Anda di halaman 1dari 35

Surat Al-Baqarah Ayat 215

َََّ َََّ‫ٌلََۖ َو َماَ َت ْف َعلُواََمِنََْ َخٌْرََ َفإِن‬


َ‫ٱّللَ ِبهِۦَ َعلٌِم‬ َِ ‫ٱلسَّب‬
ِ َ‫ْن‬ َِ ‫ٌِنَ َوٱب‬ ََٰ ‫ٌنَ َوٱلْ ٌَ َٰ َت َم‬
َِ ‫ىَ َو ْٱل َم َٰ َسك‬ ََ ‫ْنَ َو ْٱْلَ ْق َر ِب‬
َِ ٌ‫لَ َماََأَن َف ْق ُتمَمِّنََْ َخٌْرََ َفل ِْل َٰ َولِ َد‬ ََ ُ‫كَ َم َاذاٌَُن ِفق‬
َْ ُ‫ونََۖق‬ ََ ‫ٌَسْ ـَلُو َن‬

Artinya: Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahuinya.

ََّ َ‫جََۖ َو َماَ َت ْف َعلُواََمِنََْ َخٌْرََ ٌَعْ لَمْ َُه‬


ََ ٌ‫ٱّلل ََُۖ َو َت َز َّو ُدواََ َفإِنَََّ َخ‬
َ‫ْر‬ َِّ ‫لَفِىَ ْٱل َح‬ ََ ‫ُوقَ َو‬
ََ ‫لَ ِجدَا‬ ََ ‫لَفُس‬
ََ ‫ثَ َو‬ ََ ‫ٌِهنَََّ ْٱل َحجَََّ َف‬
ََ ‫لَ َر َف‬ ِ ‫ضَف‬ََ ‫ْٱل َحجََأَ ْشهُرََمَّعْ لُو َٰ َمتَََۖ َف َمنَ َف َر‬
‫ونَ َٰ ٌَأُولِىَ ْٱْلََْل َٰ َبب‬
َِ ُ‫ىََۖ َوٱ َّتق‬
ََٰ ‫ٱلزادََِٱل َّت ْق َو‬
َّ

Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-
orang yang berakal.

� Li Yaddabbaru Ayatih / Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-
Muqbil, professor fakultas syari'ah Universitas Qashim - Saudi Arabia

1 ) . Abu darda' berkata : "Janganlah sekali-kali engkau meremahkan suatu keburukan yang nilainya kecil
lantas kamu mengerjakannya, dan jangan pula kamu mengabaikan suatu kebaikan yang kelihatannya kecil
lalu kamu tinggalkan, karena sesungguhnya Allah berfirman :

ََ ‫لَم ِْث َقا‬


}ُ‫لَ َذرَّ ةََ َش ًّراَ ٌَ َرَه‬ ََ ‫لَم ِْث َقا‬
َْ ‫َ َو َمنََْ ٌَعْ َم‬,َُ‫لَ َذرَّ ةََ َخٌْرً اَ ٌَ َره‬ َْ ‫{ َمنََْ ٌَعْ َم‬

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya , Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula."

2 ) . Segala kemaslahatan dan amalan, besar dan kecilnya, sedikit dan banyaknya, baik dan buruknya, pada
akhirnya akan jatuh kedalam dua ayat ini :
ُ ‫ًََۖ ٌَع‬
َ‫ِظ ُك َْمَلَ َعلَّ ُك َْم‬ َِ ‫نَ ْال َفحْ َشا َِءَ َو ْال ُم ْن َك َِرَ َوالْ َب ْغ‬ ََٰ ‫اءَذِيَ ْالقُرْ َب‬
ََٰ ‫ىَ َو ٌَ ْن َه‬
َِ ‫ىَ َع‬ َِ ‫انَ َو ِإٌ َت‬
َِ ‫اْلحْ َس‬ َِ ‫ّللاَََ ٌَأْمُرََُ ِب ْال َع ْد‬
ِ ْ ‫لَ َو‬ ََ ‫لَم ِْث َقا‬
َّ َََّ‫لَ َذرَّ ةََ َخٌْرً اَ ٌَ َرهَُ}َ{َإِن‬ َْ ‫{ َف َمنََْ ٌَعْ َم‬
ََ ‫َت َذ َّك‬
}‫رُون‬

" Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran". An-Nahl : 90.

3 ) . Jika seorang petani saja rela merasakan letih saat menanam dan membajak tanah, dengan harapan
akan meraih hasil yang baik ketika musim panen tiba, sesungguhnya dunia ini adalah ladang kebaikan untuk
kehidupan diakhirat, maka berkebunlah kamu diatasnya segala kebaikan; agar kamu dapat memanen
hasilnya di hari ketika setiap amalan manusia akan dihitung.

ََ ‫لَم ِْث َقا‬


}.ُ‫لَ َذرَّ ةََ َخٌْرً اَ ٌَ َرَه‬ َْ ‫{ َف َمنََْ ٌَعْ َم‬

1
Bab 13 Jalan-Jalan Kebaikan
Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
َ َّ َّٕ ِ‫ ٍْش كَا‬٤‫اْ ِٓ ْٖ َخ‬ُِٞ‫ َٓب رَ ْل َؼ‬َٝ ۞
۞ٌْ ٤ِِ‫ َػ‬ِٚ ِ‫َّللا ث‬
“Dan kebaikan apa saja kamu kerjakan, maka sesungguh Allah Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 215)
Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
۞ُ‫َّللا‬ َّ ُ ْٚٔ َِ‫َ ْؼ‬٣ ‫ ٍْش‬٤‫اْ ِٓ ْٖ َخ‬ُِٞ‫ َٓب رَ ْل َؼ‬َٝ ۞
“Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah:
2: 197)

Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
۞ُٙ‫ َش‬٣َ ‫شًا‬٤ْ ‫ ْؼ ََْٔ ِٓ ْثوَب ٍَ َر َّس ٍح َخ‬٣َ َٖٔ َ‫۞ك‬
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzâlah: 99: 7)

Allah ‫ ﷻ‬berfirman:
۞ِٚ ‫صبُذًب كََِ٘ ْل ِغ‬
َ ََ ِٔ ‫۞ َٓ ْٖ َػ‬
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka itu untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-Jâthiyâh:
45: 15)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Bab banyaknya jalan


kebaikan.” Kebaikan itu banyak jalannya, hal ini merupakan kurnia Allah Ta'ala bagi
hamba-Nya untuk meraih banyak pahala dan keutamaan.

Dasar jalan ini ada tiga: jihad fisik, jihad harta, ataupun keduanya.

Jihad fisik adalah semua perbuatan fisik ini menunaikan ketaatan kepada Allah, seperti
shalat, puasa, jihad melawan orang kafir, dan sebagainya. Jihad harta misalnya
mengeluarkan zakat, sedekah, nafkah dan sebagainya. Jihad dengan keduanya, misalnya
jihad fisabililah menggunakan senjata melawan orang-orang kafir, mengorbankan harta
dan jiwa. Macam-macam ketiga dasar ini sangat banyak sekali, mencakup semua ketaatan
kepada Allah Ta'ala, agar hamba tidak bosan menunaikan satu jalan menuju ketaatan,
ketika jalan itu banyak tentunya tidak bosan dan merasakan nikmat menunaikan
kebaikan.

Allah Ta'ala berfirman dalam bab ini,

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.”


(QS. Al-Baqarah: 2: 148)

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan.”


(QS. Al-Anbiyâ: 21: 90)

Hal ini menunjukkan bahwa kebaikan itu tidak terpaku pada satu bentuk, tetapi banyak
jalannya. Kemudian penulis rahimahullah menyebutkan banyak ayat yang menunjukkan
hal ini.

“Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2:
197)

“Dan kebaikan apa saja kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 215) 2
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzalah: 99: 7)

Ayat yang menunjukkan hal ini sangat banyak sekali, semua menunjukkan bahwa jalan
menuju kebaikan itu tidak satu, satu bentuk atau satu jenis. Sebagian orang ada yang lebih
senang untuk menunaikan shalat maka ia memperbanyak shalat, sebagian lebih senang
membaca Al-Qur'an maka ia banyak membaca Al-Qur'an, sebagian lebih senang dzikir dan
tasbih, maka lebih banyak melakukannya, sebagian lebih dermawan, gemar berinfak dan
sedekah, setiap ada kesempatan selalu sedekah, berinfak dan memberikan keleluasaan
nafkah kepada keluarganya serta tidak berlebihan.

Di antara mereka ada yang lebih senang untuk menuntut ilmu, pada zaman sekarang ini
boleh jadi merupakan pekerjaan yang paling utama. Kerana masyarakat pada hari ini
sangat memerlukan ilmu syariat, merebaknya kejahilan dan banyak orang yang mengaku
ulama tetapi hanya memiliki bekal yang sangat sedikit, kita sangat memerlukan orang-
orang yang mendalami ilmu, yang dibangun atas dasar Al-Qur'an dan sunnah, untuk
mengembalikan kekacauan di berbagai negeri dan belahan dunia. Seseorang memiliki satu
atau dua hadits, kemudian mengaku dirinya menjadi seorang ulama, memberi fatwa
dengan hawa nafsunya, seolah ia Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ahmad, Imam Syafi'i
dan para imam besar lainnya. Hal ini akan sangat berbahaya untuk umat ini jika tidak
muncul ulama-ulama yang memiliki ilmu yang mendalam serta argumen yang kuat.

Oleh kerana itu, menuntut ilmu pada zaman sekarang ini adalah aktivitas yang paling
utama, lebih baik dari sedekah, bahkan lebih utama dari berjihad, kerana Allah
menjadikan seorang yang alim menyamai pahala berjihad, bukan jihad yang bercampur
dengan syubhat yang niatnya diragukan, kerana jihad yang sebenarnya adalah dengan niat
untuk meninggikan kalimat Allah yang nilainya sama dengan menuntut ilmu syariat.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 9: 122)

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan


perang).” Janganlah mereka semua berangkat untuk berjihad (berperang). “Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang,” tinggal
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama .”

Allah menyamakan pahala menuntut ilmu dengan berjihad di jalan Allah, jihad yang benar
adalah yang mengetahui kondisi zaman dan berniat untuk meninggikan agama Allah. Yang
penting bahwa jalan kebaikan itu sangat banyak, menurut saya yang paling utama adalah
menuntut ilmu syariat setelah menunaikan yang wajib, kerana kita sekarang sangat
membutuhkannya.

Pada zaman sekarang ini kita banyak mendengar fatwa yang menyesatkan, bahkan ada
yang mengatakan bahwa barangsiapa yang shalat di negeri fulan shalatnya tidak sah,
kerana orang-orang yang membangun masjidnya seperti ini. Barangsiapa yang shalat
dengan berpatokan adzan maka shalatnya tidak sah kerana adzannya berdasarkan hisab
bukan melihat matahari dan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Waktu shalat Zhuhur itu apabila matahari telah tergelincir sampai bayangan
seseorang sama dengan tinggi badannya, hingga sebelum datang waktu Ashar.”

[Shahih Muslim no. 966] 3


Tetapi sekarang orang shalat berdasarkan dengan tulisan, shalat mereka semua tidak sah,
menurut pendapatnya shalat kaum muslimin semua tidak sah, sampai sekacau inikah
pemikiran mereka?!

Yang sangat disayangkan orang yang mengatakan ini adalah orang yang dianggap berilmu,
kerana ilmunya hanya menempel ijazah yang membuktikan bahwa ia lulusan universitas
ini dan itu.

Kesimpulannya bahwa, umat Islam sekarang ini memerlukan para ulama yang mendalam
keilmuannya, jika kondisi mereka masih kacau seperti ini maka sangat berbahaya bagi
agama dan umat ini, masing-masing memiliki seorang ulama yang dikultuskan, tentunya
hal ini tidak dibenarkan, mereka harus memiliki para ulama yang memiliki ilmu yang
mendalam berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, memiliki kecerdasan yang dibingkai
dalam hikmah.

Hadits-hadits dalam bab ini sangat banyak, di antara yang disebutkan oleh penulis
rahimahullah.

Hadits 117.
» ِٚ ِِ ٤ْ ‫ َع ِج‬٢‫َب ُد ِك‬ٜ‫ا ُْ ِج‬َٝ ،‫بَّلل‬ِ َّ ِ‫ْ َٔبُٕ ث‬٣‫ « ْا ِإل‬:ٍَ ‫ع َُ ؟ هَب‬ َ ‫ ا ْْلَ ْػ َٔب ٍِ أَ ْك‬١ُّ َ‫ أ‬،‫ ٍَ َّللا‬ُْٞ ‫ب َسع‬٣َ :‫ذ‬ ُ ِْ ُ‫ ه‬:ٍَ ‫ ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢َ ‫ظ‬ ِ ‫ة ْث ِٖ ُجَ٘ب َدحَ َس‬ِ ‫ َر ٍّس ُج ْ٘ َذ‬٢‫َػ ْٖ أَ ِث‬
ُ ِْ ُ‫م » ه‬
:‫ذ‬ َ ‫ رَصْ َ٘ ُغ ِْلَ ْخ َش‬ْٝ َ‫صبِٗؼًب أ‬ َ ُْٖ٤‫ « ر ُ ِؼ‬:ٍَ ‫ كَاِ ْٕ َُ ْْ أَ ْك َؼَْ ؟ هَب‬:‫ذ‬ُ ِْ ُ‫َب ثَ ًَٔ٘ب » ه‬ٛ‫أَ ًْثَ ُش‬َٝ ،‫َب‬ِِْٜٛ َ‫َب ِػ ْ٘ َذ أ‬ٜ‫غ‬ ُ َ‫ « أَ ْٗل‬:ٍَ ‫ع َُ ؟ هَب‬ َ ‫ اُ ِّشهَبةِ أَ ْك‬١ ُّ َ‫ أ‬:‫ذ‬
ُ ِْ ُ‫ه‬
.ِٚ٤ْ َِ‫ن َػ‬ٌ َ‫ي » ُٓزَّل‬ َ ‫ َٗ ْل ِغ‬٠َِ‫ي َػ‬ َ ْ٘ ِٓ ٌ‫ص َذهَخ‬
َ ‫َب‬َِّٜٗ‫بط كَا‬
ِ َُّ٘‫ى َػ ِٖ ا‬ َ ‫ق َش َّش‬ُّ ٌُ َ‫ « ر‬:ٍَ ‫ْط اُْ َؼ َٔ َِ؟ هَب‬ ِ ‫ذ َػ ْٖ ثَؼ‬ َ ْٕ ِ‫ْذَ ئ‬٣َ‫ ٍَ َّللاِ أَ َسأ‬ُْٞ ‫َب َسع‬٣
ُ ‫ظ ُؼ ْل‬
Daripada Abu Dzar Jundab bin Junadah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya
kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?”

Baginda bersabda, “Beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah.”

Aku bertanya, “Budak (hamba sahaya) seperti apakah yang paling utama untuk
dimerdekakan?”

Baginda bersabda, “Budak yang paling dicintai oleh tuannya dan termahal harganya.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Jika aku tidak mampu melakukannya?”

Baginda bersabda, “Engkau membantu orang yang fakir atau orang yang tidak mampu
bekerja.”

Aku bertanya lagi, “Bagaimana jika aku tidak mampu untuk menunaikan sebagian
pekerjaan?”

Baginda bersabda, “Engkau menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan kepada sesama
manusia, kerana sesungguhnya yang demikian itu merupakan sedekah darimu untuk
dirimu sendiri.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2518. Muslim no. 84]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini “Bab banyaknya jalan
kebaikan” riwayat dari Abu Dzar Jundab bin Junadah radhiyallahu anhu ia bertanya
kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling utama?”

Baginda bersabda, “Beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah.” Para sahabat
radhiyallahu anhum bertanya kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dengan
tujuan untuk diamalkan, bukan seperti kebanyakan generasi setelahnya bertanya tentang
amal yang paling utama, tetapi bukan untuk diamalkan.

Inilah potret sahabat Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu yang bertanya kepada Rasulullah 4
bersabda, “Shalat tepat pada waktunya.” Kemudian apa lagi?” Baginda bersabda, “Berbuat
baik kepada orang tua.” Kemudian apa lagi?” Baginda bersabda, “Jihad di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7534. Muslim no. 85]

Begitu juga Abu Dzar radhiyallahu anhum bertanya kepada Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam tentang amalan yang paling utama, kemudian baginda menjelaskan bahwa
amalan yang paling utama adalah, beriman kepada Allah dan jihad fisabilillah, kemudian
ia bertanya tentang budak (hamba sahaya) yang paling utama dimerdekakan, kemudian
baginda bersabda, “Yang paling dicintai oleh tuannya dan termahal harganya.”
Memerdekakan budak seperti ini tentunya tidak ada yang mampu menunaikannya kecuali
orang yang kuat imannya. Misalnya seseorang memiliki banyak budak, salah satunya rajin
dan sangat bermanfaat untuk tuannya disamping itu ia juga mahal harganya, manakah
yang lebih utama untuk dimerdekakan? Tentunya budak inilah yang lebih utama untuk
dimerdekakan, kerana budak itu paling disayangi oleh tuannya dan hartanya termahal,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam ini, begitu firman Allah Ta'ala,

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 92)

Inilah Ibnu Umar radhiyallahu anhuma setiap kali ia memiliki suatu harta dan mulai
mencintainya maka ia menyedekahkannya, kerana mengikuti ayat ini.

Ketika turun ayat ini,

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 92)

Abu Thalhah radhiyallahu anhu datang mengadap Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
dan bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan firman-Nya, “Kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai.” Dan harta yang paling saya cintai adalah Buraiha, kebun yang
bersih dekat masjid Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam sering mendatangi kebun itu untuk minum airnya yang segar, -seperti inilah
kebanyakan sahabat- “Saya menyedekahkanya untuk Allah dan rasul-Nya, maka
distribusikanlah sekehendakmu wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda, “Bakh, Bakh.” Baginda takjub seraya bersabda, “Harta yang
menguntungkan, harta yang beruntung!” Kemudian melanjutkan sabdanya, “Menurutku
engkau sedekahkan untuk karib kerabatmu.” Kemudian Abu Thalhah membagikannya
kepada kerabatnya.

[Shahih Al-Bukhari no. 1367, 2562 Muslim no. 1664]

Pelajaran yang dapat kita petik bahwa para sahabat itu berlomba-lomba dalam kebaikan.

Kemudian Abu Dzar radhiyallahu anhu bertanya, “Bagaimana kalau tidak mampu?” Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, Kamu membantu orang yang fakir atau orang yang
tidak mampu bekerja.”
Membantu mereka untuk meringankan bebannya, kerana yang demikian termasuk
sedekah dan amal shalih.

Kemudian ia bertanya, “Bagaimana jika aku tidak mampu untuk menunaikan sebagian
pekerjaan?” Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menahan diri untuk
tidak berbuat kejahatan kepada sesama manusia, kerana sesungguhnya yang demikian itu
merupakan sedekah darimu untuk dirimu sendiri.” Inilah tingkatan amal shalih yang
paling rendah, menahan kejahatan dirinya agar orang lain selamat darinya.
5
Hadits 118.
‫ْ َذ ٍخ‬٤ِ‫ كَ ٌَُُّ رَغْج‬،ٌ‫ص َذهَخ‬َ ْْ ًُ ‫ ِٓ ْٖ أَ َد ِذ‬٠َٓ ‫ ًَُِّ ع َُما‬٠َِ‫ت ِِ ُح َػ‬
ِ ْ‫ُص‬٣ :ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ْ٤َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ َ ِ‫ْ ٍَ َّللا‬ُٞ‫ْعًب أَ َّٕ َسع‬٣َ‫ُ ا‬ْٚ٘‫ َّللاُ َػ‬٢َ ‫ظ‬ ِ ‫ َر ٍّس َس‬٢ِ‫ػ َْٖ أَث‬
َ‫ُجْ ِضبُ ِٓ ْٖ َرُِي‬٣َٝ .ٌ‫ص َذمََِ ح‬ َ ‫ ػ َِٖ اُْ ُْٔ٘ ٌَ ِش‬٢ْ
ٌ ََٜٗٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬َ ‫ف‬ُِٝ ‫أَ ْٓ ٌش ثِبُْ َٔ ْؼش‬َٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬
َ ‫ْ َش ٍح‬٤ِ‫ ًَُُّ رَ ٌْج‬َٝ ،ُ‫ص َذهَخ‬ َ ٍٚ َِْ٤َِِْٜ‫ ًَُُّ ر‬ٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬
َ ‫ْ َذ ٍح‬٤ِٔ ْ‫ ًَُُّ رَذ‬َٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬ َ
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ » َس‬٠‫ُ َٔب َِٖٓ اُعُّ َذ‬ٜ‫َشْ ًَ ُؼ‬٣ ٕ‫ب‬ َ
ِ َ ‫َس‬
‫ز‬ ‫ؼ‬ ْ
ً
Daripada Abu Dzar radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Setiap pagi dari persendian setiap anggota tubuh salah seorang dari kalian (harus
dikeluarkan) sedekahnya. Setiap tasbih ucapan (Subhanallah) adalah sedekah, setiap
tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaha Illallah) adalah sedekah,
setiap takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah. Memerintahkan kepada kebaikan adalah
sedekah, dan mencegah dari yang mungkar juga sedekah. Dan semua itu sudah memadai
dengan menunaikan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat.”

[Shahih Muslim no. 720]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Pada setiap pagi dari
persendian anggota tubuh salah seorang dari kalian (harus dikeluarkan) sedekahnya,”
maksudnya setiap datang pagi hari setiap orang itu wajib sedekah untuk setiap anggota
tubuh dan setiap ruas tulangnya.

Para ahli mengatakan bahwa setiap orang itu memiliki tiga ratus enam puluh ruas tulang,
baik besar hingga yang kecil. Berarti ia wajib mengeluarkan tiga ratus enam puluh
sedekah.
Tetapi sedekah ini bukan terbatas dengan harta, semua pintu kebaikan adalah sedekah
baginya, setiap tahlil, takbir, memerintahkan yang baik, mencegah yang mungkar dan
setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala baik ucapan mahupun
perbuatan, adalah sedekah, bahkan Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya jika kamu membantu seseorang menaiki kenderaannya atau


mengangkat barang di atasnya, maka itu merupakan sedekah.”

[Shahih Muslim no. 1677]

Semua amal shalih itu sedekah, membaca Al-Qur'an, menuntut ilmu, dengan demikian ia
telah banyak sedekah bahkan mencapai jumlah ini, yaitu tiga ratus enam puluh.

“Dan semua itu sudah memadai dengan menunaikan shalat dhuha sebanyak dua
rakaat.” Yaitu jika kita menunaikan dua rakaat shalat dhuha maka telah memenuhi
kewajiban banyak sedekah ini, inilah kemudahan dari Allah Ta'ala untuk hamba-Nya.

Hadits ini sebagai dalil bahwa dua rakaat shalat Dhuha itu hukumnya sunnah dikerjakan
setiap hari, kerana jika setiap hari kita wajib bersedekah sejumlah ruas tulang ini, maka
dua rakaat shalat Dhuha ini memenuhinya, dengan demikian hendaknya shalat Dhuha ini
ditunaikan setiap hari untuk memenuhi kewajiban sedekah ini.

Para ulama mengatakan bahwa waktu shalat Dhuha itu dimulai sejak matahari mulai naik
sekitar satu tombak, yaitu sekitar seperempat atau sepertiga jam setelah terbit matahari
sampai sebelum tergelincir sekitar sepuluh minit, jeda ini adalah waktu shalat Dhuha
boleh ditunaikan di dalamnya, tetapi yang utama ditunaikan pada akhir waktu, dengan
sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Shalat awwabin (Dhuha) adalah ketika anak unta merasa kepanasan.”

[Shahih Muslim no. 1237, 1238] 6


Dengan demikian mengakhirkan shalat Dhuha itu lebih utama daripada menunaikannya
pada awal waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam kecuali jika ada hal-hal yang memberatkan.

Kesimpulannya bahwa Allah Ta'ala telah membuka banyak pintu kebaikan, semua amal
yang ia tunaikan ini akan mendapat kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali
lipat bahkan lebih dari itu sekehendak Allah Ta'ala.
Hadits 119.
ُ ‫ َج ْذ‬َٞ َ‫َب ك‬ُٜ‫ِّئ‬٤‫ َع‬َٝ ‫َب‬ُٜ٘‫ َد َغ‬٢ِ‫ أَ ْػ َٔب ٍُ أُ َّٓز‬٢
ِٖ ‫ُ َٔبغُ َػ‬٣ ٟ‫َب اْْلَ َر‬ُِٜ‫ َٓ َذب ِع َٖ أَ ْػ َٔب‬٢ِ‫د ك‬ َ ِ‫ « ػُش‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
ْ ‫ظ‬
َّ َِ‫ذ َػ‬ َ ٢ُّ ِ‫ هَب ٍَ اَُّ٘ج‬:ٍَ ‫ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ ََل رُ ْذكَٖ » َس‬٢ِ‫ُٕ ك‬ٌُٞ َ‫َب اَُّ٘ َخب َػخ ُ ر‬ُِٜ‫ ِء أَ ْػ َٔب‬ٟ
ِ ٝ‫ب‬
ِ ‫ َٓ َغ‬٢ِ‫د ك‬ ُ ‫ َج ْذ‬َٝ َٝ ،‫ن‬٣ ِ ‫اُطَّ ِش‬
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Semua amalan umatku diperlihatkan padaku baik itu yang baik mahupun yang buruk,
aku mendapatkan di antara kebaikannya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan dan
aku mendapatkan antara keburukannya adalah ingus yang dibiarkan di masjid tanpa
dikubur atau dibersihkan.”

[Shahih Muslim no. 553]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Semua amalan umatku
diperlihatkan padaku baik itu yang baik mahupun yang buruk.” Maksudnya Allah Ta'ala
yang memperlihatkan dan menjelaskan semua amalan ini, kerana Dialah yang berhak
mengharamkan dan mewajibkan amalan hamba.

Allah Ta'ala memperlihatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam


kebaikan dan keburukan amalan umat ini, di antara kebaikannya adalah “Menyingkirkan
gangguan dari jalan,” yaitu menyingkirkan semua yang mengganggu orang ramai yang
lewat di jalan,
seperti dahan pokok jatuh, duri, kaca, batu dan setiap benda yang menggangu orang yang
berjalan, maka amalan ini termasuk amal shalih.

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyingkirkan sesuatu yang
menggangu dari jalan itu merupakan amal shalih dan mendapatkan pahala sedekah, Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya iman itu terbagi menjadi tujuh puluh lebih bagian, yang tertinggi adalah
ucapan “Laailaaha Illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu
yang menggangu dari jalan dan rasa malu itu sebagian dari iman.”

[Shahih Al-Bukhari no. 8. Muslim no. 51]

Oleh kerana itu jika kita melihat sesuatu yang menggangu di jalan maka hendaknya kita
menyingkirkannya, kerana yang demikian itu termasuk amal shalih, sedekah, dan
sebagian dari keimanan kita.

Jika perbuatan ini termasuk kebaikan dan sedekah maka meletakkan sesuatu yang
mengganggu jalan termasuk amal keburukan, orang yang suka membuang sampah di jalan
atau di jalanan pasar atau dimana-mana tempat yang tidak sepatutnya, tentunya mereka
telah menyakiti dan mengganggu orang lain yang berjalan dan termasuk perbuatan yang
berdosa, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,


tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 58) 7
kerananya maka orang yang membuangnya bertanggungjawab, ia wajib membayar diyat
atau denda jika tidak mampu. Yang penting bahwa hal ini termasuk perbuatan yang
menyakiti kaum muslimin.

Begitu pula membuang air ke jalanan di pasar-pasar tentunya mengganggu orang lain,
ketika mobil lewat mengotori pakaian orang yang lewat disampingnya, atau merusak aspal
jalan kerana mengikisnya.

Hal ini sangat menyedihkan, kita umat Islam tetapi tidak menghiraukan masalah yang
penting ini, seolah tidak merasa berdosa, membuang sampah di pasar-pasar, membuang
pecahan kaca, ranting pepohonan atau bahkan membuang batu besar di jalanan, seolah
tidak merasa bersalah. Oleh kerana itu kita dianjurkan menjaga kebersihan dan
menyingkirkan sesuatu yang mengganggu jalan setiap kali kita melihatnya, kerana ia
termasuk amal shalih.

“Dan aku mendapatkan antara keburukannya adalah ingus yang dibiarkan di masjid
tanpa dikubur atau dibersihkan.” Di masjid terdapat dahak kerana pada zaman
Rasulullah, lantai masjidnya berupa pasir dan jika terdapat dahak cukup di kubur,
sedangkan sekarang lantainya sudah tidak berupa tanah, jika terdapat kotoran seperti itu
hendaknya di ambil dengan tisu. Walaupun demikian mengeluarkan dahak meludah di
masjid, hukumnya haram, barangsiapa yang melakukannya ia berdosa, sebagaimana
sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

‫ب‬َٜ ُ٘‫َب َد ْك‬ُٜ‫ ًَلَّب َسر‬َٝ ٌ‫ئَخ‬٤ْ ‫ اُْ َٔ ْغ ِج ِذ َخ ِط‬٢‫م ِك‬


ُ ‫ا ُْجُ َضا‬

“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan
dikubur (dibersihkan) ludah tersebut.”

[Shahih Al-Bukhari no. 40 Muslim no. 1006]

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menetapkan orang yang melakukannya adalah


bersalah dan kafarat kesalahannya adalah menguburkannya (membersihkan), maksudnya
pelakunya jika ingin bertaubat cukup dengan menguburkannya, tetapi sekarang cukup di
lap dengan sapu tangan atau tisu. Jika ini adalah dahak apalagi dengan yang lebih besar
dari itu, seseorang yang masuk masjid dengan sepatunya tanpa memeriksanya terlebih
dahulu apakah ada kotoran sehingga mengotori masjid, tentunya hal ini lebih besar
daripada dahak atau ludah.

Di antaranya juga ada orang yang meludah dalam tisu kemudian di buang di masjid, tentu
hal ini mengganggu orang lain kerana setiap orang melihatnya merasa jijik apalagi di
rumah Allah, jika menyimpannya di saku sehingga ketika keluar dari masjid dibuang pada
tempatnya akan lebih baik dan tidak mengganggu orang lain.

Hadits 120.
ٍِ ُْٞ ‫ َٕ ِثلُع‬ْٞ ُ‫ص َّذه‬ َ َ‫ز‬٣َ َٝ ،ُّ ُْٞ ‫ َٕ ًَ َٔب َٗص‬ْٞ ُٓ ْٞ ‫ص‬ ُ ٣َ َٝ ،٠ِِّ‫ص‬ َ ُ٣ ،‫ ِس‬ُْٞ ‫ ِس ِثبْْلُج‬ْٞ ُ‫ َُ اُ ُّذث‬ْٛ َ‫ت أ‬
َ ُٗ ‫ َٕ ًَ َٔب‬ْٞ ُِّ‫ص‬ ِ ٍَ ُْٞ ‫ب َسع‬٣َ :‫ا‬ْٞ ُُ‫ أَ َّٕ َٗبعًبهَب‬:ُْٚ٘ ‫َػ‬
َ َٛ‫ َر‬،‫َّللا‬
ٍ‫َِخ‬٤ْ ِِْٜ َ‫ ًُ َِّ ر‬َٝ ،ً‫ص َذهَخ‬َ ‫ َّذ ٍح‬٤ْ ِٔ ْ‫ ًُ َِّ رَذ‬َٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬
َ ‫ َش ٍح‬٤ْ ‫ ًُ َِّ رَ ٌْ ِج‬َٝ ،ً‫ص َذهَخ‬َ ‫ َذ ٍخ‬٤ْ ‫ ِئ َّٕ ثِ ٌُ َِّ رَ ْغ ِج‬:ِٚ ‫ َٕ ِث‬ْٞ ُ‫ص َّذه‬
َ َ‫ْظ هَ ْذ َج َؼ ََ َُ ٌُ ْْ َٓب ر‬ َ ٤َُ َٝ َ‫ « أ‬:ٍَ ‫ ْْ هَب‬ِٜ ُِ‫ا‬َٞ ْٓ َ‫أ‬
ُٕ ْٞ ٌُ َ٣َٝ ،َُٚ‫ر‬َٞ ْٜ ‫ أَ َد ُذَٗب َش‬٢ِ‫َأْر‬٣َ‫ ٍَ َّللاِ أ‬ُْٞ ‫َب َسع‬٣ :‫ا‬ْٞ ُُ‫ص َذهَخٌ » هَب‬ َ ْْ ًُ ‫ ثُعْغِ أَ َد ِذ‬٢ِ‫ك‬َٝ ٌ ‫ص َذهَخ‬ َ ‫ َػ ْٖ اُْ ُٔ ْ٘ ٌَ ِش‬٠ ٌ ََْٜٗٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬ َ ‫ف‬ ِ ُْٝ ‫أَ ْٓ ٌش ِثبُْ َٔ ْؼش‬َٝ ،ً‫ص َذهَخ‬
َ
َ
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ُ أجْ ٌش » َس‬ُٚ ٕ‫ب‬ َ ْ
َ ًَ ٍِ ‫ اُ َذ َما‬٢ِ‫َب ك‬ٜ‫ظ َؼ‬ َ َٝ ‫ي ئِرا‬ َ َ ْ
َ ُِ‫صسٌ؟ كَ ٌَز‬ِٝ ِٚ٤ْ ِ‫بٕ َػ‬ َ َ
َ ًَ ‫ َد َشا ٍّ أ‬٢ِ‫َب ك‬ٜ‫ظ َؼ‬ َ َ َ
َ َٝ ْٞ ُ ْْ ‫ز‬٣ْ ‫ « أ َسأ‬:ٍَ ‫ هَب‬،‫َب أجْ شٌ؟‬ٜ٤ْ ِ‫ُ ك‬َُٚ
َ ُ
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu ia berkata, “Beberapa orang (sahabat) pernah
menyampaikan keluhan kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak, mereka shalat
sebagaimana kami juga shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tetapi mereka mampu
bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian untuk sedekah?” Sesungguhnya setiap
tasbih (Subhanallah) itu sedekah, setiap takbir (Allahu akbar) itu sedekah, setiap tahmid
8
(Alhamdulillah), itu sedekah, setiap tahlil (Laa Ilaha Illallah) itu sedekah. Menyuruh pada
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang di antara kami
mendapatkan pahala sedangkan dia mengikuti syahwatnya?”

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah seseorang yang menyalurkan


syahwatnya pada yang haram dia berdosa?” Maka demikian pula apabila dia
menempatkan syahwatnya itu pada yang halal, dia akan mendapat pahala.”

[Shahih Muslim no. 1006]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar radhiyallahu anhu
bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah, orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak.” Maksudnya mereka
lebih banyak mendapatkan pahala dari kami, “Mereka shalat sebagaimana kami juga
shalat, berpuasa sebagaimana kami puasa, tetapi mereka mampu bersedekah dengan
kelebihan harta mereka.” Maksudnya kami dengan mereka sama-sama mengerjakan
ibadah shalat, puasa tetapi mereka lebih banyak pahala sedekah harta yang Allah
kurniakan, sementara kami tidak mampu berbuat demikian.

Hal ini senada dengan ungkapan para sahabat yang fakir muhajirin, “Orang-orang kaya
mampu memerdekakan budak (hamba sahaya) tetapi kami tidak mampu.” Mari kita
renungkan sikap para sahabat yang memiliki semangat yang tinggi ini, mereka iri jika
tidak mampu menyedekahkan harta seperti orang-orang kaya yang menyedekahkan harta
dan memerdekakan budak, tidak mengatakan “mereka bergelimang dengan harta,
memiliki kenderaan mewah, tinggal di istana, berpakaian indah,” tetapi mereka adalah
kaum yang lebih memprioritaskan kehidupan yang abadi yaitu akhirat. Sebagaimana Allah
Ta'ala berfirman,

“Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.” (QS.
Adh-Dhuhâ: 93: 4)

Para sahabat protes kepada Rasulullah kerana ketamakan mereka terhadap kebaikan
bukan kerana iri dengki atau kerana tidak menerima takdir Allah Ta'ala, tetapi mereka
memohon karunia dari orang-orang kaya yang dengan leluasa menyedekahkan harta
mereka.

Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan
bagi kalian untuk sedekah?” Maksudnya jika kalian tidak mampu bersedekah dengan
harta, maka ada sedekah lain dengan amal shalih, “Sesungguhnya setiap tasbih, takbir
dan tahmid adalah sedekah, juga menyuruh pada kebaikan, mencegah berbuat
kemungkaran.” Kita telah membahas empat hal yang pertama.
Adapun, “Juga menyuruh pada kebaikan dan mencegah berbuat kemungkaran.” Kerana
perbuatan ini adalah sebaik-baik sedekah dan Allah mengutamakan umat ini atas umat
yang lainnya dengan hal itu, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (kerana
kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 11)

Amar makruf dan nahi mungkar ini memiliki beberapa syarat:

1. Pelakunya perlu memahami syariat Islam. Seseorang yang tidak memahami syariat tidak
boleh berbicara mengenai agama, kerana ia berbicara atas nama agama, maka tidak
diperbolehkan berbicara tanpa dasar ilmu agama.

Allah mengharamkan hal itu dalam Al-Qur'an, 9


“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kerana
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)
kerana salah satu bentuk kemungkaran adalah mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau
buruk tanpa mengetahui dasarnya.

2. Mengetahui bahwa orang yang diajaknya itu benar-benar melanggar perintah Allah atau
mengabaikan perintah-Nya, kalau tidak mengetahui maka tidak boleh melakukannya
kerana ia termasuk dalam firman Allah ini, yaitu mengikuti sesuatu yang tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya,

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Kerana
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)

Sesetengah orang yang memiliki semangat tinggi untuk amar makruf dan nahi mungkar
terburu-buru mengingkari kemungkaran tanpa mengetahui kondisi objek dakwahnya.
Misalnya, seseorang yang melihat orang yang sedang berduaan dengan seorang wanita di
tempat awam, tidak berfikir panjang ia langsung menegurnya, “Kenapa ia bersama
seorang wanita.” Tidak berfikir terlebih dahulu mungkin saja wanita itu adalah
mahramnya, tindakan ini merupakan kesalahan besar bagi seorang da'i, jika kira-kira
meragukan maka bertanyalah terlebih dahulu, tetapi jika tidak maka jangan berbicara.

Mari kita lihat sikap Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bagaimana baginda bersikap
dalam masalah ini, pada hari Jum'at, ada seseorang yang masuk masjid ketika Rasulullah
sedang berkhubah, tiba-tiba orang itu langsung duduk kemudian baginda
bertanya, “Apakah kamu telah shalat?” Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda, “Berdirilah dan shalat dua rakaat yang pendek.”

[Shahih Muslim no. 1449]

Baginda tidak menegurnya, “Kenapa kamu duduk?”


Kerana seseorang yang masuk masjid itu dilarang duduk sebelum shalat dua rakaat
(Tahiyatul Masjid), bila-bila saja masuk masjid baik pagi, petang, sehabis Ashar, setelah
Maghrib, setelah fajar hendaknya shalat dua rakaat terlebih dahulu. Orang ini datang
langsung duduk tetapi kemungkinan ia telah shalat sebelumnya dan Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam tidak melihatnya, oleh kerana itu baginda bertanya, “Apakah kamu telah
shalat?” Kemudian baginda bersabda dengan sabdanya ini, “Berdirilah dan shalatlah dua
rakaat pendek.” Baginda tidak memerintahkannya untuk berdiri dan menunaikan shalat
sebelum bertanya terlebih dahulu, inilah sikap bijak dari Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam.

3. Tindakannya tidak mengakibatkan perbuatan yang lebih mungkar darinya, jika


kemungkinan terjadi demikian maka ia menahan tindakannya kerana termasuk
mengambil tindakan yang lebih ringan akibat keburukannya. Misalnya seseorang yang
merokok, kalau kita larang ia akan meminum khamer, maka lebih baik kita tidak
melarangnya jika kita mengetahui demikian, kerana merokok itu lebih ringan daripada
minum khamer, dalilnya firman Allah Ta'ala,

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS.
Al-An'âm: 6: 108)

Mencaci tuhan orang-orang musyrik itu disyariatkan, tetapi jika hal itu mengakibatkan
mereka mencaci Allah Ta'ala Tuhan Yang Mahamulia maka dilarang, oleh kerana itu
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
10
“Allah mengutuk orang yang mengutuk orang tuanya.”

[Shahih Muslim no. 1978]

Dan sabdanya yang lain,

“Termasuk dosa besar adalah seseorang yang mencaci maki kedua orang tuanya.”
Kemudian para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci
maki kedua orang tuanya?”

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Benar. Seseorang mencela bapak


orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu
orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.”

[Shahih Muslim no. 90]

Kesimpulannya bahwa amar makruf dan nahi mungkar itu hendaknya tidak
mengakibatkan yang lebih mungkar darinya, untuk menjaga agar tidak terjadi
kemungkaran yang lebih besar.

Di samping itu pelaku amar makruf dan nahi mungkar wajib memiliki niat untuk
kemaslahatan bersama, bukan untuk bangga-banggaan, kerana sesetengah orang
melakukannya dengan tujuan untuk mendapat kekuasaan, ini adalah kesalahan besar, bisa
jadi ia dapat meredam kemungkaran tetapi tidak banyak bermanfaat baginya. Jika kalian
ingin amar makruf dan nahi mungkar maka pertama-tama luruskanlah niat untuk
kemaslahatan umat, bukan tujuan popularitas dan menguasai mereka, sehingga Allah
mencurahkan keberkahan kepada kalian.

Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Bersetubuh (dengan isteri) juga
adalah sedekah.” Yaitu seseorang yang bersetubuh dengan isterinya bernilai sedekah
baginya. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang di antara kami
mendapatkan pahala sedangkan dia mengikuti syahwatnya?” Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda, “Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang
haram dia berdosa?” Misalnya berzina menyalurkannya syahwatnya pada yang haram
apakah mendapatkan dosa? Mereka menjawab, “Ya.” Maka Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Maka demikian pula apabila dia menempatkan syahwatnya itu pada
yang halal, dia akan mendapat pahala.” Alhamdulillah, artinya jika seseorang itu merasa
cukup dengan yang dihalalkan Allah, maka baginya pahala dengan sikap sabarnya itu.

Begitu pula seseorang yang makan dan minum yang halal, maka ia juga mendapatkan
pahala darinya, kerana ia bersabar dengan merasa cukup dengan halal, maka Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda kepada Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu
anhu, “Ketahuilah bahwa kamu tidak akan menginfakkan harta sedikit pun yang
bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah kecuali kamu akan mendapatkan pahalanya,
bahkan nafkah yang kamu berikan kepada isterimu.”

Padahal nafkah yang di berikan kepada isteri dan keluarganya adalah kewajibannya.
Dengan demikian seorang isteri boleh menuntut cerai kepada suami jika tidak
memberinya nafkah sementara ia mampu, kerananya jika suami memberi nafkah kepada
isteri dengan ikhlas mencari ridha Allah, maka ia mendapatkan pahala.

Dalam hadits ini terdapat pelajaran yang dikenal di kalangan ulama dengan 'qiyas terbalik'
yaitu menetapkan sesuatu hukum kebalikan dengan hukum asal kerana perbedaan illah.
Illah dalam hadits ini adalah seseorang mendapat pahala jika berhubungan badan dengan
isterinya, yaitu menyalurkan syahwatnya pada yang halal, kebalikan illah ini adalah
menyalurkan syahwatnya pada yang haram hukumnya berdosa. Inilah yang disebut para
ulama dengan qiyas terbalik, kerana qiyas itu bermacam-macam: qqiyas illah, qiyas
dilalah, qiyas syabah, qiyas 'aks (terbalik).
11
Hadits 121.
َ ‫ اَ َخب‬٠َ‫ اَ ْٕ رَ ِْو‬ْٞ ََُٝ ‫ئًب‬٤ْ ‫ف َش‬ُٝ
ٍ ٤ْ ِِ َ‫ غ‬ٍٚ ْ‫ج‬َٞ ‫ى َث‬
.ٌْ ِِ ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ن » َس‬ ِ ‫ « ََل رَذْ ِو َش َّٕ ِٓ َٖ اُْ َٔ ْؼش‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ٢ُّ ‫ اَُّ٘ ِج‬٠ُِ ٍَ ‫ هَب‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
Daripada (Abu Dzar) radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Janganlah sekali-kali meremehkan suatu kebaikan, walaupun hanya melemparkan


senyuman kepada saudaramu ketika bertemu.”

[Shahih Muslim no. 2626]

Hadits 122.
ْ ‫ ٍّ ر‬ْٞ ٣َ ََّ ًُ ٌ ‫ص َذهخ‬
ِٚ ٤ْ ‫َطُِ ُغ ِك‬ ِ َُّ٘‫ ِٓ َٖ ا‬٠َٓ ‫ « ًُ َُّ ع َُما‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ِٚ ٤ْ َِ‫بط َػ‬ ِ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللا ُ َػ‬٢َ ‫ظ‬
َ ‫َّللا‬ ِ ‫ َشحَ َس‬٣ْ ‫ ُ َش‬ٛ ٢ْ ‫َػ ْٖ أَ ِث‬
،ٌ‫ص َذهَخ‬ َّ ْ
َ ُ‫ِّجَخ‬٤‫اُ ٌَِِ َٔخ ُ اُط‬َٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬ َ
َ ُٚ‫َب َٓزَب َػ‬ٜ٤ْ َِ‫ ُ َػ‬َُٚ ‫ رَشْ كَ ُغ‬ْٝ ‫ أ‬،‫َب‬ٜ٤ْ َِ‫ُ َػ‬ُِِٚٔ ْ‫ كَزَذ‬،ِٚ ِ‫ َداثَّز‬٢ِ‫ُْٖ اُ َّش ُج ََ ك‬٤‫رُ ِؼ‬َٝ ،ٌ‫ص َذهَخ‬ ْ
َ ِٖ ٤ْ َ٘‫ َْٖ ا َِلث‬٤َ‫ رَ ْؼ ِذ ٍُ ث‬:‫ظ‬
ُ ْٔ ‫ش‬ َّ ُ‫ا‬
ٌ
ٌ َ‫ص َذهَخ » ُٓزَّل‬
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ َ ‫ْن‬ َّ َ ْ ُ
ِ ٣‫ َػ ِٖ اُط ِش‬ٟ‫ػ اْل َر‬٤ْ ِٔ ُ‫ر‬َٝ ،‫ص َذهَخ‬ ٌ ْ
َ ‫ اُص ََّما ِح‬٠َُِ‫َب ئ‬ٜ٤ْ ‫ ٍح رَ ْٔ ِش‬َٞ ‫ ِث ٌُ َِّ خَط‬َٝ

َ ِِ‫ ُ ُخ‬َّٚٗ‫ « ئ‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬


َّ ‫ آ َد‬٢َِ٘‫ن ًُ َُّ ئ ْٗ َغب ٍٕ ِٓ ْٖ ث‬ ِ َّ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:‫ذ‬
َ ‫َّللا‬ ِ ‫َ ِخ َػبئِ َشخَ َس‬٣‫ا‬َٝ ‫عًب ِٓ ْٖ ِس‬٣ْ َ‫ ُٓ ْغِِْ أ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ َس‬َٝ
َّ ٢َ ‫ظ‬
ْ َُ‫َب هَب‬ْٜ٘ ‫َّللا ُ َػ‬
ْٝ َ‫ ًَخً أ‬ْٞ ‫ َش‬ٝ‫أ‬
ْ ‫بط‬ِ َُّ٘‫ْن ا‬ ِ ٣‫ َػ َض ٍَ َد َج ًشا َػ ْٖ غَ ِش‬َٝ ،َ‫ا ْعزَ ْـلَ َش َّللا‬َٝ َ‫ َعجَّ َخ َّللا‬َٝ ،َ‫ََِّ ََ َّللا‬َٛٝ ،َ‫ َد ِٔ َذ َّللا‬َٝ ،َ‫ٖٔ ًَجَّش َّللا‬ ْ َ‫ ك‬،ٍَ ‫ص‬ ِ ْ‫ثَ َماثُ ِٔبئَ ِخ َٓل‬َٝ َْٖ ٤ِّ‫ ِعز‬٠َِ‫َػ‬
َ ِّ‫ َػ َذ َد اُ ِّغز‬،‫ َػ ْٖ ُْٓ٘ ٌَ ٍش‬٠َٜ ٗ ْٝ َ‫ف أ‬ُٝ
ِ َُّ٘‫ُ َػ ِٖ ا‬ٚ‫هَ ْذ صَدْ َض َح َٗ ْل َغ‬َٝ ‫ َٓ ِئ ٍز‬ْٞ ٣َ ٢‫ُ ْٔ ِغ‬٣ ُ َِّٚٗ‫ كَا‬،‫اُثَّ َماثُ ِٔبئَ ٍخ‬َٝ ٖ٤
. ‫بس‬ ٍ ‫ أَ َٓ َش ِث َٔ ْؼش‬ْٝ َ‫ أ‬،‫بط‬
ِ َُّ٘‫ْن ا‬ ِ ٣‫ظ ًٔب َػ ْٖ غَ ِش‬ ْ ‫َػ‬
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Bagi setiap ruas persendian tubuh manusia harus dikeluarkan sedekah, pada setiap hari
selama matahari terbit. Berbuat adil pada dua orang yang berselisih adalah sedekah,
membantu seseorang menaiki kenderaannya atau membantu menaikkan barangnya
adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah dan setiap langkah yang digunakan
menuju (masjid) untuk shalat adalah sedekah dan menyingkirkan sesuatu yang
mengganggu jalan adalah sedekah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2989. Muslim no. 1009]

Dalam riwayat Muslim daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, Rasulullah


shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya setiap anak Adam itu diciptakan memiliki tiga ratus enam puluh ruas
tulang (persendian), maka barangsiapa yang bertakbir (Allahu akbar), bertahmid
(Alhamdulillah), bertahlil (Laa Ilaha Illallah), bertasbih (Subhaanallah), beristighfar
(Astaghfirullah), menyingkirkan sesuatu dari jalan, memerintahkan yang baik dan
mencegah kemungkaran (semuanya dilakukan) sehingga genap tiga ratus enam puluh kali,
maka pada hari itu ia telah menjauhkan dirinya dari neraka.”

[Shahih Muslim no. 1007]

Hadits 123.
ٌ َ‫ َسا َح » ُٓزَّل‬ْٝ َ‫ ا ُْ َجَّ٘ ِخ ٗ ُ ُض ًَل ًُِ َّ َٔب َؿ َذا أ‬٢ِ‫ُ ك‬َُٚ ُ‫ أَ َػذَّ َّللا‬،‫ َسا َح‬ْٝ َ‫ ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ أ‬٠َُِ‫ « َٓ ْٖ َؿ َذا ئ‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
.ِٚ٤ْ َِ‫ن َػ‬ ِّ ِ‫ َػ ِٖ اَُ٘ج‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ٢
Daripada (Abu Hurairah) radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Barangsiapa yang pergi ke masjid di pagi mahupun petang hari, maka Allah menyediakan
baginya hidangan di surga setiap kali dia pergi di pagi atau petang hari.”

[Shahih Al-Bukhari no. 662. Muslim no. 669]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut hadits ini yang diriwayatkan daripada Abu
12
Hurairah radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu „alaihi wa
kata “Raaha” artinya setelah matahari tergelincir yaitu untuk menunaikan shalat Zhuhur
dan Ashar. Kata ini khusus untuk pergi saja, sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyyallahu anhu, “Barangsiapa yang mandi hari
Jum'at kemudian ia pergi ke masjid pada awal waktu,” yaitu berangkat ke masjid pada
awal waktu, tetapi jika kata “raha” digabung dengan kata “ghaada” artinya adalah awal
dan akhir hari.

Secara zahir hadits ini bahwa setiap orang yang berangkat ke masjid pada awal atau akhir
siang untuk menunaikan shalat atau menuntut ilmu atau untuk maksud yang baik, maka
Allah akan menyediakan hidangan baginya di surga sebagai penghormatan baginya.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa orang yang berangkat ke masjid baik pada pagi atau
petang hari akan mendapat pahala yang agung. Ini merupakan kurnia Allah Ta'ala untuk
hamba-Nya, hanya dengan menunaikan amal yang sederhana ini mendapat pahala yang
luar biasa.

Hadits 124.
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ ِ ‫ب ِٗ َغب َء ا ُْ ُٔ ْغ ِِ َٔب‬٣َ « :َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللا ُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
ٌ َ‫ ِكشْ ِع َٖ َشبحٍ » ُٓزَّل‬ْٞ ََُٝ ‫َب‬ٜ‫د ََل رَذْ ِو َش َّٕ َجب َسحٌ ُِ َجب َس ِر‬ ِ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
Daripada (Abu Hurairah) radhiyyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Wahai kaum muslimah! Janganlah sekali-kali seorang tetangga merasa rendah untuk
memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kikil kambing!”

[Shahih Al-Bukhari no. 2566, 6017. Muslim no. 1030]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, “Janganlah sekali-kali seorang tetangga


merasa rendah untuk memberi sedekah kepada tetangganya, walaupun hanya berupa
kikil kambing!” Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memberi memotivasi kepada kita
untuk memberikan hadiah kepada tetangga walaupun dengan sesuatu yang kecil, kikil
kambing tentunya sesuatu yang remeh, tetapi baginda bersabda jangan sampai
meremehkan kebaikan walaupun sangat sedikit, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kamu memasak masakan yang berkuah maka perbanyaklah kuahnya dan bagikan
ke tetanggamu!”

[Shahih Muslim no. 4758]

Bahkan sampai kuah masakan, jika kita membagikannya kepada tetangga akan mendapat
pahala. Begitu pula bersikap ramah ketika bertemu dengan sahabat kita, jangan sampai
meremehkan kebaikan walaupun menemui saudara dengan wajah yang ceria, kerana hal
ini termasuk perbuatan yang makruf, tidak menampakkan wajah yang murung, kerana
akan membuatnya bahagia, setiap yang membuat saudara kita bahagia merupakan
perbuatan baik dan mendapat pahala, dan setiap yang membuat orang kafir marah adalah
kebaikan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang
kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu
dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan.” (QS. At-Taubah: 9: 120)

Hadits 125.
ُ‫ب ئِ َٓبغَخ‬َٛ ‫أَ ْدَٗب‬َٝ ،ُ‫َّللا‬ َ ْ‫ كَأَك‬:ً‫ٕ َش ْؼ َجخ‬ٞ
َّ َّ‫ ئَِل‬َٚ َُ‫ ٍُ ََل ِئ‬ْٞ َ‫َب ه‬ُِٜ‫ع‬ َ ُّ‫ ِعز‬َٝ ٌ‫ ِثعْ غ‬ْٝ َ‫ أ‬،َٕ ُْٞ ‫ َع ْجؼ‬َٝ ٌ‫ َٔب ُٕ ِثعْ غ‬٣ْ ‫اإل‬ ِ ْ « :ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬َ ٢ ِّ ‫ُ َػ ْٖ اَُّ٘ ِج‬ْٚ٘ ‫َػ‬
ِ ْ َٖ ِٓ ٌ ‫ش ْؼ َجخ‬
ٌ َ‫ َٔب ِٕ « ُٓزَّل‬٣ْ ‫اإل‬
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ ِ ٣‫ َػ ْٖ اُطَّ ِش‬ٟ‫اْل َر‬
ُ ‫ب ُء‬٤َ ‫ا ُْ َذ‬َٝ ،‫ْن‬ َْ
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
13
bersabda,
“Iman itu mempunyai tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama
adalah ucapan “laa ilaaha illallah” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan, sedangkan perasaan malu itu termasuk salah satu cabang dari iman.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6. Muslim no. 57]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam “Iman itu mempunyai tujuh puluh atau
enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan “laa ilaaha illallah” dan
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, sedangkan perasaan
malu itu termasuk salah satu cabang dari iman.” Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman itu tidak hanya satu cabang, tetapi memiliki
banyak cabang, bahkan sampai tujuh puluh lebih, yaitu antara tujuh puluh tiga hingga
tujuh puluh sembilan cabang, tetapi cabang yang paling utama adalah ucapan “laa ilaaha
illallah,” kerana kalimat ini bila ditimbang dengan langit dan bumi pasti lebih berat,
kerana merupakan kalimat tauhid dan kalimat ikhlas, kalimat yang kita semua berharap
sebagai penutup usia, barangsiapa yang akhir perkataannya di dunia adalah kalimat ini
maka ia masuk surga, kalimat ini adalah cabang iman yang paling utama.

“Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan,” yaitu
menghilangkan setiap yang mengganggu orang yang berjalan, seperti batu, pecahan kaca,
duri dan sebagainya.

Jika kita menyingkirkannya maka itu termasuk keimanan. “Sedangkan perasaan malu itu
termasuk salah satu cabang dari iman.” Dalam hadits yang lain disebutkan, “Rasa malu
itu bagian dari iman,” rasa malu adalah kondisi kejiwaan yang muncul ketika
mengerjakan sesuatu yang dianggap memalukan, ini termasuk sifat yang terpuji yang
dimiliki Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, bahkan baginda lebih pemalu dari gadis
pingitan, tetapi baginda tidak malu untuk menunaikan kebenaran. Rasa malu adalah sifat
terpuji, tetapi bukan malu untuk menunaikan kebenaran. Sebagaimana Allah Ta'ala
berfirman,

“Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.”


(QS. Al-Ahzâb: 33: 53)

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang
lebih kecil dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 26)

Tidak malu mengerjakan yang benar, selain kebenaran sifat malu itu merupakan sifat yang
terpuji. Sebaiknya orang yang tidak kenal rasa malu, tidak pernah peduli dengan ucapan
dan tindakannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya di antara yang didapatkan oleh orang-orang pada masa kenabian sejak
dahulu kala adalah “Jika kamu tidak merasa malu maka buatlah sesuka hatimu!”

[Shahih Al-Bukhari no. 3483]

Hadits 126.
‫ ثُ َّْ َخ َش َج‬،‫ة‬ َ ‫َب كَ َش ِش‬ٜ٤ْ ‫ َج َذ ِث ْئ ًشا كََ٘ َض ٍَ ِك‬َٞ َ‫ ك‬، ُ‫ اُْ َؼطَش‬ِٚ ٤ْ َِ‫ن ا ْشزَ َّذ َػ‬
ٍ ٣ْ ‫ ِثطَ ِش‬٢‫َ ْٔ ِش‬٣ ٌَ ‫َ٘ َٔب َس ُج‬٤ْ ‫ « َث‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ ِ ٍُ ُْٞ ‫ُ أَ َّٕ َسع‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
َ َ َٔ َ‫ كََ٘ َض ٍَ ا ُْ ِج ْئ َش ك‬،٢ِِّ٘ٓ ‫بٕ هَ ْذ َثَِ َؾ‬
َ ًَ ١‫ش ِٓ ْث ََ اَُّ ِز‬ ْ ُ َٜ ِْ٣َ ٌ‫كَاِ َرا ًَ ِْت‬
َُّٚ‫َل ُخل‬ ِ َ‫ َزا ا ُْ ٌَ ِْتُ ِٓ َٖ ا ُْ َؼط‬َٛ ‫ َُوَ ْذ َثَِ َؾ‬:َُ‫ كَوَب ٍَ اُ َّش ُج‬،‫ش‬ ِ َ‫ ِٓ َٖ ا ُْ َؼط‬ٟ‫أ ًُ َُ اُث َّ َش‬٣َ ‫ث‬
‫ ًُ َِّ ًَ ِج ٍذ‬٢ِ‫ « ك‬:ٍَ ‫َبئِْ أَجْ شًا؟ كَوَب‬َٜ‫ ا ُْج‬٢ِ‫ ٍَ َّللاِ ِئ َّٕ ََُ٘ب ك‬ُْٞ ‫َب َسع‬٣ :‫ا‬ُُٞ‫ هَب‬.ُ َُٚ ‫ ُ كَ َـلَ َش‬َُٚ ُ ‫ كَ َش ٌَ َش َّللا‬،‫ت‬ َ ِْ ٌَ ُْ ‫ ا‬٠َ‫ كَ َغو‬٢ َ ِ‫ َسه‬٠َّ‫ َدز‬،ِٚ ٤ْ ِ‫ ُ ِثل‬ٌَٚ ‫َٓب ًء ثُ َّْ أَ ْٓ َغ‬
ٌ َ‫غجَ ٍخ أَجْ ٌش » ُٓزَّل‬
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ ْ ‫َس‬

.َ‫ ُ ا ُْجَّ٘خ‬َِٚ‫ كَأَ ْد َخ‬،َُٚ ‫ُ كَ َـلَ َش‬َُٚ ُ‫ « كَ َش ٌَ َش َّللا‬:١ ِ ‫َخٍ ُِ ِْجُ َخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
ِّ ‫بس‬
ْ ‫ كََ٘ َض َػ‬،ََ ٤‫ ئِ ْع َشائ‬٢َِ٘‫َب ث‬٣‫ ِٓ ْٖ ثَ َـب‬٢ٌّ ‫ُ ثَ ِـ‬ٚ‫ ُ اُْ َؼطَشُ ئِ ْر َسأَ ْر‬ُُِٚ‫ ْوز‬٣ ‫َّخٍ هَ ْذ ًَب َد‬٤ًِ ‫ْقُ ثِش‬٤‫ُ ِط‬٣ ٌ‫َ٘ َٔب ًَ ِْت‬٤ْ َ‫ « ث‬:‫ ُ َٔب‬َُٜ ٍ‫َخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
،ِٚ ِ‫ُ ث‬َُٚ ‫َب كَب ْعزَوذ‬َٜ‫ه‬ُٞٓ ‫ذ‬
.ِٚ ‫ب ِث‬َٜ َُ ‫ُ كَ ُـ ِل َش‬ٚ‫وَ ْز‬14
‫كَ َغ‬
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu „alaihi wa
“Pada sesuatu ketika ada seseorang lelaki sedang berjalan di suatu jalan tiba-tiba ia merasa
sangat kehausan, kemudian ia terjumpa sebuah sumur (perigi), maka ia turun dan
meminum (airnya), kemudian setelah keluar ia melihat seekor anjing yang menjulurkan
lidahnya menjilat-jilat tanah kerana kehausan, kemudian orang itu berkata, “Anjing ini
benar-benar kehausan seperti yang aku alami tadi.” Kemudian ia turun lagi ke dalam
sumur dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh, kemudian ia menggigit sepatunya
dan naik ke atas lalu memberikannya kepada anjing itu, maka Allah memuji perbuatan
orang itu dan mengampuninya.

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga memperoleh
pahala?”

Baginda menjawab, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa itu ada pahala (sebagai
balasan atas perbuatan baik padanya).”

[Shahih Al-Bukhari no. 2363. Muslim no. 2244]

Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Maka Allah memuji perbuatan orang itu,
mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga.”

Dalam riwayat keduanya disebutkan, “Ketika seekor anjing yang mengelilingi sebuah
sumur (perigi), anjing tersebut hampir mati kerana kehausan. Tiba-tiba seorang wanita
pelacur berbangsa dari Israil yang melihat anjing tersebut. Lalu dia terus membuka
sepatunya dan mengisi air, lalu diberi minum kepada anjing itu. Dengan perbuatan itu,
Allah mengampuni dosa-dosa wanita itu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3208. Muslim no. 4164]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini sebuah kisah yang
menakjubkan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Pada sesuatu ketika ada seseorang lelaki sedang
berjalan di suatu jalan tiba-tiba ia merasa sangat kehausan, kemudian ia terjumpa
sebuah sumur (perigi), maka ia turun dan meminum (airnya), kemudian setelah keluar
ia melihat seekor anjing yang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah kerana
kehausan.” Maksudnya menjilati tanah yang basah kerana haus untuk menghisap air di
dalamnya, kemudian orang itu berkata,
“Anjing ini benar-benar kehausan seperti yang aku alami tadi.” Kemudian ia turun lagi
dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh, kemudian ia menggiggit sepatunya
dengan naik ke atas dengan kedua tangannya lalu memberikannya kepada anjing itu, maka
Allah memuji kepada orang itu atas perbuatannya, mengampuninya dan memasukkan ke
dalam surga dengan sebab itu. Kisah ini menguatkan sabda Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam,

“Surga itu lebih dekat dengan salah seorang di antara kalian dari tali terompahnya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6007]

Ketika Rasulullah mengisahkan kisah ini di hadapan para sahabat mereka sangat tamak
menuntut ilmu bukan hanya sebagai pengetahuan saja tetapi juga untuk dikerjakan,
mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah menolong binatang juga
memperoleh pahala?”

Baginda menjawab, “Menolong setiap makhluk yang bernyawa ada pahala.” Kerana
anjing termasuk binatang, bagaimana hanya memberi minum saja dapat meraih pahala
yang agung ini? Mereka heran dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa
15
sallam dan baginda menjawabnya dengan sabdanya ini, “Menolong setiap makhluk yang
Dari kisah ini kita dapat mengambil suatu kaidah, Setiap kali Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam menceritakan sesuatu kisah dari Bani Israil untuk dipetik pelajaran dan
peringatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal.”
(QS. Yusuf: 12: 111)

Dalam riwayat lain bisa jadi kisah yang lain, seorang wanita penzina Bani Israil melihat
seekor anjing yang sedang mengelilingi di suatu sumur (perigi) kerana kehausan,
mulutnya tidak sampai ke air, kemudian ia mengisi air ke dalam sepatunya dan
memberikan air kepada anjing itu, dan Allah mengampuninya. Ini kisah lain yang kedua.

Hadits ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada haiwan juga mendapatkan pahala,
seperti memberi minum, makan, dan menjaganya, baik milik sendiri atau milik orang lain
bahkan yang liar. Semuanya mendapat pahala di sisi Allah. Jika pahala ini kerana berbuat
baik kepada haiwan apalagi kepada sesama manusia lebih banyak pahalanya, Sebagaimana
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi minum kepada seorang muslim yang kehausan, maka
Allah akan memberinya minum dari Ar-Rahiq Al-Makhtum (minuman lazat di surga).”

[HR. Abu Dawud, no. 1682. At-Tirmidzi, no. 2449, dinilai Dha'if oleh Syaikh Al-Albani
dalam Dha'if Al-Jami no. 2249]

Ketika anak anda kehausan dan meminta air minum kemudian anda memberinya minum
berarti anda memberi minum seorang muslim yang kehausan yang balasannya kelak Allah
akan memberinya minum dari rahiqul makhtum (minuman lazat di surga), sungguh
pahala yang luar biasa, -segala puji bagi Allah-, siapakah yang akan mendapatkan
keuntungan besar ini? Hanya orang-orang yang ikhlas kerana Allah sajalah yang akan
dapat meraihnya, wahai saudara muslim, oleh kerana itu kami menasihati kalian untuk
selalu memiliki niat yang ikhlas sehingga mendapatkan pahala di sisi-Nya pada hari
Kiamat, betapa banyak amal yang remeh menjadi besar kerana niatnya yang ikhlas dan
sebaliknya betapa banyak amal yang besar tidak bermanfaat sedikit pun kerana niatnya
yang tidak ikhlas.

Hadits 127.
َْٖ ٤ِٔ ِِ‫ اُْ ُٔ ْغ‬١‫َذ رُ ْإ ِر‬ ِ ٣‫ ِْش اُطَّ ِش‬َٜ‫َب ِٓ ْٖ ظ‬ٜ‫ش َج َش ٍح هَطَ َؼ‬
ْ ٗ‫ْن ًَب‬ ُ ٣َ‫ « َُوَ ْذ َسأ‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ٢ِ‫ ا ُْ َجَّ٘ ِخ ك‬٢ِ‫َزَوََِّتُ ك‬٣ ً‫ْذ َس ُجما‬ ِّ ‫ُ َػ ْٖ اَُّ٘ ِج‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ٢
.ٌْ ِِ‫ ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫» َس‬

.َ‫ كَأ ُ ْد ِخ ََ ا ُْ َجَّ٘خ‬،ْْ ُٜ٣‫ ُْإ ِر‬٣ َ‫ٖ َل‬٤ َ َ ‫َّللا‬


َ ِٔ ِِ‫ َزا َػ ِٖ ا ُْ ُٔ ْغ‬َٛ َّٖ ٤َ ‫َلَٗ ِّذ‬ ِ َّ َٝ :ٍَ ‫ن كَوَب‬
ٍ ٣ْ ‫ ِْش غَ ِش‬َٜ‫ ظ‬٠َِ‫ « َٓ َّش َس ُج ٌَ ِث ُـصْ ِٖ َش َج َش ٍح َػ‬:‫ ٍخ‬٣َ ‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢‫ ِك‬َٝ
َّ ‫ُ كَ َش ٌَ َش‬ٙ‫ كَأَ َّخ َش‬،‫ْن‬
.ُ َُٚ ‫ كَ َـلَ َش‬،َُُٚ ُ‫َّللا‬ ِ ٣‫ اُطَّ ِش‬٠َِ‫ى ػ‬ ٍ ٣ْ ‫ ِثطَ ِش‬٢‫َ ْٔ ِش‬٣ ٌَ ‫َ٘ َٔب َس ُج‬٤ْ َ‫ « ث‬:‫ ُ َٔب‬َُٜ ٍ‫َخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
ٍ ْٞ ‫ َج َذ ُؿصْ َٖ َش‬َٝ ‫ن‬
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya, aku melihat seseorang yang bersenang-senang di dalam surga disebabkan


ia memotong dahan yang berada di tengah jalan kerana mengganggu kaum muslimin yang
lewat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 653. Muslim no. 1914]


Dalam suatu riwayat lain, “Ada seseorang yang melewati sebuah dahan yang menghalangi
jalan kemudian ia berkata, “Demi Allah aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan agar
tidak mengganggu kaum muslimin yang lewat.” Kerana perbuatan itu dia pun dimasukkan
ke surga.”

Dalam riwayat keduanya disebutkan, “Ketika seseorang berjalan pada satu jalan ia
menemukan dahan yang berduri di tengah jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka
16
Allah memuji orang itu dan mengampuni dosa-dosanya.”
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, aku melihat
seseorang yang bersenang-senang di dalam surga disebabkan ia memotong dahan yang
berada di tengah jalan kerana mengganggu kaum muslimin yang lewat.” Dalam riwayat
lain ia masuk surga dan Allah mengampuni dosa-dosanya dengan sebab ia menyingkirkan
ranting duri yang mengganggu kaum muslimin, kemudian Allah memujinya dan masuk
surga, kerana jika duri ini mengenai kaum muslimin artinya menyakiti mereka, dengan
demikian Allah mengampuninya dan memasukkan ke dalam surga.

Hadits ini menjadi dalil tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang menghalangi
seseorang di jalan, dan merupakan penyebab masuknya seseorang ke dalam surga.

Sebagai dalil adanya surga sekarang ini, kerana Nabi shallallahu „alaihi wa sallam melihat
orang itu bersenang-senang di dalam surga. Pemahaman inilah yang berdasarkan pada Al-
Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan kesepakatan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah,
bahwa sekarang ini surga sudah ada, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 133)

“Yang telah disediakan,” Artinya sekarang ini surga itu telah ada, sebagaimana juga
neraka, keduanya abadi selamanya, kerana Allah menciptakannya untuk selama-lamanya
tidak pernah rusak, barangsiapa yang memasuki keduanya tidak akan mati selamanya,
seorang yang menjadi penduduk surga akan tinggal di dalamnya selama-selamanya, dan
sebaliknya barangsiapa yang menjadi penduduk neraka selama-lamanya akan tinggal
abadi.

Hadits ini juga sebagai dalil bahwa orang yang menyingkirkan sesuatu yang menyakiti
kaum muslimin yang bersifat fisik mendapatkan pahala yang agung ini, apalagi yang
berkaitan dengan non fisik, seperti orang-orang jahat yang menghalangi orang untuk
menjalankan agama Allah, maka menyingkirkan mereka dari jalan kaum muslimin adalah
lebih utama di sisi Allah daripada menyingkirkan sesuatu dari jalan, menyingkirkan
mereka dengan cara menentang pemikiran mereka yang sesat.

Jika mereka tidak menghiraukan maka mereka dipancung lehernya, kerana Allah
Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya,

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.”
(QS. Al-Mâi'dah: 5: 33)

Kata “au” ini menurut sebagian ulama berarti bermacam-macam, yaitu mereka dibunuh,
di potong tangan dan kaki mereka secara silang, dan diasingkan dari negerinya sesuai
dengan kejahatan mereka.

Menurut sebagian ulama, kata “au” ini berarti memilih, bahwa hakim berhak memilih, jika
ingin membunuh atau menyalib mereka, dan jika ingin memotong tangan dan kaki mereka
secara silang, atau jika ingin mengasingkan dari negerinya, sesuai dengan kemaslahatan.
Pendapat ini sangat bagus, kerana bisa jadi orang ini pertama-tama kejahatannya ringan
tetapi semakin lama semakin berat bahkan menyesatkan umat ini.

Maka kewajiban pemimpin kaum muslimin adalah menyingkirkannya setiap yang


menghalangi kaum muslimin dari jalan mereka, dan menyingkirkan setiap yang menyeru
pada kejahatan, atheis, fasik dan merendam sekuat tenaga kejahatan mereka. Yang sangat
menyedihkan sebagian pemimpin kaum muslimin tidak begitu memperhatikan masalah 17
ini sehingga eksistensi kejahatan mereka semakin kuat dan sulit untuk dibanteras, maka
mencabut mereka dari akar-akarnya, sehingga tidak menyebar dan menyesatkan
masyarakat.

Yang penting menyingkirkan sesuatu yang menghalangi jalan kaum muslimin adalah
amalan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, baik jalan hakiki atau maknawi. Jalan
hakiki adalah menghilangkan setiap yang menghalangi orang yang lewat, sedangkan
maknawi adalah jalan hati, menyingkirkan setiap yang menghalangi jalan hati kaum
muslimin itu lebih utama dan banyak pahalanya daripada menyingkirkan sesuatu yang
menghalangi kaum muslimin dari jalan mereka.

Hadits 128.
َ ْٗ َ‫أ‬َٝ ‫ كَب ْعزَ َٔ َغ‬،َ‫ ا ُْ ُج ُٔ َؼخ‬٠َ‫ ثُ َّْ أَر‬،‫ َء‬ُٞ‫ظ‬ُٞ ُْ ‫ظَّأَ كَأَ َد َغ َٖ ا‬َٞ َ‫ « َٓ ْٖ ر‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللا ُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َْٖ ٤‫ َث‬َٝ َُٚ٘٤ْ ‫ُ َٓب َث‬َُٚ ‫ ُؿ ِل َش‬، َ‫صذ‬ ِ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
َ ‫ َٓ ْٖ َٓظَّ اُ َذ‬َٝ ،ّ‫ ٍَّب‬٣َ‫َب َدح ُ ثَ َماثَ ِخ أ‬٣‫ ِص‬َٝ ‫ا ُْ ُج ُٔ َؼ ِخ‬
.ٌْ ِِ‫ ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫صب كَوَ ْذ َُـَب » َس‬ ْ
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian mendatangi shalat Jum'at dan
memperhatikan khutbah dan diam, maka diampunilah dosa-dosa yang dikerjakan antara
hari itu sampai hari Jum'at berikutnya, ditambah tiga hari berikutnya. Dan barangsiapa
yang bermain batu kelikir ketika mendengar khutbah maka sia-sia (shalat) Jum'atnya.”

[Shahih Muslim no. 587]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu


anhu dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu
dengan sempurna, kemudian mendatangi shalat Jum'at dan memperhatikan khutbah
dan diam, maka diampunilah dosa-dosa yang dikerjakan antara hari itu sampai hari
Jum'at berikutnya, ditambah tiga hari berikutnya. Dan barangsiapa yang bermain batu
kelikir ketika mendengar khutbah maka sia-sia (shalat) Jum'atnya.” Hadits ini
merupakan dalil bahwa mendatangi shalat Jum'at setelah berwudhu dengan sempurna,
kemudian memperhatikan khutbah khatib dan diam, maka ia diampuni dosa-dosanya
antara hari itu sampai hari Jum'at berikutnya ditambah tiga hari berikutnya. Ibadah ini
mudah dilakukan tidak menyulitkan untuk ditunaikan, seseorang berwudhu dengan baik
kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Jum'at kemudian diam memperhatikan
khutbah hingga selesai.

Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berwudhu,” Hadits ini tidak
bertentangan dengan hadits yang tercantum dalam Ash-Shahihain dan yang lainnya, dari
Abu Said Al-Khudhri radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Mandi Juma'at itu wajib bagi setiap muslim yang baligh.”

[Shahih Al-Bukhari no. 811, 830, 831, 846, 2471. Muslim no. 1397, 1400]

Kerana hadits kedua ini merupakan tambahan dari hadits yang pertama, hadits ini juga
diamalkan kerana lebih shahih dari yang pertama, kerana diriwayatkan oleh imam yang
tujuh sementara hadits ini hanya diriwayatkan oleh imam Muslim. Maka dari itu seorang
yang ingin menunaikan shalat Jum'at wajib mandi terlebih dahulu dan jika tidak
melakukannya maka berdosa, tetapi shalat Jum'atnya sah, kerana mandi ini bukan seperti
mandi junub yang menyebabkan shalatnya tidak sah, tetapi seperti amalan wajib lainnya
jika meninggalkannya berdosa dan jika menunaikannya berpahala.

Mandi Jum'at ini bukan merupakan syarat sahnya shalat Jum'at, tetapi hukumnya wajib,
sebagaimana kejadian yang dialami oleh Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, suatu ketika
18
ia datang shalat Jum'at ketika Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathtab radhiyallahu anhu
“Demi Allah wahai Amirul Mukminin sebelum aku berangkat aku hanya sempat
berwudhu.”

Kemudian Umar bin Al-Khathtab berkata di atas mimbarnya dan semua jemaah
mendengarnya, “Hanya berwudhu?” Sedangkan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian hendak berangkat shalat Jum'at hendaknya ia
mandi.”

[Shahih Muslim no. 844]

Maksudnya bagaimana anda hanya berwudhu sedangkan Rasulullah shallallahu „alaihi wa


sallam bersabda demikian? Kemudian ia memerintahkan jemaah untuk mandi terlebih
dahulu sebelum datang shalat Jum'at, tetapi ia tidak memerintahkan Utsman untuk
kembali mandi terlebih dahulu kerana kalau ia kembali untuk mandi kemungkinan
tertinggal Jum'at yang merupakan tujuan diperintahkannya mandi, akhirnya yang
pokoknya hilang kerana hanya mengejar yang cabang.

Kesimpulannya, walaupun hadits ini tidak memerintahkan untuk mandi tetapi ada banyak
hadits lain yang menunjukkan wajib mandi sebelum shalat Jum'at.

Hadits ini juga sebagai dalil keutamaan diam mendengarkan khutbah, memperhatikan
dan diam tidak berbicara, Sebagaimana sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum‟at, maka ia seperti keledai
yang memikul lembaran-lembaran (ertinya, ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen).
Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum‟at baginya
(ertinya, ibadah Jum‟atnya tidak ada nilainya, pen).”

[HR. Ahmad no. 1/230, dinilai Dha'if oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adh-
Dha'ifah no. 1760]

Tentu keledai adalah haiwan yang paling bodoh, jika ia membawa banyak buku tidak
bermanfaat baginya. Kaitannya dengan hal ini adalah orang yang shalat Jum'at tetapi tidak
mengambil manfaat dari khutbah khatib seperti keledai ini. Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Dan orang yang menegurnya diamlah! maka shalat Jum'atnya sia-
sia,” maksudnya pahala shalat Jum'atnya hilang, dengan demikian masalah ini sangat
penting dan harus diambil perhatian. Dengan demikian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda, “Dan barangsiapa yang bermain batu kelikir ketika mendengar khutbah maka
sia-sia (shalat) Jum'atnya.” Pada zaman Rasulullah lantai masjidnya masih berupa pasir,
tetapi sekarang telah berubah, kemungkinan sebagian jemaah bermain-main dengan batu
kelikir tidak memerhatikan khutbah, orang seperti ini pahala Jum'atnya hilang padahal
merupakan keutamaan umat ini daripada umat-umat yang lainnya.

Jika hukum ini bagi yang bermain kelikir, begitu pula selainnya, misalnya bermain telefon,
jam, kipas, pen dan sebagainya tanpa keperluan ketika khatib sedang khutbah, berbeda
bagi yang ingin ngantuk kemudian mengambil siwak dan untuk menghilangkan rasa
kantuknya, hal ini tidak termasuk, kerana tujuannya untuk memperhatikan khutbah.

Ada juga yang bertanya bagaimana seseorang yang menulis isi khubah, kerana sebagian
orang lupa apa yang dikatakan khatib, “Bolehkah menulis hal-hal yang penting dari
khutbah?” Secara zhahir tidak diperbolehkan menulis, kerana jika ia sibuk menulis
konsentrasinya terbelah, kerana manusia tidak bisa membagi konsentrasinya, ketika ia
menulis tentu akan lengah apa yang dikatakan oleh khatib, tetapi Alhamdulillah sekarang
telah terdapat banyak sarana untuk merakam isi khutbah, sangat memungkinkan untuk 19
merakam khutbah sehingga tidak mengganggu perhatian kita terhadap khutbah, dan
Hadits 129.
‫ب‬َٜ ْ٤َُ‫ئَ ٍخ َٗظَ َش ِئ‬٤‫ ًُ َُّ َخ ِط‬ِٚ ِٜ ْ‫ج‬َٝ ْٖ ِٓ ‫ُ َخ َش َج‬َٜٚ ْ‫ج‬َٝ ََ ‫ ا ُْ ُٔ ْإ ِٓ ُٖ كَ َـ َغ‬ِٝ َ‫ أ‬،ُْ ِِ ‫ظَّأَ ا ُْ َؼ ْج ُذ ا ُْ ُٔ ْغ‬َٞ َ‫ « ِئ َرا ر‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ ِ ٍَ ُْٞ ‫ُ أَ َّٕ َسع‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
ْ ْ َ ْ
،‫ َٓ َغ آ ِخ ِش هَط ِش اُ َٔب ِء‬ْٝ ‫ ُ َٓ َغ اُ َٔب ِء أ‬ٙ‫َ َذا‬٣ ‫َب‬ٜ‫بٕ ثَطَ َش ْز‬َ ًَ ‫ئَ ٍخ‬٤ْ ‫ ًُ َُّ َخ ِط‬ِٚ ٣ْ ‫َ َذ‬٣ ْٖ ِٓ ‫ َخ َش َج‬ِٚ ٣ْ ‫َ َذ‬٣ ََ ‫ كَاِ َرا َؿ َغ‬،‫ َٓ َغ آ ِخ ِش هَط ِش اُ َٔب ِء‬ْٝ َ‫ أ‬،‫ َٓ َغ اُْ َٔب ِء‬ِٚ ِ٘٤ْ ‫ِث َؼ‬
ْ ْ
.ٌْ ِِ‫ ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ة » َس‬ ْ َ‫ َٓ َغ آ ِخ ِش ه‬ْٝ َ‫ُ َٓ َغ ا ُْ َٔب ِء أ‬ٙ‫َب ِسجْ َما‬ٜ‫ئَ ٍخ َٓ َش ْز‬٤ْ ‫ذ ًُ َُّ َخ ِط‬
ِ ُٞٗ‫ًب ِٓ َٖ اُ ُّز‬٤ِ‫َ ْخ ُش َج َٗو‬٣ ٠َّ‫ط ِش ا ُْ َٔب ِء َدز‬ ْ ‫ِ َخ َش َج‬ٚ٤ْ َِ ْ‫كَاِ َرا َؿ َغ ََ ِسج‬
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu, kemudian membasuh mukanya, keluarlah
setiap dosa yang dilakukan oleh kedua matanya bersama dengan jatuhnya air atau
bersama-sama dengan tetesan air terakhir, jika dia membasuh kedua tangannya, maka
keluarlah dari tangannya setiap dosa yang dilakukan oleh keduanya bersama dengan
jatuhnya air atau tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah
dosa diperbuat oleh kedua kakinya kerana digunakan berjalan pada jalan yang tidak benar
bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, sehingga
bersih dari dosa.”

[Shahih Muslim no. 244]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu


anhu bahwasanya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim atau
mukmin berwudhu, kemudian membasuh mukanya, keluarlah setiap dosa yang
dilakukan oleh kedua matanya bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama
dengan tetesan air terakhir, jika dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari
tangannya setiap dosa yang dilakukan oleh keduanya bersama dengan jatuhnya air
atau tetesan air terakhir. Jika ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa
diperbuat oleh kedua kakinya kerana digunakan berjalan pada jalan yang tidak benar
bersama dengan jatuhnya air atau bersama-sama dengan tetesan air terakhir, sehingga
bersih dari dosa.” Wudhu ini diperintahkan oleh Allah dalam kitab-Nya,

“Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka


basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 6)
Wudhu ini menyucikan empat anggota tubuh; wajah, kedua tangan, kepala dan kedua
kaki, disamping fisik wudhu juga mensucikan ruhiyah. Secara fisik setiap hari ia
membasuh mukanya, kedua tangannya, kepalanya dan kedua kakinya, tentunya kepala
sangat penting untuk dibersihkan sebagaimana anggota tubuh yang lain, hanya saja Allah
memberi keringanan, kerana terdapat rambut yang jika di basuh akan sangat
memberatkan khususnya pada cuaca yang dingin, tetapi kerana keluasan rahmat Allah
Ta'ala meringankan untuk mengusapnya saja. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam,
yang mewajibkan semua pemeluknya untuk mensucikan anggota tubuh ini.

Adapun menyucikan ruhiyah, seharusnya setiap muslim menjadikannya sebagai tujuan ia


berwudhu setiap hari, yaitu membersihkan diri dari segala dosa, jika ia membasuh
mukanya semua kesalahan yang telah diperbuat oleh kedua matanya akan keluar bersama
jatuhnya air, disebutkan “Kedua mata” dalam hadits ini sebagai misal saja- Wallahu
A'lam- kerana hidung juga terkadang bersalah, mulut, lidah kerana berbicara yang haram.
Maka disebutkan “Kedua mata” kerana kebanyakan kesalahan diperbuat olehnya.

Dengan demikian seseorang yang membasuh mukanya dalam berwudhu, gugurlah setiap
dosa yang dilakukan oleh kedua matanya, jika membasuh kedua tangannya maka akan
gugur dosa-dosa yang telah diperbuat oleh keduanya, dan jika membasuh kedua kakinya,
maka gugurlah dosa yang diperbuat oleh keduanya, sehingga bersih dari dosa. Oleh kerana
itu, Allah Ta'ala berfirman ketika menyebutkan wudhu, mandi dan tayammum,

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan 20
menyempurna nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”
Yaitu secara zhahir, batin, fisik dan ruhiyah. Seseorang yang berwudhu hendaknya
menghadirkan makna ini, wudhunya sebagai penebus dosa-dosa yang telah ia perbuat,
mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala dengan wudhunya.

Hadits 130.
ٌ ‫بٕ ٌُٓلِّ َش‬
َُّٖ َٜ٘٤ْ ‫اد ُِ َٔب َث‬ َ ‫ع‬ َ َٓ ‫ َس‬َٝ ،‫ ا ُْ ُج ُٔ َؼ ِخ‬٠َُ‫ا ُْ ُج ُٔ َؼخُ ِئ‬َٝ ،ُ‫اد ا ُْ َخ ْٔظ‬
َ َٓ ‫ َس‬٠َُ‫عب ُٕ ِئ‬ َّ َُ‫ « ا‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
ُ َٞ َِ‫ص‬ ِ َّ ٍُ ُْٞ ‫ُ َػ ْٖ َسع‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ذ اُْ ٌَجبئِ ُش » َس‬
ِ َ‫ِئ َرا اجْ زِ٘ج‬
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Shalat lima waktu, shalat Jum'at yang satu hingga Jum'at berikutnya, dan puasa
Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya adalah penebus dosa-dosa yang dilakukan
antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhinya.”

[Shahih Muslim no. 233]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu


anhu, bahwasanya, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Shalat lima waktu,
shalat Jum'at yang satu hingga Jum'at berikutnya, dan puasa Ramadhan hingga puasa
Ramadhan berikutnya adalah penebus dosa-dosa yang dilakukan antara keduanya,
selama dosa-dosa besar dijauhinya.”

Dosa besar adalah setiap dosa yang syariat memberinya hukuman khusus, seperti Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam mengutuknya, terdapat hukuman di dunia seperti zina,
mendapatkan peringatan di akhirat seperti makan riba, atau menghilangkan keimanan,
seperti sabda Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,

“Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
[Shahih Al-Bukhari no. 13. Muslim no. 45]

Atau Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berlepas diri darinya, seperti,

“Barangsiapa yang menipu kami maka bukan dari golongan kami.”

[HR. Ibnu Hibban no. 2: 326, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
no. 1058]

Atau dosa-dosa besar lainnya.

Para ulama berbeda pendapat terkait sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Selama
dosa-dosa besar dijauhinya,” makna hadits ini ada dua;

1. Bahwa dosa-dosa kecil itu diampuni jika ia menjauhi dosa-dosa besar, dan tidak
diampuni kecuali dengan dua syarat; menunaikan shalat wajib lima waktu dan menjauhi
dosa-dosa besar.

2. Bahwa amal ibadah ini adalah penebus dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar, dengan
demikian syarat diampuninya dosa-dosa itu hanya satu, yaitu mendirikan shalat lima
waktu, menunaikan shalat Jum'at, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya,
makna ini yang lebih jelas. Wallahu A'lam.

Artinya, bahwa shalat lima waktu, Jum'at hingga Jum'at berikutnya, puasa Ramadhan
hingga puasa Ramadhan berikutnya, sebagai penebus semua dosa kecil kecuali dosa-dosa
besar, kerana dosa besar memerlukan taubat yang khusus, jika tidak bertaubat maka amal
ibadah ini tidak mampu menghapusnya. 21
Hadits 131.
ٍَ ُْٞ ‫ب َسع‬٣َ ٠َِ‫ َث‬:‫ا‬ُُٞ‫د؟ » هَب‬ َّ ُٞ‫ ْٔذ‬٣َ ‫ َٓب‬٠َِ‫ « أََلَ أَ ُدُُّ ٌَ ْْ َػ‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللا ُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
ِ ‫ اُذَّ َس َجب‬ِٚ ‫شْ كَ ُغ ِث‬٣َ َٝ ،‫ب‬٣َ ‫ اُْ َخطَب‬ِٚ ‫َّللاُ ِث‬ ِ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
ُ
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ كَ َزُِ ٌُ ُْ اُشِّرثَبغ » َس‬،‫صماَ ِح‬ ْ ْ ْ
َّ ُ‫ا ْٗزِظَب ُس اُص ََّما ِح ثَ ْؼ ِذ ا‬َٝ ،‫ اُ َٔ َغب ِج ِذ‬٠َُ‫ ًَث َشح ُ اُ ُخطَب ِئ‬َٝ ُ ‫بسح‬ِ ٌَ َٔ ُ‫ ا‬٠َِ‫ ِء َػ‬ُْٞ ‫ظ‬ُٞ ُْ ‫ « ئ ْعجَبؽُ ا‬:ٍَ ‫ هَب‬،ِ‫َّللا‬
ْ
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapuskan
dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?”

Mereka menjawab, “Sudah tentu, wahai Rasulullah.”

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada saat-saat


yang tidak disukai, memperbanyak melangkah ke masjid dan menunggu shalat berikutnya
seusai shalat. Hal itu ibarat ribath (menjaga perbatasan dari serangan musuh).”

[Shahih Muslim no. 251]

Penjelasan.

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
menawarkan kepada para sahabat, baginda mengetahui apa yang akan diucapkan oleh
mereka, tetapi baginda melakukannya kerana termasuk metodenya menyampaikan agar
terjadi interaksi dan menarik perhatian mereka, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda, “Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapus dosa-dosa
dan mengangkat derajat kalian?” Tentu saja, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
mengetahui bahwa pasti mereka akan menjawab iya, katakan wahai Rasulullah, tetapi
baginda menyampaikan pertanyaan ini untuk menarik perhatian mereka saja, mereka
menjawab, “Tentu saja wahai Rasulullah,” informasikan kepada kami sesuatu yang
meningkatkan derajat kami dan menghapuskan dosa-dosa?” Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Yaitu menyempurnakan wudhu pada waktu-waktu yang tidak disukai,
memperbanyak langkah kaki ke masjid dan menunggu shalat berikutnya seusai
shalat.” Inilah tiga hal:

1. Menyempurnakan wudhu pada cuaca yang sangat dingin kerana air sangat dingin, maka
menyempurnakan wudhu pada waktu itu sangat berat, seseorang yang mengalami
kesulitan ini menunjukkan tingginya keimanannya, dan Allah akan mengangkat
derajatnya dan menghapuskan dosanya.

2. Memperbanyakkan melangkah kaki ke masjid, khususnya untuk menunaikan shalat


berjemaah lima waktu, setiap kali ia melangkah pergi ke masjid maka semakin banyak
pahala yang ia dapatkan, kerana seseorang yang berwudhu di rumahnya dengan
sempurna, kemudian ia keluar menuju ke masjid untuk menunaikan shalat, maka setiap
langkahnya Allah akan mengangkat derajat baginya setiap kali ia melangkah, dan
dihapuskan kesalahannya.

3. Menunggu shalat berjemaah setelah shalat, seseorang yang melakukan hal ini
menunjukkan betapa rindu dan cintanya terhadap shalat berjemaah dan juga
menunjukkan ketinggian imannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Dijadikan untukku ketenanganku di dalam shalat.”

[Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahihul Jami
no. 3124]

Seorang yang menunggu shalat berikutnya maka Allah akan mengangkat derajat dan
menghapuskan kesalahan-kesalahannya.

“Itulah yang disebut dengan ribath,” Kata ribath makna asalnya adalah berjaga dalam
medan jihad melawan musuh, mengikat kuda-kuda dan mempersiapkannya, inilah
termasuk amal yang paling utama. Begitu juga sepertinya banyak amal shalih dan ibadah22
Menurut sebagian ulama arti ribath adalah sesuatu yang mengikat, artinya bahwa amal-
amal ibadah ini mengikat orang yang melakukannya dari perbuatan maksiat.

Hadits 132.
ٌ َ‫ ِٖ َد َخ ََ ا ُْ َجَّ٘خَ » ُٓزَّل‬٣ْ ‫ ا ُْ َجشْ َد‬٠َِّ‫ص‬
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ َ ْٖ َٓ « :َْ َّ ِ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ‫َّللا‬ َّ ٢‫ظ‬
ِ ٍُ ُٞ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َّللا ُ َػ‬ ِ ‫ َس‬١‫ اْلَ ْش َؼ ِش‬٠‫ َع‬ْٞ ُٓ ٢‫َػ ْٖ أَ ِث‬
Daripada Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda,

“Barangsiapa yang selalu memelihara shalat pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni
Subuh dan Ashar) maka ia akan masuk surga.”

[Shahih Al-Bukhari no. 574. Muslim no. 635]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Musa Al-Asy'ari


radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang selalu memelihara shalat pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni Subuh dan
Ashar) maka ia akan masuk surga.” Kata “Al-Bardain” maksudnya adalah shalat Subuh
dan Ashar, kerana shalat subuh itu pada cuaca dinginnya malam, sedangkan Ashar adalah
shalat pada dinginnya siang setelah tergelincirnya matahari, barangsiapa yang menjaga
keduanya termasuk sebab masuknya seseorang ke dalam surga.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, bahwasanya pada
suatu malam baginda memandang bulan dan bersabda,

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini,
tidak ada penghalang sedikit pun, jika kalian mampu hendaknya jangan sampai
tertinggal shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan terbenam (Ashar).”

[Shahih Al-Bukhari no. 529 dan Muslim no. 633]

“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan
ini.” Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam ini merupakan penglihatan dengan
penglihatan, bukan yang dilihat dengan yang dilihat, kerana Allah tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya, kalian akan memandang Tuhan kalian secara sebenarnya
sebagaimana kalian juga melihat bulan ini, kerana Allah Ta'ala Maha Agung dan Maha
Tinggi untuk diserupakan dengan makhluk.

Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Jika kalian mampu hendaknya jangan sampai
tertinggal shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan terbenam (Ashar).” Kerana kedua
shalat ini adalah shalat yang paling utama, dan yang lebih utama di antara keduanya
adalah shalat Ashar kerana adalah shalat “wustha” sebagaimana firman-Nya,

“Perliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) kerana Allah
dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 2: 238)

Sabagaimana Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam dalam hadits shahih ketika perang
Ahzab,

“Allah memenuhi rumah-rumah dan kuburan mereka dengan neraka sebagaimana


mereka telah menyibukkan kita dari shalat Al-Wustha yaitu shalat Ashar.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2931 dan Muslim no. 627]

Ini adalah dalil yang jelas dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bahwa shalat Al-Wustha
adalah shalat Ashar. 23
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang selalu memelihara shalat
pada dua waktu dingin (Al-Bardain; yakni Subuh dan Ashar),” Maksudnya adalah
menunaikan shalat seperti yang diperintahkan, menunaikannya tepat pada waktunya. Dan
kaum laki-laki adalah berjemaah di masjid, tidak boleh seseorang meninggalkan shalat
berjama'ah sedangkan dia mampu menunaikannya, hukumnya wajib.

Hadits 133.
١ ِ ‫ُ ا ُْجُ َخ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ ِْدًب » َس‬٢ِ ‫ص ِذ‬
ُّ ‫بس‬ َ ًَ ‫ ُ َٓب‬َُٚ ‫ت‬
َ ‫ْ ًٔب‬٤ِ‫َ ْؼ َٔ َُ ُٓو‬٣ ٕ‫ب‬ َ ْٝ َ‫ض اُْ َؼ ْج ُذ أ‬
َ ِ‫عبكَ َش ًُز‬ َ ِِ ‫ « ئِ َرا َٓ ِش‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللا ُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ ِ َّ ٍُ ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
َ ‫َّللا‬
.
Daripada Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seseorang sakit atau sedang bepergian (musafir), maka dicatatlah baginya pahala
sepertimana amal perbuatan yang biasa dikerjakan pada waktu mukim (tidak bepergian)
dan ketika waktu sihatnya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2996]

Penjelasan.

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang sakit atau sedang
bepergian (musafir), maka dicatatlah baginya pahala sepertimana amal perbuatan
yang biasa dikerjakan pada waktu mukim (tidak bepergian) dan ketika waktu
sihatnya.” Seseorang yang biasanya beramal shalih kemudian ia jatuh sakit tidak mampu
menunaikannya maka ia mendapat pahala seperti kondisi sihatnya. Segala puji bagi Allah
dengan limpah segala nikmat-Nya.

Misalnya, jika kebiasaan kita menunaikan shalat berjama'ah di masjid, kemudian tiba-tiba
jatuh sakit tidak mampu berangkat ke masjid untuk shalat berjama'ah, maka kita tetap
mendapat pahala shalat berjama'ah yaitu dua puluh tujuh derajat. Jika kebiasaan kita
menjaga shalat sunnah, membaca Al-Qur'an, tasbih, tahlil, takbir dan selalu berdzikir
tetapi tiba-tiba kita harus bepergian dan tidak bisa melakukan kebiasaan baik ini, maka
kita tetap mendapat pahala kebiasaan kita, ketika dalam perjalanan tidak bisa shalat
jama'ah maka tetap dicatat sebagai shalat jama'ah, jika kebiasaan kita sehari-hari shalat
berjama'ah di masjid.

Hadits ini sebagai peringatan bagi orang yang berakal untuk memelihara amal shalih
dalam setiap kesempatan dan kondisi sihat, sehingga ketika ia tidak mampu
menunaikannya maka tetap mendapat pahala seperti kebiasaannya. Maka dari itu
hendaknya pergunakanlah kesempatan dan kesihatan itu dengan sebaik-baiknya, tetaplah
beramal shalih sehingga jika anda tertimpa sakit atau lainnya sehingga tidak mampu
menunaikannya anda tetap mendapat pahala yang sempurna, segala puji bagi Allah.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya iaitu kesihatan dan waktu
yang terluang.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5933]

Ibnu Umar radhiyallahu anhma berkata,

“Maka pergunakanlah masa sihatmu sebelum sakitmu dan masa hidupmu sebelum
matimu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5937]

Demikianlah sebagaimana yang tercantum dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
entah ucapannya atau ucapan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, setiap orang
24
mukimnya sehingga sewaktu-waktu bepergian ia dicatat pahala yang ia kerjakan kala
mukim, semoga Allah memberikan niat yang ikhlas dalam beramal.

Hadits 134.
‫َ ٍخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ُ ُٓ ْغِِ ٌْ ِٓ ْٖ َس‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ َس‬َٝ ،١ ِ ‫ ُ ا ُْجُ َخ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ص َذهَخٌ » َس‬
ُّ ‫بس‬ ٍ ُْٝ ‫ « ًُ َُّ َٓ ْؼش‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ‫ف‬ َ ِ‫ ٍُ َّللا‬ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢ َ ‫ظ‬ ِ ‫َػ ْٖ َجبثِ ٍش َس‬
.ُْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢ ِ ‫لَخَ َس‬٣ْ ‫ُد َز‬
َ ‫ظ‬
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Setiap perbuatan yang baik adalah sedekah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6021]

Dalam riwayat Muslim, daripada Hudzaifah radhiyallahu anhu.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini riwayat dari Jabir
rahiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
perbuatan yang baik adalah sedekah.” Al-Makruf adalah setiap perbuatan yang orang-
orang memandangnya sebagai perbuatan baik, atau syariat melihatnya sebagai perbuatan
baik, jika dalam masalah ibadah maka dengan pandangan syariat, tetapi jika dalam
masalah muamalah antara sesama maka yang dipandang baik oleh orang-orang. Hadits ini
mencakup kedua kebaikan ini, setiap ibadah kepada Allah adalah sedekah, sebagaimana
dalam hadits di atas,

“Setiap ucapan tasbih (subhaanallah) adalah sedekah, setiap ucapan tahlil (la ilaha
illallah) adalah sedekah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah,
memerintahkan kebaikan adalah sedekah dan mencegah kemungkaran adalah sedekah.”

[Shahih Muslim no. 1181]

Adapun yang dipandang baik oleh masyarakat adalah dalam masalah muamalah antara
sesama manusia, setiap yang dipandang baik oleh masyarakat adalah kebaikan, seperti
bersikap baik kepada sesama dengan akhlak yang mulia, memberi harta, kedudukan atau
yang lainnya. Berwajah ceria ketika bertemu dengan saudaranya, tidak menampak muka
yang cemberut, bertutur kata lembut, memberi motivasi, mengunjungi orang yang sakit
dan mengucapkan kata-kata yang baik dan menghibur, seperti “Anda baik-baik saja,”
walaupun kenyataannya sakitnya keras, ia mengatakan sebagai harapan kesembuhannya,
kerana menghibur orang yang sakit itu merupakan sarana kesembuhan. Maka banyak
kasus orang yang sakit dan dikatakan kepadanya “Sakit anda ringan, insya Allah cepat
sembuh,” ia akan melupakan rasa sakitnya dan itu sebab kesembuhannya, tetapi jika selalu
terikat dengan rasa sakitnya maka merupakan sebab penyakitnya tetap berada padanya.
Misalnya seorang yang terkena luka, jika ia mengabaikannya maka tidak begitu merasa
sakit, sebaliknya jika ia tidak mengalihkan perhatiannya atau selalu memikirkannya maka
rasa sakitnya akan bertambah, atau bahkan seolah akan mati.

Seorang tukang panggul misalnya terkadang ada sesuatu yang mengenai kakinya dan
terluka, tetapi kerana ia memanggul beban yang berat tidak merasa kesakitan, setelah
selesai, baru merasakannya.

Dengan demikian, menghibur orang yang sakit dan membuatnya tidak memikirkan
sakitnya, memberi harapan bahwa Allah Ta'ala adalah Maha Menyembuhkan merupakan
di antara sebab kesembuhan sakitnya.

Dengan demikian, setiap yang makruf itu kebaikan, seorang yang duduk di samping anda
dengan sangat berkeringat kemudian anda menawarkan kipas maka itu merupakan 25
sedekah, kerana merupakan perbuatan baik.
Menerima tamu dengan menggelar tikar dan memendekkan kunjungan juga merupakan
sedekah. Lihat kepada Nabi Ibrahim „alaihis salam ketika datang Malaikat sebagai tamu
baginya,

“Mereka mengucapkan, “Selamat.” Dan (Ibrahim) menjawab, “Selamat (atas


kamu).” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan.”
(QS. Hûd: 11: 69)

Para ulama mengatakan, “Ucapan Nabi Ibrahim „alaihis salam “salamun” itu lebih baik
daripada ucapan malaikat “Salaman,” kerana ucapan malaikat artinya “kita mengucapkan
salam,”
kalimat fill yang menunjukkan terkait dengan waktu suatu kejadian. Sedangkan ucapan
Nabi Ibrahim „alaihis salam adalah kalimat isim yang menunjukkan pada arti selalu dan
lebih mendalam. Kemudian apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim „alaihis salam? “Maka
tidak lama kemudian Nabi Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.”

“Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya


daging anak sapi gemuk (yang dibakar).”
(QS. Adz'Dzâriyât: 51: 26)

Kata “faraagha” artinya pergi diam-diam dengan cepat untuk menerima tamu dengan
baik, ia cepat-cepat agar tidak dilarang oleh tamunya, “Maka dia pergi dengan diam-diam
menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.” Para ulama
berkata bahwa “Ijlin” (sapi yang gemuk) adalah daging yang terbaik, kerana dagingnya
lembut dan sangat lazat, “Lalu dihidangkannya kepada
mereka,” bukannya menghidangkan di tempat yang jauh darinya dan berkata, “Pergilah ke
ruang makan” tentunya sikap ini bukan sikap menerima tamu yang baik tetapi baginda
mendekatkan kepada para tamunya.

Kemudian ia berkata, “Kalau berkenan silakan dimakan!” berkenan silakan dimakan!" ia


tidak mengatakan “Makanlah!” Dengan sopan mempersilakannya untuk makan tidak
menggunakan ungkapan perintah.

Tetapi para malaikat tidak memakannya, kerana mereka tidak makan, tidak memiliki
perut, pencernaan atau jantung, Allah menciptakan mereka dari cahaya, tubuh yang tidak
makan, minum atau buang air sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.”


(QS. Al-Anbiyâ: 21: 20)

Mereka selalu bertasbih, Maha Suci Allah, mereka tidak makan kerana sebab ini.

“Kerana itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka.” Kerana mereka tidak mahu makan,
kebiasaan orang Arab jika tamunya tidak mahu makan hidangan yang dihidangkannya
dianggap berniat buruk. Dengan demikian kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang jika
ada seorang tamu tetapi tidak mahu makan hidangan yang dihidangkannya, ia
berkata, “Silakan dicicipin hidangannya,” tetapi jika tidak mahu mencicipi tuan rumahnya
menganggap bahwa orang ini berniat buruk kepadanya, begitu pula Nabi Ibrahim „alaihis
salam, “Kerana itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka.” Dan Mereka berkata,
“Janganlah kamu takut.”

Kemudian mereka menerangkan hal itu “Dan mereka memberi khabar gembira
kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).”

“Tetapi mereka tidak mahu makan kerana itu Ibrahim merasa takut kepada mereka..”
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 28)

Padahal ia sendiri usianya sudah tua begitu pula isterinya, “Kemudian isterinya 26
tua yang mandul,” yaitu mungkinkah aku mengandung padahal aku sudah tua dan
mandul? Maka Malaikat berkata, “Demikian Tuhanmu memfirmankan.” Allah Ta'ala
berbuat sekehendak-Nya, jika menginginkan sesuatu hanya berfirman, “Jadilah, maka
jadilah ia.”

“Dialah Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui.”


(QS. Adz-Dzâriyat: 51: 30)

Dalam ayat ini kata “Maha Bijaksana” didahulukan dari kata “Maha
Mengetahui” sementara banyak ayat yang mendahulukan "Maha Mengetahui" dari
kata “Maha Bijaksana” kerana isterinya yang dapat mengandung padahal sudah tua
adalah kejadian luar biasa, maka Allah Yang Maha Bijak menyebutkan dalam ayat
ini “Maha Bijaksana.”
bahwa Allah Maha Bijak untuk mentakdirkan isterinya mengandung dalam kondisi
demikian.

Yang penting, bahwa Nabi Ibrahim telah menampakkan sikapnya yang baik dalam
menerima tamu, menerima tamu dengan baik adalah termasuk perbuatan yang makruf
(baik) dan setiap yang makruf (baik) adalah sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam.

Hadits 135.
،ً‫ص َذهَخ‬ َ ُ َُٚ ُ ْٚ٘ ِٓ ََ ًِ ُ‫بٕ َٓب أ‬
َ ‫ َٓب ع ُِش‬َٝ ،ً‫ص َذهَخ‬
َ ُ َُٚ ُْٚ٘ ِٓ ‫م‬ ُ ‫َ ْـ ِش‬٣ ٍْ ِِ‫ « َٓب ِٓ ْٖ ُٓ ْغ‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللا ُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ًَ ‫ط ؿَشْ عًب ئِ ََّل‬ َ ِ‫ ٍُ َّللا‬ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
.ٌْ ِِ‫ ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ص َذهَخً » َس‬ َ َُُٚ ٕ‫ب‬َ ًَ ‫ ُ أَ َد ٌذ ئِ ََّل‬ٙ‫َشْ َص ُؤ‬٣ ‫ ََل‬َٝ

.‫ب َٓ ِخ‬٤َ ‫ ِّ ا ُْ ِو‬ْٞ ٣َ ٠َُ‫ص َذهَخً ِئ‬ ٌ ‫ ُ ِئ ْٗ َغ‬ْٚ٘ ِٓ ََ ًُ ْ‫أ‬٤َ َ‫ ك‬،‫َ ْـ ِشطُ ا ُْ ُٔ ْغ ِِ ُْ ؿَشْ عًب‬٣ ‫ « كَ َما‬:َُُٚ ‫ ٍخ‬٣َ ‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢‫ك‬
َ ًَ َّ‫ ٌش ئَِل‬٤ْ َ‫ ََل غ‬َٝ ٌ‫ ََل َداثَّخ‬َٝ ٕ‫ب‬
َ ُ َُٚ ٕ‫ب‬ ِ َٝ

.ً‫ص َذهَخ‬
َ َُُٚ ‫َذ‬ ٌ ‫ ِئ ْٗ َغ‬ْٚ٘ ِٓ َُ ًُ ْ‫َأ‬٤َ‫ ك‬،‫َ ْض َسعُ صَسْ ػًب‬٣ ‫ ََل‬َٝ ،‫ط ُٓ ْغِِ ٌْ ؿَشْ عًب‬
ْ ٗ‫ ٌء ئَلَّ ًَب‬٢ْ ‫ ََل َش‬َٝ ٌ‫ ََل َداثَّخ‬َٝ ٕ‫ب‬ ُ ‫َ ْـ ِش‬٣ ‫ « ََل‬:َُُٚ ٍ‫َخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢‫ك‬
ِ َٝ

.ُ ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢


َ ‫ظ‬ ٍ ََٗ‫َ ِخ أ‬٣‫ا‬َٝ ‫ؼًب ِٓ ْٖ ِس‬٤ْ ِٔ ‫ُ َج‬ٙ‫َب‬٣َٝ ‫ َس‬َٝ
ِ ‫ظ َس‬
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan darinya itu
adalah sedekah untuknya, apa yang dicuri darinya adalah sedekah untuknya, dan apa yang
diambil seseorang juga menjadi sedekah baginya.”
[Shahih Muslim no. 1552]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tiada seorang muslim yang menanam tanaman,
kemudian ada yang makan darinya baik manusia, haiwan ternak atau yang lainnya kecuali
menjadi sedekah baginya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2320, 6012. Muslim no. 1552]


Keduanya (Bukhari dan Muslim) sama-sama meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini, “Banyaknya jalan kebaikan”
riwayat ini dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menceritakan seorang
yang menanam tanaman kemudian ada yang memakan darinya baik manusia, burung atau
yang lainnya, atau yang dicuri atau dikurangi seseorang, maka itu semua menjadi sedekah
baginya. Hadits ini memotivasi kita untuk bercucuk tanam, kerana terdapat maslahat yang
sangat banyak baik di dunia mahupun akhirat.

Maslahat di dunia, menanam dan mengembang pertanian manfaatnya sangat jelas, baik
untuk diri atau negerinya. Bahkan, semua orang mendapat manfaatnya; dengan jual beli
hasil bumi seperti kurma, berbagai jenis biji-bijian, dan lain-lain. Dengan demikian
27
pengembangan pertanian ini sangat bermanfaat bagi semua masyarakat, berbeda dengan
Adapun maslahat yang bersifat agama, setiap hasil yang dimakan oleh makhluk Allah ia
mendapat pahalanya, seperti burung, ayam atau yang lainnya, walaupun hanya satu biji
tetap baginya pahala sedekah, baik sengaja ataupun tidak, walaupun petani itu tidak
memerhatikan masalah ini tetap menjadi pahala sedekah baginya.

Yang lebih menakjubkan dari itu bahwa, sekiranya ada seseorang yang mencuri darinya
maka yang dicurinya itu menjadi sedekah baginya, meskipun pencuri itu tertangkap dan
dihukum, Allah tetap akan menjadikannya sebagai sedekah baginya pada hari Kiamat.

Begitu pula jika tanaman itu dimakan oleh binatang atau burung maka akan menjadi
pahala sedekah baginya, dengan demikian hadits ini merupakan motivasi dari Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam untuk mencucuk tanam kerana terdapat banyak manfaat baik
duniawi atau ukhrawi.

Hadits ini sebagai dalil banyaknya jalan kebaikan, setiap orang yang memanfaatnya maka
pahalanya mengalir baginya, ia tetap mendapat kebaikannya baik niat atau tidak.
Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahsia mereka, kecuali pembicaraan
rahsia dari orang yang menyuruh (orang) sedekah, atau berbuat kebaikan, atau
mengadakan pendamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian kerana
mencari keredaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”
(QS. An-Nisâ: 4: 144)

Allah Ta'ala menyebutkan bahwa hal ini semua terdapat kebaikan baik niat mahupun
tidak, barangsiapa yang memerintahkan pada sedekah atau mendamaikan orang-orang
yang bertikai, maka akan mendapatkan kebaikan sengaja atau tidak, jika diniatkan kerana
Allah Ta'ala, kerana Allah berfirman,

“Maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ: 4: 144)

Demikian hadits ini sebagai dalil bahwa sesuatu yang baik jika dimanfaatkan oleh orang
lain itu pahalanya mengalir pada yang memilikinya walaupun ia tidak berniat untuk itu,
dan jika ia berniat untuk kebaikan maka akan mendapatkan pahala kebaikan ganda dan
Allah memberinya karunia yang banyak. Semoga Allah memberikan karunia-Nya kepada
kita semua untuk selalu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam. Sungguh Dia-lah Yang Maha Mulia.

Hadits 136.
ْٕ َ‫ٕ أ‬ُٝ
َ ‫ذ‬٣ْ ‫ أََّٗ ٌُ ْْ رُ ِش‬٢ِ٘‫ هَ ْذ ثََِ َـ‬َّٚٗ‫ « ِئ‬:ْْ َُُٜ ٍَ ‫ كَوَب‬،َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ِ‫ ٍَ َّللا‬ُْٞ ‫ي َسع‬ َ ُِ‫ة ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ كَجََِ َؾ َر‬ َ ْ‫ا هُش‬ِْٞ ِ‫َ ْ٘زَو‬٣ ْٕ َ‫ َعِِ َٔخَ أ‬ْٞ َُ٘‫ أَ َسا َد ث‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫َػ‬
ُ َ‫ رُ ٌْز‬،ْْ ًُ ‫َب َس‬٣‫ ِد‬،ْْ ًُ ‫ رُ ٌْزَتُ آثَب ُس‬،ْْ ًُ ‫َب َس‬٣‫عِِ َٔخَ ِد‬
» ْْ ًُ ‫ت آثب ُس‬ َ ٢َِ٘‫ « ث‬:ٍَ ‫ كَوَب‬،‫ي‬ َ ُِ‫ ٍَ َّللاِ هَ ْذ أَ َس ْدَٗب َر‬ُٞ‫َب َسع‬٣ ْْ ‫ َٗ َؼ‬:‫ا‬ُُٞ‫ة ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ ؟ » كَوَب‬ َ ْ‫ا هُش‬ُِِٞ‫رَ ْ٘زَو‬
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫َس‬
ً ْ ُ َّ
ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ َس‬.‫ ٍح َد َس َجخ‬َٞ ‫ ِإ ثٌِ َِّ خَط‬:‫َ ٍخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, “Orang-orang Bani Salimah ingin
berpindah rumah dekat dengan masjid, kemudian khabar itu terdengar oleh Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam, maka baginda bersabda, “Aku mendengar bahwa kalian ingin
berpindah tempat yang berdekatan dengan masjid?”

Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin berpindah berdekatan dengan
masjid.”

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,


“Wahai Bani Salimah, tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari
rumah ke masjid akan dicatat! Tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah
kalian dari rumah ke masjid akan dicatat!”
28
[Shahih Muslim no. 665]
Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Jabir bin Abdullah


radhiyallahu anhu ia berkata, Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid,
agar lebih mudah shalat berjemaah dan mendapatkan ilmu dari Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam, kemudian khabar itu terdengar oleh Nabi shallallahu „alaihi wa sallam maka
baginda bersabda, “Aku mendengar bahwa kalian ingin berpindah tempat yang
berdekatan dengan masjid?” Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin
berpindah berdekatan dengan masjid.” Baginda bersabda, “Wahai Bani Salimah, tetaplah
di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke masjid akan
dicatat! Tetaplah di tempat tinggal kalian, kerana setiap langkah kalian dari rumah ke
masjid akan dicatat!” dua kali, kemudian baginda menjelaskan kepada mereka bahwa
setiap langkah itu tercatat satu kebaikan dan ditinggikan satu derajat.

Hadits ini sebagai dalil bahwa seseorang yang berjalan menuju ke masjid dan setiap
langkahnya akan diangkat satu derajat baginya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini,

“Barangsiapa yang berwudhu dengan sempurna, kemudian keluar dari rumahnya


menuju ke masjid, tidak ada yang mengeluarkannya (dari rumahnya) kecuali shalat
maka setiap langkahnya dicatat baginya satu derajat dan dihapuskan baginya satu
kesalahan (dosanya).”

[Shahih Al-Bukhari no. 457, 611, 1976]

Maka ia mendapatkan dua pahala. Pertama, diangkat satu derajat dan kedua, dihapuskan
satu dosa baginya. Seseorang yang berwudhu dengan sempurna kemudian melangkahkan
kakinya baik jauh atau dekat kecuali ia akan di catat dua pahala ini.

Hadits ini juga sebagai dalil ketika ada suatu informasi dari seseorang maka perlu
menelitinya sebelum menetapkan hukumnya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bertanya kepada Bani Salimah sebelum mengatakan sesuatu, dan bersabda, “Aku
mendengar bahwa kalian ingin berpindah tempat yang berdekatan dengan masjid?”
Mereka menjawab, “Benar wahai Rasulullah, kami ingin berpindah berdekatan dengan
masjid.” Dengan demikianjika ada sesuatu informasi seharusnya melakukan konfirmasi
(pengesahan) terlebih dahulu sebelum menetapkan informasi itu, sehingga keputusannya
berdasarkan konfirmasi yang teliti dan bijak, tetapi jika setiap informasi diterima begitu
saja maka menyebabkan masalah besar. Oleh kerana itu, sangat perlu melakukan
konfirmasi terlebih dahulu.

Begitu juga hadits ini sebagai dalil banyaknya jalan kebaikan, di antaranya adalah jalan
menuju ke masjid, sebagaimana yaitu meningkatkan derajat dan menghapuskan banyak
kesalahan, memperbanyak langkah ke masjid merupakan sebab diampuninya dosa dan
diangkatnya derajat kita.

Hadits 137.
ْٝ َ‫ أ‬،َُُٚ ََ ٤ْ ‫ص َماحٌ كَ ِو‬
َ ُُٚ‫بٕ ََل رُ ْخ ِطئ‬ َ ًَ َٝ ،ُْٚ٘ ِٓ ‫بٕ َس ُج ٌَ ََل أَ ْػَِ ُْ َسج ًُما أَ ْث َؼ َذ ِٓ َٖ ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ‬َ ًَ :ٍَ ‫ ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢
َ ‫ظ‬
ِ ‫ت َس‬ ٍ ‫ ْث ِٖ ًَ ْؼ‬٢ِّ ‫ ا ُْ ُٔ ْ٘ ِز ِس أُ َث‬٢‫َػ ْٖ أَ ِث‬
٢ُِ ‫َت‬ َ ‫ ُ ٌْز‬٣ ْٕ َ‫ ُذ أ‬٣‫ أ ُ ِس‬٢ِّٗ‫ ِئ‬،‫ت أُْ ْغ ِج ِذ‬ ِ ْ٘ ‫ َج‬٠َُِ‫ ئ‬٢ُِ‫ أَ َّٕ َٓ ْ٘ ِض‬٢ِٗ‫غ ُّش‬ ُ َ٣ ‫ َٓب‬:ٍَ ‫عب ِء كَوَب‬ َ ْٓ ‫ اُ َّش‬٢ِ‫ك‬َٝ ،‫ اُظَِّْ َٔب ِء‬٢ِ‫ُ ك‬ُٚ‫ْذَ ِد َٔبسًا رَ ْش ًَج‬٣‫ ا ْشزَ َش‬ْٞ َُ :َُُٚ ‫ذ‬ ُ ِْ ُ‫كَو‬
.ٌْ ِِ‫ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫ُ » َس‬ًَُِّٚ ‫ي‬ َ ُِ‫ي َر‬َ ُِ ُ‫ « هَ ْذ َج َٔ َغ َّللا‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ َ ِ‫ ٍُ َّللا‬ُٞ‫ كَوَب ٍَ َسع‬،٢ِِْٛ َ‫ أ‬٠َُِ‫ْذ ئ‬ ُ ‫ ئِ َرا َس َجؼ‬٢‫ ِػ‬ُْٞ ‫ ُسج‬َٝ ،‫ ا ُْ َٔ ْغ ِج ِذ‬٠َُِ‫ ئ‬١ َ ‫َٓ ْٔ َشب‬
. َ‫ي َٓب ادْ زَ َغجْذ‬ َ
َ ُ َّٕ ‫ ِا‬:‫َ ٍخ‬٣َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
Daripada Abu Al-Mundzir Ubay bin Ka'ab radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ada seseorang
yang sepanjang pengetahuanku, tidak ada seseorang pun yang lebih jauh rumahnya dari
masjid dibanding rumahnya, dan ia tidak pernah tertinggal shalat berjemaah di masjid.

Kemudian ada seseorang yang mengatakan, atau aku katakan kepadanya, “Seandainya
kamu membeli seekor keledai yang dapat kamu naiki ketika hari masih gelap atau waktu
panas terik?” 29
Dia menjawab, “Aku tidak ingin rumahku berdekatan dengan masjid, kerana aku ingin
setiap langkahku berangkat pergi ke masjid dicatat sebagai kebaikan begitu pula langkah-
langkah kepulanganku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah


mengumpulkan semua catatan itu bagimu.”

[Shahih Muslim no. 663]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguh bagimu apa yang kamu harapkan (niatkan).”

Penjelasan.

Hadits ini masih berkaitan dengan hadits-hadits yang menerangkan banyaknya jalan
kebaikan. Jalan kebaikan itu sangat banyak, di antaranya adalah melangkah kaki ke masjid
dan kepulangannya dan jika ia mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala.

Hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini mengisahkan kisah
seseorang yang rumahnya jauh dari masjid, ia selalu mengharap setiap langkahnya itu
dicatat sebagai pahala di sisi Allah Ta'ala, baik keberangkatannya ke masjid mahupun
kepulangannya.

Kemudian sebagian orang menyarankannya, “Seandainya kamu membeli seekor keledai


yang dapat kamu naiki ketika hari masih gelap atau waktu panas terik?”

Kemudian ia berkata, “Aku tidak ingin rumahku berdekatan dengan masjid, kerana aku
ingin setiap langkahku berangkat pergi ke masjid dicatat sebagai kebaikan begitu pula
langkah-langkah kepulanganku.” Justru ia menginginkan rumahnya jauh dari masjid,
kerana kalau dekat langkahnya tidak banyak dan tidak mendapatkan keutamaannya, ia
selalu berharap kepada Allah Ta'ala agar setiap langkahnya dicatat disisi Allah Ta'ala baik
pergi mahupun kepulangannya, kemudian Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Allah telah mengumpulkan semua catatan itu bagimu.”

Hadits ini sebagai dalil bahwa banyaknya langkah menuju ke masjid, merupakan jalan
kebaikan, jika seseorang selalu berharap kepada-Nya, maka setiap langkah pergi dan
kepulangannya dari masjid akan di catat sebagai kebaikan di sisi-Nya.

Tentu niat itu menempati kedudukan yang terpenting dalam suatu amal, menentukan
diterima, mendapatkan pahala atau tidaknya suatu amal. Betapa banyak orang-orang yang
bersanding menunaikan shalat tetapi perbedaan antara keduanya bagaikan langit dan
bumi, kerana perbedaan niat dan benarnya suatu amal, semakin seseorang lebih ikhlas
dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam maka semakin banyak
pahala di sisi Allah Ta'ala.

Hadits 138.
‫َب‬َٛ‫ٕ َخصْ َِخً أَ ْػما‬َُٞ ‫ « أَسْ ثَؼ‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬ َ ِ‫ ٍُ َّللا‬ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ َٔب هَب‬ْٜ٘ ‫ َّللا ُ َػ‬٢َ ‫ظ‬ ِ ‫بص َس‬ِ ‫ ْث ِٖ اُْ َؼ‬ٝ‫ ُٓ َذ َّٔ ٍذ َػ ْج ِذ َّللاِ ْث ِٖ َػ ْٔ ِش‬٢‫َػ ْٖ أَ ِث‬
ِ ‫ُ ا ُْجُ َخ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫َب ا ُْ َجَّ٘خَ » َس‬ٜ‫ ُ َّللاُ ِث‬َِٚ‫َب ئَِلَّ أَ ْد َخ‬ٛ‫ ِد‬ُْٞ ‫ػ‬ْٞ َٓ ‫ن‬
.ُّٟ‫بس‬ َ ٣ْ ‫رَصْ ِذ‬َٝ ‫َب‬ٜ‫ا ِث‬َٞ َ‫َب َس َجب َء ث‬ْٜ٘ ِٓ ٍ‫َ ْؼ َٔ ََ ِث َخصْ َِخ‬٣ ٍَ َٓ ‫ َٓب ِٓ ْٖ َػب‬،‫ َذخُ اُْ َؼ ْ٘ ِض‬٤ْ َِ٘ٓ
Daripada Abu Muhammad bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Ada empat puluh amalan yang paling utama, yang paling utama adalah dengan
meminjamkan seekor kambing (betina) untuk diperah susunya kemudian dikembalikan
lagi. Tiada seorang pun yang mengerjakan salah satu diantaranya dengan mengharap
balasan di sisi-Nya dan meyakini (membenarkan) janji (Allah) atasnya, kecuali Allah akan
memasukkannya ke dalam surga kerana perbuatannya itu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2631]


30
Hadits 139.
.ِٚ ٤ْ َِ‫ن َػ‬ ٌ َ‫ن رَ ْٔ َش ِح ِِ » ُٓزَّل‬ِّ ‫ ِث ِش‬ْٞ ََُٝ ‫ا اَُّ٘ب َس‬ُٞ‫ « ارَّو‬:ٍُُٞ‫و‬٣َ َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ٢ َّ ‫ْذ اَُّ٘ ِج‬
ُ ‫ َع ِٔؼ‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢ َ ‫ظ‬ِ ‫ ْث ِٖ َدب ِر ٍْ َس‬١ ِّ ‫َػ ْٖ َػ ِذ‬
ُ‫َ ْ٘ظ َش‬٤َ‫ ك‬،ٕ‫ب‬ ٌ َٔ ‫ُ رَشْ ُج‬َٚ٘٤َ‫ث‬َٝ َُٚ٘٤ْ َ‫ْظ ث‬ ِّ َ َّ
َ ٤َُ ُّٚ‫ ُ َسث‬ُٚٔ ٌَِ ُ٤‫ « َٓب ِٓ ْ٘ ٌُ ْْ ِٓ ْٖ أ َد ٍذ ِئَلَّ َع‬:َْ ِ‫ َع‬َٝ ِٚ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠ِ‫ص‬ َّ َ ُ‫ ٍُ َّللا‬ُْٞ ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ ُ َٔب َػ‬َُٜ ٍ‫َخ‬٣‫ا‬َٝ ‫ ِس‬٢ِ‫ك‬َٝ
ْٞ ََُٝ ‫ا اُ٘ب َس‬ٞ‫ كَبرو‬،ِٚ ِٜ ْ‫ج‬َٝ ‫ ئَل اُ٘ب َس رِِوَب َء‬ٟ‫َش‬٣ ‫ كَ َما‬ِٚ ٣ْ ‫َ َذ‬٣ َْٖ ٤َ‫َ٘ظ ُش ث‬٣َٝ ،َّ ‫ ئَل َٓب هَ َّذ‬ٟ‫َ َش‬٣ ‫ُ كَ َما‬ِٚ٘ٓ َّ َ‫َ ْ٘ظُ ُش أَ ْشأ‬٣َٝ ،َّ ‫ ئَِل َّ َٓب هَ َّذ‬ٟ‫َ َش‬٣ ‫ ُ كَ َما‬ْٚ٘ ِٓ َٖ َٔ ٣ْ َ‫أ‬
َّ ُ َّ ْ َّ َّ ُ ْ َّ ْ
.‫ِّجَ ٍخ‬٤‫َ ِج ْذ كَجِ ٌَِِ َٔخٍ غ‬٣ ْْ َُ ْٖ َٔ َ‫ ك‬،‫ن رَ ْٔش ٍح‬ ِّ ‫ثِ ِش‬
Daripada Adi bin Hatim radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Takutlah kalian terhadap api neraka, walaupun hanya dengan bersedekah separuh
kurma.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6023. Muslim no. 1016]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak ada seorang pun daripada kamu semua, melainkan
akan diajak bercakap oleh Tuhannya dan di antara dia dengan Tuhannnya tidak ada
perantaraan. Orang itu melihat ke sebelah kanannya, maka tidak ada yang dilihat olehnya
kecuali amalan yang telah dilakukannya ketika hidupnya, dan dia melihat ke sebelah
kirinya, maka tidak ada pula yang dilihat olehnya, kecuali amalan yang dilakukan ketika
hidupnya. Kemudian dia melihat pula ke hadapan, maka tidak ada yang dilihatnya kecuali
neraka yang ada dihadapannya. Maka takutlah kamu semua terhadap seksa neraka.
Buatlah kebaikan walaupun dengan bersedekah sehiris kurma. Sekiranya tidak
mempunyai sesuatu untuk disedekahkan, maka bersedekahlah dengan mengucapkan kata-
kata yang baik-baik sahaja.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7443, 7512]

Penjelasan.

Hadits ini juga menjelaskan bagian dari kebaikan, kerana Alhamdulillah jalan kebaikan itu
sangat banyak, Allah mensyariatkan untuk para hamba-Nya dengan menapakinya agar
sampai pada tujuan, diantaranya adalah sedekah, kerana sedekah itu sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam,

“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.”

[Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam shahih At-Tirmidzi, no. 614.]

Yaitu sebagaimana ketika kita mengguyurkan api pada api dan sekaligus api itu padam,
maka seperti itu pula sedekah menghapuskan dosa dan kesalahan.

Kemudian An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini yang menerangkan bahwa


Allah Ta'ala akan membicarakan dengan setiap manusia satu-persatu pada hari Kiamat,
sebagaimana firman Allah,

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka
kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqâq: 84: 6)

Yang pasti setiap manusia berhadapan dengan Tuhan-Nya untuk


mempertanggungjawabkan semua amalan yang telah dikerjakan di dunia ini. Tetapi hal ini
merupakan khabar gembira bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya.
Dan sampaikan khabar gembira kepada orang yang beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 223) Kerana seorang mukmin yang bertemu dengan Tuhannya
mendapat kebaikan.

Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun
daripada kamu semua, melainkan akan diajak bercakap oleh Tuhannya dan di antara 31
dosa-dosa yang telah ia lakukan dan berfirman, “Kamu telah berbuat demikian pada hari
ini,” dan ia mengakuinya dan mengira termasuk orang yang binasa, kemudian Allah
berfirman, “Sungguh Aku menutupinya di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.”
Betapa banyak dosa-dosa kita yang Allah rahsiakan, hanya Dia yang mengetahuinya, tetapi
pada hari Kiamat Allah menyempurnakan nikmatnya untuk kita dengan mengampuninya
dan tidak menghukum kita, hanya bagi Allah segala puji.

Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Orang itu melihat ke sebelah
kanannya, maka tidak ada yang dilihat olehnya kecuali amalan yang telah
dilakukannya ketika hidupnya, dan dia melihat ke sebelah kirinya, maka tidak ada pula
yang dilihat olehnya, kecuali amalan yang dilakukan ketika hidupnya. Kemudian dia
melihat pula ke hadapan, maka tidak ada yang dilihatnya kecuali neraka yang ada
dihadapannya. Maka takutlah kamu semua terhadap seksa neraka. Buatlah kebaikan
walaupun dengan bersedekah sehiris kurma.” Atau lebih kecil dari itu.

Hadits ini sebagai dalil bahwa Allah Ta'ala kelak akan berbicara dengan suara yang
terdengar, dapat difahami tidak memerlukan penerjemah, yang setiap objeknya
memahaminya.

Begitu juga dalil bahwa sedekah itu akan menyelamatkan orang yang bersedekah dari
siksa api neraka walaupun hanya sedikit, yaitu sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
baginda, “Maka takutlah kalian terhadap neraka walaupun hanya dengan (bersedekah)
separuh kurma.” Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda lagi, “Dan sekiranya tidak
mempunyai sesuatu untuk di sedekahkan, maka bersedekahlah dengan kata-kata yang
baik-baik sahaja.” Yaitu kalau tidak memiliki harta walaupun sebiji kurma hendaknya
memelihara diri dari api neraka dengan tutur kata yang baik.

Perkataan yang baik itu artinya luas yang mencakup: membaca Al-Qur'an, bacaan Al-
Qur'an adalah ucapan yang terbaik, tasbih (Subhanallah), takbir (Allahu akbar), tahmid
(Alhamdulillah), tahlil (Laa Ilaha Illallah) menganjurkan untuk berbuat baik dan
mencegah yang mungkar, mengajarkan dan belajar ilmu dan setiap ucapan yang
mendekatkan diri kepada Allah, tetapi jika tidak mendapatkan harta walaupun hanya
sebiji kurma, maka bersedekahlah dengan ucapan yang baik. Inilah banyak jalan kebaikan,
betapa banyak dan mudah untuk menunaikannya di antaranya adalah dengan bersedekah
walaupun hanya sebutir kurma yang membebaskan dirinya dari jilatan dari api neraka,
begitu pula perkataan yang baik kalau tidak mampu. Semoga Allah menyelamatkan kita
semua dari siksa neraka.
Hadits 140.
ْٝ َ‫ ا‬،‫َب‬ٜ٤ْ َِ‫ُ َػ‬ٙ‫َذْ َٔ َذ‬٤َ‫َبَ ًُ ََ اَلَ ًَِْخَ ك‬٣ ْٕ َ‫ْض َػ ِٖ اُْ َؼ ْج ِذ ا‬
َ ‫َش‬٤َُ َ‫ « ِا َّٕ َّللا‬:َْ َِّ‫ َع‬َٝ ِٚ٤ْ َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ِ‫ ٍُ َّللا‬ُٞ‫ هَب ٍَ َسع‬:ٍَ ‫ ُ هَب‬ْٚ٘ ‫ َّللاُ َػ‬٢َ ‫ظ‬ ِ ‫ظ َس‬ ٍ ََٗ‫َػ ْٖ ا‬
َّ ُ‫ة ا‬
.ٌِ ِْ ِِ ‫ ُ ُٓ ْغ‬ٙ‫ا‬َٝ ‫َب » َس‬ٜ٤ْ َِ‫ُ َػ‬ٙ‫ذْ َٔ َذ‬٤َ َ‫ششْ َثخَ ك‬ َ ‫ ْش َش‬٣َ
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda,

“Sesungguhnya Allah redha terhadap seseorang hamba yang apabila dia makan, lalu dia
memuji kepada-Nya di atas nikmat tersebut, ataupun apabila dia minum, lalu dia memuji
kepada-Nya atas kenikmatan tersebut.”

[Shahih Muslim no. 2734]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Anas radhiyallahu anhu dia
berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah redha terhadap seseorang hamba yang apabila dia makan, lalu
dia memuji kepada-Nya di atas nikmat tersebut.” Penulis rahimahullah menafsirkan
kata, “Al-Aklah” makan siang dan malam.

Hadits ini sebagai dalil bahwa redha Allah Ta'ala itu dapat diraih dengan amalan yang
32
mengucapkan, Alhamdulillah setelah makan atau minum. Kerana adab makan dan minum
adalah ada yang bersifat ucapan dan perbuatan.

Perbuatan: Kita dianjurkan makan dan minum menggunakan tangan kanan dan tidak
boleh makan dan minum dengan tangan kiri, kerana menurut pendapat yang kuat orang
yang minum dan makan tangan kiri hukumnya haram, kerana Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam melarang seseorang makan dan minum menggunakan tangan kiri, kerana syaitan
makan dan minum dengan tangan kirinya, dalam riwayat shahih Muslim, ketika ada yang
makan dengan tangan kirinya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
menengurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Kemudian ia berkelit, “Saya tidak
bisa.” Kemudian baginda bersabda, “Kamu tidak akan bisa.” Kemudian setelah itu tangan
kanannya lumpuh tidak bisa mengangkat makanan ke mulutnya sebagai hukuman atas
ucapannya itu, na'udzubillah.

Ucapan: Mengucapkan basmalah sebelum makan, yaitu ucapan, Bismillah. Pendapat yang
lebih kuat hukumnya adalah wajib kerana seseorang yang makan dan minum tidak
mengucapkan basmalah adalah berdosa, dan jika tidak mengucapkannya maka syaitan
makan dan minum bersamanya.

Dengan demikian, wajib hukumnya setiap orang untuk mengucapkan basmalah sebelum
makan dan minum, jika terlupa hendaknya mengucapkan ketika ingat pada pertengahan.

.ُ ٙ‫آ ِخ َش‬َٝ ََُُّٚٝ َ‫َّللا أ‬


ِ َّ ِْْ ‫ِثغ‬

“Bismillaah awwalahu wa aakhirohu.” (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).

Begitu pula jika seseorang lupa mengucapkannya hendak diingatkan, kerana Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam mengingatkan Umar bin Abu Salamah ketika ia masih kecil
dan berada dalam didikan baginda. Umar bin Abu Salamah adalah anak isteri Ummu
Salamah radhiyallahu 'anha, ketika ingin makan ia langsung mengambil makanan tidak
mengucapkan basmalah. Lalu Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai anak kecil, ucaplah basmalah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu,
dan ambillah makanan yang lebih dekat denganmu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4957, 4959. Muslim no. 3767]

Hadits ini sebagai dalil bahwa makan bersama tidak cukup salah seorang yang
mengucapkan basmalah, tetapi masing-masing harus mengucapkannya.

Oleh kerana itu, mengucapkan basmalah sebelum makan dan minum itu hukumnya wajib
dan termasuk adab makan dan minum yang tidak boleh ditinggalkan.

Begitu pula ketika sesudah makan dan minum adabnya adalah


mengucapkan, Alhamdulillah
bersyukur atas nikmat-Nya ini, ia masih dapat makan dan minum kerana tidak ada
seorang pun yang mampu memberinya makan dan minum kecuali Allah,
sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Pernahkah kamu memperlihatkan air yang kamu minum? Kamukah yang


menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 68-69)

Kerana seandainya Allah tidak menumbuhkan tanaman ini kemudian melalui banyak
proses hingga sampai ke depan mulutnya pasti tidak akan bisa makan. Begitu pula air,
seandainya Allah tidak menurunkannya dari langit, kemudian diserap bumi, lalu
dipancarkan banyak mata air, pasti tidak akan bisa meminumnya, demikian Allah 33
Ta'ala berfirman,
“Sekiranya Kami menghendaki, nescaya Kami menjadikan asin, mengapa kamu tidak
bersyukur?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 70)

Dengan demikian bentuk rasa syukurnya adalah dengan mengucapkan Alhamdulillah


sesudah makan dan minum, dan ucapan inilah di antara penyebab redha Allah terhadap
hamba-Nya.

Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, “Al-Aklah” penulis rahimahullah menafsirkan,


“Makan siang dan malam” maksudnya bukan setiap suap kemudian mengucapkan
hamdalah, atau setiap habis satu kurma mengucapkan hamdalah, tetapi menurut sunnah
jika makanan telah habis. Sebuah riwayat mengatakan bahwa Imam Ahmad mengucapkan
hamdalah setiap kali habis sesuap, kemudian ditanyakan tentang itu dan dia menjawab,
“Satu suap kemudian mengucapkan hamdalah itu lebih baik daripada satu suap kemudian
diam.”

Tetapi jelas bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam,
cukup mengucapkan hamdalah ketika makan dan minumnya sudah selesai, tetapi jika
melihat terdapat maslahat seperti mengingatkan yang lain maka menurutku boleh,
sebagaimana dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Hadits 141.
َ ٣َ‫ أَ َسأ‬: ٍَ ‫ص َذهَخٌ » هَب‬
َ َ‫َ ِج ْذ؟ ه‬٣ ْْ َُ ْٕ ِ‫ْذ ئ‬
ِٚ ْ٣‫َ َذ‬٤ِ‫َ ْؼ َٔ ََ ث‬٣ « :ٍ‫ب‬ َ ٍْ ِِ‫ ًُ َِّ ُٓ ْغ‬٠َِ‫ « َػ‬:ٍَ ‫ َعَِّ َْ هَب‬َٝ ِٚ ْ٤َِ‫ َّللاُ َػ‬٠َِّ‫ص‬
َ ٠ِ‫ ػ َِٖ اَُّ٘ج‬،ُْٚ٘‫ َّللاُ َػ‬٢َ ‫ظ‬ ِ ‫ َس‬٢‫ْ َع‬ُٞٓ ٢ِ‫ػ َْٖ أَث‬
ِٝ َ‫ف أ‬ُٝ ْ
ِ ‫َأ ُٓ ُش ثِبُْ َٔ ْؼش‬٣ « :ٍَ ‫َ ْغزَ ِط ْغ هَب‬٣ ْْ َُ ْٕ ِ‫ْذ ئ‬
َ ٣َ‫ أَ َسأ‬:ٍ‫ب‬
َ َ‫فَ » ه‬َُِْٜٞٔ ُْ‫ ُْٖ َرا اُْ َذب َج ِخ ا‬٤‫ُ ِؼ‬٣ :ٍَ ‫َغْز ِطغْ؟ هَب‬٣ ْْ َُ ْٕ ِ‫ْذ ئ‬
َ ٣َ‫ أَ َسأ‬:ٍَ ‫ هَب‬: » ‫م‬ ُ ‫ص َّذ‬ َ َ‫َز‬٣َٝ ُٚ‫َْ٘لَ ُغ َٗلْ َغ‬٤َ‫ك‬
.ِٚ ْ٤َِ‫ن َػ‬ٌ َ‫صذَهخٌ » ُٓزَّل‬
َ ‫َب‬َِّٜٗ‫ي ػ َِٖ اُ َّش ِّش كَا‬ُ ‫ُ ْٔ ِغ‬٣ « : ٍْ‫َلْ َؼَْ ؟ هَب‬٣ ْْ َُ ْٕ ِ‫ْذ ئ‬َ ٣‫ أَ َسأ‬:ٍَ ‫ ِْش » هَب‬٤‫اُْ َخ‬
َ
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, baginda
bersabda, “Setiap muslim itu wajib bersedekah.”

Dia bertanya, “Bagaimana jika tidak mempunyai apa-apa?”

Baginda menjawab, “Hendaklah dia bekerja dengan usahanya sendiri sehingga bermanfaat
untuk dirinya dan bersedekah.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana pula sekiranya dia tidak mampu?”

Baginda menjawab, “Hendaklah dia menolong orang yang lemah yang memerlukan
bantuan.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak mampu.”

Baginda menjawab, “Hendaklah dia menyuruh orang lain melakukan kebaikan.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak mampu juga.”

Baginda menjawab, “Hendaklah mencegah dirinya untuk berbuat jahat kerana itu
termasuk sedekah baginya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1445. Muslim no. 1008]


Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Musa radhiyallahu anhu,
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim itu wajib
bersedekah.” Sebagaimana hadits yang lalu senada dengan hadits ini tetapi lebih umum
yaitu, “Bagi setiap ruas persendian tubuh manusia harus dikeluarkan sedekah, pada
setiap hari selama matahari terbit..”

[Shahih Al-Bukhari no. 2989. Muslim no. 1009]


34
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mewajibkan kita bersedekah setiap hari, sedekah itu
tahmid (Alhamdulillah), tahlil (Laa Ilaha Illallah), menyuruh kebaikan, mencegah
mungkar, menolong orang yang lemah dan banyak lagi pintu kebaikan.

Tetapi jiwa ini selalu memerintahkan yang buruk, selalu menghalangi manusia untuk
berbuat kebaikan, setiap kali ingin berbuat kebaikan ia membuka pintu lain seolah lebih
baik, sehingga kesempatan berbuat baik itu hilang tidak berbuat apa-apa. Dengan
demikian hendaknya setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan, setiap kali
mendapatkan kesempatan maka bersegeralah menunaikannya, Allah Ta'ala berfirman,

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”


(QS. Al-Mâ'idah: 5: 48)

Kerana setiap kali seseorang dibukakan kesempatan untuk berbuat baik tetapi tidak
memanfaatkannya khawatir Allah akan membuatnya lambat berbuat baik. Sebagaimana
Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam,

“Tidaklah suatu kaum senantiasa mengakhir-akhirkan amal kebajikan kecuali Allah


benar-benar mengakhirkannya.”

[Shahih Muslim no. 662]

Dengan demikian, hendaknya seseorang mukmin yang cerdas itu selalu memanfaatkan
kesempatan untuk selalu berbuat kebajikan, selalu berjaga di depan pintu dan setiap kali
terbuka cepat-cepat ia menunaikannya dan akhirnya buah dari kehidupannya adalah amal
shalih. Semoga Allah selalu menolong kita semua untuk selalu berdzikir dan ibadah
kepada-Nya dengan benar. Sungguh Dia-lah Maha Mulia.

35

Anda mungkin juga menyukai