Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

KEADAAN SOSIAL INDONESIA

Disusun Oleh :

1. Alisya
2. Andhika
3. Cika
4. Dinda
5. Galuh
6. Ghea
7. Novyani
8. Risma
9. Vina

PEMERINTAH KOTA BANJAR


DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMK NEGERI 2 BANJAR
Jalan Raya Banjar-Ciamis, Cipadung purwaharja, Kota Banjar 46331
Telp/Fax. 0265-744356 Website: www.smkn2banjar-jabar.sch.id
Email : smkn2banjar@yahoo.co.id
2023/2024
KEADAAN SOSIAL BANGSA INDONESIA

A. Keadaan Sosial Bangsa Indonesia Pada Masa Pergerakan Nasional


Pengertian pergerakan nasional secara menyeluruh yaitu suatu perjuangan yang
dilakukan dengan organisasi-organisasi secara modern kearah perbaikan taraf hidup
bangsa Indonesia yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keaadaan masyarakat
di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya pada saat itu.
Pergerakan di Indonesia berawal dari abad ke-20 yaitu berkisar antara tahun 1900-
1942. Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode Kebangkitan
Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk
manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide
emansipasi dan liberal dari status serba terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun
yang tercipta oleh situasi kolonial.

A. Keadaan Sosial Dalam Bidang Pendidikan


Pendidikan pada masa Pergerakan Barat lebih didominasi oleh pendidikan barat.
Sebagian besar golongan masyarakat bumiputera yang memperoleh pendidikan Barat.
Pada tahun 1928, 45% golongan dari bumiputera yang setidaknya memperoleh pendidikan
rendah pada sekolah-sekolah bergaya Barat, dipekerjakan sebagai pegawai-pegawai
negeri. Pendidikan Barat adalah karena dengan mengenyam pendidikan ini maka
seseorang dapat mendapatkan prioritas untuk memperoleh posisi-posisi sebagai
pengawasan dan pemegang kekuasaan. Maka tidak mengherankan, apabila pendidikan
Barat menjadi idam-idaman orang dan orang menghargai mereka yang berpendidikan
Barat tanpa mengingat asal-usul mereka. Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan
Barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priyayi tinggi. Selain dari pada itu
pengetahuan mengenai Bahasa Belanda di wajibkan dalam pendidikan Barat, sehingga
pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi.
Dalam perkembangan selanjutnya, basis dari pendidikan Barat ini lebih diperluas lagi
dan pada prinsipnya menjadi lebih terbuka, yang sebelumnya bersifat tertutup untuk
kalangan masyarakat kolonial pada umumnya. Pendidikan Barat ini terbuka baik bagi
mereka yang berbakat maupun berbangsa. Meskipun demikian, pada sasarannya
pendidikan Barat ini masih dibatasi, oleh karena itu pada dasarnya pendidikan ini tidak
sepenuhnya bersifat terbuka, dan relatif hanya segelintir masyarakat kolonial yang dapat
mengirimkan anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan pada sekolah–sekolah bergaya
Barat.
Pada abad ke – 20, pemerintah kolonial Belanda berhasil memadamkan perlawanan
bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Hal ini mengakibatkan Belanda memulai
kekuasaanya di Indonesia secara politis. Karena hal itu, perlawanan bangsa Indonesia pun
mengalami perubahan yang ditentukan oleh perkembangan pendidikan
Indonesia. Masalah pendidikan mendapat perhatian yang agak besar dari pemerintah
kolonial. Hal itu juga berkaitan dengan dilaksanakannya politik etis. Tujuannya adalah
untuk mendidik anak – anak Indonesia agar dapat dipekerjakan sebagai pegawai rendahan
dengan gaji kecil di instansi pemerintah atau perusahaan swasta.
Setelah mereka dapat membaca berbagai macam buku, wawasan mereka bertambah
luas. Mereka dapat mengetahui dan membandingkan perkembangan Barat serta ide – ide
yang berkembang di Barat, seperti demokrasi dan hak rakyat dalam pemerintahan dengan
keadaan Indonesia saat itu. Seiring dengan kebutuhan tenaga terdidik & terampil,
pemerintah kolonial menyelenggarakan pendidikan, yaitu sebagai berikut :
• Europese Lagere School ( ELS ). Untuk anak keturunan Eropa
• Sekolah Kelas Dua ( Angka Loro ). Untuk anak pribumi kelas bawah
• Sekolah Kelas Satu ( Angka Siji ). Untuk anak pribumi kelas atas

Dengan meningkatnya kebutuhan pegawai terdidik, pemerintah kolonial Belanda


mengembangkan pendidikan untuk anak pribumi, yaitu sebagai berikut :
• Anak pribumi kalangan bawah
Didirikan sekolah rakyat ( Volkschool ) yang berlangsung selama 3 tahun dengan
penekanan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Murid yang pandai
memperoleh kesempatan belajar di sekolah lanjutan ( Vervolgschool) selama dua
tahun.
• Anak pribumi kalangan menengah
Didirikan sekolah dasar Hollands Inlandsche School ( HIS ). Menggunakan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Pendidikan berlangsung selama 7 tahun. Murid yang
pandai dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama / Meer
Uitgebried Lagere Onderwijs ( MULO ) lalu ke sekolah tingkat atas / Algemene
Middlebare School ( AMS ).
• Anak pribumi kalangan atas
Setelah selesai HIS mereka dapat melanjutkan ke Hogere Burgerschool ( HBS )
selama 5 tahun. Selain sekolah umum, anak pribumi kalangan atas juga dapat
melanjutkan ke sekolah kejuruan, seperti sekolah guru ( Kweekschool ) dan sekolah
pamong praja.
Sejak tahun 1920, pribumi dapat mengikuti pendidikan tinggi dalam negeri. Seperti
bidang hukum Rechts Hoge School ( RHS ), bidang teknik Tecnische Hoge School (
THS ), dan bidang kedokteran sekolah Sekolah Tot Opleiding Voor Inlandsche Aartsen
( STOVIA ).
Selain sekolah dari pemerintah kolonial, muncul juga sekolah yang
diselenggarakan oleh bangsa Indonesia sendiri yaitu Perguruan Kebangsaan yang
terbuka bagi semua rakyat pribumi. Karena sekolah dari pemerintah kolonial hanya
untuk kaum bangsawan dan orang yang mampu dalam segi ekonomi.

B. Keadaan Sosial Dalam Perbedaan Ras


Selain dalam kondisi sosial pendidikan di Indonesia, kondisi sosial bangsa Indonesia
pada awal abad ke – 20 juga menghadapi praktik diskriminasi dari kolonial Belanda.
Diskriminasi itu berdasarkan ras, golongan dalam masyarakat, dan suku bangsa.
Dalam diskriminasi ras, warna kulit seseorang menentukan statusnya. Bahkan
diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu pribumi yang berlainan suku. Dalam hal ini,
suku Jawa paling disayangi pemerintah kolonial karena dianggap penurut. Belanda juga
melakukan pembagian kelas sosial. Pembagian status sosial pada zaman kolonial Belanda
ditetapkan dalam aturan ketatanegaraan Hindia Belanda ( Indische Staatsregeling ) tahun
1927 yang berisi :
• Belanda kulit putih atau Eropa dan yang disamakan. Mereka terdiri atas bangsa Belanda
dan bangsa Eropa lainnya, serta bangsa lain ( bukan Eropa ) yang telah disamakan
dengan bangsa Eropa karena kekayaannya, keturunan bangsawan, dan orang yang
berpendidikan.
• Golongan timur asing. Terdiri atas orang Cina, Arab, India, dan Pakistan yang
merupakan lapisan menengah.
• Golongan pribumi, yaitu bangsa Indonesia asli ( pribumi ) yang berada pada lapisan
bawah.
Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat pribumi yaitu sebagai berikut :
• Lapisan bawah. Rakyat jelata yang merupakan penduduk terbesar dan hidup melarat.
• Lapisan menengah. Para pedagang kecil dan menengah, petani kaya dan
pegawai.
• Lapisan Atas. Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah.
Lapisan ini terbagi lagi dalam tingkatan dan gelar sesuai dengan kedekatan hubungan
darah mereka dengan raja. Golongan itu disebut elite tradisional dan elite
daerah.Selain itu, ada juga golongan elite agama. Mereka adalah para pemuka agama
seperti ulama dan kiayi.

Dengan keadaan yang seperti ini, mengakibatkan kondisi sosial masyarakat Indonesia
kurang terjalin dengan lancar. Kurangnya hubungan antara masyarakat, antar penjajah. Hal
ini berakibat didaerah-daerah terjadi pemisahan hubungan antar manusia.
Diskriminasi berdasarkan ras hampir terjadi di seluruh sendi kehidupan sosial.
Pembatasan-pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya
ke atas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat-tingkat tertentu. Diskriminasi ras
ini ditandai dengan kaum bumiputra yang berkutat pada jabatan-jabatan rendah dan pada
lapisan atas yang tipis terdiri atas golongan Eropa. Perbedaan status ekonomi antara
golongan kecil penduduk kulit putih dan masyarakat bumiputra di bagian yang paling
bawah.
Selain itu, adanya pembatasan-pembatasan pergaulan sosial antara ras-ras. Tidak
adanya kontak sosial dan adanya pemisahan-pemisahan fisik yang sangat mencolok.
Masyarakat Jawa dengan keras dilarang memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan-
lapangan olahraga, sekolah-sekolah, tempat-tempat umum dan daerah tempat dimana
kediaman bangsa Belanda. Bentuk lahiriah wilayah Indonesia pada saat ini masih menjadi
bukti adanya pemisahan-pemisahan pada zaman kolonial itu. Anggota-anggota sosial yang
dominan yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Eropa, di kota–kota mereka
mempunyai daerah-daerah tempat tinggal yang khusus dan di bagian kota yang baik.
Karena pergaulan hidup antara golongan-golongan itu tertutup, maka apabila tidak ada
kontak yang perlu, golongan-golongan itu berusaha menjauhkan diri satu sama lainnya.
Dapat dinyatakan lebih konkrit, mereka hidup, bekerja dan membangun pada jalan yang
sama sekali berbeda, dan mereka mempunyai kepentingan-kepentingan, kemampuan-
kemampuan dan ideal-ideal yang tidak sama. Hanya pada hubungan-hubungan formal,
seperti hubungan majikan dengan buruh atau hubungan tuan dengan hamba, terjadilah
kontak tetapi kontak yang menunjukan ketidaksamaan tersebut. Bilamana kontak sosial
tidak dapat di hindari, maka jarak sosial itu diterbitkan dan di lambangi dengan berbagai
macam etiket dan berbagai macam mekanisme untuk melindungi diri sendiri. Semua
bentuk pemisahan yang mencolok itu di institusionalisasikan untuk mencegah kontak
sosial pada tingkat - tingkatan dimana ada kesamaan sosial atau keakraban. Dilihat dari
segi ini, maka masyarakat kolonial itu sunggun -sungguh menyerupai masyarakat yang
berkasta.

C. Keadaan Sosial Dalam Tipe Tempat Tinggal


Selain digolongkan berdasarkan kriteria diskriminasi ras, stratifikasi sosial yang
terjadi dalam kalangan masyarakat kolonial ini dapat digolongkan berdasarkan tipe tempat
tinggal. Tahun 1930 jumlah penghuni rumah rata-rata 4 orang bagi golongan Eropa dan
4,7 orang bagi bangsa Jawa. Dan hanya 2% dari penduduk Eropa di Jawa yang berdiam di
rumah yang dibuat dari material yang tidak permanen, sedangkan untuk golongan
bumiputra 40%. Jumlah rumah batu yang didiami golongan Eropa berjumlah 35.890 buah,
sedangkan yang didiami golongan bumuputra berjumlah 352.353 buah.
Rumah dengan gaya modern juga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi.
Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya. Semua itu secara
langsung menunjukan status pemiliknya. Rumah-rumah priyayi tinggi berukuran besar,
dibuat dari batu seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi
sedangkan pegawai-pegawai rendahan bertempat tinggal di rumah-rumah kayu dan
penduduk-penduduk desa di rumah -rumah bambu. Namun mengenai hal ini belum dapat
dibuat anilisis statistik dari data sosial ekonomi mengenai unsur kebudayaan ini.

D. Kondisi Sosial dalam Segi Jabatan


Salah satu hal yang khas dari masyarakat kolonial adalah adanya perbedaan pokok
antara pekerjaan-pekerjaan Eropa dan non-Eropa. Pengangkatan-pengangkatan yang
terjadi dalam kategori pekerjaan-pekerjaan Eropa erat kaitannya dengan skala gaji khusus,
yang dicocokan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Hal ini yang
dinamakan dengan golongan penghasilan skala C, untuk skala B pengetahuan tentang
bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan skala A meliputi beberapa pekerjaan dimana
bahasa Belanda diwajibkan, dan beberapa pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan
dasar dengan bahasa bumiputra. Selain itu juga ditemui golongah upahan yang tergolong
dalam skala upahan bumiputra. Posisi pada dinas-dinas pemerintah di mana bahasa
Belanda diwajibkan berjumlah 19.6% sedang pada perusahaan partikelir 17%.
Sejak diberlakukannya peraturan kepegawaian yang berdasar pada background
pendidikan, dalam hal ini dilihat pada sekolah-sekolah model Barat pada umumnya, dan
pengetahuan mereka tentang bahasa Belanda khususnya, maka pembagian jabatan
menunjukan gambaran sebagai berikut:
• Pertama golongan yang bergaji kurang dari f 50 yang termasuk golongan Eropa hanya
0.49% dan 92,61% adalah golongan bumiputra, sedang kategori pegawai dengan gaji
f 250 atau lebih golongan Eropanya meliputi 82,65% dan golongan bumiputranya
hanya 7,35%.
• Kedua, dintara 8.303 orang pejabat pada dinas-dinas pemerintah hanya ada 189 orang
bumiputra.
• Ketiga, personel administrasi dari kelas B prosentase pegawai-pegawai bumiputra
makin keatas makin menurun.
Berdasarkan data tersebut, 66,9% dari pos-pos tulis kelas dua diduduki oleh
golongan bumiputra, 52% pada pos-pos juru tulis kelas satu, 47% pada pos-pos ajung-
komis, 30,2% pos komis kelas satu, 0,7% pada komis tingkat kepala, dan tidak ada sama
sekali pada pos kepala kantor. Angka-angka yang menunjukan prosentase pegawai Eropa
sebaliknya, yaitu menanjak keatas dari 31% dan berakhir pada 100%.
Secara umun dapat disimpulkan bahwa, aspek pembedaan penghasilan itu sebaian
besar disesuaikan dengan dengan perbedaan ras, dengan pengolongan rata–rata sedikit
golongan Eropa di bagian atas dan banyak sekali golongan bumiputra di bagian bawah.
Terpencarnya golongan bumiputra di dalam stratifikasi jabatan pada masyarakat Jawa dan
diteruskan pembedaan warna dapat digambarkan dengan suatu diagram yang berbentuk
limas. Diagram ini mengambarkan, bahwa terdapat ketidak seimbangan pada penempatan
masyarakat kolonial Jawa, dikarenakan diskriminasi ras dan faktor pendidikan yang minim
pada masyarakat kolonial Jawa. Dalam stratifikasi sosial tersebut juga pada lapisan
tengahnya terlampau sedikit atau tidak ada sama sekali dari masyarakat kolonial. Apalagi
pada lapisan atas, tidak ditemukannya masyarakat dari golongan kolonial Jawa.Lapisan
atas dan tengah cenderung diduduki oleh masyarakat Belanda dan Indo Belanda.Baru pada
lapisan bawah banyak ditemui masyarakat kolonial Jawa.

Anda mungkin juga menyukai