Hatta
Kisah yang Melampaui Zaman
Pada tahun 1960-an, tulisan Hatta yang berjudul Demokrasi Kita menjadi
bacaan terlarang. Dalam buku itu, Bung Hatta mengkritis para pemimpin politik
yang sesat. Sebenarnya Hatta tidak antipartai, namun beliau mengecam keras para
politisi yang menjadikan “partai sebagai tujuan dan negara sebagai alatnya.”.
Beliau bukan orang yang ahli nujum. Namun ramalannya yang tajam bersumber
dari kajian luasnya terhadap sejarah dunia. Beliau jugalah satu-satunya bapak
bangsa menulis. Ia menjadi reporter yang mencatat, melaporkan, dan memberi
komentar tertulis peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia.
Di samping menguasai bahasa Melayu dan Belanda, Hatta sendiri fasih berbahasa
Inggris, Jerman, dan Perancis.
Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, pada
1927 Hatta ditahan. Dia tidak surut dari ruang penjara yang sempit, dia menulis
pidato pembelaan yang nantinya akan ia baca selama tiga setengah jam di depan
pengadilan. Pidatonya yang berjudul “Indonesia Merdeka” menjadi salah satu
manifesto politik yang menumental karena di situlah, tepat di ulu hati kekuasaan
kolonial, dia menusukkan tikamannya. Ketajaman pena Hatta dan kekuatan
analisisnya lebih digdaya dari tembakan salvo manapun. Hatta menghadiahi calon
istrinya emas kawin buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri. Beliau
menulis di sebuah jurnal internasional tentang kebijakan luar negeri di situlah
beliau memperkenalkan politik "bebas dan aktif" yang dipakai Indonesia sampai
saat ini.
Seorang penyair dari Padang pernah berkata pada anak-anak yang datang
padanya untuk menulis puisi, "Tulislah yang kalian tau tentang Bung Hatta. Dia
orang besar dan hidupnya seperti buku yang tak akan pernah tamat dibaca.”.
Mohammad Hatta suka bermain kapal-kapalan dari kaleng bekas serta menyepak
rotan. Sejak umur 5 tahun, siang hari ia belajar di Sekolah Melayu Paripat dan les
bahasa Belanda di waktu petang. Alhasil Hatta tidak mengalami kesulitan ketika
akhirnya bersekolah di ELS, SD khusus untuk anak-anak Belanda. Orang-orang
tua di Bukittinggi menyebut dia anak "cie pamaenan mato"-anak yang pada dirinya
terpendam kebaikan dan perangainya mengundang kasih sayang.
Saat belajar di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang, Hatta juga
memperoleh bimbingan agama dari Haji Abdullah Ahmad. Bersamaan dengan itu
Hatta mengenal Jong Sumatranen Bond dan mendengarkan ceramah dari tokoh-
tokoh agama dan pergerakan. Selama hidupnya Hatta dikenal sebagai sosok yang
taat agama, menjaga sholat dan menghargai waktu, selain kesederhanaannya. Saat
pengasingannya bersama Sutan Sjahrir di Banda, hari-harinya dihabiskan dengan
diskusi, jalan-jalan ke perkebunan, belajar, membaca buku dan menulis untuk
untuk surat kabar. Bahkan saking disiplinnya, Hatta dijadikan jam bagi para
pekerja perkebunan pala. Mereka menandai kemunculan Hatta sebagai jam lima,
yang berarti saatnya berhenti bekerja. Kelak, pemahamannya terhadap nilai-nilai
agama juga mempengaruhi cara dan sikapnya dalam kesehariannya maupun
berpolitik.