Abstract:
This research seeks to ascertain how important bookkeeping and financial reporting are for
entrepreneurs in relation to the amount of credit received by MSMEs, as well as the
possibility of implementing Financial Accounting Standards for Micro, Small and Medium
Entities (SAK EMKM) in 2017 and how this will affect the quality of financial reporting
from MSME finance. The research sample in this study consisted of MSME entrepreneurs in
the Semarang City area who answered the questionnaire used for primary data collection. The
findings of this study show that business owners still do not value financial reports, which
means that the quality of financial reports produced by MSME owners has little influence on
the quantity of credit that these companies can obtain. Existing bookkeeping knowledge
among entrepreneurs makes it unlikely that SAK EMKM will have a significant impact on
the quality of financial reporting.
Abstrak
PENDAHULUAN
UMKM atau usaha mikro, kecil, dan menengah mempunyai peranan penting dalam
perluasan dan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu, fungsi UMKM dalam
menyebarkan hasil pembangunan dan menyerap tenaga kerja. Tingkat penyerapan tenaga
kerja mencakup sekitar 97% dari total angkatan kerja di negara ini dan menyumbang sekitar
57% terhadap PDB. Berdasarkan pricing tahun 2011, porsi UMKM terhadap PDB nasional
sebesar Rp4.321,8 triliun atau 58,05%, namun pada tahun 2012 sebesar Rp4.869,5 triliun atau
59,08%. (Bank Indonesia, 2015).
Selama beberapa tahun, jumlah UMKM mengalami peningkatan yang menyebabkan
munculnya permasalahan pembiayaan tradisional dan pengembangan usaha. Hanya tiga
puluh persen dari 56,4 juta UMK di Indonesia yang mampu memperoleh pendanaan pada
tahun 2014, menurut data yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dari kelompok ini, 23,9%
memperoleh kredit dari sumber non-bank seperti koperasi dan simpan pinjam, sedangkan
76,1% memperoleh kredit dari perbankan. Dengan kata lain, antara 60 dan 70 persen industri
UMKM secara keseluruhan tidak memiliki akses terhadap pendanaan bank.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan kebijakan pembiayaan bagi UMKM
juga telah dikucurkan pemerintah. Sasaran penyaluran KUR pemerintah pada tahun 2016
adalah antara Rp 100 hingga 120 triliun, dengan debitur membayar tingkat bunga tahunan
sebesar 9%. Dibandingkan periode sebelumnya yang hanya disalurkan maksimal Rp 40
triliun, penyaluran ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Peraturan Menteri
Koordinator Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kredit Usaha Rakyat
mencantumkan peningkatan daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah serta mendorong
penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan KUR.
Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (SAK EMKM)
dirilis pada tahun 2016 oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Agustus 2016
adalah saat SAK ini mulai berlaku. Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas
Publik (SAK ETAP), SAK sebelumnya, diterapkan sesuai dengan penerbitan SAK ini.
Sebelum tahun 2016, SAK ETAP tersedia untuk digunakan oleh entitas UMKM; Namun,
karena lebih efisien dan efektif untuk organisasi kecil, penggunaan SAK ETAP kehilangan
arti pentingnya. Oleh karena itu, dirilislah SAK EMKM sebagai standar yang fokus mengatur
pelaporan keuangan perusahaan UMKM. Berbeda dengan SAK ETAP, SAK EMKM
diharapkan akan memudahkan pembuatan pembukuan atau akuntansi pelaporan keuangan
bagi pelaku usaha UMKM.
Hal ini membuat menarik untuk melakukan penelitian dengan menduplikasi penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rizki (2012) yang melihat potensi SAK ETAP dan kualitas
pemberitaan UMKM. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melanjutkan dan mengulangi
penelitian-penelitian sebelumnya sekaligus menentukan sejauh mana penerapan SAK—SAK
EMKM—yang terbaru.
TINJAUAN TEORETIS
Usaha kecil dan menengah didefinisikan. Definisi UKM dan industri kecil berikut ini
dikemukakan oleh sejumlah penulis buku tentang usaha kecil dan menengah:
a. Menurut M. Tohar, usaha kecil adalah usaha perekonomian rakyat dalam skala
kecil yang memenuhi syarat kepemilikan sah, syarat kekayaan bersih, dan hasil
penjualan tahunan. (Tohar, 2001,1)
b. Menurut Ahmed Riahi Balkaoui, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (FASB)
mendefinisikan usaha kecil sebagai berikut. sebuah bisnis kecil dengan aktivitas
yang relatif sederhana yang biasanya menghasilkan penjualan kurang dari $5 juta
secara keseluruhan.
c. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mendefinisikan
Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), sebagai badan usaha yang
penjualan tahunannya tidak lebih dari Rp1.000.000.000,00 dan kekayaan bersih
tidak lebih dari Rp200.000.000,00, tidak termasuk tanah dan bangunan. di mana
bisnis tersebut berada. Sebaliknya, penduduk Indonesia yang memiliki usaha
menengah (UM) dengan kekayaan bersih antara Rp200.000.000 hingga
Rp200.000.000 dianggap sebagai warga negara Indonesia. Tanah dan bangunan
tidak termasuk dalam Rp 10.000.000.000.
d. Badan Pusat Statistik (BPS) menawarkan definisi UKM berdasarkan jumlah
tenaga kerja, menurut badan tersebut. Perusahaan yang tergolong kecil
mempunyai lima sampai sembilan belas karyawan, sedangkan perusahaan yang
tergolong menengah mempunyai dua puluh sampai sembilan belas karyawan. 99
individu.
Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil dan Menengah (SAK EMKM). Dalam
rangka memenuhi persyaratan pelaporan keuangan entitas mikro, kecil, dan menengah yang
tidak mampu atau tidak mau mematuhi persyaratan akuntansi yang dituangkan dalam SAK
ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) 2016
mengembangkan SAK EMKM.
Asumsi dasar akrual dan kelangsungan usaha yang digunakan oleh entitas selain
usaha mikro, kecil, dan menengah serta konsep badan usaha digunakan dalam SAK EMKM
untuk menyusun laporan keuangan suatu entitas. Laporan laba rugi, laporan posisi keuangan,
dan catatan atas laporan keuangan membentuk laporan keuangan suatu entitas.
Tujuan penyampaian laporan keuangan sesuai SAK EMKM sama dengan tujuan
laporan keuangan pada umumnya. Menurut SAK EMKM, tujuan laporan keuangan adalah
memberikan informasi mengenai kinerja dan posisi keuangan suatu entitas sehingga
membantu banyak pengguna dalam mengambil keputusan keuangan. Siapapun yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan informasi tersebut dengan meminta laporan keuangan khusus. Di
antara para pengguna ini adalah mereka yang memasok sumber daya ke organisasi seperti
kreditor dan investor. Laporan keuangan menunjukkan akuntabilitas manajemen atas sumber
daya yang dipercayakan kepadanya dalam mencapai tujuannya. (IAI, 2013).
Kerangka Pemikiran.
Di era modernisasi UMKM saat ini, banyak yang hanya sekedar mencatat arus kas
masuk dan keluar, jumlah komoditas yang mereka peroleh dan berikan kepada pelanggan,
serta tagihan dan tanggung jawab mereka. Sebagai pelaku usaha, format pencatatan yang
dikembangkan UMKM belum menampilkan format keuangan yang baku. Pelaku usaha
berupaya untuk mempekerjakan spesialis akuntansi sebagai respons terhadap tuntutan
penyusunan laporan keuangan dari pihak eksternal, seperti bank. Di sisi lain, mereka
berpendapat bahwa mempekerjakan staf akuntansi akan meningkatkan biaya operasional dan
dapat menimbulkan masalah pada perhitungan laba rugi UMKM.
Dengan menggunakan sampel sebanyak 283 pemilik usaha kecil dan menengah,
Muniarti (2002) dalam Rizki (2012) menyelidiki variabel-variabel yang mempengaruhi
penyusunan dan penggunaan informasi akuntansi pada usaha kecil di Jawa Tengah.
Penyusunan dan penggunaan informasi akuntansi dan perusahaan ternyata sangat dipengaruhi
oleh karakteristik usaha kecil dan menengah (umur perusahaan, sektor industri, dan skala
usaha), serta karakteristik pemilik/manajer (waktu). penanggung jawab, pendidikan formal,
dan pelatihan akuntansi yang diikuti oleh manajer/pemilik).
Menurut Rizki (2012), Gelar pendidikan terkini, latar belakang pendidikan, ukuran
usaha, dan lama berdirinya usaha merupakan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
persepsi pengusaha terhadap pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan bagi
pertumbuhan dan perkembangan suatu usaha.
Menurut Rizki (2012), Gelar pendidikan terkini, latar belakang pendidikan, ukuran
usaha, dan lama berdirinya usaha merupakan beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
persepsi pengusaha terhadap pentingnya pembukuan dan pelaporan keuangan bagi
pertumbuhan dan perkembangan suatu usaha. Mendapatkan lebih banyak pendidikan akan
meningkatkan kapasitas seseorang untuk menerima informasi baru. (Gray 2006; Van Hermert
et al 2011).
Hipotesis.
Berdasarkan pembenaran yang diberikan, dikemukakan teori sebagai berikut:
H1c: Pendapat pengusaha mengenai nilai pembukuan dan pelaporan keuangan bagi
perusahaannya dipengaruhi secara positif oleh ukuran perusahaannya.
Berdasarkan survei Bank Indonesia pada tahun 2015, terdapat sejumlah hambatan
internal yang menghalangi 60% hingga 70% pembiayaan UMKM untuk terserap dan
mengakses layanan perbankan. Tantangan administratif, seperti sistem pembukuan manual
yang kuno, menjadi salah satu penyebabnya. Uang belum dapat dipisahkan untuk digunakan
dalam kegiatan rumah tangga dan komersial melalui pengelolaan keuangan.
Peminjaman laporan keuangan merupakan salah satu metode pemberian kredit yang
paling populer menurut Baas dan Shrooten (2006) dalam Rizki (2012). Metode ini
mengandalkan keputusan kredit pada data keuangan yang diberikan oleh debitur. Namun,
karena UMKM tidak mampu menyediakan data keuangan, hal ini menimbulkan tantangan
tersendiri. Menurut Rizki (2012), laporan keuangan masih sering berkualitas buruk. Karena
buruknya kualitas laporan keuangan UMKM, kuantitas pinjaman dan jangka waktu yang
diberikan tidak terpengaruh secara positif oleh kualitas laporan.
Teori mengenai besaran kredit yang diberikan perbankan kepada UMKM adalah
sebagai berikut:
H2a: Kuantitas kredit perbankan yang diperoleh UMKM dipengaruhi secara positif
oleh kualitas laporan keuangan.
H2b: Kuantitas kredit perbankan yang diterima UMKM berkorelasi positif dengan
besar kecilnya usaha mereka.
H2c: Besarnya kredit perbankan yang diterima UMKM berkorelasi positif dengan
lama berdirinya suatu perusahaan.
H2d: Kuantitas agunan berpengaruh positif terhadap jumlah kredit bank yang
diberikan kepada UMKM
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekitar 40 pengusaha UMKM asal
Semarang dan sekitarnya. Dengan melakukan observasi pada skala bisnis yang dapat
dikelola, maka sampel dipilih.
Jenis penelitian primer ini melibatkan melakukan wawancara langsung atau menggunakan
kuesioner untuk mengumpulkan data. Sumber data diakses melalui kunjungan atau
menghubungi responden untuk melakukan survei. Akan ada beberapa pertanyaan tentang
faktor-faktor yang akan diuji dalam kuesioner.
Tujuan pengumpulan data adalah untuk mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk
penelitian. Kuesioner dan wawancara adalah metode yang digunakan. Informasi mengenai
pertumbuhan UMKM sebagai perantara antara UMKM dan pihak peneliti dikumpulkan
melalui wawancara.
Penjelasan tentang bagaimana variabel yang digunakan dalam penelitian ini diukur disajikan
di bawah ini.
Berdasarkan pengujian parsial model 1 pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat korelasi positif antara variabel tingkat pendidikan (PDDK_JJG) dengan persepsi
penyusunan laporan keuangan. (H1a tidak diterima). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta
bahwa sebagian besar responden bukanlah ilmuwan akuntansi dan terdaftar di sekolah
menengah atas atau sekolah kejuruan. Oleh karena itu, persepsi penyusunan laporan
keuangan tidak dipengaruhi oleh keunggulan sekolah. Hasil pengujian tersebut sejalan
dengan penelitian Rizki (2012) yang menunjukkan bahwa persepsi terhadap penyusunan
laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Berdasarkan
pengujian parsial model 1 pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi
positif antara variabel tingkat pendidikan (PDDK_JJG) dengan persepsi penyusunan laporan
keuangan. (H1a tidak diterima). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar
responden bukanlah ilmuwan akuntansi dan terdaftar di sekolah menengah atas atau sekolah
kejuruan.
Menurut pengaturan ini, cara pandang pembuatan laporan keuangan tidak dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan. Hasil pengujian tersebut sejalan dengan penelitian Rizki (2012) yang
menunjukkan bahwa persepsi terhadap penyusunan laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan seseorang.
Persepsi pengusaha dipengaruhi secara negatif oleh ukuran usaha (SKALA) (H1b
ditolak). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh mayoritas responden yang berpendapat
bahwa pembukuan dan pelaporan keuangan tidak terlalu penting karena masih beroperasi
pada skala usaha mikro dan kecil. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang menunjukkan
bahwa 25 responden tidak pernah menyimpan buku. Namun hal ini bertentangan dengan
eksperimen yang dilakukan Rizki (2012) yang menemukan bahwa kebutuhan informasi
keuangan meningkat seiring dengan pertumbuhan UMKM. Variabel durasi usaha (AGE)
ditolak karena tidak memiliki dampak menguntungkan terhadap persepsi penyusunan laporan
keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin muda perusahaan, semakin tinggi opini
penyusunan laporan keuangan; sebaliknya, semakin tua umur perusahaan maka semakin
buruk pula opini penyusunan laporan keuangannya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian
Rizki (2012), yang mengungkapkan dampak buruk yang patut dicatat.
Berdasarkan tabel Uji F yang tersaji di atas dapat disimpulkan bahwa nilai
probabilitas signifikan sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf sebenarnya sebesar 0,05. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa model secara keseluruhan dapat digunakan untuk
memprediksi apakah kredit yang diberikan (KREDIT) akan dipengaruhi oleh aset yang
dijaminkan (JAMINAN), jangka waktu (JWK), ukuran perusahaan (SKALA), kualitas
laporan keuangan (KUALTS_LK), dan umur (AGE).
Variabel kualitas laporan keuangan tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah total
kredit yang diterima, sesuai temuan pengujian model 2 yang ditampilkan pada tabel di atas
(H2a ditolak). Hal ini mungkin disebabkan oleh bank yang tidak menggunakan laporan
keuangan berkualitas sebagai strategi dalam memberikan pinjaman kepada UMKM. Besaran
omzet dan kebutuhan modal kerja yang ingin dimanfaatkan oleh UMKM dapat dicermati
lebih detail. Hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rizki (2012)
yang menunjukkan bahwa persetujuan kredit tidak dipengaruhi oleh kualitas laporan
keuangan.
Besar kecilnya pinjaman yang diperoleh dipengaruhi secara positif oleh variabel skala
usaha (H2b diterima). Hal ini sejalan dengan penelitian Rizki (2012) yang menunjukkan
bahwa bank lebih mementingkan skala usaha dalam menentukan besaran kredit yang akan
diberikan. Jumlah kredit yang disalurkan (H2c ditolak) tidak dipengaruhi secara signifikan
oleh umur pendirian usaha (AGE). Hal ini disebabkan bank tidak menjadikan usia suatu
entitas sebagai faktor penentu dalam pemberian kredit. Jumlah kredit yang diperoleh tidak
dipengaruhi oleh berapa lama perusahaan tersebut telah beroperasi atau kapan perusahaan
tersebut didirikan. Kesimpulan ini bertentangan dengan penelitian Rizki (2012) yang
menunjukkan bahwa perusahaan yang sudah lama berdiri akan memperoleh pembiayaan bank
dalam jumlah besar karena risiko usahanya lebih rendah dibandingkan dengan usaha baru.
Besarnya kredit yang diperoleh (H2d diperoleh) dipengaruhi secara positif dan
signifikan oleh kuantitas agunan yang ditawarkan. Hal ini sejalan dengan penelitian Rizki
(2012) yang menunjukkan bahwa kuantitas aset yang dijaminkan oleh UMKM
mempengaruhi jumlah kredit yang diperoleh.
Pemahaman SAK EMKM oleh pelaku UMKM tidak dipengaruhi secara signifikan
oleh variabel informasi dan sosialisasi (INFO) (H3a Ditolak). Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan dan sosialisasi SAK EMKM. Terbukti bahwa 52% responden yang
disurvei tidak mengetahui tentang SAK EMKM. Selain itu, mayoritas responden bukan
berasal dari sektor akuntansi atau ekonomi, sehingga latar belakang pendidikan mereka
menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai SAK EMKM tidak terlalu penting bagi mereka.
Namun sebagian besar responden menyatakan bahwa pembukuan masih sangat penting,
sehingga menunjukkan bahwa responden masih menganggap penting sosialisasi SAK
EMKM berdasarkan jawaban kuesioner. Temuan ini bertentangan dengan penelitian Rizki
(2012) yang menunjukkan manfaat pengetahuan terhadap pemahaman SAK ETAP.
Pemahaman SAK EMKM oleh pengusaha UMKM tetap tidak dipengaruhi oleh
variabel latar belakang pendidikan (PDDK_LTR) (H3b ditolak). Hal ini sejalan dengan
jumlah responden yang mayoritas berlatar belakang ekonomi dan non-akuntansi, sehingga
memahami pembukuan memerlukan waktu. Tes ini sejalan dengan penelitian Rizki (2012)
yang menggunakan pengetahuan SAK ETAP untuk menunjukkan hasil yang sama.
Niat untuk menggunakan SAK EMKM pada tahun 2017 untuk meningkatkan kualitas
laporan keuangan masih belum berjalan dengan baik, sesuai data di atas. Mengingat saat ini
masih sangat sedikit pengetahuan dan persepsi di kalangan pengusaha mengenai pentingnya
pelaporan keuangan. Pelaku usaha biasanya fokus mengembangkan perusahaannya
dibandingkan mengatur akuntansinya sesuai dengan SAK EMKM. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Rizki pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa SAK
ETAP belum bisa diterapkan pada UMKM yang saat itu menggunakan SAK ETAP.
KESIMPULAN
Standar akuntansi bernama SAK EMKM diciptakan untuk membantu pelaku UMKM
melakukan pembukuan secara akurat dan menyeluruh. latar belakang pendidikan dan
pencapaian. Pendapat pemilik usaha mengenai pembukuan sebagian besar tidak dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti ukuran dan durasi operasi, dan biasanya terkena dampak negatif.
Hal ini disebabkan karena para pelaku UMKM biasanya mengutamakan pertumbuhan
perusahaannya dibandingkan dengan pembukuan yang akurat dan menyeluruh.
Selain itu, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rizki (2012) yang
menggunakan model SAK ETAP. Dari beberapa pengujian diketahui bahwa pelaku UMKM
masih belum memahami cara penggunaan SAK dalam pembuatan laporan keuangan, baik
yang menggunakan SAK ETAP maupun SAK EMKM. Hal ini disebabkan tidak semua faktor
diuji signifikansi positif untuk menentukan apakah SAK ETAP dan SAK EMKM yang
dilaksanakan oleh UMKM layak dilakukan.