Anda di halaman 1dari 74

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG

PELAKSANAAN ARISAN QURBAN


(Studi di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting
Kabupaten Tanggamus)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi


Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syariah

Oleh

NOVIA FATHENESIA CONITA


1721030330

Program Studi: Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1443 H / 2021 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG
PELAKSANAAN ARISAN QURBAN
(Studi di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting
Kabupaten Tanggamus)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi


Syarat-Syarat Guna Mendapatkan Gelar Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syariah

Oleh

NOVIA FATHENESIA CONITA


1721030330

Program Studi: Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

Pembimbing I : Dr. Hj. Nurnazli, S.H.,S.Ag., M.Ag.


Pembimbing II : Eti Karini, S.H., M.H.

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1443 H / 2021 M
ABSTRAK

Ibadah Qurban merupakan salah satu ibadah taqarrub, kata


qurban sendiri berasal dari kata “qaruba” yang mempunyai arti
dekat. Qurban merupakan salah satu cara guna mendekatka diri
kepada Allah yang dilakukan dalam waktu tertentu yaitu pada hari-
hari tasyiq tanggal 10, 11 dan 12 Dzulhijah. Ibadah qurban adalah
salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu
sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Realita di lapangan
menunjukan bahwa biaya pembelian hewan qurban dirasa ringan
bagi kalangan ekonomi ke atas. Sedangkan masyarakat ekonomi
menengah ke bawah merasa ibadah qurban masih cukup tinggi.
Maka terbentuklah arisan qurban Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus. Di dalam arisan qurban ini peserta
dapat meminjam uang kas arisan qurban dengan menarik tambahan
dalam pengembaliannya. Kegiatan tersebut bertujuan untuk
mencukupi pembelian hewan qurban.
Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah
(1) Bagaimana praktik pelaksanaan arisan qurban di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus? (2) Bagaimana tinjauan
hukum Islam tentang pelaksanaan arisan qurban di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus? . Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui praktik pelaksanaan ibadah qurban di
Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus secara
iuran. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research),
sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sedangkan
dalam pengumpulan data skripsi ini menggunakan observasi,
dokumentasi dan wawancara. Sumber data dalam penelitian ini
menggunakan data primer yang diperoleh secara langsung dari
narasumber asli sedangkan data sekunder yang diperoleh dari
sumber-sumber yang telah ada seperti dari perpustakaan dan
penelitian terdahulu.
Berdasarkan hasil penelitian Praktik pelaksanaan ibadah qurban
di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus.
Pelaksanaan arisan qurban sah dan boleh dilakukan karena bersifat
tolong menolong, sedangkan dalam pelaksanaan Arisan Qurban di

iii
Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dengan
adanya tambahan dalam pengembalian peminjaman uang arisan
qurban di larang di dalam hukum Islam. Peminjaman uang arisan
qurban di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus dengan cara utang piutang dengan menarik tambahan
tidak boleh dilakukan, karena tambahan tersebut dipersyaratkan di
awal akad, demikian ini dilarang karena mengandung unsur riba
sehingga kegiatan tersebut bertentangan dengan hukum Islam.

iv
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Novia Fathenesia Conita


NPM : 1721030330
Jurusan/Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Fakultas : Syari’ah

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “TINJAUAN


HUKUM ISLAM TENTANG PELAKSANAAN ARISAN
QURBAN (Studi di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus)” adalah benar-benar merupakan hasil karya penyusun
sendiri, bukan duplikasi ataupun saduran dari karya orang lain
kecuali pada bagian yang telah dirujuk dan disebutkan dalam
footnote atau daftar pustaka. Apabila di lain waktu terbukti adanya
penyimpangan dalam karya ini, maka tanggung jawab sepenuhnya
ada pada penyusun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat agar dapat dimaklumi.

Bandar Lampung, 2 Oktober 2021


Penulis

Novia Fathenesia Conita


NPM. 1721030330

v
MOTTO

       

     

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan”
(Q.S Ali-Imran[3] : 130)

viii
PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati mengucapkan Alhamdulilah


dan penuh rasa syukur kepada Allah Swt untuk segala nikmat dan
kekuatan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini, sehingga dengan rahmad-nya karya ini dapat
diselesaikan. Skripsi ini peneliti persembahkan tanda cinta kasih,
tanggung jawab dan hormat tak terhingga kepada :
1. Orang tuaku tercinta, ayahanda Fakhrurrozi dan ibunda
Yurlida yang telah merawatku, membesarkanku serta
mendidiku dengan penuh cinta dan kasih sayang,
menyekolahkanku, berjuang untuk keberhasilanku,
mendoakanku dan selalu sabar dan motivasi yang selalu
diberikan akhirnya terselesaikan skripsi ini.
2. Kakakku tersayang Elinda Safitri, S.Kep, Silvia Meditasari,
S.P, Vina Septalia, S.Kom, yang selalu memberikan semangat
dan doa keberhasilanku
3. Adikku tersayang Yoan Fariel Satria yang selalu memberikan
perhatian doa dan dukungan setiap harinya.
4. Teman-teman seperjuangan dalam menuntut ilmu di Jurusan
Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2017 terimakasih atas
kebersamaannya serta saling memberikan semangat dan
motivasi.

ix
RIWAYAT HIDUP

Novia Fathenesia Conita dilahirkan di Gisting, pada tanggal


12 November 1998, anak keempat dari pasangan bapak Fakhrurrozi
dan ibu Yurlida. Pendidikan dimulai dari Taman Kanak-Kanak di
tempuh di Aisyah Bustanul Athfal, Kecamatan Gisting, Kabupaten
Tanggamus, pada tahun 2003. Melanjutkan Sekolah Dasar di
tempuh di SD Negeri 1 Gisting Bawah, Kecamatan Gisting,
Kabupaten Tanggamus pada tahun 2004-2010. Melanjutkan
pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama ditempuh di SMP
Negeri 1 Gisting, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada
tahun 2010-2013. Melanjutkan pendidikan di tingkat Sekolah
Menengah Atas di tempuh di SMA Negeri 1 Gunung Alip,
Kecamatan Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus pada tahun 2013-
2016. Kemudian pada tahun 2017, penulis melanjutkan pendidikan
tingkat Perguruan Tinggi diterima sebagai mahasiswi UIN Raden
Intan Lampung dan mengambil Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, di Fakultas Syariah, UIN Raden Intan Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, aktif diberbagai kegiatan intra
maupun ekstra seperti mengikuti Himpunan Mahasiswa Jurusan
Hukum Ekonomi Syariah (HMJ) dan Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) di UIN Raden Intan Lampung.

Bandar Lampung, 2 Oktober 2021


Yang Membuat,

Novia Fathnesia Conita

x
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr,Wb.

Alhamdulilah, segala puji syukur kehadirat Allah Swt yang


telah memberikan rahmat dan hidayah-nya berupa ilmu
pengetahuan, kesehatan dan petunjuk, sehingga skripsi dengan
judul” Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Arisan Qurban”
dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Solawat beserta salam tidak
lupa peneliti junjung agungkan kepada nabi Muhammad Saw, para
sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Skripsi ini ditulis dan diselesaikan sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan studi program Strata Satu (S1)
pada Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN Raden Intan
Lampung guna memperoleh gelar Sarjanah Hukum (S.H) dalam
bidang ilmu syariah.
Atas bantuan semua pihak dalam proses penyelesaian skripsi
ini, peneliti ucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr.H.Muhammad Mukri, M.Ag, selaku Rektor
UIN Raden Intan Lampung yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di kampus
tercinta ini.
2. Bapak Dr. H. A. Khumaidi Ja’far, S,Ag.,M.H. selaku Dekan
Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan Lampung yang senantiasa
memberikan perhatian serta senantiasa tanggap terhadap
terhadap kesulitan-kesulitan mahasiswa.
3. Bapak Khoiruddin, M.S.I dan ibu Juhrotul Khulwah, M.S.I,
selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UIN Raden Intan Lampung.
4. Ibu Dr. Hj. Nurnazli, S.H.,S.Ag.,M.Ag. selaku pebimbing I
yang senantiasa membantu dan membimbing, serta
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Ibu Eti Karini, S.H.,M.H. selaku pebimbing II yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membantu dan

xi
membimbing, serta memberikan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan segenap civitas akademika
UIN Raden Intan Lampung.
7. Kepala perpustakaan UIN Raden Intan Lampung dan
pengelolaanya yang telah memberikan informasi, data
referensi, dan lain-lain untuk membantu dalam menyelesaian
skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan Muamalah H yang turut
memberikan dukungan.
9. Teman-teman KKN Gisting yang telah memberikan banyak
pengalaman.
10. Teman-teman PPS kelompok 140 yang turut membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Anatasia Dedek Andayani, Dewi Agustina, Rini Sukmawati,
Rizka Kurniasari, sebagai sahabat yang selalu memberikan
semangat serta bantuan dalam menyelesaikan bantuan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
12. Almamaterku tercinta UIN Raden Intan Lampung, semoga
Allah Swt memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semuanya.
Hanya kepada Allah Swt penulis serahkan segalanya, mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat tidak hanya untuk penulis tetapi
untuk para pembaca, Amiin. Demi memperbaiki hasil penelitian ini
selanjutnya penulis memerlukan kritik dan saran yang membangun
dengan senang hati penulis akan menerimanya. Mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dalam pembangunan dan kemajuan
ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu-ilmu syariah
Wasalamu‟alaikum, Wr, Wb.

Bandar Lampung, 2 Oktober 2021


Penulis,

Novia Fathenesia Conita


NPM.1721030330

xii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................. i


ABSTRAK ............................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ...................................................... v
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... vi
PENGESAHAN ..................................................................... vii
MOTTO ................................................................................. viii
PERSEMBAHAN ................................................................. ix
RIWAYAT HIDUP ............................................................... x
KATA PENGANTAR........................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ........................................................... 1
B. Latar Belakang Masalah .............................................. 2
C. Fokus dan Sub Fokus Masalah .................................... 4
D. Rumusan Masalah ....................................................... 4
E. Tujuan Penelitian ......................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ....................................................... 5
G. Kajian Penelitian Terdahulu ........................................ 5
H. Metode Penelitian ........................................................ 7
I. Sistematika Pembahasan .............................................. 12

BAB II KAJIAN TEORI


A. Teori Qard
1. Pengertian Qard ...................................................... 13
2. Dasar Hukum Qard ................................................. 13
3. Beberapa Permasalahan dalam Qard ....................... 17
4. Rukun dan Syarat Qard .......................................... 20
5. Tata Krama Dalam Qard ........................................ 22
6. Tambahan dalam Qard ........................................... 24
7. Berakhirnya Akad Qard........................................... 27

xiii
B. Teori Riba
1. Pengertian Riba ...................................................... 28
2. Dasar Hukum Riba ................................................. 29
3. Jenis-Jenis Riba ....................................................... 32
4. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba .................. 34
5. Sebab-Sebab di Haramkan Riba ............................. 35
6. Hal-Hal yang Menimbulkan Riba ........................... 36
7. Dampak Negatif Riba Segi Sosial Ekonomi............ 36
8. Hikmah Pengharaman Riba .................................... 38
C. Teori Qurban
1. Pengertian Qurban ................................................... 39
2. Dasar Hukum Berkurban ......................................... 41
3. Syarat-Syarat Qurban ............................................. 43
4. Tujuan Qurban ......................................................... 48
5. Jumlah Orang Dalam Setiap Berkurban ................. 49
6. Pembagian Qurban ................................................. 50
7. Hikmah Dalam Berkurban ...................................... 51
8. Pengertian Arisan Qurban ...................................... 53
9. Mekanisme Arisan Qurban ..................................... 53

BAB III DESKRIPSI OBJEK HASIL PENELITIAN


A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................. 55
B. Pelaksanaan Arisan Qurban di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus.................. 63
C. Penyajian Fakta dan Data Penelitian ........................... 71

BAB IV ANALISIS PENELITIAN


A. Praktik Pelaksanaan Arisan Qurban di Desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus ................................................................... 73
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanaan
Arisan Qurban di Desa Purwodadi Kecamatan
Gisring Kabupaten Tanggamus .................................... 74
C. Temuan Penelitian ....................................................... 79

xiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 81
B. Rekomendasi ............................................................... 81

DAFTAR RUJUKAN

LAMPIRAN

xv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Jumlah Penduduk Desa Purwodadi Berdasarkan


Jenis Kelamin ............................................................. 59
3.2 Lahan Perkebunan Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus ................................... 59
3.3 Mata Pencarian Penduduk Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus ................. 59
3.4 Pemenuhan Air Bersih di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus ................. 60
3.5 Data Keagamaan Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus ................................... 60
3.6 Data Suku Masyarakat Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus ................. 61
3.7 Tempat Ibadah Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus .................................... 61
3.8 Lahan Perternakan Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus .................................... 61
3.9 Daftar nama-nama Anggota Arisan Qurban
Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus .................................................................. 65

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Rekomendasi
2. Daftar Pertanyaan Wawancara
3. Surat Keterangan Wawancara
4. Blangko Konsultasi
5. Hasil Turnitin

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Penegasan Judul
Untuk memudahkan pemahaman mengenai judul skripsi
dan supaya tidak menimbulkan kekeliruan atau kesalahan, maka
perlu dijelaskan secara singkat tentang istilah-istilah yang
terdapat dalam judul skripsi ini. Perihal judul skripsi yang
penulis angkat yaitu: “Tinjauan Hukum Islam Tentang
Pelaksanaan Arisan Qurban (Studi di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus)”. Kemudian
mengenai istilah-istilah yang perlu dijelaskan dalam judul skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Tinjauan adalah hasil meninjau, atau pandangan pendapat
(sesudah menyelidiki, atau mempelajari).
2. Hukum Islam adalah suatu pandangan yang dipandang dari
sudut agama atau syari‟ah baik berupa Al-Qur‟an, Hadist
Nabi Muhammad Saw, pendapat sahabat dan tabi‟in, maupun
pendapat yang dikembangkan di suatu masa dalam kehidupan
umat Islam.1
3. Arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang
yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi
diantara mereka untuk menentukan siapa yang
memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah
pertemuan secara berkala sampai semua anggota
memperolehnya.2
4. Arisan qurban adalah Pengumpulan sejumlah uang oleh
sekelompok orang setiap jangka waktu tertentu, kemudian
dilakukan penarikan undian untuk menentukan giliran siapa
yang berhak melaksanakan ibadah qurban pada tahun ini.

1
A.Rahman Rintouga, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT.Ictiar
Baru Heoven, 2003), 575.
2
Dista Pristiani dan Yuli Syafitri, Membangun Aplikasi Arisan Online
Berbasis Web Android , No. 3, 3 Oktober 2017, 178.

1
2

Adapun bagi mereka yang belum mendapatkan giliran pada


tahun tersebut, akan mendapatkan giliran sesuai dengan
penarikan undian pada tahun-tahun berikutnya.3
Sehingga berdasarkan penegasan judul di atas, peneliti
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul skripsi ini
adalah Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Arisan
Qurban di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus yang akan meninjau dan dikaji dari sudut pandangan
hukum Islam.

B. Latar Belakang Masalah

Manusia pada dasarnya berlomba-lomba dalam mencari


kebaikan karena sebuah perintah dari Allah Swt kepada
hambanya dan tentu mengandung hikmah untuk umatnya,
termasuk menyembelih hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha
merupakan amal shalih yang paling utama. Menyembelih hewan
qurban bisa menumbuhkan solidaritas sesama muslim yang
benar-benar terbangun, seperti mulai dari jual beli hewan qurban
di pasar, penyembelihan hewan qurban yang melibatkan banyak
orang hingga pembagian daging qurban, itu semua seakan-akan
mengandung efek sosial yang kuat.
Bagi seorang muslim, berkurban merupakan salah satu
ibadah sunnah yang mendapatkan pahala besar. Dalam Islam
berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad atau sunnah yang
sangat dianjurkan melakukannya, karena berkurban merupakan
bentuk amal ibadah yang dilakukan karena Allah Swt, maka
tentunya kita perlu mengetahui dan memahami hukum serta tata
cara pelaksanaanya dengan benar sesuai dengan sunah
Rasulullah Saw. Sehingga banyak masyarakat yang ingin
berkurban karena merupakan sunnah yang di anjurkan di dalam
Islam sehingga diadakanlah arisan qurban.
Arisan qurban merupakan sejumlah uang oleh sekelompok
orang setiap jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan

3
Jayusman,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif”,
Jurnal Al-Adalah, Vol. X, No. 4, (2012), 443.
3

penarikan undian untuk menentukan giliran siapa yang berhak


melaksanakana ibadah qurban pada tahun tersebut, adapun
mereka yang belum mendapatkan giliran pada tahun tersebut
akan mendapatkan giliran sesuai dengan penarikan undian pada
tahun-tahun berikutnya. Salah satu arisan yang banyak
diterapkan di masyarakat adalah arisan qurban. Arisan ini
bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam melaksanakan
ibadah qurban dengan cara membayarnya secara berkala atau
dicicil setiap bulannya. Seperti yang dilakukan oleh kelompok
qurban yang ada di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting
Kabupaten Tanggamus. Pada dasarnya perekonomian masyarakat
Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus
bervariasi, ada yang kelas menengah ke atas dan ada pula yang
kelas menengah kebawah. Karena banyak masyarakat kalangan
bawah yang berkeinginan untuk berkurban dan memakmurkan
masjid maka masyarakat berinisiatif untuk mengadakan arisan
qurban.
Arisan qurban ini berdiri pada tahun 2013, pada tahun
2020 merupakan putaran ke 3(tiga) yang beranggotakan
30(tigapuluh) orang. Setiap anggota menyetorkan uang sebesar
Rp.1.000.000,00 setiap tahun nya dengan hasil perolehan sekitar
(30 x Rp.1.000.000,00 = Rp.30.000.000,00).
Sistem yang dipakai dalam arisan tersebut adalah
kocokan. Pada undian setiap tahun mencari 10(sepuluh) orang
nama untuk menjadi pengurban untuk membelikan 1(satu) ekor
sapi untuk perwakilan 7(tujuh) orang pengurban sisa pengundian
untuk 3(tiga) ekor kambing. Sistem pembayaran dalam arisan
qurban bisa di angsur setiap 1(satu) bulan sekali atau bisa di
bayar sekaligus kepada satu petugas bendahara yang akan
berkeliling untuk menarik uang tersebut. Kemudian pengurus
arisan akan membelikan hewan qurban dalam bentuk sapi dan
kambing yang akan dikurbankan dengan harga yang telah
disepakati bersama apabila harga hewan qurban naik maka akan
ada penambahan uang untuk setiap anggotanya. Jika terdapat sisa
uang dari pembelian hewan qurban maka uang tersebut akan di
masukan ke dalam uang oprasional qurban atau uang kas arisan .
4

Dari uraian di atas dapat peneliti ingin meneliti tentang


praktik arisan qurban di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting
Kabupaten Tanggamus apakah sudah sesuai dengan Hukum
Islam dengan menggunakan metode wawancara dan
dokumentasi.

C. Fokus dan Sub-Fokus Penelitian

1. Fokus Penelitian
a. Pada penelitian dalam skripsi ini terfokus pada praktik
arisan qurban di tinjau dalam Hukum Islamnya.
2. Sub Fokus Penelitian
a. Praktik Pelaksanaan arisan qurban di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus.
b. Tinjauan Hukum Islam tentang arisan qurban di desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah di uraikan di


atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Praktik Pelaksanaan arisan qurban di Desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus ?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang pelaksanaan arisan
qurban di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan


penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui praktik pelaksanaan arisan qurban di Desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus.
5

2. Untuk mengetahui Tinjauan Hukum Islam tentang


pelaksanaan arisan qurban di Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus.

F. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk


menambah wawasan dan pengetahuan ilmu bagi penulis dan
dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang
ilmu pengetahuan khususnya dalam praktik pelaksanaan
arisan qurban sesuai dengan tuntunan Hukum Islam.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemikiran dan pengetahuan terhadap salah satu keilmuan
Hukum Islam yaitu keilmuan diprogram study muamalah dan
sebagai suatu syarat memenuhi tugas akhir guna memperoleh
gelar S.H (Sarjana Hukum) pada Fakultas Syari‟ah UIN
Raden Intan Lampung.

G. Kajian Penelitian Terdahulu

Berdasarkan tinjauan pustaka ini, penulis


menjelaskan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, relevan dengan judul skripsi ini yaitu:
1. Skripsi yang di susun oleh Isti Nur Solikhah yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan
Qurban jama‟ah Yasinan Dusun Candikarang, Desa
Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman”.
Skripsi tersebut membahas tentang akad dalam pelaksanaan
arisan qurban serta tinjauan hukum Islam bagi peserta yang
mengambil arisan dalam bentuk uang yang digunakan dalam
aqiqah. Skripsi ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu
mengkaji masalah yang di teliti dengan mengacu pada
sumber-sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟an dan Hadist,
kitab-kitab lain. Kesimpulan dari skripsi tersebut bahwa
Praktik Arisan Qurban yang di adakan di Dusun Candikarang,
Desa Sardonoharjo tersebut telah memenuhi asas-asas
6

muamalat yaitu mubah asas kerelaan („am-taradin) serta asas


mendatangkan manfaat.4
2. Skripsi yang di susun oleh Rohimatun Faizah yang berjudul
“Praktik Arisan Kurban Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
Hukum Adat (Studi Kasus Pada Jamaah Masjid Al-
Munawaroh Desa Bubutan Kecamatan Purwodadi Kabupaten
Purworejo)”. Penelitian ini membahas mengenai praktik
arisan kurban yang ditinjau menurut Hukum Islam dan
Hukum adat. Permasalahan dari penelitian ini apakah sistem
pelaksanaan arisan kurban selaras dengan akad atau tidak
yang dikaji menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum
Adat. 5 Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan
arisan kurban yang di adakan proses pelaksanaanya sejak
awal hingga akhir telah memenuhi syarat-syarat Hukum
Islam. Diharapkan arisan kurban ini tetap dipelihara dan di
kembangkan, mengingat besarnya manfaat yang terkandung
di dalamnya dengan harus membenahi sistem arisan yang ada.
3. Skripsi yang di susun oleh Muhammad Asyqolani, yang
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Arisan
Kurban pada Jama‟ah Yasinan Al-Iklas Desa Kemukus
Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen ”, Penelitian ini
membahas mengenai pelaksanaan arisan dan manfaat yang
ada di dalamnya serta menjelaskan hukum Islam terhadapnya.
Pendekatan yang digunakan yaitu menggunakan pendekatan
normatif, dengan mengacu kepada sumber-sumber al-Qur‟an
dan al-Sunnah. Analisis dari penelitian tersebut bahwa arisan
merupakan salah satu bentuk muamalat yang baru dan adil.
Apabila dilihat pada proses pelaksanaannya sejak awal hingga
akhir telah memenuhi syarat-syarat, oleh karena itu, arisan

4
Isti Nur Solikhah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Arisan
Qurban Jamaah Yasinan Dusun Candikarang, Desa Sardonoharjo, Kecamatan
Ngaglik, Kabupaten Sleman, 2010.
5
Rohmistun Faizah, Praktik Arisan Kurban dalam Tinjauan Hukum Islam
dan Hukum Adat di Jama‟ah Masjid Al-Munawwaroh Desa Bubutan Kecamatan
Purwodadi Kabupaten Purworejo, 2014.
7

kurban ini boleh dilaksanakan, bahkan dianjurkan


pelaksanaannya karena di dalamnya mengandung manfaat. 6
Meskipun Pada dasarnya judul skripsi di atas memiliki
Judul dan Persamaan yang hampir sama, namun substansi
yang di ajukan penulis dalam skripsi ini berbeda. Pada judul
skripsi ini penulis menganalisis Tinjauan Hukum Islam
tentang pelaksanaan arisan qurban dan bagaimana praktik
pelaksanaannya apakah sudah sesuai dengan syari‟at Islam.
Selain itu Objek penelitian pada skripsi ini berbeda dengan
relavansi di atas, skripsi ini berfokus di praktik pelaksanaan
qurban di Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus dan itu memiliki perbedaan-perbedaan dengan
relevansi diatas.

H. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah usaha menemuan,


mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan
usaha yang mana dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah.7
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
lapangan (Field Research), yaitu suatu penelitian yang
dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu, baik di
lembaga-lembaga organisasi masyarakat (sosial), maupun
lembaga pemerintah.8
Dalam Penelitian ini diperoleh data dengan
melakukan secara langsung, yaitu pengamat langsung ke

6
Muhammad Asyqolani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Arisan
Kurban pada Jama‟ah Yasinan Al-Iklas Desa Kemukus Kecamatan Gombong
Kabupaten Kebumen, 2005.
7
Sutrisno Hadi, Metodologi Researc Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset
1983), 190.
8
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, Cet. Ke-II, 1998), 23.
8

Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten


Tanggamus yang menjadi tempat penelitian.
b. Sifat Penelitian
Menurut sifatnya, Penelitian ini bersifat deskriptif
analisis, yang berusaha untuk pemecahan suatu masalah
yang ada sekarang berdasarkan data-data. Di dalamnya
terdapat upaya-upaya untuk mendeskripsikan, mencatat,
analisis, dan menginterprestasikan kondisi-kondisi yang
ada dilapangan. Dalam hal ini mendeskripsikan bagaimana
berkurban dalam bentuk arisan menurut Hukum Islam.

2. Sumber Data Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang akan diangkat oleh
peneliti, maka sumber data yang sangat diperlukan dibagi
menjadi dua macam, antara lain:
a. Data Primer
Data primer adalah sumber data yang diperoleh oleh
penulis setelah melakukan observasi ke lokasi yang
dijadikan objek yang diperoleh dari lapangan dengan cara
wawancara langsung dan bertemu para pihak yang
melakukan arisan qurban. Sumber data primer ini
diperoleh dari data-data yang tepat dari Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus khususnya di
Dusun VI Desa Purwodadi sebagai tempat penelitian dan
pelaksanaan penyembelihan hewan qurban.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah kesaksian atau data yang tidak
berkaitan langsung dari sumbernya yang asli. Data
sekunder dalam hal ini merupakan sumber data sebagai
pelengkap. Pada data ini penulis berusaha mencari sumber
dari sumber lain yang ada kaitannya dengan masalah
penelitian dan diperoleh dari ruang pustaka, seperti buku,
jurnal hukum Islam dan arisan qurban. Data Sekunder
umumnya berupa bukti, buku-buku, catatan laporan
historis yang telat tersusun dalam arsip (data documenter)
9

yang berikatan dengan permasalahan yang dibahas oleh


penulis.

3. Populasi dan Sampel


a. Populasi
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau
individu yang memiliki karakterisktik tertentu, jenis dan
lengkap, objek atau nilai yang akan diteliti dalam populasi
dapat berupa orang, perusahaan, lembaga, media dan
sebagainya. Dalam hal ini populasi berjumlah 4(empat)
orang 2(dua) panitia dan 2(dua) anggota arisan qurban di
Desa Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten
Tanggamus.
b. Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang
dijadikan objek penelitian. Purposif sampling adalah
peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena
ada pertimbangan tertentu yaitu:
1) Berstatus pengurus sejak tahun 2013 sampai saat ini.
2) Berstatus anggota yang sudah bergabung selama 3(tiga)
tahun.
3) Memahami tentang arisan qurban.
jadi sampel tidak diambil secara acak akan tetapi
ditentukan sendiri oleh peneliti. Dalam hal ini memilih
2(dua) petugas dan 2(dua) anggota.

4. Metode Pengumpulan Data


Dalam metode pengumpulan data peneliti
menggunakan beberapa metode, diantaranya yaitu sebagai
berikut:
a. Interview (Wawancara)
Menurut Margono, metode interview adalah alat
pengumpulan informasi dengan cara mengajukan sejumlah
pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.9

9
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan (Jakarta: Renika Cipta,
2004), 165.
10

Dengan kata lain mendapatkan keterangan melalui


bertatap muka secara langsung dan bercakap-cakap kepada
pemberi keterangan.
Dalam penelitian ini menggunakan interview bebas
terpimpin, artinya penginterview memberikan kebebasan
kepada orang yang diinterview untuk memberi tanggapan
atau jawaban sendiri. Metode ini digunakan untuk
menggali data dari responden yang berhubungan dengan
Tinjauan Hukum Islam Tentang Pelaksanaan Arisan
Qurban.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah kumpulan data variable
yang berbentuk tulisan. 10 Atau mencari data mengenai
hal-hal atau sesuatu yang berkaitan dengan masalah
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, dan sebagainya, yang ada hubungannya
dengan tema penelitian. 11 Metode dokumentasi ini
dipergunakan untuk memperoleh data tentang
pelaksanaan arisan qurban (Studi di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus).

5. Metode Pengolahaan Data


Metode ini dapat berarti menimbang, menyaring,
mengatur, mengklarifikasi. Dalam menimbang dan
menyaring data, penulis benar-benar memilih secara hati-
hati data yang relevan dan tepat serta berkaitan dengan
masalah yang diteliti, sementara penulis mengatur dan
mengklarifikasi dengan cara menggolongkan, menyusun
menurut aturan tertentu.12

10
Koenjorodiningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 46.
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Edisi Revisi IV (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 23.
12
Mo Pabundu Tika, Metodologi Riset Bisnis (Jakarta: Bumi Aksara,
2006), 75.
11

Melalui pengolahan data-data yang telat


dikumpulkan oleh penulis, maka penulis menggunakan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing adalah pemeriksaan data oleh penulis sebelum
data tersebut diproses lebih lanjut.
b. Klasifikasi adalah penggolongan data-data sesuai
dengan jenis dan penggolongannya setelah diadakannya
pengecekan diproses editin.
c. Interprestasi adalah memberikan penafsiran terhadap
hasil untuk menganalisis dan menarik kesimpulan.
d. Sistemating adalah melakukan pengecekan terhadap
data-data dan bahan – bahan yang telah diperoleh
penulis secara sistematis, terarah dan berurutan dengan
klasifikasi data yang diperoleh.

6. Analisis Data
Setelah data diperoleh, selanjutnya dapat dianalisis
secara deskriptif. Deskriptif yaitu, “Suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat dimengerti”. 13 Analisa Kualitatif ini
dipergunakan dengan cara menguraikan dan merinci
kalimat - kalimat sehingga dapat ditarik kesimpulan yang
jelas tentang tinjauan hukum Islam tentang pelaksanaan
arisan qurban.
Sedangkan metode berfikir skripsi ini menggunakan
metode induktif, yaitu metode yang mempelajari suatu
gejala yang khusus untuk mendapatkan kaidah-kaidah
yang diselidiki. Metode ini digunakan dalam membuat
kesimpulan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan
permasalahan yang ada. Hasil analisis dituangkan di bab-
bab yang telah dirumuskan dalam sistematika pembahasan
yang panel.
12

I . Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan sistematika pembahasan dalam
skripsi ini terdiri dari tiga bagian yaitu: Pertama, bagian awal
skripsi yang terdiri dari: sampul skripsi, halaman judul,
abstrak, pernyataan, persetujuan, pengesahan, motto,
persembahan, riwayat hidup, kata pengantar, daftar isi, daftar
tabel dan daftar lampiran.
Bab I pendahuluan terdiri dari beberapa sub bab, yaitu:
Penegasan judul, latar belakang masalah, fokus dan sub
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian penelitian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika pembahasan, ini adalah kerangka awal dalam
mengantarkan isi pembahasan ke bab selanjutnya.
Bab II berisikan tentang kajian teori yang berhubungan
dengan penelitian mengenai
adanya indikasi riba dalam arisan qurban di Desa Purwodadi
Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus. Oleh karena itu
penelitian menggunakan tiga teori qard, teori riba dan teori
qurban. Selanjutnya bab III dalam skripsi ini berisikan tentang
deskripsi objek penelitian yang terdiri dari gambaran umum
lokasi penelitian, Pelaksanaan arisan qurban di Desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dan
penyajian fakta dan data penelitian.
Kemudian dilanjutkan bab IV yang merupakan inti
pembahasan dalam penelitian di mana penelitian berharap
menentukan fakta-fakta dan data-data sebagaimana yang telah
di sajikan pada bab III yang terdiri dari 2 sub bab yang
pertama, Praktik arisan qurban di Desa Purwodadi Kecamatan
Gisting Kabupaten Tanggamus dan yang kedua Tinjauan
Hukum Islam tentang pelaksanaan arisan qurban di Desa
Purwodadi Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus,
Kemudian bab V yang meliputi kesimpulan dan rekomendasi
dan yang terakhir berisikan tentang daftar pustaka dan
lampiran.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Teori Qard
1. Pengertian Qard

Utang atau qard dalam istilah Arab disebut dengan al-


dain bentuk jamaknya al-duyun dan al-qard. Pengertian
umum utang piutang mencangkup jual beli, sewa menyewa
yang dilakukan secara tidak tunai. 14 Qard secara bahasa
artinya memotong, karena orang yang memberi pinjaman
akan memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada
peminjam. 15 Utang atau qard secara istilah adalah
memberikan harta kepada orang yang bisa memanfaatkannya,
kemudian orang itu mengembalikannya, dan orang itu
mengembalikan gantinya. Qard merupakan bentuk tolong
menolong dan kasih sayang nabi menyebutnya sebagai
anugerah sebab peminjamnya mendapatkan manfaat
kemudian mengembalikannya kepada yang meminjamkan.16
Beberapa ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan
pengertian hutang piutang diantaranya :
1) Imam Syari‟iyah yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich
berpendapat bahwa qard (utang piutang) dalam istilah
syara diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada
orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).
Disamping itu dari definisi yang telah disebutkan diatas
dapat dipahami bahwa qard juga bisa diartikan sebagai
akad atau transaksi antara dua pihak. Jadi, dalam hal ini
qard diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu
kepada pihak lain yang nanti harus dikembalikan.
2) Imam Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili
(utang-piutang) adalah harta yang memiliki kesepadanan

14
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Seti, 2001), 151.
15
Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulkhas Fiqh Panduan Fiqih
Lengkap Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2013), 99.
16
Ibid., 100.

13
14

yang diberikan untuk ditagih kembali. Atau dengan kata


lain, suatu transaksi yang dimaksudkan untuk
memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada
orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.17
3) Menurut Yazid Afandi, qard (utang piutang) adalah
memberikan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan
imbalan, untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama
dan dapat ditagih kembali kapan saja, sesuai kehendak
yang mengutangi. Akad qard adalah akad tolong menolong
bertujuan untuk meringankan beban orang lain.18
4) Menurut Gusfron A.Mas, piutang adalah memberikan
sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian yang akan di
bayar atau mengembalikan hutang tersebut dengan jumlah
yang sama pula.19
5) Al-Bahuti mendefinisikan qard (utang piutang) secara
etimologi adalah potongan, adapun secara terminology
adalah pembayaran atau penyerahan sejumlah uang atau
barang kepada orang yang akan menggunakannya, namun
ada kewajibannya untuk mengembalikannya.
Sebagaimana pengertian yang telah dijelaskan qard
(hutang piutang) adalah akad yang dilakukan oleh dua
orang dimana salah satu dari dua orang tersebut
mengambil kepemilikan harta tersebut untuk
kepentingannya kemudian ia harus mengembalikan harta
tersebut. Selain itu akad dari hutang piutang sendiri adalah
akad yang bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak
lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena setiap
transaksi yang dilakukan harus disertai dengan ijab qabul
untuk memenuhi suatu unsur yang harus ada dalam sebuah
akad.

17
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam WaAdillatuhu, Jilid V (Jakarta:
GemaInnsani, 2011), 374.
18
M.Yazid Afandi, Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009),
137.
19
Gufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT.Grafiando
Persada, 2002), 168.
15

Maka dapat dipahami bahwa qard adalah pinjaman


uang yang diberikan seseorang kepada pihak lainnya,
dimana pinjaman tersebut digunakan untuk usaha atau
menjalankan bisnis tertentu. Pihak peminjam berkewajiban
mengembalikan pinjaman tersebut sesuai dengan jumlah
yang dipinjamnya. Qard juga tidak berbunga karena
prinsip dalam qard ini adalah tolong menolong.

2. Dasar Hukum Qard


Qard merupakan perbuatan baik yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasul. Dalam Al-Qur‟an, qard disebutkan
dalam beberapa ayat, antara lain:

           

     

“Siapakah yang mau memberi pinjaman Allah pinjaman


yang baik, maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan serta melapangkan dan hanya kepada-Nya
kamu dikembalikan”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 245)

Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Allah Swt


Sangat mengajurkan dan mendorong umat Islam agar
menafkahkan hartanya di jalan Allah. Kemudian, Allah akan
memberi penghargaan kepada umat yang melaksanakan
anjuran tersebut dengan melipat gandakan pahala sebagai
balasan atas pinjaman tersebut.
Selain itu, dasar hukum utang piutang terdapat di dalam
Al-Qur‟an pada Al-Baqarah [2]: 282) sebagai berikut:
          

          
16

           

...    

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar,
dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya...” (Q.S Al-Baqarah [2]: 282).

Ayat sebelumnya menjelaskan bahwasannya Allah


memerintahkan umat Islam untuk melakukan pencatatan
dalam transaksi yang dilakukan secara tidak tunai (utang
piutang) baik tentang jumlah utang maupun tentang waktu
pengembalian atau pembayarannya. Selain itu, pada ayat ini
juga menjelaskan tentang perlunya saksi-saksi yang adil dan
dapat dipercaya dalam transaksi utang piutang, agar masing-
masing pihak tidak dapat berlaku curang dan menzalimi pihak
yang lain.

           

 

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang


baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu
dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi
Maha Penyantun ” (Q.S. Al-Taghabun [64]: 17)
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk
melakukan perbuatan qard (utang piutang) kepada orang lain,
dan imbalan nya adalah akan dilipat gandakan oleh Allah.
17

Dari sisi muqridh (orang yang memberikan hutang), Islam


menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan
kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi
hutang. Dari sisi muqtaridh hutang bukan perbuatan yang
dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berhutang
dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang
dihutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan
mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.

3. Beberapa Permasalahan dalam Qard


a. Kekuatan Hukum Transaksi Qard
Qard (utang piutang) adalah transaksi yang
berkekuatan hukum mengikat (aqd lazim) dari pihak
pemberi hutang setelah penghutang menerima hutang
darinya. Namun, bagi pihak penghutang transaksi qard
(hutang piutang) adalah boleh (aqd ja’iz). Ketika pemberi
hutang memberi hartanya untuk dihutang, maka ia tidak
boleh menariknya kembali karena transaksi qard (hutang
piutang) mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (aqd
lazim). Adapun bagi penghutang, maka ia boleh
mengembalikannya atau membayar hutangnya kapan pun
ia mau (maksimal pada saat jatuh tempo yang telah
disepakati jika telah mampu membayarnya).20
b. Syarat Tempo Qard
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak sah
mensyaratkan adanya tempo qard (utang piutang) dan
tidak mengharuskan hal itu. Hal ini karena qard
merupakan hutang secara kondisional, sedangkan kondisi
tidak dapat dibatasi waktu sehingga syarat adanya tempo
tidak sah (bathil) dan tidak harus dilakukan jika
mensyaratkan (adaya tempo).
Pendapat yang shahih boleh mensyaratkan tempo
dalam qard (hutang piutang). Demikian ini merupakan
pendapat Malik dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul

20
Al-Thayyar, Ensikklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Mazhab
( Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif,2014), 165.
18

Islam Ibnu Taimiyyag, Ibnu al-Qayyim, Syaikh


Muhammad al–Ustaimin dan Syaikh Shalih al-Fauzan.21
c. Tambahan pada Qard
Ada dua macam penambahan pada qard, yaitu
sebagaimana berikut ini:
1) Penambahan yang diisyaratkan, demikian ini dilarang
berdasarkan ijma. Begitu juga manfaat yang
disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi hutang
kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku
untuk menempati rumahmu” atau manfaat lainnya.
2) Jika penambahan diberikan ketika membayar hutang
tanpa syarat, maka yang demikian ini boleh dan
termasuk pembayaran yang baik .22
d. Syarat Pembayaran hutang di Negara lain
Jika seseorang memberi hutang kepada orang lain
dengan syarat pembayaran diberikan di Negara lain, dalam
hal ini ada dua kemungkinan.
1) Jika membawa pembayaran ke tempat itu memerlukan
biaya, maka menurut kesepakatan ulama tidak sah
karena berarti memberi hutang dengan menarik
manfaat. Seperti jika seseorang memberinya hutang
gandum dengan syarat pembayaran diberikan di Negara
lain, maka demikian ini tidak boleh karena pemberi
hutang mendapat manfaat dari biaya pengangkutan dan
karena setiap hutang piutang yang menarik manfaat
adalah riba.
2) Jika membawa pembayaran ke tempat yang disyaratkan
tidak memerlukan biaya, seperti hutang piutang uang,
maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat diantara
ulama.
Pertama, Imam Malik, asy-Saf‟i, salah satu
riwayat dari Ahmad, dan banyak ulama berpendapat
tidak boleh karena termasuk memberi hutang untuk
mendapat manfa‟at, yaitu penghutang akan

21
Ibid., 165-166.
22
Ibid., 168-169.
19

menggunakan uang itu di negara yang ditentukan.


Demikian ini hutang piutang yang menarik manfaat.
Kedua, pendapat dikalangan Hanafiyyah dan
salah satu riwayat dari Ahmadadalah boleh. Pendapat
inilah yang dipilih Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibn
Tamiyyah, dan Ibnu al-Qayyim. Hal ini karena manfaat
tidak hanya dinikmati oleh pemberi hutang, namun juga
oleh penghutang. Pemberi hutang mendapat
keuntungan dengan keamanan uangnya dalam
perjalanan, dan penghutang mendapat keuntungan
dengan dapat memanfaatkan uang untuk membeli
sehingga demikian ini tidak apa-apa pendapat inilah
yang dipilih oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dan inilah
pendapat yang rajih (valid).23
e. Membebaskan sebagian hutang dan mempercepat
pembayaran sebagainya
Bentuk konkret masalah ini adalah jika seorang
memberi hutang kepada orang lain yang harus dibayar
pada tempo tertentu, kemudian pemberi hutang berkata
kepada penghutang “aku bebaskan sebagian hutangmu
dengan imbalan kamu mengembalikan sisanya sebelum
jatuh tempo”.
Fuqaha berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Mayoritas (jumhur) ulama mengharamkannya, tetapi yang
benar adalah boleh sebagaimana pendapat Ibn Taimiyyah.
Pendapat Inbu Taimiyyah ini dipilih (dirajihkan) oleh Ibnu
al-Qayyim dan beliau mendukung pendapat ini dalam
kitab I‟am al-Muwaqqi‟in. Pendapat ini juga dirajihkan
oleh Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dan Syaikh
al-Balbani dalam kitab as-Salsabil.24
f. Memberi Tenggang Waktu Kepada Orang yang Kesulitan
Memberi tenggang waktu kepada orang yang
kesulitan membayar hutang merupakat suatu keharusan
yang dianjurkan oleh syariat Islam. Allah swt berfirman:

23
Ibid., 169-170.
24
Ibid., 170-171.
20

              

 

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam


kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(Q.S.
Al-Baqarah [2]:280).
Oleh karena itu, seorang yang memberi hutang
kepada orang lain kalo bisa memberi tenggang waktu jika
ia masih dalam kesulitan karena qard (utang piutang)
termasuk transaksi irfaq (memberi manfaat) dan
meringankan kesusahan kaum muslimin.25
g. Kewajiban Membayar Hutang
Bagi pemberi hutang sebaiknya memberi tenggang
waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutangnya.
Sebaliknya, penghutang wajib segera membayar
hutangnya sebelum meninggal dunia agar tidak meninggal
dunia dalam keadaan masih menanggung beban hutang.

4. Rukun dan Syarat Qard


1) Aqid (akad)
Untuk aqid, baik mutaridh disyaratkan harus orang
yang diperbolehkan melakukan tasarruf atau memiliki
ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qard tidak sah apabila
dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang gila. Syarat
untuk menjadi mutaridh antara lain:
a) Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru.
b) Mukhtar atau memiliki pilihan.
Sedangkan untuk muqtaridh disyariatkan harus
memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan

25
Ibid., 171-172.
21

muamalah, seperti baligh, berakal dan tidak mahjur


a’laih.26
2) Ma‟qud Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah,
Syafi‟iyah, dan Hanabillah, yang menjadi objek akad
dalam al-qard sama dengan akad salam, baik berupa
barang-barang yang ditukar (makilat) dan ditimbang
(mauzunat), maupun barang-barang yang tidak ada
persamaanya dipasaran (qimiyat), seperti hewan, barang-
barang dagangan, dan barang yang dihitung atau dalam
perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek
akad qard.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma‟qud‟alaih
hukumnya sah dalam m‟al mitsli, seperti barang-barang
yang ditakar (makilat), barang-barang yang dihitung
(ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang dapat diukur
dengan meteran (madzuru’at). Sedangkan barang-barang
yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya dipasaran
(qimiyat) tidak boleh dijadikan objek qard, seperti hewan,
karena sulit mengembalikannya dengan barang yang sama.
3) Shighat (Ijab dan Qabul)
Qard adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh
karena itu, akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya
ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah.
Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal qard (hutang
atau pinjaman) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang
mengandung arti kepemilikan. Contohnya: saya milikkan
kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus
mengembalikan kepada saya penggantinya. Penggunaan
kata milik disini bukan berarti diberikan cuma-cuma,
melainkan pemberian hutang yang harus di bayar.

26
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
277.
22

5. TataKrama Berhutang (Qard)


Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam
„ariyah tentang nilai dan sopan santun yang terikat
didalamanya ialah:
a. Sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah [2]: 282
         

           

           

            

          

          

         

            

            

        

           

             

    

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu


bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
23

hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya


dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu
tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Bermuamalah
ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa
menyewa dan sebagainya” (Q.S Al – Baqarah [2]: 282) .
Hutang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan
dari pihak berhutang dengan disaksikan dua orang saksi
laki-laki atau dengan seorang saksi laki-laki dengan dua
24

orang saksi perempuan. Tulisan tersebut dibuat diatas


kertas bersegel atau bermatrai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya
kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan
membayarnya atau mengembalikannya.
c. Pihak berhutang hendaknya berniat memberikan
pertolongan kepada pihak yang berhutang.
d. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar
pinjaman hendaknya dipercepat pembayaran hutangnya.
Lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.

Sedangkan solusi Islam untuk orang yang tidak mampu


membayar hutang adalah sebagai berikut:
a. Mengambil hutang pokoknya saja (kapital). Mengambil
hutang pokok tidak akan mendzalimi orang yang
berhutang dengan mengambil laba dari hutang pokok.
b. Menambah penangguhan waktu pembayaran hutang,
seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Swt Q.S. Al-
Baqarah [2]: 280)
            

   

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam


kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 280)

6. Tambahan dalam Qard


Ada dua macam penambahan pada qard (utang-piutang), yaitu
sebagai berikut ini:
a. Penambahan yang disyaratkan. Demikian ini dilarang
berdasarkan ijma. Begitu juga manfaat yang disyaratkan,
seperti perkataan. “Aku memberi utang kepadamu dengan
syarat kamu memberi hak kepadaku untuk menempati
25

rumahmu,”atau syarat manfaat lainnya. Demikian ini


termasuk rekayasa tentang riba.
b. Jika penambahan diberikan ketika membayar utang tanpa
syarat, maka yang demikian ini boleh dan termasuk
pembayaran yang baik berdasarkan hadis yang telah
dikemukakan di pasal dasar al-qard(utang-piutang)27
Takala pengembalian barang pinjaman, yang
diwajibkan adalah seimbang kadarnya. Oleh karena itu,
kedua belah pihak disyariatkan harus mengetahui kadar
dan sifat barang yang dipinjamkan. Tujuannya adalah agar
keseimbangannya benar-benar bisa diwujudkan. Dengan
demikian, pengembalian barang pinjaman, baik yang
berpotensi riba ataupun bukan, kadasrnya harus sama,
tidak boleh lebih sedikit, juga tidak boleh lebih berkualitas
atau jelek. Demikianlah hukum dasarnya namun demikian
kelebihan kadar dan sifat, asalkan tidak disyariatkan,
masih dibolehkan.
Pelunasan atau pembayaran kembali hutang wajib
dilakukan sesuai isi perjanjian yang telah menjadi kata
sepakat kedua belah pihak. Pada saat pelunasan yang wajib
dikembalikan hanya sebesar hutang yang diterima dan
karena tidak dibenarkan dalam perjanjian berisikan
tambahan melebihkan dari jumlah yang diterima, maka
pengembaliannyapun dilarang memberikan penambahan.
Tetapi kalau yang berhutang atas kemauannya
melebihkan jumlah pembayaran itu boleh diterima dan
merupakan kebaikan bagi yang berhutang. 28 Jika yang
dipinjamkan berupa barang yang bernilai maka
pengembalian yang benar menurut kebanyakan penganut
madzhab Syafi‟i, termasuk salah satu pendapat Zhahiriyah,
adalah barang yang berupa bentuknya. Dalilnya adalah
hadits Abi Rafi, Bahwasannya Nabi Muhammad Saw,

27
Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar Abdullah bin Muhammad Al-
Muthlaq dan Muhammad bin Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, Cet-1, 2009), 168-169..
28
R.Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum
Konsorsium Ilmu Hukum (Bandung: CV. Mandar Maju, 1997), 165.
26

meminjam seekor unta kecil (masih bayi), binatang ini


adalah binatang yang bernilai kemudian beliau
menyuruhku (Abu Rafi‟) untuk mengembalikan
pinjamannya dengan unta ruba’iy (unta yang berumur
tujuh tahun). Sedangkan unta kecil itu masih berusia
remaja. Jika tidak memungkinkan untuk mengembalikan
barang dengan nilai yang sama dan berusahalah untuk
mengembalikan tepat pada hari yang telah dijanjikan.
Pendapat kedua menurut Syafi‟i, termasuk juga
pendapat Zhahiriyah yang lain, adalah pengembaliannya
disamakan nilainnya. Sebab tidak mungkin untuk
mengembalikannya barang yang sama persis dari semua
aspeknya. Nilai itu dihitung saat penyerahan kepada
pemberi pinjaman. Sebab pinjaman juga memiliki nilai
pinjaman setelah diserahkan kepadanya, seperti yang
dikemukakan oleh Zhahiriyah, demikian juga Syafi‟i.
Pendapat lainnya dari kalangan Syafi‟i adalah nilainya
dihitung saat penyerahan pinjaman. Ada yang mengatakan
nilainnya lebih banyak daripada nilai saat penyerahan
pijaman. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa
pengembaliannya harus sama, baik pinjaman berupa
barang bernilai ataupun bukan. Tampaknya masalah yang
mereka katakan tersebut adalah jika memungkinkan bisa
mengembalikannya dengan nilai yang sama.
Permasalahan ini sangat erat kolerasinya dengan riba.
Seperti yang telah diketahui bersama, menurut ahli fiqh,
memberikan pinjaman bisa saja berupa yang berpotensi
riba ataupun yang bukan. Dalam transaksi pemberian
pinjaman, tidak ada bedanya antara harta yang berpotensi
riba dan yang bukan berpotensi riba, seperti yang
dikatakan oleh Nawawi. Ibnu Hazm berkata Riba dalam
memberikan pinjaman bisa terjadi dalam bentuk apa pun
maka tidak boleh meminjamkan sesuatu agar mendapat
pengembalian yang lebih banyak atau lebih sedikit, tidak
27

juga dengan pengembalian barang lain, tetapi harus sama


bentuk dan kadar dengan barang yang dipinjamkan.29
Seluruh ahli fiqh sepakat bahwa uang tambahan yang
disyaratkan oleh pemberi pinjaman adalah dilarang. Baik
uang tambahan itu sejenis dengan uang yang dipinjamkan
ataupun tidak. Sebab hal ini telah menyeleweng dari tujuan
utama memberikan pinjaman, yaitu kasih sayang.
Berkaitan dengan syarat seperti itu, Hanafi berpendapat
bahwa hukum memberikan dengan syarat itu Hanafi
berpendapat bahwa hukum memberikan tetap sah tetapi
syarat tersebut tidak sah. Sedangkan Syafi‟i berpendapat
bahwa akad bersyarat tersebut tidak sah.

7. Berakhirnya Akad Qard


Utang piutang dinyatakan telah berakhir apabila waktu
yang telah disepakati telah tiba. Dengan tibanya waktu yang
telah diperjanjikan, pihak yang berutang wajib untuk
memenuhi kewajibannya agar melunasi utangnya. Jumhur
Fuqaha juga berpendapat bahwa penangguhan tidak
diperbolehkan di dalam utang karena hal ini adalah kebaikan
semata dan kreditur boleh meminta gantinya seketika itu juga.
Oleh karenanya, meskipun terjadi penangguhan sampai batas
waktu tertentu maka hal tersebut tetap saja dianggap jatuh
tempo. Namun, apabila orang yang berutang tersebut sedang
dalam kesulitan sehingga tidak mampu membayar utangnya,
maka dalam hal ini diperbolehkan untuk memberi kemudahan
dengan adanya penangguhan pembayaran. Hal ini sesuai
dengan firman Allah surat Al-Baqarah (2) ayat 280 sebagai
berikut:
             

  

29
Abdul‟Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba (Jakarta: Senayan Publishing,
2011), 326-332.
28

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam


kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 280)

B. Teori Riba
1. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna al-ziyadah (tambahan).


Karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan
dari sesuatu yang dihitungkan.30 Dalam pengertian lain, bisa
juga berarti berkembang, berbunga, karena salah satu
berbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang
lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Adapun menurut
istilah teknis, riba dapat berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara batil. Riba juga berarti
pengambilan tambahan, dalam aktivitas ekonomi secara batil
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah dalam
Islam.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri berpendapat riba adalah:
a. Penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang
dipertukarkan tanpa ada kompesansi terhadap tambahan
tersebut.
b. Menurut Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas
pertukaran barang atau komodias tertentu yang tidak
diketahui perimbangan menurut ketentuan syara ketika
berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak
atau salah satu keduanya.31
c. Menurut Syekh Muhammad Abduh bahwa riba adalah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang

30
Edi Gunawan dan Rusdiyanto, Prosiding the 2nd Internasional Seminar on
Contemporary Islamic Issues: Contemporary Issues on Religion and
Multiculturalism (Manado: Fakultas Usulludin Adab dan Dakwah IAIN Manado,
2019), 254.
31
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001),
259.
29

yang memiliki harta kepada orang yang meminjam


hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran
oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.32
Dengan demikian riba merupakan tambahan
pembayaran dari modal pokok diisyaratkan bagi seorang dari
dua yang berakad. Agama samawi pada dasarnya melarang
praktik riba, karena dapat menimbulkan dampak negatif pada
masyarakat umum dan bagi mereka yang terlihat. Riba dalam
kontrak pinjaman contohnya, riba merujuk pada sesuatu yang
mesti dibayar oleh peminjam kepada pemberi hutang
(penghutang), di samping jumlah pokok sebagai syarat untuk
mendapatkan pinjaman atau karena melewatkan waktu yang
perlu dibayar.
Pada umumnya terdapat dua bentuk riba ialah riba
yang melibatkan hutang uang dan riba jualan barangan
tertentu. Riba hutang berlaku apabila terdapat penambahan
nilai ke atas sesuatu pinjaman yang disyariatkan oleh pemberi
pinjaman atau dijanjikan oleh penerima pinjaman. Lebihan ini
mungkin terdapat pada bayaran harga tertangguh yang ingin
diperlewatkan bayarannya. 33 Manakala riba berjualan pula
berlaku apabila terdapat kelebihan pada satu pihak dalam
pertukaran setengah barang dan uang sama ada karena kuaniti
barangnya tukaran yang berbeda atau perbedaan waktu
pertukaran.

2. Dasar Hukum Riba


Sudah diketahui bahwa dalam Islam riba sudah dilarang
dan bahkan dikategorikan sebagai dosa besar. Seperti halnya
disampaikan dalam firman Allah Q.S. Ar-Ruum [30]: 39):
             

         

32
Muh Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an Dan Masalah Perbankan (Sebuah
Titikan Antisipasif) (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), 57.
33
Ibid., 60.
30

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar


dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya). “ (Q.S. Ar-Ruum
[30]: 39).
Berdasarkan ayat di atas Allah menyatakan secara
nasehat bahwa dia tidak menyukai orang yang melakukan
riba. Dalam hal ini, Allah menolak anggapan bahwasannya
harta yang diberikan kepada orang lain sebagai bentuk
pertolongan merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Akan tetapi, Allah sangat memuliakan umat-Nya yang
memberikan sedekah dari harta yang dicintai dan Allah akan
memberikan balasan berlipat-lipat ganda.

Selanjutnya berdasarkan firman Allah dalam Qur‟an


Surat An-Nisa ayat 160-161 yang berbunyi:

         

           

        

“ Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,


Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih. “ (An-Nisa [4]: 160-161).
Ayat di atas menggambarkan bahwa riba adalah
perbuatan yang zalim dan bāṭil. Ayat ini lebih khusus
31

membahas kezaliman yang dilakukan orang-orang Yahudi


pada saat itu. Oleh karena itu, Allah akan menurunkan azab
yang pedih untuk orang-orang kafir yang masih menjalankan
riba.
Dipertegas kembali dalam firman Allah surat Al-
baqarah [2]: 275) tentang pengharaman riba sebagai berikut:
         

            

            

            

 

“ Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak


dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di
dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275).
Demikianlah Allah swt sudah menerangkan secara
jelas tentang pelarangan riba pada segala bentuk. Selain
adanya unsur penambahan dalam riba juga menimbulkan
adanya kezaliman pada salah satu pihak.
32

3. Jenis-Jenis Riba
Secara umum dalam Islam riba dibagi menjadi dua
jenis yaitu riba yang berasal dari utang piutang dan riba yang
berasal dari jual beli. Riba yang berasal dari jual beli dibagi
menjadi dua yaitu riba fadhl dan riba nasi‟ah. Sedangkan riba
yang berasal dari utang piutang dibagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyah. Berikut ini adalah definisi dari jenis-jenis riba.
a. Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah tambahan yang diberikan atas
pertukaran barang yang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda. Barang yang menjadi objek pertukaran ialah
termasuk dalam jenis barang ribawi. Dua pihak melakukan
transaksi pertukaran barang yang sejenis, namun satu
pihak akan memberikan barang ini dengan jumlah, kadar,
atau takaran yang lebih tinggi. Maka, kelebihan atas kadar
atau takaran barang ribawi yang dipertukarkan merupakan
riba.34
b. Riba Nasi‟ah
Riba Nasi‟ah merupakan penundaan pelimpahan
atau pengeluaran jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis ribawi lainnya. Riba jenis ini menimbulkan
akibat perbedaan atau penambahan nilai suatu barang yang
diserahkan saat ini dan diserahkan kemudian atau dapat
dipahami penambahan nilai suatu barang atau bisa juga
riba dengan memberikan kelebihan atas keterlambatan
seseorang dalam membayar utangnya dalam pihak lain.35

c. Riba Qardh
Larangan riba ini berdasarkan firman Allah Swt
dalam Q.S. Ar-Ruum [30]: 39):

34
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: PT. Kharisma Putra Utara, 2011),
14.
35
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Ekonomi Syariah ( Jakarta: PT Gramdia
Pustaka Utama, 2013), 729.
33

             

         

“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan


agar Dia bertambah pada harta manusia. Maka Riba itu
tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah. Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.(Q.S. Ar-Ruum[30]: 39)

Riba Qard adalah tambahan atau kelebihan tertentu


yang disyaratkan terhadap yang berhutang, misalnya,
seseorang meminjamkan uang atau barang dengan syarat
mengambil manfaat baik berupa materi maupun jasa pada
saat pengembalian. Pengambilan keuntungan tersebut
dalam utang piutang dianggap sebagai riba, karena utang
piutang sebenarnya adalah bentuk saling tolong menolong,
oleh karena itu dengan disyaratkannya tambahan ketika
akan mengembalikan utang, maka dianggap keluar dari
tujuan utama yaitu tolong menolong.36
d. Riba Jahiliyyah
Riba Jahiliyyah adalah riba yang terjadi akibat
peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman kepada
pemilik harta dan si peminjam harus mengembalikan
dengan nilai yang lebih besar dibandingkan pinjamannya
tersebut akibat keterlambatannya tersebut. nilai yang lebih
besar akan dibayarkan peminjam dengan jumlah tertentu
yang jumlahnya melebihi jumlah uang yang dipinjam.
Kelebihan atas pokok pinjaman ini ditulis dalam
perjanjian, sehingga mengikat pihak peminjam.37

36
Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah (Jakarta: Mediakita, 2011),
18-19.
37
Zainuddin Ali, Hukum Perbankkan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), 111.
34

4. Alasan Pembenaran Pengambilan Riba


Sekalipun ayat-ayat dan hadits tentang riba sudah
sangat jelas dan shahih, masih saja ada beberapa cendikiawan
yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas
pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan berikut.
a. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
b. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang,
sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak mendzalimi
diperkenankan.
c. Bank sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori
mukallaf.
Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat
dan hadits riba. 38 Alasan-alasan tersebut mempunyai
banyak kelemahan pada alasan pertama yang menyatakan
bahwa dalam keadaan darurat bunga halal hukumnya,
padahal dalam keadaan darurat pun praktik riba akan
merugikan dan bahwa menjadi madharat.
Alasan kedua yang menyatakan hanya bunga yang
berlipat ganda saja yang diharamkan sedangkan suku
bunga yang wajar diperkenankan, merupakan pemahaman
yang keliru terhadap kandungan dalam Q.S. Al-Imran [3]:
130)
        

    

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu


memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan” (Q.S.Al-Imran [3]: 130).
Sepitas ayat tersebut hanya menyiarkan larangan
riba yang berlipat ganda saja, jika tidak berlipat ganda
maka halal. Memahami ayat ini harus lebih cermat dan
disertai dengan merujuk pada ayat yang lain mengenai
38
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani,2001), 54.
35

riba. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari


surah Al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah. Para
ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut
merupakan ayat sapu jagat untuk segala bentuk, ukuran,
kadar dan jenis riba. Dari situ kita akan mendapatkan
bahwa riba dalam segala bentuk apapun haram hukumnya.
Alasan yang ketiga bahwa “bank sebagai lembaga
keuangan tidak termasuk sebagai mukallaf, sehingga bank
tidak termasuk kitab yang dilarang secara historis dan
tekhnis alasan ini mempunyai banyak kelemahan. Pada
zaman Rasul badan hukum seperti bank tidak ada, akan
tetapi praktik-praktik perbankan sudah ada ketika itu.
Bahkan sejarah romawi, persia dan yunani menunjukan
ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari
pihak penguasa, maka alasan-alasan ini tidak bisa
dijadikan sebagai bukti bahwa riba(bunga) halal
hukumnya.39

5. Sebab-Sebab di Haramkan Riba


Adapun sebab-sebab diharamkannya Riba diantaranya
sebagai berikut:
a. Karena Allah dan Rasul-nya melarang atau
mengharamkannya.
b. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain
dengan tidak ada imbalannya, seperti seseorang
menukarkan uang kertas. Rp.10.000,00 dengan uang
recehan senilai Rp.9.950,00 maka uang senilai Rp.50,00
adalah riba.
c. Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas
berusaha yang sah menurut syara‟, Jika riba sudah
mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih
suka beternak uang karena ternak uang akan mendapatkan
keuntungan lebih besar dari pada dagang dan dikerjakan
tidak dengan susah payah.

39
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik
(Jakarta: Gema Insani, 2001), 54.
36

d. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap


sesama manusia dengan cara utang-piutang sehingga riba
lebih memeras orang miskin daripada menolong orang
miskin.40

6. Hal-Hal yang Menimbulkan Riba


Dalam pelaksanaanya, masalah riba diawali dengan
adanya rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan
yang dianggap besar dan menggiurkan. 41 Dalam kaitan ini
Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa jika seseorang
menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut
jenisnya seperti seorang menjual salah satu dari dua mata
uang, yaitu emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan
makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan
yang lainnya, maka disyariatkan sebagai berikut:
a. Sama nilainya.
b. Sama ukurannya menurut syara‟baik timbangannya,
takarannya maupun ukurannya.
c. Sama-sama tunai (taqabut) di majelis akad.42

7. Dampak Negatif Riba Segi Sosial Ekonomi


Allah memerangi sistem riba dalam bisnis atau jual-
beli. Betapa banyak sistem riba yang telah meruntuhkan
bangunan-bangunan yang berdiri kokoh, orang kaya menjadi
hina, keluarga dekat yang terhormat menjadi jatuh dalam
kefakiran dan kemiskinan yang sebelumnya bergelimang
dalam kemuliaan dan kemewahan dalam masalah
keduniaan.43
Riba merupakan bencana besar, musibah yang kelam
dan penyakit yang berbahaya. Riba adalah pembunuh dan

40
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Depok: Rajawali Pers, 2017), 58-61.
41
Sohari Sahrani dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Mu’amalah (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2002), 61.
42
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Raja Ghafindo Persada, 2002),
57.
43
Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah: Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 303.
37

musuh. Orang yang menerima sistem riba maka kefakiran


akan datang dengan cepat, mereka akan terkepung oleh
kemalaratan, berada dalam bencana yang besar dan
berkesedihan yang berkepanjangan.44
Disisi lain Suhendi mengemukakan pendapat sulaiman Rasyid
dan keluhan Lord Keynes terhadap riba sebagai berikut:
a. Masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-siklus
ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus
ekonomi yang berulang kali terjadi disebut krisis ekonomi.
Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama
krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai
peminjam modal atau dengan singkat disebut dengan riba.
b. Riba dapat menimbulkan kelebihan produksi (over
production). Riba membuat daya beli sebagian masyarakat
lemah, sehingga persediaan barang dan jasa makin
tertimbun, akibatnya perusahannya macet karena
produksinya tidak laku. Perusahaan mengurangi tenaga
kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan
mengakibatkan sekian banyak pengangguran.45
c. Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi
(House of Lord) Inggris tentang bunga yang di ambil oleh
pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa
Negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari
bunga pinjaman Amerika. Bunga tersebut menurut ahli
fiqh disebut riba.46
Dengan demikian riba dapat meretakkan hubungan ,
baik hubungan antara orang perseorangan, masyarakat
maupun hubungan antar negara seperti Inggris dan
Amerika. Dampak negatif yang diakibatkan dari riba
sebagaimana tersebut diatas sangat berbahaya bagi
kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat

44
Ismail Nuwawi, Fikih Mu’amalah Klasik Dan Kontemporer
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 178.
45
Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah: Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 125.
46
Sohari Sahrani dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Mu’amalah (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2002), 51.
38

dan berbangsa. Jika praktik riba ini tumbuh subur


dimasyarakat, maka terjadi sistem kapitalis dimana terjadi
pemerasan dan penganitaan terhadap kaum lemah. Orang
yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin
tertindas.47

8. Hikmah Pengharaman Riba


Riba tidak hanya merugikan satu pihak namun
kehadiran riba juga dapat menimbulkan laknat . Allah Swt
mengharamkan riba tentunya memiliki hikmah dibalik
perintah tersebut. Banyak kalangan ahli maupun pemikir
Islam yang telah mengkaji manfaat atau hikmah dibalik
diharamkannya riba, salah satu dasar pemikiran utama yang
sering dikemukakan para cendikiawan muslim adalah adanya
riba (bunga) dalam ekonomi riba (bunga) adalah bentuk
eksploritasi sosial dan ekonomi yang merusak inti ajaran
agama Islam tentang keadilan sosial, maka dari itu
penghapusan bunga dari sistem ditunjuk untuk memberikan
keadilan ekonomi,sosial dan perilaku ekonomi yang benar-
benar etis dan moral. Diantaranya Yusuf Qardawi seorang
ulama dan pemikir Islam yang telah banyak meneliti dan
mengkaji mengenai riba mengungkapkan terhadap beberapa
hikmah dan manfaat diharamkannya riba antara lain:
a. Perintah Allah Swt untuk mengharamkan riba tentu adalah
suatu hal yang baik dan bermanfaat bagi manusia karena
Allah Swt hanya mengharamkan yang sifatnya membuat
kerusakan bagi manusia sebagai individu maupun sebagai
masyarakat pada umumnya.
b. Riba dinilai sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan
yang tidak baik. Karena keuntungan yang didapat oleh
seseorang yang memiliki kelebihan harta didapatkan dari
usaha atau jerih payah orang lain.48

47
Ismail Nuwawi, Fikih Mu’amalah Klasik Dan Kontemporer (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), 74.
48
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam Teori dan
Praktik (Jakarta: Kencana, 2008), 81.
39

C. Teori Qurban
1. Pengertian Qurban

Dalam Kamus besar bahasa indonesia, kata kurban


berarti persembahan kepada Tuhan (misalnya kambing, sapi,
dan sebagainya) yang disembelih di hari raya qurban.49
Kata yang mempunyai pengertian kurban, yaitu: al-nahr,
qurban, dan udhiyah.
a. Kata al-nahr yang berarti kurban hanya sekali terdapat
dalam al-quran dalam surat Al-Kautsar dengan
menggunakan bentuk amr yaitu inhar.
b. Kata kurban, berasal dari kata qaraba yang berarti dekat,
sesuai dengan tujuan ibadah kurban yaitu untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
c. Kata udhiyah untuk pengertian ibadah kurban dapat
ditemukan dalam beberapa bentuk yaitu udhiyah, idhiyah
(dengan bentuk jamak nya udhhahi, dhahiyah), Adhah
(dengan bentuk jamaknya dhahaya), dan adhha.50
Ibadah qurban merupakan salah satu ibadah taqarrub,
kata qurban berasal dari kata qaruba yang berarti dekat. Di
dalam ajaran Islam, qurban disebut juga dengan al-udhhiyyah
dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti
unta, sapi, atau kerbau, dan kambing yang disembelih pada
hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq sebagai bentuk
taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.51
Qurban dalam perspektif syari‟at (fiqh), memiliki makna
ritual, yakni menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi
kiteria tertentu dan pada waktu tertentu, yakni pada hari nahar
(tanggal 10 Dzulhijah) dan hari tasrik (tanggal 11-13
Dzulhijah). Ibadah qurban harus dengan hewan qurban,
seperti kambing, sapi atau unta, tidak boleh diganti dengan

49
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 467.
50
Jayusman,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif” .
Jurnal Al-Adalah, Vol. X, No.4, 2012.
51
Mulyana Abdullah, “Qurban: Wujud Kedekatan Seorang Hamba dengan
Tuhannya” Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.14, No.1(2016), 109.
40

lainnya, seperti uang atau beras.52 Bentuk yang kedua adalah


kata qurban, berasal dari kata qaraba yang berarti dekat,
sesuai dengan tujuan ibadah qurban yaitu untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Bentuk yang ketiga adalah kata udhiyah.
Udhiyah untuk pengertian ibadah qurban dapat ditemukan
dalam beberapa bentuk yaitu udhiyah, udhiyah (dengan
bentuk jamaknya udhahi, dhahiyah), adhah (dengan bentuk
jamaknya dhahaya), dan adha.
Qurban secara etimologi yaitu hewan yang dikurbankan
atau hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Dalam
hal ini penanaman sesuatu (Idul Adha) dengan nama
waktunya yaitu Dhuha (matahari naik sepenggalahan). Karena
pada waktu itulah biasanya ibadah qurban dilaksanakan53.
Berikut ini beberapa definisi qurban secara Terminologi yang
diajukan beberapa ahli fiqh:
a. Wahbah al-Zuhaili menyatakan qurban adalah
menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah pada waktu yang telah ditentukan. Atau
binatang ternak yang disembelih guna mendekatkan diri
kepada Allah pada hari-hari Idul Adha.
b. „Abdu ar-Rahman al-Jaziri menyatakan qurban adalah
binatang ternak yang di sembelih atau dikurbankan untuk
mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari qurban
apakah orang yang melaksanakan ibadah haji ataupun
tidak. Kalangan Malikiyah menyatakan ibadah qurban
tidak diperintahkan bagi mereka yang melaksanakan
ibadah haji Menurut kalangan Malikiyah karena mereka
yang sedang melaksanakan ibadah haji telah ada
pensyari‟atan dam (al-Hadyu).
c. Hasan Ayyub menyatakan qurban adalah unta, sapi,
kambing yang disembelih pada Idul Adha dan hari-hari

52
Ibid., 110.
53
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Dimsyiq: Dar al-
fikr, 1989 Cet. Ke-3), 594.
41

tasrik dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada


Allah.54
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil pokok-
pokok pikiran tentang ibadah qurban sebagai berikut:
1) Binatang yang dikurbankan adalah binatang tertentu
yaitu unta, sapi, kerbau, biri-biri, domba dan kambing
serta yang sejenis dengannya.
2) Waktu pelaksanaanya pada hari raya Idul Adha dan
hari Tasrik.
3) Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada
Allah.
Dari definisi yang kedua di atas, kalangan Malikiah
menambahkan bahwa ibadah qurban itu tidak diwajibkan
bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Adapun alasan mereka adalah karena mereka yang sedang
melaksanakan ibadah haji telah ada persyari‟atan al-
Hadyu.

2. Dasar Hukum Berkurban

Ibadah qurban disyariatkan pada tahun ketiga Hijriah,


sama halnya dengan zakat dan shalat hari raya. Landasan
pensyariatannya dapat ditemukan sebagai berikut:
a. Al-Qur‟an
1) Dalam (QS. Al-Kautsar [108]: 2)
   

“Maka laksanakanlah shalat karena tuhanmu


dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah)”. (Q.S. Al- Kautsar [108]: 2)

54
Jayusman,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Kolektif
(Jurnal Al-Adalah, Vol,.X, No.4, 2016), 437.
42

2) Dalam (Q.S As-Saffat [37]: 102)


           

            

   

“Maka kata kanlah anak itu sampai (pada umur


sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata:”hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapat mu ia menjawab: ”Hai bapak ku kerjakan
lah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar
“(Q.S. As-Saffat [37]: 102).
b. Ijma‟
Seluruh umat Islam sepakat bahwa berkurban
adalah perbuatan yang disyariatkan Islam. Banyak
hadits yang menyatakan bahwa berkurban adalah
sebaik-baiknya perbuatan di sisi Allah Swt yang
dilakukan seseorang hamba pada hari raya qurban.
Demikian juga bahwa qurban itu akan pada hari kiamat
kelak persis seperti pada kondisi ketika ia disembelih di
dunia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa darah hewan
qurban itu terlebih dulu akan sampai ketempat yang
diridhai Allah Swt. Sebelum jatuh kepermukaan bumi,
sebagaimanan kurnam adalah ajaran yang dilakukan
nabi Ibrahim a.s, seperti dinyatakan oleh firman Allah
Swt :
   

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor


sembelihan yang besar” (Ash- Shaffat [37]: 107)55

55
Wabah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4 (Jakarta: Gema
Insani, 2011), 255.
43

3. Syarat-Syarat Qurban
a. Syarat-syarat yang diwajibkan atau disunahkannya qurban
Agar qurban menjadi wajib (menurut pendapat
madzhab Hanafi) atau menjadi sunah (menurut pendapat
imam-imam madzhab selain Hanafiyah), maka disyaratkan
adanya kemampuan dari sipelaku untuk melakukan
qurban. Dengan demikian berkurban pada hari Idul Adha
tidaklah dituntut dari orangnya tidak mampu
melakukannya.
Menurut madzhab Hanafi, kemampuan yang
dimaksud adalah adanya kelapangan yang bersifat fitrah
(alami). 56 Adapun menurut mazhab Syafi‟i orang yang
disebut mampu dalam hal ini adalah yang memiliki uang
untuk membeli hewan qurban diluar kebutuhannya dan
kebutuhan orang-orang yang berada dibawah
tanggungannya selama hari raya Tasriq, yaitu selama
waktu pelaksanaan qurban. Sedangkan menurut madzab
Hambali orang yang disebut mampu adalah yang bisa
mendapatkan uang untuk membeli hewan qurban itu
sekalipun dengan berutang, asalkan orang itu yakin akan
bisa melunasinya kemudian hari.
b. Syarat Sahnya Berkurban
Jenis binatang yang sah untuk berkurban adalah
jenis binatang ternak yang dipelihara atau diternak untuk
dimakan dagingnya. Binatang tersebut meliputi empat
macam yaitu kambing, domba, sapi, kerbau dan unta.57
Untuk sahnya qurban di syaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Hewan yang akan dikurban itu terbebas dari cacat-cacat
yang nyata dan biasanya membawa pada berkurangnya
dagingnya atau timbulnya penyakit yang
membahayakan kesehatan orang-orang yang
memakannya. Dengan demikian, “tidak dibolehkan
berkurban dengan hewan yang buta parah sebelah

56
Ibid., 260.
57
T.Ibarim dan Darson, Penerapan Fikih (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2009), 8.
44

matanya, yang menderita sakit parah, yang jelas


kepicangan salah satu kakinya dan yang sangat kurus
badannya sehingga tidak terlihat bersumsum” (tulang
kakinya).58
2) Hendaklah telah cukup besar, jika hewan itu bukan dari
jenis benggala. Jika dari jenis ini maka cukup jadza‟
atau yang lebih besar dari padanya. Jadza maksutnya
ialah yang telah mencapai umur enam bulan dan gemuk
badannya.
Adapun ketentuan umur binatang qurban yang telah
dikatakan cukup umur apabila telah mencapai umur
yang telah ditentukan syarat antara lain:
a) Domba sekurang-kurangnya berumur satu tahun
telah berganti gigi (musinnah).
b) Kambing yang telah berumur dua tahun lebih.
c) Unta yang telah berumur lima tahun lebih.
d) Sapi, Kerbau, yang telah berumur dua tahun lebih.59
3) Hewan qurban itu harus milik orang yang berkurban,
yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh
Syari‟at. Oleh karena itu, tidak dibolehkan berkurban
dengan hewan yang diperoleh dengan cara ghasab atau
hasil curian, yang diperoleh melalui transaksi yang
tidak benar, dan yang dibelinya melalui harta yang
kotor lagi haram misalnya hasil riba dan lainnya. 60
Seorang muslim harus benar-benar memilih hewan
qurban yang berkumpul padanya sifat-sifat yang
disunahkan karena yang demikian itu merupakan
bagian dari penangungan syi‟ar-syi‟ar Allah Swt.61

58
Wabah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4 (Jakarta: Gema
Insani), 361.
59
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Alensindo, 2017),
476.
60
Al-Qatni Said bin Ali bin Wahf, Ensiklopedia shalat menurut Al-Qur’an
dan As-sunnah (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006), 510.
61
Ibid., 511.
45

         

“Demikianlah (perintah Allah). dan Barangsiapa


mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah Maka Sesungguhnya
itu timbul dari Ketakwaan hati “ (Q.S Al-Hajj [22]: 32)
4) Hewan qurban itu harus dari jenis yang telah ditentukan
oleh syari‟at, yaitu unta, sapi, dan kambing, semuanya
itu termasuk binatang ternak. Allah Swt berfirman:

         

          

 

“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan


penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut
nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
direzekikan Allah kepada mereka” (Q.S Al-Hajj [22]:
34).
Imam Nawawi menyebutkan ijma yang
menyepakati bahwa qurban itu tidak boleh kecuali unta,
sapi, dan kambing.
5) Qurban tersebut dilaksanakan pada waktu yang telah
ditentukan. Menurut madzab Hanafi, waktu berkurban
adalah tanggal, 10, 11, 12 Dzulhijah, mencakup malam-
malamnya,62 yaitu yang terdiri atas malam tanggal 11
dan ke 12, Dengan demikian tidak sah qurban yang
dilakukan pada malam hari raya, yaitu tanggal 10,
begitu pula malam tanggal 13 dzulhijah. madzhab
Maliki menambahkan dan persyaratan qurban lainnya
yaitu sebagai berikut:
62
Wabah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta, Gema
Insani), 262.
46

a. Yang melakukan penyembelihan orang muslim.


Dengan demikian, tidak sah penyembelihan
dilakukan orang kafir, sekalipun dari ahlul-kitab dan
walaupun yang bersangkutan mendapat mandate
dari sipemilik qurban untuk melakukan
penyembelihan itu. Akan tetapi jika penyembelihan
hewan qurban itu tetap terjadi maka tetap boleh
dimakan.
Sementara itu menurut madzab selain
Malikiyah, hukumnya hanya dianjurkan agar
penyembelihan itu tidak dilakukan oleh selain
muslim. Sebagaimana makruh hukumnya
penyembelihan yang dilakukan oleh seorang kafir
dzimi dari ahlul kitab.63 Sebagaimana firman Allah
Swt.

         

“Makanan (sembelihan) orang-orang Al-kitab


halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka”
(Q.S Al-Maidah [5]: 5).

Dalam ayat itu Allah menerangkan kepada


kita, bahwa sembelihan orang-orang Ahlul-Kitab itu
halal bagi kita orang Islam. Ini memberi arti bahwa
sembelihan yang lain dari Ahlul-Kitab itu haram
bagi kita sekalian, dan sembelihan Ahlul-Kitab yang
halal bagi kita, yaitu seperti sembelihan orang Islam
yang halal bagi orang Islam.
Adapun jika kita melhat seseorang Ahlul-
Kitab menyembelih bukan karna Allah, yaitu karena
nabi Isa, maka sembelihan itu haramlah bagi kita.64
Dan Firman Allah yang tersebut di bawah ini:

63
Ibid., 263.
64
A.Hasan, Soal jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, (Cet.Ke-1)
(Bandung: CV.Diponegoro Bandung, 1968), 317.
47

Sesungguhnya (Allah) hanya mengharamkan


kepadamu akan bangkai, darah, daging babi dan apa
yang disembelih bukan karena Allah. (Q.S Al-
Baqarah [2]: 173).

        

              

   

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan


bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang ”. (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 173)

Pada ayat diatas sudah terang sekali bahwa


sembelihan orang Islam atau Ahlul Kitab yang
bukan karena Tuhan itu, haramlah bagi kita, dan
apabila tidak begitu, tentu saja adanya ayat di
Qur‟an itu sia-sia saja.
b. Pembelian hewan qurban itu hendaknya tidak
melalui patungan. Dengan demikian jika beberapa
orang bergabung untuk membeli suatu hewan atau
hewan itu dimiliki oleh beberapa orang yang lalu
disembelih sebagai qurban bersama, maka
berkurban seperti ini tidak sah bagi seluruh peserta
patungan. Akan tetapi dibolehkannya patungan
dalam pahala berkurban apabila diniatkan sebelum
dilakukan penyembelihan dan setelahnya. Yaitu
dalam qurban yang berupa unta atau sapi bukan
48

kambing. Patungan pahala ini boleh di peruntukan


sampai untuk tujuh orang.65 Akan tetapi dalam hal
seperti ini menurut pendapat yang populer
dikalangan madzhab ini diharuskan memenuhi tiga
syarat sebagai berikut.
Pihak yang diikutkan dalam patungan pahala
ini adalah dari keluarga dekat yang berkurban itu
sendiri anaknya, saudara kandungnya, atau naik
pamannya. Termasuk juga dalam hal ini istri dari
yang bersangkutan.
1) Pihak-pihak yang dimaksud adalah orang-orang
yang dinafkahi oleh orang yang berkurban itu,
baik penafkahan bersifat wajib baginya seperti
orang tua dan anaknya yang hidup dalam kondisi
miskin. Maupun yang tidak bersifat wajib seperti
saudara kandung atau anak pamanya.
2) Pihak-pihak dimaksud hendaklah orang-orang
yang tinggal bersama dengan orang yang
berkurban itu dalam satu rumah. Akan tetapi,
menurut madzhab selain Malikiyyah, patungan
dalam qurban itu sendiri dibolehkan. Jika hewan
yang akan dikurbankan adalah unta atau sapi.
Artinya sah hukumnya berkurban yang diproleh
dari hasil patungan tujuh orang terhadap hewan
yang berupa unta atau sapi dengan syarat masin-
masing pihak bersaham sepertujuh bagian.66

4. Tujuan Qurban
Tujuan ibadah qurban adalah pendekatan diri kepada
Allah. Hal ini sebagaimana pendapat Jayusman yang
mengatakan bahwa kata qurban, berasal dari kata qaraba
yang berarti dekat, sesuai dengan tujuan ibadah qurban yaitu
untuk mendekatkan diri kepada Allah.

65
Wabah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 4 (Jakarta: Gema
Insani, 2011), 262.
66
Ibid., 263.
49

Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan


qurban pada hari idul adha lebih utama dari pada sedekah
yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah
yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena
maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri
kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
mendapatkan syi‟ar Islam dan lebih sesuai dengan sunnah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dimengerti bahwa
tujuan qurban adalah mendekatkn diri (taqarrub) kepada
Allah atas limpahan rizki yang telah dikaruniakan kepada
manusia. Jadi qurban merupakan wujud rasa syukur seorang
hamba kepada Allah sebagai dzat pemberi rizki.

5. Jumlah Orang dalam Setiap Kurban


Bergabung dalam satu qurban tidak diperkenankan di
dalam qurban kambing, namun jika yang dijadikan qurban
adalah sapi atau unta, maka boleh bergabung tujuh orang.
Artinya, boleh tujuh orang mengumpulkan uang, kemudian
membeli seekor unta atau sapi dan dari unta atau sapi terebut
diniatkan qurban untuk tujuh orang tersebut. Hal ini adalah
pendapat yang ada di dalam mazhab Syafi‟i, Hambali, dan
Hanafi. Dalam mazhab Maliki, tidak boleh menggabungkan
qurban dalam satu sembelihan termasuk di dalamnya adalah
sapi. Artinya, menggabungkan qurban tidak sah apabila ada
tujuh orang bergabung di dalam seekor unta. Namun,
seseorang apabila ingin berkurban yakni dengan cara setiap
satu orang dengan satu kambing atau setiap satu orang dengan
satu sapi atau satu unta.
Begitu juga di dalam mazhab Syafi‟i, apabila ada orang
yang ingin berkurban dengan seekor unta atau sapi adalah
diperkenankan. Artinya, dalam mazhab Syafi‟i, seekor unta
atau seekor sapi bisa dijadikan qurban untuk satu orang atau
lebih hingga tujuh orang.
Seekor kambing hanya untuk satu orang, Apabila ada
dua orang atau tiga orang namun menyembelihnya adalah satu
kambing, maka hal tersebut adalah tidak sah.Sangat berbeda
50

dengan apabila sebuah keluarga terdiri dari sepuluh orang


dengan rincian dua suami-istri dan delapan anak-anak.
Kemudian mereka hanya memiliki seekor kambing sehingga
mereka hanya menyembelih seekor kambing untuk salah satu
dari mereka yang rosyid (orang memenuhi syarat qurban),
maka yang menyembelih seekor kambing tersebut telah
melaksanakan sunnah ainiyah dan yang lainnya secara
otomatis terikutkan dalam sunnah kifayah.67

6. Pembagian Qurban
Disunnahkan agar orang yang berkurban memakan
sebagian dari daging kurbannya, menghadiahkan sebagian
yang lain kepada para kerabat, dan menyedekahkan sebagian
yang lain lagi kepada orang-orang fakir. Daging qurban
hendaknya dibagikan kepada orang-orang yang hidupnya
sengsara dan orang-orang miskin dan orang yang
menyembelih memiliki hak untuk ikut menikmati dan yang
menyembelih memiliki hak untuk ikut menikmati daging
tersebut. Wajib menyedekahkan sebagian daging qurban
walaupun hanya kepada fakir. Ketentuan ini adalah pendapat
paling benar dalam mazhab Syafi‟i dasarnya adalah firman
Allah Swt, sebagai berikut:

            

           

     

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu


sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan
yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah
ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan
telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka

67
Buya Yahya, Fiqh Qurban, Cirebon: Pustaka Al-Bahjah,t.t), 5-7.
51

makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela


dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)
dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan
kamu bersyukur”. (Q.S. Al-Hajj [22]: 36).
Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging qurban ini
tidak perlu dibagi-bagi. hadits-hadits yang menerangkan
adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang
memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah Saw,
sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging
qurban, tanpa memberikan kepada orang lain. Dibolehkan
memakan daging hewan yang dikurbankan secara sukarela.
Adapun terhadap qurban yang berstatus wajib, seperti qurban
yang disebabkan nadzar atau yang menjadi wajib karena
diniatkan untuk itu, ketika dibeli, mka haram bagi si pemilik
memakan dagingnya (menurut mazhab Hanafi), sebagaimana
diharamkan baginya memakan daging untuk hewan yang lahir
sebelum induknya disembelih sebagai qurban.

7. Hikmah Dalam Berkurban


Diantara hikmah disyariatkan berkurban adalah sebagai
berikut:
a. Bertaqarub kepada Allah Swt.
b. Menghidupkan sunah imam orang-orang yang bertauhid
seperti Nabi Ibrahim a.s yang Allah wahyukan kepadanya
untuk menyembelih anaknya Ismail, kemudian Allah
menebusnya dengan domba.68Allah Swt berfirman dalam
(Q.S Ash-Saffat [37]: 107) :
   

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor


sembelihan yang besar”.(Q.S. Ash-Saffat” [37]: 107)
Ayat diatas menjelaskan tentang kesabaran dan
ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allah melarang
menyembelih Ismail dan untuk meneruskan qurban, Allah
68
Hasbiyallah, Fiqih (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), 14.
52

menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing).


Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya qurban yang
dilakukan pada hari raya Idul Adha.
c. Menambah kebahagiaan kepada keluarga pada Hari
Raya Idul Adha dan menebarkan kasih sayang kepada
fakir miskin.
d. Sebagai bentuk syukur kepada Allah Swt. Atas hewan
ternak yang diberikan kepada kita. 69 Allah Swt
berfirman pada Q.S. Al-Hajj [22]: 36-37) :

          

          

         

         

         

 

“ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta


itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu
nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam
Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila
telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan
beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan
untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu
bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,

69
Ibid.,15
53

tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat


mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada
kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang
yang berbuat baik.( Q.S. Al-Hajj [22]: 36-37).

8. Pengertian Arisan Qurban


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arisan adalah
kegiatan pengumpulan dana yang ditarik dengan cara diundi
atau bergiliran. 70 Undian dilaksanakan di sebuah pertemuan
secara berkala sampai semua anggota memperolehnya.
Menurut Jayusman: Arisan Qurban: Pengumpulan sejumlah
uang oleh sekelompok orang setiap jangka waktu tertentu,
kemudian dilakukan penarikan undian untuk menentukan
giliran siapa yang berhak melaksanakan ibadah qurban pada
tahun itu.
Adapun bagi mereka yang belum mendapatkan giliran
pada tahun tersebut, akan mendapatkan giliran sesuai dengan
penarikan undian pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan
pendapat di atas dapat dipahami bahwa arisan merupakan
sistem giliran yang diberlakukan bagi orang-orang yang
mengikutinya saja dengan cara diundi. Bagi nama yang keluar
saat diundi berarti ia yang akan melaksanakan ibadah qurban.

9. Mekanisme Arisan Qurban


Ada tiga mekanisme dalam membentuk arisan, yaitu
sebagai berikut:71
a. Beberapa orang melakukan kesepakatan, masing-masing
mereka mengumpulkan uang dengan jumlah yang sama
setiap bulan atau dua bulan sekali atau setahun sekali
tergantung kesepakatan.

70
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 69.
71
Khalid Al-Musyaiqih, Halal-Haram Muamalah Masa Kini (Klaten, Inas
Media, 2017), 70.
54

b. Sama dengan mekanisme diatas hanya saja disyaratkan tak


seorangpun diizinkan mengundurkan diri sampai habis
putaran.
c. Sama dengan mekanisme kedua hanya saja di setiap akhir
bulan, uang itu di ambil oleh salah satu anggota. Demikian
seterusnya hingga habis satu atau dua putaran.
83

DAFTAR RUJUKAN

Al-Qur’an

Al-Qur‟an Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, Bandung:


Diponegoro, 2005.

Buku

Ahmad Ifham Sholihin, Buku Ekonomi Syariah, Jakarta: PT


Gramdia Pustaka Utama, 2013.

Abdul‟Azhim Jalal Abu Zaid, Fiqh Riba, Jakarta: Senayan


Publishing, 2011.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: Sinar Grafika,


2010.

Al-Thayyar, Ensikklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4


Mazhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2014.

A.Rahman Rintouga, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta:


PT.Ictiar Baru Heoven, 2003.

Al-Qatni Said bin Ali bin Wahf, Ensiklopedia shalat menurut Al-
Qur’an dan As-sunnah Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i,
2006.

Buya Yahya, Fiqh Qurban, Cirebon: Pustaka Al-Bahjah,t.t.

Gufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:


PT.Grafiando Persada, 2002.

Hasbiyallah, Fiqih, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Depok: Rajawali Pers, 2017.

Koenjorodiningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi


Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: PT. Kharisma Putra Utara,


2011.

Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah: Hukum Ekonomi, Bisnis dan


Sosial, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010.
84

Mo Pabundu Tika, Metodologi Riset Bisnis, Jakarta: Bumi Aksara,


2006.

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik,


Jakarta: Gema Insani,2001.

Muh Zuhri, Riba Dalam al-Qur’an Dan Masalah Perbankan


(Sebuah Titikan Antisipasif), Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 1997.

M.Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Logung Pustaka,


2009.

Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Seti, 2001.

R.Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum


Konsorsium Ilmu Hukum Bandung: CV. Mandar Maju, 1997.

S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Renika Cipta,


2004.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktek, Edisi Revisi IV, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Sohari Sahrani dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Mu‟amalah (Bogor:


Ghalia Indonesia, 2002), 61.

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Alensindo,


2017.

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, Cet. Ke-II, 1998.

Sutrisno Hadi, Metodologi Researc Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset


1983.

Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulkhas Fiqh Panduan Fiqih


Lengkap Jilid 2, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2013.

Taufik Hidayat, Buku Pintar Investasi Syariah, Jakarta: Mediakita,


2011.

T.Ibarim dan Darson, Penerapan Fikih, Solo: PT Tiga Serangkai


Pustaka Mandiri, 2009.
85

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam WaAdillatuhu, Jilid V, Jakarta:


GemaInnsani, 2011.

Zainuddin Ali, Hukum Perbankkan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika,


2010.

Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam Teori


dan Praktik, Jakarta: Kencana 2008.

Sumber Jurnal

Jayusman, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban


Kolektif”. Jurnal Al-Adalah, Vol.X, No.4, 2012.

M.Sirojuddin Choili, “Problematika Seputar Ibadah Qurban”, Jurnal


Program Studi PGMI, Vol.3, No.2, 2016.

Mulyani Abdullah,”Qurban Wujud Kedekatan Seorang Hamba


Dengan Tuhannya”.

Jurnal Pendidikan Agama Islam”, Vol.14, No.1, 2016.

Syafitri Yuli, Pristiani Dista, “Membangun Aplikasi Arisan Online


Berbasis Web Android”. Jurnal PNESISMIK/ Vol.3, No.3,
2019.

Wawancara

Wawancara dengan Bapak Hi. Darsono, Panitia Arisan Qurban,


Desa Purwodadi, 29 Juli 2020.

Wawancara dengan Bapak Kusnan, Peserta Arisan Qurban, Desa


Purwodadi, 1 Agustus 2020.

Wawancara dengan Bapak Lukman Hakim, Panitia Arisan Qurban,


Desa Purwodadi, 2 Agustus 2020.

Wawancara dengan Bapak Gunawan, Peserta Arisan Qurban, Desa


Purwodadi, 3 Agustus 2020.

Anda mungkin juga menyukai