Anda di halaman 1dari 44

Case Report Session

BATU SALURAN KEMIH DAN BENIGN PROSTATE


HYPERPLASIA

Disusun Oleh :
Chofifi Cesyara Hayati
2210070200026

Preseptor :
dr. Khomeini, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH
RUMAH SAKIT ISLAM SITI RAHMAH
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat-Nya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tugas case report

session ini yang berjudul “Batu Saluran Kemih dan Benign Prostate

Hyperplasia”. Case report session ini dibuat untuk memenuhi syarat

kepaniteraan klinik senior di bagian Bedah Rumah Sakit Islam Siti Rahmah

Padang.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Khomeini Sp. B selaku

pembimbing penyusunan case report session ini dengan memberikan bimbingan

dan nasehat dalam penyelesaian case report session ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada

teman-teman serta staf bagian bedah dan semua pihak yang telah membantu

dalam menyelesaikan case report session ini. Dengan menyadari sepenuhnya

bahwa masih banyak kelemahan yang terdapat dalam penulisan case report

session ini, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan case

report session selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Padang, 20 September 2023

Chofifi Cesyara Hayati

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 1
1.2 Tujuan...................................................................................................... 3
1.2.1 Tujuan Umum................................................................................ 3
1.2.2 Tujuan Khusus................................................................................ 3
1.3 Batasan Masalah...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5
2.1 Batu Saluran Kemih.............................................................................. 5
2.1.1 Definisi........................................................................................... 5
2.1.2 Epidemiologi.................................................................................. 5
2.1.3 Etiologi........................................................................................... 5
2.1.4 Berdasarkan Jenis Batu.................................................................. 10
2.1.5 Berdasarkan Lokasi........................................................................ 10
2.1.6 Patofisiologi................................................................................... 10
2.1.7 Manifestasi Klinis.......................................................................... 12
2.1.8 Diagnosis........................................................................................ 13
2.1.9 Perbedaan Gejala............................................................................ 14
2.1.10 Komplikasi................................................................................... 14
2.1.11 Prognosis...................................................................................... 14
2.1.12 Penatalaksanaan........................................................................... 15
2.2 Benign Prostate Hyperplasia..................................................................... 16
2.2.1 Anatomi Prostat.............................................................................. 15
2.2.2 Definisi........................................................................................... 18
2.2.3 Epidemiologi.................................................................................. 19
2.2.4 Etiologi........................................................................................... 19
2.2.5 Patogenesis..................................................................................... 20
2.2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................... 23
2.2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis............................................................ 23
2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................. 25
BAB III Kesimpulan...................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Urolithiasis berasal dari bahasa Yunani yang teridiri dari kata ouron (urin) dan
lithos (batu). Batu saluran kemih atau urolithiasis merupakan batu atau kalkuli yang
terdapat di saluran kemih. Batu terbentuk dari kristal-kristal yang mengandung bahan
organik maupun anorganik. Zat kristal organik yaitu asam urat dan purin sedangkan
zat anorganik seperti kalsium oksalat, kalori kalsium fosfat, dan magnesium amonium
fosfat (MAP). Batu memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari beberapa milimeter
sampai 1-2 cm. Batu saluran kemih biasanya memiliki warna, bentuk dan konsistensi
yang berbeda. Semakin terang warnanya, semakin tinggi kandungan zat organiknya.
Insiden batu saluran kemih lebih tinggi di Amerika Serikat, Timur Tengah,
dan insiden lebih rendah terjadi di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan di Afrika.
Di Amerika Serikat pada tahun 2012 prevalensi penyakit batu ginjal 8,8 persen. Di
Indonesia, orang menderita batu saluran kemih sebesar 0,6 persen. Prevalensi
tertinggi di Yogyakarta (1,2%), diikuti oleh Aceh (0,9%), Sulawesi Tengah, Jawa
Barat, Jawa Tengah dengan masing-masing prevalensi 0,8%. Proses pembentukan
batu tidak dapat dipahami dengan jelas atau idiopatik dan ada beberapa teori yang
menjelaskan proses terbentuknya batu saluran kemih. Teori pertama kurangnya zat
yang dapat mencegah kristalisasi dalam urine, seperti sitrat, pirofosfat, glikoprotein,
magnesium, neprocalcin, dan uropontin. Teori lain berkaitan dengan volume cairan
pasien. Mengkonsumi air putih 2-3 liter setiap harinya diharapkan tubuh akan
menghasilkan minimal 2 liter air kemih sehingga koefisien ion aktif setara dengan
proses kristalisasi air kemih, karena batu lebih cenderung terjadi pada pasien yang
mengalami dehidrasi. Pada saat dehidrasi kosentrasi urine akan mengalami
peningkatan. Selain itu ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan batu saluran
kemih.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan batu saluran kemih, yaitu faktor

1
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain usia, jenis kelamin, riwayat
keluarga. Faktor ekstrinsik meliputi keadaan geografi, iklim dan temperatur tempat
tinggal, asupan air setiap hari, diet tinggi kalsium, oksalat, purin, dan pekerjaan yang
mengharuskan banyak duduk atau kurangnya aktifitas fisik. Proses pembentukan batu
ada hubungannya dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, dan dehidrasi.
Orang berkulit putih lebih berisiko terjadi pembentukan batu saluran kemih dibanding
orang dengan kulit berwarna hitam. Hipertiroidisme dan infeksi yang berulang juga
dapat menyebabkan pembentukan batu.
Terapi yang digunakan bergantung pada letak dan ukuran batu. Pengeluaran
batu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti medikamentosa, Extracorporeal
Shockwave Lithotripsy (ESWL), tindakan endourologi, bedah laparoskopi, atau
bedah terbuka. Medikamentosa digunakan pada ukuran batu kurang dari 5 mm,
dengan harapan batu bisa keluar bersama aliran urine. ESWL digunakan untuk
memecahkan batu yang berada pada ginjal, ureter, atau buli-buli menggunakan
gelombang kejut berulang untuk memecahkan batu menjadi kecil dan dikeluarkan
bersamaan dengan urine tanpa melakukan tindakan invasif. Tindakan endourologi
merupakan tindakan memasukan alat melalui uretra atau dilakukan insisi pada kulit.
Bedah laparoskopi biasa digunakan untuk pengambilan batu ureter. Pengambilan batu
dengan cara bedah terbuka ini dilakukan di klinik yang belum memiliki fasilitas
seperti ESWL dan Endourologi .
Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (benign prostatic
hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. BPH dapat dialami oleh sekitar 70% pria di
atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80
tahun. Sedangkan di Indonesia BPH merupakan penyakit tersering kedua pada
penyakit kelenjar prostat, dan memiliki risiko pada laki-laki yang berumur lebih dari
50 tahun sebesar 6,24 kali lebih besar dibanding dengan laki-laki yang berumur
kurang dari 50 tahun. Faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit BPH
cukup beragam baik dari faktor yang tidak dapat diubah maupun yang dapat diubah.
Genetika, usia, dan geografi merupakan faktor yang tidak dapat diubah, sedangkan

2
faktor yang dapat diubah pada penyakit benign prostatic hyperplasia adalah gaya
hidup.
BPH merupakan salah satu keadaan yang menyebabkan gangguan miksi yaitu
retensio urin yang mengakibatkan supersaturasi urin, sehingga rentan untuk
terbentuknya batu buli. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
BPH diantaranya teori dihidrotestosteron, teori ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, teori interaksi stroma-epitel, teori berkurangnya kematian sel prostat,
serta teori sel stem. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa
LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urine.
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli - buli. Dari pemeriksaan colok
dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan
adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Pemeriksaan
penunjang lain yang dapat dilakukan adalah urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal,
pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), dan pencitraan (foto polos abdomen,
pielografi intravena atau PIV, pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS,
atau ultrasonografi transabdominal). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat
diperkirakan dengan cara mengukur residual urine dan pancaran urine.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan membahas mengenai batu saluran kemih dan benign prostate
hyperplasia.
1.2.2 Tujuan Khusus

3
Mengetahui dan memahami mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan dari batu saluran
kemih dan benign prostate hyperplasia.
1.3 Batasan Masalah
Case Report Session ini membahas teori tentang batu saluran kemih dan
benign prostate hyperplasia berupa definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
diagnosis, dan tatalaksana.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Saluran Kemih


2.1.1 Definisi
Batu Saluran Kemih atau BSK merupakan penyakit dimana terdapat massa
keras di sepanjang saluran kemih, baik itu saluran kemih bagian atas (ginjal dan
ureter) maupun bagian bawah (kandung kemih, uretra) yang dapat terbentuk karena
terjadinya proses pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein.

2.1.2 Epidemiologi
Batu saluran kemih merupakan penyakit yang menempati urutan ketiga
terbanyak di bidang urologi setelah infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat
jinak. Prevalensi BSK semakin meningkat di seluruh dunia maupun Indonesia. Di
Indonesia BSK menempati porsi terbesar dari seluruh pasien di klinik urologi. Data
dalam negeri dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo
menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah BSK yang mendapat tindakan yaitu 86%
dari seluruh tindakan pelaksanaan batu saluran kencing sejak dipergunakan alat non-
invasive Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL). Pada 7-10 dari 1000 pasien
yang datang ke rumah sakit merupakan kasus batu saluran kemih .
Menurut studi yang dilakukan Adi dan Fauzi (2016), laki-laki lebih beresiko
terkena penyakit batu saluran kemih dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan
karena kadar kalsium yang memiliki peran sebagai agen utama pembentuk batu
didapatkan lebih rendah pada perempuan dibandingkan laki-laki dan kadar sitrat urin
yang berperan dalam mencegah terbentuknya batu lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Puncak umur terjadinya BSK ialah pada dekade ketiga dan
dekade keempat .

2.1.3 Etiologi
Penyebab pembentukan batu pada saluran kemih belum diketahui secara pasti

5
oleh karena banyaknya faktor yang terlibat. Diduga dua proses yang terlibat dalam
BSK yakni supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang
menyusun batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume urin dan
kimia urin menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, natrium
hidrogen urat, asam urat, dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan
oksalat kemudian melekat di inti untuk membentuk campuran batu. Walaupun
penyebab terbentuknya batu masih belum diketahui secara pasti beberapa faktor telah
diteliti yang menjadi dasar faktor resiko terbentuknya batu, yaitu:
1) Umur
Secara historis, kejadian batu ginjal jarang terjadi pada individu di
bawah usia 20 tahun. Namun, selama beberapa dekade terakhir penyakit batu
telah meningkat pada tingkat 5% sampai 10% setiap tahun pada populasi
anak. Database Sistem Informasi Kesehatan Anak, yang mencakup
penerimaan pasien rawat inap dan kunjungan bedah darurat dan rawat jalan
untuk 42 rumah sakit anak di Amerika untuk pasien yang dirawat karena batu
antara 1999 dan 2008. Mereka menemukan bahwa porsi pasien anak-anak
dengan urolitiasis meningkat dari 18,4 per 100.000 pada tahun 1999 menjadi
57,0 per 100.000 pada tahun 2008, menunjukkan peningkatan tahunan rata-
rata sebesar 10,6% (P<0,0001). Meskipun peningkatan penyakit batu di antara
anak-anak telah diamati secara konsisten, faktor-faktor yang menyebabkan
tren ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Telah disarankan bahwa
perubahan epidemiologi, di mana faktor risiko seperti obesitas dan sindrom
metabolik yang mempengaruhi batu ginjal lebih sering mempengaruhi
generasi yang lebih muda, mungkin berperan.
Pada orang dewasa, kejadian batu ginjal memuncak pada dekade
keempat hingga keenam kehidupan. Insiden puncak pada kelompok usia 60
hingga 69 tahun pada pria tetapi mengamati perubahan yang relatif kecil pada
insiden antara usia 20 dan 70 tahun pada wanita, dengan insiden yang sedikit
lebih tinggi pada wanita dalam kelompok usia 30 hingga 39 dan 60 hingga 69
tahun52. Wanita menunjukkan distribusi bimodal penyakit batu, yang

6
menunjukkan puncak kedua dalam insiden pada dekade keenam kehidupan
terkait dengan permulaan menopause dan penurunan kadar estrogen. Temuan
ini dan insiden penyakit batu yang lebih rendah pada wanita dibandingkan
dengan pria dikaitkan dengan efek perlindungan estrogen terhadap
pembentukan batu pada wanita premenopause karena peningkatan penyerapan
kalsium ginjal dan penurunan resorpsi tulang. Wanita pascamenopause yang
diobati dengan estrogen memiliki kalsium urin dan saturasi kalsium oksalat
yang lebih rendah daripada wanita yang tidak diobati.
2) Jenis Kelamin
Secara historis, penyakit batu lebih sering menyerang pria dewasa
daripada wanita dewasa. Dengan berbagai indikator, termasuk rawat inap,
kunjungan rawat jalan, dan kunjungan gawat darurat, pria terkena dua sampai
tiga kali lebih sering daripada wanita. Namun, bukti terbaru menunjukkan
bahwa perbedaan insiden antara pria dan wanita semakin menyempit.
Menggunakan kumpulan data Sampel Rawat Inap Nasional yang mewakili
pasien yang keluar dari rumah sakit, meskipun pengeluaran yang disesuaikan
dengan populasi secara keseluruhan untuk diagnosis batu ginjal atau ureter
meningkat hanya 1,6% dari tahun 1997 hingga 2002, pemulangan untuk
wanita meningkat sebesar 17%, sementara pemulangan untuk pria menurun
sebesar 8,1%. Tren ini mencerminkan perubahan rasio pemulangan dari laki-
laki ke perempuan dari 1,7 pada tahun 1997 menjadi 1,3 pada tahun 2002.
Jika menggunakan data Rochester Epidemiology Project (termasuk kantor,
gawat darurat, dan kunjungan panti jompo serta rawat inap dan rawat jalan)
untuk membandingkan kejadian penyakit batu bergejala baru yang
disesuaikan dengan usia dari 1970 hingga 2000 dan menemukan tren serupa
yang berkaitan dengan jenis kelamin. Meskipun total tingkat penyakit batu
yang bergejala untuk setiap dekade dalam periode waktu ini tetap relatif datar
(P = 0,33), tingkat gejala batu pada pria menurun 1,7% per tahun (disesuaikan
usia P = 0,019) tetapi meningkat pada wanita sebesar 1,9% per tahun
(disesuaikan usia P = 0,064), mengakibatkan penurunan rasio pria-wanita

7
secara keseluruhan dari batu yang bergejala dari 3,2 menjadi 1,3 (P = 0,006)
selama periode ini55. Secara retrospektif menganalisis database dari 2.799
pasien yang memenuhi syarat (1983 laki-laki dan 816 perempuan) di klinik
perawatan batu tersier di Inggris menemukan rasio laki - laki: perempuan
2,43: 1. Selanjutnya, mencatat bahwa prevalensi faktor risiko pembentukan
batu berbeda antara pria dan wanita dalam kohort ini, dengan riwayat
keluarga, infeksi saluran kemih berulang, dan kelainan anatomi yang lebih
sering terjadi pada wanita dan obstruksi gout dan kandung kemih terjadi lebih
sering pada pria. Demikian pula, parameter urin 24 jam menunjukkan
perbedaan jenis kelamin, dengan laki-laki yang mengeluarkan lebih banyak
dan memiliki konsentrasi kalsium, oksalat, dan asam urat yang lebih tinggi,
sedangkan perempuan memiliki kadar sitrat yang lebih tinggi .
3) BMI
Hubungan ukuran tubuh dan insiden penyakit batu telah diselidiki
secara ekstensif. Dalam dua studi kohort prospektif besar pada pria dan
wanita, prevalensi dan risiko kejadian penyakit batu berkorelasi langsung
dengan berat badan dan indeks massa tubuh (BMI) pada kedua jenis kelamin,
meskipun besarnya hubungan lebih besar pada wanita dibandingkan pada pria.
Lebih lanjut, ditemukan bahwa obesitas dan penambahan berat badan
merupakan faktor risiko independen untuk insiden pembentukan batu yang
tidak dapat dijelaskan dengan diet saja. Menyelidiki efek independen dari
asupan kalori, aktivitas fisik, dan BMI pada risiko batu untuk 84.225 wanita
pascamenopause yang tidak memiliki riwayat batu sebelumnya dalam Studi
Observasi Inisiatif Kesehatan Wanita. Mereka menemukan bahwa selain BMI,
aktivitas fisik yang kurang dan peningkatan asupan energi makanan (lebih
dari 2200 kkal / hari)
masing-masing dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian batu ginjal, yang
mendukung komponen diet dan aktivitas fisik dari konseling penurunan berat
badan sebagai bagian dari program pencegahan batu ginjal secara
keseluruhan.

8
Konstelasi obesitas viseral bersama dengan hiperlipidemia,
hipertrigliseridemia, hiperglikemia, dan / atau hipertensi, yang dikenal sebagai
sindrom metabolik, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko batu ginjal.
Menggunakan kumpulan data NHANES III, menemukan bahwa mereka
dengan diagnosis sindrom metabolik secara signifikan lebih mungkin untuk
melaporkan riwayat batu ginjal dibandingkan dengan subjek sehat (8,8% vs
4,3%, masing-masing, P <0,001). Lebih lanjut, mereka menemukan bahwa
prevalensi riwayat batu ginjal yang dilaporkan sendiri meningkat dengan
jumlah ciri sindroma metabolik, dengan prevalensi batu ginjal diperkirakan
3% untuk tanpa ciri, 7,5% untuk tiga ciri, dan 9,8% untuk lima ciri. Analisis
multivariat mengungkapkan bahwa adanya empat atau lima ciri sindrom
metabolik dikaitkan dengan peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam
kemungkinan riwayat batu yang dilaporkan sendiri (OR 2,42, 95% CI 1,57–
3,73).
Sebuah studi tentang partisipan dengan riwayat terbentuknya batu
ginjal dan bukan pembentuk batu di HPFS (599 pria pembentuk batu dan 404
pria bukan pembentuk batu), NHS I (888 wanita tua pembentuk batu dan 398
wanita lansia bukan pembentuk batu), dan NHS II (689 wanita muda
pembentuk batu dan 295 wanita muda yang tidak membentuk batu) dimana
studi urin 24 jam dikumpulkan terkait profil risiko batu kemih dengan BMI.
Subjek dengan BMI lebih tinggi mengeluarkan lebih banyak oksalat urin,
asam urat, natrium, dan fosfor dibandingkan mereka dengan BMI lebih
rendah. Lebih lanjut, dengan penelitian lain, supersaturasi asam urat urin
meningkat dengan BMI. Telah dikemukakan bahwa hubungan obesitas
dengan pembentukan batu kalsium oksalat terutama disebabkan oleh
peningkatan ekskresi promotor pembentukan batu. Sebaliknya, asosiasi
obesitas dan pembentukan batu asam urat lebih banyak dipengaruhi oleh
pH urin.

2.1.4 Berdasarkan Jenis Batu

9
Komposisi batu saluran kemih pada umumnya mengandung kalsium oksalat
monohidrat dan dihidrat, asam urat, ammonium, fosfat, sistin, xantin, dan 2,8-
dihidroxyadenin. Kandungan beberapa senyawa ini bisa mengindikasikan adanya
pembentukan batu jika ditemukan peningkatannnya. Kemudian, jenis-jenis batu yang
sering ditemukan pada pasien batu saluran kemih terbagi secara umum atas 4 jenis,
yaitu:
 Batu kalsium

 Batu asam urat

 Batu struvit

 Batu sistin
Batu kalsium terbagi lagi menjadi batu kalsium oksalat dan batu kalsium
fosfat. Batu yang paling sering ditemukan ialah batu kalsium oksalat. Kalsium oksalat
merupakan senyawa yang sukar larut dalam air dapat dihasilkan akibat terhambatnya
pengeluaran urin. Hal tersebut dilakukan dengan cara supersaturasi urin.
Supersaturasi urin merupakan adanya kelebihan suatu bahan dalam urin hingga
melebihi batas kelarutan dalam urin, bahan-bahan tersebut adalah kalsium oksalat.
Dalam konsenterasi tinggi, terutama jika ditambah dengan pengurangan volume urin,
memudahkan terjadinya kristalisasi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya
supersaturasi adalah pH urin. Sedangkan kristal kalsium oksalat, yang mempengaruhi
adalah rendahnya pH urin, volume urin berkurang.

2.1.5 Berdasarkan Lokasi


Batu ginjal dapat diklasifikasikan menurut posisi anatomi: Upper urinary
tract calculi untuk batu pada ginjal dan ureter, sedangkan lower urinary tract calculi
untuk batu pada kandung kemih dan uretra.

2.1.6 Patofisiologi
Berbagai teori dan faktor yang dapat berpengaruh dikemukakan untuk
menjelaskan terbentuknya batu saluran kemih. Teori-teori tersebut yaitu:

10
1. Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu merupakan
dasar terpenting dan prasyarat untuk terjadinya presipitasi (pengendapan).
Apabila kelarutan suatu produk tinggi dibandingkan titik endapnya, maka
terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan terbentuknya kristal dan pada
akhirnya akan terbentuk batu. Supersaturasi dan kristalisasi terjadi bila ada
penambahan yang bisa mengkristal dalam air dengan pH dan suhu tertentu,
sehingga suatu saat terjadi kejenuhan dan selanjutnya terjadi kristal.
2. Teori Nukleasi
Pembentukan batu berasal dari inti batu yang membentuk kristal atau benda
asing. Inti batu yang terdiri dari senyawa jenuh yang lama kelamaan akan
mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin dengan kepekaan tinggi
lebih beresiko untuk terbentuknya batu karena mudah sekali untuk terjadi
kristalisasi.
3. Teori Inhibitor kristal
Teori ini menegaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk karena rendahnya
konsentrasi ion-ion inhibitor alami dari batu saluran kemih tersebut seperti
magnesium, sitrat, dan pirofosfat. Akan tetapi, teori inhibisi ini masih
diperdebatkan karena banyak orang yang mengalami defisiensi ion-ion
inhibitor tersebut tetapi tidak mengalami pembentukan batu saluran kemih
dan yang mempunyai kelebihan ion-ion inhibitor tersebut malah terbentuk
batu saluran kemih16. Komponen utama pembentukan batu saluran kemih
adalah kristalin. Terdapat beberapa tahapan dalam proses pembentukan kristal
yaitu nukleasi, growth, dan agregasi. Pembentukan kristal tidak dapat terjadi
dalam waktu yang cepat bersamaan dengan filtrasi urin di dalam tubulus
ginjal. Hal ini terjadi apabila di dalam nefron ginjal, konsentrasi zat terlarut
lebih tinggi dari zat pelarut maka nukleasi akan terjadi dalam jangka waktu
yang lama. Jika dari awal sudah terdapat obstruksi di saluran kemih, maka
aliran kemih ke bawah akan melambat, sehingga meningkatkan konsentrasi
zat terlarut yang mempercepat proses nukleasi.

11
Gambar 2.1 Patofisiologi BSK

2.1.7 Manifestasi Klinis

Gejala klinis batu saluran kemih dapat dimulai dari yang tidak bergejala
(asimptomatis), bergejala, hingga gagal ginjal. Gejala klinis yang ditimbulkan
tergantung pada tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi di saluran kemih. Gejala
klinis simptomatis yang dialami penderita batu saluran kemih biasanya berupa nyeri,
baik itu nyeri saat buang air kecil, nyeri pada pinggang atau perut bagian bawah.
1. Nyeri
Karakter nyeri biasanya tergantung pada lokasi batu. Di ginjal nyeri yang
dirasakan dapat bersifat kolik dan atau non kolik. Nyeri kolik ginjal bisa
dikarenakan turunnya batu ke ureter yang sempit sehingga terjadi peregangan
ureter, sedangkan nyeri non kolik ginjal disebabkan oleh distensi pada kapsul
ginjal. Pada BSK ureter bagian tengah nyeri akan dirasakan di daerah perut
bagian bawah, sedangkan pada BSK distal, nyeri dijalankan ke suprapubis vulva

12
pada wanita dan skrotum pada pria.
2. Hematuria
Biasanya pasien akan mengeluh urin keruh yang menandakan adanya sel
epitel atau berwarna merah seperti air the terutama pada kasus obstruksi ureter.
Pemeriksaan urinalisis lengkap dapat menunjukkan gambaran eritrosit dalam urin.
3. Demam
Pada batu saluran kemih gejala demam merupakan tanda kegawatdarutan
karena dapat menyebabkan urosepsis.
4. Infeksi
Batu saluran kemih seringkali berkaitan dengan infeksi sekunder akibat
obstruksi dan stasis di proksimal dari sumbatan. Infeksi akan menimbulkan
peradangan pada saluran kemih dan adanya peradangan tersebut dapat
memperberat obstruksi yang telah terjadi. Pada keadaan yang cukup berat,
peradangan akibat infeksi akan menghasilkan pus, yang bisa berlanjut menjadi
fistula renokutan18.
5. Mual dan muntah
Obstruksi pada saluran kemih bagian atas seringkali akan menyebabkan gejala
mual dan muntah.

2.1.8 Diagnosis
Menurut European Association of Urology penegakan BSK ialah dengan
melihat gejala klinis pasien, seperti nyeri pinggang, hematuria, muntah, dan demam.
Penderita BSK juga bisa tanpa gejala maka sangat diperlukan untuk mengetahui
riwayat klinis dan dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik BSK dimulai dari
pemeriksaan status umum dan pemeriksaan status lokalis urologi. Pemeriksaan
penunjang untuk mendukung penegakan diagnosis batu saluran kemih ialah
pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan urinalisis,pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan kimia darah), pemeriksaan radiologi (BNO-IVP, USG,CT scan), dan
kedokteran nuklir (pemeriksaan renografi dan laju filtrasi glomerulus atau GFR).

13
2.1.9 Perbedaan Gejala

Dianjurkan untuk menggunakan aturan prediksi klinis yang objektif untuk


batu ginjal dalam bentuk kriteria batu. Pasien dengan skor BATU tinggi lebih
cenderung memiliki batu ginjal dan sebaliknya. Berikut adalah beberapa perbedaan
penting yang harus dipertimbangkan pada pasien dengan fitur yang disebutkan di
atas:
 Infeksi saluran kemih bagian bawah
 Pielonefritis
 Abses ginjal
 Aneurisma arteri ginjal
 Apendisitis
 Divertikulitis
 Iskemia mesenterika
 Pankreatitis
 Kolesistitis
 Obstruksi usus halus
 Torsi ovarium
 Dismenore
 Kehamilan ektopik
 Abortus spontan
 Penyakit radang panggul (PID)
 Sembelit

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi termasuk gagal ginjal akut sekunder akibat obstruksi, anuria,


infeksi saluran kemih dengan obstruksi ginjal, dan sepsis.

2.1.11 Prognosis

14
Sebagian besar pasien dengan urolitiasis memiliki prognosis yang sangat baik.
Batu tanpa gejala/calyceal (non-struvit) biasanya tidak memerlukan intervensi akut
dan dapat dipantau dari waktu ke waktu dengan evaluasi rutin dengan ultrasonografi
atau KUB24. Batu yang berukuran kurang dari 5-6 mm biasanya dapat keluar secara
spontan dan dapat diobati menggunakan manajemen medis (antiemetik, analgesia,
peningkatan asupan cairan oral, dan antagonis reseptor alfa [yaitu, tamsulosin]).
Pasien dengan batu kecil harus diberi konseling tentang modifikasi faktor risiko
untuk mencegah kekambuhan batu.
Batu yang lebih besar mungkin memerlukan teknik yang lebih invasif seperti
lithotripsy gelombang kejut, nefrolitotomi perkutan, atau kombinasi keduanya.
Pasien- pasien ini memiliki prognosis yang baik dan harus diberi konseling tentang
manajemen faktor risiko. Batu yang terinfeksi memiliki prognosis yang baik dengan
intervensi akut dini, termasuk antibiotik, stabilisasi hemodinamik, dan intervensi
untuk menghilangkan batu septik.

2.1.12 Penatalaksanaan

1. Observasi Konservatif
Kebanyakan batu saluran kemih akan keluar sendiri tanpa pemberian
intervensi. Keluarnya batu secara spontan tergantung pada ukuran, bentuk,
lokasi, dan edema ureter terkait. Batu dengan ukuran 4-5mm mempunyai 40-
50% kemungkinan keluar secara spontan sedangkan batu dengan ukuran lebih
dari 6 mm mempunyai kemungkinan kurang dari 5% untuk bisa keluar secara
spontan. Tetapi tidak menjamin bahwa batu dengan ukuran 1 cm tidak
mungkin untuk keluar spontan atau batu dengan ukuran 1-2 mm dapat pasti
keluar secara spontan.
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu
kurang dari 5 mm, dengan harapan batu dapat keluar tanpa intervensi medis 31.
Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan.

15
3. Extracorporeal Shockwave Lithotripsy ( ESWL)
Tindakan ESWL menggunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan
melalui tubuh untuk memecah batu. Kesuksesan ESWL memecah batu
bervariasi tergantung dari komposisi batu. Cystine dan brushite merupakan
batu yang paling resisten terhadat ESWL, diikuti dengan tingkat resistensi
yang menurun yaitu kalsium oksalat monohidrat, struvite, kalsium oksalat
dihidrat, dan batu asam urat. Walaupun kandungan batu tidak dapat diketahui
sebelum pelaksanaan terapi, tetapi faktor ini harus menjadi pertimbangan
untuk pengambilan keputusan pada pasien yang sudah pernah dianalisis
batunya.
4. Tindakan operasi
Tindakan bedah biasanya dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk
penanganan lain.

2.2 Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

2.2.1 Anatomi Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar prostat
terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah
proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar
prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot
dasar panggul.
Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer (PZ), zona sentral (CZ),
zona transisional (TZ), segmen anterior dan zona spingter preprostat . Perbedaan zona
ini mempengaruhi jenis lesi pada prostat. Lesi hiperplasia paling sering terjadi di zona
transisional sedangkan keganasan lebih sering terjadi di zona perifer.

16
Gambar 2.2 Anatomi Prostat

Gambar 2.3 Anatomi Prostat

Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan
kandung kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak diatas
17
diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek
bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok
dubur.
2.2.2 Definisi

Benign Prostatic Hyperplasia adalah tumor jinak yang mengacu pada


proliferasi sel stroma dan epitel di zona transisi prostat (disekitar uretra) dan dapat
menyebabkan kompresi uretra serta perkembangan Bladder Outflow Obstruction
(BOO) yang merupakan penyebab umum Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS)
pada pria. Pria dengan BPH dapat mengalami ketidaknyamanan saat buang air kecil
dan dapat mengalami komplikasi berupa infeksi saluran kemih berulang (ISK) dan
gagal ginjal. Pada BPH, proliferasi sel menyebabkan peningkatan volume prostat dan
peningkatan tonus otot polos stroma.

Benign prostatic hyperplasia adalah kondisi prostat tidak ganas yang paling umum
berkembang seiring dengan penuaan. Meski tidak mengancam nyawa, manifestasi
klinisnya berupa LUTS dapat menurunkan kualitas hidup pasien secara signifikan.
Benign Prostatic Hyperplasia berhubungan mengakibatkan penurunan kadar hormon
pada pria akibat proses penuaan, terutama adalah hormon testosteron. Hormon

testosteron dalam kelenjar prostat ini akan diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT).

18
Kemudian DHT inilah yang secara kronis akan merangsang kelenjar prostat sehingga
dapat membesar.
Gambar 2.4 Benign Prostate Hyperplasia
2.2.3 Epidemiologi

Studi klinis epidemiologi telah dilakukan di seluruh dunia selama 20 tahun


terakhir, prevalensi BPH klinis tetap sulit ditentukan. Pravelensi pria dengan
diagnosis BPH pada usia 50 tahun, sekitar 50%. Pada 80 tahun, 90% pria didiagnosis,
dan prevalensi terbesar terjadi di antara pria berusia 70 hingga 79 tahun. Benign
prostatic hyperplasia secara histologis tidak ditemukan pada pria di bawah usia 30
tahun tetapi kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia, mencapai puncaknya
pada dekade kesembilan. Pada usia tersebut, BPH ditemukan pada 88% sampel
histologis.
Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan prevalensi BPH setinggi 70%
pada mereka yang berusia 60 hingga 69 tahun dan lebih dari 80% pada mereka yang
berusia di atas 70 tahun. Dan menunjukkan 56% pria berusia antara 50 tahun hingga
79 tahun telah melaporkan timbulnya gejala. Hal ini didukung oleh penelitian lain
yang telah menunjukkan peningkatan volume prostat seiring dengan bertambahnya
usia yakni 2% menjadi 2,5% peningkatan ukuran per tahunnya. Penelitian
internasional telah menunjukkan bahwa populasi barat memiliki volume prostat yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Asia Tenggara.

2.2.4 Etiologi

Terdapat empat tipe histopatologi mayor: Etiologi BPH terjadi di zona transisi
prostat, di mana sel-sel stroma dan epitel berinteraksi. Pertumbuhan sel-sel ini
dipengaruhi oleh hormon seks dan respons sitokin. Benign prostatic hyperplasia
muncul sebagai akibat hilangnya homeostasis antara proliferasi dan kematian sel,
yang mengakibatkan ketidakseimbangan yang mendukung proliferasi seluler.
Androgen testis berkaitan erat dalam proses perkembangan BPH dan dianggap
sebagai mediator utama hiperplasia prostat, disertai dengan DHT yang berinteraksi

19
langsung dengan epitel prostat dan stroma. Testosteron yang diproduksi di testis akan
diubah menjadi DHT oleh 5-alpha- reductase dalam sel stroma prostat dan
menyumbangkan 90% dari total androgen prostat.
Sitokin juga berkontribusi pada pembesaran prostat dengan memicu respons
inflamasi dan menginduksi faktor pertumbuhan epitel. Saat kondisi prostat membesar
karena hiperplasia, bagian uretra yang melewati prostat akan terkompresi, yang
akhirnya mengganggu aliran keluar urin dan menyebabkan gejala obstruktif. Hal ini
akan berkembang menjadi hiperaktivitas kandung kemih, peradangan, dan distensi
saat sel otot polos kandung kemih membesar untuk mempertahankan aliran urin
sebagai respons terhadap resistensi dari obstruksi prostat. Perubahan ini dapat
menyebabkan stres oksidatif dan pembentukan radikal bebas, serta perubahan pada
saraf alfa-adrenergik kandung kemih yang menyebabkan gejala penyimpanan sebagai
manifestasi klinis pada BPH.

2.2.5 Patogenesis

Perkembangan dari lower urinary tract symptoms dan blader outflow


obstruction pada pria dengan BPH dapat disebabkan oleh komponen statis dan
dinamis. Obstruksi statis merupakan akibat langsung dari pembesaran prostat yang
mengakibatkan kompresi periuretra dan obstruksi salurankeluar kandung kemih.
Kompresi periuretra membutuhkan peningkatan tekanan berkemih untuk mengatasi
hambatan pada aliran. Pembesaran prostat mendistorsi saluran keluar kandung kemih
yang menyebabkan flow obstruction.
Komponen dinamis termasuk ketegangan pada otot polos prostat (maka perlu
penggunaan inhibitor 5-alpha reductase untuk mengurangi volume prostat dan alpha-
blocker untuk mengendurkan otot polos). Hal ini juga dijelaskan dengan penurunan
kolagen dan elastisitas pada uretra prostat pada pria dengan BPH, yang selanjutnya
dapat memperburuk blader outflow obstruction karena hilangnya kekuatan disertai
peningkatan resistensi.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH diantaranya:
2.2.5.1 Teori Dihidrotestosteron

20
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5α reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2.2.5.2 Ketidakseimbangan antara estrogen- testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya sel - sel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
2.2.5.3 Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel - sel epitel maupun sel
stroma. Berkurangnya kematian sel prostat Program kematian sel (apoptosis) pada sel
prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-
sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian

21
didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel - sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan massa prostat.
2.2.5.4 Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah menglamiapoptosis,selaludibentuk sel- sel
baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada
keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti
yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi
sel -sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

22
2.5 Patofisiologi BPH
2.2.6 Manifestasi Klinis
Gejala BPH seringkali berupa LUTS yang dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori utama yaitu gejala iritasi (storage symptoms) dan gejala obstruksi (voiding
symptoms). Pada umumnya pria memiliki sedikit gejala ini pada fase awal BPH, akan
tetapi gejala ini dapat menjadi lebih luas seiring dengan bertambahnya usia dan
perkembangan penyakit.

23
Gambar 2.6 Manifestasi Klinis BPH

2.2.7 Pemeriksaan dan Diagnosis

Diagnosis BPH secara eksklusi. Ketika pria berusia di atas 50 tahun


mengeluhkan gejala saluran kemih bagian bawah, tes berikutnya yang dapat
digunakan untuk menyingkirkan semua kemungkinan penyebab lain sebelum
mengarah pada diagnosis BPH adalah sebagai berikut:

1. Riwayat
Diajukan pertanyaan khusus tentang gejala penyimpanan dan berkemih, serta
penggunaan diuretik yang mungkin menjelaskan gejala yang dialami pasien.
American Urological Association Symptom Index (AUASI) dan International
Prostate Symptom Score (IPSS) adalah kuesioner subjektif yang dapat
digunakan untuk membantu mengevaluasi gejala saluran kemih bagian bawah
dan pengaruhnya pada pasien yang menderita BPH.
2. Pemeriksaan colok dubur
Dilakukan untuk menilai ukuran, bentuk, serta konsistensi kelenjar prostat.
Prostat yang membesar. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Colok dubur pada BPH
menunjukkan konsistensi kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan
dan kiri simetris dan tidak dapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus prostat
tidak simetris.

24
3.
3.
3.
3.
3.
3.
3.
Tingkat Prostate specific antigen (PSA)
Kadar PSA 1,5 ng / mL sering menunjukkan BPH. Namun, nilai ini sangat
bervariasi dan dapat berfluktuasi berdasarkan usia pasien, ras, pengobatan,
atau kondisi saluran kemih yang komorbid.
4. Urinalisis
Urinalisis direkomendasikan sebagai langkah utama untuk menyingkirkan
adanya ISK, prostatitis, sistolitiasis, nefrolitiasis, kanker ginjal, dan kanker
prostat sebagai penyebab gejala saluran kemih bagian bawah.
5. Voiding diaries
Mendokumentasikan waktu kosong, volume voided, dan aktivitas terkait
(seperti asupan cairan) dalam buku harian voiding dapat membantu dalam
diagnosis BPH, terutama pada pasien dengan frekuensi kencing.
6. Mengukur volume sisa postvoid
Pengukuran volume sisa postvoid direkomendasikan untuk pasien dengan
gejala sedang atau berat, yang ditentukan dengan AUASI atau IPSS yang
memiliki skor 8 atau lebih besar.
7. USG prostat
Ultrasonografi (USG) transabdominal atau transrektal prostat juga dapat
dilakukan untuk mengevaluasi secara akurat ukuran, bentuk, anatomi, dan
potensi patologi prostat dengan cara yang praktis dan juga hemat biaya. USG
transabdominal juga dapat menilai kandung kemih dan sisa urin postvoid,
yang mungkin berkontribusi pada gejala pasien.

25
Gambar 2.7 USG pada BPH
8. Skor IPPS

Gambar 2.8 International Prostate Symptom Score (I-PSS)


2.2.8 Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan
miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4)
mengembalikanfungsiginjaljikaterjadigagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin
setelah miksi, dan (6) mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan
cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif
A. Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangguaktivitassehari-
hari.Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai suatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan konsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli, (3) batasi penggunaan obat-
obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) penanganan konstipasi

26
(5) jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta untuk
datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik, disamping
itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflowmetri.
B. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase. Selain kedua cara tersebut, banyak terapi dengan menggunakan
fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas. Terapi medikametosa
atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat sedang, atau dapat juga
dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH tingkat berat. Tujuan terapi
medikametosa adalah 1) untuk mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-
obatan golongan α- adrenergik blocker dan 2) mengurangi volume prostat dengan
cara menurunkan kadar hormon testosteron atau dehidrotestosteron (DHT).

Gambar 2.9 Alur Tatalaksana Medikamentosa

27
a. α1-blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.
Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin,
dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari serta silodosin dengan dosis 2
kali sehari. Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-45%
atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%.1,5,6 Tetapi obat α1-
blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam
jangka panjang.
α1-blocker memiliki selektivitas terhadap a1-adrenoceptor yang terdapat
selain di prostat (buli-buli dan medulla spinalis). Subtype adrenoceptor ini
berperan dalam mediasi mekanisme kerja terhadap reseptor tersebut. Selain itu
a1-adrenoceptor yang terdapat pada pembuluh darah, sel otot polos selain prostat
dan susunan saraf pusat akan terkena juga sehingga akan memberikan efek
samping. Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap
sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia)
yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.Penyulit lain
yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograde dimana semakin selektif obat
tersebut terhadap a1-adrenoceptor maka makin tinggi kejadian ejakulasi
retrograde. Selain itu komplikasi yang harus diperhatikan adalah
intraoperativefloppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus
diinformasikan kepadapasien dan Ophthalmologist bila akan menjalani operasi
katarak.
b. 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel
epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 – 30%. 5a-
reductase inhibitor juga inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu
finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat
terlihat setelah 6 bulan. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan

28
dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi
pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi
disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak
kemerahan di kulit.
c. Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor
muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih.
Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah
fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l-
tartrate. Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage
LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume
prostat kecil) menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat.1 Sampai saat
ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat
kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine
akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan
sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik
dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti mulut
kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih
(sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai
dengan 5%)
d. Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi
dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra.1 Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis
5 mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS. Tadalafil 5 mg
per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang bermakna

29
ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.6 Pada penelitian uji klinis acak tanpa
meta-analisis, peningkatan Qmax dibandingkan plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada residu urine.Data meta-analisis
menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih
muda dengan indeks massa tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.

C. Operasi

Gambar 2.10 Algoritma Tatalaksana Intervensi BPH

 Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin
yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan
retropubikinfravesika,Freyermelalui pendekatan suprapubik transvesika, atau
transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih
30
banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal
atau retropubik infravesikal.
Terdapat dua jenis pembedahan terbuka, yaitu metode Freyer melalui transvesikal
dan metode Millin secara retropubik. Pembedahan dengan operasi terbuka baru
dianjurkan ketika volume prostat telah mencapai angka melebihi 80 cc. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa operasi terbuka merupakan cara operasi yang sangat
invasif dengan angka morbiditas tinggi. Perdarahan dapat menjadi penyulit dini di
tengah operasi dan meningkatkan risiko mortalitas atau komplikasi pascatindakan.
Beberapa komplikasi yang kerap terjadi meliputi striktur uretra pada 6% kasus dan
inkontinensia urin pada 10% kasus.
 TURP

Gambar 2.11 Pembedahan Terbuka

TURP merupakan suatu pembedahan invasif minimal yang kerap digunakan


pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80 cc. Meski demikian, TURP dapat
digunakan pada kondisi prostat apapun tergantung pada pengalaman dan
ketersediaan peralatan seorang ahli bedah urologi. Pada umumnya, TURP memiliki
efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90% sehingga metode ini

31
merupakan salah satu baku emas tatalaksana invasif BPH. Prosedur TURP
merupakan prosedur yang sangat direkomendasikan oleh IAUI. Akan tetapi, tingkat
keberhasilan TURP dapat menurun bila terjadi retensi bekuan darah, retensi urin akut,
maupun infeksi saluran kemih. Selain itu, terdapat pula angka mortalitas 30 hari
pertama pascaoperasi sebesar 0,1% serta kemungkinan terjadinya komplikasi yang
meliputi ejakulasi retrograd, disfungsi ereksi, dan stenosis leher vesica urinaria.
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan
agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Pada hiperplasi prostat yang tidak
begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya
masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral
incision of the prostate) atau insisi leherbuli- buliatauBNI(Bladder Neck Incision).
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma
prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi
transrektal, dan pengukuran kadar PSA.

Gambar 2.12 TURP

 Elektrovaporisasi prostat

32
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik
ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa rawat di
rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat
yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang lebih
lama.
 Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat. Stent ini dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di
sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melwati lumen
uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Alat ini
dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Pemasangan alat ini
diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
risikopembedahanyangcukuptinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya
di uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
 Laser prostatektomi
Merupakan penembakan sinar berenergi untuk menghancurkan jaringan
hiperplastik prostat. Jenis-jenis laser yang kerap digunakan meliputi laser
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG, dan
Diode. Penggunaan laser dalam tatalaksana invasif direkomendasikan bila pasien
sedang dalam terapi antikoagulan yang tidak dapat dihentikan karena risiko
mengidap emboli yang tinggi. Pada prosedur ini, prostat akan mengalami
koagulasi ketika temperatur telah mencapai 600C hingga 650C. Pada temperatur
1000C, prostat akan mengalami vaporisasi dan ukurannya mengecil.
 Katerisasi
Kateterisasi merupakan tindakan pemasangan kateter dengan tujuan
memudahkan rilis urin. Kateterasi kerap digunakan untuk menangani retensi urin
kronik pada pasien yang tidak dapat menerima operasi. Kateterisasi dapat bersifat
intermiten, atau clean intermittent catheterization (CIC), maupun menetap. CIC

33
Hiasanya dikerjakan sebelum pemasangan kateter menetap dan dilakukan dalam
lingkungan steril secara periodik.
Bila kateterisasi ingin dihentikan, perlu dilakukan evaluasi selama 3-7 hari
bersamaan dengan pemberian obat-obatan al-blocker. Evaluasi ini bertujuan untuk
melihat pancaran dan sisa urin ketika pasien berkemih tanpa pemberian kateter.
Di sisi lain, bila kateterisasi melalui uretra tidak dapat dilakukan, prosedur
alternatif yang dapat dipilih adalah sistostomi. Sistosomi merupakan prosedur
pemasangan kateter khusus secara supravesika melalui dinding abdomen.

d. Kontrol berkala
Setiap pasien hyperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal
kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya
mendapatkan pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap
tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan
dengan pemeriksaan skor IPSS,uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi. Setelah
33 pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca
operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya
setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat
terapi invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam jangka waktu
lama,yaitu setelah 6minggu, 3bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang
mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor
miksi, dilakukan pemeriksaan kultur urin.

34
BAB IV

KESIMPULAN

Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit di mana terdapat massa keras di
saluran kemih, baik di saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter) maupun bagian
bawah (kandung kemih, uretra). Batu saluran kemih dapat terbentuk karena
pengendapan garam kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Prevalensi BSK
semakin meningkat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Faktor-faktor seperti
umur, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh (BMI) dapat mempengaruhi risiko
terbentuknya batu saluran kemih. Pria lebih berisiko daripada wanita, dan kejadian
batu ginjal sering terjadi pada dekade ketiga hingga keenam kehidupan.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih belum diketahui dengan pasti, tetapi
beberapa faktor yang mempengaruhi risiko pembentukan batu telah diidentifikasi,
termasuk supersaturasi dan nukleasi dalam urin. Supersaturasi terjadi ketika zat-zat
pembentuk batu dalam urin melebihi batas kelarutan, sedangkan nukleasi melibatkan
pembentukan inti atau inti batu yang kemudian menarik ion-ion lain untuk
membentuk batu. Diagnosis batu saluran kemih dapat dilakukan melalui pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium (seperti urinalisis), pemeriksaan radiologi (seperti
USG dan CT scan), dan pemeriksaan kedokteran nuklir (seperti renografi dan GFR).
Gejala klinis batu saluran kemih dapat bervariasi, termasuk nyeri pinggang,
hematuria (darah dalam urin), demam, infeksi saluran kemih, mual, dan muntah.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah gagal ginjal akut, anuria, infeksi saluran
kemih dengan obstruksi ginjal, dan sepsis. Penatalaksanaan batu saluran kemih dapat
meliputi observasi konservatif, terapi medikamentosa untuk memfasilitasi keluarnya
batu, extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL) untuk memecah batu dengan
gelombang kejut eksternal, dan tindakan operasi jika batu tidak merespon terhadap
penanganan lainnya. Secara umum, prognosis pasien dengan batu saluran kemih
sangat baik, dan banyak pasien dapat pulih dengan pengobatan yang tepat.
Benign Prostatic Hyperplasia adalah tumor jinak yang mengacu pada
proliferasi sel stroma dan epitel di zona transisi prostat (disekitar uretra) dan dapat
35
menyebabkan kompresi uretra serta perkembangan Bladder Outflow Obstruction
(BOO) yang merupakan penyebab umum Lower Urinary Tract Symptomps (LUTS)
pada pria. Pria dengan BPH dapat mengalami ketidaknyamanan saat buang air kecil
dan dapat mengalami komplikasi berupa infeksi saluran kemih berulang (ISK) dan
gagal ginjal. Pada BPH, proliferasi sel menyebabkan peningkatan volume prostat dan
peningkatan tonus otot polos stroma.
Etiologi BPH terjadi di zona transisi prostat, di mana sel-sel stroma dan epitel
berinteraksi. Pertumbuhan sel-sel ini dipengaruhi oleh hormon seks dan respons
sitokin. Benign prostatic hyperplasia muncul sebagai akibat hilangnya homeostasis
antara proliferasi dan kematian sel, yang mengakibatkan ketidakseimbangan yang
mendukung proliferasi seluler. Androgen testis berkaitan erat dalam proses
perkembangan BPH dan dianggap sebagai mediator utama hiperplasia prostat,
disertai dengan DHT yang berinteraksi langsung dengan epitel prostat dan stroma.
Testosteron yang diproduksi di testis akan diubah menjadi DHT oleh 5-alpha-
reductase dalam sel stroma prostat dan menyumbangkan 90% dari total androgen
prostat.
Gejala BPH seringkali berupa LUTS yang dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori utama yaitu gejala iritasi (storage symptoms) dan gejala obstruksi (voiding
symptoms). Pada umumnya pria memiliki sedikit gejala ini pada fase awal BPH, akan
tetapi gejala ini dapat menjadi lebih luas seiring dengan bertambahnya usia dan
perkembangan penyakit.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta, A., Li, S., Ji, G.H., Xiong, H., Peng, J. and Huang, J.B. (2019) The Role
of Imaging in Diagnosis of Urolithiasis and Nephrolithiasis—A Literature
Review Article. Yangtze Medicine , 3, 301-312.
2. Goldfarb, D.S., Avery, A.R., Beara-Lasic, L., Duncan, G.E. and Goldberg, J.
(2019) A Twin Study of Genetic Influences on Nephrolithiasis in Women and
Men. Kidney International Reports , 4, 535-540.
3. Shin S, Srivastava A, Alli NA, Bandyopadhyay BC. Confounding risk factors
and preventative measures driving nephrolithiasis global makeup. World J
Nephrol 2018;7:129–42.
4. Abbafati C, Abbas KM, Abbasi-Kangevari M, et al. Global burden of 369
diseases and injuries in 204 countries and territories, 1990– 2019: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2019. Lancet 2020;396:1204–
22.
5. Global Burden of Disease Collaborative Network. Global Burden of Disease
Study 2019 (GBD 2019) results. Seattle, WA: Institute for Health Metrics and
Evaluation (IHME).
6. Johnson R, Sánchez-Lozada L, Newman L, et al. Climate change and the kidney.
Ann Nutr Metab 2019;74(Suppl 3):38–44.
7. Ferraro PM, Bargagli M, Trinchieri A, Gambaro G. Risk of kidney stones:
influence of dietary factors, dietary patterns, and vegetarian–vegan diets.
Nutrients 2020;12:779.
8. Geraghty R, Cook P, Roderick P, Somani B. Risk of metabolic syndrome in
kidney stone formers: a comparative cohort study with a median follow-up of 19
years. J Clin Med 2021;10:978.
9. Alelign T, Petros B. Kidney Stone Disease: An Update on Current Concepts.
Adv Urol. 2018;2018:1-12.
37
10. European Association Urology. European Association of Urology Guidelines.
2020 Edition.; European Association of Urology Guidelines Office, Ed.;
European Association of Urology Guidelines Office: Arnhem, The Netherlands,
2020; Vol. presented.
11. Sabler I, Katafigiotis I, Gofrit O, Duvdevani M. Present indications and
techniques of percutaneous nephrolithotomy: What the future holds? Asian J
Urol. 2018;5(4):287-94. https://doi.org/10.1016/j.ajur.2018.08. 004
PMid:30364501 PMCid:PMC6197369
12. Zhou M, He X, Zhang Y, Yu W. Optical puncture combined with balloon
dilation PCNL vs. conventional puncture dilation PCNL for kidney stones
without hydronephrosis: a retrospective study. BMC Urol. 2019;19(1):122.
13. Gao H, Zhang H, Wang Y et al. Treatment of Complex Renal Calculi by Digital
Flexible Ureterorenoscopy Combined with Single-Tract Super-Mini
Percutaneous Nephrolithotomy in Prone Position: A Retrospective Cohort
Study.Medical Science Monitor. 2019;25:5878-85.
https://doi.org/10.12659/msm.915034 PMid:31389405 PMCid:PMC6693367
14. Zeng G, Zhang T, Agrawal M et al. Super-mini percutaneous nephrolithotomy
(SMP) vs retrograde intrarenal surgery for the treatment of 1-2 cm lower-pole
renal calculi: an international multicentre randomised controlled trial. BJU Int.
2018;122(6):1034-40. https://doi.org/10.1111/bju. 14427 PMid:29873874
15. Meng X, Bao J, Mi Q, Fang S. The Analysis of Risk Factors for Hemorrhage
Associated with Minimally Invasive Percutaneous Nephrolithotomy. Biomed
Res Int. 2019;2019:1-6. https://doi.org/10.1155/2019/8619460 PMid:30834279
16. Jiao B, Lai S, Xu X, Zhang M, Diao T, Zhang G. The efficacy of flexible
ureteroscopy lithotripsy and miniaturized percutaneous nephrolithotomy for the
treatment of renal and proximal ureteral calculi of ≤2 cm. Medicine (Baltimore).
2019;98(11):e14535.
17. Marra G, Taroni F, Berrettini A, Montanari E, Manzoni G, Montini G. Pediatric
nephrolithiasis: a systematic approach from diagnosis to treatment. J Nephrol.
2019;32:199-210

38
18. Bowen D, Tasian G. Pediatric stone disease. Urol Clin A Am. 2018;45: 539- 550
19. De Ruysscher C, Pien L, Tailly T, Van Laecke E, Vande J, Prytula A. Risk
factors for recurrent urolithiasis in children. J Pediatr Urol. 2019;1 6:1-29.
20. Scoffone C, Cracco C. Pediatric calculi: cause, prevention, and medical
management. Curr Opin Urol. 2018; 28:428-432.
21. Ward J, Feinstein L, Pierce C, Lim J, Abbott K, Bavendam T, et al. Pediatric
urinary stone disease in the United States: The Urological diseases in American
project. Urology. 2019;129:180-187.
22. Edvardsson V, Ingvarsdottir S, Palsson R, Indridason O. Incidence of kidney
stone disease in Icelandic children and adolescents from 1985 to 2013: results of
a nationwide study. Pediatr Nephrol. 2018;33:375-1384.
23. Mai Z, Liu Y, Wu W, Aierken A, Jiang C, Batur J, et al. Prevalence of
urolitiasis among the Uyghur children of China: a population-based cross-
sectional study. BJU Int. 2019; 124:395-400.
24. Susaeta R, Benavente D, Marchant F, Gana R. Diagnóstico y manejo de litiasis
renales en adultos y niños. Revista médica Clínicas Las Condes. 2018;29:197-
212
25. Cassim R, Van Walraven C, Lavallée L, McAlpine K, Highmore K, Leonard M,
et al. Systematic radiologic detection of kidney stones in Canadian children: a
new era of asymptomatic stones?. J Pediatr Urol. 2019; 15:467.e1-467.e7
26. Roberson N, Dillman J, O´Hara S, DeFoor W, Reddy P, Giordano R, et al.
Comparison of ultrasound versus computed tomography for the detection of
kidney stones in the pediatric population: a clinical effectiveness study. Pediatr
Radiol. 2018;48:962-972.
27. Bhat D, Shankar R, Shenoy R, Rai S. Cystine urolithiasis in early childhood.
Indian J Clin Biochem. 2019;34:361-362.
28. Murphy M, Erpelding S, Chishti A, Dugan A, Ziada A, Kiessling S. Influence of
BMI in nephrolithiasis in an Appalachian pediatric population: A single- center
experience. J Pediatr Urol. 2018; 14:330.e1-330.e8.
29. Goretti M, Saggie U. Management of pediatric primary urolithiasis. Arch Latin

39
Nefr Ped, 2019;19: 3-22.
30. Taguchi K, Cho SY, Ng AC, et al. The Urological Association of Asia clinical
guideline for urinary stone disease. Int J Urol. 2019;26 (7):688–709.
31. Zumstein V, Betschart P, Abt D, Schmid HP, Panje CM, Putora PM. Surgical
management of urolithiasis–a systematic analysis of available guidelines. BMC
Urol. 2018;18(25):1–8.
32. Amadea RA, Langitan A, Wahyuni RD. Benign prostatic hyperplasia (BPH).
Jurnal Medical Profession (Medpro). 2019;1(2):172-6.
33. Ratu G, Badji A. Profil Analisis Batu Saluran Kemih di Laboratorium Patologi
Klinik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
2018;12(3):114-7.
34. Ruckle AF, Maulana A, Ghinowara T. Faktor Resiko Infeksi Saluran Kemih
Pada Pasien Dengan Batu Saluran Kemih. Biomedika. 2020;12(2):124-30.
35. Silalahi MK. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Batu
Saluran Kemih Pada di Poli Urologi RSAU dr. Esnawan Antariksa. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. 2020;12(2):205-12.
36. Sutysna H. Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat. Buletin
Farmatera. 2016;1(1).
37. Bailey H.H, Love RJM. Bailey & love : Short Practice of Surgery. Ed 27th.
CRC Press. 2018:1456-66.
38. Al Jamil AP, Pertiwi D, Elvira D. Gambaran Hasil Pemeriksaan Urine pada
Pasien dengan Pembesaran Prostat Jinak di RSUP DR. M. Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(1):137-41.
39. Yulida N. STUDI KASUS BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH).
Jurnal Kedokteran. 2022;11(2):875-82.
40. Kim EH, Larson JA, Andriole GL. Management of benign prostatic
hyperplasia. Annu Rev Med. 2016;67(1):137-51.
41. Mochtar CA, Umbas R, Soebadi DM, Rasyid N, Noegroho BS, Poernomo BB,
dkk. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign
Prostatic Hyperplasia/BPH). edisi ke-2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2015.

40
42. Gaol HL. Mochtar CA. Hiperplasia Prostat Jinak. dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta, EA, editor. Kapita Selekta Kedokteran. edisi ke-4 jilid 1.
Jakarta:FK-UI; 2016. hh. 284- 287.
43. Mandang CS, Monoarfa RA, Salem B. Hubungan Antara Skor IPSS Dengan
Quality Of Life Pada Pasien BPH Dengan LUTS Yang Berobat Di Poli Bedah
RSUP PROF. DR. RD Kandou Manado. e-CliniC. 2015;3(1).
44. Mehmed, M.M., & Ender O. 2015. Effect of urinary stone disease and it's
treatement on renal function. World J Nephrol: 4(2): 271-276.
45. Rasyid N, Duarsa GW, Atmoko W, Noegroho BS, dkk. Panduan
Penatalaksanan Klinis Batu Saluran Kemih.Ed 1st. IAUI. 2018.
46. Yasui T, Okada A, Hamamoto S, Ando R, Taguchi K, Tozawa K, Kohri K.
Pathophysiology‐ based treatment of urolithiasis. International Journal of
Urology. 2017;24(1):32-8.
47. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan Klinik penyakit Batu
Saluran Kemih. IAUI. 2005.

41

Anda mungkin juga menyukai