Anda di halaman 1dari 8

Khamami Zada: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama 39

ARUS UTAMA PERDEBATAN


HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA

Khamami Zada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda 95, Ciputat, Jakarta
E-mail: khamamizada@gmail.com

Abstract: Mapping the Mainstreaming Debate Regarding to Interfaith Marriage Law. This article intends to observe
the linkage of the implementation of interfaith marriage law with the opinion of Islamic jurists’ and to political
and social change in a country. Interfaith marriage law—as occurred in (former) North Yemen, Jordan, Algeria, and
Iraq—is not influenced by the Islamic school of thought of the majority population. In contrary, interfaith marriage in
the aforementioned states is not inline with the mainstream opinion of islamic jurists that forbidding softly (makrūh)
Muslim man to marry a woman of Ahl al-Kitāb. The regulation is obviously influenced by the rise of Islamism, such as
the Muslim brotherhood in Jordan, Front Islamic Salvation in Algeria, and the growing influence of Shiite movements
in Iraq and North Yemen in establishing religious conservatism in matters of interfaith marriage. Thus, it can be
understood why those countries prefer to refer text of the Quran that regulate interfaith marriage law.
Keywords: interfaith marriage law, islamic family law, Ahl al-Kitāb

Abstrak: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama. Artikel ini ingin menguji keterhubungan
pemberlakuan hukum perkawinan beda agama dengan pendapat-pendapat ulama fikih dan perubahan sosial politik
suatu negara. Hukum perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak tidak begitu sepenuhnya
dipengaruhi oleh mazhab fikih yang dianut mayoritas penduduknya. Justru perkawinan beda agama di negara-negara
tersebut sedikit keluar dari mainstream pendapat ulama fikih yang memakruhkan laki-laki Muslim yang menikah
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Posisi ini diambil bukan karena dipengaruhi oleh kolonialisme Barat yang berlangsung lama
dalam memberlakukan hukum, melainkan kuatnya Islamisme, seperti Ikhwanul Muslimin di Yordania, Front Islamic
Salvation di Aljazair, dan kuatnya pengaruh gerakan Syiah di Irak dan Yaman Utara dalam membangun konservatisme
agama dalam urusan perkawinan beda agama. Tidak heran jika empat negara ini mengambil jalan kembali ke teks
Alquran untuk mengatur hukum perkawinan beda agama.
Kata Kunci: hukum perkawinan beda agama, hukum keluarga Islam, Ahl al-Kitāb

Pendahuluan merupakan negara-negara yang mengatur perkawinan


Salah satu isu penting dalam materi pembaharuan beda agama di dalam Undang-undang Hukum
hukum keluarga di negara-negara Muslim adalah Keluarganya. Irak yang penduduknya didominasi
perkawinan beda agama. Meskipun materi ini tidak pengikut mazhab Ḥanafī memiliki Qānūn al-Aḥwāl al-
banyak dibahas dalam Undang-undang Hukum Shakhṣiyyah Nomor 188 tahun 1959 yang diperbarui
Keluarga di negera-negara Muslim, tetapi tingkat hingga UU Nomor 11 tahun 1980. Aljazair yang
signifikansinya begitu jelas jika dikaitkan dengan mayoritas penduduknya pengikut mazhab Mālikī dan
tingkat kemajemukan agama yang dianut warga negara sebagian Syiah Ibadi memiliki Marriage Ordinance
di setiap negara-negara Muslim dan tingkat perubahan- Nomor 274 Tahun 1959 yang diperbarui dengan
perubahan sosial dan politiknya. Algerian Family Code Nomor 11 Tahun 1984. Yordania
Di masa modern ini, negara-negara Muslim mulai yang menganut mazhab Ḥanafī memiliki Qānūn al-
mengatur status hukum perkawinan beda agama, Aḥwāl al-Shakhṣiyyah Nomor 61 Tahun 1976. Yaman
terutama perkawinan Ahl al-Kitāb dan yang bukan Utara yang mayoritas penduduknya pengikut Syiah
Ahl al-Kitāb. Irak, Yaman Utara, Aljazair, dan Yordania Zaidiyah memiliki Qānūn al-Usrah Nomor 3 Tahun
1978. Empat Negara ini masuk dalam kategori
Negara Muslim yang telah melakukan pembaharuan
Naskah diterima: 5 Juli 2012, direvisi: 19 Oktober 2012, disetujui Hukum Keluarga Islam secara berkesinambungan atau
untuk terbit: 30 Oktober 2012.
40 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

bertahap. wanita ateis yang ingkar terhadap semua agama dan


Pengaturan perkawinan beda agama yang diatur tidak beriman kepada Tuhan. Demikian juga tidak boleh
dalam Undang-undang Hukum Keluarga Irak, Yaman menikahi wanita yang beriman kepada agama selain
Utara, Aljazair, dan Yordania sesungguhnya merupakan agama samawi, seperti agama-agama yang diciptakan
upaya negara dalam memberikan kejelasan status hukum manusia seperti agama Majusi yang menyembah api,
di tengah perdebatan di kalangan Muslim (fukaha dan Wathaniyah yang menyembah berhala, Ṣabi’ah yang
mufasir) sejak zaman klasik hingga sekarang tentang menyembah bintang-bintang dan benda-benda di langit
hukum perkawinan beda agama. dan Hindu yang menyembah sapi. Demikian juga laki-
laki muslim dilarang menikahi wanita yang dilahirkan
Perkawinan Beda Agama dalam Fikih dari campuran antara Ahl al-Kitāb dengan Majusi,
sekalipun bapaknya Ahl al-Kitāb karena memenangkan
Perkawinan beda agama sesungguhnya telah diatur
keharaman. 2
dalam Alquran, baik kepada laki-laki Muslim maupun
perempuan Muslimah. Berdasarkan ayat-ayat Alquran, Kedua, menikahi orang kafir. Berdasarkan pendapat
para ulama membagi hukum perkawinan beda agama ijmak ulama, seorang perempuan Muslimah diharamkan
ke dalam beberapa kategori. menikah dengan laki-laki kafir.3 Dalil yang digunakan
adalah surah
 al-Baqarah
   [2]ayat
  Begitu
221.  juga
Pertama, hukum menikahi musyrik dan murtad.
seorang perempuan Muslimah tidak boleh dinikahi
Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim          
laki-laki Ahl al-Kitāb, termasuk Majusi. Pendapat ini
diharamkan menikahi musyrik. Orang-orang yang
memperlihatkan bahwa perempuan Muslimah hanya
telah menyekutukan Allah Swt. diharamkan untuk          
boleh dinikahi laki-laki Muslim, tidak boleh dinikahi
dinikahi oleh Muslim, termasuk di dalamnya murtad.
olehmusyrik,
  murtad,
 dan
kafir
  (Ahl
al-Kitāb).
   
Mazhab Ḥanafiyyah, Shāfi’iyyah, dan mazhab lainnya
menyamakan murtad dengan musyrik, sehingga Ketiga, ulama bersepakat bahwa laki-laki Muslim
boleh menikahi wanitaAhl  4 Dalilnya
 al-Kitāb.  adalah

menikahi murtad pun hukumnya adalah haram.1
Karena orang yang murtad adalah orang yang tidak lagi firman Allah Swt:
memegangi agama Allah Swt.          
Dalil yang dijadikan argumen adalah:
       
         
        
         
      
         
         
          
   
    
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
      
(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitāb itu halal
 mereka
sebelum  beriman.
 Sesungguhnya
   wanita
 budak
 bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan   
kehormatan  wanita-wanita
diantara    yang  dan
  beriman 
 musyrik
orang-orang  (dengan
  wanita-wanita
  mukmin)
  wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang    yang
orang-orang  diberi
 al-Kitāb
  sebelum
  kamu,
 bila

 lebih
mukmin  baik dari
 orang   walaupun
 musyrik,  kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
   tidak  dengan
 maksud
  berzina
 dan  
 tidak
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, menikahinya,
Allah
sedang    ke
mengajak  surga
dan
   dengan
ampunan  (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka        
  pelajaran.
mengambil   (Q.s.    [2]:
Al-Baqarah   
 221). 2
Lihat, ‘Abd al-‘Azīz Muhammad ‘Azzām dan ‘Abd al-Wahhāb
          
Sayyed Hawwās, al-Usrah wa Ahkāmuhā fī al-Tashrī’ al-Islāmī,
Larangan menikahi juga ditujukan   
 kepada 
ateis. terjemahan Fiqh Munakahat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), h.
169.
‘Abd al-‘Azīz Muḥammad ‘Azzām dan ‘Abd al-Wahhāb  al-Islāmī
    jilid
IX,
3
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh waAdillatuh,  h.
Sayyed Ḥawwās berpendapat tidak boleh menikahi 6653.
       4
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h.
6653. Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis
Wahbah
 al-Zuhaylī,
 al-Fiqh
  al-Islāmī
 waAdillatuh,
  jilid
 IX, Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta: Al-Irfan
1

(Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997), h. 665. Publishing, 2007), h. 154-155.


           
Khamami Zada: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama 41

kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum maka mereka akan berlomba-lomba menikahi wanita
Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Ahl al-Kitāb karena kecantikan dan tipu daya mereka
termasuk orang-orang merugi.(Q.s. Al-Mā’idah [5]: 5).
dan wanita-wanita Muslimah akan terlantar.9
Pendapat serupa dikemukakan Ibn Qudāmah, ia Larangan yang berlaku bagi Khudhayfah ibn Yaman
berkata, “Tidak ada perbedaan di kalangan ulama lebih didasari oleh alasan bahwa ia adalah salah seorang
mengenai kebolehan menikahi wanita-wanita Ahl gubernur dan sebagai teladan bagi Muslim lainnya.
al-Kitāb”.5 Al-Jaṣṣāṣ juga berpendapat, “Kami tidak Sekiranya ‘Umar tidak memerintahkan kepadanya
menemukan seorang pun dari Sahabat dan Tābi’īn yang untuk menceraikan isterinya yang berasal dari Ahl al-
mengharamkan menikahi Ahl al-Kitāb”.6 Kitāb, niscaya umat akan mengikuti jejaknya sehingga
Hal ini didukung oleh praktik para sahabat yang menikahi mereka akan dicontoh oleh masyarakat
menikahi Ahl al-Kitāb. Di dalam sejarahnya, para Muslim sepanjang masa.10
Sahabat banyak yang menikahi wanita non-Muslim. Adapun menurut mazhab Ḥanafī, Shāfi’ī, dan
Hudhayfah ibn Yaman pernah menikahi wanita Yahudi Mālikī, menikahi Ahl al-Kitāb hukumnya adalah
dan Nasrani. Ṭalḥah ibn ‘Ubaydillah menikahi wanita makruh. Mazhab Ḥanbalī menyatakan menikahi Ahl
Yahudi penduduk Syam, ‘Uthmān ibn ‘Affān menikahi al-Kitāb adalah khilāf yang utama karena ‘Umar ibn al-
Naylah bint al-Qarafisah al-Kalabiyah, seorang Khaṭṭāb pernah mengatakan kepada para sahabat yang
Nasrani7 serta Jābir ibn ‘Abd Allāh pernah menikahi menikahi wanita Ahl al-Kitāb yang berstatus dhimmī agar
Ahl al-Kitāb. Dari penjelasan di atas di antara para menceraikannya. Para sahabat pun menceraikan istri-
Sahabat banyak yang menikahi Ahl al-Kitāb. Namun istri dari Ahl al-Kitāb, kecuali Khudhayfah. Adapun Ahl
demikian, ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb dan Ibn ‘Umar al-Kitāb yang berstatus ḥarbī, menurut mazhab Ḥanafī
berpendapat bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb haram hukumnya menikahi mereka apabila berada di
dilarang. ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb memandang jika pintu dār al-ḥarb. Mazhab Shāfi’ī dan Mālikī berpendapat
kebolehan menikahi wanita Ahl al-Kitāb dibuka dengan haram hukumnya. 11
leluasa dikhawatirkan akan mendatangkan pengaruh ‘Abd al-Raḥmān al-Jāzirī mengemukakan bahwa
negatif yang tidak diinginkan. Muslim laki-laki akan Mazhab Ḥanafī mengharamkan menikahi Ahl al-
berbondong-bondong meninggalkan para Muslimah Kitāb yang berada di dār al-ḥarb. Mazhab Mālikī
dan tidak menikahi mereka dan tentunya hal tersebut memakruhkan Ahl al-Kitāb secara mutlak, baik
dapat mendatangkan pelbagai macam bahaya bagi dhimmi maupun ḥarbī. Tapi, menikahi Ahl al-Kitāb
eksistensi Dawlah Islāmiyyah, seperti terbongkarnya di dār al-ḥarb sangat dimakruhkan. Pendapat kedua
rahasia negara karena informasi mereka. Mereka juga dari mazhab Mālikī justru tidak memakruhkan secara
dikhawatirkan akan merusak generasi Muslimah melalui mutlak. Sedangkan mazhab Shāfi’ī menikahi Ahl al-
doktrin agama, akhlak, dan lain sebagainya. Sebagai Kitāb makruh hukumnya apabila mereka berada di dār
kepala negara, ‘Umar berpendapat bahwa masalah al-Islām dan lebih makruh lagi jika mereka berada di
apa saja beserta wasīlah dan sarananya yang dapat dār al-ḥarb.12
menimbulkan bahaya harus ditutup. Dengan alasan ini,
Adapun menurut Muḥammad Jawad Mughniyah,
‘Umar melarang para Sahabat untuk menikahi Ahl al-
keempat mazhab sepakat bahwa sibh kitāb, seperti
Kitāb. Ia menulis surat kepada Khudhayfah ibn Yaman
Majusi, tidak boleh dinikahi. Keempat mazhab hanya
saat menjadi gubernur agar menceraikan istrinya yang
sepakat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi
Ahl al-Kitāb.8
wanita Ahl al-Kitāb, yakni wanita Yahudi dan Nasrani
‘Umar ibn al-Khaṭṭāb tidak mengatakan bahwa dan tidak sebaliknya.13
menikahi wanita Ahl al-Kitāb hukumnya haram.
Sedangkan Mazhab Imāmiyyah berpendapat bahwa
Karena Alquran sendiri tidak mengharamkannya.
wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki
Ia melarang para Sahabat untuk menikahi Ahl al-
Ahl al-Kitāb, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
Kitāb bukan karena haram, tetapi semata-mata untuk
kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al-
mencegah ditinggalkannya para wanita Muslimah
akibat ketertarikan para Sahabat kepada wanita-wanita
Ahl al-Kitāb. Jika saja perkawinan itu diperbolehkan, 9
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 155-56
10
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 156
5
Ibn Qudāmah, Al-Sharḥ al-Kabīr ‘alā Matn al-Mughnī, Jilid VII, 11
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h.
(Suriah: Dār al-Bayān, t.th), h. 500. 6654.
6
Abū Bakr al-Jassās, Aḥkām al-Qur’ān, Jilid I, h. 393. 12
‘Abd al-Rahmān al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh ‘alā Madhāhib al-Arba‘ah,
7
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqḥ al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h. jilid IV, (Bayrūt: Dār al-Fikr al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 73.
6653. 13
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, cet. IV,
8
Lihat Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 154-155. (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999), h. 336.
       

      


42 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013
         
Kitāb. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal teguh kepada Kitab Allah seperti halnya orang-orang
 
itu tidak baik dalam bentuk nikah dā’im   mut’ah
atau  14. Yahudi dan Nasrani. Adapun Ṣābi’ūn menurut Imam
Mereka berpegang pada ayat berikut ini: Aḥmad dan Imam Shāfi’ī adalah segolongan dengan
Nasrani. Sedangkan menurut Abū Thawr dan Ibn
      
Ḥazm al-Ẓāhirī, Majusi juga termasuk dalam kategori
        
Ahl al-Kitāb16 karena Rasulullah pernah bersabda,
“Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti Ahl
            al-Kitāb”. Namun menurut kebanyakan fukaha, Majusi
itu bukan Ahl al-Kitāb. Sedangkan Samirah (kelompok
           agama Yahudi) dan Ṣābi’ah (kelompok agama Nasrani)
menurut Abū Ḥanīfah dan mazhab Ḥanbalī mereka
        termasuk Ahl al-Kitāb.17
Ulama juga berbeda pendapat dalam memahami
          
maksud al-muḥṣanāt min ahl al-kitāb. Imam Shāfi’ī
       berpendapat al-muḥṣanāt adalah wanita merdeka,
sehingga Imam Shāfi’ī berpendapat tidak boleh menikahi
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah Ahl al-Kitāb. Bagi Imam Shāfi’ī, larangan mengawini
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih wanita Ahl al-Kitāb disebabkan dua kekurangan, yaitu
mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu kafir dan budak. Abū Ḥanīfah mengatakan al-muḥṣanāt
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, adalah wanita-wanita yang memelihara kehormatan diri
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada mereka (tidak berbuat zina). Maka, dalam pandangan
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir Abū Ḥanīfah, wanita Ahl al-Kitāb boleh dinikahi.18
itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada Ulama juga berbeda pendapat mengenai dhimmī
(suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan ḥarbī. Sa‘īd Musayyab mengatakan bahwa Alquran
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah membolehkan mengawini wanita Ahl al-Kitāb, baik
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan dhimmī dan ḥarbī. Pendapat ini berbeda dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mayoritas ulama yang melarang menikahi wanita Ahl
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka al-Kitāb yang ḥarbī dan memperbolehkan menikahi
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan wanita yang dhimmī.19 Larangan menikahi wanita
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al- Ahl al-Kitāb yang ḥarbī jelas-jelas mengandung spirit
Mumtaḥanah [60]: 10) bahwa Ahl al-Kitāb yang ḥarbī akan membahayakan
Sedangkan kelompok Imāmiyyah lainnya umat Islam.
mengatakan bahwa menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitāb
itu boleh dalam bentuk nikah sementara, tetapi bukan Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif
dalam bentuk nikah dā’im. Mereka mengompromikan Negara-negara Muslim
antara dalil yang melarang dan yang membolehkan. Ada sejumlah negara yang mengatur hukum
Dalil yang menunjukkan larangan, menurut mereka perkawinan beda agama, seperti Yaman Utara,
adalah larangan untuk nikah dā’im, sedangkan dalil Yordania, Irak, dan Aljazair. Di Yaman Utara, misalnya,
yang membolehkan adalah nikah sementara.15 perkawinan beda agama diatur dalam Undang-undang
Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat Hukum Keluarga (Qānūn al-Usrah) No. 31978/. Pasal
dalam menafsirkan Ahl al-Kitāb. Mayoritas ulama 47 menyebutkan:
mengatakan bahwa Ahl al-Kitāb adalah Yahudi dan Ketika seorang suami non-Muslim masuk Islam dan
Nasrani. Pendapat ini diperkuat oleh Alquran, surah isterinya yang bukan Ahl al-Kitāb tidak masuk Islam
al-An‘ām [6] ayat 156, “Kami turunkan Alquran itu atau agama Ahl al-Kitāb, maka perkawinan tersebut
dapat dibatalkan. Ketika seorang isteri non-Muslim
agar kamu (tidak) mengatakan bahwa Kitab itu hanya
masuk Islam sementara suaminya tetap non-Muslim,
diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kamu”. perkawinan dapat dibatalkan. Ketika salah seorang suami-
Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahl al-Kitāb juga istri keluar dari Islam, maka perkawinan dibatalkan.
mencakup orang-orang yang berpegang teguh kepada
Ṣuḥuf Ibrāhīm, Shis, dan Zabūr karena mereka berpegang 16
Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 149-50.
17
Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jilid IX, h.
6655-6.
14
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 336. 18
Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 154-55.
15
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 337. 19
Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, h. 154-55.
Khamami Zada: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama 43

Pengaturan perkawinan beda agama di Yaman Ahl al-Kitāb ini menggunakan metode sad al-dharī’ah,
Utara masih memandang bahwa seorang perempuan yaitu menutup bahaya yang ditimbulkan akibat suatu
tidak boleh menikah dengan non-Muslim dan seorang perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya.
laki-laki hanya boleh menikah dengan wanita Ahl al- Perkawinan beda agama di Yordania diatur dalam
Kitāb. Sehingga dalam Hukum Keluarga Yaman Utara Undang-undang Hukum Keluarga (Qānūn al-Aḥwāl
ditetapkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan ketika al-Shakhṣiyyah) 1976 yang diamandemen dengan
suami (yang non-Muslim) masuk Islam, sedangkan Undang-undang No. 251977/ (Qānūn al-Aḥwāl al-
isterinya (yang bukan Ahl al-Kitāb) tidak masuk Islam Shakhṣiyyah). 21 Di dalam pasal 33 Undang-undang ini
atau tidak beragama Ahl al-Kitāb. Begitu pula sebaliknya disebutkan, “Perkawinan batal dalam kondisi berikut
ketika sang suami tetap non-Muslim, sementara istrinya ini: (1) seorang perempuan Muslimah menikah dengan
masuk Islam, perkawinan dibatalkan. Hal ini berarti laki-laki non-Muslim, (2) Laki-laki Muslim menikahi
hukum perkawinan beda agama mengikuti pendapat perempuan bukan Ahl al-Kitāb.”
fikih bahwa perkawinan harus didasarkan pada prinsip, Pasal ini menegaskan bahwa perkawinan beda
“suami harus beragama Islam atau istri beragama Ahl agama yang diperbolehkan apabila laki-laki Muslim
al-Kitāb”. menikah dengan Ahl al-Kitāb. Jika perempuannya
Yaman Utara adalah negara yang mayoritas Muslim sedangkan isterinya non-Muslim yang Ahl al-
penduduknya pengikut Syiah. 20 Tidak mengherankan Kitāb, maka perkawinan dapat dibatalkan. Prinsip ini
jika pengaturan perkawinan beda agama di Yaman menegaskan kesamaannya dengan ijma ulama tentang
Utara sejalan dengan pendapat ulama Syiah tentang hukum perkawinan beda agama terhadap Ahl al-Kitāb.
kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl al- Yordania sebagai negara yang mayoritas penduduknya
Kitāb. Sebagian dari mereka hanya berpendapat bahwa adalah Sunnī mazhab Ḥanafī sesungguhnya beranjak
laki-laki Muslim yang menikahi wanita Ahl al-Kitāb dari pendapat mazhab Ḥanafī yang menyatakan
tidak baik dalam bentuk nikah dā’im atau mut’ah. bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb adalah makruh.
Namun demikian, jika dirujuk pada pendapat mazhab Bahkan, menurut ‘Abd al-Raḥmān al-Jāzirī, Mazhab
Shāfi’ī, yang juga banyak dianut Muslim Yaman Utara Ḥanafī mengharamkan menikahi Ahl al-Kitāb yang
nampaknya aturan perkawinan beda agamanya tidak berada di dār al-ḥarb. Meskipun Mazhab Ḥanafī hanya
sejalan. Mazhab Shāfi’ī berpendapat bahwa menikahi menghukumi makruh, Hukum Keluarga Yordani
Ahl al-Kitāb makruh hukumnya apabila mereka justru tidak melarang perkawinan dengan wanita Ahl
berada di dār al-Islām dan lebih makruh lagi jika al-Kitāb.
mereka berada di dār al-ḥarb. Ini berarti Yaman Utara Tidak dilarangnya perkawinan dengan wanita Ahl
beranjak dari pendapat mazhab Shāfi’ī karena Hukum al-Kitāb di Yordania merupakan kecenderungan kuat
Keluarga Yaman Utara tidak menghindari perkawinan Hukum Keluarga Yordania yang tidak begitu serius
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Meskipun dalam fikih, mengambil pendapat imam-imam mazhab yang pada
makruh bukan berarti dilarang secara mutlak, tapi pada umumnya berpendapat makruh, yang cenderung
umumnya ketika dikenakan hukum makruh, maka mestinya dihindari dalam bahasa fikih. Ini artinya,
akan dihindari. hukum perkawinan beda agama di Yordan mengambil
Hukum Keluarga Yaman Utara juga tampaknya hanya pemahaman dan penafsiran dari Alquran, surah al-
menafsirkan Alquran (Q.s. Al-Mā’idah [5]: 5) secara Mā’idah [5] ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim
tekstual tanpa melihat mudarat yang ditimbulkan akibat menikahi wanita Ahl al-Kitāb dan mengharamkan
perkawinan beda agama. Sebagaimana sudah ditegaskan wanita Muslimah dinikahi oleh Ahl al-Kitāb/Musyrik.
oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb bahwa menikahi Ahl al- Hukum Perkawinan di Yordania secara tegas akan
Kitāb akan mendatangkan pengaruh negatif yang tidak membatalkan setiap perkawinan beda agama, yaitu
diinginkan karena laki-laki Muslim akan lebih tertarik laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita bukan
kepada wanita Ahl al-Kitāb ketimbang para Muslimah. Ahl al-Kitāb atau Wanita Muslimah menikah dengan
Prinsip ‘Umar dalam menghukumi perkawinan dengan Ahl al-Kitāb. Namun demikian, Hukum Keluarga di
Yordania tidak menjelaskan siapa yang dimaksud Ahl
20
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 166. Lihat al-Kitāb. Karena para imam mazhab sudah sejak lama
pula Barbara Freyer Stowasser dan Zeinab Abul-Magd, Tahlil Marriage memperdebatkan siapa Ahl al-Kitāb. Pada umumnya,
in Shari’a, Legal Codes, and the Contemporarey Fatwa Literature, dalam mereka berpendapat bahwa yang dimaksud Ahl al-Kitāb
Yvonne Yazbeck Haddad dan Barbara Freyer Stowasser, Islamic Law
and the Challenges of Modernity, (Walnut Creek: Altamira Press, 2004),
h. 176. 21
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 74-75.
44 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

adalah Yahudi dan Nasrani karena mereka memiliki Tabel Perkawinan Beda Agama
Taurat dan Injil, sedangkan agama lainnya tidak masuk di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak
dalam kategori Ahl al-Kitāb. Undang-
Negara Materi Keterangan
Perkawinan beda agama di Aljazair diatur dalam undang
Yaman Qānūn al- Pasal 47, “Ketika • Negara
Undang-undang Hukum Perdata No. 11 tahun 1984 Utara Usrah, 1978 seorang suami Islam (sistem
(Civil Code).22 Pasal 31 menyebutkan, “Seorang non-Muslim presidensial)
perempuan Muslimah tidak dapat menikah dengan masuk Islam dan • Syiah
isterinya yang Zaidiyah-
seorang laki-laki non-Muslim.” Pasal ini menegaskan bukan Ahl al- Mazhab
bahwa adanya larangan perempuan Muslimah Kitāb tidak masuk Syāfi’ī
Islam atau agama • Islam adalah
dinikahkan dengan laki-laki non-Muslim. Hal ini tentu Ahl al-Kitāb, agama negara
saja tidak berbeda dengan pandangan kebanyakan maka perkawinan • Syariah
ulama yang bersepakat kebolehan laki-laki menikah tersebut dapat sebagai
dibatalkan. Ketika sumber
dengan Ahl al-Kitāb dan sebaliknya dilarang perempuan seorang isteri non- legislasi
menikah dengan non-Muslim. Mazhab Mālikī yang Muslim masuk • Dijajah
Islam sementara Inggris
dianut mayoritas masyarakat Aljazair berpendapat suaminya tetap
bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitāb adalah makruh, non-Muslim,
seperti halnya pendapat mazhab fikih lainnya, seperti perkawinan dapat
dibatalkan. Ketika
mazhab Ḥanafī dan Shāfi’ī. Inilah letak perbedaan salah seorang
antara materi hukum perkawinan beda agama dalam suami-istri keluar
dari Islam, maka
Hukum Keluarga di Mālikī dengan pendapat mazhab perkawinan
Mālikī. dibatalkan”.
Aturan perkawinan beda agama di Aljazair hanya Yorda- Qānūn Pasal 33 • Monarki
nia al-Ahwal al- “Perkawinan konstitu-
diatur satu pasal tentang perempuan Muslimah yang Shakhsiyyah batal dalam sional
dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ini 1976 yang kondisi berikut • Islam sebagai
berarti laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahl diaman- ini: (1) seorang agama
demen perempuan Negara
al-Kitāb. Ketentuan ini tidak menjelaskan status (Qānūn Muslimah • Mazhab
perempuan yang telah menikah dengan laki-laki non- al-Ahwal al- menikah dengan Hanafī
Shakhsiy- laki-laki non- • Dijajah
Muslim, apakah dibatalkan atau tidak. yah) 1977 Muslim, (2) Inggris
Perkawinan beda agama di Irak diatur dalam Laki-laki Muslim
Undang-undang Hukum Keluarga (Code of Personal menikahi
perempuan bukan
Status) 1959 yang diamandemen dengan Undang- Ahl al-Kitāb.
undang No. 11,1980/155/1980/57/1978/21 ,1963/ Aljazair Undang- Pasal 31, “Seorang • Negara
1981/125/1980/189/ dan 341983/). Pasal 17 undang perempuan Republik
Hukum muslimah tidak (sistem
menyebutkan, “Perkawinan seorang laki-laki Muslim Perdata No dapat menikah presidensial)
dengan Ahl al-Kitāb adalah sah, tetapi perkawinan 11 tahun dengan seorang • Konstitusi:
1984 (Civil laki-laki non- Islam sebagai
perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim Code) Al- Muslim. agama
tidak diperbolehkan”. Jazair. negara
• Mazhab
Dengan ketetapan ini, maka perempuan Muslimah Mālikī
dilarang menikah dengan laki-laki non-Muslim, apakah • Dijajah
Ahl al-Kitāb ataupun tidak dan pada posisi sebaliknya Prancis
Irak Undang- Pasal 17, • Sunni
diperbolehkan. Ketetapan ini menegaskan bahwa hukum undang “Perkawinan (Mazhab
perkawinan beda agama di Irak yang penduduknya Hukum seorang laki-laki Hanafī)-
Keluarga Muslim dengan Syiah
adalah mayoritas Syiah dan Sunnī (Ḥanafī)23 tampak (Code of Ahl al-Kitāb (Ja’fari)
tidak sepenuhnya mengikuti pendapat Ḥanafī yang Personal adalah sah, tetapi • Dijajah
memakruhkan perkawinan laki-laki Muslim dengan Status) perkawinan Inggris
1959 yang perempuan
wanita Ahl al-Kitāb. Tetapi, hukum perkawinan beda diaman- Muslimah dengan
agama di Irak justru mengikuti pendapat Syiah yang demen laki-laki non-
dengan Muslim tidak
membolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita Ahl Undang- diperboleh-kan”.
al-Kitāb. undang
34/1983).
22
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 16-17. Sumber: Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic
23
Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet, Encyclopedia Countries, History, Text, and Comparative Analysis, New Delhi,
of the Modern Middle East, volume 2, h. 881. Academy of Law and Religion, 1987
Khamami Zada: Arus Utama Perdebatan Hukum Perkawinan Beda Agama 45

Fikih: Keterdesakan Perubahan Aljazair, dan Irak untuk memilih hukum perkawinan
beda agama yang sama seperti bunyi teks Alquran.
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak adalah
Hal ini dapat dimengerti karena persoalan hubungan
negara-negara Muslim yang memiliki karakteristik yang
antaragama dalam perkawinan merupakan isu yang
unik dalam mengatur hukum perkawinan beda agama,
sensitif dan strategis dalam masyarakat Islam. Hukum
terutama pada status laki-laki Muslim yang menikah
perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania,
dengan wanita Ahl al-Kitāb. Pertama, dari sudut
Aljazair, dan Irak tidak berani beranjak pada teks
pandang Sunni-Syiah dan imam-imam mazhab. Dilihat
Alquran untuk membebaskan segala jenis perkawinan
dari aspek ini, Yaman Utara dan Irak memiliki penganut
beda agama.
Syiah yang relatif besar, yang berpaham Zaidiyah dan
Ja‘fariyah. Sedangkan Aljazair dan Yordania didominasi Ketiga, konteks sosial-politik dalam gerakan Islam
oleh Sunni. Adapun dari aspek mazhab Fikih Sunni, yang terjadi di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak didominasi Irak menunjukkan kuatnya Islamisme, seperti Ikhwanul
oleh mazhab Mālikī, Ḥanafī, dan Shāfi’ī. Muslimin di Yordania, Front Islamic Salvation di
Aljazair dan kuatnya pengaruh gerakan Syiah di Irak
Dari pemetaan ini, perkawinan beda agama di
dan Yaman Utara. Pola gerakan ini telah memperkuat
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak memiliki
konservatisme agama dalam urusan perkawinan beda
kecenderungan melarang perempuan Muslimah
agama. Tidak mengherankan jika empat negara ini
menikah dengan laki-laki non-Muslim dan kebolehan
mengambil jalan kembali ke teks Alquran untuk
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb.
mengatur hukum perkawinan beda agama.
Pola kecenderungan ini menunjukkan bahwa Hukum
Keluarga di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Jika dilihat dari Konstitusinya pun, ada
Irak justru tidak sepenuhnya merujuk pada pendapat kecenderungan Islam sebagai agama negara, yang
imam-imam mazhab (Mālikī, Ḥanafī, dan Shāfi’ī) yang memberikan bukti bahwa warna Islam di Yaman Utara,
sepakat menghukumi makruh bagi laki-laki Muslim Yordania, Aljazair, dan Irak memiliki kecenderungan
yang menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb. Hukum yang formalistik. Paradigma ini melahirkan hukum-
perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania, hukum yang tekstual, lebih-lebih dalam hal hubungan
Aljazair, dan Irak justru merujuk langsung kepada antaragama seperti perkawinan beda agama.
Alquran surah al-Mā’idah [5] ayat 5 yang membolehkan Jalan kembali ke teks Alquran dalam mengatur
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb. hukum perkawinan beda agama di Yaman Utara,
Hal ini berarti pemberlakuan hukum perkawinan Yordania, Aljazair, dan Irak sebenarnya terjadi juga
beda agama di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, di negara-negara Muslim lainnya, meskipun warna
dan Irak tidak begitu sepenuhnya dipengaruhi oleh formalisme Islam tidak begitu kuat, seperti Indonesia.
mazhab fikih yang dianut mayoritas penduduknya. Namun demikian, letak perdebatannya adalah apakah
Justru hukum perkawinan beda agama di Yaman Yahudi dan Nasrani masih masuk kategori Ahl al-Kitāb
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak sedikit keluar dari yang sama seperti pada awalnya atau dengan kata lain
mainstream pendapat ulama fikih yang memakruhkan apakah Yahudi dan Nasrani zaman sekarang masih asli.
laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita Ahl al- Jika Yahudi dan Nasrani dipandang tidak asli lagi karena
Kitāb. sudah banyak yang diubah ajarannya, maka mereka
tidak masuk dalam rumusan teks Alquran sebagai
Kedua, kolonialisme Barat yang berlangsung lama
Ahl al-Kitāb. Implikasinya adalah wanita Yahudi dan
di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak, terutama
Nasrani zaman sekarang tidak boleh lagi dinikahi oleh
oleh Prancis dan Inggris tampaknya tidak begitu kuat
laki-laki Muslim karena teks Alquran menunjuk pada
memengaruhi pemikiran hukum Islam dalam soal
Yahudi dan Nasrani yang masih asli.
perkawinan beda agama. Barat yang di dalam aturan
hukumnya tidak melarang perkawinan beda agama apa Perdebatan yang kedua adalah tentang alasan
pun statusnya, tidak memengaruhi hukum di Yaman sosiologis perkawinan beda agama yang cenderung
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak. Empat negara ini membawa mudarat, terutama dalam pemeliharaan dan
memilih keluar dari mainstream Barat yang sekuler pendidikan anak. Jika yang merawat dan yang mendidik
dan bebas dalam membuat aturan hukum tentang anak adalah istri Ahl al-Kitāb, maka akan menyebabkan
perkawinan beda agama. Kebudayaan Barat yang sudah anak cenderung ikut agama ibu, bukan agama bapak.
diwariskan dalam kehidupan modern masyarakat Yaman Inilah mudaratnya perkawinan beda agama. Karena
Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak tidak memengaruhi itulah, perkawinan beda agama cenderung dihindari
kecenderungan masyarakat Yaman Utara, Yordania, untuk menghindari mudarat, sebagaimana kaidah
fikih, “Kemudaratan itu dihilangkan” atau kaidah lain,
46 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

“menghilangkan mafsadat lebih didahulukan ketimbang Pustaka Acuan


menarik maslahat”.
‘Azzām, ‘Abd al-‘Azīz Muḥammad dan Ḥawwās, ‘Abd
Perdebatan yang ketiga adalah akibat perkawinan al-Wahhāb Sayyed Ḥawwās, al-Usrah wa Aḥkāmuhā
beda agama akan memberi peluang pada persoalan fi al-Tashrī’ al-Islāmī, terjemahan dengan judul, Fiqh
baru dalam hukum keluarga Islam, yakni tentang wali, Munakahat, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
waris, wasiat, ḥaḍānah, dan saksi perkawinan beda
Esposito, John L. dan John O. Voll, Demokrasi di
agama. Karena sangat dimungkinkan pasangan yang
Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek,
melangsungkan perkawinan beda agama akan membawa
Bandung: Mizan, 1999.
dampak terhadap substansi hukum keluarga.
-----------, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, jilid VI, cet.
II, Bandung: Mizan, 2002.
Penutup
Haddad, Yvonne Yazbeck dan Stowasser, Barbara Freyer,
Hukum perkawinan beda agama yang diberlakukan Islamic Law and the Challenges of Modernity, Walnut
di negara-negara Muslim, seperti Yaman Utara, Yordania, Creek: Altamira Press, 2004.
Aljazair, dan Irak sesungguhnya menunjukkan arus Hasbi, Rusli, Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis
perdebatan yang serius dari keterikatan dengan tekstual Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, Jakarta:
Alquran (kebolehan laki-laki Muslim menikah dengan Al-Irfan Publishing, 2007.
wanita Ahl al-Kitāb) dengan mengambil jalan istinbāṭ
Ibn Qudāmah, al-Sharḥ al-Kabīr ‘alā Matn al-Mughnī,
lain (larangan laki-laki Muslim menikah dengan wanita
Jilid VII, Suriah: Dār al-Bayān, t.th.
Ahl al-Kitāb). Negara-negara ini berani tidak merujuk
Jaṣṣāṣ, al-, Abū Bakr, Aḥkām al-Qur’ān, Jilid I, tp. t.t.
pada pendapat imam-imam mazhab (Mālikī, Ḥanafī,
dan Shāfi’ī) yang sepakat menghukumi makruh bagi Jāzirī, al-, ‘Abd al-Raḥmān, Kitāb al-Fiqh ‘alā Madzahib
laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita Ahl al- al-Arba’ah, jilid 4, Beirut: Dar al-Fikr al-Ilmiyah,
Kitāb. t.th.
Argumen sadd al-dharī’ah atau al-maṣlaḥah yang Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries,
biasanya digunakan untuk melarang laki-laki Muslim History, Text, and Comparative Analysis, New Delhi,
menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb tidak menjadi Academy of Law and Religion, 1987.
pertimbangan utama, sehingga hukum perkawinan Mughniyah, Muḥammad Jawad, Fikih Lima Mazhab,
beda agama dibiarkan seperti bunyi teks Alquran. cet. IV, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999.
Kecenderungan ini bukan berarti representasi dari Mudzhar, M. Atho dan Nasution, Khairuddin (ed.),
liberalisme Islam, yang cenderung membolehkan laki- Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi
laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitāb. Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari
Tetapi juga, kecenderungan ini tidak memenuhi Kitab-kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
kepentingan konservatisme dan radikalisme Islam. Simon, Reeva S., Philip Mattar, Richard W. Bulliet,
Dengan demikian, hukum perkawinan beda agama di Encyclopedia of the Modern Middle East, volume 2,
Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak cenderung New York: Macmillan Reference USA, 1996.
bertahan dengan tekstualitas Alquran tanpa pernah Vikor, Knut S., Between God and the Sultan: A History
dipengaruhi oleh radikalisme dan liberalisme Islam. f Islamic Law, New York: Oxford University Press,
Meskipun tidak dominan, pemberlakuan hukum 2005.
perkawinan beda agama di Yaman Utara, Yordania, Zuḥaylī, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh,
Aljazair, dan Irak tetap menggunakan pertimbangan jilid IX, Bayrūt: Dār al-Fikr, 1997.
yang kompleks, seperti konteks sosial-politik gerakan
Islam, kolonialisme, pendapat imam-imam mazhab, dan
teks terutama Alquran. Ini berarti bahwa perdebatan
pemberlakuan hukum perkawinan beda agama di suatu
negara akan sangat beriringan dengan kompleksitas
yang dialami oleh negara dalam mengelola perbedaan
ideologi, sosial, dan politik. []

Anda mungkin juga menyukai