Anda di halaman 1dari 4

Student Hidjo ditulis ketika Kartodikromo dipenjara.

Novel ini menceritakan


kisah Hidjo, seorang pelajar Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menuntut
ilmu dan jatuh cinta dengan seorang perempuan Belanda. Alur lain yang
paralel terhadap cerita utamanya menceritakan kisah asmara administrator
Belanda, Willem Walter. Ditulis dalam bahasa Melayu, novel ini merupakan
salah satu karya penulis Jawa yang ikut memopulerkan kata "saya"
sebagai kata tunjuk pribadi orang pertama.

Student Hidjo ditulis oleh Marco Kartodikromo, seorang jurnalis


dari Blora[1] yang memulai kariernya di Bandung dan sangat menentang
kebijakan pemerintah Hindia Belanda.[2] Selama beberapa tahun ia bekerja
sebagai editor di harian Doenia Bergerak yang berpusat di Surakarta;[1] kota
ini kelak dijadikan latar novelnya.[3] Ia menghabiskan lima bulan di
Belanda[1] sejak akhir 1916 sampai awal 1917.[4] Sepulangnya ke Hindia
Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "
menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di Weltevreden,
Batavia (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo
menulis Student Hidjo.[5]

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Student_Hidjo
Student Hidjo ditulis dalam bahasa Melayu. Saat novel ini ditulis,
pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa
Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier,
dosen Universitas Leiden. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti
standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai
bahasa Melayu standar seperti Armijn Pane dan Haji Abdul Malik Karim
Amrullah dengan nada "sedih", bahasa di Student Hidjo hanya menunjukkan "
kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi
kemarahan".[8]

Maier menulis bahwa nama-nama tokoh utama Student Hidjo harus dibaca
secara alegoris. Nama Hidjo (hijau), Woengoe (ungu), dan Biroe (biru)
menunjukkan keterkaitan antartokoh. Kartodikromo
menyebutnya simile tambahan.[3]
Student Hidjo pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian Sinar Hindia yang berpusat
di Semarang;[5] Kartodikromo menjadi editor di sana.[1] Cerita ini kemudian dijadikan buku dan
diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.[5] Saat itu karya-
karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan Balai Pustaka, penerbit milik
pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.[14]

Anda mungkin juga menyukai