Anda di halaman 1dari 51

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I...........................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................14
C. Tujuan Penelitian............................................................................14
D. Manfaat Penelitian..........................................................................15
BAB II........................................................................................................18
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................18
A. Landasan Teori.................................................................................18
B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi......................................................22
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi.............................25
BAB III.......................................................................................................38
KERANGKA DAN HIPOTESIS.................................................................38
A. Kerangka Konsepsional..................................................................38
B. Diagram Konseptual........................................................................39
C. Hipotesis.........................................................................................39
BAB IV...................................................................................................... 41
METODE PENELITIAN.............................................................................41
A. Tipe Penelitian................................................................................41
B. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum...................................................41
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum...............................................42
D. Lokasi Penelitian.............................................................................43
E. Analisis Bahan Hukum.....................................................................44
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................46

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak

berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat), demikian ditegaskan dalam

penjelasan Undang– Undang Dasar 1945. Mengingat pernyataan

demikian dirumuskan dalam penjelasan dari UUD 1945, itu berarti

kehidupan bernegara/ bermasyarakat, baik oleh warga negara maupun

dalam hubungan antara negara maupun dalam hubungan antara negara

dengan rakyatnya ingin dibangun dan diwujudkan melalui suatu tatanan

hukum.

Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa tidak ada seorang

pun berada di atas hukum, semua sama dimata hukum (equality before

the law), dengan demikian pemerintah, negara beserta aparatnya harus

melaksanakan kekuasaannya berlandaskan hukum, sehingga dalam

kehidupan berbangsa harus dijunjung tinggi nilai–nilai substansial yang

menjiwai hukum dan menjadi tuntutan masyarakat antara lain tegaknya

nilai–nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kepercayaan antar sesama,

tegaknya nilai–nilai kemanusiaan yang beradab dan penghargaan/

perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), tidak adanya penyalahgunaan

2
kekuasaan/kewenangan, tidak adanya praktek korupsi, Kolusi, dan

nepotisme.

Sejarah mencatat selama lebih dari tiga dasa warsa sejak orde

lama maupun orde baru, hukum tidak mendapat tempat sebagaimana

dimaksudkan dalam UUD 1945. Tempatnya digeser oleh politik (orde

lama) dan ekonomi (orde baru). Bahkan dalam periode tersebut hukum

dijadikan alat penopang kekuasaan yang berpusat pada satu tangan yaitu

Presiden.

Keadaan ini berakibat lebih jauh yaitu tidak berfungsinya

dengan baik lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara

lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam

memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat

berbangsa dan bernegara. Keadaan ini seperti membuktikan

kebenaran ungkapan Lord Acton2 yaitu “Power tend to be corrupt,

absolute power corrupt absolutely” (Kekuasaan cederung

diselewengkan, kekuasaan absolute/ mutlak menyebabkan

penyelewengan secara mutlak pula).

Pembangunan yang mengedepankan pada pengembangan sektor

ekonomi oleh pemerintah yang sentralistis, memang membawa

peningkatan pada aktivitas ekonomi masyarakat. Tetapi seiring dengan

perkembangan pembangunan ekonomi tersebut, karena ketiadaan kontrol

sosial dari masyarakat, maka, timbul dampak negatif berupa munculnya

3
berbagai kejahatan dibidang ekonomi seperti korupsi, penyalahgunaan

wewenang dan jabatan, money Loundering dan sebagainya.

Keadaan ini merupakan dimensi baru “Kejahatan dalam

konteks pembangunan atau Kejahatan Luar bisaa (Ekstra

Ordinary Crime) “ sebagaimana telah dibahas dalam kongres

PBB ke 7 tahun 1985 tentang The Prevention Of Crime and

The Treatment of offenders di Milan Italia. Salah satu yang

dibahas dalam pembicaraan “dimensi baru” itu adalah tentang

tejadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of Power) berupa

abuse of public power dan abuse of economic power, dimana

keduanya bergandengan erat berupa kemungkinan adanya kolusi

antara kedua jenis kuasa ini untuk keuntungan ekonomi

kelompok, yang menyebabkan KKN hidup subur.

Lengsernya Presiden Soeharto pada pertengahan tahun 1998

merupakan babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia,

ditandai dengan lahirnya gerakan reformasi yang menuntut hukum

ditegakkan dan demokrasi dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Reformasi merupakan koreksi terhadap kekuasaan yang

sentralistis yang penuh penyimpangan dan segala bentuk penyelewengan

serta penyalahgunaan wewenang dihentikan. Supremasi hukum dan

penegakkan hukum dilakukan, dalam rangka menciptakan penyelenggara

negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

4
Upaya penegakkan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi,

kolusi dan nepotisme yang merupakan semangat dari reformasi

merupakan tuntutan hati nurani rakyat agar terwujudnya penyelenggara

negara yang bersih mendapat tempat dalam ketetapan MPR R.I. NO. XI

Tahun 1998 menegaskan sebagai berikut :

Pasal 4 :

Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus

dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara,

mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta

konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap

memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

Semangat reformasi telah menimbulkan baik political will maupun

tekad pemerintah untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme serta

bentuk– bentuk penyimpangan lain, seperti penyalahgunaan kekuasaan

dan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara.

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, tidak

dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas pokok Polri itu sendiri menurut

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Sesuai yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 2 tahun

2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia yang

5
dimaksud dengan kepolisian adalah segala hal ikhwal yang

berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan

peraturan perundangundangan.Kepolisian memiliki fungsi sebagai

salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tugas penegakan hukum berkaitan dengan Sistem

Peradilan Pidana di mana Polri menjadi salah satu bagiannya

selain hakim dan jaksa. Dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut,

Polri diberi wewenang untuk melakukan upaya paksa. Upaya

paksa itu meliputi kegiatan penangkapan, penahanan,

penggeledahan dan penyitaan.

Faktanya di Polda Sulaesi - Selatan, bahwa penanganan tindak

pidana korupsi oleh penyidik Polda Sulaesi - Selatan merupakan tugas

yang sangat berat yang harus diemban polisi. Dalam interaksinya dengan

masyarakat, seorang anggota polisi harus berhadapan dengan beragam

perilaku individual.

Tingkat kepatuhan (compliance) dari tiap orang berbeda.

Kadang tidak cukup bagi seorang polisi untuk menunjukkan

bahwa ia memang anggota kepolisian, misalnya dengan

pemakaian seragam polisi atau penunjukkan lencana. Dalam

masyarakat memang terdapat individu yang memang nekat atau

6
berada di ujung keputusannya yang kemudian memiliki

keberanian untuk melawan atau melarikan diri dari polisi.

Menghadapi anggota masyarakat (pejabat negara) yang memiliki

tingkat kepatuhan yang rendah, polisi dibekali dengan wewenang untuk

menggunakan kekuatan. Keberadaan anggota masyarakat seperti itu

merupakan suatu ancaman bagi kedamaian dan ketentraman hidup dalam

masyarakat secara umum serta ancaman langsung bagi keselamatan

polisi itu sendiri secara khusus.

Terlebih dimasa resesi ekonomi yang sepertinya tak

berujung ini, keputusasaan di dalam masyarakat menyebabkan

peningkatan kriminalitas secara signifikan. Penggunaan kekuatan

oleh polisi ini kemudian menjadi hal yang justru didukung oleh

masyarakat. Keresahan masyarakat menuntut agar polisi

bertindak lebih tegas terhadap para pelaku kejahatan.

Tindakan tegas oleh petugas polisi dalam hal ini termasuk

penggunaan kekuatan fisik. Dalam penangkapan misalnya, bilamana si

tersangka pelaku kejahatan melawan dengan kekuatan fisik keselamatan

petugas polisi menjadi terancam.

Sehingga dalam situasi tertentu petugas itu harus

menggunakan kekuatan fisik baik dalam rangka memperoleh

kepatuhan dari si tersangka pelaku kejahatan. Tindakan yang

dilakukan oleh petugas polisi tersebut dibenarkan oleh undang-

7
undang sehingga dapat dikatakan bahwa polisi melaksanakan

wewenangnya berdasarkan asas legalitas.

“Efektivitas” mengandung arti “keefektifan (effectiviness), yaitu

pengaruh/efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban”. Oleh karena

itu di dalam tesis ini akan dibahas mengenai Efektivitas Peranan Penyidik

Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Polda

Sulawesi - Selatan berdasarkan hukum positif saat ini dan berdasarkan

hukum ideal atau hukum masa depan dalam rangka efektivitas penegakan

hukum .1

Membicarakan “Efektivitas Peranan Penyidik Polri Dalam

Penyidikan Tindak Pidana dalam rangka efektivitas penegakan hukum”,

tentunya tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karekteristik 2 (dua)

variable yang terkait, yaitu karekteristik / dimensi dari “obyek/sasaran

yang dituju” (yaitu korupsi) dan karekteristik dari “alat/sarana yang

digunakan” (yaitu perangkat hukum pidana)6. Karekteristik dan dimensi

kejahatan korupsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut:2

1. Masalah korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah,

antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup serta

budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi

dan kesenjangan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi,

maslah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan

1
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2000,
hlm. 26
2
Elwi Danil, et al, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya.
( Jakarta: Raja Grafindo, 2011)hlm. 75.

8
lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem

pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi, kuasa

dan kondisi yang bersifat krimonogen untuk timbulnya korupsi

sangatlah luas (multidimensi), yaitu bisa di bidang moral, sosial,

ekonomi, poltik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya.

2. Mengingat sebab-sebab yang multidimensional itu, maka korupsi pada

hakikatnya tidak hanya mengandung aspek ekonomis (yaitu merugikan

keuangan/perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang

lain), tetapi juga mengandung korupsi nilai-nilai moral, korupsi

jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokasi dan

sebagainya.

3. Mengingat aspek yang sangat luas itu, sering dinyatakan bahwa

korupsi termasuk atau tekait juga dengan “economic crimes”,

„organized crimes”, “illicit drug traffiking”, “money laundering”, “white

collar crime”, “political crime”, “top hatcrime” atau (“crime of politician in

office”), dan bahkan “transnational crime”.

4. Karena terkait dengan masalah politik/jabatan/kekuasaan (termasuk

“top hat crime”), maka di dalamnya mengandung 2 (dua) fenomena

kembar (“twinphenomena”) yang dapat menyulitkan penegakan hukum

(seperti dikemukakan oleh Dionysios Spinellis.

Polri sebagai instrumen negara untuk menegakkan hukum serta

memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tidak luput

dari perhatian publik. Kewenangan Polri yang sangat luas dan kadang

9
terasa tanpa batas menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan

peluang terjadinya pelanggaran HAM ketika menjalankan tugas.3

Era sekarang ini diketahui korupsi telah terjadi dimana-mana.

Hampir di semua negara di seluruh dunia terjadi praktek korupsi, dan tidak

terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri pengaturan, pengawasan dan

penindakan korupsi telah dilakukan dari waktu ke waktu, baik sejak

pemerintahan orde lama hingga pemerintahan saat ini. Selain dari nilai

uangnya, jumlah orang yang terlibat serta cara-cara yang dipakai dalam

praktek korupsi semakin lama semakin meningkat.

Mengantisipasi hal tersebut, banyak lembaga yang

ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan korupsi dan menindak

para pelakunya, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia

(sesuai Undang-Undang No.2 Tahun 2002). Namun dalam

perkembangan hal itu ternyata diikuti pula oleh peningkatan teknik

dan gaya penyelewengan, sehingga seakan-akan praktek korupsi

itu tiada batas akhirnya.

Korupsi yang tejadi di Indonesa sudah sangat memprihatinkan.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi juga melibatkan

pengusaha, swasta, pejabat negara, aparat penegak hukum serta para

wakil rakyat yang duduk di DPR maupun DPRD. Korupsi merupakan extra

ordinary crime (kejahatan luar bisaa) dan untuk memberantasnya bukan

perkara yang mudah, sehingga dibutuhkan cara yang luar bisaa pula

dengan dukungan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia, aparat Negara


3
Siregar N. F. Efektivitas Hukum. Jurnal Al-Razi, 18(2) (2018), hlm. 2.

10
dan profesionalisme aparat penegak hukum yang tentunya juga harus

didukung dengan penyempurnaan perangkat undang-undang yang terkait

dengan pemberantasan korupsi khususnya penyidik Polri.4

Pengalaman empiris selama ini menunjukkan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutam dalam peradilan tindak pidana korupsi

memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat extra ordinary (luar

bisaa), profesional, dan dukungan biaya yang besar, serta tersedianya

waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup.5

Institusi pada tingkat pelaksanaan (aparat penegak hukum) yang

diberi tugas dan tanggung jawab menanggulangi tindak pidana korupsi,

memerlukan sarana berupa perangkat hukum yang memberikan landasan

guna dapat melaksanakan tugas dan kewajiban secara efektif. Oleh

karena itu, diperlukan istrumen yang luar bisaa tersebut tidak

bertentangan dengan atau menyimpang dengan berbagai standar yang

berlaku secara universal. Instrumen hukum yang luar bisaa yang diadopsi

ke dalam hukum. Selain melakukan penyempurnaan undang-undang

tentang Pemberantsan Korupsi, pemerintah juga membentuk lembaga

pemberantasan korupsi baru, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

melalui Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu alasan dibentuknya

lembaga ini adalah pemberantasan korupsi belum optimal dan lembaga

4
Sahuri Lasmadi,Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Ilmu Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, 2(3), (2010) hlm. 10.
5
Hibnu Nugroho,et al,Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Media Aksara Prima, (2012) hlm. 67.

11
pemerintah yang menangani perkara korupsi (Kejaksaan dan Kepolisian)

belum berfungsinya secara efektif dan efisien dalam memberantas

korupsi.6

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung

makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum

pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio filosofis,

sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan kriminal

dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan

kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan hukum yang dilakukan

adalah bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) yaitu bagian dari

politik hukum atau penegakan hukum, politik hukum pidana, politik

kriminal, dan politik sosial. Setiap kebijakan (policy) pertimbangan nilai.

Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada

pendekatan nilai.

Kebijakan pidana (penal policy), sebagaimana kebijakan publik

umumnya, pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional.

Kebijakan legislative merupakan kebijakan dalam menetapkan

merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan oleh

karena itu sering juga kebijakan legislatif disebut sebagai istilah kebijakan

formulatif.7

6
M. Yahya Harahap, et al,. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
(Jakarta: Sinar Grafik, 2000) hlm. 112.
7
Armunanto Hutahaean. Lembaga Penyidik Dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Universitas Diponegoro, 16 (2019) hlm.
33.

12
Kebijakan formulasi merupakan tahap paling strategis dari

keseluruhan proses operasionalisasi atau fungsionalisasi dan konkretisasi

hukum pidana dalam rangka penanganan korupsi di Indonesia. Berpijak

dari kenyataan tersebut penulis akan menggali, mengkaji, kemudian akan

mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi, data dan

kesimpulan mengenai Tindakan Penyidik/ Polri dalam proses penyidikan

terhadap Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Polda Sulawesi -

Selatan, sehingga tesis saya beri judul : “Efektivitas Peranan Penyidik

Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Polda

Sulawesi - Selatan)”

Tindakan yang dilakukan agar upaya penegakan dan

pemberantasan korupsi lebih efektif dan untuk memberi kemudahan

dalam pembuktian, Undang–Undang Nomor. 3 tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicabut dan diganti dengan

undang–undang Korupsi yang baru, yang memberi akses partisipasi

masyarakat guna terlibat membantu dalam usaha pemberantasan korupsi

baik preventif maupun refresif, yaitu Undang–Undang No. 31 Tahun 1999

yang kemudian diperbarui dengan Undang–Undang No. 20 Tahun 2001.

Disamping itu dikeluarkan juga Undang–Undang No. 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Penyelengaraan peradilan Pidana di Indonesia telah mengalami

pembaharuan dengan diberlakukannya Undang–Undang No. 8 tahun

1981 tentang Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran

13
Negara Republik Indonesia No. 76 selanjutnya disebut KUHAP) yang

menggantikan Het Herziene Inlands Reglement (HIR) produk pemerintah

kolonial Hindia Belanda. Sejak diberlakukannya KUHAP sampai dengan

sekarang, masih perlu dipertanyakan apakah proses peradilan pidana

telah berjalan cepat atau efektif, murah dan sederhana serta menjunjung

keadilan dan kebenaran? Berdasarkan pengamatan, ternyata Efektivitas

serta tujuan mencapai keadilan dan kebenaran dari proses peradilan

pidana masih jauh dari harapan.8

Proses peradilan pidana merupakan mekanisme peradilan pidana

yang dilihat dari bekerjanya lembaga kepolisian sampai dengan lembaga

permasyarakatan (criminal justice as process). Hal itu berarti bekerjanya

peradilan pidana menunjukkan adanya hubungan antara beberapa

institusi/lembaga (sub-sistem) yang terlibat dalam proses tersebut dalam

rangka untuk mencapai tujuan peradilan pidana, seperti sub-sistem

Kepolisian (Proses penyelidikan dan penyidikan), Sub Sistem Kejaksaan

(Proses Penuntutan), Sub sistem Pengadilan (Proses pemeriksaan

dimuka sidang pengadilan) dan sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan

(Proses pembinaan terpidana).9

Efektivitas sistem peradilan pidana yang dilaksanakan oleh Sub-

sistem institusi/ lembaga diatas, menurut Hiroshi Ishikawa tidak terlepas

dari beberapa indikator/ kriteria masing–masing sub–sistem institusi/


8
Appludnopsanji, Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam Penuntutan
Sebagai Independensi di Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal SASI, Universitas
Diponegoro, 26(4), (2020) hlm. 38
9
Appludnopsanji, Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam Penuntutan
Sebagai Independensi di Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal SASI, Universitas
Diponegoro, 26(4), (2020) hlm. 33.

14
lembaga yaitu : proporsi penyelesaian perkara (clearance rate); proporsi

penuntutan (prosecution rate); proporsi kecepatan penanganan perkara

(speedy trial); proporsi pemidanaan (conviction rate); proporsi

pengulangan kejahatan (rate of “recall” to prison).10

Kepolisian sebagai salah satu sub–sisitem dari sistem peradilan

pidana yang mempunyai fungsi dan tugas dibidang penyelidikan dan

penyidikan selama ini telah menunjukkan kinerja yang cukup baik dalam

penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi didaerah Lampung

khususnya di Sulawesi - Selatan.

Kepolisian dalam hal ini Penyidik sebagai aparat penegak hukum

yang diberi fungsi, tugas dan wewenang sebagai penyidik oleh undang–

undang dalam penanganan perkara korupsi seharusnya dapat berperan

dalam menanggulangi tindak pidana korupsi dengan meningkatkan

proporsi penyelesaian perkara dan kecepatan penanganan perkara.

Selanjutnya penyidik juga dapat meningkatkan koordinasi antar aparat

penegak hukum dan dengan instansi lainnya sehingga penegakkan

hukum dapat berjalan secara terpadu dalam rangka mencapai tujuan

penanggulangan tindak pidana korupsi khususnya diwilayah hukum Polda

Sulawesi - Selatan.

Berpijak dari kenyataan tersebut penulis akan menggali, mengkaji,

kemudian akan mengadakan penelitian untuk mendapatkan informasi,

data dan kesimpulan mengenai peranan Penyidik/ Polri dalam proses

10
Fathur Rahman,. Pola Jaringan Korupsi di Tingkat Pemerintah Desa. Jurnal
Ilmu Hukum, 4(1), (2018) hlm. 31.

15
penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi di wilayah hukum Polda

Sulawesi - Selatan, sehingga tesis saya beri judul :“Efektivitas Intelejen

Kepolisian Dalam Menangani Kasus Korupsi Di Polda Sulawesi

Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, yang menjadi

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah efektivitas intelejen kepolisian dalam mendeteksi

kasus korupsi di Polda Sulawesi Selatan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002?

2. Apakah faktor pengahambat dalam mendeteksi kasus korupsi di Polda

Sulawesi Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

a. Menganalisis efektivitas intelejen kepolisian dalam mendeteksi

kasus korupsi di Polda Sulawesi Selatan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002.

b. Menganalisis faktor pengahambat dalam mendeteksi kasus

korupsi di Polda Sulawesi Selatan.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dari penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

16
Bahwa yang di dapat dari penelitian ini adalah memberikan

informasi bagi ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan

teoritik dalam hukum pidana.

2. Manfaat Praktis

Bahwa yang di diharapkan dari penelitian ini adalah dapat

menjadi sumbangan bahan pertimbangan dalam menegakkan

keadilan sehingga tercipta kesejahteraan bagi masyarakat.

E. Orisinil Penelitian

1. Ramlah Wahid (2018) dalam pembahasan ini diperoleh hasil

penelitian menunjukkan: 1). Penanganan kasus korupsi oleh Unit

Tipikor Polres Parepare dalam kurung waktu tahun 2013 sampai

dengan tahun 2017 sudah hampir mencapai tingkat efektivitas yang

tinggi, hal ini dinilai dari pemenuhan target kasus dan masing-

masing kasus dinilai dari segi tuntasnya penanganan kasus korupsi

(P-21) sehingga untuk sementara ini Unit Tipikor Polres Parepare

tidak mengalami tunggakan laporan polisi yang berkaitan laporan

kasus korupsi, 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

penegakan hukum oleh penyidik Unit Tipikor Polres Parepare

dalam menangani kasus korupsi yaitu kendala internal dan kendala

eksternal, adapun kendala internalnya yaitu Faktor Substansi

Hukum, faktor sumber daya manusia dan Struktur Hukum, faktor

sulitnya menemukan alat bukti dan, masalah anggaran, sedangkan

kendala eksternalnya yaitu faktor intervensi (politik) dan budaya

17
hukum masyarakat.

2. Risky Adyantaro (2008) dalam pembahasan ini hasil penelitian

penyidik dalam memperpanjang masa penahanan terhadap

tersangka adalah adanya kepentingan penyidikan yang belum

selesai dikarenakan beberapa hal mengenai teknis di lapangan

seperti permintaan bantuan teknis laboratorium forensik,

permintaan izin penyitaan barang bukti kepada Ketua Pengadilan

Negeri, pemeriksaan rekonstruksi perkara serta pengiriman berkas

kepada jaksa penuntut umum. Dasar pertimbangan penyidik dalam

melakukan penahanan dan memperpanjang masa penahanan

terhadap tersangka telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21

KUHAP tentang penahanan dan pasal 24 ayat (2) tentang

perpanjangan masa penahanan.

3. Zulkarnain (2022), dengan judul “ Analisis Yuridis Tentang Peranan

Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Korupsi (Studi Pada Kepolisian Daerah Sumatera Utara), Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum terhadap tindak

pidana korupsi di Indonesia diatur dalam dalam pasal-pasal UU No.

31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Kepolisian Daerah Sumatera Utara merupakan instansi yang

memiliki wewenang yang luas dalam penegakan hukum, termasuk

penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Penegakan

hukum di kepolisian diawali dengan menerima laporan dari

18
masyarakat dan juga melakukan penyelidikan terhadap

kemungkinan telah terjadinya tindak pidana korupsi, berdasarkan

alat bukti yang diperoleh, baik bukti elektronik, bukti fisik, maupun

keterangan ahli. Tetapi pada kenyataannya penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi tidak mudah dilakukan, terutama

karena lemahnya ancaman pidana terhadap tindak pidana korupsi,

dimana ancaman pidana dalam undang-undang tindak pidana

korupsi terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan rasa takut

kepada pelaku korupsi, bahkan terdapat ancaman pidana yang

maksimum 3 tahun untuk tindak pidana dengan kerugian negara

relatif kecil. Kendala yang dihadapi kepolisian dalam penegakan

hukum terhadap tindak pidana korupsi di Kepolisian Daerah

Sumatera Utara adalah: kurangnya SDM penyidik kepolisian,

perbedaan interpretasi antar penegak hukum dan tingginya

intervensi kepada penyidik. Disarankan aparat penegak hukum

khususnya antara penyidik kepolisian dengan jaksa penuntut umum

perlu lebih sering berdiskusi atau bertukar pendapat tentang

masalah hukum, sehingga terdapat kesepahaman dalam

penerapan hukum. Perlu dilakukan penambahan penyidik untuk

mengatasi keterbatasan jumlah penyidik. Disamping itu, penyidik

yang kurang berkompeten berlu diberi pelatihan agar kompetensi

penyidik kepolisian menjadi lebih merata dan benar-benar siap

untuk menangani tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.

19
Kepolisian perlu meningkatkan integritas penyidik dengan

memberikan bimbingan moral dan spiritual sesuai dengan

kepercayaannya, serta melakukan pengawasan yang lebih baik

terhadap pelaksanaan penyidikan tindak pidana suap, sehingga

diharapkan dapat menghindari penyimpangan tugas dengan

menolak segala bentuk intervensi dari pihak lain.

4. Abdul Muttalib (2017) “efektivitas penegakan hukum terhadap

penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi

Selatan”. Hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di

simpulkan Efektivitas penegakan hukum terhadap penyidikan

tindak pidana korupsi oleh penyidik Polda Sulawesi Selatan kurang

afektif, disebabkan kurang koordinasi anata penyidik tindak pidana

korupsi seperti kejaksaan dan KPK. Faktor-faktor yang

mempengaruhi efektivitas penegakan hukum terhadap penyidikan

tindak pidana korupsi oleh penyidik Polda Sulawesi Selatan adalah

faktor substansi hukum, faktor struktur hukum dan faktor budaya

hukum.

5. A. Ramlan Wahid (2018). "Efektivitas Penanganan Tindak Pidana

Korupsi Oleh Penyidik Pada Polres Parepare (Studi Di Kota

Parepare)". Hasil penelitian menunjukkan: 1). Penanganan kasus

korupsi oleh Unit Tipikor Polres Parepare dalam kurung waktu

tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 sudah hampir mencapai

tingkat efektivitas yang tinggi, hal ini dinilai dari pemenuhan target

20
kasus dan masing-masing kasus dinilai dari segi tuntasnya

penanganan kasus korupsi (P-21) sehingga untuk sementara ini

Unit Tipikor Polres Parepare tidak mengalami tunggakan laporan

polisi yang berkaitan laporan kasus korupsi, 2). Faktor-faktor yang

mempengaruhi efektivitas penegakan hukum oleh penyidik Unit

Tipikor Polres Parepare dalam menangani kasus korupsi yaitu

kendala internal dan kendala eksternal, adapun kendala internalnya

yaitu Faktor Substansi Hukum, faktor sumber daya manusia dan

Struktur Hukum, faktor sulitnya menemukan alat bukti dan, masalah

anggaran, sedangkan kendala eksternalnya yaitu faktor intervensi

(politik) dan budaya hukum masyarakat.

21
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus

ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan

penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Efektivitas

merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang

telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun

program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran

seperti yang telah ditentukan.11

Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan atau dapat

juga dikatakan merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output,

kebijakan dan prosedur dari organisasi. Efektivitas juga berhubungan

dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik

sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut

mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan

pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah

ditentukan.

Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan


11
Iga Rosalina, “Efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perkotaan Pada Kelompok Pinjaman Bergulir Di Desa Mantren Kec Karangrejo
Kabupaten Madetaan”. Jurnal Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat, Vol. 01 No 01
(Februari 2012), hlm b. 3.

22
melalui konsep efektivitas. Konsep ini adalah salah satu faktor untuk

menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan

terhadap bentuk dan manajemen organisasi atau tidak. Dalam hal ini,

efektivitas merupakan pencapaian tujuan organisasi melalui

pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efisien, ditinjau dari

sisi masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Dalam hal ini

yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan personil, sarana

dan prasarana serta metode dan model yang digunakan. Suatu

kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan

sesuai dengan prosedur, sedangkan dikatakan efektif bila kegiatan

tersebut dilaksanakan dengan benar dan memberikan hasil yang

bermanfaat.12

Efektivitas dapat dikatakan sebagai sebuah pengukuran dalam

arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan, di mana

jika tujuan tersebut telah dicapai, maka dapat dikatakan efektif.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas menunjukkan

kemampuan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai

standar yang berlaku. Sedangkan menurut (Yudho dan Tjandrasari

2017) mendefinisikan efektivitas adalah kemampuan melaksanakan

tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu

organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau

12
Dimianus Ding, “Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Pedesaan”. Jurnal Ilmu Pemerintah, Vol. 02 No. 02 (Februari 2014),
hlm. 8-10.

23
ketegangan diantara pelaksanaannya.

Pendekatan efektivitas digunakan untuk mengukur sejauh mana

aktifitas itu efektif. Ada beberapa pendekatan yang digunakan

terhadap efektivitas yaitu:13

a. Pendekatan sasaran (Goal Approach)

Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga

berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.

Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai

dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan

keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut.

Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas

dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk

memberikan hasil maksimal berdasarakan sasaran resmi “Official

Goal” dengan memperhatikan permasalahan yang

ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek

output yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam

mencapai tingkat output yang direncanakan.

Dengan demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauh

mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran

yang hendak dicapai. Efektivitas juga selalu memperhatikan faktor

waktu pelaksanaan. Oleh karena itu, dalam efektivitas selalu

13
Dimianus Ding, “Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Pedesaan”. Jurnal Ilmu Pemerintah, Vol. 02 No. 02 (Februari 2014),
hlm. 8-10.

24
terkandung unsur waktu pelaksanaan dan tujuan tercapainya

dengan waktu yang tepat maka program tersebut akan lebih

efektif. Contoh dari pendekatan sasaran yaitu apabila suatu

pekerjaan mempunyai target menjual habis barangnya dalam

waktu satu minggu, dan barang tersebut terjual habis dalam waktu

satu minggu, maka pekerjaan tersebut dapat di katakan efektif.

b. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)

Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan

suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber

yang dibutuhkannya. Suatu lembaga harus dapat memperoleh

berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan

sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan

pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap

lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang

merata dalam lingkungannya, dimana dari lingkungan diperoleh

sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan seringkai bersifat

langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam kegiatan

usaha organisasi dilihat dari seberapa jauh hubungan antara

anggota binaan program usaha dengan lingkungan sekitarnya,

yang berusaha menjadi sumber dalam mencapai tujuan.14

c. Pendekatan Proses (Internal Process Approach)

Pendekatan proses menganggap sebagai efisiensi dan kondisi

14
Dimianus Ding, “Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Pedesaan”.Op.cit.

25
kesehatan dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang

efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan

bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi.

Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan

memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan

terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga, yang

menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.

B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau

corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa

Inggris dikenal dengan kata corruption/corrupt, sedangkan dalam

bahasa Belanda disebut dengan corruptie. Pengertian korupsi

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2 ialah penyelewengan

atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain,

sedangkan pengertian korup ialah busuk; buruk; suka memakai

barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok

(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Menurut A.S. Hornby et. al. Dalam The Advanced Leaner's

Dictionary of Current English3 korupsi adalah "the offering and

accepting of bribes" (penawaran/pemberian dan penerimaan

hadiah-hadiah berupa suap) dan diartikan pula sebagai “decay”

yaitu kebusukan/kerusakan.

26
Pengertian korupsi banyak didefinisikan oleh para pakar,

dimana masing-masing merumuskannya sesuai dengan sisi

pandang bidang ilmunya. Korupsi dari sisi pandang ekonomi

menurut Jacob van Klaveren4 bahwa seorang pengabdi negara

(pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap

kantor/instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana

pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

Korupsi dari sisi pandang pemerintahan menurut J. S. Nye

sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban

normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan

pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman) demi mengejar status

dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan

atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu cakup

tindakan seperti penyuapan (memberi hadiah dengan maksud

hal-hal menyelewengkan seseorang dalam kedudukan pada

jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya

sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau

memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan

bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan

atau secara tidak sah menggunakan sumber penghasilan negara

untuk kepentingan pribadi).

Carl J. Friesrich “Merumuskan korupsi dari sisi pandang


kepentingan umum dengan mengatakan bahwa pola korupsi
dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang
berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang

27
pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam
hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang;
membujuk atau mengambil langkah yang menolong siapa saja
yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar
membahayakan Kepentingan umum”.

Selanjutnya Mubyarto yang mengutip pendapat Theodore M.


Smith “Merumuskan korupsi dari sisi pandang politik dengan
mengatakan secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul
lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi.
Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata
generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari
kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten”.

Menurut sisi pandang sosiologi, Syed Hussein Alatas8

menyatakan terjadi korupsi adalah apabila seorang pegawai

negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang

dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian

istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi.

Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan

pemberian uang dan hadiah lain yang dapat menggoda pejabat.

Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan

pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas

publik.

Istilah itu juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang

menggunakan dana publik yang mereka urus bagi keuntungan

mereka sendiri. Selanjutnya ditambahkan Syed Hussein Alatas,

yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak

saudara, teman-teman atau kelompok-kelompok politik pada

jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa

28
memandang keahlian mereka maupun konsekuensinya pada

kesejahteraan masyarakat (nepotisme). Dengan demikian yang

termasuk dalam korupsi adalah empat tipe yang mencakup

perbuatan penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penggelapan.

Menurut Syed Hussein Alatas empat tipe korupsi di atas

dalam prakteknya meliputi ciri-ciri sebagai berikut:

1. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.

2. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan.

3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal

balik.

4. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik

pembenaran hukum.

5. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan

keputusan yang tegas dan mereka mampu mempengaruhi

keputusan.

6. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan

publik atau masyarakat umum.

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan

kepercayaan.

8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang

kontradiktif dari mereka yang melakukan itu.

9. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggung jawaban dalam tatanan masyarakat.

29
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi

Pengertian tindak pidana korupsi sejak berlakunya Peraturan

Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 Tanggal 9 April 1957

sampai dengan diundangkannya UUTPK Tahun 1999 semakin

lama semakin disempurnakan, sehingga hampir merumuskan

berbagai bentuk pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas.

Dalam UUTPK pengertian tindak pidana korupsi tercantum dalam

Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2-Pasal 20 dan Bab

III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak

Pidana Korupsi Pasal 21-Pasal 24. Berdasarkan ketentuan pasal-

pasal tersebut dapat dikategorikan lima pengertian dan tipe tindak

pidana korupsi berikut di bawah ini dengan penjelasan masing-

masing unsurnya. Unsur-unsur yang sama yang telah dijelaskan

sebelumnya tidak akan dijelaskan lagi pada penjelasan unsur

Pasal berikutnya.

Dalam hal penegakan hukum tentang tindak pidana korupsi

polisi memiliki tugas sebagai penyidik, sebagaimana yang telah

ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) pasal 1 ayat 1 bahwa yang dimaksud dengan penyidik

adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan, kemudian

dipertegas dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara

30
Republik Indonesia pasal 14 ayat 1 huruf g bahwa dalam

melaksanakan tugas pokok, kepolisian negara Republik Indonesia

bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama

Pengertian tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat

dalam Pasal 2 UUTPK:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan

denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu

milyar rupiah).

2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana

mati dapat dijatuhkan.

Berpijak dari ketentuan pasal di atas unsur-unsur dari

tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

31
1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu badan Pada dasarnya maksud memperkaya di sini

dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku

bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut.

Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan

dengan berbagai cara, misalnya dengan membeli,

menjual, mengambil, memindahbukukan rekening,

menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya

sehingga si pelaku bertambah kekayaannya.

2) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum

Unsur melawan hukum dalam UUTPK mencakup

perbuatan melawan hukum baik dalam arti formil maupun

dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial

dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana.

3) Merugikan keuangan atau perekonomian negara

Penjelasan UUTP menentukan bahwa keuangan negara

adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,

yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di

32
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak

dan kewajiban yang timbul karena:

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat

pusat maupun daerah; dan

b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah,

Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang

menyertakan modal negara, atau perusahaan yang

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian

dengan negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian

yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan atau pun usaha masyarakat secara mandiri

yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di

tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua

Pasal 3 UUTPK merumuskan pengertian tindak pidana

korupsi tipe kedua sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri


atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

33
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000.00 (lima puluh juta rapiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana korupsi dari Pasal di atas

adalah sebagai berikut:

1) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukannya

Tindak pidana korupsi pada tipe kedua ini terutama

ditujukan kepada seorang pegawai negeri, oleh karena

hanya pegawai negeri saja yang dapat menyalahgunakan

jabatan, kedudukan dari kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya. Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat

(2) UUTPK, pengertian pegawai negeri meliputi:

(a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam


undang-undang Kepegawaian (i.c. Undang-Undang
No. 43 Tahun 1999);
(b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam
KUHPidana (i.c. Pasal 92 KUHPidana);
(c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah;
(d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
korporasi yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah; dan
(e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari
negara atau masyarakat.

34
2) Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi berarti membuat orang tersebut, orang

lain/kroninya atau suatu korporasi memperoleh aspek

material maupun inmaterial dari perbuatan itu. Pembuktian

unsur “menguntungkan” dapat lebih mudah dibuktian oleh

penuntut umum karena unsur menguntungkan tidak

memerlukan dimensi apakah orang tersebut menjadi kaya

atau bertambah kaya sebagaimana unsur “memperkaya”

dalam pasal 2 UUTPK.

c. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga

Tindak pidana korupsi pada tipe ketiga terdapat dalam

Pasal 5 sampai dengan pasal 13 UUTPK yang merupakan

pasal-pasal dari KUHPidana yang kemudian ditarik menjadi

tindak pidana korupsi. Apabila dikelompokkan, terdapat empat

kelompok tindak pidana korupsi tipe ketiga berikut ini.

(1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yaitu Pasal


209, 210, 418, 419 dan 420 KUHPidana.
(2) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan yaitu
Pasal 415, 416 dan 417 KUHPidana.
(3) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan yaitu Pasal
423 dan 425 KUHPidana.
(4) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan
pemborongan, leveransir dan rekanan, yaitu Pasal 387,
388 dan 435 KUHPidana.

d. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat

35
Pasal 15 dan 16 UUTPK mengkualifikasikan perbuatan

percobaan (poging), pembantuan atau permufakatan jahat

serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan

terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di

luar wilayah Indonesia sebagai tindak pidana korupsi.

e. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima

Tindak pidana korupsi pada tipe kelima ini sebenarnya

“tidak murni” sebagai tindak pidana korupsi melainkan tindak

pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi

sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan 24

UUTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:

(a) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi


atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa, ataupun
para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(b) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
Pasal 35 atau Pasal 36 UUTPK yang dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
(c) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, 231, 241, 422,
429 atau 430 KUHPidana dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000.00
(tiga ratus juta rupiah).

36
(d) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 UUTPK dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Penelitian Herbert L. Packer mencoba untuk mengambil atostraksi

dari kenyataan berjalannya peradilan pidana di Amerika Serikat yang

menganut model adversary, dan kemudian menciptakan dua model

(kerangka pikiran) yang kemudian dikembangkan menjadi teori. Kedua

model yang dimaksudkan tersebut adalah crime control model (CCM) dan

due process wtodel (DPM) . Menurut Packer kedua model tersebut saling

berkompetisi (berlomba) untuk mendapatkan prioritas dalam pelaksanaan

proses pidana.

Kedua model yang dikemukakan Packer tersebut sebenamya

hanyalah suatu abstraksi dari kenyataan proses kriminal yang diamati.

Sebenamya secara faktual model tersebut tidak ada sungguh-sungguh di

dunia ini (dalam arti menjadi semacam peraturan hukum tertentu yang

mengatur proses peradilan pidana menjadi dua macam model tersebut),

karena model ini hanyalah suatu cara Packer untuk menilai pelaksanaan

peradilan pidana.

Sebenarnya selain kedua model yang dikemukakan Packer

tersebut masih ada satu model lagi yang dikemukakan oleh John

Griffithst17 sebagai suatu pandangan yang mengkritik CCM dan DPM yang

ada dalam sistem adversary. Model ketiga yang dimaksud dinamakan

sebagai The Family Model. Selain itu sebenamya Roeslan Saleh juga

mengemukakan mengenai dua macam model peradilan pidana yang

37
dinamakannya sebagai Mode 1 Yuridis dan Model Kemudi atau

stuurmode.

Peradilan pidana diselenggarakan oleh lembaga-lembaga peradilan

pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga

Pemasyarakatan. Kedudukan Kepolisian dalam proses peradilan pidana

berperan sebagai penjaga pintu gerbang (as a gate keepers) yaitu melalui

kekuasaan yang ada, ia merupakan awal mula dari proses pidana. Polisi

dalam hal ini Penyidik Polri berwenang menentukan siapa yang patut

disidik, ditangkap, dan ditahan. Penuntut umum baru melaksanakan

fungsinya setelah ada penyerahan hasil pemeriksaan dari penyidik.

Pembuatan surat dakwaan oleh penuntut umum berdasarkan berita acara

pemeriksaan penyidikan. Jadi antara tugas Kepolisian dan tugas

Kejaksaan, satu sama lain ada kaitannya. Kaitan tersebut dimana hasil

penyidikan oleh polisi akan mempengaruhi dakwaan yang dibuat oleh

jaksa.

Praktik peradilan pidana tidak dapat dihindari tugas Kepolisian dan

Kejaksaan tersebut saling berhubungan, maka mutlak perlu adanya kerja

sama seharmonis mungkin, haras ada koordinasi yang dilandasi tanggung

jawab moral bersama untuk satu tujuan yaitu penegakan hukum.

Kekuasaan polisi, seberapa dapat harus menunjang tugas penuntut

umum, artinya tidak sekehendak hati menggunakan kekuasaan tersebut.

Sebaliknya antara kedua lembaga itu selalu diadakan koordinasi dan

konsultasi timbal balik. Masing- masing mengambil inisiatif positif saling

38
bertemu untuk memecahkan persoalan- persoalan yang rumit dalam

menangani satu perkara.

Kegiatan Prapenuntutan, tidak berarti menempatkan Kejaksaan

berada di atas Kepolisian, dan sebaliknya pula wewenang Kepolisian

tidak berarti di atas Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan adalah sama-

sama merupakan rantai-rantai yang terkait dalam satu roda bergigi.

Prapenuntutan, pada hakekatnya suatu tuntutan moral, atau suatu jalur

komunikasi, agar Kepolisian dan Kejaksaan saling “tepo sliro” saling

menghargai, bertenggang rasa akan tugas dan tanggung jawab masing-

masing.

Mengenai hubungan Kepolisian dengan Pengadilan. Hubungan

tersebut yaitu dalam hal penyidik mengajukan permintaan untuk

perpanjangan penahanan, meminta izin penggeledahan, penyitaan dan

pemeriksan surat. Jika ketua Pengadilan tidak memberi izin atau menolak

permintaan penyidik, maka penyidik harus berusaha memahami

kebijaksanaan yang ditempuh oleh Pengadilan tersebut.

Hubungan antara penuntut umum dengan hakim tampak pada

pemeriksan di muka persidangan. Jika hakim berdasarkan periksaannya

beranggapan surat dakwaan tersebut tidak atau kurang benar, maka

hakim dapat memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk

memperbaikinya.

Hubungan dengan Lembaga Pemasyarakatan, penuntut umum

adalah orang yang ditugaskan melaksanakan putusan Pengadilan yang

39
telah mempunyai kekuatan tetap dengan memasukkan orang yang telah

dipidana ke Lembaga Pemasyarakatan (eksekusi). Dalam hal putusan

Pengadilan berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim

sebagai pejabat diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan

tersebut. Artinya ia harus mengetahui apakah putusan yang telah

dijatuhkan olehnya dilaksanakan dengan baik oleh petugas-petugas yang

berwenang yaitu, baik penuntut umum maupun Lembaga

Permasyarakatan.

Adanya pengawasan atas putusan yang dijatuhkan, maka tujuan

pemidanaan antara lain usaha pengembalian eks terpidana ke

masyarakat dapat dilaksanakan. Dengan demikian hubungan Pengadilan

dengan penuntut umum dan Lembaga Pemasyarakatan tampak lebih

nyata melalui lembaga pengawasan sebagai hal yang baru dalam

KUHAP. Hal ini ini sekaligus diartikan pula tugas hakim dalam sistem

peradilan pidana tidaklah berakhir pada saat keputusan Pengadilan

dijatuhkan, tapi juga terus berlanjut sampai tujuan pemidanaan atau tujuan

sistem peradilan pidana tercapai, atau setidak-tidaknya sampai eks

terpidana kembali kepada masyarakat sebagai anggota yang baik.

Tugas hakim yang demikian ini, memberi manfaat agar ia dalam

menjatuhkan pidana dapat mengetahui perilaku narapidana dalam

lembaga dan pengaruhnya terhadap putusan yang telah ia berikan

maupun ketika eks terpidana kembali pada masyarakat.

40
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan sistem peradilan

pidana terpadu menuntut suatu konsekuensi perluasan kekuasaan hakim

tidak hanya sebagai pemidana saja atau melaksanakan fungsi justisi,

tetapi juga sebagai pelaksana dalam mencapai tujuan peradilan pidana,

yaitu fungsi pembinaan terhadap pidana atau fungsi kesejahteraan19.

Kedudukannya sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat

pula dikatakan hakim telah melakukan fungsi politik kriminal, sebagai

suatu cara untuk mencapai atau mewujudkan kesejahteraan di dalam

kehidupan masyarakat. Fungsi ini dalam praktik peradilan pidana di

negara-negara yang maju banyak dilakukan terutama dalam konteks

pembangunan terhadap manusia bagi mereka yang telah melakukan

pelanggaran terhadap hukum. Dengan kata lain pembangunan tidak

hanya ditujukan terhadap manusia yang tidak melakukan pelanggaran

terhadap hukum saja, tetapi juga terhadap pelanggar hukum.

Pembangunan tersebut dilakukan melalui kebijakan pidana yang dimulai

dari sejak awal proses peradilan pidana dan dilanjutkan sampai saat

terpidana menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan

dengan tujuan menjadi warga negara yang baik.

Sistem peradilan pidana yang terdiri dari subsistem-subsistem

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan

merupakan satu kesaruan yang melaksanakan fungsi dan tugas

penegakan hukum pidana secara terpadu (integrated criminal justice

sistem). Untuk memahami fungsi dan tugas masing- masing subsistem

41
dan hubungannya subsistem lainnya dalam peradilan pidana, di bawah ini

diuraikan fungsi dan tugas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan.

42
BAB III

KERANGKA DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsepsional

Penelitian ini memfokuskan pada efektivitas pengananan tindak

pidana korupsi petunjuk dalam menangani tindak pidana korupsi.

Alasan penelitian untuk menganalisis dan menjelaskan efektivitas

intelejen penanganan tindak pidana korupsi. Adapun landasan teon

dan penelitian ini antara lain teori efektivitas, dan dasar hukum dalam

penelitian ini adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, tentang

Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat. Undang- Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Hanya Polri yang dinilai lambat dalam penanganan kasus korupsi.

Oleh sebab itu dibentuklah Lembaga KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap akan lebih

evektif dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi.

Berpijak dari hal tersebut di atas ada indikator yang berpengaruh

besar terhadap efektivitas peranan penyidik Polri dalam penanganan kasus

tindak pidana korupsi, yang paling mendasar dan harus sangat diperhatikan

yaitu dari segi perundang- undangan itu sendiri yang merupakan landasan

hukum paling mendasar bagi Polri dan menyangkut kewenanganya dalam

penyidikan tindak pidana korupsi.

43
B. Diagram Konseptual

Efektivitas Intelejen Kepolisian Dalam Menangani


Kasus Korupsi Di Polda Sulawesi Selatan

Penanganan kasus tindak pidana


korupsi

Landasan Hukum, UU
Landasan Teori : 1. Undang-Undang No. 2
1. Teori Efektivitas Tahun 2002
2. Teori Pengakan Hukum 2. UU Nomor 30 Tahun
2002

C. Hipotesis

Hipotesis atau hipoteza ndalah jawaban sementara terhadap

masalah Yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan

kebenarannya.

1. Efektivitas intelejen penanganan tindak pidana korupsi suatu hal

yang kurang efektif,

2. Faktor-faktor yang dapat menghambat penanganan tindak pidana

korupsi secara garis besar terdiri 2 faktor yaitu faktor eksternal dan

faktor internal.

44
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, focus

penelitian yuridis normative yaitu pada penerapan atau

implementasi ketentuan hukum normative (in abstracto) pada

peristiwa hukum tertentu (in concerto) dan hasilnya. Jadi yang

diteliti adalah proses implementasi atau penerapan untuk

mencapai tujuan dan tujuan sebagai hasil akhir.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penyusunan

tesis ini adalah penelitian yuridis normatif (metode penelitian

hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah

penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder belaka. Dengan

menggunakan metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam

penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya

umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu

ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).15

B. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum berasal dari data kepustakaan, sedangkan

15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 27-28.

45
jenis bahan hukum berupa bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan yang diperoleh seorang

peneliti langsung dari sumber pertama tanpa perantara pihak lain

(langsung dari objeknya).16

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan sekunder yaitu bahan yang diperoleh seorang peneliti

secara tidak langsung dari sumbernya (objek penelitian), namun

melalui sumber lain.16 Dalam penelitian penelitian ini,data sekunder

yang digunakan berupa hasil karya ilmiah dari kalangan

hukum,artikel, dan google scholar serta bahan yang berkaitan

dengan pokok bahasan.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh bahan hukum primer dilakukan melalui

wawancara dengan penyidik dan tim inafis kepolisian Polres

Pinrang yang menggunakan teknik nonprobability sampling untuk

pengambilan sampel. Non-probability sampling adalah teknik

pengambilan sampel tidak diambil secara acak, unsur yang terpilih

menjadi sampel bisa disebabklan karena kebetulan atau karena

faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.

Untuk memperoleh bahan hukum sekunder yang dilakukan

16
Suteki & Galang Taufani,Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik),
(Depok: PT Raja Grafindo Persada,2018) hal.213.

46
menggunakan metode pustaka yaitu penelitian dilakukan

menggunakan literatur-literatur dan peraturan perundang-

undangan.

Dalam penelitian ini atau “source of law” yang merupakan

sesuatu yang memberikan wewenang untuk undang-undang dan

keputusan pengadilan; titik asal untuk hukum atau analisis hukum.

Menurut Black law Dictionary, bahan hukum di kategorikan menjadi

(i) Asal-usul konsep dan ide hulum; (ii) Lembaga pemerintah yang

merumuskan aturan hukum; dan (iii) manifestasi hukum yang

diterbitkan (buku, basis data komputer, bentuk mikro, disk optik,

dan media lain yang berisi informasi hukum adalah semua sumber

hukum).17

Bahan hukum, ada dua macam, yaitu Bahan hukum primer

dan bahan sekunder. Bahan hukum, yang dimaksud lebih

cenderung pada sumber-sumber kepustakaan, sebagaimana I

nyatakan oleh Robert Watt.18 Bahan Hukum yang digunakan dalam

proposal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder

1) Bahan hukum primer yaitu:

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian adalah

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan


17
Henry Campbell Black,M. A,Black Law Dictionary, (ST.Paul,Minn: West Publishing
1968),hal.1400.
18
Robert Watt, concise legal research, (NSW: The Federation Press,2001),hal.1.

47
pelayanan kepada masyarakat. Undang- Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat

kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer dan memahami

bahan hukum primer, meliputi literatur-literatur dan hasil penelitian

yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih penyusun dalam melakukan studi kasus

yaitu di Polda Sul-sel, yang beralamat Tamalanrea Indah, Jl. Perintis

Kemerdekaan No.KM.16, Pai, Kec. Biringkanaya, Kota Makassar,

Sulawesi Selatan 90242

E. Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan hukum yang telah terkumpul penulis

menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk

melukiskan kenyataan–kenyataan yang ada berdasarkan hasil

penelitian yang berbentuk penjelasan–penjelasan, dari analisis

tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan terhadap permasalahan

yang membahas secara umum yang didasarkan atas fakta–fakta

yang bersifat khusus.

Metode yang digunakan dalam penarikan kesimpulan adalah

metode induktif yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-

48
fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan

secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat diberikan

saran.

Setelah mengumpulkan data dilakukan dalam

pengelolaannya dilakukan beberapa Langkah sebagai berikut :

1. Peneliti Kembali menganalisis bahan hukum yang didapatkan

dengan melakukan pengecekan validasi data, tujuannya adalah

agar data yang diperoleh lengkao dan terjamin.

2. Proses pengkalisifikasian bahan hukum kemudian dicocokan

dengan permasalahan yang ada, yang tujuannya adalah untuk

mempermudah analisis yang dikemukakan.

3. Mencatat data secara sistematis dan konsisten, bahan hukum

yang diperolah dituangkan dalam suatu rancangan konsep untuk

kemudian dijadikan dasar utama dalam memberikan analisis

sehingga pada akhirnya terdapat keselarasan data dengan

analisis yang diberikan.

49
DAFTAR PUSTAKA

Appludnopsanji, Restrukturisasi Budaya Hukum Kejaksaan Dalam

Penuntutan Sebagai Independensi di Sistem Peradilan Pidana

Indonesia. Jurnal SASI, Universitas Diponegoro, 26(4), (2020)

Armunanto Hutahaean. Lembaga Penyidik Dalam Sistem Peradilan

Pidana Terpadu di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia,

Universitas Diponegoro, 16(1),(2019).

Dimianus Ding, “Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan”. Jurnal Ilmu

Pemerintah, Vol. 02 No. 02 (Februari 2014).

Dimianus Ding, “Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan”.

Elwi Danil, et al, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan

Pemberantasannya.( Jakarta: Raja Grafindo, 2011).

Fathur Rahman,. Pola Jaringan Korupsi di Tingkat Pemerintah Desa.

Jurnal Ilmu Hukum, 4(1), (2018).

Henry Campbell Black,M. A,Black Law Dictionary, (ST.Paul,Minn: West

Publishing 1968).

Hibnu Nugroho, et al, . Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia. Jakarta: Media Aksara Prima, (2012).

Iga Rosalina, “Efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Mandiri Perkotaan Pada Kelompok Pinjaman Bergulir Di Desa

Mantren Kec Karangrejo Kabupaten Madetaan”. Jurnal Efektivitas

50
Pemberdayaan Masyarakat, Vol. 01 No 01 (Februari 2012).

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti,

2000

M. Yahya Harahap, et al,. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP. (Jakarta: Sinar Grafik, 2000).

Robert Watt, concise legal research, (NSW: The Federation Press,2001).

Sahuri Lasmadi,Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak

Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jurnal

Ilmu Hukum, Universitas Jenderal Soedirman, 2(3), (2010).

Siregar N. F. Efektivitas Hukum. Jurnal Al-Razi, 18(2) (2018).

Suteki & Galang Taufani,Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan

Praktik),(Depok: PT Raja Grafindo Persada,2018).

51

Anda mungkin juga menyukai