949 1610 1 SM
949 1610 1 SM
Khamami Zada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda 95, Ciputat, Jakarta
E-mail: khamamizada@gmail.com
Abstract: Mapping the Mainstreaming Debate Regarding to Interfaith Marriage Law. This article intends to observe
the linkage of the implementation of interfaith marriage law with the opinion of Islamic jurists’ and to political
and social change in a country. Interfaith marriage law—as occurred in (former) North Yemen, Jordan, Algeria, and
Iraq—is not influenced by the Islamic school of thought of the majority population. In contrary, interfaith marriage in
the aforementioned states is not inline with the mainstream opinion of islamic jurists that forbidding softly (makrūh)
Muslim man to marry a woman of Ahl al-Kitāb. The regulation is obviously influenced by the rise of Islamism, such as
the Muslim brotherhood in Jordan, Front Islamic Salvation in Algeria, and the growing influence of Shiite movements
in Iraq and North Yemen in establishing religious conservatism in matters of interfaith marriage. Thus, it can be
understood why those countries prefer to refer text of the Quran that regulate interfaith marriage law.
Keywords: interfaith marriage law, islamic family law, Ahl al-Kitāb
Abstrak: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama. Artikel ini ingin menguji keterhubungan
pemberlakuan hukum perkawinan beda agama dengan pendapat-pendapat ulama fikih dan perubahan sosial politik
suatu negara. Hukum perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak tidak begitu sepenuhnya
dipengaruhi oleh mazhab fikih yang dianut mayoritas penduduknya. Justru perkawinan beda agama di negara-negara
tersebut sedikit keluar dari mainstream pendapat ulama fikih yang memakruhkan laki-laki Muslim yang menikah
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Posisi ini diambil bukan karena dipengaruhi oleh kolonialisme Barat yang berlangsung lama
dalam memberlakukan hukum, melainkan kuatnya Islamisme, seperti Ikhwanul Muslimin di Yordania, Front Islamic
Salvation di Aljazair, dan kuatnya pengaruh gerakan Syiah di Irak dan Yaman Utara dalam membangun konservatisme
agama dalam urusan perkawinan beda agama. Tidak heran jika empat negara ini mengambil jalan kembali ke teks
Alquran untuk mengatur hukum perkawinan beda agama.
Kata Kunci: hukum perkawinan beda agama, hukum keluarga Islam, Ahl al-Kitāb
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum maka mereka akan berlomba-lomba menikahi wanita
Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Ahl al-Kitāb karena kecantikan dan tipu daya mereka
termasuk orang-orang merugi.(Q.s. Al-Mā’idah [5]: 5).
dan wanita-wanita Muslimah akan terlantar.9
Pendapat serupa dikemukakan Ibn Qudāmah, ia Larangan yang berlaku bagi Khudhayfah ibn Yaman
berkata, “Tidak ada perbedaan di kalangan ulama lebih didasari oleh alasan bahwa ia adalah salah seorang
mengenai kebolehan menikahi wanita-wanita Ahl gubernur dan sebagai teladan bagi Muslim lainnya.
al-Kitāb”.5 Al-Jaṣṣāṣ juga berpendapat, “Kami tidak Sekiranya ‘Umar tidak memerintahkan kepadanya
menemukan seorang pun dari Sahabat dan Tābi’īn yang untuk menceraikan isterinya yang berasal dari Ahl al-
mengharamkan menikahi Ahl al-Kitāb”.6 Kitāb, niscaya umat akan mengikuti jejaknya sehingga
Hal ini didukung oleh praktik para sahabat yang menikahi mereka akan dicontoh oleh masyarakat
menikahi Ahl al-Kitāb. Di dalam sejarahnya, para Muslim sepanjang masa.10
Sahabat banyak yang menikahi wanita non-Muslim. Adapun menurut mazhab Ḥanafī, Shāfi’ī, dan
Hudhayfah ibn Yaman pernah menikahi wanita Yahudi Mālikī, menikahi Ahl al-Kitāb hukumnya adalah
dan Nasrani. Ṭalḥah ibn ‘Ubaydillah menikahi wanita makruh. Mazhab Ḥanbalī menyatakan menikahi Ahl
Yahudi penduduk Syam, ‘Uthmān ibn ‘Affān menikahi al-Kitāb adalah khilāf yang utama karena ‘Umar ibn al-
Naylah bint al-Qarafisah al-Kalabiyah, seorang Khaṭṭāb pernah mengatakan kepada para sahabat yang
Nasrani7 serta Jābir ibn ‘Abd Allāh pernah menikahi menikahi wanita Ahl al-Kitāb yang berstatus dhimmī agar
Ahl al-Kitāb. Dari penjelasan di atas di antara para menceraikannya. Para sahabat pun menceraikan istri-
Sahabat banyak yang menikahi Ahl al-Kitāb. Namun istri dari Ahl al-Kitāb, kecuali Khudhayfah. Adapun Ahl
demikian, ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb dan Ibn ‘Umar al-Kitāb yang berstatus ḥarbī, menurut mazhab Ḥanafī
berpendapat bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb haram hukumnya menikahi mereka apabila berada di
dilarang. ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb memandang jika pintu dār al-ḥarb. Mazhab Shāfi’ī dan Mālikī berpendapat
kebolehan menikahi wanita Ahl al-Kitāb dibuka dengan haram hukumnya. 11
leluasa dikhawatirkan akan mendatangkan pengaruh ‘Abd al-Raḥmān al-Jāzirī mengemukakan bahwa
negatif yang tidak diinginkan. Muslim laki-laki akan Mazhab Ḥanafī mengharamkan menikahi Ahl al-
berbondong-bondong meninggalkan para Muslimah Kitāb yang berada di dār al-ḥarb. Mazhab Mālikī
dan tidak menikahi mereka dan tentunya hal tersebut memakruhkan Ahl al-Kitāb secara mutlak, baik
dapat mendatangkan pelbagai macam bahaya bagi dhimmi maupun ḥarbī. Tapi, menikahi Ahl al-Kitāb
eksistensi Dawlah Islāmiyyah, seperti terbongkarnya di dār al-ḥarb sangat dimakruhkan. Pendapat kedua
rahasia negara karena informasi mereka. Mereka juga dari mazhab Mālikī justru tidak memakruhkan secara
dikhawatirkan akan merusak generasi Muslimah melalui mutlak. Sedangkan mazhab Shāfi’ī menikahi Ahl al-
doktrin agama, akhlak, dan lain sebagainya. Sebagai Kitāb makruh hukumnya apabila mereka berada di dār
kepala negara, ‘Umar berpendapat bahwa masalah al-Islām dan lebih makruh lagi jika mereka berada di
apa saja beserta wasīlah dan sarananya yang dapat dār al-ḥarb.12
menimbulkan bahaya harus ditutup. Dengan alasan ini,
Adapun menurut Muḥammad Jawad Mughniyah,
‘Umar melarang para Sahabat untuk menikahi Ahl al-
keempat mazhab sepakat bahwa sibh kitāb, seperti
Kitāb. Ia menulis surat kepada Khudhayfah ibn Yaman
Majusi, tidak boleh dinikahi. Keempat mazhab hanya
saat menjadi gubernur agar menceraikan istrinya yang
sepakat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi
Ahl al-Kitāb.8
wanita Ahl al-Kitāb, yakni wanita Yahudi dan Nasrani
‘Umar ibn al-Khaṭṭāb tidak mengatakan bahwa dan tidak sebaliknya.13
menikahi wanita Ahl al-Kitāb hukumnya haram.
Sedangkan Mazhab Imāmiyyah berpendapat bahwa
Karena Alquran sendiri tidak mengharamkannya.
wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki
Ia melarang para Sahabat untuk menikahi Ahl al-
Ahl al-Kitāb, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
Kitāb bukan karena haram, tetapi semata-mata untuk
kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-
mencegah ditinggalkannya para wanita Muslimah
akibat ketertarikan para Sahabat kepada wanita-wanita
Ahl al-Kitāb. Jika saja perkawinan itu diperbolehkan, 9
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 155-56
10
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 156
5
Ibn Qudāmah, Al-Sharḥ al-Kabīr ‘alā Matn al-Mughnī, Jilid VII, 11
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h.
(Suriah: Dār al-Bayān, t.th), h. 500. 6654.
6
Abū Bakr al-Jassās, Aḥkām al-Qur’ān, Jilid I, h. 393. 12
‘Abd al-Rahmān al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh ‘alā Madhāhib al-Arba‘ah,
7
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqḥ al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h. jilid IV, (Bayrūt: Dār al-Fikr al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 73.
6653. 13
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, cet. IV,
8
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 154-155. (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999), h. 336.
Pengaturan perkawinan beda agama di Yaman Ahl al-Kitāb ini menggunakan metode sad al-dharī’ah,
Utara masih memandang bahwa seorang perempuan yaitu menutup bahaya yang ditimbulkan akibat suatu
tidak boleh menikah dengan non-Muslim dan seorang perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya.
laki-laki hanya boleh menikah dengan wanita Ahl al- Perkawinan beda agama di Yordania diatur dalam
Kitāb. Sehingga dalam Hukum Keluarga Yaman Utara Undang-undang Hukum Keluarga (Qānūn al-Aḥwāl
ditetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan ketika al-Shakhṣiyyah) 1976 yang diamandemen dengan
suami (yang non-Muslim) masuk Islam, sedangkan Undang-undang No. 251977/ (Qānūn al-Aḥwāl al-
isterinya (yang bukan Ahl al-Kitāb) tidak masuk Islam Shakhṣiyyah). 21 Di dalam pasal 33 Undang-undang ini
atau tidak beragama Ahl al-Kitāb. Begitu pula sebaliknya disebutkan, “Perkawinan batal dalam kondisi berikut
ketika sang suami tetap non-Muslim, sementara istrinya ini: (1) seorang perempuan Muslimah menikah dengan
masuk Islam, perkawinan dibatalkan. Hal ini berarti laki-laki non-Muslim, (2) Laki-laki Muslim menikahi
hukum perkawinan beda agama mengikuti pendapat perempuan bukan Ahl al-Kitāb.”
fikih bahwa perkawinan harus didasarkan pada prinsip, Pasal ini menegaskan bahwa perkawinan beda
“suami harus beragama Islam atau istri beragama Ahl agama yang diperbolehkan apabila laki-laki Muslim
al-Kitāb”. menikah dengan Ahl al-Kitāb. Jika perempuannya
Yaman Utara adalah negara yang mayoritas Muslim sedangkan isterinya non-Muslim yang Ahl al-
penduduknya pengikut Syiah. 20 Tidak mengherankan Kitāb, maka perkawinan dapat dibatalkan. Prinsip ini
jika pengaturan perkawinan beda agama di Yaman menegaskan kesamaannya dengan ijma ulama tentang
Utara sejalan dengan pendapat ulama Syiah tentang hukum perkawinan beda agama terhadap Ahl al-Kitāb.
kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al- Yordania sebagai negara yang mayoritas penduduknya
Kitāb. Sebagian dari mereka hanya berpendapat bahwa adalah Sunnī mazhab Ḥanafī sesungguhnya beranjak
laki-laki Muslim yang menikahi wanita Ahl al-Kitāb dari pendapat mazhab Ḥanafī yang menyatakan
tidak baik dalam bentuk nikah dā’im atau mut’ah. bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb adalah makruh.
Namun demikian, jika dirujuk pada pendapat mazhab Bahkan, menurut ‘Abd al-Raḥmān al-Jāzirī, Mazhab
Shāfi’ī, yang juga banyak dianut Muslim Yaman Utara Ḥanafī mengharamkan menikahi Ahl al-Kitāb yang
nampaknya aturan perkawinan beda agamanya tidak berada di dār al-ḥarb. Meskipun Mazhab Ḥanafī hanya
sejalan. Mazhab Shāfi’ī berpendapat bahwa menikahi menghukumi makruh, Hukum Keluarga Yordani
Ahl al-Kitāb makruh hukumnya apabila mereka justru tidak melarang perkawinan dengan wanita Ahl
berada di dār al-Islām dan lebih makruh lagi jika al-Kitāb.
mereka berada di dār al-ḥarb. Ini berarti Yaman Utara Tidak dilarangnya perkawinan dengan wanita Ahl
beranjak dari pendapat mazhab Shāfi’ī karena Hukum al-Kitāb di Yordania merupakan kecenderungan kuat
Keluarga Yaman Utara tidak menghindari perkawinan Hukum Keluarga Yordania yang tidak begitu serius
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Meskipun dalam fikih, mengambil pendapat imam-imam mazhab yang pada
makruh bukan berarti dilarang secara mutlak, tapi pada umumnya berpendapat makruh, yang cenderung
umumnya ketika dikenakan hukum makruh, maka mestinya dihindari dalam bahasa fikih. Ini artinya,
akan dihindari. hukum perkawinan beda agama di Yordan mengambil
Hukum Keluarga Yaman Utara juga tampaknya hanya pemahaman dan penafsiran dari Alquran, surah al-
menafsirkan Alquran (Q.s. Al-Mā’idah [5]: 5) secara Mā’idah [5] ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim
tekstual tanpa melihat mudarat yang ditimbulkan akibat menikahi wanita Ahl al-Kitāb dan mengharamkan
perkawinan beda agama. Sebagaimana sudah ditegaskan wanita Muslimah dinikahi oleh Ahl al-Kitāb/Musyrik.
oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb bahwa menikahi Ahl al- Hukum Perkawinan di Yordania secara tegas akan
Kitāb akan mendatangkan pengaruh negatif yang tidak membatalkan setiap perkawinan beda agama, yaitu
diinginkan karena laki-laki Muslim akan lebih tertarik laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita bukan
kepada wanita Ahl al-Kitāb ketimbang para Muslimah. Ahl al-Kitāb atau Wanita Muslimah menikah dengan
Prinsip ‘Umar dalam menghukumi perkawinan dengan Ahl al-Kitāb. Namun demikian, Hukum Keluarga di
Yordania tidak menjelaskan siapa yang dimaksud Ahl
20
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 166. Lihat al-Kitāb. Karena para imam mazhab sudah sejak lama
pula Barbara Freyer Stowasser dan Zeinab Abul-Magd, Tahlil Marriage memperdebatkan siapa Ahl al-Kitāb. Pada umumnya,
in Shari’a, Legal Codes, and the Contemporarey Fatwa Literature, dalam mereka berpendapat bahwa yang dimaksud Ahl al-Kitāb
Yvonne Yazbeck Haddad dan Barbara Freyer Stowasser, Islamic Law
and the Challenges of Modernity, (Walnut Creek: Altamira Press, 2004),
h. 176. 21
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 74-75.
44 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013
adalah Yahudi dan Nasrani karena mereka memiliki Tabel Perkawinan Beda Agama
Taurat dan Injil, sedangkan agama lainnya tidak masuk di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak
dalam kategori Ahl al-Kitāb. Undang-
Negara Materi Keterangan
Perkawinan beda agama di Aljazair diatur dalam undang
Yaman Qānūn al- Pasal 47, “Ketika • Negara
Undang-undang Hukum Perdata No. 11 tahun 1984 Utara Usrah, 1978 seorang suami Islam (sistem
(Civil Code).22 Pasal 31 menyebutkan, “Seorang non-Muslim presidensial)
perempuan Muslimah tidak dapat menikah dengan masuk Islam dan • Syiah
isterinya yang Zaidiyah-
seorang laki-laki non-Muslim.” Pasal ini menegaskan bukan Ahl al- Mazhab
bahwa adanya larangan perempuan Muslimah Kitāb tidak masuk Syāfi’ī
Islam atau agama • Islam adalah
dinikahkan dengan laki-laki non-Muslim. Hal ini tentu Ahl al-Kitāb, agama negara
saja tidak berbeda dengan pandangan kebanyakan maka perkawinan • Syariah
ulama yang bersepakat kebolehan laki-laki menikah tersebut dapat sebagai
dibatalkan. Ketika sumber
dengan Ahl al-Kitāb dan sebaliknya dilarang perempuan seorang isteri non- legislasi
menikah dengan non-Muslim. Mazhab Mālikī yang Muslim masuk • Dijajah
Islam sementara Inggris
dianut mayoritas masyarakat Aljazair berpendapat suaminya tetap
bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb adalah makruh, non-Muslim,
seperti halnya pendapat mazhab fikih lainnya, seperti perkawinan dapat
dibatalkan. Ketika
mazhab Ḥanafī dan Shāfi’ī. Inilah letak perbedaan salah seorang
antara materi hukum perkawinan beda agama dalam suami-istri keluar
dari Islam, maka
Hukum Keluarga di Mālikī dengan pendapat mazhab perkawinan
Mālikī. dibatalkan”.
Aturan perkawinan beda agama di Aljazair hanya Yorda- Qānūn Pasal 33 • Monarki
nia al-Ahwal al- “Perkawinan konstitu-
diatur satu pasal tentang perempuan Muslimah yang Shakhsiyyah batal dalam sional
dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ini 1976 yang kondisi berikut • Islam sebagai
berarti laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahl diaman- ini: (1) seorang agama
demen perempuan Negara
al-Kitāb. Ketentuan ini tidak menjelaskan status (Qānūn Muslimah • Mazhab
perempuan yang telah menikah dengan laki-laki non- al-Ahwal al- menikah dengan Hanafī
Shakhsiy- laki-laki non- • Dijajah
Muslim, apakah dibatalkan atau tidak. yah) 1977 Muslim, (2) Inggris
Perkawinan beda agama di Irak diatur dalam Laki-laki Muslim
Undang-undang Hukum Keluarga (Code of Personal menikahi
perempuan bukan
Status) 1959 yang diamandemen dengan Undang- Ahl al-Kitāb.
undang No. 11,1980/155/1980/57/1978/21 ,1963/ Aljazair Undang- Pasal 31, “Seorang • Negara
1981/125/1980/189/ dan 341983/). Pasal 17 undang perempuan Republik
Hukum muslimah tidak (sistem
menyebutkan, “Perkawinan seorang laki-laki Muslim Perdata No dapat menikah presidensial)
dengan Ahl al-Kitāb adalah sah, tetapi perkawinan 11 tahun dengan seorang • Konstitusi:
1984 (Civil laki-laki non- Islam sebagai
perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim Code) Al- Muslim. agama
tidak diperbolehkan”. Jazair. negara
• Mazhab
Dengan ketetapan ini, maka perempuan Muslimah Mālikī
dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, apakah • Dijajah
Ahl al-Kitāb ataupun tidak dan pada posisi sebaliknya Prancis
Irak Undang- Pasal 17, • Sunni
diperbolehkan. Ketetapan ini menegaskan bahwa hukum undang “Perkawinan (Mazhab
perkawinan beda agama di Irak yang penduduknya Hukum seorang laki-laki Hanafī)-
Keluarga Muslim dengan Syiah
adalah mayoritas Syiah dan Sunnī (Ḥanafī)23 tampak (Code of Ahl al-Kitāb (Ja’fari)
tidak sepenuhnya mengikuti pendapat Ḥanafī yang Personal adalah sah, tetapi • Dijajah
memakruhkan perkawinan laki-laki Muslim dengan Status) perkawinan Inggris
1959 yang perempuan
wanita Ahl al-Kitāb. Tetapi, hukum perkawinan beda diaman- Muslimah dengan
agama di Irak justru mengikuti pendapat Syiah yang demen laki-laki non-
dengan Muslim tidak
membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl Undang- diperboleh-kan”.
al-Kitāb. undang
34/1983).
22
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 16-17. Sumber: Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic
23
Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet, Encyclopedia Countries, History, Text, and Comparative Analysis, New Delhi,
of the Modern Middle East, volume 2, h. 881. Academy of Law and Religion, 1987
Khamami Zada: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama 45
Fikih: Keterdesakan Perubahan Aljazair, dan Irak untuk memilih hukum perkawinan
beda agama yang sama seperti bunyi teks Alquran.
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak adalah
Hal ini dapat dimengerti karena persoalan hubungan
negara-negara Muslim yang memiliki karakteristik yang
antaragama dalam perkawinan merupakan isu yang
unik dalam mengatur hukum perkawinan beda agama,
sensitif dan strategis dalam masyarakat Islam. Hukum
terutama pada status laki-laki Muslim yang menikah
perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania,
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Pertama, dari sudut
Aljazair, dan Irak tidak berani beranjak pada teks
pandang Sunni-Syiah dan imam-imam mazhab. Dilihat
Alquran untuk membebaskan segala jenis perkawinan
dari aspek ini, Yaman Utara dan Irak memiliki penganut
beda agama.
Syiah yang relatif besar, yang berpaham Zaidiyah dan
Ja‘fariyah. Sedangkan Aljazair dan Yordania didominasi Ketiga, konteks sosial-politik dalam gerakan Islam
oleh Sunni. Adapun dari aspek mazhab Fikih Sunni, yang terjadi di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak didominasi Irak menunjukkan kuatnya Islamisme, seperti Ikhwanul
oleh mazhab Mālikī, Ḥanafī, dan Shāfi’ī. Muslimin di Yordania, Front Islamic Salvation di
Aljazair dan kuatnya pengaruh gerakan Syiah di Irak
Dari pemetaan ini, perkawinan beda agama di
dan Yaman Utara. Pola gerakan ini telah memperkuat
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak memiliki
konservatisme agama dalam urusan perkawinan beda
kecenderungan melarang perempuan Muslimah
agama. Tidak mengherankan jika empat negara ini
menikah dengan laki-laki non-Muslim dan kebolehan
mengambil jalan kembali ke teks Alquran untuk
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb.
mengatur hukum perkawinan beda agama.
Pola kecenderungan ini menunjukkan bahwa Hukum
Keluarga di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Jika dilihat dari Konstitusinya pun, ada
Irak justru tidak sepenuhnya merujuk pada pendapat kecenderungan Islam sebagai agama negara, yang
imam-imam mazhab (Mālikī, Ḥanafī, dan Shāfi’ī) yang memberikan bukti bahwa warna Islam di Yaman Utara,
sepakat menghukumi makruh bagi laki-laki Muslim Yordania, Aljazair, dan Irak memiliki kecenderungan
yang menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb. Hukum yang formalistik. Paradigma ini melahirkan hukum-
perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania, hukum yang tekstual, lebih-lebih dalam hal hubungan
Aljazair, dan Irak justru merujuk langsung kepada antaragama seperti perkawinan beda agama.
Alquran surah al-Mā’idah [5] ayat 5 yang membolehkan Jalan kembali ke teks Alquran dalam mengatur
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb. hukum perkawinan beda agama di Yaman Utara,
Hal ini berarti pemberlakuan hukum perkawinan Yordania, Aljazair, dan Irak sebenarnya terjadi juga
beda agama di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, di negara-negara Muslim lainnya, meskipun warna
dan Irak tidak begitu sepenuhnya dipengaruhi oleh formalisme Islam tidak begitu kuat, seperti Indonesia.
mazhab fikih yang dianut mayoritas penduduknya. Namun demikian, letak perdebatannya adalah apakah
Justru hukum perkawinan beda agama di Yaman Yahudi dan Nasrani masih masuk kategori Ahl al-Kitāb
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak sedikit keluar dari yang sama seperti pada awalnya atau dengan kata lain
mainstream pendapat ulama fikih yang memakruhkan apakah Yahudi dan Nasrani zaman sekarang masih asli.
laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita Ahl al- Jika Yahudi dan Nasrani dipandang tidak asli lagi karena
Kitāb. sudah banyak yang diubah ajarannya, maka mereka
tidak masuk dalam rumusan teks Alquran sebagai
Kedua, kolonialisme Barat yang berlangsung lama
Ahl al-Kitāb. Implikasinya adalah wanita Yahudi dan
di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak, terutama
Nasrani zaman sekarang tidak boleh lagi dinikahi oleh
oleh Prancis dan Inggris tampaknya tidak begitu kuat
laki-laki Muslim karena teks Alquran menunjuk pada
memengaruhi pemikiran hukum Islam dalam soal
Yahudi dan Nasrani yang masih asli.
perkawinan beda agama. Barat yang di dalam aturan
hukumnya tidak melarang perkawinan beda agama apa Perdebatan yang kedua adalah tentang alasan
pun statusnya, tidak memengaruhi hukum di Yaman sosiologis perkawinan beda agama yang cenderung
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak. Empat negara ini membawa mudarat, terutama dalam pemeliharaan dan
memilih keluar dari mainstream Barat yang sekuler pendidikan anak. Jika yang merawat dan yang mendidik
dan bebas dalam membuat aturan hukum tentang anak adalah istri Ahl al-Kitāb, maka akan menyebabkan
perkawinan beda agama. Kebudayaan Barat yang sudah anak cenderung ikut agama ibu, bukan agama bapak.
diwariskan dalam kehidupan modern masyarakat Yaman Inilah mudaratnya perkawinan beda agama. Karena
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak tidak memengaruhi itulah, perkawinan beda agama cenderung dihindari
kecenderungan masyarakat Yaman Utara, Yordania, untuk menghindari mudarat, sebagaimana kaidah
fikih, “Kemudaratan itu dihilangkan” atau kaidah lain,
46 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013