajinasi
Sosiologi secara khas merujuk pada kemampuan untuk
menyatukan antara kehidupan individual kita dengan relasi dan
kekuatan sosial yang lebih luas. Trepagnier mengutip Mills
yang mengemukakan sejumlah ‗langkah‘ untuk mengembangkan
Imajinasi Sosiologis yakni: Pertama, senantiasa merangkai dan
mengaitkan aneka tema dan konsep. Mills menyarankan sosiolog
untuk senantiasa menggali kemungkinan-kemungkinan pertautan
antar berbagai konsep. Hal ini tentu mengandaikan prasayarat
yakni: kemampuan untuk memahami konsep-konsep,
kemampuan untuk mengklasifikasi konsep, kemampuan
abstraksi untuk menjelaskan keterkaitan satu konsep dengan

29
yang lain.
Kedua, fleksibilitas dan membuka kemungkinan klasifikasi
silang berbagai konsep dan pengalaman empiric. Fleksibilitas
dalam hal ini adalah suasana yangmemungkinkan siswa berfikir
kreatif. Ketiga, imajinasi adalah hasil dari suasana bebas oleh
karenanya suasana menyenangkan harus menjadi dasar dari
pembelajaran.

F. Beberapa Pandangan Mengenai Sosiologi dalam


Kurikulum 2013
Setelah memerhatikan konsep kunci dalam Imajinasi
Sosiologis, kini perlu menyoroti sosiologi dalam kurikulum
2013. Pertanyaan pokoknya sejauh mana mata pelajaran
sosiologi di situ memiliki orientasi sebagai mata pelajaran
sosiologi? Mengenai ini ada beberapa persoalan yang patut
dikemukakan.
Pertama, adalah soal disiplin ilmu dan pembagian mata
pelajaran. Kita bisa menerima kenyataan bahwa antara substansi
kehidupan akademis dengan ‗birokrasi dan kebijakan
akademis‘ seringkali terdapat jarak. Tugas birokrasi dan
kebijakan akademis adalah menyelenggarakan praktik dan
pelayanan sehingga substansi akademis bisa terlaksana secara
baik dan tepat. Sementara tugas dunia akademis adalah
memproduksi dan mereproduksi bidang-bidang kehidupan

30
keilmuan secara benar dan tepat. Dalam derajad tertentu jarak
ini bisa kita toleransi. Namun demikian, toleransi itu tentu ada
batas. Dalam kondisi di mana ‗birokrasi akademis‘ mencederai
prinsip-prinsip ‗substansi akademis‘ maka kritik dan perbaikan
terhadap ‗birokrasi dan kebijakan akademis‘ perlu dilakukan.
Dalam hal Kurikulum 2013, salah satu soal krusial untuk
Mata Pelajaran Sosiologi (dan Antropologi) adalah ‗penyatuan‘
kembali Sosiologi bersama Antropologi. Penyatuan ini
memunculkan pertanyaan tentang: bagaimana pemahaman
mengenai disiplin ilmu dalam kurikulum 2013? Apabila dilihat
dalam dokumen kurikulum 2013, sebenarnya kurikulum 2013
membedakan secara baik sosiologi dengan antropologi: sosiologi
ditempatkan dalam disiplin ilmu sosial sementara antropologi
ditempatkan dalam disiplin humaniora. Namun demikian, dalam
penyusunan kompetensi inti dan kompetensi dasar kedua disiplin
ini dicampur adukkan.
Pencampuran ini yang kiranya memunculkan persoalan. Soal
pertama adalah kelihatan ada inkonsistensi antara pandangan
disiplin keilmuan dengan penerapan disiplin dalam praktik
pembelajaran yang kurang bisa kita pahami alasannya. Yang pasti
mencampur adukan soiologi dengan antropologi adalah hal yang
keliru. Sosiologi adalah disiplin yang khas, demikian pula
antropologi. Keduanya memiliki asumsi-asumsi dan pendasaran
filosofis yang berbeda dan memiliki orientasi praktis dan

31
professional yang juga berbeda. Pencampuran ini menunjukkan
bahwa khasanah dalam disiplin ilmu tidak diikuti dengan disiplin
dalam menyusun dan membedakan mata pelajaran.
Implikasi dari pencampuran ini adalah merusak ciri dan
pandangan siswa mengenai kedua disiplin ilmu. Siswa
memasuki kedua pelajaran dengan pengenalan yang keliru
bahwa seakan keduanya ‗sama‘, atau kalaupun diketahui
berbeda dapat ‗disama-samakan saja‘. Dari sini lahirlah sikap
yang meremehkan kedua mata pelajaran dan kedua disiplin
ilmu ini yang akan makin mempersulit pengenalan baik
sosiologi maupun antropologi secara tepat dan benar.
Kedua, soal tujuan pembelajaran dalam kompetensi dan
substansi mata pelajaran sosiologi. Dalam segi tematik, harus
diakui bahwa kurikulum ini memuat berbagai pandangan dan
tema baru yang baik dan variatif. Namun demikian,
sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, nampak jelas
bahwa dalam penyusunan kompetensi inti dan kompetensi
dasar mata pelajaran sosiologi, kurang dijelaskan secara tepat
apa yang menjadi tujuan mempelajari sosiologi sebagai
bidang keilmuan. Tujuan pembelajaran sepertinya disamakan
dengan ‗subject matter’ sosiologi. Yang kedua, dalam banyak
hal kalaupun ada dimensi tujuan dalam kompetensi maka
yang terdapat di dalamnya lebih banyak dirumuskan dalam
kerangka yang didominasi oleh tujuan-tujuan yang bukan

32
khas sosiologi. Dengan itu pertayaan mengenai mengenai apa
yang khas dalam sosiologi, apa manfaat subyektif sosiologi
serta efek disiplin/pelajaran sosiologi sebagai kualitas berfikir
kurang nampak. Ini yang bisa menyebabkan keadaan ironis
yakni bahwa tema yang coba disusun baik dan baru dalam
kurikulum 2013 itu akan dikenali secara lama dan keliru
akibat kekaburan tujuan disiplin dan pembelajarannya.

G. Kesimpulan
Penyusunan pembelajaransosiologi selama ini dihadapkan
pada persoalan lama yakni bahwa tujuan-tujuan pembelajarannya
tidak pernah mempertimbangkan tujuan-tujuan dalam disiplin
keilmuan yang berasal dari sosiologi itu sendiri. Akibatnya
pembelajaran sosiologi kurang dianggap sebagai pembelajaran
yang berasal dari suatu disiplin yang khas dan memiliki
implikasi langsung terhadap kualitas berfikir siswa.
Konsep Imajinasi Sosiologis yang diajukan oleh Mills
mengajukan tujuan pembelajaran sosiologis secara jelas.
Imajinasi Sosiologis secara tepat merujuk pada kemampuan
siswa untuk memahami diri dalam lingkungan, sejarah dan
struktur masyarakatnya. Dengan itu Imajinasi sosiologis
bukan hany mendorong pengembangan kualitas berfikir siswa
tetapi juga mendorong siswa untuk berani terlibat dalam
kehidpan public yang lebih luas. Tujuan-tujuan inilah yang

33
kiranya perlu dipertimbangkan oleh setiap kurikulum
sosiologi.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara Trepagnier, 2002. Mapping Sociological Concept,
Jurnal Teaching Soiology, Vol. 30, N0 1. Januari
2002.

Burawoy.M, 2005. For Public Sociology, Jurnal American


Sociological Review, No 70.

C. Wright Mills, 1959. The Sociological Imagination. Oxford:


Oxford University Press.

Debbie Stors, 2009. Teaching Mills in Tokyo: Developing a


Sociological Imagination through Story-telling,
Jurnal Teaching Sociology, Vol 37. No 1. Januari.

Ellen Wegenfeld-Heintz, 2001, Developing The Sociological


Imagination Through Video, Michigan Sociological
Review, Vol 15.

Katrina Hoop, 2009. Student;s experiences as Text in


Teaching the Sociological Imagination. Jurnal
Teaching Sociology, Vol. 37. No 1.

Rick Eckstein dkk, 1995. The Voice of Sociology: Obstacles to


Teaching and Learning the Sociological Imagination,
Teaching Sociology vol 23.

34
Kurikulum Sosiologi Antropologi 2013: Titik Lemah,
Relevansi Sosial Kemasyarakatan dan Tantangan
Pembelajarannya

Oleh:
Warsono*

Perubahan dalam suatu kehidupan merupakan sutu


keniscayaan, yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Bahkan
manusia sebagai agen perubahan dengan sadar melakukan
perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Meskipun demikian, tidak semua orang siap menghadapi
perubahan, termasuk dalam menghadapi perubahan kurikulum
pendidikan nasional.
Memang perubahan tidak selalu membawa kehidupan
menjadi lebih baik. Namun perubahan juga membawa harapan
untuk menjadi lebih baik. Perdebatan cara pandang seperti ini
selalu ada dalam masyarakat. Mereka yang berpandangan
konservatif, selalu pesimis menghadapi perubahan dan
cenderung mempertahankan keadaan yang ada. Sedangkan
bagi mereka yang berpandangan progresif bersikap optimis
terhadap perubahan, karena melihat ada harapan untuk
menjadi lebih baik. Perbedaan cara pandang seperti ini dalam
sosiologi telah melahirkan berbagai teori yang lahir dari

*
Prof. Dr. Warsono, M.S, Guru Besar Universitas Negeri Surabaya.

35
paradigma yang berbeda. Para penganut strukturalis
fungsional (Talcolt Parson; Robert K. Merton ) cenderung
bersikap konservatif, yang beranggapan bahwa masyarakat
sebagai suatu sistem yang selalu menjaga keseimbangan,
kalau ada perubahan yang terjadi tetap dalam keseimbangan,
tidak sampai menimbulkan goncangaan. Sedangkan para
penganut paradigma mikro (Weber; Bourdieu) yang
menempatkan individu sebagai subjek (agent) lebih bersikap
progresif dan melihat perubahan adalah suatu keniscayaan,
dan dengan perubahan diharapkan akan ada kehidupan lebih
baik.
Sama seperti yang terjadi pada dunia pendidikan kita,
Kebijakann Pemerintah untuk memberlakukan kurikulum
tahun 2013 telah menimbulkan polemik di kalangan
masyarakat dan keresahan di kalangan guru yang akan
menjadi pelaksana kurikulum di lapangan. Berbagai kritik
dilontarkan oleh sebagian elit, pengamat pendidikan, dan para
pendidik. Bahkan ada juga yang menyarankan pelaksanaan
kurikulum tahun 2013 ditunda terlebih dahulu, dengan
berbagai alasan. Namun tentu juga ada yang mendukung
terhadap perubahan kurikulum dan segera dilaksanakan.
Dalam satu dasawarsa terakhir pendidikan di Indonesia
telah mengalami perubahan kurikulum, dari kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), ke kurikulum tingkataan satuan

36
pendidikan (KTSP) pada tahun 2006, dan sekarang diganti
dengan kurikulum baru tahun 2013. Dari sisi pemerintahan
dan yang mendukung, perubahan kurikulum ini dimaksudkan
untuk mengantisipasi perubahan dan menyiapkan generasi
tahun 2045 agar siap menghadapi tantangan jaman. Hal ini
didassarkan pada asumsi bahwa tantangan yang dihadapi
generasi mendatang (tahun 2045) akan berbeda dengan
tantangan yang dihadapi generassi saat ini. Oleh karena itu,
kurikulum pendidikan yang memuat kompetensi yang
diharapkan harus dilakukan perubahan sesuai dengan
tantangan yang akan dihadapi di masa depan.
Perubahan kurikulum ini juga didasarkan pada kondisi
faktual masyarakat yang menujukan sikap dan perilaku yang
kurang baik, seperti perkelaian antar pelajar, korupsi, narkoba,
plagiatisme, ketidakjujuran dalam ujian nasional, yang semua
itu menjukan perilaku yang buruk/tidak berkarakter. Padahal
dari pengalamann berbagai Negara menunjukan bahwa
karakterlah yang menyebabkan suatu negara bisa maju dan
menjadi negara yang berbudaya. Buruknya perilaku
masyarakat ini menurut pemerintah dan juga pendapat
sebagian masyarakat disebabkan kurikulum sebelumnya lebih
banyak menekankan aspek kognitif dan kurang memberi
penekanan pada pembentukan karakter. Kompetensi dalam
kurikulum KTSP belum menggambarkan secara holistik

37
domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Meskipun antara kurikulum 2013 dengan kurikulum
sebelumnya (KTSP) ada perbedaan, tetapi ada juga
persamaannya, yaitu ada kompetensi yang akan dicapai.
Hampir dalam setiap kurikulum ada kompetensi yang akan
diwujudkan. Hal ini sejalan dengan pengertian kurikulum
sebagaimana yang dijelasskann dalam Undang-Undang
Sisdiknas Passal 1 ayat 19, yaitu seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kurikulum tahun 2013 dimaksudkann untuk memperbaiki
kelemahan kurikulum sebelunya dengan mengintegrasikaan
sikap, pengetahuan, tindakan dan agama yang dianut. Dalam
kurikulum 2013 setiap lulusan diharapkan memiliki kesatuan
antara sikap, pengetahuan, tindakan, dan ajaran agama yang
diyakini. Kemampuan yang diharapkan dari setiap lulusan
pada setiap tingkat pendidikan merupakan kompetensi inti,
yang meliputi: sikap keagamaan; sikap sosial; pengetahuan;
dan penerapan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kompetensi inti tersebut kemudian dijabarkan kedalam
kompetensi dasar pada masing-masing matapelajaran. Selain
integrasi antara sikap, pengetahuan, tindakan, dan ajaran

38
agama, kurikulum 2013 juga lebih menekankan pada
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini ditunjukan dalam
kompetensi inti, khususnya penerapan pengetahuan dalam
kehidupan, yaitu: mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah
konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari
yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi (analisis, evaluasi,
dan kreatif) ini memang sangat dibutuhkan bagi
perkembangan bangsa ke depan. Hal ini sejalan dengan
perkembangan ekonomi, yang mengarah kepada ekonomi
yang berbasis jasa (ekonomi kreatif), yaitu ekonomi yang
lebih mengandalkan pada ide, gagasan kreatif, dan
temuan-temuan dalam ilmu dan teknologi yang dipatenkan.
Selama ini kelemahan para pelajar, termasuk mahasiswa
adalah pada kemampuan berpikir secara keilmuan (konsisten,
runtut, kritis dan analitis). Pemebelajaran yang dilakukan para
guru, cenderung bersifat ekspository, yang hanya memaparkan
pengetahuan tanpa memberi stimulus kepada siswa untuk
berpikir kritis. Bahkan dalam memberikan pelajaran
(pengetahuan) para guru jarang mengkaitkan dengan realita
dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pengetahuan yang
diberikan atau yang diterima oleh siswa hanya menjadi bahan

39
hafalan semata. Mereka tidak mampu menggunakan
pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan, atau pengetahuan
yang dimiliki tidak dijadikan pedoman dalam bersikap dan
bertindak.

A. Matapelajaran Sosiologi Antropologi dalam


Kurikulum 2013
Dalam kurikulum tahun 2013 matapelajaran sosiologi
antropologi ada di SMA pada peminatan IPS, sedangkan pada
peminatan bahasa ada matapelajaran antropologi dengan
jumlah jam pelajaran kelas X ada 3 jam, kelas XI ada 4
jam dan kelas XII juga 4 jam. Hal ini berbeda dengan
kurikulum KTSP yang memisahkan antara matapelajaran
sosiologi dengan antropologi.
Dari aspek pengetahuan antara kurikulum KTSP dengan
kurikulum 2013 ada sedikit perbedaan. Materi sosiologi dalam
kurikulum KTSP lebih banyak dibanding dengan yang ada
di kurikulum 2013. Ada beberapa konsep yang ada didalam
KTSP, tetapi tidak ada dalam kurikulum 2013, antara lain
adalah interaksi sosial, dan lembaga sosial. Namun
demikian dalam kurikulum 2013 masalah-masalah
kebudayaan sebagai bahan kajian antropologi menjadi pokok
bahasan.

40
Tabel 1. Perbedaan komptensi dasar antara kurikulum
KTSP (2006) dengan kurikulum 2013 di kelas X SMA
Jml Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar
KTSP Kurikulum 2013
1. Menjelaskan fungsi Mendeskripsikan peran dan
sosiologi sebagai ilmu fungsi Sosiologi dan Antropologi
yang mengkaji dalam mengkaji berbagai
hubungan masyarakat fenomena sosial dan budaya yang
dan lingkungan terjadi di masyarakat
2. Mendeskripsikan nilai Menerapkan konsep-konsep
dan norma yang dasar sosiologi dan antropologi
berlaku dalam dalam memahami hubungan
masyarakat sosial antar individu dan
kelompok
3. Mendeskripsikan Mendeskripsikan proses
proses interaksi sosial internalisasi nilai-nilai dan norma
sebagai dasar sebagai pembentuk kepribadian
pengembangan pola dan dasar untuk membangun
keteraturan dan hubungan (interaksi) sosial yang
dinamika kehidupan harmonis
sosial
4. Menjelaskan Mengkaji adanya berbagai
sosialisasi sebagai bentuk perilaku menyimpang
proses dalam atau sub-kebudayaan
pembentukan menyimpang sebagai
kepribadian konsekuensi dari
ketidakharmonisan hubungan
sosial
5. Mendeskripsikan
terjadinya perilaku
menyimpang dan
sikap-sikap anti sosial
6. Menerapkan
pengetahuan sosiologi
dalam kehidupan
bermasyarakat

41
Kelas XI
Juml Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar Kurikulum
KTSP 2013
1. Mendeskripsikan Menggunakan tinjauan
bentuk-bentuk struktur Sosiologi dan Antropologi
sosial dalam fenomena dalam mengkaji struktur sosial
kehidupan masyarakat yang berbasis
ekologis (seperti: masyarakat
pantai, pertanian, industri,
perkebunan, pegunungan, dan
perkotaan)
2. Menganalisis faktor Mendeskripsikan substansi dan
penyebab konflik unsur-unsur budaya dalam
sosial dalam memahami adanya
masyarakat keberagaman budaya dalam
suatu masyarakat ekologis
3. Menganalisis Menerapkan prinsip-prinsip
hubungan antara kesetaraan dalam menyikapi
struktur sosial keberagaman untuk
dengan mobilitas menciptakan kehidupan
social harmonis dalam masyarakat
multikultur
4. Mendeskripsikan Menganalisis potensi-potensi
berbagai kelompok terjadinya konflik dan
sosial dalam kekerasan dalam kehidupan
masyarakat masyarakat yang beragam
multikultural
5. Menganalisis Menggunakan kajian sosiologi
perkembangan dan antropologi dalam
kelompok sosial memahami berbagai faktor
dalam masyarakat pendorong dan penghambat
multikultural integrasi nasional
6. Menganalisis Mendeskripsikan melalui
keanekaragaman contoh tentang faktor-faktor
kelompok sosial yang mendorong dinamika
dalam masyarakat budaya
multikultural

42
Kelas XII
Juml Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar
KTSP kurikulum 2013
1. Menjelaskan proses Mendeskripsikan berbagai
perubahan sosial di ketimpangan sosial dan
masyarakat budaya yang disebabkan
oleh perubahan sosial dan
budaya
2. Menganalisis dampak Merumuskan
perubahan sosial terhadap langkah-langkah
kehidupan masyarakat antisipatif pemecahan
masalah sehubungan
terjadinya ketimpangan
sosial dan budaya sebagai
dampak perubahan sosial
budaya
3. Menjelaskan hakikat Menemukan berbagai
lembaga sosial strategi untuk
mempertahankan
nilai-nilai budaya
Indonesia di
tengah-tengah pengaruh
globalisasi
4. Mengklasifikasikan
tipe-tipe lembaga sosial
5. Mendeskripsikan peran
dan fungsi lembaga sosial
6. Merancang metode,
melaksanakan penelitian
sosial secara sederhana
dan mengkomunikasikan
hasilnya

Jika kita cermati kompetensi inti kurikulum tahun 2013


lebih komprehensif dan mencerminkan pendidikan yang utuh,
karena menyatukan keyakinan, sikap, pengetahuan dan

43
tindakan. Setiap pengetahuan (ilmu) yang diberikan harus
dikaitkan dengan sikap, keyakinan (agama), dan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sikap dan tindakan
harus dilandasi oleh pengetahuan dan keyakinan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Weber, bahwa kayakinan
dan keinginan merupakan alasan yang mendorong seseorang
melakukan suatu tindakan (A. Rosenberg, 2008:37-39).
Orang yang yakin bahwa agar tetap sehat harus
berolahraga, dan dia ingin tetap sehat, maka orang tersebut
tentu akan berolahraga. Sudah tentu keyakinan tersebut
berhubungan dengan pengetahuan, karena keyakinan
merupakan puncak dari pengetahuan. Ini berarti jika
pengetahuan seseorang bertambah, keyakinannya juga akan
berubah. Begitu juga sikap seseorang tidak lepas dari
pengetahuan yang dimiliki. Perubahan pengetahuan dapat
menimbulkan perubahan sikap. Orang yang memiliki
pengetahuan lebih lengkap terhadap suatu objek, sikapnya
akan berbeda dengan orang yang tidak/pengetahuannya
terbatas terhadap objek tersebut.
Dalam kenyataan sehari-hari, perilaku dan sikap siswa
tidak dilandasi oleh pengetahuan dan keyakinan. Banyak anak
yang tahu dan telah memperoleh pengetahuan bahwa
membuang sampah di sungai itu bisa menyebabkann banjir.
Bahkan dari sisi agama (Islam) telah diajarkan bahwa

44
kebersihan itu bagian dari iman, namun kenyataannya
pengetahuan dan keyakinan tersebut tidak membimbing
perilaku mereka sehari-hari. Banyak anak yang membuang
sampah di sembarang tempat, termasuk ke sungai atau ke
selokan. Bahkan banyaknya korupsi dan perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh para elit politik,
mengindikasikan bahwa antara pengetahuan, keyakinan, dan
tindakan tidak ada kaitannya. Padahal para elit tersebut telah
mengenyam pendidikan mulai dari SD sampai di PT. Dan
mereka pasti tahu bahwa korupsi itu dosa, dan mereka juga
tahu bahwa korupsi itu dilarang agama. Bahkan mereka
(mungkin) juga yakin bahwa dosa itu menyebabkan masuk
neraka.
Sosiologi antroplogi sebagai ilmu sosial mempelajari
tindakan manusia, mengapa manusia melakukan tindakan
seperti itu, atau apa yang menyebabkan manusia melakukan
suatu tindakan. Social science begins with the aim of
explaining human action (Rosenberg, 2008:31). Berbagai
fenomena tindakan manusia akan dijari penjelasanya, dan
penjelasan-penjelasan tersebut menghasilkan teori-teori.
Secara filosofis, manusia merupakan makhluk yang unik
dan misterius, karena manusia sendiri yang mempelajari
dirinya tidak pernah tuntas dan menemukan jawaban yang
tunggal (Louis Lehay, Fay) Manusia sendiri telah menjadi

45
objek yang melahirkan banyak ilmu sosial, diantaranya
sosiologi dan antropologi. Namun di sisi lain, manusia
sebagai subjek yang otonom memiliki kesadaran diri, yang
bisa menjadikan dirinya sebagai subjek dan objek (Herbert
Mead). Tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar
memiliki tujuan. Bahkan tindakan manusia juga tidak pernah
bersifat monologik (causalitas tunggal) dan selalu memiliki
makna subjektif. Tindakan manusia yang tidak bersifat
monologik, dan memiliki tujuan, telah melahirkan banyak
teori dalam sosiologi, khususnya sosiologi mikro.
Dalam konteks kehidupan (alam semesta), manusia
merupakan subjek yang selalu berusaha mentransendensi
(mengatasi). Manusia adalah makhluk yang tidak sepenuhnya
patuh kepada hukum alam. Mereka selalu berusaha
―mengatasi‖ hukum alam tersebut, dengan menggunakan ilmu
dan teknologi yang mereka miliki. Akibatnya sering terjadi
penggunaan ilmu dan teknologi yang bisa menghacurkan
kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu, dalam
pengembangan ilmu diperlukan landasan aksiologi, sebagai
bentuk pertanggungajawaban moral manusia.

B. Relevansi dengan Sosial Kemasyarakat


Jika dicermati kompetensi yang ingin dicapai dalam
matapelajaran sosiologi antropologi, sangat relevan dengan

46
kondisi masyarakat Indonesia saat ini, yaitu untuk memberi
pengetahuan, dan pemahaman kepada setiap siswa mengenai
sistem sosial. Fakta dalam kehidupan masyarakat menunjukan
adanya beberapa permasalahaan, diantaranya adalah
banyaknya perilaku menyimpang, dan lemahnya kemampuan
berpikir. Bahkan para ahli menyebutkan adanya budaya
buruk di masyarakat kita, seperti mental penerabas
(Koentjaraningrat), sikap munafik (Mochtar Buchori), sikap
malas (Alatas). Dengan adanya matapelajaran sosiologi
antropologi diharapkan siswa mampu menganalisis berbagai
permasalahan sosial, dan kemudian mampu bersikap dan
bertindak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.
Sosiologi antropologi akan menyadarkan manusia bahwa
dirinya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Agar menjadi ―manusia‖, seseorang harus hidup
bermasyarakat, menyepakati nilai dan norma yang harus
dijadikan acuan dalam hidup bersama. Sosiologi antropologi
juga mengajarkan bagaimana hidup bersama, learning to
live together dalam perbedaan. Adanya perbedaan suku, adat,
budaya dan agama harus diterima dan dihormati, karena
perbedaan merupakan suatu yang taken for granted, yang
tidak bisa ditolak.
Melalui mata pelajaran sosiologi antropologi, para

47
siswa juga dipahamkan adanya perubahan sosial. Kehidupaan
masyarakat bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis.
Bahkan kebudayaanpun tidak bersifat statis, tetapi juga
mengalami perubahan. Adanya materi perubahan sosial dan
budaya sebagai akibat dari globalisasi dalam matapelajaran
sosiologi antropologi, bisa memberi pengetaahuan dan
pemahaman kepada siswa mengenai dampak globalisasi.
Pokok bahasan yang sangat penting agar generasi muda dapat
mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi dengan
tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa.
Memang dalam kurikulum 2013 aspek pengetahuan
dalam matapelajaran sosiologi antropologi masih berupa
konsep-konsep dasar, belum sampai mengenalkan teori-teori.
Meskipun demikian konsep-konsep tersebut telah
memberikan pemahaman dan pada gilirannya diharapkan
menumbuhkan kesadaran akan kedudukan dan peran manusia
dalam kehidupan.
Dalam konteks kehidupan, matapelajaran sosiologi
antropologi di sekolah menengah menjadi sangat penting,
karena memberi pemahaman tentang kedudukan dan peran
manusia dalam alam semesta ini. Dengan memahami
kedudukan dan perannya memungkinkan sesorang bertindak
secara bijak, dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, matapelajaran sosiologi

48
antropologi atau ilmu sosial seharusnya diberikan kepada
semua peminatan, termasuk pada peminatan ilmu alam,
sebab ilmu yang mereka pelajari hanyalah sebagai alat
(penjelasan tentang hukum alam), tetapi penggunaannya
sangat tergantung kepada manusia itu sendiri.

C. Tantangan Pembelajarannya
Kurikulum tahun 2013 menggunakan pendekatan student
center atau pemebalajaran siswa aktif. Pendekatan ini
membutuhkan kreatifitas guru, agar terjadi pembelajaran
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang sering
disebut dengan PAKEM. Dalam PAKEM, guru harus kreatif
dengan berbagai inovasi, agar dapat mengaktifkan siswa
dalam proses pemebelajaran. Kemampuan berpikir kreatif
membutuhkan prasyarat berupa berpikir kritis (bertanya terus
menerus dan secara runtut). Guru harus mampu memberi
stimulus (rangsangan) dengan berbagai pertanyaan kritis,
sehingga merangsang siswa mengembangkan pemikirannya
dan aktif untuk terlibat dalam proses berpikir. Dengan
kemampuan berpikir kreatif guru juga dapat memilih metode
dan media agar proses pembelajaran berjalan efektif. Selain
itu, guru yang kreatifitas juga dapat menciptakan suasana
pembelaajaran yang menyenangkan. kurikulum 2013
menuntut guru-guru yang kritis dan kreatif. Guru harus

49
memiliki kompetensi bertanya secara kritis untuk merangsang
kemampuan berpikir siswa.
Kemampuan berpikir kritis para guru juga dibutuhkan
pada saat mereka akan menyusun rencana pelaksanaan
pemebelajaran (RPP). RPP merupakan naskah akademis, yang
harus bisa dipertanggungjawabkan secara logis hubungan
antara komponen-komponennya. Dalam RPP ada logical
squence antara kompetensi dasar yang mau dicapai dengan
indikator, materi, metode, dan alat evaluasi. kompetensi dasar
menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi
pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian. Sesuai dengan tugas guru untuk
mewujudkan atau mencapai kompetensi yang telah
ditetapkan, guru harus memahami substansi dari kompetensi
yang akan dicapai, baik dari aspek sikap, pengetahuan,
maupun tindakan. Dari aspek pengetahuan, guru harus
memahami konsep dan teori apa yang harus dicapai sesuai
dengan kompetensi yang telah ditetapkan. Bertolak dari
pemahaman konsep dan teori yang ingin dicapai, guru harus
mengkaitkan dengan sikap dan tindakan yang harus dilakukan
dalam merespon berbagai masalah sosial. Bahkan guru juga
dituntut mampu mengintegrasikan, ketiga ranah tersebut
dalam suatu rencana pembelajaran.
Kurikulum 2013 memberi tantangan yang lebih berat

50
kepada para guru, sebab guru harus mampu mengintegrasikan
antara sikap, pengetahuan, perilaku dan keyakinan dalam
proses pembelajaran. Bahkan guru juga harus mampu
mengembangkan materi ajar, memilih metode, menyusun
alat evaluasi yang mampu mengukur kompetensi sikap,
pengetahuan, dan tindakaan. Seandainya materi ajar sudah
ditentukan dari pemerintah, guru masih harus menyusun
strategi pembelajaran agar semua kompetensi yang telah
ditetapkan tercapai.
Dalam melaksanakan kurikulum tahun 2013, guru
dituntut memiliki dan mengaktualisassikan seluruh
kompetensi yaitu kompetensi pedogogik, professional, social,
dan kepribadian. Semua kompetensi tersebut harus
benar-benar diwujudkan dalam proses pembelaajaaran.
Dengan kata lain, filosofi ―guru‖ (digugu dan ditiru), harus
benar-benar dimiliki oleh seorang guru. Mereka bukan hanya
digugu karena memiliki pengetahuan dan kemampuan
berpikir yang kritis, kreatif, dan cerdas, tetapi juga ditiru (bisa
dijadikan teladan), karena memiliki karakter.
Hal yang juga harus dilakukan para guru dalam
menghadapi kurikulum 2013 adalah menyiapkan diri dengan
meningkatkan kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif.
Dengan memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif guru
tidak perlu gamang menghadapi perubahan kurikulum. Paling

51
tidak agar dapat mengajarkan berpikir tingkat tinggi kepada
siswa, guru juga harus mampu berpikir tinnggkat tinggi. Suatu
hal yang impossible, guru mampu menumbuhkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi, kalau dia sendiri tidak mampu berpikir
tingkat tinggi.
Dan hal yang tidak kalah penting dan harus dilakukan,
agar kurikulum 2013 dapat terlaksana dengan baik adalah
sekolah harus membangun budaya yang berkarakter. Sebab
proses pembelajaran integratif yang menggabungkan antara
sikap, pengetahuan, dan tindakan harus didukung dengan
budaya sekolah yang berkarakter. Tanda didukung budaya
yang berkarakter, misi kurikulum 2013 untuk membangun
karakter bangsa tidak akan terwujud, karena salah satu metode
pendidikan karakter adalah melalui pembiasaan dan
keteladanan.

DAFTAR PUSTAKA
Delanty, Gerard and Strydom, Piets (ed.) 2003. Philosophies
of Social Science the Classic and Contemporary
Readings. Philadelpia: Open University Press.

Fay Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Alih


Bahasa M. Muhith. Yogyakarta: Penerbit Jendela.

Gutek, L Gerald. 2009. New Perspectives on Philosophy and


Education. New Jersey: Pearson Education, Inc.

52
Hergenhahn, R.B and Olson, H. Matthew. 2009. An
Introduction to Theories of Learning. London: Pearson
Education, Inc.

Johnson, P. Doyle. 2008. Contemporary Sociological Theory


an Integrated Multi-Level Approach. Texas Tech
University: Springer Science + Business Media LLC.

Rosenberg, A. 2008. Philosophy of Social Science.


Philadelphia: Westview Press.

53
Analisis Konsep-Konsep Dasar Dalam Kurikulum
Sosiologi 2013

Oleh:
Linda Darmajanti, MT*

―Education‘s purpose is to replace an empty mind with an


open one‖8 Malcolm S. Forbes

A. Pengantar
Sejak Sosiologi dan Antropologi dijadikan mata pelajaran
ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMU), maka di tingkat
Perguruan Tinggi dirasakan adanya kesenjangan pemahaman
pemberian mata ajar ini. Kesenjangan dirasakan baik dari materi
ajar, pemahaman konsep-konsep dasar dan metode pengajaran
yang digunakan. Berbagai faktor utama yang mengakibatkan
kesenjangan ini terjadi antara lain di tingkat SMA: (1)
Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengajar mata
ajar Sosiologi dan Antropologi; (2) Keterbatasan ruang untuk
mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengintegrasikan
kesinambungan materi yang diajarkan; (3) Keterbatasan
pemahaman mata ajar Sosiologi dan Antropologi sebagai ilmu

*
Dr. Linda Darmajanti, MT, Pengajar di Departemen Sosiologi, Universitas
Indonesia.
8
Lynda, Wee Keng neo, Jump Start Authentic Problem, Based Learning.
Hal.1.

54
yang harus diajarkan ditingkat dasar (basic) dan lanjutan
(advance) sesuai dengan kompetensinya; (4) Keterbatasan
melakukan intervensi pada pihak-pihak pemangku kepentingan
yang terlibat (regulator), seperti penerbitan Buku Ajar dsb.
Sampai saat ini berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi
kesenjangan yang selama ini menjadi isu dan belum dikelola
berbagai pihak yang berkepentingan. Isu ini semakin kuat
setelah mata ajar Sosiologi dan Antropologi masuk kedalam
mata ajar yang diujikan di Ujian Nasional (UN).
Keprihatinan ini sudah sejak lama muncul, namun
berbagai kendala menjadi hambatan baik dari pengelola di
tingkat Perguruan Tinggi maupun di tingkat SMU, apalagi
pada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders).
Seharusnya pemerintah sebagai regulator harus ikut mengatasi
masalah ini baik di tingkat perencanaan kurikulum, proses
perumusan kebijakan sampai di tingkat praktis. Aturan main
yang dijalankan harus jelas karena mata ajar ini akan memberi
bekal pengetahuan dan membangun karakter penting bagi
siswa, serta awal belajar dan mempelajari tata-prilaku dalam
kehidupan sosial.
Di tingkat makro perubahan kebijakan kurikulum tidak
diikuti oleh upaya-upaya untuk mengintegrasikan berbagai
pihak yang terlibat, Sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai
lembaga pendidikan, penulis buku ajar, penerbit, pemerintah

55
daerah dsb. Sehingga kesenjangan ini semakin terasa dan
dampak yang paling buruk adalah sasaran utama terhadap
siswa tidak tercapai. Bahkan yang paling buruk adalah
berbagai konsep-konsep dasar Sosiologi dan Antropologi
difahami dan diajarkan tidak sesuai dengan metode ajar yang
berbeda-beda. Seminar ini adalah awal dari upaya untuk
memperbaiki dan mengurangi keprihatian semua pihak.
Forum-forum seperti ini penting untuk dilanjutkan sebagai
wadah komunikasi dari semua pemangku kepentingan yang
terlibat dalam pengelolaan pendidikan tinggi maupun menengah
atas.
Sebaliknya ditingkat yang lebih mikro dan praktis forum
seperti ini bisa terus berjalan dengan kerjasama dan partisipasi
pemangku kepentingan di wilayah masing-masing (Kabupaten
/Kota). Sasaran utama adalah perbaikan kualitas proses
pembelajaran Sosiologi dan Antropologi baik ditingkat SMA
maupun Perguruan Tinggi dimasing-masing program studi.
Mulai dari rancangan kurikulum sesuai kompetensi, kualitas
bahan ajar (buku yang digunakan), pemahaman materi ajar,
evaluasi (pembuatan kisi-kisi soal), metode pengajaran, dsb.
Meskipun dengan keterbatasan yang ada metode Teaching
Centered Learning (TCL) sudah lama harus ditinggalkan dan
sudah saatnya memperbaiki pendekatan fokus terhadap siswa
atau Student Centered Learning (SCL).
Makalah ini berupaya untuk mengkaji kembali kurikulum

56
Sosiologi dan Antropologi trahun 2013 dari aspek kompetensi
dan SAP-Silabus yang diberikan bagi siswa SMA (sesuai ToR
panitia penyelenggara).

B. Kurikulum 2013 Sosiologi dan Antropologi


Secara umum diuraikan tujuan dari kurikulum 2013 yaitu
menumbuhkan kesadaran, kepekaan dan penghayatan dalam
menyikapi dan merespon berbagai keberagaman peristiwa/gejala
sosial budaya dengan menggunakan prinsip-prinsip kesetaraan
dalam rangka membangun masyarakat multikultur.
Mengembangkan kompetensi dalam menerapkan konsep-konsep
dasar sosiologi dan antropologi sebagai ilmu dan metode serta
mengkomunikasikannya ke berbagai media.
Jika dicermati dari tujuan di atas maka tidak mudah bagi
siswa maupun guru Sosiologi dan Antropologi dalam
pencapaian tujuan tersebut. Bagaimana prinsip-psinsip
kesetaraan diharapkan guna membangun masyarakat
multikultur. Belum jika kita kembali pada SDM guru-guru
SMA yang tersedia. Secara rinci bagi anak kelas X, khususnya
butir 3 dan 4 dimana mahasiswa kompetensi inti : butir 3
memahami, menerapkan pengetahuan konseptual, faktual,
prosedural dalam ilmu pengetahuan teknologi, seni,
budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusian,
kebangsaan, kenegaraan dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan..........

57
dengan kompetensi dasar :
mendeskripsikan peran dan fungsi ...... menerapkan
konsep dasar.....mendeskripsikan proses internalisasi
nilai-nilai dan norma sebagai pembentukan dasar
kepribadian dan dasar membentuk hubungan......mengkaji
adanya berbagai bentuk perilaku menyimpang..........
butir 4
mengolah, menalar, dan menyajikan dalam ranah konkret
dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari
yang dipelajari di sekolah secara mandiri dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah kelimuan.
Kompetensi dasar :
menyusun rancangan penelitian sederhana tentang
kehidupan sosial budaya dalam masyarakat....mengolah
data....sampai mampu mengkomunikasikan melalui
berbagai media.....

Untuk siswa kelas X kompetensi inti dan dasar cukup


berat, khususnya bagi guru yang dituntut mampu
menunjukkan langsung dalam kehidupan sehari-hari (role
model), lebih penting dari sekedar mengajarkan. Apalagi jika
mengkaji lebih dalam untuk butir ke empat, siswa diharapkan
mampu melakukan penelitian sampai mengolah data bahkan
mengkomunikasikannya ke media massa. Kompetensi dasar
ini kemudian didukung dengan mengajarkan metode
penelitian yang diajarkan dalam 4 bab tersendiri dalam buku
Sosiologi dan Antropologi. Di perguruan tinggi mahasiswa
dituntut untuk melakukan penelitian mulai merancang dan

58
mengolah data, menulis laporan penelitian serta
mengkomunikasikannya dibimbing secara intensif selama 6
bulan. Penelitian sosial budaya adalah bentuk pengayaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan oleh sebab itu harus sesuai
dengan kaidah ilmu pengetahuan. Etika penelitian menjadi
suatu hal penting untuk membangun kebenaran atas peristiwa
empirik yang terjadi di masyarakat. Proses yang harus
dilakukan secara sistimatik sesuai dengan metode ilmiah
menjadi dasar hasil akademik suatu penelitian dalam
Sosiologi dan Antropologi sebagai ilmu.
Kompetensi inti dan dasar dari kelas X, belum untuk
kelas XI dan XII, semakin berat dan tidak mudah dilakukan
dalam proses belajar mengajar di SMA. Kemampuan untuk
mendeskripsikan ketimpangan sosial, merumuskan
langkah-langkah antisipatif bahkan bersifat intervensi bahkan
sampai menemukan strategi untuk mempertahankan nilai-nilai
budaya Indonesia di tengah-tengah arus globalisasi. (Sosiologi
dan Antropologi SMA_121212). Pada butir keempat, silahkan
untuk direnungkan bagaimana siswa diharapkan mampu,
merancang rencana aksi yang sudah bersifat intervensi,
melaksanakan, mengekspose, membuat laporan hasil kegiatan
kepedulian sosial.
Dalam rumusan tersebut di atas menjadi renungan bagi
semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses

59
belajar mengajar baik ditingkat mikro (relasi dalam institusi
pendidikan) sampai ketingkat yang lebih makro, khusunya
kebijakan dalam bidang pendidikan mulai dari dasar-menengah
dan atas. Bahkan di Perguruan Tinggi yang mengajarkan
Sosiologi dan Antropologi sebagai ilmu yang menghasilkan
Sosiolog dan Antropolog memiliki kompetensi sesuai dengan
generik ilmunya yang harus bekerja di masyarakat secara
profesional (standar Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia).

C. Konsep-konsep Dasar Sosiologi dan Antropologi


Jadi dapat dibayangkan jika kemudian diminta untuk
mengkaji isi dari sap-silabus yang harus diajarkan guna
pencapaian kompetensi inti dan dasar dalam Kurikulum SMA
2013. Sosiologi sebagai ilmu bukan common-sense berpikir
menurut akal sehat tetapi justru yang diajarkan yang beyond
common-sense. Konsep-konsep dasar yang diberikan sebagai
contoh kajian yang bisa didiskusikan adalah :

Tindakan Sosial (paradigma dalam sosiologi)


Tindakan sosial bukan hanya sekedar konsep dasar tetapi
merupakan paradigma berpikir dari Max Weber. Diperlukan
kemampuan untuk menjelaskan pemikiran tokoh sosiologi
dengan contoh-contoh, agar mudah difahami oleh siswa.

60
Pemahaman paradigma sosiologi diawali dari perkembangan
Sosiologi sebagai ilmu, disamping paradigma-paradigma lain
seperti fakta sosial dari Emile Durkheim. Tindakan sosial
sebagai paradigma tidak dapat diartikan sebagai konsep
tentang bagaimana orang bertindak secara sosial. Kemudian
Tindakan Sosial diajarkan sama dengan mengajarkan
konsep-konsep dasar lain diantaranya Relasi Sosial, Interaksi
Sosial, Realitas Sosial. Sistimatika Sosiologi dan antropologi
sebagai suatu Ilmu menjadi tidak sistimatik, tentu akan
membawa dampak serius dalam menerapkannya dalam
kehidupan sosial.
Konsep dasar dalam Antropologi diberikan mulai dari
konsep Kebudayaan, seolah-olah kebudayaan bukan konsep
dasar dalam Sosiologi. Dalam memberikan konsep-konsep
dasar Sosiologi dan Antropologi ada konsep-konsep yang
diajarkan dalam Sosiologi dan Antropologi. Sebagai Ilmu
Pengetahuan, Sosiologi dan Antropologi memiliki kajian
utama yang harus diajarkan memiliki generik ilmu yang
berbeda. Perbedaan generik yang harus jelas diajarkan sejak
awal jika ilmu ini akan diajarkan muali dari tingkat
pendidikan menengah atas. Sebagai ilmu pengetahuan tentu
Kerangka Berpikir Sosiologi dan perkembangan ilmu berbeda
dengan Kerangka Berpikir Antropologi, dan kesamaannya
sebagai ilmu yang belajar tentang manusia dan masyarakat.

61
Konsep dasar bisa mulai dengan generik ilmu seperti yang
dikemukakan oleh T.O. Ihromi seorang antropolog Indonesia
sejajar dengan Selo Soemardjan (Sosiolog), Ilmu yang
mempelajari tentang manusia. Memahami semua sifat-sifat
manusia yang telah sirna di bumi ini, tinggal di pedalaman
berbagai benua dunia yang telah rumit sekali cara hidupnya
(Ihromi).
Sebaliknya Sosiologi adalah a systematic study of social
behaviour ( Macionis, 2007), selanjutnya dikenal sebagai ilmu
yang mempelajari tentang struktur sosial, proses sosial,
kelompok sosial, lembaga sosial dan perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat. Konsep- konsep dasar tentang
masyarakat antara Sosiologi dan Antropologi tentu tidak
berbeda dalam konteks tertentu seperti tentang Kebudayaan,
Norma dan Nilai-nilai sosial, Lembaga Sosial, proses sosial
dalam kebudayaan yang terkait dengan proses Sosialisasi,
Asimilasi, Akulturasi, dan sebagainya. Sebagai ilmu sosial
dan humaniora tentu memiliki batang ilmu yang sama (filsafat)
dan berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan, ada
arsiran yang sama terutama pada konsep-konsep dasar. Untuk
Sosiologi dan Antropologi, konsep-konsep dasar penting sama
dan digunakan untuk kajian masalah-masalah sosial dengan
keranga berpikir yang berbeda.

62
Kebudayaan
Manusia sebagai mahluk budaya diuraikan sebagai
konsep dasar secara komprehensif baik adri unsur,
terbentuknya kebudayaan dari berbagai pakar Antropologi dan
ada yang dimulai dari Maslow. Kemudian berbagai pengertian
lain disejajarkan dengan konsep kebudayaan antara lain,
Pengetahuan, Tradisi, Teknologi, Ilmu, Norma, Lembaga,
Seni dan Bahasa. Konsep-konsep dasar dikaji sebagai konsep
dasar Antropologi padahal konsep-konsep dasar ini menjadi
konsep dasar dalam Sosiologi. Harus hati-hati meletakan
konsep dasar dalam konteks kajian ilmu pengetahuan
(sciences). Jika penguasaan kedua ilmu ini tidak ―baik‖ maka
akan mengalami kesulitan menyampaikan pemahaman dalam
proses belajar mengajar (transfer of knowledge). Kemudian
Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk, pemahaman
konsep-konsep dasar akan sangat terbantu apabila mampu
memberikan contoh-contoh yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Contoh yang tepat akan sangat membantu siswa
untuk memahami konsep dasar, untuk itu diperlukan wawasan
yang luas dan kemampuan untuk menjelaskan. Kesalahan
memberikan contoh atau perumpamaan akan berakibat fatal
dalam memberikan pemahaman konsep dasar, sebagai contoh
konflik sosial diumpamakan sebagai sayur lodeh (dalam salah
satu buku ajar Sosiologi). Bagi saya tidak jelas bagaiman

63
menjelaskan contoh tersebut. Tokoh-tokoh masing-masing
pakar ilmu juga harus jelas baik yang ada di dunia Barat
sebagai pelopor maupun tokoh di Indonesia.

D. Penutup
Kritik utama yang paling mendasar terhadap
konsep-konsep dasar Sosiologi dan Antropologi adalah pada
kompetensi dasar dan inti yang terlalu ―berat‖ bagi siswa
kelas X SMA. Tidak salah jika SAP-Silabus yang diberikan
berupaya untuk memenuhi kompetensinya. Kompetensi
seharusnya terintegrasi dan berjenjang sesuai dengan tingkat
pendidikan. Untuk kelas X, konsep-konsep dasar Sosiologi
dan Antropologi sebaiknya pada tahap memperkenalkan apa
itu Sosiologi dan Antropologi dan mengapa harus diberikan di
SMA ? Pertama, solusi internal terkait proses belajar mengajar
fokus pada sistem pendidikan. Ada 3 komponen penting
dalam sistem pendidikan yaitu 9 : (1) the content of the
curriculum; (2) the mode of delivering this curriculum to
students;(3) the assessment of performance. selain isi dari
kurikulum cara menyampaikannya kepada siswa juga sangat
penting. Di bawah ini dapat dilihat pergeseran dari model
tradisional ke model belajar berdasarkan masalah (PBL)

9
Oon-Seng Tan, Problem-based Learning Innovation, using problems to
power learning in the 21 st century. hal.7.

64
Model pendekatan tradisional digantikan dengan proses
belajar yang menggunakan skenario- skenario dalam dunia
nyata (real-world). Pemahaman konsep-konsep Sosiologi dan
Antropologi sangat tepat jika digunakan metode PBL,
pemahaman siswa diperoleh dari belajar aktif serta dari
lingkungan sehari-hari siswa itu sendiri. Kondisi ini menjadi
lebih kondusif karena ditunjang oleh kemajuan teknologi
komputerisasi. Tingkat kompetensi inti dan dasar dapat
diturunkan namun pencapaian sasaran pembelajaran dapat
terpenuhi. Baik siswa maupun guru sebagai
fasilitator/mediator akan memperluas wawasan secara aktif
dan mandiri.
Kedua secara eksternal, masalah ini harus ditindak lanjuti
dengan merumuskan kembali secara vertikal dan terpadu
Kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sesuai dengan
profil lulusan SMA yang akan dihasilkan. Hal ini guna
menghindari pengenalan konsep-konsep dasar di SMA yang

65
terlalu ―berat‖ dibandingkan dengan yang akan diajarkan di
pendidikan lanjutan (PT). Cakupan pelajaran Sosiologi dan
Antropologi di tingkat Program Studi Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi lebih ―advance‖ dibandingkan dengan di
SMA. SAP dan Silabus harus mengikuti tuntutan rumusan
kompetensi baik inti maupun dasar.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku Pegangan Sosiologi dan Antropologi untuk kelas
X dan XI.

Kompetensi Inti dan kompetensi Dasar Kurikulum 2013.

Kumpulan Kebijakan dan Peraturan Sistem Pendidikan di


Indonesia terkait Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Lynda, Wee Keng Neo, Jump Start Authentic Problem, Based


Learning. Singapore: Pearson Education South Asia
Pte Ltd, 2004.

Onn-Seng Tan, Problem-based Learning Innovation, using


problems to power learning in the 21 st century.
Singapore : Thomson Asia Pte ltd, 2003.

66
BAB II
EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

Epistemologi dalam konteks bab ini ingin menjelaskan apa dan bagaimana metode dikembangkan
dalam Pendidikan Sosiologi. Sebagaimana diketahui bahwa Epistemologi berasal dari kata ―Episteme‖
yaitu pengetahuan dan ―logos‖ yang bermakna ilmu. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
ilmu pengetahuan atau Theory of Knowledge. Epistemologi merupakan sebuah kajian ilmu yang sangat
populer dan menjadi hal yang paling menarik. Secara sederhana Epistemologi merupakan pokok bahasan
yang mengkaji tentang bagaimana ilmu pengetahuan dibangun.
Epistemologi Pendidikan Sosiologi mengandung dua makna penting. Pertama, terkait bagaimana
metodologi Pendidikan Sosiologi dibangun dan dijalankan. Misalnya sejumlah penelitian tentang metode
pembelajaran Sosiologi. Kedua, terkait dengan metodologi Pendidikan Sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan mikro. Ini terkait bagaimana Pendidikan Sosiologi membangun dan mengembangkan
dirinya sebagai ilmu pengetahuan.

67 67
Tantangan Metodologi Pembelajaran
Sosiologi-Antropologi: Sebuah Pemikiran Awal

Oleh:
Komarudin Sahid*

A. Pengantar
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang
mendasar bagi manusia. Ia adalah proses kompleks yang tak
terikat oleh ruang dan waktu. Pendidikan dalam konteks ini
tidak dimaknai dalam arti sempit sekedar transfer of knowledge
yang dibatasi oleh atap dan dinding, namun lebih dari itu,
pendidikan merupakan alat yang dapat membantu manusia
menemukan makna dalam kehidupannya (meaningfull life),
tranfer nilai-nilai dan norma sosial, spirit dan dorongan yang
progresif, dan lokomotif peradaban umat manusia. Dalam
dimensi ini, tentunya, konsep kunci yang harus dijadikan
pijakan ialah bahwa pendidikan haruslah sinergis dan inheren
dengan masyarakatnya, dengan tata nilai, dan dengan fitrah
jasadiyah dan ruhiyah manusia.
Pendidikan yang dimaksud harus dapat
mengakomodasikan kepentingan seluruh aspek di dalam

*
Dr. Komarudin Sahid, M.Si, Pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas
Negeri Jakarta.

68
komponen-komponen tersebut, terlebih masyarakat, sebagai
sebuah entitas kehidupan. Jika saat ini terlihat pendidikan
seakan jauh dari nilai-nilai masyarakat, kehilangan elemen
aksiologisnya sebagai transformasi sosial, cenderung
menekankan aspek kognitif an sich dalam sistem
pembelajarannya, sejatinya di dalam keadaan yang demikian
maka pendidikan sebenarnya telah tercerabut dari masyarakat
sebagai pemiliknya. Inilah tantangan terbesar kita sebagai ilmuan
dan pendidik sosial, terlebih dalam merespon kurikulum 2013.
Dalam konteks ini kita perlu mencermati tantangan pembelajaran
Sosiologi-Antropologi dan menemukan solusinya.

B. Tantangan Pembelajaran Sosiologi dan Antropologi


Ada beberapa tantangan yang terkait dengan kurikulum
2013, yaitu: Bangunan ontologis. Pertanyaannya adalah
apakah struktur dan konten materi kurikulum 2013 yang
tertuang dalam standar isi Sosiologi dan Antropologi sudah
mencerminkan bangunan ontologis mata pelajaran yang
diharapkan. Dalam hal ini apakah SK dan KD telah
dikonstruksi berdasarkan hasil kajian yang matang untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Inilah tantangan yang pertama.
Tujuan mata pelajaran. Tantangan kedua adalah apakah tujuan
mata pelajaran sudah selaras dengan filosofi pendidikan

69
nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional dan tujuan
pendidikan nasional.
Metodologi pembelajaran. Tantangan ketiga terkait
dengan persoalan pedagogis atau didaktik metodik, yaitu
bagaimana agar pembelajaran sosiologi dan antropologi
berlangsung efektif.
Berdasarkan tantangan tersebut, maka kita perlu
memahami peta bangunan sosiologi-antropologi Indonesia,
tujuan mata pelajaran sosiologi-antropologi, dan model
pembelajaran sosiologi-antropologi ke depan yang merupakan
pemikiran awal penulis.

C. Bangunan Sosiologi-Antropologi Indonesia


Bangunan sosiologi-antropologi Indonesia pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari formasi sosial masyarakat
Indonesia. Formasi sosial masyarakat Indonesia yang plural ini
diikat oleh ―Empat Pilar‘ kehidupan berbangsa dan bernegara,
yaitu Pancasila, Konstitusi, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Empat pilar ini, merupakan manifestasi dan konsekuensi logis
dari filsafat, sejarah, dan, sosialita masyarakat, dan politik
kebangsaan Indonesia. Logika ini merepresentasikan bahwa
wawasan filsafat esensialisme mewarnai bangunan
sosiologi-antropologi Indonesia.

70
Sejarah Kesadaran
Indonesia Esensial

Pancasila NKRI

Politik
Filsafat kebangsaan
keindonesian

Bhinneka Konstitusi
Tunggal Ika

Sosialita Masyarakat
Indonesia

Gambar 1. Konstruksi Esensialisme Sosio-Antro Indonesia

Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan adalah usaha


mewariskan nilai-nilai budaya dan sosial sebagai nilai-nilai
kemanusian. Pendidikan dalam konteks ini diarahkan pada
penguasaan intelektualitas atau keilmuan yang inheren dengan
budaya dan nilai-nilai sosial yang mengakar di dalam
masyarakat Indonesia. Selanjutnya, gagasan kunci dari
pandangan ini ialah bahwa fenomena-fenomena alamiah,
budaya dan sosial, termasuk nilai-nilai agama adalah bahan
kajian untuk menemukan keteraturan sosial (Mudyahardjo,
2002:160).
Penyataan tersebut secara implisit menandakan bahwa
pendidikan menurut tesis kaum esensialis adalah sebuah
manifestasi pendidikan karakter (character of education) dan

71
pendidikan kebangsaan yang tercermin dari pentingnya esensi
spiritualitas, nilai budaya, dan kemasyarakatan yang
ditansmisikan dan ditransformasikan melalui proses
pembelajaran.
Untuk kepentingan pembelajaran, bangunan Sosiologi dan
Antropologi Indonesia lebih memfokuskan pada sosialita
masyarakat Indonesia dalam berbagai dimensinya, utamanya
pada struktur dan kultur masyarakat Indonesia guna
membangun masyarakat Indonesia yang plural dan
multikultural (bhinneka tunggal ika).

D. Tujuan Sosiologi-Antropologi Indonesia


Berpijak dari konstruksi esensialisme sosio-antro
Indonesia, formula tujuan sosiologi-antropologi dalam upaya
menghadapi tantangan ke depan, yaitu:
1. Mengembangkan tiga nilai penting sebagai landasan utama
sosiologi-antropologi Indonesia, (a) landasan transendensi,
(b) humanisasi, (c) transformatif kritis keilmuan.
2. Mensinergisasikan elemen realitas empiris dan rasio dalam
penelahaan aspek sosiologi-antropologi dalam sistem
pembelajaran di sekolah.
3. Mengembangkan metodologi induktif dalam proses
pembelajaran. catatan: selama ini sosiologi di SMA lebih
menekankan pendekatan deduktif an sich, sehingga praktik
sosial siswa belum mengajawantah.

72
4. Mengembangkan keberpihakan etis bahwa kesadaran
(super structure) menentukan basis material (structure). Di
sini, terhimpun harapan bahwa sosiologi-antropologi
Indonesia, untuk (a) menjadi bingkai kemanusiaan; (b)
peningkatan harkat dan martabat manusia Indonesia; dan
(c) peningkatan kedaulatan masyarakat dan berujung pada
kedaulatan bangsa.
Dari empat tujuan di atas, dapat ditarik kesimpulan
sederhana, bahwa tujuan sosiologi-antropologi merupakan
sarana memproyeksikan kehidupan bermasyarakat (peradaban
manusia) yang ideal di masa mendatang. Di mana gagasan
sosiologi dimaksudkan sebagai respon atas tantangan yang
mengemuka sebagai konsekuensi dari dinamika peradaban.

E. Metodologi Pembelajaran yang Perlu Dikembangkan


Menjawab tujuan di atas, ada dua ranah kecerdasan
peserta didik yang harus dikembangkan, selain ranah kognitif
(intelektual), afektif (moral), dan psikomorik (kinestetik). Dua
ranah itu, ialah kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial.
Kecerdasan ini akan menjadi rujukan penting dalam proses
pendidikan, terutama kaitannya dengan usaha dan hasil
pendidikan. Segenap usaha pendidikan sudah sepatutnya
diarahkan untuk terjadinya perubahan perilaku peserta didik

73
secara menyeluruh atau komprehensif dengan mencakup
semua kawasan perilaku.
Misalnya, dalam konteks kecerdasan kognitif, afektif, dan
psikomotorik diharapkan dapat terbentuk peserta didik yang
cerdas, inovatif, unggul, memiliki kecakapan hidup, dan karakter
diri yang tangguh dalam pengembangan kehidupannya. Dengan
kecerdasan sosial diharapkan menjadikan peserta didik sebagai
insan yang mampu berinteraksi dan bersosialisasi dalam
kehidupan bermasyarakat sekaligus dapat membangun relasi
sosial yang harmoni dan dinamis. Sementara itu, kecerdasan
spiritual berfungsi agar peserta didik diharapkan tidak
melupakan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.

Kecerdasan Kecerdasan Dimensi


Kognitif/ Afektif/Moral
Intelektual
Ilmu

Kecerdasan
Dimensi
Iman Spiritual

Kecerdasan Kecerdasan
Sosial Psikomotorik/
Dimensi
Kinestetik
Amal

Gambar 2 Taksonomi Kecerdasan yang Dikembangkan


Sumber: Diadaptasi dari Alkhudri, 2011

74
Kelima konsep kecerdasan tersebut merupakan bagian
yang saling menopang dan tak terpisahkan satu sama lain.
Inilah cerminan pendidikan keindonesian, yang inovatif dan
humanis, yang memiliki dimensi transendensial transformatif.
Konsekuensi logis, dari taksonomi tersebut ialah
pengembangan pembelajaran inovatif dan humanis.
Pembelajaran semacam ini memberikan arti penting kepada
pengalaman, pengembangan struktur kognitif, kemandirian,
dan sosialitas peserta didik dalam menghadapi realitas dan
dunianya (Light dan Cox, 2001). Melalui pembelajaran ini
proses pembelajaran dipusatkan kepada peserta didik
(student-centred, learning-oriented), mengedepankan
pendekatan mendalam (deep approach), dan pendekatan
strategis (strategic approach) dalam belajar. Peserta didik
tidak sekedar belajar mengingat informasi atau belajar untuk
lulus saja, dengan ungkapan lain tidak sekedar menggunakan
pendekatan permukaan (surface approach) dan belajar hafalan
(rote learning), melainkan belajar untuk memaknai
kehidupannya.
Senada dengan hal tersebut, menurut Alkhudri (2011:
142-147) pembelajaran inovatif dan humanis merupakan
pembelajaran yang memposisikan peserta didik sebagai
subyek yang otonom, fitrah, dan aktif; membangun kesadaran;
dan secara luas dapat memaknai kehidupan. Sedangkan

75
menurut Faolo Feire (Freire, 2002:12) yang lebih menekankan
kepada aspek humanis dalam pendidikan menjelaskan bahwa
esensi pembelajaran dan pendidikan diarahkan untuk
menciptakan peserta didik yang memiliki kesadaran
transformatif dan kritis. Pada konteks ini menurutnya
pembelajaran merupakan pembongkaran terhadap semua
bentuk kesadaran budaya dalam rangka menumbuhkan
kesadaran budaya yang baru, yaitu budaya penghargaan
terhadap kemanusiaan. Menurut Rogers (dalam Palmer 2003),
pembelajaran yang inovatif dan humanis merupakan
pembelajaran yang dapat menumbuhkan potensi terdalam
peserta didik, menciptakan hubungan yang saling percaya dan
nyaman, dan membangun hubungan dialogis yang
memberdayakan peserta didik untuk mencapai aktualisasi diri.
Proses pembelajaran seperti ini menurut Purkey & Novak
(dalam Eggen & Kauchak, 1997) adalah proses yang
mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang
mampu dan bernilai, mengarahkan diri sendiri, dan pemberian
semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan
persepsi dirinya tersebut.
Pembelajaran yang inovatif dan humanis mengarahkan
pada terjadinya proses pembelajaran (Norton et al, 2001):
1. Active; memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif
melalui proses belajar yang menarik dan bermakna.

76
2. Constructive; memungkinkan peserta didik dapat
membangun pengetahuan dan mengembangkan
pengetahuan atau ide-ide baru dari pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau
keingintahuan yang ada dalam benaknya.
3. Collaborative; memungkinkan peserta didik dalam suatu
kelompok untuk dapat membangun kebersamaan melalui
kerjasama yang efektif.
4. Intentional; memungkinkan peserta didik secara intensif
dan antusias berusaha mencapai tujuan yang diinginkan.
5. Conversational; memungkinkan proses belajar secara
inheren sebagai suatu proses sosial dan dialog dengan
sumber belajar dan lingkungan, di mana peserta didik
memperoleh keuntungan dari proses pembelajaran.
6. Contextualized; memungkinkan situasi belajar diarahkan
pada proses belajar yang bermakna (real-world) dalam
lingkungan dan kehidupan nyata di sekitarnya, misalnya
melalui pendekatan ‖problem-based learning‖ atau
“case-based learning”(studi kasus).
7. Reflective; memungkinkan peserta didik dapat menyadari
apa yang telah ia pelajari, dan memberikan makna bagi
dirinya dalam hidup bermasyarakat, meskipun hanya
sedikit.
Dari logika ini, dapat dirumuskan model pengembangan

77
pembelajaran sosiologi-antropologi yang komprehensif dalam
menjawab tantangan jaman. Lihat contoh berikut ini:
Tabel 1. Contoh Model Pengembangan Pembelajaran
Komponen Instruksional Isi dan Penjelasan
Standar Kompetensi Memahami perilaku keteraturan
hidup sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat
Kompetensi Dasar Mendeskripsikan nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat
Indikator Pembelajaran  Menjelaskan nilai dan norma
 Membedakan nilai dan norma
 Menjelaskan fungsi nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat
Muatan Materi  Konsep dasar nilai dan norma
 Perbedaan nilai dan norma
 Fungsi nilai dan norma yang
berlaku di Masyarakat
Basis Muatan Materi Menampilkan pembelajaran
nilai/karakter dalam teoretisasi dan
contoh-contoh
Pendekatan Pembelajaran Konstruktivistik: membangun
pengetahuan dan kesadaran akan
pentingnya nilai dan norma sosial
dalam kehidupan masyarakat
Strategi Pembelajaran Resources-based learning: Peserta
didik disediakan berbagai ragam
sumber belajar untuk mendukung
proses pembelajaran. Sebab
sumber-sumber belajar merupakan
salah satu komponen masukan
instrumental pembelajaran yang amat
penting diperhatikan untuk
menunjang pencapaian pembelajaran
yang berkualitas.
Model Pembelajaran Dari Contoh ke Contoh: (1) Guru
memberikan materi pelajaran melalui
contoh-contoh riil; (2) Contoh-contoh

78
Komponen Instruksional Isi dan Penjelasan
yang diberikan diupayakan dapat
memacu daya pikir, kreativitas, dan
kepekaan peserta didik; (3) Peserta
didik menyimak dan memperhatikan;
(4) Tanya jawab dan latihan; dan (5)
Kesimpulan.
Media Pembelajaran Infocus, power point, poster,
video/film, dan simulasi
Penilaian  Aspek Penilaian komprehensif
mencakup:
1. Spiritual
2. Kognitif (intelektual)
3. Afektif (moral)
4. Psikomotorik (kinestetik)
5. Sosial
Refleksi  Kesadaran etis/sikap peserta didik
terhadap norma
 Praktik keterampilan sosial, melalui
aktivitas ibadah, proyek sosial,
pergaulan dan berbagai aktivitas
ritual maupun sosial lain)

F. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan sitematis untuk
menumbuhkan kesadaran peserta didik sebagai pelaku
kehidupan sosial. Kesadaran tersebut hanya akan tercapai apabila
peserta didik telah berhasil membaca realitas yang terdapat
dihadapannya. Oleh karena itu, model pembelajaran
sosiologi-antropologi yang harus dikembangkan harus ditujukan
untuk membangun kesadaran diri, kesadaran sosial, dan
kesadaran spiritual. Ini penting sebagai formula mengahadapi

79
tantangan masa depan. Di sinilah model pembelajaran yang
komprehensif perlu dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Alkhudri, Ahmad Tarmiji. 2011. Pemikiran Pendidikan Ibnu


Khaldun: Transformasi Sosio-Edukasi dan Kesadaran
Humanis. Bogor: Edukati Press.

Eggen, P. and D. Kauchak. 1997. Educational Psychology,


Windows on Classroom. Third Edition. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.

Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan: Kebudayaan,


Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar & REaD.

Light, G and R. Cox. 2001. Learning and Teaching in Higher


Education. London: Paul Chapman Publishing.

Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan: Sebuah


Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada
Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Cetakan
Kedua. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Norton, Priscilla and Debra Spargue. 2001. Technology for


Teaching. Boston, USA: Allyn and Bacon.

Palmer, J.A. (Ed). 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Dari Piaget


Sampai Masa Sekarang. (terj: Farid Assifa). Yogyakarta:
Penerbit Jendela.

80
Potensi Ajar dan Kesulitan Peserta Didik
Dalam Belajar Sosiologi

Oleh:
Erianjoni*

A. Pendahuluan
Dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2006, Sosiologi ditinjau
dari sifatnya digolongkan sebagai ilmu pengetahuan murni (pure
science) bukan ilmu pengetahuan terapan (applied science).
Sosiologi dimaksudkan untuk memberikan kompetensi kepada
peserta didik dalam memahami konsep-konsep sosiologi seperti
sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial,
perubahan sosial, dan konflik sampai pada terciptanya integrasi
sosial. Sosiologi mempunyai dua pengertian dasar yaitu
sebagai ilmu dan sebagai metode. Sebagai ilmu, sosiologi
merupakan kumpulan pengetahuan tentang masyarakat dan
kebudayaan yang disusun secara sistematis berdasarkan analisis
berpikir logis. Sebagai metode, sosiologi adalah cara berpikir
untuk mengungkapkan realitas sosial yang ada dalam
masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dalam kedudukannya sebagai sebuah disiplin ilmu sosial

*
Dr. Erianjoni, M.Si, Pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Padang.

81
yang sudah relatif lama berkembang di lingkungan akademika,
secara teoretis sosiologi memiliki posisi strategis dalam
membahas dan mempelajari masalah-masalah sosial-politik
dan budaya yang berkembang di masyarakat dan selalu siap
dengan pemikiran kritis dan alternatif menjawab tantangan
yang ada. Melihat masa depan masyarakat kita, sosiologi
dituntut untuk tanggap terhadap isu globalisasi yang di
dalamnya mencakup demokratisasi, desentralisasi dan
otonomi, penegakan HAM, good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), emansipasi, kerukunan hidup
bermasyarakat, dan masyarakat yang demokratis.
Pembelajaran sosiologi dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan pemahaman fenomena kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran mencakup konsep-konsep dasar, pendekatan,
metode, dan teknik analisis dalam pengkajian berbagai fenomena
dan permasalahan yang ditemui dalam kehidupan nyata di
masyarakat. Mata pelajaran Sosiologi diberikan pada tingkat
pendidikan dasar sebagai bagian integral dari IPS, sedangkan
pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata
pelajaran tersendiri.

B. Sosiologi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia


Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang
Dunia ke dua, yang dimana diselenggarakan oleh Sekolah

82
Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah
Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum.
Sosiologi yang dikuliahkan sebagian besar bersifat filsafat
sosial dan teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt,
Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan
sebagainya. Pada tahun 1934-1935 kuliah-kuliah Sosiologi
pada Sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para
guru besar yang bertanggung jawab menyusun daftar kuliah
berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan
masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya
tidak diperlukan dalam pelajaran hukum (Soekanto, 2001:
56-59).
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario
Kolopaking, untuk pertama kalinya memberikan kuliah
Sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta
(kemudian menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM).
Beliau memberikan kuliah dalam Bahasa Indonesia ini
merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke
dua semua perguruan tinggi diberikan dalam Bahasa Belanda.
Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, Sosiologi juga
dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan
Pemerintahan dalam Negeri, Hubungan Luar Negeri dan
Publisistik. Kemudian pendidikan mulai dibuka dengan

83
memberikan kesempatan kepada para mahasiswa dan sarjana
untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada
beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan
tentang sosiologi (http://www.bangmu2.com/2012/05).
Sebagai sebuah mata pelajaran Sosiologi baru masuk
kurikulum di tingkat sekolah menengah di Indonesia pada
kurikulum tahun 1984, pada waktu itu Sosiologi sebagai salah
satu mata pelajaran di SMA wajib pada program IPS di SMA,
tetapi Sosiologi disatukan dengan Antropologi sehingga
dikenal menjadi mata pelajaran Sosiologi dan Antropologi.
Keberadaan Sosiologi sebagai mata pelajaran di tingkat
SMA menjadi semakin penting karena sejak tahun 2007
Sosiologi menjadi mata ujian dalam UN (Ujian Nasional),
sedangkan pada tahun 2008 Sosiologi masuk mata uji dalam
ujian SNMPTN. Masuknya Sosiologi berdasarkan kurikulum
KBK tahun 2004 sebagai salah bidang yang terafiliasi pada
mata pelajaran IPS Terpadu di tingkat SLTP/ MTs dan SMK
memberi penguatan bahwa begitu esensialnya mata pelajaran
sosiologi sebagai mata pelajaran dalam kelompok IPS dan
sekaligus memberi pengaruh besar terhadap keberadaan
instistusi pendidikan tinggi khususnya LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Keguruan) yang sangat berkompeten dan
terlibat dalam peningkatan kualitas tenaga pendidikan (guru)
Sosiologi (Erianjoni, 2012: 5). Saat ini di tingkat LPTK baik

84
negeri maupun swasta keberadaan pengajaran Sosiologi
mengalami perkembangan pesat dengan berdirinya beberapa
program Studi pendidikan Sosiologi, seperti di Universitas
Sebelas Maret (UNS Solo), Universitas Negeri Semarang
(Unnes), Universitas Malang (UM) Universitas Negeri Padang
(UNP), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY), Universitas Pendidikan (UPI Bandung),
Universitas Tanjung Pura (Untan Pointianak), Universitas
Lambung Mangkurat (Unlam Banjarmasin) dan juga dibeberapa
PTS telah dibuka pula seperti Universitas Muhammadiyah
Makasar (UMM), STIKIP PGRI Sumbar, STIKIP Mataram dan
lain-lain. Di samping itu telah dikembangkan dan dirintis pula
pembukaan program pascasarjana (S2) Pendidikan Sosiologi
di UPI Bandung.

C. Potensi Peserta Didik dalam Pembelajaran Sosiologi


Selama ini potensi peserta didik diukur dengan tes IQ
yang berkonsentrasi ke kecerdasan linguistik dan matematis/
logis. Jadi tes ini cukup baik dalam meramalkan prestasi
sekolah karena mata pelajaran di sekolah sebagian besar
diajarakan melalui kecerdasan linguistik dan matematis/ logis.
Keberhasilan sekolah memang salah satu cara untuk
menunjukkan kecerdasan. Namun di duania nyata sama sekali
bukan satu-satunya cara. Kemudian psikolog Harvard, Dr.

85
Howard Gardner pada tahun 1983 mempersoalkan pengertian
kecerdasan yang telah diyakini masyarakat selama hampir
delapan puluh tahun, dan Gardner mengemukakan teori
kecerdasan majemuk (Theory of Multiple Intelligence).
Gardner (dalam Riyanto, 2010: 236-238) memetakan
lingkup kemampuan/ potensi manusia yang luas menjadi
delapan kategori komprehensif atau delapan ‖kecerdasan
dasar‖: yaitu:
1. Kecerdasan Linguistik; kemampuan menggunakan kata
secara efektif, baik secara lisan maupun tertulis.
Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata
bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa,
semantik, atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau
penggunaan praktis bahasa. Penggunaan bahasa antara
lain mencakup retorika (penggunaan bahasa untuk
mempengaruhi orang lain melalui tindakan tertentu),
mnemoni/ hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat
informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk
memberi informasi) dan meta bahasa (penggunaan bahasa
untuk membahas bahasa itu sendiri).
2. Kecerdasan Matematis-Logis; kemampuan menggunakan
angka dengan baik (misalnya membaca data-data statistik
sosial) dan melakukan penalaran yang benar. Kecerdasan ini
meliputi kepekaan pada pola hubungan logis, pertanyaan

86
dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan
abstakasi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam
kecerdasan matematis-logis ini antara lain: kategorisasi,
klasifikasi, pengambilan kesimpulan, perhitungan dan
pengujian hipotesis.
3. Kecerdasan Spasial; kemampuan mempersepsikan dunia
spasial-visual secara akurat dan mentransformasikan
persepsi dunia spasial-visual tersebut. Kecerdasan ini
meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan
ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri
secara tepat dalam matriks spasial.
4. Kecerdasan Kinetis-Jasmani; keahlian menggunakan
seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan
dan keterampilan menggunakan tangan untuk
menciptakan dan mengubah sesuatu. Kecerdasan ini
meliputi kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik,
seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan,
kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima
rangasangan (proprioveptive) dan hal yang berkaitan
dengan sentuhan (tactile & haptic).
5. Kecerdasan Musikal; kemampuan menangani bentuk -
bentuk musikal, dengan cara mempersepsi, membedakan,
menggubah dan mengekspersikan. Kecerdasan ini me;iputi
kepekaan pada irama, pola titik nada atau melodi, dan warna

87
nada atau warna suara lagu. Orang dapat memiliki
pemahaman musik figural atau ‖atas-bawah‖
(global-intuitif) pemahaman formal atau ‖bawah atas‖
(analitis, teknis) atau keduanya.
6. Kecerdasan Interpersonal; kemampuan mempersepsi dan
membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta
perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan
pada ekspresi wajah. Suara, gerak isyarat; kemampuan
membedakan berbagai macam tanda interpersonal; dan
kemapuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan
tindakan pragmatis tertentu (misalnya mempengaruhi
sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu).
7. Kecerdasan Intrapersonal; kemampuan memahami diri
sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang
akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan
suasana hati, maksud, motivasi, tempramen, dan
keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami
dan menghargai diri.
8. Kecerdasan Naturalis; keahlian mengenali dan
mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan
sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena
alam lainnya (misalnya formasi awan dan gunung-gunung)
dan bagi mereka yang dibesarkan di lingkungan perkotaan

88
kemampuan membedakan benda tidak hidup, seperti karet
dan sampul kaset CD.
9. Kecerdasan Eksistensial; kecerdasan yang berhubungan
dengan kapasitas dan kemampuan untuk berpikir kosmis
atau hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan dan
tujuan manusia di alam semesta hingga pada sifat
kehidupan itu sendiri seperti kebahagiaan, tragedi,
penderitaan, hidup, mati dan kemana manusia setelah mati
(Gardner dalam Gunawan, 2003).
Kedelapan kecerdasan di atas tentu akan selalu berkaitan
dengan potensi-potensi yang telah dimiliki oleh peserta didik
dalam belajar sosiologi, karena terdapat beberapa kecerdasan
yang sebenarnya sangat penting untuk belajar sosiologi terutama:
1. Kecerdasan linguistik (untuk menjelaskan konsep,
terminologi konsep, bahasa simbol, berdiskusi dam menulis
ilmiah hasil penelitian sosiologi).
2. Kecerdasan matematis logis (berguna untuk belajar metode
kuantitatif, statistik sosial dan membangun generalisasi)
3. Kecerdasan Interpersonal (sangat penting untuk kegiatan di
lapangan, seperti melatih kepekaan sosial, adaptasi sosial,
observasi sosial dan berinteraksi dengan dunia sosial)
4. Kecerdasan Eksistensial (untuk memahami hakekat tentang
hubungan manusia dengan masyarakat dan kedudukan
manusia dalam masyarakat.

89
D. Bekal Ajar Awal Peserta Didik dalam Pembelajaran
Sosiologi

Pada dasarnya peserta didik yang tergolong remaja telah


memiliki bekal-ajar awal yang dapat kita lihat dari
prinsip-prinsip perkembangan remaja, yaitu suatu kondisi
yang berlangsung selama proses perkembangan berlansung.
Prinsip-prinsip perkembangan itu berlaku juga pada
perkembangan semua orang dalam berbagai periode
perkembangan. Dalam Mudjiran, dkk (2007: 8-10)
prinsip-prinsip perkembangan itu adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Kematangan; taraf kematangan kognitif, sosial,
dan emosional, serta moral akan mempengaruhi
prestasinya dalam sekolah. Peserta didik yang matang
secara kognitif mampu memahami konsep-konsep abstrak,
seperti nilai dan norma sosial, menghubungkan antara
kemiskinan dengan perilaku menyimpang.
2. Prinsip Kesatuan Organisasi; prinsip ini berbunyi bahwa
anak merupakan suatu kesatuan antara fisik dan psikis
serta kesatuan komponen dari kedua unsur tersebut.
Perkembangan aspek fisik atau psikis berkaitan satu sama
lain dan saling mempengaruhi., seperti mengajak anak
untuk observasi sosial di lapangan akan banyak
melibatkan pancaindra anak, maka makin mudahlah
peserta didik dengan apa yang dipelajarinya, misalnya

90
mengobservasi kegiatan peserta didik di perpustakaan
sekolah.
3. Prinsip Tempo dan Irama Perkembangan; prinsip ini
menyatakan bahwa remaja berkembang dengan tempo
dan irama perkembangan sendiri-sendiri. Setiap peserta
didik memiliki tempo dan irama perkembangan yang
berbeda denga irama peserta didik yang lain. Ada peserta
didik yang cepat dan ada pula yang lambat
perkembangannya. Tempo dan irama perkembangan
remaja ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor bawaan
(potensi dasar) dan lingkungan. Makin tinggi potensi
dasar makin cepat irama dan tempo perkembangannya
apabila lingkungan memberikan rangsangan yang sesuai,
demikian pula sebaliknya.
4. Prinsip Kesamaan Pola; prinsip ini mengemukakan bahwa
anak sebagai manusia mengikuti pola umum yang sama
dalam perkembangannya. Misalnya anak umur 14 tahun
telah memasuki pra remaja dan siap memasuki sekolah
menengah pertama. Prinsip ini mempunyai beberapa
implikasi dalam pelaksanaan pendidikan, yaitu sebagai
berikut: (a) pada umumnya pendidikan dapat
dilaksanakan secara klasikal terhadap peserta didik yang
berumur kronologis yang sama, (b) dapat dilaksanakan
keseragaman pendidikan untuk peserta didik tingkat umur

91
kronologis sama, (c) dapat disediakan alat-alat permainan
tertentu yang dapat digunakan dari generasi ke generasi
berikutnya untuk anak yang sebaya.
5. Prinsip Kontinuitas; menurut prinsip kontinuitas,
perkembangan berlangsung secara terus-menerus dan
berkesinambungan. Perkembangan pada periode awal
mempengaruhi pencapaian periode berikutnya.
Melalui pembelajaran sosiologi yang menuntut seorang
peserta didik memiliki 3 aspek ranah pendidikan (1) aspek
sikap sosial, yaitu sikap toleransi, kejujuran, solidaritas sosial,
tolong-menolong, tanggung jawab, kesetikawanan sosial dan
saling menghormati, (2) aspek pengetahuan sosial (kognitif)
yaitu konsep-konsep dasar sosiologi, teori sosiologi dan
metode penelitian sosiologi, dan (3) aspek keterampilan
sosial, yaitu keterampilan berkomunikasi, berpartisipasi dan
keterampilan penelitian sosial, akan sangat terkait dengan
kelima prinsip belajar di atas karena belajar Sosiologi
membutuhkan kesiapan secara fisik dan kematangan secara
emosional dan kesiapan secara sosial. Maka dengan belajar
Sosiologi akan mampu merubah peserta didik baik secara
secara psikologis dalam menghadapi dunia sosial dengan
segala persoalannya.

92
E. Kesulitan Belajar Peserta Didik Pada Pembelajaran
Sosiologi

Di sekolah, di samping banyaknya murid yang berprestasi


belajar, banyak pula dijumpai murid yang gagal, seperti nilai
atau angka rapor banyak rendah, tidak naik kelas, tidak lulus
ujian akhir dan sebagainya. Secara umum, peserta
didik-peserta didik yang mengalami hal seperti itu dapat
dipandang sebagai peserta didik yang mengalami masalah
belajar (kesulitan belajar). Kesulitan belajar memiliki bentuk
yang banyak ragamnya, menurut Prayitno (1994: 90),
mengemukakan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Keterampilan akademik, yaitu keadaan peserta didik yang
diperkirakan memiliki intelengensi yang cukup tinggi
tetapi tidak dapat memamfaatkannya secara optimal
2. Ketercepatan dalam belajar, yaitu keadaan peserta didik
yang memiliki IQ 130 atau lebih tetapi masih memerlukan
tugas-tugas khusus untuk memenuhi kebutuhan dan
kemampuan belajar yang amat tinggi itu
3. Sangat lambat dalam belajar, yaitu keadaan peserta didik
yang memiliki akademik yang kurang memadai dan perlu
dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran khusu
4. Kurang motivasi dalam belajar, yaitu keadaan peserta
didik yang kurang bersemangat dalam belajar mereka

93
seolah-olah tampak jera dan malas.
5. Bersikap atau berkebiasaan buruk dalam belajar, yaitu
kondisi peserta didik yang kegiatan atau perbuatan
belajarnya sehari-hari antagonistik dengan yang
seharusnya, seperti suka menunda-nunda tugas, mengulur
waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal
yang tidak diketahuinya dan sebagainya.
Dalam belajar Sosiologi tentu ditemukan berbagai
kesulitan peserta didik dalam belajar. Terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan peserta didik sulit dan menganggap
mata pelajaran Sosiologi tidak menarik, diantaranya guru
tidak mampu menjadikan pembelajaran Sosiologi menjadi
menarik, karena tidak mampu menyiapkan metode yang
partisipatif yang berpusat pada peserta didik (student
centered), jadi guru mendominasi secara proses. Selain itu
dalam pengembangan materi guru hanya menjelaskan
konsep-konsep Sosiologi yang menjenuhkan, dan tidak
menkontekstualkannya dengan fakta di sekitar kehidupan
peserta didik, atau tidak mampu membangun sebuah materi
berbentuk prinsip (generalisasi) dimana menghubungkan
antara suatu konsep dengan konsep yang lainnya, misalanya
keterkaitan antara nilai dan norma dengan perilaku
menyimpang, pengendalian sosial, lembaga sosial bahkan
dengan perubahan sosial.

94
Dalam Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan
Pengajaran Remedial beberapa ciri-ciri tingkah laku yang
merupakan pernyataan manifestasi gejala kesulitan belajar
antara lain:
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata
nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah
potensi yang dimilikinya
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang
telah dilakukan. Mungkin ada peserta didik yang selalu
berusaha untuk belajar dengan giat tetapi nilai yang
dicapainya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar. Ia
selalu tertinggal dari teman-temannya dalam
menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan waktu yang
tersedia
4. Menujukkan sikap yang kurang wajar, seperti acuh tidak
acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya
5. Menunjukkan tingkah laku yang berkelainan, seperti
membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, menganggu dalam atau di luar kelas, tidak mau
mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar,
mengasingkan diri, tersisihkan, tidak mau bekerja sama
dan sebagainya.

95
6. Menunjukkan gejala emosional yang kuran wajar, seperti:
pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau
kurang gembira dalam menghadapi situasi teretntu,
misalnya dalam menghadapi nilai rendah tidak
menunjukkan adanya perasaan sedih atau menyesal.
Menurut Burton dalam (Nirwana dkk, 2005: 151-152)
mengidentifikasikan bahwa seorang peserta didik itu
dipandang atau dapat diduga mengalami kesulitan belajar
kalau yang bersangkutan mengalami kesulitan belajar, kalau
yang bersangkutan mengalami kegagalan (failure) tertentu
dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar
didefinisikan Burton sebagai berikut:
1. Peserta didik dikatakan gagal, apabila dalam batas waktu
tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan (matery level)
minimal dalam pelajaran tertentu, seperti yang telah
ditetapkan oleh orang dewasa atau guru (crireterion
referenced)
2. Peserta didik dikatakan gagal, apabila yang bersangkutan
tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang
semestinya (beradasarkan tingkat ukuran kemampuan:
intelegensi dan bakat) ia ramalkan (predicted) akan dapat
mengerjakan atau mencapai prestasi tersebut, peserta
didik ini digolongkan ke dalam under achievers.

96
3. Peserta didik dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan
tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan
termasuk penyesuaian sosial, dengan pola organismik
(his/organismik pattern) pada fase perkembangan tertentu
seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang
bersangkutan (norm referenced) peserta didik yang
bersangkutan dikategorikan ke dalam slow learners.
4. Peserta didik dikatakan gagal, kalau yang bersangkutan
tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan (mastery level)
yang diperlukan sebagai persyaratan (prequisisi) bagi
kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya,
peserta didik ini dapat digolongkan ke dalam slow
learners yang belum matang (immature) sehingga harus
menjadi pengulang.
Dari keempat pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
seseorang peserta didik dapat diduga mengalami kesulitan
belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf
kualifikasi hasil belajar tertentu. Seperti ukuran kriteria yang
dinyatakan dalam SK/KD atau ukuran tingkat kapasitas dan
kemampuannya. Untuk belajar Sosiologi berbagai bentuk
kesulitan belajar dipastikan akan tetap ada sepanjang guru
Sosiologi gagal dalam meminimalisir segala bentuk gangguan
belajar yang bersumber dari faktor internal peserta didik dan
guru serta faktor eksternal dari sarana belajar dan lingkungan

97
dimana Sosiologi tersebut diajarkan oleh guru. Dalam
berbagai masalah kesulitan belajar yang penulis amati dari
penelitian dan pengalaman lapangan ketika menatar guru
Sosiologi juga bermuara dari banyak guru Sosiologi di tingkat
SMA yang bukan memiliki latar belakang keilmuan Sosilogi,
mereka rata-rata berasal dari bidang ilmu sosial dan
humaniora lainnya yaitu; Geografi, Sejarah, Ekonomi, PKn,
Hukum, Ilmu Politik, bahkan ada yang datang dari S1 Agama,
PKK, Seni Musik dan sebagainya. Dampak dari berbagai
masalah tersebut guru Sosiologi tidak mampu secara optimal
mencapai tujuan pengajaran Sosiologi, karena banyak
masalah seputar kompetensi guru.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Gunawan. 2003. Born to be a Genius. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Erianjoni, 2012. Indigenisasi Sosiologi: Pengembangan


Materi Sosiologi Bermuatan Nilai-nilai Budaya Lokal
Minangkabau Pada SMA di Propinsi Sumatera Barat.
Makalah pada Seminar Nasional Dies Natalis UNY
ke-43 di Yogyakarta 29 Mei 2012.

http://www.bangmu2.com/2012/05) diakses tanggal 5 Mei


2015.

Mudjiran, dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang:

98
FIP UNP.

Nana Sudjana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar


Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nirwana, Herman dkk. 2001. Buku Ajar Belajar dan


Pembelajaran. Padang: UNP Press.

Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar


Kompetensi.

Prayitno. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.


Padang; FIP UNP.

Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Pembelajaran. Jakarta


Kencana.

Soekanto, Soerdjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar.


Jakarta: Rajawali Press.

99
BAB III
AKSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

Aksiologi Pendidikan Sosiologi dalam bab ini dimaknai sebagai 'nilai fungsi' atau nilai
kebermanfaat dari keberadan Pendidikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mikro. Misalnya
sejauhmana keberadaan Pendidikan Sosiologi dalam membangun sumber daya tenaga pendidik
dan memberi manfaat bagi kualitas tenaga guru sosiologi. Atau sejauhmana peserta didik yang
sudah mendapatkan ilmu Pendidikan Sosiologi keberadaanya ditengah-tengah masyarakat
memberi manfaat bagi perubahan dan perbaikan masyarakat secara sosial.

100 100
Pengembangan Model Bahan Ajar Sosiologi SMA
Berbasis Karakter

Oleh:
Evy Clara*
Ahmad Tarmiji Alkhudri*

A. Pendahuluan
Integrasi pendidikan karakter dalam pendidikan
persekolahan adalah upaya yang harus diimplementasikan
dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Untuk itu, pemahaman
kita tentang konsepsi pendidikan karakter pun harus
komprehensif dan membumi. Sarana untuk mewujudkannya
salah satunya melalui integrasi pendidikan karakter dalam
mata pelajaran sosiologi. Di sinilah kemudian, dibutuhkan
adanya bahan ajar sosiologi SMA yang berbasis karakter.
Inilah signifikansi pertama pentingnya penulisan buku ajar ini.
Kedua, sejauh yang dapat ditelusuri, penulisan buku
ajar sosiologi SMA berbasis karakter yang komprehensif dan
aplikatif yang dikeluarkan oleh LPTK belum ada yang
menulis. Hasil penelitian tahun 2013 dan 2014 atas teks buku
ajar sosiologi SMA terbitan Esis dan Erlangga memberikan

*
Dr. Evy Clara, M.Si, Pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta.
*
Ahmad Tarmiji Alkhudri, M.Si, Pengajar di Jurusan Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta.

101
kesimpulan bahwa esensi muatan karakter pada ketiga buku
tersebut belum optimal dan secara praksis ditampilkan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cakupan materi ajar dalam
buku tersebut masih memiliki kecenderungan mengedepankan
aspek kognitif, ketimbang aspek afektif dan psikomotorik.
Komponen nilai karakter yang ditampilkan lewat teks masih
minim dan parsial. Di samping itu, dari segi evaluasi dalam
beberapa aspek masih cenderung mengedepankan porsi
kognitif (Evy Clara dan Ahmad Tarmiji, 2013, 2014).
Ketiga, fakta sosial dan perubahan sosial yang terjadi di
Indonesia meniscayakan dinamisasi dalam penulisan bahan
ajar, realitas sosial ini kurang tersaji dalam buku ajar sosiologi
SMA saat ini. Buku ajar sosiologi yang ada terkungkung oleh
kejumudan produk modernitas. Sementara itu, masyarakat
Indonesia saat ini sudah berada dalam percaraturan
postmodernitas. Dengan kata lain, buku ajar yang ada saat ini
out of date.
Berangkat dari uraian singkat di atas, maka dibutuhkan
pengembangan materi ajar Sosiologi SMA berbasis karakter,
sebagai upaya melahirkan format buku ajar sosiologi berbasis
karakter yang tepat di SMA. Berikut ini kisi-kisi bahan ajar
sosiologi berbasis karakter yang berhasil dirumuskan oleh
peneliti.

102
B. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan (analisis teks materi) untuk pemetaan awal.
Pendekatan kualitatif memfokuskan telaahnya pada
makna-makna subjektif, pengertian-pengertian, metafr-metafor,
simbol-simbol, dan deskripsi-deskripsi ihwal suatu kasus spesifik
yang hendak diteliti (Newman, 2001:9-10). Pendekatan ini
dipilih agar penelitian ini mendapatkan gambaran yang
mendetail tentang teks-teks yang memiliki keterkaitan erat
dengan pembelajaran karakter.
Penelitian tahap kedua ini akan dilaksanakan selama 6
bulan, yakni mulai dari Mei – Oktober 2015. Penelitian
difokuskan pada upaya pengembangan model bahan ajar yang
sesuai karakter keindonesian yang membumi. Luarannya ialah
buku ajar sosiologi berbasis karakter untuk Kelas X semester
1. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang
digunakan meliputi:
1) Studi pustaka: teknik ini dilakukan sejak penyusunan
proposal sampai dengan laporan hasil penelitian. Teknik
ini digunakan untuk mengumpulkan bahan – bahan untuk
pembuatan kurikulum dan buku ajar.
2) Wawancara mendalam: dilakukan dengan beberapa tokoh
pendidikan guna memperkuat data kualitatif dalam
pembuatan buku ajar berbasis karakter di SMA.

103
Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan
analisis data kualitatif yang lebih dikenal sebagai analisis data
model interaktif. Dalam penelitian kualitatif, analisis data
adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasinya ke
dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar.
Pengkategorian data disesuaikan dengan rumusan pertanyaan
yang diajukan dalam penelitian ini dan dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan interpretasi, seleksi, dan penjelasan
dalam bentuk deskripsi analisis (Miles dan Huberman,
1992:16).

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Geneologi Sosiologi dalam Peta Kurikulum di Indonesia
Sosiologi sebagai ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah,
baru hadir sejak berlakunya kurikulum tahun 1984. Namun,
geneologinya dapat ditelusuri sejak proses pendidikan masa
penjajahan, di mana peristiwa-peristiwa sosiologis selalu hadir
dalam setiap kemunculan kurikulum. Berikut ini geneologi
sosiologi dalam peta kurikulum di Indonesia.

104
Tabel 1. Sosiologi dalam Peta Kurikulum di Indonesia
Geneologi Konten
No. Kurikulum Konten Kurikulum
Sosiologis
1. Kurikulum  Deterministik Stratifikasi sosial;
Jaman ekonomi dan politik differensiasi sosial;
Belanda  Pendidikan dibuat penyimpangan; dan
berjenjang, tidak ketaatan terhadap nilai
berlaku untuk semua dan norma
kalangan, dan Belanda/Penjajah
berdasarkan tingkat sangat kental dalam
kelas. peta kurikulum era
 Pendidikan bagi kolonial Belanda
pribumi berfungsi
untuk menyediakan
tenaga kerja murah
2. Kurikulum  Deterministik Stratifikasi sosial;
Jaman ekonomi dan politik differensiasi sosial;
Jepang  Pendidikan dibuat konflik dan embrio
untuk keperluan perubahan
perang Jepang sosial/munculnya
kekuatan nasionalisme
3. 1947 Development Conformism, Perubahan sosial,
Tujuan membangun multikultural dan
karakter bangsa nasionalisme,
perlawanan/konflik
(semanagat kesatuan)
sangat kentara di awal
kemerdekaan
4. 1952  Development Perubahan sosial,
Conformism, Tujuan multikultural dan
membangun karakter nasionalisme,
bangsa perlawanan/konflik
 Ideologi anti (semanagat kesatuan)
neo-imperalisme dan sangat kentara di awal
neo-kolonialisme kemerdekaan.

Kentalnya perspektif
post-kolonialisme
5. 1964  Development Sosialisasi, nilai dan
Conformism, Tujuan norma, Perubahan
membangun karakter sosial, multikultural
bangsa dan nasionalisme,

105
Geneologi Konten
No. Kurikulum Konten Kurikulum
Sosiologis
 Fokusnya pada perlawanan/konflik
pengembangan daya (semangat kesatuan).
cipta, rasa, karsa,
karya, dan moral
6. 1968  Tujuan membangun Muatan sosiologis yang
karakter bangsa yang nampak adalah
seragam sosialisasi; nilai dan
 Equilibrium/stabilitas norma; ini secara
implisit muncul dalam
mata ajar pendidikan
kewarganegaran

Kentalnya perspektif
struktural fungsional
7. 1976  Tujuan membangun Muatan sosiologis yang
karakter bangsa yang nampak adalah
seragam sosialisasi; nilai dan
 Equilibrium/stabilitas norma; ini secara
 Berbasis materi, implisit muncul dalam
teaching centered mata ajar pendidikan
learning, kewarganegaran/PMP

Kentalnya perspektif
struktural fungsional
8. 1984  Tujuan membangun Sosiologi resmi sebagai
karakter bangsa yang mata pelajaran di
seragam sekolah yang
 Equilibrium/stabilitas memproyeksikan
 Masuknya mata tatanan masyarakat
pelajaran PSPB, yang equilibrium,
berorientasi tujuan romantisme itu
yang berjenjang dibangun melalui basis
(GBPP: Tujuan sejarah kebangsaan
Kurikuler,
 Tujuan Instruksional Kentalnya perspektif
Umum, Bahan struktural fungsional
Pengajaran), guru
diberi kewenangan
TIK, model
pembelajaran CBSA,
SCL

106
Geneologi Konten
No. Kurikulum Konten Kurikulum
Sosiologis
9. 1994  Tujuan membangun Dinamika struktur
karakter bangsa yang sosial; nilai dan norma;
seragam sosialisasi
 Equilibrium/stabilitas
 Hilangnya PSPB,
PMP menjadi PPKn, Kentalnya perspektif
orientasi struktural fungsional
pengalaman, (GBPP:
Tujuan, Pokok
Bahasan, Sub pokok
bahasan beserta
uraian kegiatan),
cawu, belajar siswa
aktif,
10. 2004 Pembelajaran Sosiologi struktur sosial; konflik
dalam kurikulum 2004 sosial; kebudayaan; dan
dibuat semakin tanggap dan perubahan sosial
sensitif terhadap budaya
perkembangan di
masyarakat seperti Kentalnya perspektif
masalah-masalah sosial konflik
politik dan budaya.
11. 2006 KTSP merupakan Sosiologi juga dituntut
pendidikan yang bersifat untuk tanggap terhadap
post-kolonialis. KTSP isu globalisasi yang di
mencoba menerapkan dalamnya mencakup isu
pendidikan yang melihat demokratisasi, meliputi
manusia sebagai manusia desentralisasi dan
sehingga mengantarkannya otonomi, penegakan
pada pemahaman yang HAM, good
humanis dan juga kritis governance,
terhadap identitas. emansipasi, kerukunan
hidup bermasyarakat
dan masyarakat yang
demokratis.

Kentalnya perspektif
konflik dan post
kolonialis

107
Geneologi Konten
No. Kurikulum Konten Kurikulum
Sosiologis
12. 2013 Kurikulum 2013 Materi yang
merupakan titik balik dan kontroversi:
respon dari kurikulum ketimpangan sosial
2006; ada romantisme ingin
kembali kepada struktur Indikasi kembali ke
lama yang equal; dan perspektif struktural
pembangunan karakter fungsional

Sumber: Diolah dari Jalal, 2004; Mulyasa, 2007; dan Kemendikbud, 2012.

Berdasarkan pemetaan di atas, bangunan sosiologi


Indonesia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari formasi
sosial masyarakat Indonesia. Formasi sosial masyarakat
Indonesia yang plural ini diikat oleh ―Empat Pilar‘ kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Konstitusi, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat pilar ini, merupakan
manifestasi dan konsekuensi logis dari filsafat, sejarah, dan,
sosialita masyarakat, dan politik kebangsaan Indonesia.
Logika ini merepresentasikan bahwa wawasan filsafat
esensialisme mewarnai bangunan sosiologi Indonesia.

108
Sejarah Kesadaran
Indonesia Esensial

NKRI
Pancasila
Politik
Filsafat kebangsaan
keindonesian Konstitusi
Bhinneka
Tunggal
Ika

Masyarakat
Indonesia

Gambar 1. Konstruksi Esensialisme Sosiologi Indonesia


Sumber: Hasil elabolasi peneliti, 2015.

Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan adalah usaha


mewariskan nilai-nilai budaya dan sosial sebagai nilai-nilai
kemanusian. Pendidikan dalam konteks ini diarahkan pada
penguasaan intelektualitas atau keilmuan yang inheren dengan
budaya dan nilai-nilai sosial yang mengakar di dalam
masyarakat Indonesia. Selanjutnya, gagasan kunci dari
pandangan ini ialah bahwa fenomena-fenomena alamiah,
budaya dan sosial, termasuk nilai-nilai agama adalah bahan
kajian untuk menemukan keteraturan sosial.
Penyataan tersebut secara implisit menandakan bahwa
pendidikan menurut tesis kaum esensialis adalah sebuah

109
manifestasi pendidikan karakter (character of education) dan
pendidikan kebangsaan yang tercermin dari pentingnya esensi
spiritualitas, nilai budaya, dan kemasyarakatan yang
ditansmisikan melalui proses pembelajaran.
Berpijak dari konstruksi esensialisme sosiologi Indonesia,
formula tujuan sosiolog, yaitu:
10. Mengembangkan tiga nilai penting sebagai landasan utama
sosiologi Indonesia, (a) landasan transendensi,
(b) humanisasi, (c) transformatif kritis keilmuan.
11. Mensinergisasikan elemen realitas empiris dan rasio dalam
penelahaan aspek sosiologi dalam sistem pembelajaran di
sekolah.
12. Mengembangkan metodologi induktif dalam proses
pembelajaran. catatan: selama ini sosiologi di SMA lebih
menekankan pendekatan deduktif an sich, sehingga praktik
sosial siswa belum mengajawantah.
13. Mengembangkan keberpihakan etis bahwa kesadaran
(super structure) menentukan basis material (structure). Di
sini, terhimpun harapan bahwa sosiologi Indonesia, untuk
(a) menjadi bingkai kemanuisan; (b) peningkatan harkat
dan martabat manusia Indonesia; dan (c) peningkatan
kedaulatan masyarakat.
Dari empat tujuan di atas, dapat ditarik kesimpulan
sederhana, bahwa tujuan sosiolog merupakan sarana

110
memproyeksikan kehidupan bermasyarakat (peradaban
manusia) yang ideal di masa mendatang. Di mana gagasan
sosiologi dimaksudkan sebagai respon atas tantangan yang
mengemuka sebagai konsekuensi dari dinamika peradaban.

Keterbatasan Nilai Karakter dalam Buku Ajar Sosiologi:


Analisis Teks Buku Esis dan Erlangga
Agenda pendidikan karakter dalam konteks pendidikan saat
ini menemukan momentumnya. Di tengah kondisi dan situasi
pendidikan nasional yang ditengarai minus moralitas,
despiritualisasi, dan unconsciousness, atau hampa kesadaran,
pembelajaran karakter ini diharapkan menjadi parameter
sekaligus instrumen dalam menumbuhkan kembali nilai yang
mencair dan kian hilang tersebut—nation and character building,
civic culture, and civic religiousity.
Akan tetapi, dalam konteks ini ada sebuah pertanyaan yang
menarik untuk kita telaah terlebih dahulu. Dari mana kita akan
memulai membahas dan membahasakan pembelajaran karakter?
Bagaimana teknik dan materi pembelajaran karakter yang baik
agar dapat menginternalisasi dalam diri? Alih-alih berpendapat
pembelajaran karakter harus ditransmisikan melalui jalur
persekolahan dalam konteks pendidikan formal. Sementara itu,
mengenai teknik dan materi pembelajaran karakter setidaknya
harus bersumber dari nilai-nilai universal kehidupan.
Berikut ini hasil analisis teks buku ajar sosiologi kelas XI

111
terbitan Esis, Erlangga, dan Yudhistira, yang menunjukkan
bahwa cakupan materi ajar dalam buku tersebut masih belum
optimal memunculkan contoh-contoh pengintegrasian nilai
karakter dalam materi pembelajaran sosiologi.

Tabel 2. Intisari Analisis Teks Pada Buku Ajar Sosiologi


SMA Kelas X-XII Terbitan Esis dan Erlangga
Buku Komponen yang Penjelasan
Ajar dianalisis

Keterkaitan Nilai Kurang mengelaborasi aspek afektif


karakter (karakter): seperti contoh teladan
dalam kehidupan sosial.
Ketepatan dalam Perlu pendalaman contoh yang
penjelasan materi melahirkan nilai-nilai karakter
Esis
praktis
Evaluasi/keseimbangan Sudah baik dan seimbang. antara
proporsi tes dengan kognitif, afektif dan psikomotorik.
konten hanya saja tersirat dan tidak adanya
presentase nilai karakter.
Keterkaitan Nilai Kurang mengelaborasi aspek afektif
karakter (karakter): seperti contoh teladan
dalam kehidupan sosial.
Ketepatan dalam Ketepatan dalam penjelasan dalam
penjelasan materi materi praktis cukup baik dengan
praktis adanya beberapa contoh dari teori
yang ada. Namun kurang
Erlangga menjelaskan secara detail makna dari
materi yang akan dijelaskan dan
contoh teladan karakter dalam
kehidupan sosial belum mendapat
porsi.
Evaluasi/keseimbangan Cukup seimbang, namun terdapat
proporsi tes dengan terdapat soal yang mendominasi dari
konten satu materi saja.
Sumber: Maryati, 2013; Muin, 2013.

112
Kurikulum Bahan Ajar Sosiologi Berbasis Karakter
Pendidikan karakter sangat dibutuhkan di tengah
masyarakat kekinian, terlebih hasil analisis teks buku di atas
mengindikasikan masih minimnya upaua pengintegrasian
muatan nilai-nilai karakter. Padahal problematika kekinian
sangat mengancam karakter bangsa, di mana semakin mencair
semangat dan rasa cinta kebangsaannya. Selain itu juga
dirasakan semakin menurunnya kerukunan, keharmonisan dan
keselamatan sebagai prinsip kehidupan bangsa. Hal ini bisa
dilihat dari semakin semaraknya aksi kekerasan atas nama
agama, suku, ras dan etnis di Indonesia. Pentingnya pendidikan
berbasis pada karakter bangsa memang sudah menjadi tawaran
solutif bagi bangsa ini. Berikut ini kurikulum bahan ajar
sosiologi berbasis karakter yang berhasil dirumuskan oleh
peneliti.
Tabel 3. Kurikulum Bahan Ajar Sosiologi Berbasis
Karakter
Materi: Nilai dan Norma Sosial
Variabel Instruksional Penjelasan
Kompetensi Inti Memahami perilaku keteraturan hidup
sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat
Kompetensi Dasar Nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat
Indikator Pembelajaran  Menjelaskan nilai dan norma
 Membedakan nilai dan norma
 Menjelaskan fungsi nilai dan norma
yang berlaku dalam masyarakat

113
Variabel Instruksional Penjelasan
Muatan Materi 7. Konsep dasar nilai dan norma
8. Nilai dan Norma Sosial
9. Fungsi Nilai dan Norma yang berlaku di
Masyarakat
Basis Muatan Materi Determinan pembelajaran nilai/karakter
nampak jelas dalam teoretisasi dan
contoh-contoh
Paradigma Pembelajaran Konstruktivistik: membangun kesadaran
akan pentingnya nilai dan norma sosial
dalam kehidupan masyarakat
Pendekatan Pembelajaran Resources-based learning: Peserta didik
disediakan berbagai ragam sumber belajar
untuk mendukung proses pembelajaran.
Sebab sumber-sumber belajar merupakan
salah satu komponen masukan
instrumental pembelajaran yang amat
penting diperhatikan untuk menunjang
pencapaian pembelajaran yang
berkualitas.
Model Pembelajaran Dari Contoh ke Contoh: (1) Guru
memberikan materi pelajaran melalui
contoh-contoh riil; (2) Contoh-contoh
yang diberikan diupayakan dapat memacu
daya pikir, kreativitas, dan kepekaan
peserta didik; (3) Peserta didik menyimak
dan memperhatikan; (4) Tanya jawab dan
latihan; dan (5) Kesimpulan.
Penilaian 10. Indikator Skoring Aspek Penilaian
Kognitif: 20 %
Afektif: 40%
Psikomotorik: 40%
11. Pengayaan materi dengan
contoh-contoh dan remedial
Refleksi Materi ini harus menekankan pada
elaborasi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Sumber: Hasil elaborasi peneliti, 2015.

114
Pengembangan Model Bahan Ajar Sosiologi Berbasis
Karakter
Membumikan sosiologi berbasis karakter adalah suatu
kebutuhan. Sebab, Pembelajaran akan berhasil, jika selain
pintar atau cerdas juga kompetitif dan bermoral. Cerdas dan
kompetitif saja tidak cukup tanpa didasari oleh moralitas yang
baik. Oleh karena itu, visi pembelajaran sosiologi tentu harus
mengusung tiga ranah penting itu di dalamnya. Tidak hanya
kemampuan intelektual yang akan diasah, akan tetapi juga
sikap dan perilakunya. Pendidikan perilaku atau budi pekerti
inilah yang rasanya memang harus dikedepankan. Tolok ukur
kelulusan peserta didik bukan hanya pada kemampuannya
untuk menghafal dan menganalisis berdasarkan logika dan
intelektual, akan tetapi juga bagaimana tingkah laku,
sikap-sikapnya, merasakan realitas sosial di sekitarnya.
Pembumian sosiologi berbasis karakter dalam konteks
ke-Indonesia-an tentunya mengakar kepada tiga prinsip dasar,
yaitu: Pertama, prinsip etik-spiritual. Kedua, prinsip
kebangsaan, yaitu: penegakan terhadap empat pilar
kebangsaan, yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI dan
Kebhinekaan. Pilar kebangsaan ini menjadi sangat
penting, sebab bagaimanapun juga bangsa ini tentu harus tetap
eksis di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Kemudian yang
ketiga, UUD 1945. UUD 1945 merupakan landasan

115
operasional berbangsa yang bisa menjamin terhadap
ketatanegaraan, kebangsaan, politik dan tata pemerintahan
yang cocok bagi bangsa Indonesia. UUD yang khas
keindonesiaan ini juga harus menjadi dasar bagi
penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan karakter, di samping
muatan kurikulum dan materi ajar yang komprehensif, juga
terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan. Yakni,
pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan atau
pembelajaran secara terintegrasi. Setidaknya, ada tiga hal
penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar
pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke
dalam institusi pendidikan. Pertama, membangun keteladanan
elite bangsa. Sudah lama, negeri ini telah kehilangan sosok
negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam
perilaku hidup sehari-hari.
Kedua, memberdayakan guru. Sesungguhnya bukan
hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan
guru, melainkan juga pemberdayaan dari ranah kompetensi
yang selama ini masih menyisakan tanda tanya. Empat
kompetensi, profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial
yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum
sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan
kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan

116
dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih
lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan
peran dan fungsinya secara optimal.
Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi
terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia
pendidikan. Dukungan keluarga dalam hal ini merupakan
unsur yang terpenting untuk mentransmisikan nilai dan
karakter. Suasana keluarga dengan pendidik sebagai orang tua
dan anak didik sebagai anak harus ditumbuhkembangkan.
Dengan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely),
kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana
kekeluargaan (family atmosphere). Dengan kata lain, moral
pendidik dalam konteks ini harus ditransformasikan seperti
layaknya orang tua sebenarnya, yang mengajarkan tauladan
kepada anak-anaknya, bukanlah pegawai pemerintah atau
yayasan, tetapi orang tua yang mengasuh anaknya. Jika ini
diimplementasikan, maka harapan pembumian sosiologi
sebagai basis pengubah perilaku sosial masayarat dapat
terwujud.

D. Penutup
Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa esensi
muatan karakter dalam tiga materi ajar sosiologi kelas XI,
terbitan Esis, Erlangga, Yudhistira belum optimal dan secara

117
praksis ditampilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
cakupan materi ajar dalam buku masih memiliki
kecenderungan mengedepankan aspek kognitif, ketimbang
aspek afektif dan psikomotorik. Komponen nilai karakter yang
ditampilkan lewat teks masih minim dan parsial. Di samping
itu, dari segi evaluasi dalam beberapa aspek masih cenderung
mengedepankan lebih banyak porsi kognitif.
Selain persoalan teks, ke depan terselenggaranya variasi
modus belajar para peserta didik perlu ditunjang oleh variasi
modus penyampaian pelajaran oleh para guru. Kebiasaan
penyampaian pelajaran secara eksklusif dan pendekatan
ekspositorik hendaknya dikembangkan kepada pendekatan
yang lebih beragam seperti diskoveri dan inkuiri. Kegiatan
penyampaian informasi, pemantapan konsep, pengungkapan
pengalaman para siswa melalui monolog oleh guru perlu
diganti dengan modus penyampaian yang ditandai oleh
pelibatan aktif para siswa baik secara intelektual (bermakna)
maupun secara emosional (dihayati kemanfaatannya) sehingga
lebih responsif terhadap upaya mewujudkan tujuan utuh
pendidikan. Dengan bekal varisai modus pembelajaran
tersebut, maka skenario pembelajaran yang di dalamnya terkait
pembelajaran karakter dapat dilaksanakan lebih bermakna.
Berdasarkan pada temuan di atas maka perlu disampaikan
beberapa saran atau rekomendasi, yaitu:

118
a. Sosiologi berbasis karakter, harus dibuat sebagai
kebutuhan yang mendesak. Aspek nilai-nilai karakter
universal dan ke-Indonesia-an sebagai indikator utama
harus dijadikan basis contoh dalam kajian sosiologis.
b. Materi ajar dalam pembelajaran karakter harus
mengelaborasikan seluruh aspek kompetensi dalam
pembelajaran. Sehingga diharapkan dapat menginternalisasi
dalam kehidupan sehari-hari setiap peserta didik.
c. Pembiasaan, contoh atau teladan, dan pendidikan atau
pembelajaran secara terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku Utama
Maryati, Kun. 2013. Sosiologi Kelas XI. Jakarta: Esis.

Muin, Idianto. 2013. Sosiologi Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Buku Referensi
AD. Kamsono. 2002. Sosiologi Pendidikan. Serang:
UNTIRTA Press.

Anwar, Qomari. 2010. Agama Nilai Utama dalam Membangun


Karakter Bangsa. Makalah ini disampaikan dalam
Sarasehan Nasional ―Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa‖ Jakarta, 12 Januari
2010.

119
Bell, Philip. 2001. ―Content Analysis of Visual Images.‖
Dalam Carey Jewit, dan Theo Van Leewen. 2001.
Handbook of Visual Analysis. London: Sage
Publications.

Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif.


Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.

Clara, Evy dan Ahmad Tarmiji. 2013. Analisis Teks Materi


Ajar Sosiologi SMA Kelas X: Upaya Pemetaan dan
Pengembangan Model Bahan Ajar Berbasis Karakter.
Penelitian RUBI FIS UNJ. Jakarta: FIS UNJ.

Clara, Evy dan Ahmad Tarmiji. 2013. Analisis Teks Materi


Ajar Sosiologi SMA Kelas XI: Upaya Pemetaan dan
Pengembangan Model Bahan Ajar Berbasis Karakter.
Penelitian RUBI FIS UNJ. Jakarta: FIS UNJ.

Dakir, 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum.


Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.

Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (Eds), 2000. Handbook of


Qualitative Research (Second Edition), Thousand
Oaks: Sage Publ. Inc.

Elkin, David H., dan Freddy Sweet. 2004. How to Do


Character Education. Artikel yang diterbitkan pada
bulan September/Oktober 2004.

Halliday, M.A.K. 2002. Linguistic Studies of Text and


Discourse. London: Continuum.

120
Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi
Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan


dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.

Jalal, Fasli, dkkl. 2004. Teacher in Indonesia. Jakarta:


Depdikbud.

Koesoema, A. Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi


Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Lawrence Newman, Lawrence. 2001. Qualitative Researchs


Throught Case Studies. London: Sage Publications.
Lickona, Thomas, Eric Schaps, dan Cathrine Lewis. 2007.
Eleven Principles of Effective Character Education.
Cortland University: Character Education Partnership.

Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks dan Metodologi Penelitian


Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.

Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis


Data Kualitatif: Buku Sumber Tantang
Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.

Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.


Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, S., 2008. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Penerbit PT


Bumi Aksara.

121
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan, Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan, 2006.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No.


20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2005.

Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Wurianto, Arif Budi. 2010. Pendidikan Karakter (Character


Building) dalam Menghadapi Kancah Global.
Diunduh dari www.wurisan.blogspot.com tanggal 6
Januari 2010.

Yulaelawati, Ella, 2004. Kurikulum dan Pembelajaran.


Bandung : Pakar Raya.

122
Penggunaan Facebook Sebagai Alternatif Media
Pembelajaran Sosiologi di Era Internet

Oleh:
Ahmad Siswanto*

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


memungkinkan setiap orang memperoleh informasi yang
cepat, melimpah dan mudah dari berbagai sumber dan tempat
di dunia. Selain perkembangan yang pesat, perubahan juga
terjadi dengan cepat. Hal ini mempunyai pengaruh hampir
keseluruhan aspek kehidupan sehari-hari manusia. Salah satu
aspek yang terpengaruh oleh kecenderungan teknologi pada
era globalisasi tersebut yakni dunia pendidikan. Model
pembelajaran konvensional yang banyak mewarnai
pembelajaran di Indonesia, dirasakan masih banyak
mempunyai kekurangan, baik dalam segi proses pembelajaran
maupun hasil belajarnya. 10 Student centered yang masih
sering digunakan dalam pembelajaran konvesional, belum
dapat melayani peserta didik sesuai dengan kebutuhan

* Ahmad Siswanto, M.Si, Pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri


Jakarta.
10
Sudirman Siahaan dan Martiningsih, 2009, Pemanfaatan Internet dalam
Kegiatan Pembelajaran di SMP Al Muslim Sidoarjo-Jawa Timur, dalam
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pembagian Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 607

123
masing-masing karena proses pembelajarannya dilakukan di
ruang kelas dalam jangka waktu tertentu.
Dalam proses belajar, komponen yang cukup penting
dalam meningkatkan hasil pembelajaran yakni dari sumber
pembelajaran yang digunakan baik oleh guru maupun peserta
didik. Dengan memanfaatkan sumber belajar secara optimal,
peserta didik akan dapat termotivasi untuk berpikir logis dan
sistemik sehingga memiliki pola pikir yang nyata dan semakin
mudah memahami hubungan materi pelajaran dengan
lingkungan alam sekitar serta kegunaan belajar dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu sumber belajar yang dapat
digunakan adalah internet. Selain menyenangkan dan menarik,
kegiatan pembelajaran dapat menambah ilmu pengetahuan,
pembelajaran menjadi lebih mudah dan praktis.
Dengan menggunakan kemajuan teknologi yang kini
sedang berkembang pesat, dapat menimbulkan motivasi
tersendiri bagi peserta didik. Internet dapat dengan mudah
memberikan jawaban apa yang mereka permasalahkan.
Internet juga telah mempersempit luasnya dunia dalam ruang
kelas mereka. Peserta didik dapat dengan mudah mendapatkan
informasi-informasi penting sekitar dunia. Oleh karena itu
guru-guru di ajak memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi dalam menunjang pembelajaran
yang keratif, inovatif dan mudah dimengerti siswa. Ajakan

124
tersebut digagas oleh Konsorsium Gerakan Guru Melek
Internet (KGGMI). Konsorsium ini beupaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dengan
menjadikan guru di Indonesia mampu menggunakan computer
dan teknologi informasi sebagai alat bantu dalam proses
pembelajaran, baik di kelas maupun luar kelas.
Penggunaan Internet secara positif dalam dunia
pendidikan berfungsi meningkatkan intensitas berkomunikasi
dan berbagi informasi sekolah-sekolah yang belum
menunjukkan kinerja yang baik. Selain itu internet juga
berfungsi sebagai sumber-sumber belajar/kurikulum digital
dan pendidikan jarak jauh dapat membantu meningkatkan
kapasitas pendidik. Oleh karena itu, investasi internet dalam
pendidikan di Indonesia dapat mendorong untuk mengatasi
tantangan-tantangan pemerataan pendidikan, kapasitas
sekolah yang masih rendah, keterbatasan akses ke
materi-materi kurikulum dan sumber-sumber belajar, serta
tingkat pelaporan yang rendah bahkan untuk informasi
manajemen dan keuangan sekolah yang paling mendasar
sekalipun, serta meletakkan dasar untuk e-administrasi.
Terkait dengan hal tersebut, internet telah menjadi suatu
medium belajar dan mengajar yang perlu diperhitungkan
kegunaannya khususnya dalam pertumbuhan teknologi
informasi dan komunikasi yang kian pesat. Internet

125
mempunyai potensi yang besar dalam pembelajaran, baik
sebagai sumber belajar, media, maupun pendukung
11
pengelolaan proses belajar mengajar. Potensi ini terlihat dari
berbagai ragam informasi yang dapat dengan mudah dan cepat
diakses kapan pun dan di mana saja melalui penggunaan
internet. Potensi-potensi tersebut yang selanjutnya bisa
dijadikan senjata untuk memajukan kualitas pendidikan.

A. Facebook Sebagai Produk Internet


Bagian inti dari kehidupan manusia adalah interaksi
antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Interaksi
antar manusia merupakan rutinitas alamiah dalam fenomena
hidup. Manusia selalu melakukan hubungan dan pengaruh
timbal balik dengan manusia lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya. Proses
interaksi turut melibatkan proses komunikasi. Komunikasi
sendiri merupakan transmisi dari satu orang ke orang lain
dengan pengirim ataupun penerimanya yang spesifik.
Semenjak zaman manusia pertama diperkirakan ada hingga
masa kini, proses interaksi maupun komunikasi senantiasa
menunjukkan eksistensinya.
Dalam perkembangannya yang cukup pesat,

11
Ibid,. Sudirman, hlm. 611

126
komunikasi tersebut mengalami peningkatan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Pada awalnya, komunikasi masih
menggunakan system yang tradisional dengan mengandalkan
burung merpati, asap api, mercusuar, ataupun pos berkuda.
Ketika dunia telah mengenal mesin cetak, radio telegraf, maka
model komunikasi telah berubah semakin cepat. Terlebih lagi
setelah ada telepon, radio, televisi, teleks, faksimile (fax),
hingga kini internet, masyarakat dunia dapat saling mengakses
satu sama lain lebih cepat lagi.
Perkembangan komunikasi tersebut yang kemudian
menyebabkan kebutuhan masyarakat akan komunikasi
semakin kompleks. Hal ini turut serta dalam meningkatkan
kemajuan teknologi. Seperti halnya yang diungkap Castells
dalam trilogi yang berjudul “The information Age: Economy,
Society and Culture”. Dalam triloginya tersebut, Castells
menyebutkan bahwa teknologi yang bereaksi itu berdasarkan
informasi, dan informasi adalah bagian dari aktivitas
12
manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan perkembangan
teknologi yang sekarang ini terkait erat dengan aktivitas
manusia.
Kemajuan teknologi juga membuat ruang-ruang
tertutup semakin ilusif. Dalam penjelasannya mengenai

12
George Ritzer&Douglas J.Goodman, 2008, Teori Sosiologi Modern,
Jakarta: Kencana, hlm. 584.

127
perang ruang yang terjadi dalam globalisasi, Bauman
memandang bahwa mobilitas menjadi factor penstratifikasian
yang paling kuat dan paling diharapkan. 13 Adapun yang
menjadi pemenang dalam perang ruang adalah mereka yang
mobile. Mereka yang menjadi pemenang dikatakan hidup
dalam waktu. Hal ini dapat terlihat dalam penggunaan
teknologi yang semakin pesat. Melalui teknologi yang
semakin maju di era modern ini, masyarakat dapat
berkomunikasi tanpa dibatasi oleh batas jarak, ruang dan
waktu. Ruang bukan masalah lagi untuk masyarakat, karena
jarak yang jauh menjadi lebih dekat dengan menggunakan
teknologi. Masyarakat diberi kemudahan dalam mengakses
fenomena-fenomena yang teraktual di dalam belahan dunia
lain tanpa harus mengunjungi secara langsung tempat tersebut.
Dahulu sebelum mengenal jaringan internet, dalam
memperoleh pengetahuan tentang perkembangan
negara-negara belahan dunia lain, masyarakat membutuhkan
waktu yang lama. Namun, seiring dengan perkembangan
teknologi, sekarang ini hanya dengan melalui jaringan internet,
masyarakat bisa menjelajahi seluruh dunia dalam hitungan
detik.

13
Ibid., hlm. 594

128
Penggunaan internet sebagai media komunikasi dan
informasi semakin meningkat. Kehadiran internet tersebut
telah memberikan inovasi tersendiri dalam dunia komunikasi.
Masalah klasik dalam komunikasi tradisional yang dibatasi
oleh batas jarak, ruang dan waktu kini dapat diatasi. Dengan
adanya internet tersebut melahirkan sebuah dunia baru bagi
penggunanya yaitu dunia maya. Dunia maya berbeda dengan
dunia nyata yang secara indrawi dapat dirasakan kehadirannya.
Meskipun tidak dapat disaksikan layaknya dunia nyata,
kehadiran dunia maya dapat dirasakan sebagai sebuah realitas.
Dalam dunia maya kita mengenal adanya media
online. Media ini digunakan oleh individu-individu maya
untuk berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Adapun
salah satu media sosial online yang sekarang sedang
berkembang adalah Facebook. Facebook atau buku muka
adalah salah satu situs jaringan sosial dengan beberapa
fasilitas yang memungkinkan seseorang dapat menjalin
pertemanan dan berkomunikasi secara aktif dengan orang atau
badan organisasi, tanpa dibatasi dengan jarak, ruang, dan
waktu.
Facebook merupakan salah satu produk internet yang
memberikan fasilitas kepada kita untuk berinteraksi dengan
individu lainnya dalam dunia maya. Facebook atau situs
jejaring sosial ini lahir di Cambridge, Massachusetts 14

129
Februari 2004 oleh Mahasiswa Harvard bernama Mark
Zuckerberg. Menurut data di Alexa, facebook adalah mesin
jejaring sosial nomor satu. Dalam urutan keseluruhan situs di
dunia, facebook menempati rangking ke-5 setelah Yahoo,
Google, YouTube, dan Windows Live.
Dalam perjalanannya, facebook telah banyak dikenal
oleh semua kalangan baik kelas atas, menengah maupun
bawah. Dari segi usia pengguna, facebook juga telah banyak
dikenal dari mereka yang masih anak-anak, remaja hinga
orang tua. Adapun alasan mengapa facebook banyak digemari
oleh masyarakat adalah fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh
situs ini. Fasilitas-fasilitas tersebut salah satunya adalah situs
pertemanan yang memungkinkan facebooker bisa menemukan
teman baru, teman lama, bergabung dengan kelompok sosial
atau komunitas tertentu. Situs ini memberikan kemudahan
kepada facebooker dalam menemukan tali pertemanan.
Adapun yang paling utama dari penggunaan facebook adalah
ketika kita dimudahkan untuk berkomunikasi dan berinteraksi.
Masih banyak lagi yang fasilitas yang diberikan oleh facebook
yang kemudian membuat penggunanya merasa nyaman dalam
menggunakannya.
Setiap teknologi baru tentunya mempunyai dampak
positif dan negatif. Begitu pula dengan kehadiran facebook di
tengah-tengah masyarakat. Facebook juga mempunyai

130
dampak positif dan negatif baik bagi penggunanya sendiri
maupun dalam lingkungan sosial. Adapun dampak negative
yang ditimbulkan dari perkembangan pengguna facebook
adalah semakin meningkatnya kasus-kasus kejahatan melalui
media facebook. Kasus-kasus kejahatan tersebut secara
mayoritas menimpa remaja-remaja terlebih lagi remaja putri.
Maraknya, pelecehan seksual, praktek prostitusi, tindakan
asusila, pertengkaran, penghinaan, pencemaran nama baik,
dan cybercrime lainnya yang turut melibatkan remaja banyak
ditemui melalui facebook. Mengakses jejaring sosial facebook
juga memberikan berbagai efek negatif seperti menghabiskan
waktu. Tidak terasa waktu yang digunakan untuk melihat foto
orang lain, saling bertukar komentar, mencari teman lama dan
baru, berbincang lewat chatting room dan bermain games
menjadi berkali-kali lipat lamanya dibanding ketika
berkomunikasi di dunia nyata.
Namun, ibarat sebuah koin yang memiliki dua wajah,
facebook juga mempunyai sisi positif. Facebook yang cukup
tekenal dengan fungsinya sebagai hiburan juga mempunyai
makna dalam pembelajaran. Seperti yang diketahui, sejarah
munculnya facebook sebelum berkembang di Indonesia
sebenarnya jejaring sosial ini mulai berkembang di Amerika,
digunakan bagi sebagian mahasiswa Amerika, yang tujuan
utamanya ialah mencari informasi akademik dan ingin

131
menjalin pertemanan dengan orang lain serta menjalin
komunikasi dengan mereka. Penggunannya pun sebenarnya
terbatas hanya bagi mereka yang sudah terdaftar sebagai
mahasiswa di salah satu universitas terkemuka di Amerika,
sehingga mereka diberi ID card atau kartu khusus untuk bisa
meregistrasi diri di situs jejaring sosial. Tidak hanya itu saja,
keanggotaanya pun dikhususkan bagi mereka yang sudah
berumur diatas 17 tahun atau sudah menginjak dewasa.
Namun, seiring perkembangannya facebook kini
dengan mudah dikonsumsi oleh semua orang. Tidak hanya
sebagai sarana hiburan saja, kini facebook juga telah
merambah dunia pendidikan. Facebook yang dianggap negatif
dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. Hal ini dapat terlihat
dari mulai menjamurnya grup-grup di facebook yang
bernafaskan ilmu pengetahuan. Grup-grup tersebut banyak
diikuti oleh kalangan siswa. Grup-grup yang biasanya diikuti
adalah grup dengan bertemakan materi pelajaran. Proses
pembelajaran yang kebanyakan terjadi di grup-grup tersebut
adalah melalui metode diskusi dan chatting. Tidak hanya itu
saja, pemberian materi pelajaran juga dapat ditemukan
facebook.
Seperti halnya yang dilansir oleh sekelompok peneliti
asal University of Science and Technology of China dan City
University of Hong Kong menyebutkan, temuan mereka

132
berkontradiksi dengan pemahaman selama ini bahwa situs
jejaring sosial merupakan pengganggu yang mengalihkan
konsentrasi belajar. Dari hasil penelitian ini disimpulkan
bahwa situs jejaring sosial seperti facebook bisa membantu
pelajar dalam berinteraksi secara sosial dan akademik, yang
akhirnya meningkatkan hasil belajar. Hasil temuan yang
dipublikasikan di International Journal of Networking and
Visual Organizations, justru mengungkapkan bahwa jejaring
sosial online secara langsung mempengaruhi social learning
dan bisa mempengaruhi secara positif pembelajaran
akademik.
Tidak hanya itu saja, facebook yang kental sekali
dengan internet memungkinkan siswa lebih bisa membuka
diri dibandingkan ketika ia sedang dalam proses komunikasi
face to face. Seseorang bisa menghabiskan waktunya chatting
dengan orang lain hanya untuk menceritakan masalahnya,
sedangkan dalam kehidupan sehari-hari adalah orang yang
tertutup. Dengan melalui facebook, kepercayaan diri yang
kurang dalam kelas dapat diminimalisir. Siswa dapat
mengungkapkan pendapatnya tanpa harus menatap guru
maupun berkomunikasi secara langsung.
Internet bukan lagi hal yang awam di sekolah. Hal ini
terlihat dari mudahnya mengakses internet melalui wifi di
sekolah. Pemberian fasilitas internet ini ditujukan untuk

133
memperlancar kegiatan belajar mengajar siswa. Terkait
dengan pemanfaatan internet yang diberikan, siswa
memanfaatkannya untuk membuka jejaring sosial yang salah
satunya adalah facebook. Siswa secara mayoritas mempunyai
account facebook. Tidak sedikit di antara mereka yang
menggunakan facebook sebagai sarana untuk berkomunikasi
dan berbagi tentang materi pelajaran.

B. Pemanfaatan Jejaring Sosial Facebook sebagai Media


Pembelajaran Sosiologi
Media pembelajaran merupakan sebuah alat yang
digunakan untuk menyampaikan pesan pembelajaran.
Pengertian lain mengenai media pembelajaran adalah bahan,
alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi
edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat
guna dan berdaya guna. Dalam hal ini pesan pembelajaran
yang dimaksud adalah meteri dari pembelajaran. Adapun
tujuan dari media pembelajaran ini sudah pasti yakni agar
proses interaksi dalam pembelajaran antara peserta didik dan
pendidik dapat berjalan searah dan dapat saling mengerti
mengenai materi pembelajaran yang diberikan. Dengan
menggunakan media pembelajaran diharapkan peserta didik
bisa mengerti secara jelas tentang materidan benar-benar

134
memahami materi yang disampaikan oleh gurunya.
Terkait dengan keberhasilan dalam penerimaan materi
oleh peserta didik, guru mempunyai pesan yang sangat
penting dalam hal ini. Selain harus bisa menguasai meteri
yang disampaikan, guru juga harus bisa menguasai media
pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa agar tetap
mengikuti materi yang disampaikan. Dalam hal ini media
pembelajaran sangat berperan besar dalam proses
pembelajaran yang terjadi.Pemilihan media pembelajaran
yang efektif dapat membuat siswa lebih aktif dalam
pembelajaran. Rasa ingin tahu yang tinggi terhadap media
pembelajaran memberikan motivasi sendiri dalam proses
pembelajaran. Kemungkinan besar hal ini bisa mempermudah
siswa dalam memahami materi yang diberikan.
Fungsi media khususnya media visual memiliki
empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif,
dan fungsi kompensatoris. Adapun yang dimaksud dengan
fungsi atensi adalah media visual dapat menarik dan
mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi
pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari
tingkat ―kenikmatan‖ siswa ketika belajar (membaca) teks
bergambar. Dalam hal ini gambar atau simbol visual dapat
menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan
temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif

135
media visual melalui gambar atau lambang visual dapat
menpercepat pencapaian tujuan pembelajaran untuk
memahami dan mengingat pesan/informasi yang terkandung
dalam gambar atau lambang visual tersebut. Fungsi
kompensatoris media pembelajaran adalah memberikan
konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam
mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi dalam
teks. Dengan kata lain bahwa media pembelajaran ini
berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan
lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang
disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal).
Berdasarkan fungsi di atas dapat di lihat jika media
pembelajaran lebih condong ke arah media visual. Dengan
menggunakan media visual yang menarik akan meningkatkan
daya tarik siswa terhadap materi pembelajaran. Dengan
menggunakan media pembelajaran yang baiak akan membuat
siswa lebih cepat dalam memahami materi pembelajaran.
Tentunya hal ini akan mempermudah guru dalam
menyampaikan materi pembelajaran. Dengan demikian tujuan
dari pembelajaran dapat tercapai.
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi,
guru mata pelajaran Sosiologi dimudahkan dalam menentukan
media pembelajaran yang bervariatif untuk siswanya. Guru
dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk dijadikan

136
sebagai media pembelajaran mata pelajaran Sosiologi. Salah
satu perwujudan inovasi teknologi yang dapat kita manfaatkan
untuk media pembelajaran adalah munculnya internet di
dalam dunia pendidikan. ‗Era internet telah mengubah
banyak hal. Arus informasi yang begitu deras disertai
pertukaran pesan yang begitu massif menjadikan dunia seolah
tanpa batas. Internet telah menjadikan banyak orang tak
ubahnya hidup di kampung global (global village). Sebagai
teknologi informasi yang mampu menjembatani beragam
urusan, internet juga makin melekat dalam kehidupan
sehari-hari. Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa makin
bergantung pada internet.‘14
Internet sendiri dapat dijadikan sebagai sumber belajar
mata pelajaran Sosiologi. Internet memberikan kemudahan
bagi netter untuk mencari dan mendapatkan informasi dengan
cepat. Tidak hanya melintasi dalam satu wilayah, namun dunia
menjadi dekat ketika kita mengakses internet. Dengan beragam
aplikasi yang dimiliki oleh internet akan memudahkan siswa
untuk mencari atau mengupdate data terkini maupun di masa
lampau. Salah satu produk internet yang saat ini masih banyak
diakses oleh siswa adalah jejaring sosial facebook. Penggunaan

14
Membangun Indonesia Cerdas melalui Teknologi Informasi dalam situs
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/353267/38/ Yang
diakses pada tanggal 6 April 2016

137
facebook ternyata memberi banyak dampak positif dan negatif,
terutama jika digunakan secara berlebihan. Dalam media
pemberitaan baik yang berupa media cetak maupun elektronik,
fenomena mengenai penyalahgunaan jejaring sosial sudah
sering dijumpai. Khususnya untuk facebook yang dapat dengan
mudah diakses dari berbagai kalangan, membuat tindak
kejahatan dapat dengan mudah dilakukan. Misalnya saja dalam
hal protisusi dikalangan remaja, penculikan anak dan masih
banyak lagi. Keadaan ini sangat ironis dengan tujuan utama
Social Networking dibuat, yaitu untuk memperluas hubungan
sosial. Tidak hanya kehidupan umum saja yang terkena
dampak dari Social Networking, namun pengaruhnya mulai
dirasakan dalam dunia pendidikan. Dampak terburuk dalam
dunia pendidikan yang dihasilkan dari Social Networking
adalah mulai menurunnya motivasi dan prestasi belajar siswa.
Motivasi adalah salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh
siswa demi mencapai prestasi belajar yang diinginkan. Jika
motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran telah
menurun, maka prestasi belajar yang akan mereka capai juga
akan menurun.
Siswa dalam usia remaja, dengan hadirnya media
facebook menjadi lebih ekspresif dengan bebas membuat status,
upload foto dan berbagi catatan. Hadirnya facebook membuat
remaja selalu terpacu untuk melakukan hal-hal yang baru,

138
dengan melihat profil orang-orang yang dikenalnya, melihat
foto-foto, dan mengomentari status dari temannya. Siswa juga
tidak segan untuk wall-to-wall dengan gurunya, padahal di
lapangan mereka enggan untuk berbicara langsung dengan
gurunya tersebut. Guru yang cerdas dapat memanfaatkan hal
ini dengan berinteraksi lebih personal dengan siswanya,
sehingga guru dapat menjadi pengarah sekaligus pengawas
yang baik bagi para siswa di sekolah maupun di luar sekolah.
Guru dapat menyampaikan materi mata pelajaran
Sosiologi dengan media yang sering digunakan oleh siswa.
Fitur-fitur Facebook banyak yang dapat dioptimalkan oleh para
pendidik, seperti fitur foto tagging. Guru bisa mengumpulkan
siswanya melalui facebook, bisa melakukan penjelasan materi
mata pelajaran Sosiologi dengan sebuah foto. Siswa-siswa di
tag oleh gurunya dan kemudian diminta untuk berkomentar
terhadap foto tersebut. Dengan begitu guru bisa mengambil
peranan sebagai fasilitator yang baik.
Selain beberapa manfaat yang sudah disebutkan di atas,
masih terdapat manfaat facebook sebagai alat komunikasi.
Fungsi facebook sebagai alat komunikasi yakni memberikan
kesempatan facebooker untuk saling berbagi dan bertukar
pikiran. Bisa digunakan sebagai media pembelajaran. Seperti
yang diketahui, facebook memiliki banyak sekali aplikasi yang
bisa membuat para siswa tertarik untuk mengaksesnya.

139
Sebagai media pembelajaran facebook dapat memberikan
informasi kepada penggunanya.
Sebagai media komunikasi, facebook juga
memberikan manfaat dalam hubungan interaksi antar
pengguna facebooker. Terkait dengan media pembelajaran,
facebook dapat membuat seseorang bisa lebih terbuka. Seperti
dalam kenyataannya, tidak semua siswa mempunyai
kepribadian yang terbuka. Namun, ada juga siswa yang
mempunyai sifat introvert. Adapun fungsi facebook dalam hal
ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar
bisa berinteraksi dengan baik, meski melalui dunia maya.
Keterbukaan bisa terjalin antara siswa dan guru melalui
pendekatan melalui facebook. Seperti yang dijelaskan dalam
sebuah jurnal mengenai dampak penggunaan facebook dalam
pembelajaran di bawah ini ―…learners stand a better chance of
interacting with (1) peers, (2) instructors and (3) content.”15
(Peserta didik memiliki kesempatan yang lebih baik
berinteraksi dengan (1) teman sebaya, (2) instruktur dan (3)
konten).
Berdasarkan uraian di atas, facebook merupakan salah

15
Richard Shambare and Althea Mvula, ―South African students’
perceptions of Facebook: Some implications for instructors” , Management
and Entrepreneurship Department, Faculty of Management Sciences,
Tshwane University of Technology, Tshwane, South Africa. Di akses
melalui http://www.academicjournal.org pada tanggal 14 April 2016

140
satu produk dari kemajuan teknologi yang menggunakan
jaringan internet. Terlepas dari adanya sisi negatif, jika
facebook digunakan secara bijak dan positif, maka facebook
akan memberikan manfaat, khususnya manfaat sebagai media
pembelajaran Sosiologi. Namun jika facebook hanya
digunakan sebagai hiburan semata, maka akan menjauhkan
makna facebook sebagai media pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Sudirman Siahaan dan Martiningsih. 2009. Pemanfaatan
Internet dalam Kegiatan Pembelajaran di SMP Al
Muslim Sidoarjo-Jawa Timur, dalam Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pembagian Departemen Pendidikan Nasional.

George Ritzer&Douglas J.Goodman. 2008. Teori


Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Membangun Indonesia Cerdas melalui Teknologi Informasi


dalam situs
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/vi
ew/353267/38/ Yang diakses pada tanggal 6 April 2016

Richard Shambare and Althea Mvula, ―South African students’


perceptions of Facebook: Some implications for
instructors”, Di akses melalui
http://www.academicjournal.org pada tanggal 14 April
2016.

141
Pembelajaran Sosiologi di Sekolah: Permasalahan dan
Alternatif Sumber Pembelajaran

Oleh:
Syaifudin*16

Sosiologi merupakan salah satu cabang mata pelajaran


IPS yang ada di SLTA (khususnya di SMA) disamping mata
pelajaran IPS lainnya seperti geografi, ekonomi, dan sejarah.
Sampai saat ini guru mata pelajaran Sosiologi lebih banyak
mempergunakan metode ceramah dalam mengajar di kelas
dan hanya mengandalkan buku ajar atau buku pedoman
Sosiologi bagi peserta didik. Hal ini tentunya tidak sesuai
dengan hakikat dari ilmu Sosiologi itu sendiri, yakni ilmu
pengetahuan yang berkenaan dengan dinamika kehidupan
masyarakat.
Persepsi-persepsi kronis telah membentuk pikiran
sejumlah peserta didik di SMA. Menurut mereka, ilmu-ilmu
sosial itu membosankan karena sajiannya bertele-tele dan
untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang
luar biasa. Morfose yang kurang mengesankan ini terajut dari
impresi Sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam
penyajiannya tidak relevan dengan konteks realitas sosial para

*
Syaifudin, M.Kesos, Pengajar di Jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta

142
peserta didik. Kontekstualisme ini diperhebat dengan
kejenuhan mental dalam mengejar tuntutan pemenuhan
kurikulum yakni menghafal sejumlah bab materi yang
tersajikan dalam aneka buku wajib mata pelajaran atau buku
ajar yang tersusun dalam Silabus-Silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran. Seolah-olah peserta didik telah
teralienasi dari diri mereka dan telah menjadi robot kurikulum,
sehingga mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain
dalam pemikiran mereka dan melakukan kontemplasi yang
sesuai dengan hakikat Sosiologi dan realitas kehidupan
peserta didik.
Ketika guru menyajikan sejumlah teori sosial, peserta
didik semakin bingung. Ditambah sajian-sajiannya yang tidak
tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan
sekitarnya. Mereka harus berpikir dua kali untuk
mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya, yang
kemudian mencerna teori yang diberikan guru. Ketika persepsi
negatif merasuki pikiran peserta didik, minat dan motivasi
belajarnya regresif. Interaksi belajar dalam kelas cenderung
monoton. Guru asyik berceramah, sedangkan peserta didik
mengangguk-angguk pertanda mereka sudah paham (walaupun
belum tentu paham) dengan ilmu yang diberikan oleh guru di
kelas. Ketika diadakan evaluasi ringan, banyak yang
menunjukkan ketidakmengertiannya. Lalu mereduksi bahwa

143
mata pelajaran Sosiologi itu sulit dan menjenuhkan. Hal lain
yang memperhebat persepsi negatif peserta didik adalah
kurangnya pengetahuan guru akan situasi-situasi sosial aktual
yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Guru kurang
mampu menghubungkan relevansi pelajaran dengan
kenyataan praktis dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain
dalam mengeksplorasi sumber-sumber pembelajaran.
Ada tiga masalah pokok yang melatarbelakangi kurang
maksimalnya kegiatan pembelajaran mata pelajaran Sosiologi
di kelas, yaitu: Pertama, masalah metode pembelajaran yang
tidak menumbuhkan motivasi peserta didik. Seharusnya,
proses pembelajaran itu dapat memacu keingintahuan peserta
didik untuk menganalisis masalah-masalah seputar lingkungan
sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap
masalah-masalah tersebut. Di sini, peserta didik bukan lagi
dianggap sebagai kertas kosong atau pribadi yang menerima
secara pasif ilmu yang diberikan oleh guru. Justru mereka adalah
pribadi yang telah berinteraksi dengan lingkungan dan berhak
untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui analisa
tentang suatu permasalahan sosial yang faktual secara kritis.
Kedua, eksistensi guru bukan hanya sebagai fasilitator
tetapi motivator kreatif yang dapat mengeksplorasi dan
mengkonstruksi pengetahuan para peserta didik. Peserta didik
dapat membentuk konsep melalui proses inkuiri, sedangkan

144
guru menunjukkan kebenaran konsep pengetahuan peserta
didik itu dengan teori dan kebenaran yang berlaku umum. Jika
yang diperoleh peserta didik adalah ketidaksesuaian, maka
guru dapat menunjukkan kesalahan konsep itu dan
memberitahu yang benar atau membantu mencari alasan,
bukti dan referensi ilmiah untuk mengkonstruksi pengetahuan
baru yang sesuai dengan realitas sosial. Hal ini tentu secara
langsung memacu guru untuk dapat menguasai ketrampilan
pedagogis dan wawasan yang luas.
Ketiga, penyampaian tujuan pembelajaran dengan media
yang kurang interaktif, atraktif dan representatif. Sebab yang
diharapkan dari peserta didik adalah ketertarikannya untuk
dapat menyenangi mata pelajaran Sosiologi dan merasa
membutuhkan ilmu itu serta dapat mengaplikasikan ilmu yang
didapatnya dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik dapat
menterjemahkan isi tujuan dari materi mata pelajaran
Sosiologi itu kedalam pikiran kognitifnya, karena dari itulah
sumber kompetensi baginya dan haluan evaluasi bagi guru.
Peserta didik juga dapat memiliki keahlian afektif dan
psikomotorik yang bisa diukur dengan tata kelakuannya
dalam bersikap dan menjalani hidup dalam bermasyarakat.
Berdasarkan tiga masalah di atas, maka untuk itu pada
pembelajaran Sosiologi ranah kognitif peserta didik
didapatkan dari pembelajaran di kelas dan sumber

145
pengetahuan lainnya. Dari kegiatan pembelajaran tersebut,
peserta didik diharapkan memiliki pengetahuan tentang materi
Sosiologi dan diharapkan mampu berpikir atau serta
menunjukkan perilaku yang merupakan hasil kerja otak.
Sedangkan pada ranah psikomotorik dan afektif, pembelajaran
Sosiologi yang telah dipelajari peserta didik mampu membuat
dirinya menjadi berperan aktif dalam kegiatan di lingkungan
tertentu.

A. Guru dan Proses Pembelajaran


Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40,
yang menyatakan bahwa pendidik atau guru berkewajiban
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis,dan dialogis. Semua orang
yakin bahwa guru memiliki peran yang sangat strategis
terhadap keberhasilan pembelajaran, khususnya di sekolah.
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta
didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.
Sesuai dengan tujuan pendidikan, menurut Dewey
(dalam O‘neil, 2008: 383) pendidikan adalah proses sosial yang
membantu anak dalam menggunakan kemampuan-
kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial. Bagi Ki
Hajar Dewantara (dalam Rahardjo, 2009: 69), pendidikan harus

146
bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang
lain dan bersandar pada kekuatan sendiri. Sementara menurut
Soekarno (1964: 344), pendidikan nerupakan arena untuk
mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas atau
renaissance paedagogie. Apabila tujuan pendidikan untuk
menunjang pertumbuhan peserta didik, maka proses
pendidikan ialah suatu proses untuk memperoleh kemampuan
dan kebiasaan berpikir sebagai suatu kegiatan yang ilmiah
dalam memecahkan berbagai masalah di dalam kehidupan.
Untuk itu minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang
dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara
optimal tanpa bantuan guru. Sementara dalam pandangan
Mills bahwa dalam pembelajaran sosiologi setidaknya
individu terbangun imajinasi sosiologinya. Imajinasi sosiologi
menurut Mills yaitu,
‖The sociological imagination enables its possessor to
understand the larger historical scene in terms of its meaning
for the inner life and external career of a variety of individuals.
It enables him to take into account how individuals, in the
welter of the daily experience, often become falsely conscious of
their social positions. Within that welter, the framework of
modern society is sought, and within that framework the
psychologies of variety of men and women are formulated. By
such means the personal uneasiness of individuals is focused
upon explicit troubles and the indifference of publics is
transformed into involvement with public issues (Mills, 2000).

Kemampuan imajinasi sosiologi peserta didik tentu

147
berkorelasi dengan kemampuan guru di bidang pedagogis dan
ilmu pengetahuannya. Maka untuk itu guru dituntut untuk
memiliki kemampuan mengembangkan pendekatan dan
memilih metode, serta sumber pembelajaran yang efektif. Hal
ini penting terutama untuk menciptakan iklim pembelajaran
yang kondusif dan menyenangkan serta terkonstruksi
kemampuan imajinasi sosiologis peserta didik. Namun
kenyataannya mata pelajaran Sosiologi di sekolah lebih
berorientasi pada buku ajar yang tidak membuat peserta didik
untuk berpikir ilmiah dalam menganalisis permasalahan sosial
yang faktual. Sebab buku ajar yang dipelajari bisa saja tidak
sesuai dengan dinamika permasalahan sosial yang menjadi
objek kajian Sosiologi. Di sinilah guru diharapkan dapat
mencari sumber pembelajaran yang efektif, efisien dan
representatif sebagai bahan untuk pelaksanaan pembelajaran.
Sumber pembelajaran merupakan penunjang dalam
proses pembelajaran. Hal ini akan mempermudah guru dalam
pembelajaran dan membuat peserta didik menyenangi
pembelajaran, dalam hal ini khususnya pada mata pelajaran
Sosiologi yang pada umumnya hanya dengan menggunakan
metode ceramah dan berpatokan pada buku ajar. Maka untuk
itu agar proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan
efisien, maka dirancang pola pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan, situasi dan kondisi.

148
B. Surat Kabar Cetak: Alternatif Sumber Pembelajaran
Kita ketahui objek ilmu Sosiologi adalah masyarakat
yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses
yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat
(Soekanto, 2005: 23). Maka untuk itu dalam pembelajaran
Sosiologi diperlukan pendayagunaan sumber belajar yang
efektif, efisien dan representatif yang sesuai dengan objek
kajian Sosiologi. Apalagi dengan kompleksitas dinamika
sosial yang berkembang di masyarakat menuntut peserta didik
untuk bekerja keras agar dapat mengikuti dan memahami
permasalahan yang terjadi. Demikian halnya dalam
pembelajaran Sosiologi di sekolah, untuk memperoleh hasil
optimal, peserta didik dituntut tidak hanya mengandalkan
buku teks pembelajaran. Akan tetapi peserta didik harus
mampu dan mau menelusuri aneka sumber pembelajaran yang
lain. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih elaboratif
dalam mengetahui, memahami, dan menganalisis materi
pembelajaran mata pelajaran Sosiologi di kelas. Di sinilah
guru dan peserta didik dituntut tidak hanya mendayagunakan
sumber-sumber belajar yang ada di sekolah, apalagi hanya
membaca buku ajar. Tetapi dituntut juga untuk mempelajari
berbagai sumber belajar lain, seperti majalah, surat kabar
dan internet.

149
Majalah, surat kabar dan internet merupakan salah satu
produk media massa yang dapat dijadikan alternatif sumber
pembelajaran. Informasi faktual tentang kehidupan sosial atau
masalah-masalah kontemporer yang terjadi di masyarakat
dapat ditemukan dalam liputan media massa, karena media
massa diyakini dapat menggambarkan realitas sosial dalam
berbagai aspek kehidupan (Wronski, 1971: 430-434). Hal ini
penting agar apa yang dipelajari sesuai dengan kondisi dan
perkembangan masyarakat, sehingga tidak terjadi kesenjangan
dalam informasi dan pola pikir guru dan peserta didik atas
perkembangan kehidupan sosial atau masalah-masalah
kontemporer yang terjadi di masyarakat.
Pada pembelajaran mata pelajaran Sosiologi di sekolah,
surat kabar dapat menjadi salah satu alternatif sumber
pembelajaran efektif, efisien dan representatif dari informasi
permasalahan sosial yang ada – dalam hal ini surat kabar
cetak, dan bukan surat kabar online. Topik dalam surat kabar
biasanya berupa permasalahan sosial, ekonomi, politik,
olahraga, tajuk rencana, dan cuaca, baik berita di daerah,
nasional, maupun dunia. Surat kabar juga biasanya berisi
kartun karikatur dan hiburan lainnya. Ada juga surat kabar
yang dikembangkan untuk bidang-bidang tertentu, misalnya
berita untuk industri tertentu, penggemar olahraga tertentu,
penggemar seni atau kegiatan tertentu. Beberapa materi yang

150
ada di surat kabar cetak ini tentu ada yang sesuai dengan
objek kajian mata pelajaran Sosiologi, seperti, kemiskinan,
kejahatan, interaksi sosial, serta konflik yang terjadi di
masyarakat. Semua informasi itu tersajikan di dalam surat
kabar cetak dan belum tentu termuat dalam sumber belajar
berupa buku ajar. Selain itu surat kabar cetak dapat dengan
mudah diakses oleh peserta didik, tanpa peserta didik harus
memiliki perangkat teknologi seperti laptop, tablet, modem,
dan koneksi internet.
Membiasakan membaca berita di surat kabar cetak
merupakan kebiasaan baik, karena dapat mengetahui
permasalahan sosial dan peristiwa-peristiwa baru yang terjadi
di daerah, di tingkat nasional dan bahkan di dunia. Dengan
demikian guru dan peserta didik dapat mengetahui
perkembangan yang terjadi, khususnya permasalahan sosial.
Dalam proses pembelajaran menggunakan surat kabar cetak,
tugas guru yang paling utama adalah membimbing peserta
didik agar dapat mendayagunakan dan memilih sumber surat
kabar cetak yang sesuai dan memiliki materi yang berkualitas.
Adapun beberapa jenis-jenis surat kabar cetak yang dapat
digunakan sebagai alternatif sumber pembelajaran mata
pelajaran Sosiologi di sekolah, antara lain, Bisnis Indonesia,
Seputar Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Indo Pos, Media
Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Poskota, dan lain

151
sebagainya yang relevan.
Pemanfaatan surat kabar cetak dapat diterapkan dengan
menggunakan metode diskusi-inkuiri. Metode diskusi
merupakan salah satu alternatif metode yang dapat membuat
peserta didik untuk lebih cepat memahami sebuah materi
pelajaran. Sedangkan inkuiri merupakan kegiatan atau
penelaahan sesuatu dengan cara mencari kesimpulan,
keyakinan tertentu melalui proses berfikir dan penalaran
secara teratur, runtun dan bisa diterima akal. Dengan metode
diskusi-inkuiri diharapkan mampu membelajarkan kepada
peserta didik untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran
secara lebih mandiri. Metode ini juga selalu disebut dalam
penjelasan kurikulum versi mana pun yang berlaku pada dunia
pendidikan di Indonesia. Namun guru juga dapat
menggunakan metode pembelajaran lain yang relevan dalam
mendukung sumber pembelajaran surat kabar cetak ini, seperti
metode contextual teaching learning, sosiodrama, cooperative
learning, dan recitation method.
Melalui sumber pembelajaran surat kabar cetak,
diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan pengetahuan
bagi peserta didik yang tentu saja up to date sesuai dengan
situasi dan kondisi dinamika sosial yang terjadi di masyarakat.
Selain itu sumber pembelajaran tidak akan maksimal tanpa
ada peran guru dalam pelaksanaan di dalamnya. Maka untuk

152
itu sudah seharusnya guru hari ini adalah guru yang cerdas,
kreatif dan inovatif serta inspiratif, agar tujuan pembelajaran
tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Mills, C. Wright. 2000. The Sociological Imagination.
London: Oxford University Press.

O‘neil, William F.. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardjo, Suparto. 2009. Ki Hajar Dewantara; Biografi


Singkat 1889-1959. Yogyakarta: Garasi.

Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada.

Soekarno. 1964. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia


Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Wronski, S.P. 1971. "Teaching of Contemporary Affairs",


dalam Deighton, L.C. (Ed.). The Encyclopedia of
Education. Vol. 2. USA: MacMillan and Free Press.

153
BAB IV
PENELITIAN SOSIAL

Penelitian sosial adalah istilah yang digunakan terhadap penyelidikan-penyeldikan yang


dirancang untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan sosial, gejala sosial, atau
praktik-praktik sosial. Ada tiga pendekatan penelitian sosial, yaitu secara kuantitatif, kualitatif
dan mix method (kuantitatif-kualitatif). Penelitian sosial dalam kerangka Pendidikan Sosiologi
dapat menjadi habitus bagi peserta didik dalam melakukan kegiatan penelitian tentang
pendidikan dan pembelajaran Sosiologi. Penelitian sosial ini sangat penting sebagai bagian
pendalaman ontologis, epistemologis dan aksiologis dari Pendidikan Sosiologi.

154 154
Konstruksi Sosial Sekolah di Kalangan Pelajar Kota
Surakarta

Oleh:
Atik Catur Budiati*

A. Pendahuluan
Sudah beberapa kali kita mengadakan pergantian
undang-undang pendidikan. Sampai keluar sebuah statement
ganti menteri ganti kebijakan. Meskipun pergantian
undang-undang dalam suatu negara bukanlah hal yang aneh
dan tdak perlu menjadi soal, karena kadang-kadang pergantian
tersebut dirasa sebagai sesuatu yang diperlukan bagi
perbaikan sistem pendidikan Indonesia. Masalahnya adalah
kapan menggantinya dan untuk tujuan apa serta kapan keperluan
itu mendesak untuk dilakukan. Perubahan-perubahan situasi
sosial dan politik, perkembangan masyarakat dan dunia dan
perkembangan paham filsafat tentu saja dapat menjadi alasan
yang signifikan untuk mengganti undang-undang. Hal yang perlu
diperhatikan adalah perlunya dibedakan antara pergantian yang
bersifat desakan sosial politik dan pergantian karena alasan
perubahan filosofi pendidikan.
Untuk menjamin pendidikan yang konsistem dan

*
Atik Catur Budiati, M.A, Pengajar di Prodi Sosiologi Antropologi, UNS.

155
berkelanjutan, kiranya perlu sistem pendidikan yang mapan,
yang rancangannya dipercayakan pada pakar pendidikan yang
bebas dari motivasi politis. Akibatnya kritik sering
dikemukakan terhadap pendidikan yang disubordinasikan
pada kepentingan politik pemerintah atau negara. Tujuan akhir
dari sebuah sistem pendidikan adalah pembebasan dan
emansipasi masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan
penderitaan. Melalui pendidikan diharapkan mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang kritis, rasional,
bermoral, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan peka
terhadap lingkungan sosial sekitarnya.
Tetapi persoalannya, pendidikan di Indonesia belum
mampu sepenuhnya menghasilkan sumber daya manusia yang
bebas, kritis dan emansipatoris. Pendidikan di Indonesia
menyisakan banyak persoalan yang menghantui setiap masa
depan anak-anak Indonesia. Pertama, seringnya berganti
kurikulum yang berimbas pada pergantian buku sekolah. Tentu
saja ini sangat memberatkan bagi masyarakat di tengah krisis
yang berkepanjangan. Kedua, berkembangnya model-model
pembelajaran seperti home schooling memberikan gambaran
bahwa masyarakat tidak percaya lagi kepada pola pembelajaran
sekolah pemerintah baik negeri maupun swasta. Ketiga, sekolah
sebagai lahan bisnis. Maraknya sekolah yang memberlakukan
sistem pengelolaan sekolah ala perusahaan, meskipun para

156
pelakunya mengaku bermotifkan pendidikan sebagai salah
satu pelayanan sosial. Mungkin benar yang pernah di usulkan
oleh Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society bahwa
untuk menyelamatkan pendidikan maka perlu pembubaran
sekolah.
Pendidikan adalah sebuah proses penyempurnaan semua
individu sebagai peserta didik, baik potensi intelektual atau
kognitif, mental, rasa, karsa maupun kesadaran martabat
kemanusiaannya. Artinya, pendidikan selalu bertujuan untuk
membina kepribadian manusia menjadi lebih ‗manusiawi‘ dan
mengembangkan serta mengutuhkan potensi kemanusiaannya
yang masih terpendam dengan mengedepankan suasana yang
penuh cinta-kasih, kedamaian dan keadilan serta
mengesampingkan prilaku yang menindas serta diskriminatif.
(Freire, dalam Siti Murtiningsih, 2004:6-7).
Salah satu pencapaian tujuan pendidikan nasional ini
dilakukan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
diakui keberadaannya secara formal untuk menjamin
keberlangsungan masa depan bangsa. Meskipun begitu, di
dalam sekolah terdapat bermacam-macam siswa dengan latar
belakang hidup dan karakter pribadi, yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari cara
mereka berpakaian, mengemukakan pendapat, daya serap baik
pelajaran, aturan dan peringatan, tingkat kecerdasan,

157
kesungguhan belajar dan lainnya. Artinya, setiap siswa itu
begitu beragam karakteristiknya antara yang satu dengan yang
lainnya. Pasalnya, posisi dan peran siswa kurang begitu
diperhatikan keberadaannya. Dalam arti siswa cenderung
dijadikan sebuah produk yang tidak mempunyai kebebasan
untuk menentukan arah eksistensinya, hanya sebagai objek
belaka. (Eko Prasetyo, 2004:12).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kependudukan (PPK) LPPM UNS menyebutkan bahwa
alasan anak putus sekolah tidak hanya karena persoalan
ekonomi saja tetapi ada sebagian karena ketidaknyamanan
akan kondisi sekolah. Misalnya kurikulum yang memberatkan,
terjadinya kekerasan oleh oknum penghuni sekolah (guru
maupun teman sekolah), maupun malas bersekolah. Ada juga
yang beranggapan bahwa sekolah hanya menghabiskan waktu
karena tujuan dari bersekolah adalah mendapatkan pekerjaan
maka mereka memilih tidak bersekolah dan bekerja meskipun
hanya menjadi pengamen jalanan
Melihat kondisi tersebut maka pendidikan tidak hanya
menekankan pada peningkatan dan pengembangan ranah IQ
tapi juga EQ (termasuk juga SQ). Sebagian pihak melihat
pendidikan (hanya) sebagai proses sosialisasi dalam arti
menginisiasi manusia-manusia muda sedemikian sehingga
dapat menyesuaikan diri kepada lingkungan (tentu saja, yang

158
telah eksis dalam kurun waktu zamannya). Tetapi ini harus
dipahami dengan hati-hati karena bisa menjadi pelestari status
quo yang stagnan, sedangkan fungsi menjaga keberlangsungan
kehidupan masyarakat yang teratur terabaikan. (Basis, edisi
Juli – Agustus 2000).
Tujuan pendidikan adalah mengasah kecerdasan
intelektual, emosi, dan spiritual siswa agar tumbuh dan
berkembang secara seimbang. Untuk itu pendidikan harus di
arahkan kepada proses emansipasi para mitra-didik, agar anak
memiliki bekal untuk mengatasi dan memecahkan persoalan
hidup yang dihadapi masyarakat. Melalui berbagai kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan pemerintah diharapkan tidak
menghilangkan makna pendidikan yang sebenarnya bagi
rakyat.
Masyarakat yang berubah sangat cepat memberikan rasa
keragu-raguan tetapi juga memberikan kesempatan untuk
mengambil keputusan. Keadaan ragu-ragu bukan merupakan
sesuatu yang berbahaya tetapi berada dalam kemungkinan
untuk maju. Kemungkinan untuk maju hanya dapat terjadi
apabila kita mengambil keputusan yang tepat atas situasi yang
dihadapi. Seperti kata Ulrich Beck, bahwa kita berada pada
dunia yang terbuka dan penuh resiko (risk society). (Tilaar,
2004:xxii).
Indonesia sedang mengalami perubahan sosial budaya

159
secara terus-menerus, yang didorong oleh inovasi-inovasi di
bidang ilmu pengetahuan dan terbukanya informasi dari
berbagai sumber, sehingga terjadi akulturasi antara pola-pola
lama dengan pola-pola baru dalam masyarakat yang
menghasilkan suatu bentuk pola masyarakat yang berbeda
sebelumnya. Termasuk juga anak yang merupakan bagian dari
masyarakat yang sangat mudah menerima perubahan baik
positif maupun negatif.
Pendidikan sebagai institusi negara merupakan salah satu
lembaga sosial dasar yang mengatur kehidupan masyarakat.
Melalui berbagai kebijakan pendidikan yang dikeluarkan,
masyarakat memahami esensi dari pendidikan dan berbagai
dampak yang ditimbulkan. Namun, respon masyarakat
terhadap berbagai kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial tempat mereka tinggal. Dalam hal ini
termasuk anak yang menjadi objek pendidikan. Setiap warga
negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
didalamnya berisi berbagai nilai dan norma sosial yang secara
tidak langsung direproduksi terus menerus oleh para pelaku
pendidikan.
Dalam tradisi Plato, pendidikan oleh negara di rancang
oleh politisi. Tetapi pada saat itu, politisi adalah seorang
negarawan yang mempunyai pengetahuan filsafat dan
terbebas dari motivasi dunia (kekuasaan). Tetapi coba lihat di

160
Indonesia, politisi hanya menjadi sekedar pelaku politik dalam
kancah perebutan kekuasaan dalam suatu negara. Akibatnya,
kebijakan pendidikan pun hanya dipelintir oleh para penguasa
untuk kepentingan politisnya semata. Dan secara tak sadar,
masyarakat (dalam hal ini anak) terpengaruh oleh berbagai
kebijakan tersebut sehingga esensi pendidikan tidak pernah
tercapai.
Sudah beberapa kali kita mengadakan pergantian
undang-undang pendidikan. Sampai keluar sebuah statement
ganti menteri ganti kebijakan. Meskipun pergantian
undang-undang dalam suatu negara bukanlah hal yang aneh
dan tdak perlu menjadi soal, karena kadang-kadang dirasa
sesuatu perlu. Masalahnya adalah kapan menggantinya dan
untuk tujuan apa dan kapan keperluan itu mendesak.
Perubahan-perubahan situasi sosial dan politik, perkembangan
masyarakat dan dunia dan perkembangan paham filsafat tentu
saja dapat menjadi alasan yang signifikan untuk
menggantikan undang-undang. Hal yang perlu diperhatikan
adalah perlunya dibedakan antara pergantian yang bersifat
desakan sosial politik dan pergantian karena alasan perubahan
filosofi pendidikan.
Menurut Kartono (2002:4-9), konsep pendidikan
dijelaskan dalam empat konsep yang terimplementasi dalam
tujuan pendidikan nasional. Pertama, pendidikan adalah

161
proses yang menempatkan siswa sebagai pribadi yang utuh.
Tiga unsur utama yang harus dikembangkan adalah
competence, conscience, dan compassion yang memberikan
perhatian berimbang pada otak, hati dan tangan. Artinya
sangat penting untuk memberikan ruang-ruang bermain bagi
siswa sebagai wujud perhatian terhadap perkembangan
kepribadian yang utuh. Pengetahuan atau kompetensi memang
mengambil porsi yang paling besar dalam proses pendidikan,
meski demikian tidak boleh diabaikan pemberian kesempatan
untuk mengasah hati nuraninya.
Kedua, pendidikan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar demi hidup. Nilai rapor yang tinggi bukan
satu-satunya tujuan siswa ketika sekolah. Ruang-ruang kelas
adalah sebuah dunia yang tidak berbeda dengan dunia
sesungguhnya. Belajar bahasa Indonesia tidak hanya sebatas
kosakata dan tata bahasa melainkan belajar tentang
masyarakat pemakai bahasa lengkap dengan budaya dan
komunikasinya bisa jauh lebih menarik dan inilah yang
disebut dengan belajar untuk hidup.
Ketiga, pendidikan dalam prosesnya perlu memberikan
kesempatan berefleksi kepada siswa atas setiap pengalaman.
Proses pendidikan lebih banyak menimbun informasi dan
pengetahuan tanpa ada pengendapan. Kiranya secara khusus
guru (pendidik) perlu membawa siswa untuk mensintesis

162
antar pengetahuan atau menemukan manfaat bagi dirinya. Hal
ini termasuk berbagai kewajiban yang dibebankan oleh siswa
seperti penggunaan seragam atau melaksanakan upacara
bendera sehingga esensi dari kewajiban itu dapat dipahami.
Keempat, pendidikan adalah tanggungjawab keluarga dan
sekolah. Keluarga adalah sekolah yang pertama dan utama.
Untuk itu, perkembangan siswa di sekolah membutuhkan
dukungan nyata orang tua. Dukungan bukan sebatas
pendanaan tetapi lebih berupa pendampingan atau
pembimbingan dengan memberikan perasaan aman dan
tenang bagi anak-anaknya merupakan modal simbolik bagi
anak untuk betah bersekolah. Selama ini, sekolah seolah-olah
hanya berisi dengan bentuk penindasan secara halus karena
kebiasaan orang tua yang hanya memberikan instruksi untuk
belajar, belajar dan belajar untuk menjadi rangking satu tanpa
peduli dengan kejiwaan anak.
Berbagai peraturan sekolah yang dikeluarkan banyak
yang tidak mempertimbangkan keberadaan anak sebagai
objek pendidikan. Melalui berbagai penyeragaman seperti
kurikulum, seragam, upacara bendera, tambahan pelajaran
mengakibatkan anak tidak memiliki pilihan untuk
mengembangkan diri. Anak dicekoki dengan berbagai aturan
dalam pendidikan yang kadangkala tidak sesuai dengan
perkembangan anak itu sendiri. Sekolah hanya menjadi

163
tempat untuk menghabiskan hari, datang pagi pulang
siang/sore tanpa memahami tujuan sebenarnya mereka
bersekolah. Secara tidak langsung mereka telah terindoktrinasi
secara kumulatif melalui pesan intelektual dan pesan budaya
yang mempengaruhi cara pikir anak. Karena budaya juga
merupakan sumber dominasi, dimana para intelektual memegang
peranan kunci sebagai spesialis produksi budaya dan pencipta
kuasa simbolik.
Menurut Bourdieu, cara indoktrinasi dapat
diklasifikasikan pada satu kontinum dari implisit ke eksplisit.
Indoktrinasi implisit adalah indoktrinasi prinsip bawah sadar
yang memanifestasikan dirinya sendiri hanya dalam lingkup
praksis. Sedangkan indoktrinasi eksplisit disorganisasi secara
metodis dan mendoktrinasi prinsip formal dan yang
terartikulasi (Jenkins, 2004:162). Berbagai kebijakan dan
aturan pendidikan dikeluarkan untuk memberikan legitimasi
terhadap pola-pola pendidikan yang diselenggarakan. Bagi
Bourdie, legitimasi tersebut meneguhkan relasi kekuasaan
yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Selama
dapat diterima sebagai sesuatu yang sah, kebudayaan
memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan tersebut,
memberikan konstribusi kepada reproduksi sistematis mereka.
Hal ini berguna untuk mempertahankan tatanan sosial yang
telah mapan.

164
Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yang
merupakan arena perjuangan sumber daya, individu, institusi
untuk membedakan dengan manusia lain dan mendapatkan
modal yang berguna dan berharga. Salah satunya melalui
pendidikan, Bourdie menyebutnya sebagai habitus. Habitus
adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan
berubah-ubah berfungsi sebagai basis generatif bagi
praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.
Artinya, habitus merupakan hasil pembelajaran lewat
pengasuhan, aktivitas bermain, dan pendidikan masyarakat
dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus, tak disadari,
dan tampil ‗wajar‘ sehingga seolah-olah alamaiah terberi oleh
alam atau sudah dari sananya. Habitus mendasari ranah yang
merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam
suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran
individu. (Rahmana, 2000:xii).
Peran yang dimainkan oleh sistem sekolah dapat ditinjau
melalui pengkajian terhadap adanya lima praktik berbagai
ketidakmerataan terlanggengkan. Pertama, bagi anak-anak
yang kurang mampu, harapan-harapan disesuaikan
berdasarkan kesuksesan ini dan menjadi bagian dari habitus.
Kedua, ketika kesukesan dicapai, anak-anak yang kurang
mampu (dan keluarganya) cenderung membuat opsi yang

165
‗keliru‘. Ketiga, kebodohan terpelajar dari sekolah-sekolah
dan para agen seleksi hanya mengakui orang-orang yang
mengakui mereka. Keempat, pencemaran akademis. Kelima,
devaluasi ijasah yang menjadi modal simbolik bertindak
sebagai pengganda produktivitas modal pendidikan.
Anak bersekolah merupakan aktivitas rutin yang harus
dijalani meskipun anak menyukai atau tidak menyukai.
Kadangkala anak juga dipaksa untuk bersekolah yang bukan
menjadi pilihannya tetapi ditentukan oleh orang tua bahkan
pada tingkatan minat dan bakatnya (jurusan). Ini merupakan
tindakan diluar kesadaran individu, karena bagi orang tua ini
penting bagi keberlangsungan tatanan sosial. Orang tua yang
berprofesi sebagai dokter memaksa anak untuk mengambil
jurusan IPA sehingga dapat melanjutkan studi di bidang
kedokteran. Hal ini untuk tetap mempertahankan status sosial
ekonomi mereka di mata masyarakat. Strategi individu dalam
mengkonstruksi dunia sosial mereka, bertindak untuk
mereproduksi posisi-posisi mereka, dan memperoleh posisi
dalam dunia sosial. Faktor yang membuat seorang anak
nyaman berada di lingkungan insitusi pendidikan tertentu
merupakan produk pendidikan keluarga yang menciptakan
atau mereproduksi ketimpangan kelas dalam konteks prestasi.
Selanjutnya, Bourdie menyebutkan bahwa dalam sebuah
masyarakat plural masa lalu dan masa kini kebudayaan

166
tertentu harus dipelihara dan direproduksi di sekolah-sekolah.
Kebudayaan kelompok dominan yang mengontrol
sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik ‗diwujudkan‘ di
sekolah-sekolah dan ‗pewujudan‘ inilah yang bekerja sebagai
strategi reproduksi bagi kelompok dominan. Strategi reproduksi
dijalankan melalui praktik di sekolah (Rahmana, 2000:110).
Sekolah merupakan sumber belajar anak yang didalamnya berisi
berbagai macam pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum
intelektual pemegang kunci keberlangsungan sistem
pendidikan.
Dalam kelas, anak-anak belajar tepat waktu, menulis
bagus, memakai kertas dengan cermat, dan tenang waktu guru
berbicara, mengangkat tangan waktu akan mengajukan saran
dan menjawab pertanyaan dan menguatkan dorongan untuk
bersaing dan menjadi lebih dari yang lain. Dalam
perkumpulan di sekolah, siswa belajar menjadi pemimpin
misalnya mengikuti OSIS, Pramuka maupun kegiatan
keagamaan. Walaupun demikian, terlihat dengan nilai-nilai
begini tidak menjamin bahwa siswa mampu menyerap
nilai-nilai itu sebagai nilainya sendiri.
Pendidikan yang tidak mencerahkan dan tidak
membebaskan sama artinya membunuh masa depan bangsa.
Sampai batas-batas tertentu, pendidikan yang kita
kembangkan selama sekian dekade adalah pendidikan yang

167
membunuh kuncup-kuncup terbaik dari anak bangsa. Dengan
dalih untuk menjaga keamanan dan stabilitas demi
pertumbuhan ekonomi, bangsa kita telah digiring untuk
mendukung sebuah sistem kapitalis semu yang melahirkan
konglomerasi korup dan serakah.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi
kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Pertama,
kesadaran magis adalah suatu kesadaran masyarakat yang
tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan
faktor lainnya. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar
mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap satu
masalah maka proses belajar mengajar tersebut disebut
pendidikan fatalistik. Proses pendidikan ini tidak memberikan
kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur
terhadap satu permasalahan di dalam masyarakat. Siswa
secara dogmatik menerima kebenaran dari guru, tanpa ada
mekanisme untuk memahami makna ideologi dari setiap
konsepsi ata kehidupan masyarakat
Kedua, kesadaran naif yaitu keadaan yang lebih melihat
aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreativitas, need for
achievement dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan
sistem dan struktur bahkan sistem dan struktur yang ada sudah

168
baik dan benar yang merupakan faktor given sehingga tidak
perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana
membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk
beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Ketiga, kesadaran kritis yaitu lebih melihat aspek sistem
dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural
menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis
untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi, dan budaya dan akibatnya pada keadaan
masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih siswa
untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem
dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis
bagaimana sistem dan struktur itu bekerja serta bagaimana
mentransformasikannya.
Oleh karena itu anak tidak hanya dijadikan obyek semata
tetapi harus mampu memaknai pendidikan sebagai
pembebasan dan emansipasi dari kebodohan dan kemiskinan.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengambil
perumusan masalah bagaimana makna sekolah dimata
anak-anak usia sekolah baik yang bersekolah maupun tidak
bersekolah? Kemudian, bagaimana dampak pemaknaan
tersebut bagi perkembangan perilaku pendidikan anak? Dan
apa implikasinya bagi masa depan pendidikan Indonesia?

169
B. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang
diharapkan dapat mengarahkan penelitian ini untuk
mendapatkan jawaban ontologis, yaitu tentang makna sekolah
bagi anak. Selain aspek ontologis penelitian ini juga
mengarahkan kepada aspek epistemologis yaitu untuk
mendapatkan jawaban tentang batasan metodologis bagi
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Batasan
metodologis ini penting bagi perumusan kebijakan, karena anak
bukan hanya objek pendidikan saja tetapi aktor pendidikan
utama yang seharusnya diakui eksistensinya. Penelitian ini juga
mengarahkan kepada aspek axiologis untuk mendapatkan
jawaban tentang implikasi pemaknaan sekolah terhadap masa
dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan masa depan
anak pada khususnya.
Lokasi penelitian ini di Kota Surakarta (baca: Kota Solo)
dengan pertimbangan di Kota Solo saat ini sedang
mengembangkan program sebagai Kota Layak Anak yang
salah satu indikatornya adalah meningkatnya kualitas
pendidikan. Oleh karena itu, sangat tepat mengambil
penelitian tentang makna sekolah bagi anak karena hal ini
akan berimplikasi bagi perkembangan pendidikan khususnya
di Kota Solo.

170
Teknik pengumpulan data menggunakan observasi
langsung, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan
dokumentasi. Selanjutnya, Data-data dari hasil wawancara,
FGD, dokumentasi dan pengamatan (observasi) akan dicatat
secermat mungkin dan dikumpulkan sehingga menjadi suatu
catatan lapangan atau fieldnotes (Fetterman, dalam Latief
Wiyata, 2002:28). Semua data kemudian dianalisis secara
kualitatif sehingga apa yang terkandung dibalik realitas dapat
sesegera mungkin diungkap.

C. Hasil dan Pembahasan


Makna Simbolik Sekolah
Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam
pendidikan anak-anak begitu besar sehingga meskipun banyak
perdebatan mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang
harus diajarkan hampir tidak ada diskusi apakah sekolah
merupakan lembaga yang tidak tergantikan seperti yang
dilihat masyarakat. Hal ini sejalan dengan perluasan pendirian
sekolah-sekolah umum dan undang-undang wajib belajar
untuk menunjang tujuan pendidikan. Di sekolah yang
notabene adalah tempat untuk menimba ilmu seringkali
disanalah sumber ketidakadilan itu muncul. Seperti yang
dikemukaan oleh Bourdie (Jenkins, 2004:162) bahwa sekolah
tidak lebih sebagai model indoktrinasi yang dilegitimasi untuk

171
meneguhkan relasi kekuasaan. Artinya, sekolah itu
melanggengkan kekuasaan melalui dominasi dan hegemoninya
tentang diskriminasi kelas, ras, gender, maupun kekerasan
simbolik.
Sekolah lebih merupakan ide baru dalam sejarah manusia
yang tampaknya tidak berhasil dalam pendidikan akademis
dan sekolah sangat payah dalam aspek sosial. Produksi massa
belum menghasilkan orang-orang yang baik, pandangan
umum bahwa orang-orang yang baik dan sukses bisa begitu
meskipun pengalaman sekolah mereka tidak sejalan. Banyak
tokoh-tokoh yang sukses dalam masyarakat tidak mengenyam
pendidikan yang tinggi.
Kurikulum pembelajaran pada sekolah dirancang untuk
mengakomodir tantangan dan keterbatasan dari sebuah sistem
yang menempatkan sejumlah besar anak di usia yang sama
dalam satu ruangan selama lima atau enam jam sehari, enam
hari dalam seminggu. Tidak ada yang ajaib yang
menyebabkan pentingny amempelajari pelajaran-pelajaran itu
dalam waktu tersebut. Juga tidak ada sesuatu yang suci
mengenai pelajaran-pelajaran yang terpilih itu sendiri. Jika
kita mundur dan melihat dengan jelas mengenai apa yang
diperlukan seorang anak ketika belajar saat mereka beranjak
remaja, kita bisa melihat bahwa mereka harus bisa membaca
dan menikmati membaca, berbicara dengan baik, menulis

172
dengan koheren, mengerti konsep dasar matematika, tahu cara
mencari informasi, memiliki ketrampilan, memiliki keyakinan
diri dan rasa percaya tinggi akan kemampuan mereka sendiri.
Berdasarkan hasil FGD, dapat disimpulkan sekolah bagi
anak-anak dimaknai sebagai sarana belajar pembelajaran
secara formal, sarana untuk mendapatkan ijasah, kewajiban
bagi siswa untuk mematuhi semua peraturan sekolah dan
sarana mencari ilmu dan pengetahuan. Dari pemaknaan
sekolah tersebut memberikan sebuah asumsi bahwa sekolah
hanya dilihat dari segi kognitif saja yaitu pencarian ilmu
pengetahuan yang dibuat secara formal yang didalamnya
siswa terikat dengan segala macam peraturan untuk
selanjutnya mendapatkan ijasah.
Kondisi ini didukung dengan alasan mereka bersekolah
bukan karena keinginan pribadi untuk menjadi pribadi yang
unggul, mandiri, dan humanis tetapi adanya tekanan atau
paksaan dari pihak lain yang memiliki otoritas untuk
mengatur masa depan seorang anak. Adapun pihak yang
berkuasa itu yaitu:
a. Negara
Sekolah merupakan kewajiban anak yang tertuang
didalam peraturan pemerintah tentang wajib belajar
khususnya lulus pendidikan dasar.

173
b. Orang Tua
Sekolah bukanlah menjadi keinginan pribadi anak untuk
menjadi cerdas tetapi mereka bersekolah karena adanya
dorongan yang kuat dari orang tua. Harapannya dengan
bersekolah, jaminan masa depan anak terwujud. Dominasi
orang tua ini juga menyangkut soal pembiayaan sekolah.
Bagi mereka, biaya sekolah menjadi urusan dan
tanggungjawab orang tua sehingga mereka tidak begitu
mempersoalkannya.
c. Ilmu Pengetahuan
Sudah sejak awal berdirinya, tujuan sekolah adalah untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan
dengan mendapatkan ijasah sebagai bukti yang sah
seorang anak mendapatka pendidikannya di sekolah
formal. Imaginasi anak ketika mereka bersekolah adalah
mendapatkan ilmu pengetahuan untuk selanjutnya mudah
mendapatkan pekerjaan.
Untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan, Kota
Solo mencanangkan Jam Wajib Belajar. Program ini
disosialisasikan sampai ke tingkat rumah tangga sehingga
setiap anak yang tinggal di wilayah Solo wajib menaatinya.
Jam belajar dimulai pukul 19.00 – 21.00. Pada saat itu, anak
tidak boleh menonton televisi, nongkrong/keluar rumah,
maupun aktivitas lainnya diluar belajar. Tetapi kenyataannya,

174
pemberlakukan jam wajib belajar ini tidak efektif karena tidak
diikuti dengan kesadaran kritis dari para pelaku pendidikan
khususnya anak sekolah.
Program atau kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Solo tidak selamanya didukung oleh
kesadaran semua pihak dalam hal ini keterlibatan orang tua
dan masyarakat. Program jam belajar ini sebenarnya sangat
penting untuk mendukung lingkungan yang nyaman bagi anak
untuk belajar sehingga anak lebih memiliki rasa dan perhatian
serius terhadap proses pembelajaran mereka.
Dari hasil pemaknaan sekolah serta bagaimana anak
melihat program sebagai faktor pendukung suksesnya
penyelenggaraan sekolah memperlihatkan bahwa sekolah
hanya dimaknai sebagai lembaga transfer ilmu pengetahuan
saja sehingga ketika anak mendapatkan nilai yang buruk
dalam sekolah dianggap sebagai anak bodoh. Padahal filosofi
pendidikan melalui sekolah bukan hanya melihat dari sisi
kognitif saja melainkan bagaimana membangun kepekaan dan
kepedulian sosial anak di dalam melihat realitas masyarakat
yang ada. Hal ini tidak lagi sesuai dengan filosofi pendidikan
kritis yang dikemukakan oleh Paulo Freire (Siti Murtiningsih,
2004), bahwa sekolah seharusnya melahirkan individu-individu
yang mampu mendekontruksi dan merekonstruksi sistem yang
ada.

175
Representasi Sosial Budaya dalam Sekolah
Adanya pandangan yang kuat dikalangan para pendidik
radikal bahwa pendidikan ataupun penyelenggaraan proses
belajar mengajar pada dasarnya tidak pernah terbebas dari
kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan
sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Pandangan
ini berangkat dari asumsi bahwa pendidikan bagi aparatus
dominasi selalu digunakan demi melanggengkan ataupun
melegitimasi dominasi mereka.
Berdasarkan pada hasil observasi memperlihatkan bahan
relasi guru dengan siswa di sekolah bukan subjek dengan subjek.
Pola hubungan antara guru dan siswa lebih mencerminkan
sebagai tuan dan hamba, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Begitu lihainya seorang guru memanage ketakuktan dikalangan
siswa. Siswa takut mendapat nilai jelek, takut tidak naik kelas,
takut tidak lulus, seolah guru menjadi penentu hidup dan mati.
Ketika seseorang menyandang predikat guru, yang tertanam
di benak adalah tugas untuk mentransfer ilmu. Tidak peduli
sampai atau tidak, yang penting apa yang telah disampaikan
selesai dan tuntas memenuhi kurikulum, dan pada saatnya nanti
jika ada tes ataupun ulangan anak didik diharapkan mampu
menjawab pertanyaan dengan benar. Untuk menjaga disiplin
kelas, guru sering bertindak otoriter, menjauhi anak didik,
bersikap dingin.

176
Proses mendidik dipahami sebagai proses mencetak
orang, seakan para lulusan sekolah dituntut memiliki wajah,
gaya penampilan, atau seragam tertentu. Siswa dimasukkan ke
dalam kotak tertentu, lalu keluar dengan bentuk yang sama
dengan cetakannya. Kebiasaan sekolah hanya dengan
mencatat terus menerus membuat siswa merasa kegiatan di
sekolah menjadi membosankan. Selain itu, adanya perbedaan
pendapat dengan guru ditambah guru tersebut sangat otoriter
terhadap siswanya membuat sekolah hanya menjadi milik
guru saja.
Selain itu, penyelenggaraan penerimaan siswa baru
melalui sistem orientasi siswa dinilai hanya dijadikan sebagai
ajang balas dendam kakak kelasnya sehingga pelaksaanaan
kegiatan ini dirasakan tidak ada manfaatnya. Dalam bahasa
Bourdie, hal ini telah terjadi dominasi kelas yang dilakukan
oleh senior terhadap junior yang baru memasuki sekolah
tersebut. Ancaman diskrimnasi kelas ini jelas menjadi momok
bagi semua anak ketika mendapatkan sekolah baru.
Penindasan dan penekanan anak baru (siswa baru) melalui
orientasi siswa memberikan representasi sosial budaya bahwa
ajang balas dendam dilegalkan dalam sistem sekolah.
Artinya sekolah hanya dilihat sebagai representasi sosial
budaya karena di dalamnya juga ada program-program
kebijakan pemerintah yang dipaksakan hanya untuk

177
menanamkan nilai-nilai kekuasaan untuk mempertahankan
status quo. Hal ini menurut keyakinan Bourdie (Rahmana,
2000), sekolah sebagai habitus hanyalah jaringan relasi antar
posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir
terpisah dari kesadaran individu. Keberadaan upacara bendera,
Peraturan Baris Berbaris (PBB) memperlihatkan ideologi
militeristik karena didalamnya penuh dengan aturan-aturan
yang hanya mendisiplinkan tubuh siswa.
Hal ini jelas memperlihatkan sekolah sebagai
representasi sosial budaya yang sedang berkembang di
Indonesia berkaitan dengan kondisi politik bangsa.
Perkembangan sosial politik yang terjadi di dalam sistem
negara menentukan kondisi sosial budaya dalam sistem
pendidikan (baca: sekolah). Sekolah seharusnya menjadi
lembaga otonom berubah ketika didalamnya ada kepentingan
politis yang berbicara.
Selain politik, representasi sosial budaya juga dilihat dari
padangan masyarakat terhadap keberadaan sekolah. Kondisi ini
menambah sederet makna bias dalam menjalani hari-hari di
sekolah. Hanya melalui lembaga sekolah seseorang dianggap
mengawali kesuksesan dalam hidupnya. Artinya, kewajiban anak
adalah sekolah tanpa melihat kebutuhan dan kepentingan anak
itu apakah dapat terwakili melalui proses pembelajaran di
sekolah atau tidak. Masyarakat mengagung-agungkan lembaga

178
pendidikan sekolah sebagai lembaga yang sangat penting untuk
menjamin masa depan anak. Padahal berbagai kalangan
aktivis pendidik mulai mengulirkan pemikiran pendidikan
tanpa sekolah, seperti yang dilakukan oleh Kak Seto dengan
sistem ―Home Schooling‖.

Penciptaan Kesadaran Semu Anak Sekolah


Berbagai carut marut kehidupan berbangsa di berbagai
daerah seolah-olah tidak ada penghargaan kepada manusia
secara fisik dan segenap harkat kemanusiaannya. Betapa
mudah nyawa melayang tanpa sedikit pun menyisakan
penyesalan bahwa itu manusia. Penghargaan antar manusia di
negeri ini kiranya baik kalau mulai dikoreksi dari praksis
pendidikan yang tampaknya semakin mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan orang muda-muda. Kalau mereka dididik
sebagai robot maka mereka pun akan tumbuh dengan
mengabaikan penghargaan kepada sesama di sekitarnya
sebagai manusia.
Fenomena yang muncul sekarang adalah semakin tinggi
seseorang bersekolah, semakin terasing pula mereka dari
lingkungan sekitar dan oleh sebab itu semakin besar hasrat
mereka untuk meninggalkan desa menuju ke kota, menjadi
kaum urban. Para siswa itu merasa terasing karena tidak bisa
melakukan apa-apa seperti yang dijalani masyarakatnya,

179
sehingga ada pepatah mereka anak petani tetapi tidak bisa
bertani lagi, anak nelayan tetapi tidak kenal laut, dan
sebagainya. Makna anak terhadap keberadaan sekolah ini juga
dilihat oleh guru sebagai orientasi mencari pekerjaan.
Banyak ditemui bahwa anak usia sekolah enggan untuk
pergi ke sekolah karena anak justru merasa teralienasi ketika
bersekolah. Itulah yang membuat anak sering merasa malas
untuk bersekolah. Sekolah sebagai tempat yang menyenangkan
untuk belajar dan mengembangkan diri menjadi tempat yang
paling menghantui bagi anak. Fenomena inilah yang tampak
sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya. Guru kerap
ditakuti serta menjadi momok yang berakibat anak menjadi
malas untuk pergi ke sekolah karena tidak mengerjakan PR
dengan benar sehingga akan menerima hukuman.
Masyarakat masih memiliki penilaian bahwa murid yang
baik adalah murid yang meraih nilai yang baik, dan kalau bisa
yang terbaik. Asumsi ini berlum berubah dan menjadi patokan
bagi banyak pihak. Kriteria anak didi yang baik diukur dari
nilai akademis. Dan hal ini tercermin dalam pemberlakukan
standar kelulusan nasional yang hanya melihat dari segi
kuantitas saja.
Keberhasilan orang-orang yang tak sempat masuk
(gedung) sekolah sesungguhnya menjadi semacam peringatan
dan gugatan terhadap ketersesatan makna sekolah yang

180
selama ini menjajah wilayah pemikiran dan sikap kita.
Penghargaan yang berlebihan terhadap gelar kesarjanaan
(akademis) dapat meracuni pikiran masyarakat banyak.
Banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa sekolah
(termasuk universitas) justru dapat membuat kita terasing dari
persoalan kehidupan nyata, enggan bekerja keras dari bawah
(karena dipasung ijazan tanpa makna), dan menjadi tidak
kreatif menghadapi masa-masa sulit, sehingga gagal dalam
karier dan kehidupan.

D. Kesimpulan dan Saran


Dari hasil penelitian dan pembahasan akhirnya implikasi
sistem pendidikan yang ada di Indonesia memberikan sebuah
pengetahuan baru tentang proses pendidikan. Adapun dalam
memahami pemaknaan yang diberikan anak-anak usia sekolah
terhadap keberadaan sekolah dapat memberikan kesimpulan
sebagai berikut.
Pertama, proses pendidikan yang melibatkan berbagai
macam kapasitas dan kemampuan manusiawi anak didik
terutama bertujuan mengembangkan kepribadiannya menjadi
pribadi yang bertumbuh secara sempurna. Karenanya pendidikan
mestinya memusatkan perhatian pada proses formasi pribadi
anak agar semakin mampu menumbuhkan kesadaran, solidaritas,
kebebasan dan tanggungjawab dalam kerangka sebagai bagian

181
dari sebuah realitas sosial.
Kedua, tanggung jawab pendidikan tidak bisa dipahami
melalui sudut pandang sektoral. Hal ini mengingat corak
relasional proses pendidikan melibatkan jalinan-jalinan yang
kompleks. Karena itu, setiap instansi pendidikan semestinya
memahami fungsi dan peranannya. Orang tua tidak bisa
mengklaim sebagai satu-satunya agen tunggal dalam
pendidikan anak atau sekedar penanggungjawab ekonomis.
Keluarga masih memiliki peran penting dalam proses
sosialisasi nilai bagi diri anak sebab keluargalah anak-anak
mengenali dimensi valorial bagi hidup mereka.
Ketiga, menganggap bahwa dengan sekolah semua
persoalan sosial bisa diselesaikan merupakan pandangan yang
keliru. Benar bahwa tanpa proses pendidikan yang baik
masyarakat tidak akan stabil, sebab ada defisit dalam hal
akuisisi nilai-nilai non material sebuah kebudayaan. Namun
sangat keliru menganggap lembaga pendidikan seperti sekolah
merupakan tempat reparasi siswa agar menjadi pribadi yang
baik. Sekolah bukanlah tempat untuk bisa mengobati segala
macam penyakit. Lingkungan di luar dunia pendidikan justru
memiliki pengaruh esensial dan memiliki dimensi formatif
lebih kuat bagi proses penyempurnaan diri seorang pribadi.

182
DAFTAR PUSTAKA
Jenkins, Richard. (2004). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kartono. (2002). Menebus Pendidikan Yang Tergadai.


Yogyakarta: Galang Press.

Murtiningsih, Siti. (2004). Pendidikan Alat Perlawanan Teori


Pendidikan Radikal Paulo Fraire. Yogyakarta: Insist
Press.

Prasetyo, Eko. (2004). Orang Miskin Dilarang Sekolah.


Yogyakarta: Insist Press.

Rahmana. (2000). (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.


Yogyakarta: Jalasutra.

Tilaar. (2004). Multikulturalisme (Tantangan-tantangan


Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan
Nasional). Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Wiyata, Latief. (2002). Carok Konflik Kekerasan Dan Harga


Diri Orang Madura, Jogyakarta: LKiS.

Majalah:
Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke 49 edisi Juli – Agutus 2000
tentang Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata.

183
Pengembangan Desa Produktif Dalam Upaya Mengurangi
Jumlah Penduduk Miskin Pedesaan Di Jawa Timur

Oleh:
Martinus Legowo dan F.X. Sri Sadewo*17

A. Pendahuluan
Pemerintah Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu
propinsi di Indonesia yang sangat aktif dalam mengembangkan
berbagai program pembangunan untuk menurunkan jumlah
keluarga/orang miskin di daerahnya. Pengembangan program itu
secara nyata diawali pada akhir masa pemerintahan Suharto,
pada waktu itu masa pemerintahan Basofi Sudirman sebagai
Gubernur Jawa Timur tahun 1993 s/d 1998. Program yang
terkenal waktu itu adalah Gerakan Kembali ke Desa (GKD).
GKD ini merupakan langkah kontroversial yang berbalik dari
pembangunan lebih mengarah pada wilayah perkotaan (bias kota)
sebagai akibat kebijakan industrialisasi dalam rangkaian
kebijakan Pelita dalam pemerintahan Suharto. Dalam program
tersebut, diharapkan satu desa satu produk, sehingga
masyarakat kota berbalik berbelanja di desa.
Program GKD sebenarnya merupakan respon dari

* Drs. Martinus Legowo, M.A, Pengajar di Prodi Sosiologi, Universitas


Negeri Surabaya.
* Drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si, Pengajar di Prodi Sosiologi, Universitas
Negeri Surabaya.

184
kebijakan pemerintah pusat yang lebih menekankan pemerataan
dalam trilogi pembangunan (pertumbuhan ekonomi, stabilitas
politik untuk pembangunan dan pemerataan). Penekanan
pemerataan dalam kebijakan pemerintah pusat waktu itu terjadi
karena menyadari selama hampir 5 (lima) Pelita ternyata tidak
tercapai pemerataan pembangunan. Pembangunan lebih bias kota
ditandai dengan peredaran uang yang lebih besar di wilayah
perkotaan. Sebagai akibatnya, tingkat urbanisasi di perkotaan
sangat tinggi. Hal itu menjadi masalah baru yang pelik karena
kota yang semula dirancang untuk jumlah penduduk yang
terbatas harus menyediakan sarana dan prasarana, serta
lapangan kerja. Pada kenyataannya, hal itu tidak dapat diatasi,
sehingga kota mengalami overloaded.
Program GKD ini pada prinsipnya berlanjut terus pada
masa sesudah pemerintahan Basofi Sudirman, yaitu: Imam
Utomo (1998-2008) dan Sukarwo (2003-sekarang) dengan
berbagai modifikasi dan penamaan yang berbeda, seperti
Gerdu Taskin. Pada intinya, dalam kebijakan pembangunan
pemerintah memberi penguatan ekonomi pada masyarakat
lokal (pedesaan). Untuk mengatasi ―jarak‖ antara masyarakat
kota dan masyarakat desa misalnya, Imam Utomo pada masa
akhir pemerintahannya mengembangkan pasar agro di
Jemundo, Taman, Sidoarjo, dilanjutkan, diresmikan dan
berfungsi pada awal pemerintahan Sukarwo. Pengembangan

185
pasar itu diawali dengan melakukan studi banding di Australia.
Pengembangan pasar agro ini dalam rangka memutus mata
rantai yang terlalu panjang antara petani (produsen di
pedesaan dan pembeli (perkotaan). Melalui pasar ini, petani
sebagai produsen dapat bersaing dengan harga yang pantas
dan memperoleh keuntungan yang maksimal.
Semua kebijakan pembangunan sebagaimana telah
diuraikan ini tidak lepas dari usaha pemerintah dalam rangka
mengurangi angka kemiskinan. Sebagaimana telah diketahui,
separuh lebih keluarga miskin berada di wilayah pedesaan.
Oleh karena itu, tidak saja pemerintah propinsi pemerintah
pusat juga mengembangkan program PNPM sebagai
penguatan masyarakat desa untuk mengurangi kemiskinan.
Kemampuan mengembangkan produksi lokal pedesaan dapat
mengurangi angka kemiskinan di satu sisi dengan membuka
lapangan pekerjaan baru.
Hal demikian penting bagi Propinsi Jawa Timur karena
berdasarkan data statistik BPS pada tahun 2009 jumlah
penduduk miskin sekitar 6 juta jiwa atau 16%. Sebagian besar
penduduk miskin ini tinggal di pedesaan, yaitu 64%. Bila
tidak memperhitungkan proporsi dengan jumlah penduduk
keseluruhan, maka orang miskin di Propinsi Jawa Timur
merupakan jumlah yang terbesar. Oleh karena itu, penguatan
masyarakat pedesaan sebagai desa produktif merupakan

186
strategi yang tepat untuk menurunkan jumlah orang miskin.

B. Proses Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun
data kuantitatif, berupa data sekunder, seperti data BPS dan
Bapemas, digunakan untuk melengkapi dari analisis data
kualitatif. Sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Jember,
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Sampang, Kabupaten Ngawi
dan Kabupaten Blitar. Kelima kabupaten mewakili daerah yang
memiliki jumlah penduduk miskin relatif tinggi. Selain itu,
kabupaten-kabupaten ini juga mewakili varian ekologi budaya
Propinsi Jawa Timur. Secara ekologis, wilayah Propinsi Jawa
Timur dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (ke)-pulau-(an) Madura
dan Pulau (daratan) Jawa di satu sisi. Di sisi lain, pegunungan
kapur yang mengapit di Utara dan Selatan dan dataran
pedalaman dengan sejumlah puncak gunung berapi. Pegunungan
Kapur Utara (Kendeng Utara) memanjang dari Barat ke Timur
pulau Jawa hingga ke Pulau Madura. Sementara itu, Pegunungan
Kapur Selatan memanjang di bagian Selatan Pulau Jawa dari
Barat ke Timur. Pegunungan ini merupakan hasil pengangkatan
Samudera India akibat peristiwa geologis. Kondisi ekologis
budaya ini menghasilkan setidakt-tidaknya 3 (tiga) varian budaya
lokal, yaitu Jawa Pesisiran, Jawa Mataraman (Pedalaman) dan
Madura, serta sejumlah varian hibrid, seperti Pedalungan. Oleh

187
karena itu, alasan pemilihan lokasi Kab. Sampang adalah
mewakili Pulau Madura, Kab. Jember dan Kab.
Bondowoso mewakili Pedalungan dan Jawa Pesisir Selatan,
Kab. Ngawi dan Kab. Blitar adalah Jawa Mataraman
(Pedalaman).
Dari kelima kabupaten tersebut, maka dipilahkan menjadi
dua kecamatan atas dasar jumlah penduduk miskin yang
terbanyak dan yang tersedikit bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk keseluruhan. Hal itu dapat diketahui dari
data BPS Kabupaten dalam angka. Dari wilayah tersebut, baru
kemudian diambil salah satu desa dengan acak. Adapun yang
diwawancarai adalah (1) kepala desa, (2) pengusaha lokal, (3)
keluarga miskin yang bekerja di sektor off-farm desa tersebut
yang menjadi unggulan, dan terakhir (4) petugas kecamatan
atau pendamping dari program-program pemerintah yang
mengurangi keluarga miskin, seperti PNPM Pedesaan dan
Gardu Taskin, dan program lainnya.

C. Hasil dan Pembahasan


Kreativitas dan Strategi Pengembangan Usaha Pedesaan:
Potensi Lima Kabupaten
Bila mencermati tabel, kondisi geografik wilayah lima
kabupaten tersebut; maka sulit mengembangkan menjadi
wilayah pertanian yang subur, kecuali di daerah sekitar

188
kecamatan kota. Wilayah sekitarnya merupakan wilayah
pegunungan seperti Jember, Blitar dan Bondowoso dan
beberapa daerah di antaranya seperti Sampang dan Ngawi
berada di dataran rendah yang kurang subur, belum lagi
ditambah dengan sejumlah kerawanan seperti di Ngawi yang
rawan banjir. Sementara itu, masyarakat pedesaan dengan
struktur sosialnya mempersulitkan rumah tangga miskin untuk
memperoleh akses terhadap tanah. Mereka akhirnya terbatas
sebagai buruh tani, atau pekerjaan lain yang mengandalkan
tenaga. Kondisi ini juga ditopang oleh kondisi sosialnya yang
kurang menguntungkan, yaitu tingkat pendidikan yang
rendah.
Tabel 1. Potensi Daerah
No Karakteristik Jember Bondowoso Sampang Blitar Ngawi
1 Kondisi Tanah bertekstur bertekstur bertekstur pasir dan bertekstur
sedang sedang sedang napal (batu sedang
yaitu: yaitu: yaitu: kapur yang yaitu:
lempung, lempung, lempung, tercampur lempung,
lempung lempung lempung tanah liat). lempung
berdebu dan berdebu dan berdebu Tanah berdebu
lempung lempung liat dan tersebut dan
liat berpasir berpasir; lempung berwarna lempung
dan liat ber- abu-abu liat ber-
bertekstur pasir kekuningan, pasir,
kasar yang bersifat berkapur.
meliputi masam,
pasir dan gembur dan
pasir peka
berlempung. terhadap
erosi. Tanah
semacam
itu disebut

189
regosol.

2. Curah Hujan Rendah Rendah Rendah Rendah sedang


3. Topografi Didominasi Hampir 80 Dataran Didominasi Dataran
oleh % rendah oleh rendah
pegunungan merupakan pegunungan
perbukitan
dan
pegunungan
4. Kesuburan Kurang Kurang Tidak Kurang subur
subur subur subur subur
5. Pemanfaatan Pertanian Pertanian Sebagian Sebagian Sebagian
Tanah sawah sawah besar besar besar
berigasi, berigasi, merupakan merupakan merupakan
tadah hujan, tadah hujan, pertanian pertanian pertanian
tegalan, tegalan dan sawah sawah tadah
Perkebunan. hanya tadah hujan
sedikit hujan
pertanian
beririgasi
Sumber : Jember, Bondowoso, Sampang, Blitar, Ngawi dalam angka.

Keterkaitan Potensi Desa dan Usaha Industri Pedesaan


Terlepas dari penentuan kriteria miskin atau tidak, untuk
menjelaskan penyebab kemiskinan ada 2 (dua) teori. Pertama,
kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan
faktor-faktor struktural pada masyarakat di mana keluarga

190
miskin itu tinggal bersamanya. Penganut deterministik
ekologi (alam) mencermati faktor struktural itu adalah
faktor-faktor alam yang tidak mendukung, seperti tanah yang
tandus, curah hujan yang kurang serta sumber-sumber daya
alam lain yang tidak menguntungkan dalam kehidupan
manusia. Lain pula, penganut deterministik ekonomi melihat
bahwa sistem ekonomi yang ada dalam masyarakat tersebut
mengalami ketimpangan. Dalam istilah penganut Marxian, ke-
timpangan itu tak lain adalah hasil dari eksploitasi kelompok
the have (pemilik alat produksi) terhadap kelompok the have
not (para pekerja). Ringkasnya, kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi-kondisi obyektif
yang berpengaruh pada kesejahteraan keluarga miskin, mulai
dari kehilangan kesempatan memperoleh pekerjaan yang
layak hingga ketidakmampuan dalam bernegosiasi untuk
menghasilkan kebijakan pemerintah yang berpihak pada orang
miskin, sebagaimana disebutkan oleh Sritua Arief dan Adi
Sasono (1984: 109).
Teori kedua yang juga dapat dipakai menjelaskan
kemiskinan di lima kabupaten tersebut adalah budaya
kemiskinan. Budaya kemiskinan adalah cara hidup atau
kebudayaan dari keluarga yang disosialisasikan. Pola-pola
sosialisasi yang berlandaskan kebudayaan ini merupakan
mekanisme adaptif atau coping strategy berkaitan dengan

191
kondisi-kondisi keluarga miskin yang marginal. Kebudayaan
kemiskinan menggambarkan suatu usaha untuk mengatasi
rasa putus asa dan tidak berpengharapan dari anggota-anggota
masyarakat marjinal karena tidak mungkin sukses didalam
mencapai nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang dikejarnya, sebab
nilai-nilai dan tujuan-tujuan tersebut terlalu tinggi bagi
mereka. Hal itu isa dilihat dari usaha-usaha lokal dan
spontanitas untuk memenuhi kebutuhan orang-orang miskin
ketika lembaga dan agen masyarakat lebih luas tidak mampu
bisa memenuhinya (Lewis, 1981: 15-30; Lewis, 1988;
Gailbraith, 1983).
Usaha industri rumah tangga yang dikembangkan oleh
keluarga miskin di lima kabupaten tersebut kebanyakan
memiliki modal yang kecil, tidak memiliki jaringan untuk me-
nambah modal tersebut, atau bahkan tidak memiliki modal.
Basis pengembangan industri tersebut, umumnya dari potensi
alam yang ada di daerah masing-masing, seperti di jember
mengembangkan potensi yang ada di daerah tersebut, yaitu
batu. Dari sumber daya alam batu tersebut kemudian
dikembangkan menjadi usaha industri batu piring/batu taman,
industri manik-manik. Di Bondowoso, potensi alam yang ada
adalah tanaman bambu, sehingga mengembangkan usaha
mebel dari bambu. Sedangkan dari Ngawi, juga
mengembangkan potensi yang ada, yaitu dengan

192
memanfaatkan bambu untuk membuat kerajinan tumbu dan
mebel

D. Peran Pemerintah dan Masyarakat Industri dalam


Upaya Pengentasan Kemiskinan
Peran pemerintah dalam hal permodalan cukup aktif, hal
ini ditandai dengan peran aktif pemerintah dalam bentuk
pemberian bantuan, yang salah satunya melalui program
PNPM Mandiri. Pemberian bantuan PNPM tersebut
dialokasikan untuk dua kegiatan. Yang pertama adalah untuk
pembangunan infrastruktur desa. Pembangunan infrastruktur
desa ini meliputi infrastruktur yang memang dibutuhkan pada
saat itu oleh desa yang bersangkutan, seperti : pembangunan
MCK, pembangunan saluran irigasi, jembatan, perbaikan
jalan desa, tandon air bersih. Sedangkan program PNPM
berikutnya adalah bantuan untuk simpan pinjam kelompok usaha
perempuan. Penggulira dana untuk simpan pinjam kelompok
usaha perempuan ini bertujuan untuk memberdayakan
perempuan, khususnya membantu permodalan usaha yang
dijalankan oleh perempuan.
Tabel 2. Peran Pemerintah dan Masyarakat Industri dalam
Upaya Pengentasan Kemiskinan
Indikator PEMERINTAH PENGUSAHA
kabupaten/Desa Peran Bentuk Peran Bentuk
Jember Gumuk sari Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Pelatihan

193
Indikator PEMERINTAH PENGUSAHA
kabupaten/Desa Peran Bentuk Peran Bentuk
manajerial untuk
home industri
pedesaan dari
pemerintah
lokal.
Sidomekar Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Bondowoso Taman Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Pelatihan
manajerial untuk
home industri
pedesaan dari
pemerintah
lokal.
Kembang Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Blitar Resapombo Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Bantuan
permodalan dari
APBD Jatim dan
bantuan dalam
bentuk pelatihan
produksi dari
Disperindag.
Ngaringan Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Pembinaan
peternak oleh
pemerintah
setempat.
Sampang Sreseh Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Tamblangan Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Ngawi Legokulon Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Dero Aktif PNPM Mandiri, Aktif Mempekerjakan
BLT, Raskin. warga sekitar.
Sumber : Data Primer

Dalam hal simpan pinjam untuk kelompok usaha

194
perempuan ini diharapka agar perempuan mendapat
kesempatan mengakumulasi basis kekuasaan sosial bisa
memperoleh pendapatan atau paling tidak bisa mengelola
sumber-sumber keuangan (income). Program PNPM yang
digulirkan pemerintah ini idealnya juga didahului dengan
sosialisasi dan pembinaan yang intens serta selanjutnya dalam
pelaksanaannya selalu dalam pengawasan (kontrol) serta
adanya evaluasi terhadap program tersebut. Pada tahap
evaluasi nantinya akan dilakukan ranking terhadap desa-desa
yang memperoleh program PNPM dalam satu kabupaten
tertentu. Dalam tahap evaluasi ini ditentukan peringkat
/ranking masing-masing desa yang memperoleh program
PNPM, dan selanjutnya desa-desa yang masuk peringkat 4
besar teratas, pada tahun berikutnya mendapat prioritas PNPM
tahap berikutnya.
Sosialisasi di lima kabupaten tersebut memang telah
dilaksanakan, pembinaan juga telah dilaksanakan. Tetapi pada
tahap kontrol dan evaluasi terdapat kelemahan. Hal ini terbukti
dari 10 desa di lima kabupaten yang diteliti (Jember, Bondowoso,
Sampang, Blitar dan Ngawi), hanya satu yang masuk dalam
ranking, yaitu desa Gumuksari, Kabupaten Jember. Selanjutnya
Desa Gumuksari mendapat program untuk tahap berikutnya.
Sementara desa-desa yang lain yang diteliti, tidak mendapat
program tahap berikutnya karena tidak masuk 4 besar di
kabupaten masing-masing. Persoalan dihentikannya program

195
tersebut karena desa-desa di wilayah kabupaten yang menjadi
daerah penelitian, tidak bisa mempertanggungjawabkan laporan
keuangannya.
Selain program PNPM tersebut, wujud partisipasi
pemerintah adalah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan
raskin. Tetapi pada dasarnya kedua bantuan tersebut lebih
difokuskan untuk bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
bukan untuk pemberdayaan. Sehingga ketika rumah tangga
miskin memperoleh BLT seringkali dana tersebut cepat habis
untuk keperluan sehari-hari. Bahkan dalam hitungan jam ada
yang langsung habis karena untuk melunasi hutang.hal ini
karena keluarga miskin senantiasa rentan, menderita
kekurangan materi, dan ketidakberdayaan. Kondisi ini
seperti yang disebut oleh Jeni Klugman (2002) yaitu dimensi
atau indikator kemiskinan. Dimensi tersebut ternyata juga
tidak berbeda jauh dengan yang dirasakan oleh orang miskin.
Dari penelitian Smeru (Sulton Mawardi, 2004: 1-5), menurut
orang miskin, kemiskinannya disebabkan oleh ketidak-
berdayaan, keterkucilan, kekurangan materi, kelemahan fisik,
kerentanan, dan sikap atau perilaku. Ketidakberdayaan itu
meliputi faktor yang di luar kendali masyarakat miskin, antara
lain: lapangan kerja, tingkat biaya/harga (baik barang
konsumsi, sarana produksi, maupun harga jual produksi),
kebijakan pemerintah, sistem adat, lilitan hutang, keamanan,

196
dan takdir/kodrat. Munculnya aspek takdir mungkin meng-
indikasikan bahwa tingkat kemiskinan yang mereka alami
sudah sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya memunculkan
sikap apatis. Bagi mereka, sepertinya sudah tidak ada peluang
lagi untuk memperbaiki kesejahteraannya, dan menganggap
hanya mukjizat Tuhan yang mampu mengubah keadaan.
Kekurangan materi adalah kepemilikan atau tidak memiliki
berbagai macam aset, seperti rumah, tanah, modal kerja,
warisan, serta rendahnya penghasilan karena upah atau hasil
panen rendah). Faktor berikutnya adalah keterkucilan yang
berkaitan dengan hambatan fisik dan nonfisik dalam meng-
akses kesempatan meningkatkan kesejahteraan, antara lain
mencakup aspek lokasi yang terpencil, buruknya prasarana
transportasi, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan,
tidak ada atau kurangnya akses terhadap kredit, pendidikan,
kesehatan, irigasi, dan air bersih. Faktor lain, kerentanan,
dianggap penyebab dari kemiskinan karena mencerminkan
ketidakstabilan atau guncangan yang dapat menyebabkan
turunnya tingkat kesejahteraan. Terakhir, sikap dan perilaku
juga dianggap sebagai penyebab kemiskinan, yaitu kebiasaan
buruk atau sikap yang cenderung menyebabkan turunnya
tingkat kesejahteraan atau menghambat kemajuan, Sikap dan
perilaku itu antara lain meliputi kurangnya upaya untuk
bekerja, tidak bisa mengatur uang atau boros, masalah

197
ketidakharmonisan keluarga, serta kebiasaan berjudi dan
mabuk-mabukan.
Wujud partisipasi aktif pemerintah selain tersebut diatas,
juga ada program dari pemerintah lokal, yaitu dalam bentuk
pelatihan manajerial untuk pengusaha industri kecil pedesaan.
Pengusaha industri kecil pedesaan diikutkan dalam program
pelatihan tersebut mulai dari pengelolaan industry hingga
pemasaran. Program tersebut dirasa cukup membantu mereka
khususnya dalam hal pengetahuan tentang manajemen
industry kecil. tetapi terkadang hambatan itu justru dari
pemilik industry keci pedesaan sendiri. Karena industrinya
bermodal kecil, dan keberlangsungannya juga tergantung
pemesanan. Maka kelancaran industry tersebut juga
tergantung order/pesanan.
Di sisi lain ada peran masyarakat lokal dalam permodalan.
Peran masyarakat lokal ini merujuk pada peran pengusaha
lokal dalam memberdayakan keluarga miskin di sekitarnya.
Dari sepuluh desa di lima kabupaten yang diteliti (Jember,
Bondowoso, Sampang, Blitar, dan Ngawi), kesemuanya
terdapat pengusaha lokal yang memberdayakan masyarakat
miskin dan pengangguran di sekitarnya. Di Jember terdapat
industri pedesaan batu manik-manik, industry batu piring,
suplai bahan bakar alternative. Di Bondowoso terdapat usaha
dari yang bersumber dari potensi alam setempat, yaitu mebel

198
dari bambu. Di Blitar yaitu usaha peternakan sapi dan ayam.
Di Ngawi ada usaha dari potensi setempat yaitu kerajinan
tumbu. Semua industry lokal yang ada di masing-masing
kabupaten tersebut mempekerjakan warga miskin dan
pengangguran di sekitarnya.
Tujuan pengusaha lokal tersebut mempekerjakan warga
miskin sekitar salah satunya adalah untuk membantu mereka,
meskipun dari sisi pengusaha tidak dapat dipungkiri untuk
memperoleh tenaga kerja yang murah. Tetapi keberadaan
industri kecil pedesaan setidaknya bisa mengurangi jumlah
pengangguran di wilayah sekitarnya. Keberadaan pengusaha
lokal tersebut paling tidak bisa mengurangi kemiskinan di
desa setempat. Dalam buku panduan Bank Dunia tentang
pengurangan kemiskinan, Jeni Klugman (2002a: 2-3)
menyebutkan bahwa kemiskinan bukan sekedar tingkat pen-
dapatan yang rendah, tetapi lebih dari itu tingkat konsumsi
dan pendapatan yang rendah ini berhubungan dengan
distribusi modal manusia dan aset sosial dan fisik (lack of
opportunity), seperti pemilikan tanah dan peluang pasar.
Selain dari berkurangnya kesempatan, kemiskinan juga berarti
kemampuan yang rendah (low capabilities), yaitu tingkat
pendidikan dan kesehatan yang rendah, dan tingkat keamanan
yang rendah, yaitu rentan dan pendapatan yang mudah
terganggu, serta terakhir, ketidakberdayaan (empowerment),
kemampuan keluarga miskin dalam berpartisipasi, negosiasi

199
dengan perubahan dan berhubungan institusi yang dapat
berpengaruh pada kelayakan hidupnya.

E. Keterlibatan Keluarga Miskin dalam upaya


peningkatan perekonomian keluarga dan keikutsertaan
dalam Pengembangan Desa Produktif.
Keluarga Miskin Sebagai Tenaga Kerja dalam Industri
Kecil Pedesaan
Keterlibatan keluarga miskin dalam usaha pengembangan
industri kecil pedesaan dilakukan dengan mengembangkan
budaya adaptif. Yakni, keluarga miskin menggunakan seluruh
tenaga dari anggota keluarga untuk bekerja pada masyarakat
industri. Ini ditandai dengan salah satunya kegiatan keluarga
miskin di usaha produksi batu piring di Desa Gumuksari
Kabupaten Jember.
Mayoritas keluarga miskin di Desa Gumuksari
menggunakan seluruh anggota keluarga seperti ayah, ibu,
anak (remaja), sanak saudara atau kerabat bekerja di usaha
produktif batu piring. Keterlibatan keluarga ini terbagi
dimasing-masing jenis pekerjaan seperti pencari dan pengakut
batu dibukit, pemilah batu, pemotong batu.
Selain di Desa Gumuksari Kabupaten Jember, budaya
adaptif yang diterapkan keluarga miskin juga berlangsung di
keluarga miskin di Desa Kembang Kabupaten Bondowoso.
Keluarga miskin memanfaatkan seluruh tenaga anggota

200
keluarga untuk bekerja di usaha salah satu pengusaha jasa
pemborong bambu besar di tersebut. Seluruh anggota keluarga
yang sebgaian besar tamatan sekolah dasar, bekerja sebagai
pencari bambu, kuli angkut dan supir. Selain itu, ada jaga
yang bekerja di pabrik penggilingan padi sebagai kuli angkut,
pengatur mesin giling, supir dan tukang jemur padi.
Jenis pekerjaan tenaga kasar atau serabutan dipilih oleh
keluarga miskin disebabkan dapat memberikan keuntungan
ekonomis sehari-hari. Pekerjaan kasar seperti ini ia pilih
dengan mengabaikan kesesuaian tingkat sumber daya alam
ataupun sumber daya manusia seperti pendidikan.
Kenyataan di atas ditandai dengan keluarga miskin dengan
memilih pekerjaan sebagai tenaga kasar atau serabutan.
Pekerjaan harian seperti kuli angkut, tukang mebel, kuli batu,
tukang pencari batu, dipilih disebabkan dapat memberikan
jaminan pendapatan sehari-hari, meski upah yang diterima
tidak memadai.
Keterlibatan keluarga miskin di masyarakat industri kecil
juga dijadikan sebagai pekerjaan alternatif/ganda, di luar
pekerjaan utama. Misalnya, keluarga miskin yang memiliki
pekerjaan pokok sebagai buruh tani, akan mencari pekerjaan
tambahan seperti tukang batu bangunan.
Selain alasan ketersediaan peluang kerja, keterlibatan
keluarga miskin di masyarakat industri juga disebabkan

201
karena kondisi geografis berupa alam yang kurang
menguntungkan atau faktor cuaca. Kenyataan ini, seperti yang
terjadi dikawasan Desa Kembang Kabupaten Bondowoso dan
Desa Sreseh di Kabupaen Sampang.
Kondisi geografis yang panas dan gersang serta tingkat
keseburan tanah yang minim, menyebabkan tingkat
produktifitas hasil pertanian mengalami penurunan sehingga
berimbas pada pendapatan keluarga miskin menjadi minim.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarga miskin
juga mengembangkan usaha poduktif seperti memelihara
binatang (ayam, itik dan bebek) atau menanam sayuran di
pekarangan untuk untuk dijual atau untuk simpanan bahan
konsumsi sendiri.
Keseharian keluarga miskin yang terlibat di masyarakat
industri tidak banyak memberikan insipirasi untuk mencoba
usaha sendiri dalam skala rumahan. Penyebabnya adalah
keterbatasan modaldan minimnya pembinaan dari
pemerintah tentang cara-cara pengembangan usaha produktif
berbasis potensi desa.
Di samping itu pihak keluarga miskin enggan untuk
mencoba usaha industri seperti usaha masyarakat yang
diikutinya tersebut, juga disebabkan karena tidak mau
mengambil resiko lebih besar. Seperti ketika harus memenuhi
kewajiban membayar uang pinjaman modal usaha dari bank

202
atau pemerintah. Sikap self subsistence seperti inilah lebih
dipilih daripada berkembang maju namun disaat bersamaan
harus juga menanggung utang.

Keterlibatan Keluarga Miskin dalam Pengembangan Desa


Produktif
Semangat keikutsertaaan keluarga miskin dalam usaha
pengembangan desa produktif relatif minim atau tidak banyak
berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan atau program-program
pengembangan desa produktif yang digagas oleh pemerintah
atau organisasi di desa masing-masing.
Penyebabnya, pertama, tingkat pendidikan masyarakat
yang minim yakni mayoritas hanya lulusan Sekolah Dasar
atau Sekolah Menengah Pertama. Minimnya tingkat
pendidikan keluarga miskin menjadi penghambat dalam segi
pemahaman sosialisasi program-program pengembangan desa
dari pemerintah. Di samping itu, frekuensi sosialisasi program
dari pihak PNPM tingkat desa bersifat aktif, akan tetapi pada
tahap pelaksanaan kegiatan dari pihak keluarga miskin kurang
proaktif yakni tidak adanya konsistensi antara pemahaman
sosialisasi dengan pelaksanaan kegiatan atau program.
Misalnya, kegiatan koperasi simpan pinjam untuk
perempuan di tiap-tiap desa yang tidak berjalan dengan baik
oleh karena ketika batas pembayaran wajib uang pinjaman

203
tidak dapat dibayarkan sesuai tepat waktu. Akibatnya, uang
pinjaman yang seharusnya berjalan bergilir ke anggota lain
menjadi terhambat.
Kedua, pemahaman sebagian keluarga miskin tentang
bantuan program atau dana dari pemerintah yang dianggap
sebagai bantuan hibah, bukan pinjaman. Seperti yang terjadi
di sebagian keluarga miskin di Desa Kembang Kabupaten
Bondowoso.
Hampir sebagian besar warga Desa Kembang menilai
perhatian pemerintah kepada rakyat berupa pemberian
bantuan atau program adalah bersifat hibah, bukan pinjaman.
Akibatnya, hampir semua keluarga miskin, juga keluarga
mampu, berbondong-bondong meminta dana kepada petugas
PNPM atau kepada perangkat desa.
Keterlibatan keluarga miskin terhadap sarana
pembangunan desa juga tidak banyak berperan aktif oleh
karena beberapa sebab. Pertama, ketiadaan program kegiatan
perawatan atas sarana pembangunan secara rutin dari warga
dan perangkat desa yang terkait.
Kedua, program perawatan berupa iuran wajib untuk
pemeliharaan sarana pembangunan juga tidak banyak
dipenuhi oleh warga. Sebab, perawatan hanya mengandalkan
bantuan dana dari pemerintah. Akibatnya, sarana dan
prasarana pembangunan tidak terawat dengan baik. Dalam

204
upaya pemeliharaan, kegiatan yang bisa dilakukan oleh
keluarga miskin adalah berupa tenaga ketika ada kegiatan
gotong royong perbaikan sarana dan prasarana. Seperti yang
terjadi di Desa Kembang tentang fasilitas tando air bersih
yang masing-masing rumah atau kepala keluarga
dberkewajiban membayar iuran sebesar Rp.2.000 perbulan
untuk perawatan tandon dan pipa penyaluran air bersih.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Nasional, 2009. Matriks Program
Pembangunan tahun 2009. Jakarta: Bappenas.

Baker, Judy L. 2005. Evaluating the Impact of Development


Projects on Poverty A Handbook for Practitioners.
Washinton, D.C.: The World Bank.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Blitar, 2010, Kabupaten


Blitar Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso, 2010,


Kabupaten Bondowoso Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, 2010, Kabupaten


Jember Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngawi, 2010, Kabupaten


Ngawi Dalam Angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang, 2010, Kabupaten

205
Sampang Dalam Angka.

Dillon, H.S. dan Hermanto 1993 Kemiskinan di Negara


Berkembang. Prisma. XII (3): 11-21.

Grootaert, Christian. 1999 Social Capital, Household


Welfare and Poverty in Indonesia. Washington, D.C.:
The World Bank.

Hadiwigeno, Soetatwo dan Agus Pakpahan 1993


Identifikasi Wilayah Kemiskinan di Indonesia.‖
Prisma. XII (3): 23-32.

Hikam, Muhammad A.S. 1996 Demokrasi dan Civil Society.


Jakarta: LP3ES.

Holstein, James A. and Jaber F. Gubrium 1994


Phenomenology, Ethnomethodology, and
Interpretive Practice. In Norman K. Denzin and
Yvonna S. Lincoln (eds.). Handbook of Qualitative
Research. Thousand Oaks: Sage Publications.

Julian, Joseph and William Kornblum , 1983 Social


Problems. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.

Khan, Shaheen Rafi and Damian Killeen. 2006 . Poverty and


Environment: From pure survival to subsistence and
beyond.

Klasen, Stephan. 2005 Economic Growth and Poverty


Reduction: Measurement and Policy Issues.
Groningen: University of Göttingen.

Korten, David C. 1984. People-Centered Development:


Toward a Framework.‖ In David C. Korten and Rudi

206
Klauss (eds.). People-Centered Development:
Contributions toward Theory and Planning
Frameworks. West Hartford: Kumarian Press,
pp.299-309. Lewis, Oscar 1981 Kebudayaan
Kemiskinan. dalam Andre Bayo Ala (penyunting).
Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Yogyakarta: Liberti.

Lichter, Daniel T., et.al. 2005. Poverty and Economic


Polarization among America‘sMinority and
Immigrant Children. Columbus: The Ohio State
University.

Quibria, M.G. 1991. Understanding Poverty: An


Introduction to Conceptual and Measurement Issues.‖
Asian Development Review. 2(9).

Sajogjo, 1986. Beragam Penjelasan Hal Kemiskinan. Prisma.


XV(10).

1993 Pemikiran tentang Kemiskinan di Indonesia: Dari


Masa Penjajahan sampai Masa Pembangunan.‖
Prisma. XII (3).

Suharyo,et.al, 2006. Peningkatan Kapasitas Pemerintah


Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui
Analisis Kemiskinan Partisipatoris (AKP). Laporan
Penelitian. Jakarta: Smeru. Diakses dari
http://www.smeru.or.id/report/research/jbic2/jbic2_in
d.pdf. Tanggal 14 Oktober 2009.

Suparlan, Parsudi. 1980. Lapangan Kerja bagi Penduduk


Berpenghasilan Rendah di Kota.‖ Widyapura. (6 (2).

Tambunan, Tulus. 2006 . Urban Poverty and Effectiveness of

207
Social Safety Net in Indonesia.

Walujadi, Dedi.1999. Pengentasan Kemiskinan. Kompas.


Rabu, 18 Agustus.

Widiyanto, Paulus, 1993. Suara Si Miskin. Prisma. XII (3).

Zaidi, Asif and Usman Iftikhar. 2006. Poverty Reduction and


Human Capital: Poverty Environment Nexus.

Kompas

1999a JPS Kacau Balau, Kembali ke IDT. Kamis, 22 Juli.

1999b JPS Program Delayed Because of Bureaucracy‖ Senin,


15 February.

1999c Mencengangkan JPS Salah Alamat. Sabtu, 24 April.

2000 Program Pengentasan Kemiskinan akan Dibuat


Terpadu. Sabtu, 15 April.

2001a Pemberantasan Kemikinan, Jangan Lagi Dijadikan


Proyek. Kamis, 8 November.

2002a. Kemiskinan Jawa Timur, Apa Itu…? Selasa, 8 Januari.

2002b Kemiskinan di Indonesia Semakin Kritis. Selasa, 30


April.

2003 Pelaksanaan Gardu Taskin Melahirkan Berbagai


Penyimpangan. Sabtu, 8 Februari.

208
Implikasi Sosial Diskriminasi Gender: Studi
Kampung Bungung Katammung, Kabupaten Bantaeng

Oleh:
Nursalam*

A. Pendahuluan
Keadilan dalam kehidupan masyarakat seharunya dapat
dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat tampa mengenal
status, jabatan, ras,suku, dan jenis kelamin, sehingga tercipta
kehidupan sosial yang adil dan makmur tampa adanya
diskriminasi, namun realitas sosial yang terjadi, ternyata
masih banyak ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat
termasuk dalam ketidakadilan yang membedakan jenis
kelamin antar laku-laki dan perempuan (biologis).
Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua
bidang, mulai dari tingkatan internasional, Nasional dan lokal,
selain itu juga terjadi dalam berbagai bidang kehidupan sosial
seperti ekonomi, politik, agama, pendidikan dan budaya
bahkan sampai tingkatan rumah tangga. Abdullah, Irwan
(1998:34) mengatakan diskriminasi gender tersebut telah
menimbulkan embrio berbagai probelmatika bagi kehidupan

*
Dr. Nursalam, M.Si, Pengajar Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas
Muhammadiyah Makassar.

209
perempuan yang bukan hanya mrmpengaruhi fisik namun
juga aspek psikis perempuan. Diskriminasi gender dalam
masyarakat juga terjadi pada masyarakat Kampung Bungun
Katammung Kecamatan Bissappu Kabupaten Bantaeng.
Bentuk diskriminasi gender sangat terlihat jelas dalam segala
aspek kehidupan masyarakat seperti dalam hal pendidikan
masyarakat Kampung Bungun Katammung lebih
mengutamakan anak laki-laki untuk menuntut ilmu
dibandingkan kaum perempuan.

B. Landasan Teori
Gender dan Seks
Boserup, Ester (1984:66) mengatakan diskriminasi
gender adalah adanya perbedaan, pengecualian/pembatasan
yang dibuat berdasarkan peran dan norma gender yang
dikonstruksi secara social. Budiman Arief, (1985:72)
mengatakan gender (asal kata gen); perbedaan peran, tugas,
fungsi, dan tanggung-jawab serta kesempatan antara laki-laki
dan perempuan karena dibentuk oleh tata nilai sosial budaya
(konstruksi sosial) yang dapat diubah dan berubah sesuai
kebutuhan atau perubahan zaman (menurut waktu dan ruang),
sedangkan Cattleya Leya, (2006:45) mengatakan gender
adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggung-jawab
laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat

210
berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Dengan
demikian gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab
keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang
dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan
tanggung-jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil
konstruksi sosial budaya masyarakat. Perbedaan laki dan
perempuan menurut Mansour Fakih 1999: 16).

Gender Sex (Jenis Kelamin)


Dapat berubah Tidak dapat berubah
Dapat dipertukarkan Tidak dapat dipertukarkan
Tergantung waktu Berlaku sepanjang masa
Tergantung budaya setempat Berlaku di mana saja
Bukan merupakan Kodrat Tuhan Merupakan Kodrat Tuhan
Buatan manusia Ciptaan Tuhan

Lips, Hilary M. (1993: 33) mengatakan gender adalah


suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan
emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender
berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama
sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dalam
Ibrahim dkk, (1998:36). Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi

211
kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek nonbiologis
lainnya (Megawangi Ratna 1999:56). Kalau studi sex lebih
menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan
komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada
perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang,
seperti yang dikemukakan oleh Munir, Lily Zakiyah
(1999:21), yaitu:

Aspek Laki-laki Perempuan


Sifat Maskulin Feminim
Fungsi Produksi Reproduksi
Ruang lingkup Publik Domestik
Tanggung-jawab Nafkah utama Nafkah
tambahan

Teori Peter L. Berger (Konstruksi Realitas Sosial Gender)


Konstruksi sosial adalah proses menciptakan
pengetahuan dan realitas sosial melalui interaksi simbolis
dalam suatu kelompok sosial. Jadi, pengetahuan dan realitas
muncul dari persepsi manusia. Realitas adalah hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap
dunia sosial di sekelilingnya. Dan kekuatan utama yang
sangat berperan dalam dunia sosial adalah media massa. Oleh
karena itu, perspektif atau theoretical framework yang
digunakan untuk menjelaskan konstruksi realitas gender

212
adalah teori konstruksi realitas sosial Peter L Berger. Berger
dalam Ritzer (2004) mengatakan manusia dan masyarakat
adalah produk dialektis, dinamis dan plural secara terus
menerus dan memandang masyarakat sebagai produk manusia
dan manusia sebagai produk masyarakat, yang tentunya
melalui komunikasi dalam hal ini media massa. Proses
dialektis tersebut berlangsung dalam suatu proses tiga tahapan,
yaitu: eksternalisasi (penyesuaian diri), yaitu usaha
pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu
hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia tersebut (mengalami proses
institusionalisasi). Ketiga, internalisasi (penghayatan) yaitu
penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran
sedemikian rupa sehingga subjektivitas individu dipengaruhi
oleh struktur dunia social (berger dan Lukman dalam Ritzer
(2012)
Berkaitan dengan gender Caraway, Tery. L, (1998:76)
mengatakan gender pada hakikatnya merupakan hasil
konstruksi sosial dalam masyarakat sehingga gender bukanlah
suatu yang statis ataupun bawana sejak lahir (kodrat),
kostruksi sosial tentang gender meliputi tiga konstuksi , yaitu
Kostruksi Biologis, Budaya, dan Agama

213
Teori gender
Abdullah Irwan, (2001:55) mengatakan dalam
membahas permasalahan gender berarti membahas
permasalahan perempuan dan juga laki – laki dalam
kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender,
termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2
aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun
demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang
diilhami dari dua konsep teori tersebut yang merupakan
kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori
equilibrium.
 Teori Nature dan Teori Fungsional: Talcott Parsons
(AGIL)
Menurut teori nature adanya pembedaan laki – laki dan
perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Hartini
Titik, (2006:24) mengatakan perbedaan biologis itu
memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua
jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda.
Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada
yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat
alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa
ada beberapa kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak
menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan
berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi

214
ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat
ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak
dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini
berdampak pula terhadap laki – laki.
Parsons (Ritzer, 2004) menjelaskan bahwa masyarakat
menjalankan perilaku gender melalui variasi alat-alat kontrol
sosial misal orang akan masuk dalam definisi kultural gender
yang memproduksi identitas gender yang akan dimiliki oleh
mereka artinya sejak lahir mereka sudah memiliki fondasi
tentang peran yang akan dijalani dalam masyarakat. Kultur
merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan
disamping itu kultur juga menengahi interaksi antar aktor,
mengintegrasikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.
Sedangkan menurut Johnson dalam Ritzer, (2004:124)
mengatakan gender terintegrasi kedalam masyarakat baik
secara kultur maupun moralitas. Jadi didalam sistem sosial,
sistem diwujudkan dalam nilai dan norma serta sistem
kepribadian Norma kultur terinternalisasi pada aktor dan
terinstitusionalisasi pada sistem sosial artinya pengaturan
kebutuhan individu dipengaruhi oleh orientasi dan harapan
peran, sehingga dalam mengkaji gender dapat digunakan teori
Talcott parsons yang dikenal dengan AGIL (adaptation, goal,
integration dan latent). Talcott Parsons & Bales dalam Heraty,
Toeti, (1999: 53). dalam menilai bahwa pembagian peran

215
secara seksual adalah suatu yang wajar Dengan pembagian
kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan
dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih
antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami
ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi
peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.
Hubungan teori nature memiiki hubungan dengan teori
fungsional karena dengan teori nature sepaham dengan teori
fungsional bahwa antara laki-laki dengan perempuan haruslah
memilki peran yang berbeda dalam masyarakat, dapat dilihat
pada gambar berikut.

Beda biologis dan Laki-laki (maskulin) Struktural


naluri perempuan feminim fungsional

Masyarakat
Teori nature Strata dan tugas
Keluarga

 Teori Nuture dan Teori konflik Karl Marx (Dialektika)


Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan
dan laki – laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda (Subhan
Zaitunah, 2004:32). Perbedaan itu membuat perempuan selalu
tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

216
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan
laki – laki dalam perbedaan kelas. Laki – laki diidentikkan
dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar.
Teori konflik Karl Marx dalam Ritzer (2012) tentang
pertentangan kelas berjuis dan poretar dalam memperebutkan
alat-alat ekonomi, juga terjadi pada pertentangan kaum
laki-laki dengan kaum perempuan dalam memperebutkan
otoritas karena adanya Pembagian kelas. Sedangkan menurut
Engels dalam Nasaruddin Umar, (1999: 61) mengatakan
Hubungan laki-laki perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya
dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau
pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan
peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari
Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.
Subhan Zaitunah, (2002:29) mengatakan bahwa
penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan
perkembangan produksi perdagangan. Keluarga, menurut
teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan
seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem
yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman
biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang
operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender
dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau
patriarkat. Hubungan antara teori nurture dengan teori konflik

217
sangat erat kaitannya karena karena adanya nurture
mengakibatkan konflik sosial antara laki-laki dan perempuan,
hal tersebut dapat dilihat dari gambar berikut :

Teori nurture Setiap manusia


mempuyai hak yang Mengejar
sama kesamaan

Perbedaan adalah Menindas


Ditindas Teori konflik
konstruksi sosial

 Teori Sosio-Biologis dan Teori Equilibrium


Pierre van den Berghe dalam Subhan, Zaitunah,
(2004:32). teori ini yang intinya bahwa semua pengaturan
peran jenis kelamin tercermin dari ―biogram‖ dasar yang
diwarisi manusia modern dari nenek moyang primal dan
hominid mereka. Intensitas keunggulan laki-laki tidak saja
ditentukan oleh faktor biologis tetapi elaborasi kebudayaan
atas biogram manusia. Teori ini disebut ―biososial‖ karena
melibatkan faktor biologis dan sosial dalam menjekskan reksi
jender.
Teori Sosio-Biologis ini merupakan pengambungan
kedua teori yang sudah lebih dahulu yaitu; ”nature”
dan ”nuture”. Teori ini disebut juga bio-seksual. Disebut
demikian karena intinya adalah bahwa semua pengaturan

218
peran jenis kelamin tercermin dari biogram dasar yang
diwarisi manusia dari nenek moyang mereka. Keunggulan
laki-laki yang ada hingga sekarang tidak saja ditentukan oleh
faktor biologis, tetapi juga akibat elabosai kebudayaan atas
biogram manusia.
Disamping terdapat teori yang bersifat kompromistis
yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang
menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam
hubungan antara perempuan dengan laki – laki (Subhan,
Zaitunah, 2004:34). Pandangan ini tidak mempertentangkan
antara kaum perempuan dan laki – laki, karena keduanya
harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Teori
yang menjadi jalan tengah dari teori nurture atau teori konflik
dengan teori nature atau teori struktural fungsional, teori
tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Jika teori Struktural fungsional, teori Nurture/teori


Konflik, dan teori sosiobiologi/ equilibrium digabung menjadi
satu maka akan tercipta suatu deskripsi gender dan akhirnya

219
menciptakan suatu keadilan dan kesetaraan gender seperti
yang tertera pada gambar berikut ini :

C. Hasil dan Pembahasan


Faktor penyebab diskriminasi gender
Faktor budaya
Budaya masyarakat kampung bungung Katammung yang
menganut sistem partriarki ( mementingkan kaum laki-laki
dari pada perempuan) yang didukung oleh nilai
panggada’kang yang mementingkan laki-laki dalam
upacara adat dibandingkan perempuan, sebagai salah
satu faktor penyebab diskriminasi kaum perempuan di
berbagai aspek kehidupan seperti dalam aspek pendidikan,
politik, ekonomi, sosial, agama.

220
Faktor biologis
Perbedaan biologis perempuan dan laki-laki dalam segi
kekuatan merupakan salah satu faktor diskriminasi karena
dalam kehidupan sosial masyarakat Kampung Bungung
Katammung, bekerja di kebun dan di sawah memerlukan
kekuatan dan ketahanan fisik yang hanya dimiliki oleh
kaum laki-laki, sehingga hampir semua pekerjaan di
dominasi oleh laki-laki, seperti dalam hal a’ bingkung
(membajak sawah), a’nangkala (menggarap sawah) ,
angyompo (memikul), selain itu karena perempuan
diangggap kaum lemah sehingga mudah untuk
diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki.

Faktor agama
Ajaran agama islam merupakan salah satu faktor penyebab
perbedan laki-laki dan perempuan karena dalam
kepercayaan masyarakat yang beragama islam mengangap
laki-laki adalah pemimpin (iman) bagi kaum perempuan
sehingga setiap perkataan dan perintah laki-laki atau suami
adalah amanat yang harus di patuhi dan dijalankan oleh
kaum perempuan, bagi yang melanggar akan dianggap
menyalahi ajaran agama islam.

221
Bentuk Diskriminasi Gender
Marjinalisasi
Proses pengerjaan pekerjaan yang terdapat di sawah
atau di kebun lebih diutamakan laki-laki daripada perempuan,
perempuan hanya mengerjakan hal yang kecil saat panen di
sawah seperti mengait padi (akkattere’) dan merontok pada
(appatappasa’). Sedangkan di kebun perempuan hanya
mengerjakan proses menanam jagung (a’lamung) dan pada
saat memetik jangung (angyappei), Sehingga akan mengalami
proses pemiskinan karena hanya mendapat upah yang sedikit
pula.

Subordinasi Perempuan
Subordinasi perempuan pada Kampung Bungung
Katammung terlihat dalam bebagai aspek seperti masyarakat
lebih mendahulukan atau mementingkan laki-laki untuk
assikola (menuntut ilmu) , malli motoro’ (membeli
kendaraan), dan ngangre (makan) dari pada kaum perempuan.

Sterotip Perempuan
Stereotip yang ada di Kampung Bungung Katammung
untuk perempuan adalah perempuan itu memiliki pekerjaan di
rumah seperti kasoro, pallu, bungung (kasur, dapur, sumur)
bukan di ruang publik, sehingga perempuan lebih banyak

222
memilih pekerjaan domestik seperti mengurus anak dan
mengurus suami, sedangkan laki-laki untuk bekerja diluar
atau di publik sehingga wajar kalau laki-laki berkelana dan
menuntut ilmu.

Violence
Kekerasan yang terjadi pada perempuan terdiri dari dua
yaitu kekerasan fisik seperti pemukulan oleh suami terhadap
intrinya , pemukulan anak perempuan oleh saudara atau
ayahnya selain itu kekerasan spikis pun sering dialami hal
tersebut terjadi pada perempuan yang sudah berkeluarga,
karena sering dibentak-bbentak oleh suami ketika pulang dari
minum-minum ballo’.

Double Burden
Beban ganda yang terjadi pada perempuan yang ada di
Kampung Bungung Katammung terjadi pada hampir semua
perempuan karena hampir semua pekerjaan rumah (domestik)
dikerjakan perempuan, dan banyak juga diantara mereka yang
ikut membantu suami diluar rumah mencari nafkah seperti
membantu di sawah (kattere’) atau di kebun (nyapppei),
sehingga pekerjaan perempuan double dari pekerjaan rumah
tangga sampai pekerjaan diluar rumah.

223
Solusi Diskriminasi Gender
Hasil penelitian menujukkan bebbagai upaya untuk
mengatasi permasalahan diskriminasi gender dalam
masyarakat Kampung Bungung Katammung.
1. Equilibrium merupakan salah satu solusi dari diskriminasi
gender yaitu adanya kesadaran kaum laki-laki dan
perempuan bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban
yang sama selain itu antara kaum perempuan dan laki-laki
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain,
sehingga tercipta kerjasama antar keduanya, tampa ada
yang merasa dirugikan atau didiskriminasi.
2. Dekonstruksi labeling yang bersifat negatif bagi kaum
perempuan seperti kaum perempuan adalah kaum yang
lemah, perempuan memiliki pekerjaan di ruang domestik
(kasur, sumur dan dapur) setelah itu dilakukan rekontruksi
labeling yang bersifat positif terhadap perempuan seperti
perempuan itu kaum yang bisa diandalkan bekerja.
3. Pemahaman nilai-nilai agama, karena pada hakikatnya
agama tidak membedakan kemulyaan antara laki-laki dan
perempuan kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah
SWT, perempuan diciptakan untuk dilindungi dan
disayangi, bahkan islam hadir untuk membebaskan
perempuan dari ketidakadilan dari kaum laki-laki.
Diskriminasi gender disebabkan oleh konstruksi

224
sosial budaya, kostruksi biologi dan kostruksi agama, yang
menyebabkan berbagai bentuk diskriminasi seperti
marjinalisasi, subordinasi, streotipe, violence dan double
barden, hal yang perlu diperlukan dekostruksi lebeling
gender, pemahaman nilai-nilai sosial dan agama, dan
equilibrium.

D. Kesimpulan
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya diskriminasi Gender di
Kampung Bungung Katammung Kabupaten Bantaeng
adalah faktor konstruksi biologi, faktor konstruksi sosial
budaya dan konstruksi ajaran agama yang ada dalam
masyarakat.
2. Bentuk Diskriminasi gender di Kampung Bungung
Katammung Kabupaten Bantaeng adalah marjinalisasi,
subordinasi, streotipe, violence (kekerasan), double burden
(beban ganda) pada kaum perempuan.
3. Solusi diskriminasi gender di Kampung Bungung
Katammung Kabupaten Bantaeng adalah equilibrium
(keseimbangan pekerjaan atau saling membantu dalam
keluarga), pemahaman nilai-nilai agama/ sosial dan
dekonstruksi labeling negatif tentang perempuan kemudian
mengkostruksi labeling positif.

225
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan (1998), Rekonstruksi Gender terhadap
Realitas Wanita, dalam Bainar (ed) : Wacana
Perempuan dalam Keindonesiaan dan
Kemodernan, Yogyakarta : PT. Pustaka
Cidesindo.

Abdullah, Irwan, (2001, Seks, Gender & Reproduksi


Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang Press.

Abdullah, Irwan, (2006), Dari Domestik ke Publik: Jalan


Panjang Pencarian Identitas Perempuan, dalam
Abdullah (Ed): Sangkan Paran Gender, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.

Boserup, Ester (1984), Peranan Wanita dalam Pembangunan


Ekonomi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Budiman, Arief, (1985). Pembagian Kerja Secara Seksual,


Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran
Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Caraway, Tery. L, (1998), Perempuan dan Pembangunan,


dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.

Cattleya, Leya, (2006), Pelembagaan Akuntabilitas


Pengarusutamaan Gender: Bukan Sesuatu yang
Mustahil, dalam Jurnal Perempuan, No. 50,
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Dewi, Sinta R, (2006), Gender Mainstreaming Feminisme,


Gender dan Transformasi Institusi, dalam Jurnal
Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal

226
Perempuan.

Engle, Patrice L, (1998, Upaya Untuk Meraih Kesetaraan


Gender dan Untuk Mendukung Anak-anak, dalam
Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.

Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender & Transformasi


Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Hadiz, Lisa (1998), Elizabeth Cady Stanton (1815-1902),


dalam Jurnal Perempuan, No. 07, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.

Hakeem, Ali Hosein. (2005) Membela Perempuan Menalar


Feminisme dengan Nalar Agama.. Al-Huda:
Jakarta.

Hartini, Titik, (2006), Pengarusutamaan Gender dan


Pemberdayaan Perempuan, dalam Jurnal
Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.

Heraty, Toeti, (1999), Perempuan dan Hak Asasi Manusia,


dalam Jurnal Perempuan, No. 09, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.

Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed), (1998). Wanita


dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Illich, Ivan (1998). Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction.


London: Myfield Publishing Company.

227
Mosse, Julia Cleves. (1996). Gender dan Pembangunan.
Yogyakarta: Rifka Annisa Women‘s Crisis Center
dan Pustaka Pelajar.

Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut


Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung:
Mizan. Cet. I.

Munir, Lily Zakiyah, (ed), 1999. Memposisikan Kodrat.


Bandung: Mizan.

Muchtar, Yati. (2001). Gerakan Perempuan Indonesia Dan


Politik Gender Orde Baru.

Soewondo, Nani. (1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam


Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.

Soekito, Sri Widoyatiwiratmo. (1989). Anak Dan Wanita


Dalam Hukum. LP3ES: Jakarta.

Sutanto, Roni (2004), Gender dan ICT: Isu Baru Upaya


Pemberdayaan Perempuan di Indonesia, 2004,
Warta Demografi Th. 34 No. 1, Jakarta.

Silawati, Hartian,(2006), Pengarusutamaan Gender: Mulai


Dari Mana, dalam Jurnal Perempuan, No. 50,
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Soeparman, Surjadi, (2006), Mengapa Gender Mainstreaming


Menjadi Aksi Nasional, dalam Jurnal Perempuan,
No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender:


Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.

228
Ritzer George. (2006). Teori Sosiologi dari sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

(2011). Sosiologi Ilmu Berparadigma


Ganda.Jakarta : PT Grafindo Persada.

(2012). Teori Sosiologi dari sosiologi Klasik


Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

229

Anda mungkin juga menyukai