Anda di halaman 1dari 31

A.

Correlational research
1. Pengertian Correlational research
Desain korelasional memberikan kesempatan bagi Anda untuk memprediksi skor
dan menjelaskan hubungan antar variabel. Di dalam desain penelitian korelasional,
peneliti menggunakan uji statistik korelasi untuk mendeskripsikan dan mengukur derajat
hubungan (atau hubungan) antara dua atau lebih variabel atau kumpulan skor. Dalam
desain ini, peneliti tidak berusaha mengendalikan atau memanipulasi variabel seperti
dalam eksperimen; sebaliknya, mereka menghubungkan, dengan menggunakan statistik
korelasi, dua atau lebih skor untuk setiap orang (misalnya, motivasi siswa dan skor
prestasi siswa untuk setiap individu).
Korelasi adalah uji statistik untuk mengetahui kecenderungan atau pola dua (atau
lebih) variabel atau dua kumpulan data untuk bervariasi secara konsisten. Dalam kasus
hanya dua variabel, ini berarti dua variabel mempunyai varians yang sama, atau keduanya
saling berkovarian. kovarian dua variabel mempunyai dasar matematis yang agak rumit.
Kovarian artinya kita dapat memprediksi skor suatu variabel dengan mengetahui skor
individu pada variabel lain. Sebuah contoh sederhana mungkin bisa menggambarkan hal
ini. Asumsikan bahwa skor pada kuis matematika untuk siswa kelas empat berkisar antara
30 hingga 90. Kita tertarik pada apakah skor pada latihan matematika di kelas (satu
variabel) dapat memprediksi skor kuis matematika siswa (variabel lain). Jika skor pada
latihan tidak menjelaskan skor pada kuis matematika, maka kita tidak dapat memprediksi
skor siapa pun kecuali mengatakan bahwa skor tersebut mungkin berkisar antara 30
hingga 90. Jika latihan tersebut dapat menjelaskan varians dalam semua skor kuis
matematika, maka kita dapat memprediksi nilai matematika dengan sempurna. Situasi ini
jarang tercapai; sebaliknya, kita mungkin menemukan bahwa 40% perbedaan nilai kuis
matematika disebabkan oleh nilai latihan. Hal ini mempersempit prediksi kita pada skor
kuis matematika dari 30 menjadi 90 menjadi kurang dari itu, seperti 40 menjadi 60.
Idenya adalah ketika varians bersama meningkat, kita akan lebih mampu memprediksi
skor dari variabel independen ke variabel dependen (Gall, Gall, & Borg, 2007).
Statistik yang menyatakan korelasi sebagai hubungan linier adalah product–
moment correlation coefficient (korelasi bivariat, korelasi orde nol, atau sederhananya
Pearson r) .

2. Jenis-jenis Correlational Designs


a) The Explanatory Design
Berbagai penulis merujuk pada penelitian korelasional penjelasan sebagai
penelitian “relasional” (Cohen & Manion, 1994, hal. 123), “studi akuntansi-untuk-
varians” (Punch, 1998, hal. 78), atau “Explanatory Research” (Fraenkel & Wallen,
2000, hal.360). Karena salah satu tujuan dasar dari bentuk penelitian korelasional
ini adalah untuk menjelaskan hubungan antar variabel, maka kita menggunakan
istilah tersebut denga explanatory research. Explanatory Research Designs adalah
desain korelasional di mana peneliti tertarik pada sejauh mana dua variabel (atau
lebih) bersifat covary, yaitu perubahan pada satu variabel tercermin dalam perubahan
variabel lainnya. Desain penjelasan terdiri dari hubungan sederhana antara dua
variabel (misalnya, selera humor dan penampilan dalam drama) atau lebih dari dua
(misalnya, tekanan dari teman atau perasaan terisolasi yang menyebabkan pesta
minuman keras).
Ketika meneliti sebuah penelitian yang dilaporkan dalam literatur, bagaimana kita
mengidentifikasinya sebagai penelitian korelasional yang bersifat menjelaskan?
Carilah ciri-ciri berikut yang umum pada jenis penelitian ini:
1) Para peneliti mengkorelasikan dua variabel atau lebih.Mereka melaporkan uji
statistik korelasi dan menyebutkan penggunaan beberapa variabel. Pembaca akan
menemukan variabel-variabel ini secara spesifik disebutkan dalam pernyataan
tujuan, pertanyaan penelitian, atau tabel yang melaporkan prosedur statistik.
2) Para peneliti mengumpulkan data pada satu waktu. Bukti untuk prosedur ini
dapat ditemukan dalam pemberian instrumen “sekali duduk” kepada siswa. Dalam
penelitian korelasional eksplanatori, peneliti tidak tertarik pada kinerja partisipan
di masa lalu atau di masa depan.
3) Penyelidik menganalisis semua peserta sebagai satu kelompok. Dibandingkan
dengan eksperimen yang melibatkan banyak kelompok atau kondisi perlakuan,
peneliti mengumpulkan skor hanya dari satu kelompok dan tidak membagi
kelompok ke dalam kategori (atau faktor). Berbeda dengan penelitian
eksperimental, semua tingkat informasi dari kelompok digunakan. Daripada
membagi skor menjadi kategori skor “tinggi” dan “rendah”, seperti yang
dilakukan dalam penelitian eksperimental, peneliti korelasional menggunakan
semua skor dalam satu kontinum, misalnya dari 10 hingga 90.
4) Peneliti memperoleh setidaknya dua skor untuk setiap individu dalam satu
kelompok untuk setiap variabel. Dalam pembahasan metode, peneliti korelasional
akan menyebutkan berapa skor yang berhasil dikumpulkan dari masing-masing
peserta. Misalnya, untuk setiap individu dalam studi tentang optimisme dan
perilaku kesehatan yang sesuai, peneliti akan mengumpulkan dua skor: skor
optimisme dan skor perilaku kesehatan.
5) Peneliti melaporkan penggunaan uji statistik korelasi (atau perluasannya) dalam
analisis data. Inilah ciri dasar dari jenis penelitian ini. Selain itu, peneliti
menyertakan laporan tentang kekuatan dan arah uji korelasional untuk
memberikan informasi tambahan.
6) Peneliti melakukan interpretasi atau menarik kesimpulan dari hasil uji statistik.
Penting untuk dicatat bahwa kesimpulan tersebut tidak menentukan kemungkinan
hubungan sebab-akibat (atau inferensi sebab-akibat) karena peneliti hanya dapat
menggunakan pengendalian statistik (misalnya pengendalian variabel menggunakan
prosedur statistik), dibandingkan pengendalian yang lebih ketat yaitu mengubah
kondisi secara fisik (misalnya dalam eksperimen). Dalam penelitian korelasional,
peneliti “menganggap partisipan sebagaimana adanya”, tanpa intervensi
eksperimental. Oleh karena itu, penulis studi korelasional sering menggunakan frasa
“derajat hubungan antara dua variabel” (Thorndike, 1997, hal. 1107), sebuah
konotasi yang menyampaikan kejadian umum antar variabel daripada kemungkinan
kausalitas. Hal ini juga menjelaskan mengapa penulis korelasional terkadang
menahan diri untuk tidak menggunakan istilah variabel bebas dan variabel kontrol
dan sebaliknya mengacu pada korelasi kedua variabel, artinya konsisten dengan
sesuatu yang kurang dari variabel independen yang mempengaruhi variabel
dependen. Mereka juga menggunakan kata-kata hubungan atau asosiasi tentang
korelasi antar variabel.
Mari kita beralih ke studi korelasional penjelasan oleh Anderson dan Keith
(1997) untuk mengilustrasikan jenis desain ini. Meskipun ada peningkatan dalam
nilai ujian prestasi, siswa keturunan Afrika-Amerika, Hispanik yang merupakan siswa
dengan nilai rendah biasanya mencapai prestasi di bawah siswa Kaukasia, Asia yang
nilainya tinggi. Pelajar keturunan Afrika-Amerika dan Hispanik juga memiliki
tingkat putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan pelajar Kaukasia. Untuk
memahami faktor-faktor yang menjelaskan keberhasilan akademik siswa ini,
Anderson dan Keith melakukan penelitian korelasional. Mereka mengusulkan model
yang terdiri dari delapan variabel (status sosial ekonomi keluarga, etnis, gender,
kemampuan, kualitas sekolah, keterlibatan orang tua, motivasi, dan tugas akademik)
dan satu variabel hasil (prestasi akademik). Mereka mempelajari satu kelompok yang
terdiri dari siswa tahun kedua di sekolah menengah atas yang menunjukkan bahwa
mereka berasal dari minoritas non-Asia dan memiliki skor gabungan status sosial
ekonomi (SES) dalam kuartil terbawah rentang SES. Pengumpulan data melibatkan
pengumpulan informasi selama tahun dasar (1980) dan 2 tahun kemudian (1982),
namun untuk tujuan analisis, para peneliti menganalisis data bersama-sama dari
kedua tahun seolah- olah data tersebut dikumpulkan pada satu waktu. Untuk seluruh
peserta (N=7.355), mereka mengumpulkan ukuran pada setiap variabel dan
mengkorelasikan semua variabel. Mereka menemukan bahwa masing- masing
variabel kecuali keterlibatan orang tua dapat menjelaskan perbedaan yang signifikan
dalam prestasi akademik.
b) The Prediction Design
Daripada sekadar menghubungkan dua variabel pada satu waktu atau kumpulan
kompleks, peneliti mengantisipasi hasil dengan menggunakan variabel tertentu
sebagai prediktor. Misalnya, pengawas dan kepala sekolah perlu mengidentifikasi
guru yang akan berhasil di sekolahnya. Untuk memilih guru yang mempunyai
peluang keberhasilan yang baik, pengelola dapat mengidentifikasi prediktor
keberhasilan dengan menggunakan penelitian korelasional. Oleh karena itu, studi
prediksi berguna untuk membantu mengantisipasi atau memperkirakan perilaku di
masa depan.
Tujuan dari desain penelitian prediksi adalah untuk mengidentifikasi variabel
yang akan memprediksi suatu hasil atau kriteria. Peneliti mengidentifikasi satu atau
lebih variabel prediktor dan variabel kriteria (atau hasil). Variabel prediktor adalah
variabel yang digunakan untuk membuat perkiraan tentang suatu hasil dalam
penelitian korelasional. Dalam hal memprediksi keberhasilan guru di sekolah,
prediktor mungkin berupa “pendampingan” selama pelatihan guru atau “pengalaman
mengajar selama bertahun-tahun”. Dalam banyak penelitian prediksi, peneliti sering
kali menggunakan lebih dari satu variabel prediktor.
Namun, hasil yang diprediksi dalam penelitian korelasional disebut variabel
kriteria. Contoh, keberhasilan guru adalah variabel kriterianya. Meski lebih daripada
satu hasil yang dapat diprediksi, studi pendidikan pada umumnya hanya mencakup
satu variabel kriteria.
Untuk mengidentifikasi studi prediksi, carilah ciri-ciri berikut:
1) Peneliti biasanya menyertakan kata prediksi dalam judulnya. Mungkin juga ada
dalam pernyataan tujuan atau pertanyaan penelitian.
2) Para peneliti biasanya mengukur variabel prediktor pada satu waktu dan variabel
kriteria pada waktu berikutnya. Oleh karena itu, kita harus memeriksa suatu
penelitian untuk menentukan apakah peneliti memasukkan dimensi “waktu” ke
dalam desainnya. Misalnya, prediktor keberhasilan guru, “pendampingan,” diukur
selama program pelatihan guru siswa, sedangkan “keberhasilan” diukur
kemudian, setelah siswa berperan sebagai guru.
3) Peneliti memperkirakan kinerja masa depan. Mereka biasanya menyatakan
maksud ini dalam pernyataan tujuan atau dalam pertanyaan penelitian. Dalam
pembenaran masalah penelitian, penulis juga menyebutkan maksud mereka
untuk “memprediksi” suatu hasil.
Studi prediksi akan melaporkan korelasi menggunakan uji statistik korelasi,
namun mungkin mencakup prosedur statistik tingkat lanjut. Misalnya, penulis
mungkin tertarik pada beberapa prediktor yang membantu menjelaskan kriteria
tersebut.
Mari kita lihat studi prediksi untuk melihat prosedur yang digunakan peneliti.
Royal dan Rossi (1999) prihatin dengan masalah isolasi guru dan berusaha
mengidentifikasi faktor-faktor yang memprediksi rasa kebersamaan yang lebih baik
bagi guru sekolah menengah. Studi mereka mencakup beberapa prediktor dan satu
kriteria keseluruhan (rasa kebersamaan). Mereka mengumpulkan data dari tiga
sekolah menengah besar dan mengumpulkan beberapa ukuran. Mereka mengukur
rasa kebersamaan dengan menggunakan instrumen yang terdiri dari 85 item yang
mencakup ukuran komunitas terkait siswa, ukuran rekan kerja, dan ukuran terkait
sekolah. Prediktornya adalah variabel yang berkaitan dengan waktu (misalnya, masa
kerja di sekolah), pengaturan kerja (misalnya, tim pendampingan dan pengajar), dan
variabel organisasi sekolah (misalnya, inovasi di sekolah). Dalam konfigurasi variabel
ini, peneliti berasumsi bahwa variabel prediktor beroperasi lebih awal dibandingkan
kriterianya (misalnya, setelah inisiasi inovasi, guru mengembangkan rasa
kebersamaan). Para peneliti mengkorelasikan prediktor-prediktor ini dan variabel-
variabel hasil serta perilakunya.
3. Karakteristik Utama Desain Korelasi
a) Hubungan antar skor
Peneliti korelasi perlu memahami bagaimana skor dapat dikaitkan untuk
menafsirkan makna korelasi. Hal ini memerlukan pemahaman tentang arah
hubungan, bentuk distribusi, derajat asosiasi, dan kekuatannya.
Saat memeriksa grafik, penting untuk mengidentifikasi apakah titik-titik tersebut
tersebar atau apakah terdapat pola di mana titik-titik tersebut bergerak dalam arah
yang sama atau berlawanan. Di sebuah korelasi positif (ditunjukkan dengan
koefisien korelasi “+”), titik-titik bergerak ke arah yang sama; yaitu kapan X
meningkat, begitu juga Y atau alternatifnya, jika X berkurang, begitu juga Y. Di
sebuah korelasi negatif (ditunjukkan dengan koefisien korelasi “-”), titik-titik
bergerak ke arah yang berlawanan; yaitu kapan X meningkat, Y berkurang, dan kapan
X berkurang, Y meningkat. Jika skor pada satu variabel tidak berhubungan dengan
pola apa pun pada variabel lainnya, maka tidak ada hubungan linier yang terjadi.
Peneliti korelasional mengidentifikasi bentuk skor yang diplot sebagai linier atau
non-linier. Misalnya, hubungan linier positif berarti bahwa ketika skor pada satu
variabel meningkat, skor pada variabel lainnya meningkat pada tingkat yang tetap.
Jenis hubungan ini hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan yang mungkin
dihasilkan dari data aktual. Pada kenyataannya, hubungan tersebut dapat mengambil
salah satu bentuk yang ditunjukkan pada Gambar 11.1.

Hubungan Linier Bagian (a) Gambar 11.1 menggambarkan hubungan linier


positif skor, dimana skor rendah (atau tinggi) pada satu variabel berhubungan dengan
skor rendah (atau tinggi) pada variabel kedua. Dalam contoh, skor rendah pada
depresi dikaitkan dengan skor rendah pada jumlah jam penggunaan Internet per
minggu.
Bagian (b) Gambar 11.1 menggambarkan hubungan linier negatif hasilnya,
dimana skor yang rendah pada satu variabel berhubungan dengan skor yang tinggi
pada variabel yang lain. Skor rendah pada depresi, misalnya, mungkin dikaitkan
dengan skor tinggi pada penggunaan Internet, sehingga menunjukkan adanya
hubungan negatif.
Hubungan Tidak Berkorelasi dan Nonlinier Pada bagian (c) Gambar 11.1, kita
melihat sebuah hubungan yang tidak berkorelasi skor. Dalam distribusi ini, variabel-
variabelnya independen satu sama lain. Skor tertentu pada satu variabel tidak
memprediksi atau memberi tahu kita informasi apa pun tentang kemungkinan skor
pada variabel lainnya. Dalam contoh kita, plot skor untuk depresi dan skor untuk
penggunaan Internet tidak teratur, tanpa pola tertentu.
distribusi lengkung (atau hubungan nonlinier ) menunjukkan hubungan berbentuk
U dalam skor. Distribusi pada bagian (d) Gambar 11.1 menunjukkan peningkatan,
stagnasi, dan penurunanY-variabel sumbu dengan meningkatnya nila X variabel -
sumbu. Distribusi pada bagian (e) Gambar 11.1 menunjukkan adanya penurunan,
stagnasi, dan peningkatanY-variabel sumbu, dengan meningkatnya nilai X variabel -
sumbu. Sebagai contoh, ada kemungkinan bahwa seiring dengan meningkatnya
penggunaan Internet, depresi juga akan meningkat, hingga pada titik di mana Internet
benar-benar menjadi mekanisme untuk mengatasi stres dan depresi mulai menurun
(seperti yang diilustrasikan pada bagian [d]).
Contoh lain dari bentuk distribusi ini adalah hubungan antara kecemasan dan poin
yang dicetak dalam pertandingan tenis. Dengan tingkat kecemasan yang rendah pada
awalnya, seorang pemain tenis mungkin akan mencetak banyak poin, namun hal ini
dapat menurun seiring dengan timbulnya rasa cemas. Namun, seiring berjalannya
pertandingan, rasa cemas sebenarnya membantu menjaga pemain tenis tersebut tetap
waspada, dan saat rasa cemas meningkat, performanya justru meningkat. Singkatnya,
plot kecemasan dan poin yang dicetak akan menunjukkan hubungan lengkung (seperti
pada bagian [e] pada Gambar 11.1).
Koefisien korelasi berguna untuk menggambarkan dan mengukur hubungan
antara dua variabel jika asosiasinya linear. Seperti yang ditunjukkan dalam pola
asosiasi pada Gambar 11.1, asosiasi tersebut mungkin berbentuk lengkung (atau
nonlinier). Jika r digunakan untuk memperkirakan hubungan lengkung, hal ini akan
memberikan perkiraan korelasi yang terlalu rendah. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan statistik yang berbeda dengan r untuk menghitung hubungan antar
variabel untuk distribusi lengkung dan untuk menghubungkan data berperingkat.
Peneliti menggunakan Spearman rho (rs) koefisien korelasi untuk data nonlinier
dan untuk jenis data lainnya yang diukur pada skala kategorikal (urutan peringkat).
Ketika kita mengukur satu variabel pada skala kontinu (interval atau rasio) dan
variabel lainnya menggunakan skala kategoris dan dikotomis, maka statistik
korelasinya tidak boleh berupa variabel r yang sama tetapi point-biserial correlation.
Asumsikan bahwa seorang peneliti mengkorelasikan skor interval yang
berkesinambungan pada depresi dengan laki-laki dan perempuan (variabel
dikotomis). Statistik korelasi poin-biserial digunakan dengan mengubah variabel
dikotomis (laki-laki dan perempuan) menjadi skor numerik dengan menetapkan laki-
laki = 1 dan perempuan = 2. Dengan menggunakan angka-angka ini dan rumus untuk
data ordinal, peneliti menghitung koefisien korelasi poin-biserial yang mengukur
derajat dan arah hubungan antara pria dan wanita terhadap depresi.
Variasi dari tema penggunaan berbagai jenis skala dalam menilai hubungan antara
dua variabel adalah koefisien phi. koefisien phi digunakan untuk menentukan derajat
dan arah asosiasi kapan kedua ukuran variabel bersifat dikotomis. Contoh, laki-laki
dan perempuan mungkin berkorelasi dengan penggunaan narkoba (tidak dan ya).
Dalam situasi ini, peneliti juga mengubah kedua variabel dikotomi menjadi nilai
numerik (laki-laki = 1, perempuan = 2, tidak untuk narkoba = 1, ya untuk narkoba =
2) dan kemudian menggunakan rumus koefisien phi untuk mengkonversi skor.
Derajat asosiasi artinya hubungan antara dua variabel atau kumpulan skor
merupakan koefisien korelasi sebesar -1,00 hingga +1,00, dengan 0,00 menunjukkan
tidak ada hubungan linier sama sekali. Hubungan antara dua rangkaian skor
mencerminkan apakah terdapat hubungan yang konsisten dan dapat diprediksi antara
skor tersebut (Gravetter & Wallnau, 2017).
Peneliti korelasional menafsirkan besaran dan arah korelasi. Dengan angka yang
menunjukkan tanda kekuatan dan valensi (yaitu tanda + > -) yang menunjukkan arah
(+1,00 hingga -1,00), statistik memberikan ukuran besarnya hubungan antara dua
variabel. Meskipun korelasi mengukur derajat hubungan, banyak peneliti lebih
memilih mengkuadratkan korelasi dan menggunakan nilai yang dihasilkan untuk
mengukur kekuatan hubungan (Gravetter & Wallnau, 2017). Dalam prosedur ini,
peneliti menghitung koefisien determinasi, yang menilai proporsi variabilitas suatu
variabel yang dapat ditentukan atau dijelaskan oleh variabel kedua. Misalnya, jika
Anda memperolehR= + 0.70 (atau -0,70), mengkuadratkan nilai ini akan
menghasilkan r2= 0,49 (atau 49%). Artinya hampir separuh (49%) variabilitas di Y
dapat ditentukan atau dijelaskan oleh X. Misalnya, kita dapat mengatakan bahwa
tingkat pendidikan orang tua menjelaskan 49% kepuasan siswa terhadap sekolah
(r2= 0,49).
Standar lain untuk menafsirkan kekuatan asosiasi juga ada. Pedoman umum
menunjukkan apakah ukuran koefisien memberikan informasi yang berarti tentang
kekuatan hubungan antara dua variabel. Salah satu panduan tersebut tersedia di
Cohen dan Manion (1994). Pertimbangkan interpretasi berikut dengan ukuran
koefisien berikut:
1) 0.20 – 0.35. Jika korelasi berkisar antara 0,20 hingga 0,35, hanya ada sedikit
hubungan; hubungan ini mungkin sedikit signifikan secara statistik untuk 100
peserta atau lebih. Ukuran koefisien ini mungkin berguna untuk mengeksplorasi
interkoneksi variabel, namun nilainya kecil dalam studi prediksi.
2) 0.35 – 0.65. Jika korelasi berada di atas 0,35, maka korelasi tersebut berguna
untuk prediksi terbatas. Ini adalah nilai tipikal yang digunakan untuk
mengidentifikasi keanggotaan variabel dalam prosedur statistik analisis faktor
(interkorelasi variabel dengan skala), dan banyak koefisien korelasi untuk
hubungan bivariat termasuk dalam area ini.
3) 0.66 – 0.85. Ketika korelasi berada pada kisaran ini, prediksi yang baik dapat
dihasilkan dari satu variabel ke variabel lainnya. Koefisien dalam rentang ini
dianggap sangat baik.
4) 0.86 ke atas. Korelasi dalam kisaran ini biasanya dicapai untuk studi validitas
konstruk atau reliabilitas tes. Faktanya, peneliti ingin korelasi uji reliabilitas dan
validitasnya setinggi ini. Ketika dua variabel atau lebih saling terkait, korelasi
setinggi ini jarang tercapai, dan jika memang demikian, berarti kedua variabel
sebenarnya mengukur sifat mendasar yang sama dan mungkin harus digabungkan
dalam analisis data.
Jika diberi koefisien kekuatan hubungan antara dua variabel, bagaimana kita
mengetahui apakah nilainya bermakna? Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah
dengan menggunakan pengujian signifikansi. Dalam pengujian hipotesis, kita
memilih sampel dan menarik kesimpulan dari sampel ke populasi. Untuk penelitian
korelasional, hipotesis nolnya adalah tidak ada hubungan atau hubungan antara skor
dalam populasi. Pengujian hipotesis ini meliputi penetapan tingkat signifikansi,
penghitungan statistik uji, pemeriksaan apakah nilai koefisien korelasi masuk dalam
wilayah penolakan, dan menolak atau gagal menolak hipotesis nol. Dalam penelitian
korelasional, r2 nilai menyatakan besarnya hubungan antara dua variabel atau
kumpulan skor. Dengan demikian, ini mewakili ukuran dampak — cara lain untuk
menilai besarnya hubungan terlepas dari pengujian hipotesis.
b) Displays of Scores
1) Plot Sebar
Peneliti memplot skor untuk dua variabel pada sebuah grafik untuk
memberikan gambaran visual tentang bentuk skor tersebut. Hal ini
memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi jenis hubungan antar variabel dan
menemukan skor ekstrim. Yang terpenting, plot ini dapat memberikan informasi
berguna tentang bentuk asosiasi tersebut—apakah skornya linier (mengikuti garis
lurus) atau lengkung (mengikuti bentuk U). Hal ini juga menunjukkan arah
asosiasi (misalnya, satu skor naik, dan skor lainnya juga naik) dan derajat
asosiasi (apakah hubungannya sempurna, dengan korelasi 1, 0, atau kurang dari
sempurna).
Plot membantu menilai hubungan antara dua skor bagi peserta. Plot sebar
(atau diagram sebar) adalah gambar bergambar yang ditampilkan pada grafik dua
set skor untuk peserta. Skor ini biasanya diidentifikasi sebagai X dan Y, dengan X
nilai yang diwakili pada sumbu horizontal dan Y nilai yang direpresentasikan
pada sumbu vertikal. Satu titik menunjukkan di mana X dan Y skor berpotongan
untuk satu individu.
Dengan menggunakan skala pada sumbu horizontal (absis) dan sumbu
vertikal (ordinat), peneliti memplot titik-titik pada grafik untuk setiap peserta.
Periksa plot sebar skor pada Gambar 11.2, yang menunjukkan kumpulan data
kecil untuk 10 siswa dan plot visual skor mereka. Asumsikan secara hipotetis
bahwa peneliti korelasional berupaya mempelajari apakah penggunaan Internet
oleh siswa sekolah menengah berhubungan dengan tingkat depresi mereka. (Kita
dapat berasumsi bahwa siswa yang menggunakan Internet secara berlebihan juga
merupakan individu yang mengalami depresi karena mereka berusaha melarikan
diri dan tidak dapat mengatasi keadaan mereka saat ini.) Dari penelitian
sebelumnya, kita memperkirakan situasi ini akan terjadi. Kita mengukur skor
penggunaan Internet dengan menanyakan kepada siswa berapa jam per minggu
yang mereka habiskan untuk mencari di Internet. Kita mengukur skor depresi
individu pada instrumen yang memiliki bukti skor yang valid dan dapat
diandalkan. Asumsikan terdapat 15 pertanyaan tentang depresi pada instrumen
dengan skala penilaian 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Artinya,
skor yang dijumlahkan akan berkisar antara 15 hingga 45. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 11.2, skor hipotetis untuk 10 siswa dikumpulkan dan
diplot pada grafik. Beberapa aspek tentang grafik ini akan membantu Anda
memahaminya:

(a) Variabel “jam penggunaan Internet” diplot pada X sumbu, sumbu horizontal.
(b) Variabel “depresi” diplot pada Y sumbu, sumbu vertikal.
(c) Setiap siswa dalam penelitian ini memiliki dua skor: satu untuk penggunaan
Internet berjam-jam per minggu dan satu untuk depresi.
(d) Tanda (atau titik) pada grafik menunjukkan skor setiap individu dalam hal
depresi dan jam penggunaan Internet setiap minggunya. Ada 10 skor (poin)
pada grafik, satu untuk setiap peserta penelitian.
Skor rata-rata (M) pada setiap variabel juga diplot pada grafik. Para siswa
menggunakan Internet rata-rata 9,7 jam per minggu, dan skor depresi rata-rata
mereka adalah 29,3. Menggambar garis vertikal dan horizontal pada grafik yang
berhubungan dengan skor rata-rata (M), kita dapat membagi plot menjadi empat
kuadran dan memberikan tanda minus (-) pada kuadran yang skornya “negatif”
dan tanda tambah (+) pada kuadran yang skornya “positif”. Dalam contoh kita,
memiliki skor depresi di bawah 29,3 (M) bernilai positif karena hal ini
menunjukkan bahwa siswa dengan skor tersebut mempunyai depresi yang lebih
sedikit. Skor di atas 29,3 (M) menunjukkan depresi yang lebih parah, dan ini
“negatif.” Alternatifnya, menggunakan Internet kurang dari 9,7 (M) jam per
minggu adalah “positif” (yaitu, karena siswa dapat menghabiskan lebih banyak
waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah), sedangkan menghabiskan lebih dari
9,7 jam adalah “negatif” (yaitu, penggunaan pencarian Internet yang berlebihan
akan mengorbankan hal lain). Baik mengalami depresi berat (di atas 29,3 untuk
depresi) maupun sering menggunakan Internet (di atas 9,7 untuk penggunaan
Internet) adalah apa yang mungkin telah kita prediksi berdasarkan literatur
sebelumnya.
Perhatikan tiga aspek penting tentang skor pada plot ini. Pertama, arah skor
menunjukkan kapan X meningkat, Y meningkat juga, menunjukkan hubungan
yang positif. Kedua, titik-titik pada scatter plot cenderung membentuk garis lurus.
Ketiga, titik-titik tersebut akan mendekati garis lurus jika kita menarik garis
melalui semuanya. Ketigagagasan ini berkaitan dengan arah, bentuk asosiasi,
dan derajat hubungan itu kita bisa belajar dari mempelajari plot pencar ini. Kita
akan menggunakan informasi ini nanti ketika kita membahas hubungan antara
skor dalam penelitian korelasi.
2) A Correlation Matrix
Peneliti korelasi biasanya menampilkan koefisien korelasi dalam sebuah
matriks. Matriks korelasi menyajikan tampilan visual koefisien korelasi seluruh
variabel dalam suatu penelitian. Dalam tampilan ini, kami mencantumkan semua
variabel pada baris horizontal dan kolom vertikal dalam tabel. Peneliti korelasi
menyajikan koefisien korelasi dalam matriks dalam laporan penelitian yang
dipublikasikan.
Contohnya dapat dilihat pada Tabel 11.1, yang melaporkan koefisien
korelasi enam variabel dalam studi variabel yang berhubungan dengan kepuasan
sekolah di kalangan siswa sekolah menengah. Perhatikan bahwa keenam
variabel tercantum dalam baris horizontal dan kolom vertikal. Untuk
menyederhanakan tabel, penulis memberikan nomor pada variabel dan hanya
menyertakan nomor pada judul kolom. Koefisien yang berkisar antara -0,33 dan
+0,65 dilaporkan dalam sel dalam tabel. Kita hanya mengisi separuh sel bagian
bawah karena separuh sel di atas diagonal hanya akan mengulangi informasi yang
sama. Terakhir, tanda bintang menunjukkan apakah statistik koefisien berkorelasi
signifikan secara statistik pada p< 0.05 dan p < 0.01 level.
c) Multiple Variable Analysis
1) Korelasi Parsial
Dalam banyak situasi penelitian, kita mempelajari tiga, empat, atau lima
variabel sebagai prediktor hasil. Jenis variabel disebut variabel mediasi “stands
between” variabel independen dan dependen dan mempengaruhi keduanya.
Variabel ini berbeda dengan variabel kontrol yang mempengaruhi hasil suatu
eksperimen. Kita gunakan korelasi parsial untuk menentukan jumlah varians yang
dijelaskan oleh variabel mediasi keduanya variabel independen dan dependen.
Gambaran dua variabel yang diikuti dengan dimasukkannya variabel
ketiga dapat membantu menjelaskan korelasi parsial. Perhatikan Gambar 11.3,
yang menunjukkan korelasi bivariat (dua variabel) di sisi kiri dan analisis korelasi
parsial (tiga variabel) di sisi kanan. Asumsikan bahwa seorang peneliti melakukan
penelitian yang menghubungkan waktu mengerjakan tugas dengan prestasi anak
sekolah menengah. Setelah mengumpulkan skor, peneliti kami menghitung
koefisien korelasi dengan hasil r = .50. Gambar 11.3 menunjukkan hubungan ini
dan juga r2, atau proporsi variansi bersama antara kedua variabel. Namun,
situasinya lebih rumit. Motivasi siswa, variabel ketiga, juga dapat mempengaruhi
waktu siswa dalam mengerjakan tugas dan prestasi mereka di kelas. Peneliti
mengidentifikasi variabel ketiga ini berdasarkan tinjauan literatur dan studi teori
masa lalu yang menunjukkan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi prestasi
siswa. Dalam perancangannya, motivasi perlu dihilangkan agar hubungan antara
waktu mengerjakan tugas dan prestasi dapat ditentukan dengan lebih jelas.
Analisis statistik korelasi parsial digunakan untuk menghilangkan variansi
bersama dalam waktu mengerjakan tugas dan prestasi berdasarkan motivasi.
Perhitungan matematis untuk koefisien ini tersedia di buku statistik; ini
didasarkan pada koefisien korelasi antara ketiga variabel dan variansnya. Area
yang diberi tanda penetasan menunjukkan varians bersama yang tersisa setelah
menghilangkan efek motivasi, dan r2= (0.35)2 sekarang lebih rendah dari korelasi
aslinya r = 0.50.
2) Regresi Berganda
Peneliti korelasi menggunakan statistik korelasi untuk memprediksi skor
di masa depan. Untuk melihat dampak beberapa variabel terhadap suatu hasil,
peneliti menggunakan analisis regresi. Kita akan mulai dengan memahami garis
regresi dan kemudian melanjutkan ke analisis menggunakan regresi.
Garis regresi adalah garis “paling cocok” untuk semua poin skor pada
grafik. Garis ini paling dekat dengan semua titik pada plot dan dihitung dengan
menggambar garis yang meminimalkan kuadrat jarak titik-titik tersebut dari garis.
Perhatikan Gambar 11.4, yang merupakan grafik yang sama dengan yang
digunakan pada Gambar 11.1, yang menunjukkan hubungan antara “jam
penggunaan Internet per minggu” dan “skor depresi” pada siswa sekolah
menengah. Gambar 11.4 sekarang berisi informasi tambahan: lebih detail tentang
garis regresi. Anda dapat melihat bagaimana garis tersebut mendekati semua
titik pada grafik, dan kami menggambarnya secara diagonal yang konsisten
dengan korelasi positif antara penggunaan Internet dan skor depresi.

Perhitungan garis ini memberikan nilai untuk memprediksi skor hasil


(yaitu depresi) dengan pengetahuan tentang prediktornya (yaitu, jam penggunaan
Internet per minggu). Berdasarkan rumus matematika, peneliti dapat menghitung
persamaan yang menyatakan garis berikut:

Y (diprediksi)=b (X )+a
Di mana
Y = skor prediksi pada depresi
X = skor aktual pada jumlah jam penggunaan Internet
b = kemiringan garis regresi (disebut koefisien regresi tidak
terstandarisasi)
a = intersep atau konstanta, nilai prediksi Y (depresi) skor ketika X=0

Kita memperkirakan seseorang yang menggunakan Internet 14 jam per


minggu memiliki skor depresi sebesar 41. Skor ini dapat diperkirakan dengan
menggambar garis vertikal dari skor depresi tersebut. X variabel -sumbu sampai
ke garis regresi dan seterusnya Y variabel -sumbu. Alternatifnya, dengan
menggunakan rumus regresi,

Jikaa=6 , b=2.5 , dan X=14 ,

Kemudian Y (diprediksi) ¿ 2 ,5 (14)+6=41.

Pertimbangkan situasi yang lebih rumit di mana beberapa variabel


independen dapat digabungkan untuk berkorelasi dengan variabel dependen.
Regresi berganda (atau korelasi ganda) adalah prosedur statistik untuk menguji
hubungan gabunganbanyak variabel bebas dengan satu variabel terikat. Dalam
regresi, variasi variabel dependen dijelaskan oleh varians masing-masing variabel
independen (kepentingan relatif masing-masing prediktor) serta pengaruh
gabungan semua variabel independen (proporsi varians kriteria yang dijelaskan
oleh semua prediktor), yang ditunjukkan oleh R2 (Kline, 2016). Mirip dengan
persamaan regresi yang disebutkan sebelumnya, prediksi skor suatu hasil dapat
dihasilkan menggunakan persamaan yang mirip dengan persamaan regresi
sederhana, namun mencakup prediktor tambahan. Persamaannya adalah

Y (diprediksi)=b 1 (X 1 )+ b2 (X 2 )+a

Di mana

Y = skor yang diprediksi


b 1= konstanta kemiringan x 1 (b 2 untuk X 2 ¿
a = intersep

Asumsikan bahwa kemiringan untuk b 1=0 , 24 dan b 2=0 , 19 dan


intersepnya adalah 10,77. Persamaan prediksi kedua variabel independen adalah

Y (diprediksi)=0 .24 (X 1 )+0 .19(X 2)+10 ,77

Jika kita ingin memprediksi skor seseorang pada suatu kuis, misalnya, dari
waktu mengerjakan tugas ( X 1 ) dan pencapaian sebelumnya ( X 2 ), kami akan
mengganti skor mereka pada kedua ukuran tersebut ke dalam rumus. Asumsikan
waktu penyelesaian tugas adalah 10 dan pencapaian sebelumnya adalah 70. Skor
prediksi dari kombinasi dua variabel independen ini adalah

Y (diprediksi)=0 .24 (10)+0 .19(70)+10.77=26.47


Mari kita perluas contoh kita untuk mengilustrasikan beberapa fitur
tambahan regresi. Misalkan waktu mengerjakan tugas, motivasi, pencapaian
sebelumnya dalam bidang mata pelajaran, dan teman sebaya diperkirakan
mempengaruhi pembelajaran (atau prestasi) siswa untuk siswa sekolah menengah
yang berisiko. Kita mungkin ingin tahu bagaimana variabel-variabel inidalam
kombinasi memprediksi pembelajaran siswa. Mengetahui informasi ini mungkin
lebih realistis daripada menentukan korelasi antara waktu mengerjakan tugas dan
prestasi; itu memodelkan dunia kompleks tempat tinggal siswa sekolah
menengah. Singkatnya, terdapat situasi yang rumit, dan kita perlu menentukan
bagaimana setiap variabel secara individu dan kombinasi membantu menjelaskan
variasi dalam pembelajaran siswa. Informasi ini akan membantu kita mengisolasi
faktor-faktor yang dapat diubah di sekolah menengah atau masalah yang harus
ditangani oleh siswa. Periksa tabel regresi yang ditunjukkan pada Tabel 11.2.
Kita dapat menghitung koefisien regresi untuk setiap variabel, menilai
pengaruh gabungan semua variabel, dan memberikan gambaran hasilnya. Atabel
regresimenunjukkan jumlah keseluruhan varians yang dijelaskan dalam suatu
variabel terikat oleh seluruh variabel bebas, disebut R 2 (R kuadrat). Ini juga
menunjukkan bobot regresi kontribusi setiap variabel yang mengendalikan varians
semua variabel lainnya, yang disebut beta untuk setiap variabel.

Pada Tabel 11.2, kita melihat empat variabel prediktor pembelajaran


siswa. Koefisien pada kolom sebelah kanan merupakan bobot beta untuk setiap
variabel independen. Bobot beta adalah koefisien yang menunjukkan besarnya
prediksi suatu variabel setelah menghilangkan pengaruh semua prediktor lainnya.
Koefisien bobot beta mengidentifikasi kekuatan hubungan suatu variabel
prediktor terhadap hasil dan memungkinkan peneliti membandingkan (dalam
data yang berdistribusi normal) kekuatan satu variabel prediktor dengan kekuatan
prediktor lainnya. Koefisien regresi terstandar biasanya digunakan untuk tujuan
memilih variabel dan menilai kepentingan relatifnya (Bring, 1994). Bobot beta
dilaporkan dalam bentuk standar, dan z skor membakukan ukuran sehingga semua
variabel dapat dibandingkan dan diinterpretasikan seperti Pearson r, dengan nilai
biasanya dari +1,00 hingga -1,00. Perhatikan bahwa tabel regresi sering kali
melaporkan B nilai (koefisien yang tidak terstandarisasi), namun nilai-nilai ini,
meskipun berguna dalam rumus prediksi, tidak memungkinkan peneliti
membandingkan kekuatan relatif setiap variabel independen sebagai prediktor
karena nilai tersebut mungkin diberi skor dalam satuan yang berbeda. Misalnya,
satu variabel dapat diberi skor pada skala 5 poin dan variabel lainnya dapat diberi
skor pada skala 3 poin.
Seperti terlihat pada Tabel 11.2, prediktor “prestasi sebelumnya”
menjelaskan variansi terbanyak, diikuti oleh “motivasi”. Di bawah tabel, kita
melihat korelasi kombinasi variabel (korelasi berganda yang ditunjukkan oleh R)
sebesar 0,38 dan proporsi variabilitas yang dijelaskan dalam variabel terikat oleh
semua prediktor (R2) dari 0,14. Ingatlah bahwa nilainya R2, disebutkoefisien
determinasi, mewakili proporsi variabilitas yang dijelaskan oleh variabel
independen dalam variabel dependen. Dalam melaporkan hasil, peneliti
korelasional harus menunjukkan tidak hanya signifikansi statistik dari pengujian
tersebuttetapi juga varians ukuran efek, R2.

4. Potensi Permasalahan Etis Dalam Melakukan Penelitian Korelasi


Penelitian korelasional sangat ideal dalam memberikan konteks, dalam
menangani banyak variabel, dan dalam membangun pola hubungan total (Brown &
Hedges, 2009). Namun, muncul permasalahan etika yang harus dipertimbangkan oleh
peneliti pendidikan. Masalah-masalah ini berkaitan dengan pengumpulan data, analisis
data, serta pelaporan dan penyajian data. Masalah etika dibahas dalam Brown dan
Hedges (2009), Lesser dan Nordenghaug (2004), dan Ramanathan (2006) serta dalam
beberapa teks statistik. Brown dan Hedges (2009) mencurahkan seluruh bagian bab
mereka untuk isu- isu etika dalam meta-analisis.
Dalam analisis data korelasional, tidak etis jika tidak mengukur pengendalian
yang tepat (misalnya usia, jenis kelamin, ras, dan lain-lain). Hal ini terutama menjadi
masalah jika pengendalian yang telah ditunjukkan oleh orang lain dihilangkan. Untuk
membantu mengatasi masalah ini, gunakan model konseptual atau teori untuk memandu
pemilihan variabel untuk pengukuran. Dengan cara ini, semua kemungkinan prediksi
dapat dipertimbangkan. Selain itu, penelitian ini memerlukan ukuran sampel yang cukup
dalam pengumpulan data agar memiliki kekuatan yang memadai dan untuk memenuhi
asumsi yang diperlukan dari uji statistik spesifik yang digunakan dalam penelitian.
Dalam hal analisis data, peneliti pendidikan diperingatkan dalam mengedit data
atau mengarang data. Misalnya, peneliti melanggar etika ketika mereka menyatakan
bahwa mereka telah menemukan sebab dan akibat (atau bahkan kemungkinan sebab dan
akibat) padahal hasilnya hanya menunjukkan pola hubungan. Kegagalan untuk
menganalisis dan melaporkan ukuran efek selain pengujian signifikansi hipotesis nol juga
dapat dianggap tidak etis, karena pedoman ini telah secara jelas ditetapkan dalam
manual American Psychological Association (APA) (APA, 2010b). Selain itu, jumlah
kesalahan pengukuran yang tidak biasa (hasil sampel berbeda dari perkiraan populasi)
dapat menimbulkan keraguan terhadap penggunaan analisis dalam prosedur seperti
analisis faktor. Masalah etika lainnya dalam analisis data adalah perlakuan terhadap
outlier, khususnya keputusan untuk menghilangkan outlier. Peneliti memerlukan alasan
yang jelas untuk menghilangkan outlier dan harus transparan dalam melaporkan alasan
dan prosedur mereka dengan outlier.
Dalam pelaporan dan penyajian data, beberapa masalah etika tambahan berkaitan
dengan penelitian korelasional. Peneliti pendidikan tidak boleh menjiplak perkataan
orang lain, tidak melaporkan temuan yang bertentangan, mempublikasikan bukti yang
sama berkali-kali, dan menghilangkan temuan negatif dan penjelasan alternatif. Pada
tingkat yang lebih luas, etika kerja beasiswa yang baik menunjukkan kesediaan untuk
berbagi data dengan orang lain (terutama di bidang keterampilan penilaian yang berisiko
tinggi bagi siswa), menerbitkan karya seseorang di jurnal ilmiah dan tidak membiarkan
laporan penelitian tidak terpakai di laci kantor, dan memasukkan asumsi filosofis utama
tentang penelitian dalam tulisan.
Dalam meta-analisis, Brown dan Hedges (2009) menunjukkan kekhawatiran etis
dari para peneliti yang gagal mengabstraksi dan menganalisis dengan tepat temuan-
temuan dari berbagai penelitian dan bagaimana hal ini dapat menyebabkan hasil yang
salah. Mereka juga prihatin dengan beragamnya kualitas penelitian korelasional yang
digunakan dalam meta-analisis dan betapa tidak etisnya peneliti untuk mengecualikan
penelitian karena ukuran sampel yang kecil dan hasil yang tidak signifikan.

5. Langkah-Langkah Melakukan Studi Korelasi


a) Tentukan apakah studi korelasi paling baik mengatasi masalah penelitian
Studi korelasional digunakan ketika ada kebutuhan untuk mempelajari suatu
masalah yang memerlukan identifikasi arah dan tingkat hubungan antara dua set
skor. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi jenis hubungan, menjelaskan hubungan
kompleks dari berbagai faktor yang menjelaskan suatu hasil, dan memprediksi hasil
dari satu atau lebih prediktor. Penelitian korelasional tidak “membuktikan” suatu
hubungan; sebaliknya, ini menunjukkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Dalam studi korelasional, Anda mungkin menggunakan hipotesis atau
pertanyaan penelitian. Contoh pertanyaan dalam studi korelasional mungkin sebagai
berikut:
1) Apakah kreativitas berhubungan dengan nilai tes IQ anak SD? (mengasosiasikan
dua variabel)
2) Faktor-faktor apa yang menjelaskan perilaku etis seorang siswa guru selama
pengalaman mengajar siswa? (menjelajahi hubungan yang kompleks)
3) Apakah rangking kelas SMA memprediksi IPK mahasiswa pada semester
pertama kuliah? (ramalan)

Contoh hipotesis untuk studi korelasional adalah:


1) Kreativitas tidak berhubungan dengan nilai tes IQ anak SD. (hubungan antara
dua variasi)
2) Nilai pada Tes Keterampilan Pra-Profesional menjelaskan perilaku etis seorang
siswa guru selama pengalaman mengajar siswa. (menjelajahi hubungan yang
kompleks)
3) Peringkat kelas SMA tidak memprediksi IPK seorang mahasiswa pada semester
pertama kuliah. (ramalan)

b) Identifikasi individu yang akan dipelajari


Idealnya, kita harus memilih individu secara acak untuk menggeneralisasi
hasilnya pada populasi dan meminta izin untuk mengumpulkan data dari otoritas
yang bertanggung jawab dan dari dewan peninjau kelembagaan. Kelompok tersebut
harus berukuran memadai untuk menggunakan statistik korelasional, seperti N = 30;
ukuran yang lebih besar berkontribusi pada varian kesalahan yang lebih sedikit dan
klaim keterwakilan yang lebih baik. Misalnya, seorang peneliti mungkin mempelajari
100 atlet sekolah menengah untuk mengkorelasikan tingkat partisipasi mereka dalam
berbagai olahraga dan penggunaan tembakau. Kisaran skor yang sempit dari suatu
populasi dapat mempengaruhi kekuatan hubungan korelasi. Misalnya, jika kita
melihat hubungan antara tinggi badan pemain bola basket dan jumlah keranjang
dalam suatu permainan, Kita mungkin menemukan hubungan yang kuat di antara
siswa K–12. Namun jika kita memilih pemain National Basketball Association,
hubungan ini mungkin jauh lebih lemah.

c) Identifikasi dua atau lebih ukuran untuk setiap individu dalam studi
Karena ide dasar penelitian korelasional adalah untuk membandingkan peserta
dalam kelompok tunggal berdasarkan dua atau lebih karakteristik, ukuran variabel
dalam pertanyaan penelitian perlu diidentifikasi (misalnya, penelusuran literatur dari
penelitian sebelumnya), dan instrumen yang mengukur variabel perlu diidentifikasi.
didapat. Idealnya, instrumen-instrumen tersebut harus mempunyai validitas dan
reliabilitas yang terbukti. Kita dapat memperoleh izin dari penerbit atau penulis
untuk menggunakan instrumen tersebut. Biasanya, satu variabel diukur pada setiap
instrumen, namun satu instrumen mungkin memuat kedua variabel yang
dikorelasikan dalam penelitian.
d) Kumpulkan data dan pantau potensi ancaman
Langkah selanjutnya adalah mengelola instrumen dan mengumpulkan setidaknya
dua set data dari masing-masing individu. Desain penelitiannya agak sederhana
sebagai presentasi visual. Dua skor data dikumpulkan untuk setiap individu hingga
kita memperoleh skor dari setiap orang dalam penelitian.
e) Analisis data dan sajikan hasilnya
Tujuan dalam penelitian korelasional adalah untuk menggambarkan derajat
hubungan antara dua variabel atau lebih. Penyelidik mencari pola tanggapan dan
menggunakan prosedur statistik untuk menentukan kekuatan hubungan serta
arahnya. Hubungan yang signifikan secara statistik, jika ditemukan, tidak berarti
sebab-akibat (sebab-akibat) melainkan hanya hubungan antar variabel. Prosedur yang
lebih ketat, seperti yang digunakan dalam eksperimen, dapat memberikan kontrol
yang lebih baik dibandingkan dengan yang digunakan dalam studi korelasional.
Analisis dimulai dengan pengkodean data dan mentransfernya dari instrumen ke
dalam file komputer. Kemudian peneliti perlu menentukan statistik yang tepat untuk
digunakan. Pertanyaan awal adalah apakah data tersebut berhubungan secara linier
atau lengkung. Plot sebar skor (jika studi bivariat) dapat membantu menentukan
pertanyaan ini. Selain itu, pertimbangkan hal berikut:
1) Apakah hanya satu variabel prediktor yang dipelajari (koefisien korelasi Pearson)
2) Apakah suatu variabel mediasi menjelaskan variabel prediktor dan kriteria serta
perlu dikontrol (koefisien korelasi parsial)
3) Apakah perlu dipelajari lebih dari satu variabel prediktor untuk menjelaskan
variabilitas suatu variabel kriteria (koefisien regresi berganda)

Berdasarkan uji statistik yang paling tepat, peneliti selanjutnya menghitung


apakah statistik tersebut signifikan berdasarkan skor. Misalnya, aPNilai diperoleh
dalam studi bivariat dengan melakukan hal berikut:
1) Mengatur tingkat alfa
2) Menggunakan nilai-nilai kritis dari sebuahRtabel, tersedia di banyak buku
statistik
3) Menggunakan derajat kebebasan N=2
4) Menghitung yang diamatiRkoefisien dan membandingkannya denganR-nilai kritis
5) Menolak atau gagal menolak hipotesis nol pada tingkat signifikansi tertentu.

Selain itu, berguna juga untuk melaporkan ukuran efek ( r 2). Dalam analisis
korelasional, ukuran umum dari besaran pengaruh adalah koefisien korelasi Pearson
yang dikuadratkan. Dalam merepresentasikan hasil, peneliti korelasional akan
menyajikan matriks korelasi seluruh variabel serta tabel statistik (untuk studi regresi)
yang melaporkan nilai R dan R2 dan bobot beta untuk setiap variabel.
f) Interpretasikan hasilnya
Langkah terakhir dalam melakukan penelitian korelasional adalah menafsirkan
makna hasil. Hal ini memerlukan pembahasan besaran dan arah hasil dalam studi
korelasional, mempertimbangkan dampak variabel mediasi dalam studi korelasi
parsial, menafsirkan bobot regresi variabel dalam analisis regresi, dan
mengembangkan persamaan prediktif untuk digunakan dalam studi prediksi.

B. Causal Comparative research

C. Survei Designs
1. Pengertian Survei Research Designs
Survei Research Designs adalah prosedur dalam penelitian kuantitatif di mana
peneliti melakukan survei terhadap sampel atau seluruh populasi untuk
menggambarkan sikap, pendapat, perilaku, atau karakteristik populasi. Peneliti
mengumpulkan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner atau wawancara dan
menganalisis data secara statistik untuk menggambarkan tren tentang respons terhadap
pertanyaan dan untuk menguji pertanyaan atau pertanyaan penelitian.
Survei Designs berbeda dari penelitian eksperimental karena tidak melibatkan
perlakuan yang diberikan peneliti kepada partisipan. Karena survey researchers tidak
memanipulasi kondisi secara eksperimental, mereka tidak dapat menjelaskan sebab dan
akibat sebaik peneliti eksperimental. Sebaliknya, studi survei menggambarkan tren data
dibandingkan memberikan penjelasan yang teliti. Survey researchers memiliki banyak
kesamaan dengan desain korelasional. Peneliti survei sering kali mengkorelasikan
variabel, namun fokus mereka lebih diarahkan pada pembelajaran tentang suatu
populasi dan bukan pada menghubungkan variabel atau memprediksi hasil, seperti fokus
dalam penelitian korelasional.
Survei Research bertujuan untuk menggambarkan tren, seperti minat masyarakat
terhadap masalah obligasi sekolah atau tren negara bagian atau nasional tentang
suatu kebijakan dan juga penelitian survei digunakan untuk menentukan pendapat
individu tentang isu-isu kebijakan, seperti apakah siswa memerlukan pilihan
sekolah untuk bersekolah dan survei membantu mengidentifikasi keyakinan dan
sikap penting individu.

2. Jenis-jenis Survei Designs


a) Cross-Sectional Survey Designs
Peneliti mengumpulkan data pada satu titik waktu. Misalnya, ketika siswa
sekolah menengah menyelesaikan survei tentang ejekan, mereka mencatat data
tentang pandangan mereka saat ini. Desain ini memiliki keuntungan dalam mengukur
sikap atau praktik serta memberikan informasi dalam waktu singkat, seperti waktu
yang diperlukan untuk melaksanakan survei dan mengumpulkan informasi. Studi
cross-sectional bisa meneliti sikap, keyakinan, opini, atau praktik. Sikap, keyakinan,
dan pendapat adalah cara di mana individu berpikir tentang suatu permasalahan,
sedangkan praktik adalah perilaku aktual mereka.
b) Desain Survei Longitudinal
Alternatif untuk menggunakan desain cross-sectional adalah mengumpulkan
data dari waktu ke waktu dengan menggunakan desain survei longitudinal. Desain
survei longitudinal melibatkan prosedur survei untuk mengumpulkan data tentang
tren dengan populasi yang sama, perubahan dalam kelompok sub populasi, atau
perubahan dalam kelompok panel dari individu yang sama dari waktu ke waktu. Jadi,
dalam desain longitudinal, partisipannya bisa saja orang yang berbeda atau sama.
Contoh penelitian terhadap orang yang sama adalah penelitian tentang lulusan
sekolah menengah atas dan pekerjaan mereka saat ini (misalnya pelajar, pekerja
layanan makanan, atau agen asuransi) 1, 2, dan 5 tahun setelah kelulusan. Contoh
lain dari desain longitudinal adalah tindak lanjut lulusan suatu program atau sekolah
untuk mempelajari pandangan mereka tentang pengalaman pendidikan mereka.
Beberapa jenis desain longitudinal tersedia bagi peneliti pendidikan, termasuk desain
trend, cohort, dan panel (Babbie, 2013).
1) Studi Tren
Dalam beberapa survei, peneliti bertujuan untuk mempelajari perubahan
dalam beberapa populasi umum selama periode waktu tertentu (Babbie, 2013).
Bentuk penelitian longitudinal ini disebut studi tren. Studi trenadalah desain
survei longitudinal yang melibatkan identifikasi suatu populasi dan memeriksa
perubahan dalam populasi tersebut dari waktu ke waktu. Contoh populer dari
desain ini adalah Gallup Poll, yang digunakan selama pemilu untuk memantau
tren populasi pemilih mulai dari pemilu pendahuluan hingga pemilu final. Jika
diterapkan pada pendidikan, jenis penelitian ini mungkin berfokus pada siswa
sekolah menengah atas (suatu populasi) dan mempelajari tren sikap mereka
terhadap pacaran selama tahun 2001, 2002, dan 2003. Dalam penelitian ini,
berbagai siswa senior dilibatkan dalam penelitian ini dipelajari setiap tahun,
namun semuanya mewakili populasi yang sama (siswa sekolah menengah atas).
Peneliti dapat menggunakan data ini untuk menilai bagaimana tren berubah
seiring waktu.
2) Studi Cohort
Daripada mempelajari tren perubahan dalam suatu populasi, peneliti
mungkin tertarik untuk mengidentifikasi subpopulasi dalam populasi, yang
disebut kelompok yang mempunyai ciri khas yang sama. Kelompok belajar
adalah desain survei longitudinal di mana peneliti mengidentifikasi subpopulasi
berdasarkan beberapa karakteristik tertentu dan kemudian mempelajari
subpopulasi tersebut dari waktu ke waktu. Semua anggota kelompok harus
memiliki ciri-ciri yang sama, seperti berusia 18 tahun pada tahun 2001. Jika usia
merupakan ciri khas tersebut, maka peneliti akan mempelajari kelompok tersebut
seiring bertambahnya usia anggota kelompok. Misalnya, sekelompok anak berusia
18 tahun diteliti pada tahun 2001. Lima tahun kemudian (2006), sekelompok anak
berusia 23 tahun diteliti. (Mereka mungkin merupakan individu yang sama atau
mungkin tidak sama dengan yang diteliti pada tahun 2001.) Lima tahun setelah itu
(pada tahun 2011), sekelompok anak berusia 28 tahun diteliti. Walaupun setiap
individu yang diteliti mungkin berbeda, mereka harus berusia 18 tahun pada
tahun 2001 untuk memenuhi syarat sebagai perwakilan kelompok kohort.
3) Studi Panel
Jenis desain survei longitudinal yang ketiga adalah desain studi panel.
Berbeda dengan studi tren dan studi cohort, studi panel adalah desain survei
longitudinal di mana peneliti memeriksa orang yang sama dalam kurun waktu
tertentu. Siswa sekolah menengah atas yang belajar pada tahun 1998 akan
menjadi orang yang sama yang belajar pada tahun 2000, 1 tahun setelah lulus, dan
lagi pada tahun 2002, 2 tahun setelah lulus. Salah satu kelemahan desain panel
adalah individu mungkin sulit ditemukan, terutama 2 tahun setelah lulus SMA.
Namun, keuntungan dari jenis penelitian ini adalah bahwa individu yang diteliti
akan selalu sama, sehingga memungkinkan peneliti untuk menentukan perubahan
aktual pada individu tertentu. Oleh karena itu, studi panel adalah yang paling ketat
dari ketiga desain longitudinal.
Mari kita lihat studi aktual di mana dua penulis menggunakan desain panel
memanjang untuk mengkaji bagaimana remaja dengan ketidakmampuan belajar
melakukan transisi dari sekolah teknik kejuruan ke dunia kerja (Shapiro & Lentz,
1991). Para penulis mensurvei dua kelompok siswa sekolah menengah atas: satu
dengan ketidakmampuan belajar dan satu lagi tanpa ketidakmampuan belajar.
Mereka disurvei pada saat kelulusan dan pada interval 6, 12, dan 24 bulan setelah
kelulusan untuk studi tentang pekerjaan dan pengalaman hidup mereka. Survei
dikirimkan kepada para senior yang lulus pada tahun 1986 dan 1987. Saat wisuda,
kedua kelompok mempunyai rencana masa depan yang sangat mirip. Namun,
hanya 50% dari individu dengan ketidakmampuan belajar yang mengindikasikan
bahwa mereka memiliki rencana masa depan yang spesifik setelah lulus.
Kelompok dengan ketidakmampuan belajar juga memiliki tingkat partisipasi
pendidikan setelah sekolah menengah yang lebih rendah dibandingkan kelompok
lainnya. Selain itu, hanya sekitar setengah dari seluruh siswa yang diteliti bahwa
pelatihan mereka di sekolah menengah atas berkaitan dengan pekerjaan mereka
setelah lulus.

3. Karakteristik Utama Penelitian Survei


a) Populasi dan Sampel
Peneliti survei biasanya memilih dan mempelajari sampel dari suatu populasi
dan menggeneralisasikan hasil dari sampel tersebut ke populasi. Pertama-tama kita
perlu mendefinisikan tiga istilah: populasi, populasi sasaran atau kerangka sampel,
dan sampel.
1) Populasi
Populasi adalah sekelompok individu yang mempunyai suatu ciri yang
membedakannya kelompok lain.
2) Populasi sasaran
Daftar unit pengambilan sampel yang sebenarnya dari mana sampel dipilih.
3) Sampel
Sampel adalah kelompok peserta dalam penelitian yang dipilih dari populasi
sasaran yang kemudian digeneralisasi oleh peneliti
Pada tingkat yang paling luas adalah populasi, dimana sekelompok individu
mempunyai suatu ciri yang membedakannya dengan kelompok lain. Misalnya, kita
mungkin memiliki populasi yang terdiri dari guru sekolah menengah atas, individu
yang semuanya mengajar di sekolah menengah atas, atau individu yang menduduki
posisi kepala di semua tingkatan sekolah pendidikan. Pada tingkat yang lebih
spesifik, peneliti tidak selalu mempelajari keseluruhan populasi karena mereka tidak
dapat mengidentifikasi individu atau karena mereka tidak dapat memperoleh daftar
nama. (Daftar digunakan ketika mengirimkan kuesioner.) Secara praktis dan
operasional, peneliti mempelajari populasi target (kadang-kadang disebut kerangka
pengambilan sampel). Misalnya, peneliti mungkin memperoleh daftar semua guru
sekolah menengah atas di satu distrik sekolah. Daftar ini merupakan populasi sasaran
atau kerangka sampel. Dari populasi sasaran, peneliti memilih sampel. Pada tingkat
yang paling spesifik, peneliti memilih Sampel dari populasi sasaran. Individu-
individu ini adalah orang-orang yang diteliti.
Bentuk pengambilan sampel yang paling ketat adalah dengan menggunakan
pengambilan sampel secara acak dengan menggunakan prosedur seperti
menggunakan tabel angka acak. Dalam proses ini, peneliti memilih sampel yang
mewakili populasi sehingga klaim atau kesimpulan dapat ditarik dari sampel ke
populasi. Dalam penelitian survei, penting untuk memilih sampel sebesar mungkin
agar sampel tersebut menunjukkan karakteristik yang serupa dengan populasi sasaran.
Selain itu, dalam survei penelitian, terkadang sulit untuk mendapatkan daftar
populasi sasaran yang baik. Misalnya, daftar individu yang tergabung dalam
kelompok sekolah menengah atau semua individu kidal tidak akan mudah diperoleh.
Namun dalam banyak kasus, populasi sasaran dapat diidentifikasi untuk diteliti, dan
setelah beberapa kali mencoba, daftar individu yang tepat untuk populasi sasaran
dapat disusun. Dalam penelitian survei juga dimungkinkan untuk mempelajari
seluruh populasi karena jumlahnya kecil (misalnya, anggota dewan literasi di suatu
negara bagian) dan dapat dengan mudah diidentifikasi. Jenis studi survei ini kadang-
kadang disebut studi sensus, memungkinkan penarikan kesimpulan mengenai
keseluruhan populasi. Oleh karena itu, pengambilan sampel secara acak, pengujian
hipotesis, dan penggunaan statistik inferensial tidak diperlukan. Untuk jenis
penelitian ini, peneliti survei hanya melaporkan statistik deskriptif tentang
keseluruhan populasi.
Namun, ketika peneliti memilih sampel dari suatu populasi, faktor-faktor
tertentu dapat membatasi kemampuan peneliti survei untuk menarik kesimpulan
yang valid dari sampel ke populasi. Salant dan Dillman, 1994) mengidentifikasi
beberapa faktor dalam penelitian survei yang baik yang dapat mengganggu penarikan
kesimpulan berikut:
1) Untuk mengurangi kesalahan, miliki daftar kerangka pengambilan sampel yang
baik untuk memilih individu. Jika peneliti menggunakan daftar yang baik dan
lengkap, cakupan populasinya cukup merata dan tidak rawan kesalahan.
2) Untuk mengurangi kesalahan pengambilan sampel, pilih sampel sebanyak
mungkin dari populasi. Semakin besar sampelnya, maka semakin banyak pula
partisipan yang mewakili seluruh populasi dan mencerminkan sikap, keyakinan,
praktik, dan tren populasi. Sadarilah bahwa semua sampel yang dipilih hanyalah
perkiraan nilai populasi.
3) Untuk mengurangi kesalahan pengukuran, gunakan instrumen yang baik, dengan
pertanyaan yang jelas dan tidak ambigu dalam melakukan tindakan dan respons.
Instrumen seperti ini akan mendorong individu untuk merespon dan menjawab
dengan benar.
4) Untuk mengurangi kesalahan nonrespons, gunakan prosedur administrasi yang
ketat untuk mencapai sebagai tingkat pengembalian sebesar mungkin.
b) Kuisoner dan Wawancara
Meskipun ada banyak bentuk survei yang berbeda, peneliti survei biasanya
mengumpulkan data menggunakan dua bentuk dasar yaitu kuesioner dan wawancara.
Peneliti perlu mempertimbangkan bentuk- bentuknya dan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita dapat membedakan bentuk-
bentuk ini dengan memeriksa siapa yang melengkapi atau mencatat data pada
instrumen: peserta (ditelepon responden atau orang yang diwawancarai) atau peneliti
(lihat Gambar 12.3). A daftar pertanyaan adalah formulir yang digunakan dalam
desain survei yang diisi oleh peserta penelitian dan dikembalikan kepada peneliti.
Peserta memilih jawaban atas pertanyaan dan memberikan informasi dasar pribadi
atau demografis. Dalam wawancara survei, formulir yang digunakan peneliti untuk
mencatat jawaban yang diberikan oleh partisipan dalam penelitian. Peneliti
mengajukan pertanyaan dari panduan wawancara, mendengarkan jawaban atau
mengamati perilaku, dan mencatat tanggapan terhadap survei. Prosedur wawancara
kuantitatif yang dibahas di sini berbeda dengan wawancara kualitatif. Di dalam
wawancara survei kuantitatif, peneliti menggunakan wawancara terstruktur atau semi
terstruktur yang sebagian besar terdiri dari pertanyaan tertutup, memberikan opsi
respons kepada orang yang diwawancarai, dan mencatat respons mereka. Di dalam
wawancara survei kualitatif, seorang pewawancara mengajukan pertanyaan terbuka
tanpa pilihan jawaban dan mendengarkan serta mencatat komentar orang yang
diwawancarai.
Beberapa jenis kuesioner dan wawancara digunakan dalam penelitian survei
kuantitatif yang digunakan dalam pendidikan:
1) Mailed questionnaires
Mailed questionnaires merupakan suatu bentuk pengumpulan data dalam
penelitian survei yang mana peneliti mengirimkan kuesioner kepada anggota
sampel. Peneliti mungkin akan mengembangkan kuesioner mereka sendiri,
memodifikasi kuesioner yang sudah ada, atau gunakan satu yang mereka miliki
di literatur. Prosesnya terdiri dari mencari atau mengembangkan kuesioner,
mengirimkannya ke sampel populasi, menggunakan kontak berulang dengan
sampel untuk mendapatkan nilai tinggi tingkat respons, memeriksa potensi bias
dalam tanggapan, dan menganalisis data.
Kuesioner yang dikirimkan dapat melalui pos, email, WA dan Sosmed
lainnya. Adapun kelemahannya yaitu karena peneliti tidak mempunyai sarana
untuk menjelaskan pertanyaan dan peserta mungkin salah menafsirkan item
survei.
2) Kuesioner berbasis web
Dengan meningkatnya penggunaan situs Web dan Internet, kuesioner
berbasis web menjadi populer. Kuesioner berbasis web adalah instrumen survei
untuk mengumpulkan data yang tersedia di laptop/komputer/tablet/ipad.
Beberapa program perangkat lunak tersedia untuk merancang, mengumpulkan,
dan menganalisis data survei dengan contoh pertanyaan dan formulir
(https://www.qualtrics.com/core-xm/survey-software/ atau SurveyMonkey: The
World’s Most Popular Free Online Survey Tool, Google Formulir).
Peneliti pendidikan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
menggunakan survei berbasis web. Sisi positifnya, survei semacam itu dapat
mengumpulkan data ekstensif dengan cepat, menggunakan formulir yang sudah
teruji dan contoh pertanyaan daripada harus merancangnya, dan memanfaatkan
ekstensifnya penggunaan Web oleh individu-individu saat ini, termasuk
penggunaannya sebagai situs jejaring sosial. Namun penulis seperti Sills dan Song
(2002) mengangkat hal penting yaitu masalah metodologis yang perlu
dipertimbangkan oleh peneliti survei pendidikan. Mereka khawatir dengan
rendahnya tingkat respons dari email dan survei berbasis web. Yang berkontribusi
terhadap masalah ini adalah pengambilan sampel yang tidak acak, masalah
teknologi, masalah keamanan, dan masalah dengan email (spam). Mereka
mencatat bahwa pengguna Internet sering mengubah alamat email. Seringkali
survei tidak didasarkan pada pengambilan sampel secara acak, sehingga sulit
untuk menarik kesimpulan dari populasi umum. Survei berbasis web mungkin
bias terhadap kelompok demografi tertentu yang cenderung menggunakan
komputer. Di sisi lain, survei Web memungkinkan survei yang efektif dan
ekonomis terhadap seluruh populasi dan dengan demikian menghindari masalah
inferensi.
3) One-on-one interviews
One-on-one interviews adalah salah satu bentuk pengumpulan data survei.
Di dalam One-on-one interviews dalam penelitian survei, peneliti melakukan
wawancara dengan individu dalam sampel dan mencatat tanggapan terhadap
pertanyaan tertutup. Prosesnya melibatkan pengembangan atau penempatan
instrumen dan pelatihan pewawancara dalam prosedur wawancara yang baik.
Pelatihan ini terdiri dari belajar bagaimana memberikan instruksi saat
wawancara, menjaga kerahasiaan wawancara, menanyakan pertanyaan yang tepat
pada panduan wawancara, menyelesaikan wawancara dalam waktu yang
ditentukan, bersikap sopan, dan tidak menyela pendapat pribadi dalam
wawancara. Ketika pewawancara lebih dari satu digunakan, peneliti melatih
semua individu untuk menggunakan prosedur yang sama sehingga cara
pelaksanaannya tidak menimbulkan bias dalam penelitian.
One-on-one interviews berguna untuk mengajukan pertanyaan sensitif dan
memungkinkan orang yang diwawancarai mengajukan pertanyaan atau
memberikan komentar yang melampaui pertanyaan awal. Wawancara
menghasilkan tingkat respons yang tinggi karena peneliti menjadwalkan
wawancara terlebih dahulu dan peserta sampel biasanya merasa berkewajiban
untuk menyelesaikan wawancara. Namun, One-on-one interviews tidak
melindungi anonimitas partisipan seperti yang dilakukan oleh pembuat kuesioner.
Peneliti juga mungkin berprasangka terhadap jawaban peserta, baik secara sadar
atau tidak, melalui komentar atau bahasa tubuh. Selain itu, tidak semua orang
yang diwawancarai merasa nyaman mengungkapkan informasi tentang dirinya
selama wawancara.
4) Focus group interviews
Alternatif untuk wawancara satu lawan satu adalah dengan melakukan
survei pada kelompok terfokus. Secara kuantitatif wawancara kelompok terfokus
dalam penelitian survei, peneliti menemukan atau mengembangkan instrumen
survei, mengumpulkan sekelompok kecil orang (biasanya kelompok
beranggotakan empat hingga enam orang) yang dapat menjawab pertanyaan, dan
mencatat komentar mereka terhadap instrumen tersebut. Misalnya, kelompok ini
mungkin terdiri dari orang tua yang mengevaluasi kurikulum matematika atau
sains baru di sekolah. Selama proses seperti ini, peneliti mengajukan pertanyaan
kelompok pada instrumen dan mencatat atau mencatat percakapan kelompok.
Kelompok terfokus melakukan interaksi di antara orang yang diwawancarai,
pengumpulan data ekstensif, dan partisipasi semua individu dalam kelompok
(Krueger & Casey, 2009). Kerugian dari wawancara kelompok terfokus adalah
bahwa wawancara ini mengharuskan peneliti untuk menemukan konsensus
mengenai pertanyaan- pertanyaan sehingga satu skor dapat ditandai untuk
semua individu dalam kelompok. Selain itu, beberapa individu mungkin
mendominasi pembicaraan, sehingga menghasilkan tanggapan yang tidak
mencerminkan konsensus kelompok.
5) Telephone interviews
Di dalam survei telephone interviews, peneliti mencatat komentar peserta
terhadap pertanyaan pada instrumen melalui telepon. Peneliti mengembangkan
atau menemukan instrumen, memperoleh nomor telepon partisipan dalam
sampel, melakukan penelitian panggilan telepon, dan meminta peserta menjawab
pertanyaan pada instrumen. Telephone interviews memungkinkan peneliti
mengakses dengan mudah orang yang diwawancarai yang tersebar secara
geografis. Namun, peneliti tidak dapat melihat adanya komunikasi nonverbal di
pihak partisipan, dan orang sering kali tidak menyukai kontak telepon karena
pengalaman pribadi mereka yang sebelumnya menerima panggilan dari
perusahaan survei yang meminta informasi.
c) Desain Intrument
Merancang instrumen survei yang baik merupakan proses yang menantang
dan kompleks. Kita harus terlebih dahulu mempertimbangkan apakah instrumen
survei tersedia untuk mengukur variabel. Kita mungkin juga mempertimbangkan
untuk memodifikasi instrumen yang sudah ada. Jika tidak satu pun dari pendekatan
ini berhasil, rancang instrumen Anda sendiri. Ketika peneliti survei merancang
instrumen pengumpulan data, mereka biasanya melakukan langkah-langkah berikut:
1) Tulis berbagai jenis pertanyaan termasuk pertanyaan pribadi, sikap, dan perilaku,
pertanyaan sensitif dan pertanyaan tertutup serta terbuka.
2) Gunakan strategi untuk konstruksi pertanyaan yang baik.Hal ini mencakup
penggunaan bahasa yang jelas, memastikan pilihan jawaban tidak tumpang tindih,
dan mengajukan pertanyaan yang dapat diterapkan oleh semua peserta.
3) Uji coba atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ini terdiri dari pemberian instrumen
kepada sejumlah kecil individu dan membuat perubahan berdasarkan umpan
balik mereka.

4. Potensi Masalah Etis dalam Penelitian Survei


Masalah etika muncul dalam penelitian survei pada proses-proses tertentu dalam
penelitian, seperti dalam pengumpulan data, dalam menganalisis hasil, dan dalam
melaporkan hasil. Fowler (2009) memberikan perhatian rinci terhadap fase-fase dalam
proses survei ini dan isu-isu etika yang ditimbulkannya. Pada awalnya, perlu dicatat
bahwa penelitian survei sering kali dikecualikan dari tinjauan terperinci oleh dewan
peninjau kelembagaan kecuali jika penelitian tersebut membahas topik-topik sensitif atau
melibatkan penelitian dengan populasi sensitif. Peneliti survei dapat menggunakan
insentif untuk mendorong individu berpartisipasi dalam penelitian, namun insentif ini
tidak boleh terlalu besar sehingga menjadi tidak etis bagi partisipasi individu. Jelasnya,
praktik etika yang baik mengharuskan peneliti survei untuk tidak melebih-lebihkan
manfaat dari berpartisipasi dan memberikan manfaat yang dijamin.
Tanggung jawab etis melekat pada peneliti survei yang melibatkan pewawancara
untuk terjun ke lapangan dan mengumpulkan informasi. Peneliti tidak boleh
menempatkan pewawancara dalam risiko demi keselamatan mereka atau
menempatkan pewawancara pada posisi yang menipu, menyesatkan, atau tidak akurat.
Prosedur yang masuk akal harus digunakan oleh pewawancara untuk menjaga keamanan
mereka.
Peserta responden juga harus tetap aman. Apa yang peneliti pelajari dari
responden survei tidak boleh dibagikan di luar tim peneliti. Kerahasiaan tanggapan harus
dilindungi, seperti meminimalkan hubungan antara jawaban dan identitas peserta tertentu.
Tautan antara jawaban dan partisipan hendaknya dibuat dengan nomor ID yang hanya
diketahui oleh peneliti atau tim peneliti. Dalam menganalisis data, peneliti survei harus
berhati-hati dalam melaporkan sebagian kecil hasil yang akan mengungkapkan identitas
individu tertentu. Selain itu, ketika proyek selesai, peneliti bertanggung jawab atas
pemusnahan instrumen survei, dengan mengingat bahwa kuesioner dan catatan dapat
diminta oleh pengadilan (kecuali petisi kerahasiaan diajukan ke pengadilan).

5. Langkah-Langkah Melakukan Penelitian Survei


a) Putuskan apakah survei merupakan desain terbaik untuk digunakan.
Kita perlu memutuskan apakah penelitian survei adalah desain terbaik untuk
digunakan dalam penelitian ini. Survei membantu menggambarkan tren suatu
populasi atau menggambarkan hubungan antar variabel atau membandingkan
kelompok. Contoh dimana survei paling cocok adalah untuk menilai tren atau
karakteristik suatu populasi; belajar tentang sikap, opini, keyakinan, dan praktik
individu; mengevaluasi keberhasilan atau efektivitas suatu program; atau
mengidentifikasi kebutuhan komunitas.
Ada beberapa keuntungan menggunakan survei yaitu :
1) Dapat mengelolanya dalam waktu singkat, ekonomis sebagai sarana pengumpulan
data, dan dapat menjangkau populasi yang tersebar secara geografis.
2) Dapat menyelidiki peserta secara anonim tanpa membiaskan tanggapan mereka.
Namun, data survei terdiri dari informasi yang dilaporkan sendiri, yang hanya
melaporkan apa yang dipikirkan masyarakat, bukan apa yang mereka lakukan.
Kadang-kadang tingkat responsnya rendah, dan peneliti tidak dapat mengklaim
keterwakilan hasilnya di mata masyarakat. Seperti disebutkan sebelumnya,
survei tidak mengontrol banyak variabel yang mungkin menjelaskan hubungan
antara variabel independen dan dependen dan tidak memberikan fleksibilitas
kepada peserta dalam menanggapi pertanyaan (kecuali pertanyaan terbuka
disertakan).
b) Identifikasi pertanyaan penelitian atau hipotesis
Kita dapat menjawab pertanyaan penelitian dan hipotesis dalam desain
survei. Survei cocok untuk pengujian hipotesis karena akan mempelajari sampel
untuk menarik kesimpulan terhadap suatu populasi. Bentuk pertanyaan penelitian
atau hipotesis adalah yang melakukan hal-hal berikut:
1) Jelaskan karakteristik atau tren suatu populasi, seperti frekuensi penggunaan
tembakau di kalangan siswa sekolah menengah laki-laki
2) Bandingkan kelompok dalam hal atribut tertentu, seperti perbandingan guru
dan administrator tentang sikap terhadap hari pembelajaran "dalam jabatan"
3) Hubungkan dua atau lebih variabel Misalnya, survei terhadap guru untuk
menghubungkan "kelelahan" dengan jumlah tahun mengajar
c) Identifikasi populasi, kerangka sampling, dan sampel
Proses penelitian survei diawali dengan identifikasi populasi. Langkah ini
memerlukan pendefinisian populasi, penentuan jumlah orang di dalamnya, dan
penilaian apakah kita dapat memperoleh daftar nama (yaitu kerangka sampling)
untuk sampel. Selain itu, populasi mungkin perlu distratifikasi sebelum
pengambilan sampel sehingga karakteristik populasi tertentu (misalnya laki-laki
dan perempuan) terwakili dalam sampel.
Setelah mengidentifikasi populasi sasaran dan menyusun daftar
anggotanya, kita dapat memilih sampel, sebaiknya menggunakan prosedur
pengambilan sampel acak. Anda perlu mengidentifikasi ukuran sampel yang
memadai, menggunakan rumus kesalahan pengambilan sampel.
d) Menentukan desain survei dan prosedur pengumpulan data
Peneliti juga harus menentukan apakah studi survei akan bersifat cross
sectional atau longitudinal. Keputusan untuk menggunakan desain longitudinal
atau cross-sectional berkaitan dengan sifat dari desain tersebut dengan masalah
yang diteliti, akses ke partisipan, dan waktu yang tersedia bagi peneliti untuk
pengumpulan data. Misalnya, pembelajaran tentang perkembangan jangka
panjang keterampilan sosial remaja di sekolah memerlukan pengamatan remaja
dari waktu ke waktu dan mencurahkan banyak waktu untuk pengumpulan data.
Sebaliknya, mengkaji sikap orang tua terhadap disiplin di sekolah memerlukan
studi cross-sectional pada satu waktu untuk menilai sikap dengan segera dan
cepat.
Pertimbangkan juga apakah pengumpulan data akan didasarkan pada
kuesioner (melalui pos atau elektronik) atau wawancara (individu, kelompok
terfokus, atau telepon) dan pertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-
masing kuisoner.
e) Kembangkan atau temukan instrumen
Kita memerlukan suatu instrumen untuk mengumpulkan atau mengukur
variabel-variabel dalam suatu penelitian. Lebih mudah menemukan suatu
instrumen daripada mengembangkannya. Standar reliabilitas dan validitas
konstruk perlu diterapkan pada skor instrumen yang ada sebelum memilihnya
untuk digunakan. Jika suatu penelitian hanya membahas beberapa variabel,
peneliti dapat merancang instrumennya sendiri dan pemeriksaan reliabilitas dan
validitas skor instrumen ini adalah hal yang paling penting.
f) Kelola instrumen
Langkah ini mungkin merupakan fase penelitian survei yang paling
membutuhkan waktu. Hal ini melibatkan pencarian dan perolehan izin untuk
melakukan survei dan penggunaan prosedur pengumpulan data, seperti pelatihan
pewawancara atau penyiapan kuesioner untuk dikirimkan. Hal ini memerlukan
tindak lanjut secara terus-menerus untuk mendapatkan tingkat respons yang
tinggi, memeriksa bias respons jika kuesioner digunakan, dan menyiapkan data
untuk dianalisis dengan mengkodekan informasi dari instrumen ke dalam file
komputer.
g) Analisis data untuk menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian
Prosedur analisis data akan mencerminkan jenis pertanyaan penelitian atau
hipotesis yang ingin dijawab oleh peneliti dalam penelitian. Analisis terdiri dari
mencatat tingkat respons, memeriksa bias respons, melakukan analisis deskriptif
terhadap seluruh item, dan kemudian menjawab pertanyaan deskriptif. Ini
mungkin juga melibatkan pengujian hipotesis atau pertanyaan penelitian
menggunakan statistik inferensial.
h) Tulis laporannya
Kita harus menulis studi survei menggunakan struktur kuantitatif standar
yang terdiri dari pendahuluan, tinjauan literatur, metode, hasil, dan pembahasan.
Tentukan di bagian "Metode" penelitian informasi rinci tentang prosedur survei.
Sertakan di bagian "Diskusi" komentar tentang generalisasi hasil terhadap
populasi.

Daftar Pustaka
Babbie, E. (2013). The practice of social research (03th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
Brown, B. L., & Hedges, D. (2009). Use and misuse of quantitative methods. In D. M.
Mertens & P. E. Ginsberg (Eds.), The handbook of social research ethics (pp. 373–
390). Thousand Oaks, CA: SAGE
Dillman, D. A. (2007). Mail and Internet surveys: The tailored design method (2nd ed.).
Hoboken, NJ: Wiley.
Fink, A. (2013). How to conduct surveys: A step-by step guide (5th ed.). Los Angeles: Sage.
Fowler, F. J. (2009). Survey research methods (4th ed.). Los Angeles: Sage.
Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2017). Statistics for the behavioral sciences (10th ed.).
Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning.
Kline, R. B. (2016). Principles and practice of structural equation modeling (4th ed.).
New York: Guilford Press.
Pedhazur, E. J. (1997). Multiple regression in behavioral research: Explanation and
prediction (3rd ed.). Fort Worth, TX: Harcourt Brace.
Raudenbush, S. W., & Bryk, A. S. (2002). Hierarchical linear models: Applications and data
analysis methods (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE.
Salkind, N. J. (2010). Statistics for people who (think they) hate statistics (4th ed.). Thousand
Oaks, CA: SAGE.

Anda mungkin juga menyukai