A
Kelas : X.TPB
Biografi Dr. (H.C.) Drs. Mohammad.Hatta
Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 dari pasangan
anak guru agama kenamaan dan anak pedagang sukses, H. Moh. Jamil dan Siti
Saleha. Ia merupakan anak kedua setelah Rafi'ah, kakak perempuannya yang lahir
pada 1900.
Hatta bernama Mohammad 'Athar, yang artinya harum. Sehari-hari dipanggil Atta,
jadilah namanya berubah jadi Moh. Hatta. Saat Hatta usia 7 bulan, ayahnya meninggal
di usia 30 tahun, seperti dikutip dari Biografi Singkat Mohammad Hatta oleh Rohmat .
Hatta kecil tidak punya banyak teman karena tidak diperbolehkan bermain oleh
neneknya. Namun ketika sudah punya teman, ia akan menjadikannya sahabat akrab,
tidak membedakan si kaya dengan si miskin.
Moh. Hatta saat Sekolah
Hatta punya semangat belajar yang tinggi. Ia sudah membaca dan menulis sebelum
masuk Sekolah Rakyat (SR). Saat umurnya sudah cukup ia masuk SR dan duduk satu
kelas dengan kakaknya, Rafi'ah.
Sore hari selepas sekolah, Hatta belajar bahasa Belanda. Usai salat Maghrib, ia belajar
mengaji di surau.
Hatta hanya sekolah di SR hingga tahun ketiga. Di tengah tahun ajaran, ia disuruh
pindah ke sekolah Belanda, Eurepeesche Lagere School (ELS) dan diterima di kelas 2.
Guru bahasa Belanda Hatta menyuruhnya pindah karena menganggap Hatta sudah
bisa berbahasa Belanda dengan baik.
Hatta ingin lanjut sekolah ke Hogere Burger School (HBS) di Jakarta. Namun, sang ibu
menyuruh Hatta lanjut sekolah di Padang saja, di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) yang setara SMP. Jarak Padang-Bukittinggi tidak terlalu jauh sehingga ibunya
masih dapat mengawasi.
Hatta sempat menolak dan tidak ingin lanjut sekolah. Ia bahkan melamar pekerjaan dan
diterima di kantor pos. Sang paman yang mengetahui hal ini lalu berhasil membujuk
Hatta untuk melanjutkan sekolah sesuai keinginan ibunya.
Tamat MULO, sang ibu tidak lagi melarangnya sekolah di kota besar seperti Jakarta. Ia
pun lanjut sekolah di Prins Hendrik School (PHS) Jakarta, tinggal di rumah paman
jauhnya yang seorang pedagang, Ayub Rais. Hatta sering berdiskusi dengan Ayub Rais
untuk menguji pelajaran di sekolah dengan pengalaman pamannya saat berdagang.
Tahu keponakannya cerdas dan berpengetahuan luas, Ayub Rais berjanji
menyekolahkan Hatta ke Belanda. Hatta pun sering dibelikan buku.
Berangkat Kuliah ke Belanda
Tamat sekolah di PHS pada 1921, Hatta bersiap pergi ke Belanda sambil menanyakan
saran guru-guru Belandanya. Stigter, salah satu guru, justru menyarankan Hatta
bekerja saja karena ada kebutuhan pegawai perusahaan dengan gaji besar.
(detik.com/tag/hatta)
Sementara itu, De Kock, mantan guru Hatta lainnya, mendukung keinginannya.
"Uang mudah kau cari. Kesempatan menuntut ilmu jarang bersua. Kau masih muda.
Belajarlah dengan rajin. Saya doakan semoga kau berhasil," kata De Kock.
Nasihat De Kock menguatkan Hatta, tetapi usaha dagang pamannya sedang tidak
bagus. Uang tabungan untuk studi Hatta ke Belanda pun terpakai untuk kebutuhan lain.
Saat meminta beasiswa pemerintah, surat permohonannya terlambat diajukan.
Tidak putus akal, Hatta menemui Stokvis, Inspektur Perguruan Menengah. Stokvis lalu
mengontak Yayasan van Deventer. Yayasan ini rupanya mau memberikan beasiswa
pada Hatta setelah ia tiba di Belanda, tetapi biaya perjalanan ditanggung sendiri.
Hatta pun bersiap ke Belanda dengan uang tabungannya dari uang belanja. Ayub Rais
dan keluarga di kampung halaman pun memberikan sejumlah bekal uang.
Di organisasi ini, Hatta belajar dari kisah-kisah tiga serangkai Suwardi Suryaningrat (Ki
Hajar Dewantara), dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker (Danudirdja
Setiabudi) tentang rakyat Indonesia yang makin menderita karena pemerintah kolonial
Belanda yang sewenang-wenang.
Anggota Indische Vereeniging belajar bahwa kendati mereka dapat hidup senang dan
bersekolah tinggi, banyak warga buta huruf dan hidup sengsara yang masih harus
dibantu dari penderitaan dan penjajahan. Nama perkumpulan pun mereka ganti menjadi
Indonesische Vereeniging, lalu menjadi Perhimpunan Indonesia. Majalah mereka,
Hindia Putra, diganti nama jadi Indonesia Merdeka.
Belajar di Penjara
Hatta boleh membawa buku di penjara. Di sana, ia pun belajar dan menyusun
pembelaan untuk dikemukakan di pengadilan. Ia dan kawan-kawannya dibantu tiga ahli
hukum sebagai pembela, dan dituntut 3 tahun penjara oleh jaksa. Walau hakim belum
memberi keputusan di sidang pertama pada 8 Maret 1928, mereka diizinkan
meninggalkan penjara.