Modifikasi Cerpen Tsania Hamida Bahar
Modifikasi Cerpen Tsania Hamida Bahar
***
“Kereta datang, Kang. Ayo masuk stasiun,” seru Tarsa, tak sabar.
Tangannya meraih lengan Mirta, ingin segera membawanya ke tempat
yang ramai dan penuh peluang untuk mengemis.
Tarsa ragu. Dia kembali meraba tangan Mirta, dan rasa panas itu
semakin terasa. Bibir Mirta pun semakin pucat. Kekhawatiran Tarsa kian
bertambah.
“Kalau tidak sakit, ayo bangun! Kita harus cari uang makan,”
desak Tarsa. Dia tak ingin repot mengurus Mirta yang sakit.
“Itu karena kamu malas! Sudah seharian kita berkeliling, tapi tak
dapat apa-apa. Aku sudah lapar!” Tarsa mulai marah. Dia kesal dengan
Mirta yang tak kunjung menunjukkan semangatnya.
Tarsa terdiam sejenak. Dia tak terima dituduh seperti itu. “Aku
sudah berusaha, Kang. Aku membawamu ke mana-mana, tapi orang-
orang tak mau memberi sedekah,” kilahnya.
“Kamu tak pandai melihat!” Mirta mencibir. “Orang yang suka
memberi itu punya mata yang berbeda. Mata yang enak dipandang.”
***
Ah, tidak! Tarsa meraung pilu, air mata membasahi pipinya yang
kotor. Kang Mirta, jangan tinggalkan aku!
Dia memeluk tubuh Mirta yang terbujur kaku di bawah pohon
kerai payung depan stasiun. Mirta, sahabat sekaligus mentornya dalam
dunia pengemisan, telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Siapa yang akan membimbingku? Siapa yang akan mengantarku
mencari orang-orang dengan mata indah? Tarsa terisak, hatinya diliputi
kesedihan dan ketakutan.
Peluit lokomotif berbunyi nyaring, menandakan kereta kelas satu
telah berangkat. Mata-mata dingin seperti bambu dari para penumpang
kelas atas menghilang dari pandangan. Matahari mulai terbenam,
menebarkan semburat jingga di langit barat.
Tarsa menoleh ke arah pengemis buta yang terbaring lunglai di
bawah pohon kerai. Dia teringat Tarsa Sungguh menyesal telah memeras
habis-habisan Mirta, meskipun buta dan miskin, Mirta adalah satu-
satunya orang yang setia memberinya upah setiap hari. Bahkan, Tarsa
mulai takut Mirta benar-benar sakit parah dan kemudian meninggal.
Di tengah kesedihannya, Tarsa terbersit pemikiran bahwa dia tidak
boleh lagi menyiksa Mirta. Dia juga bertekad untuk mengikuti semua
nasihat Mirta, yaitu hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hatinya,
Tarsa mengakui bahwa Mirta memang ahli dalam dunia pengemisan.
Bel di stasiun kembali berdering, mengumumkan kedatangan
kereta lain. Tarsa hafal, kereta yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari
Surabaya. Dia menoleh ke arah Mirta yang masih terbujur di tanah. Mulut
Mirta sedikit terbuka, bibirnya pucat pasi. Nafasnya pendek dan
tersengal. Ketika diraba, tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Tarsa mencium kening Mirta dengan penuh kasih sayang. Dia
berjanji untuk menjadi pengemis yang baik dan tidak akan pernah
melupakan jasa Mirta. Dia akan terus mengemis di kereta kelas tiga,
seperti yang diajarkan Mirta, dan dia yakin akan berhasil.
***
Tubuh lunglai Mirta tetap tak bergeming, tak ada respon sama
sekali. Sinar matahari semakin condong ke barat, namun panasnya masih
menyengat. Tarsa gugup, tak tahu harus berbuat apa. Dengan ragu, dia
kembali berbisik, kali ini suaranya bergetar, “Kang, kamu ingin kuantar
menemui orang-orang yang matanya indah, kan?”
Keheningan mewarnai jawaban Mirta. Hening yang mencekam,
penuh dengan tanya dan keraguan. Tarsa terpaku, jiwanya diliputi
kebimbangan. Di satu sisi, dia ingin segera pergi mencari uang untuk
mengisi perutnya yang keroncongan. Di sisi lain, dia tak tega
meninggalkan Mirta yang terbaring lemah.
TAMAT