Anda di halaman 1dari 10

Suara Merdeka

Minggu, 04 Februari 2007


Sang Aktor
Cerpen: Candra Malik
TAHUKAH kau di mana angin bersarang? Petang ini aku berani menjawab: di lepas napas
Rama yang tenang. Telah basah darah wajahnya, tapi gurat takut tak tersurat di raut yang
carut-marut itu. Senja jadi tidak biasa, tak meredupkan api matari, ketika mata elang
Rama masih siaga menjaga raganya sendiri.
Dia menolak kalah, menahan tubuh dari rubuh meski mesti berpeluh sampai subuh.
Pukulan demi pukulan menggeser kuda-kuda Rama, dua pijak kaki dan empat kaki kursi
yang terus ditohok ke pojok. Dua lawan satu, dua lelaki dengan kepalan besi dan seorang
lelaki dengan kepala batu.
"Aku membunuh Larasati? Kalian salah alamat," kelit Rama.
Segaris alisnya yang tebal itu betul-betul menyebalkan. Aku saja membencinya, apalagi
kedua penyidik itu. Apalagi jika alis sialan itu Rama angkat sederajat dengan jidat, kasat
terlihat hitam darah di ceruk pelupuknya yang digebuk.
Daya dari mana pula dia mampu tersenyum mengejek dengan bibir yang sobek? Nyaris
setiap raung ngilu ditimpalinya dengan geretak gigih gigi. Tak ada jerit sakit yang
berlebihan. Rama seperti sudah mengenal rasa itu, telah sering mencercapnya, dan kini
menyerapnya serasa tanpa perkara.
Ini senyap yang musykil lenyap dari kepalaku: bunyi sembunyi di sunyi rumah bawah
tanah. Satu pertanyaan disidikkan dengan bisikan, satu lainnya dengan suara tertahan,
dan berikutnya sikut ikut menyahut. Mulut kedua penyidik itu tidak suka nyapnyap. Mereka
hanya punya satu tanya. Satu belaka.
"Mau mengaku?"
Rama menggeleng setiap kali menjawab.
Mungkin cara lain tidak terlintas lagi. Penyidik yang persis di depan Rama menggeser
duduknya, lalu memindah pijakan sebatang kaki kursinya, dari ubin yang dingin ke
punggung kaki teguh sang tertuduh. Dengan rahang menjulang dia memandang batang
tungkai yang tadi menantang kini menggelinjang.
Rama menggelepar menginjak darahnya sendiri. Andai dia bersepatu kulit lembu dari
ibunya, tulang kaki pasti selamat dari tulang besi. Rama melolong, akhirnya. Minta tolong,
entah pada siapa. Mungkin padaku. Tapi, bisa apa aku? Di bawah kekuasaan borgol dan
sumpal, rasa dongkol tak bisa kusempal.
Tak lagi berani kutanyakan di mana angin kini bersarang. Seutas kabel panjang yang
menggantung lampu bohlam kecil mempermainkan tatapan Rama yang memudar.
Penyidik itu sengaja mengayunnya. Untuk sesaat, gelap menelan bayangan Rama. Lalu,
sekelebat pendar memuntahkannya lagi.
Satu, dua, tiga! Hanya butuh tiga ayunan pelan, tarian lampu itu segera disusul sebuah
ayunan besar. Satu tinju jujitsu menjurus rusuk Rama. Sedetik detak jantungku tersentak,
sedetik kemudian dia terjungkal. Bertumpu tangan yang diborgol dan tertindih kursi, Rama
menjerit menyumpahi kakinya yang terkoyak.

Tapi itu tak lama. Semua lantas terdiam, cukup lama, hingga seembusan asap rokok
penyidik itu ke wajah Rama memecah hening. Tak ada reaksi dari kawanku ini selain
darah segar yang mengucur dari hidungnya. Tak ada lagi gerakan alis yang menepis
pisuhan penyidik. Rama sudah mati. Mungkin.
Andai harus dipotong demi memeriksa denyut nadinya, akan kuserahkan tanganku. Dia
yang terbaik, kawan yang setia memusuhiku dan lawan yang tidak lelah menemaniku.
Semua salahku. Semua tak akan terjadi jika adegan babak keenam itu kuhapus dari
naskah. Akulah yang telah mengundang dewa ajal.
Sumpal ini harus kumuntahkan. Tak ada jalan lain, aku harus mengaku sebagai si
pembunuh. Agar Larasati tidak menyalahkan Rama atas kematiannya. Agar mereka
tenang. Aku yang membakar rasa gusar hingga bara menyambar batas sabar. Dengan
susuk kundai, Rama tusuk rusuk kurus permaisurinya.
Tapi, eranganku ditelan dering telepon. Dari ujung sana, terdengar nada tinggi seorang
petinggi. Entah dari rumah atas atau ruang atasan. Yang aku tangkap dari tingkap kaca
dekat celah angin, sepatu-sepatu lars hilir-mudik membuatku makin bergidik. Dua lelaki itu
polisi penyidik atau tentara?
"Hanya seorang saksi. Siap, laksanakan."
Gagang telepon ditaruh, dan giliranku mulai bertaruh. Kedua penyidik itu, entah polisi atau
tentara, mendekat. Napasku sempat tercekat sesaat setelah sumpal mulutku dilepas.
Lelaki yang lebih tua menyentuhku, mengendusku. Jarinya yang besar terasa kasar di
bibirku yang memar.
"Apa yang kau tahu tentang Rama?"
"Aku..." tak bisa kujawab cepat pertanyaan itu.
"Cantik. Kau terlalu cantik untuk mati."
"Aku yang membunuh..." ucapku, akhirnya.
Lelaki tua itu terperanjat. Dia mundur dua langkah, lantas bersipandang dengan
sejawatnya. Pasti mereka tak menyangka aku tak menyangkal tuduhan yang dibawa
Rama sampai mati. Ya, aku harus bernyali melawan tatapan mereka. Toh aku tidak takut
menyusul Larasati dan Rama.
***
SEMUA mata terserap ke arah stupa, juga sorot lampu yang menggenapi purnama.
Telapak Sita telah ditangkupkan. Singgasana yang angkuh bersikukuh meluluhkan
tubuhnya yang dituduh telah disentuh Dasamuka. Api pun telah nyala. Sita akan lumat
atau selamat, tak ada yang lebih tegang dari Rama.
Di tangan seorang aktor sejati, panggung itu seketika menjadi nyata. Tiga belas tahun
penantian akhirnya Rama ringkus dalam segenggam susuk dari sanggulnya sendiri. "Sita,
bukan api ini yang akan mengadilimu, melainkan aku. Terimalah ini, harga dari
perselingkuhanmu dengan Dasamuka!"
Sita terjengkang, semua menjerit histeris. Sebagian penonton membekap mulutnya
sendiri. Hening. Tapi, tak sampai satu menit kemudian, seluruh tatapan yang menangkap
sebatang kayu menancap di dada Sita akhirnya tersadar. Darah yang membasahi
panggung ternyata bukan tipuan!

Sita mati. Larasati juga mati. Larasati yang memerankan Sita. Larasati yang putri seorang
pejabat ibukota. Larasati yang baru semester dua di institut kesenian. Larasati yang
beruntung menjadi lawan main Rama yang berperan sebagai Rama, maharaja yang
permaisurinya direnggut Dasamuka.
Tapi, bukan Rama jika pergi punggung dari panggung. Biarpun penonton buyar, dia
selesaikan adegan tanpa deg-degan. Sebagai Rama, dia menatap dingin sebelum
beranjak dari Sita. Sorot lampu tak mengikuti kakinya, tapi terus mengawasi jasad Sita
yang paginya menjadi berita utama di koran-koran.
"Dasar, sundal. Cuh!" kutip koran dari ucapan terakhir Rama dalam pertunjukannya. Peran
dariku untuk Rama berujung petaka. Dia diciduk di belakang layar tanpa perlawanan. Tapi,
Rama tetap bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. "Ya, aku memang Rama. Tapi,
bukan aku pembunuh Larasati."
***
TAK ada yang berani menyentuh Larasati. Hanya sidik jari Rama yang terhisap bibirnya.
Ini sebenarnya bagian yang paling kusuka dari naskahku: sentuhan lembut Rama kepada
Sita sebelum berpagutan, jauh sebelum Dasamuka hadir sebagai orang ketiga. Ah, andai
aku yang melumatmu, Rama, aku pun rela mati.
"Rama tak membunuh Larasati," aku membela.
"Bicara apa kau? Semua mata melihatnya!" kejar penyidik yang lebih tua itu.
"Aku saksinya. Ketika kejadian, Rama sedang bekerja," tegasku lagi.
"Ya, dia bekerja di panggung candi. Membunuh Larasati!"
"Anda salah menuduh orang."
"Heh, Nona. Itu Rama!"
"Tuan, namaku Maria. Ada jutaan orang yang bernama Maria. Bahkan, ibunda Yesus juga
Maria."
"Tapi, hanya ada seorang Rama yang telah membunuh seorang Larasati!" kata penyidik
itu. Dia terlihat mulai marah.
"Tuan, pada malam kejadian, Rama sedang terikat kontrak dengan kelompok teater kami.
Dia menjadi pemain tamu yang memerankan tokoh utama. Enam puluh persen sudah
dibayar di muka. Mustahil dia melakukan pekerjaan lain, apalagi melakukan pembunuhan,
ketika seluruh mata mengawasinya."
"Nona, kau mulai membuatku marah!"
Dia berbalik badan, menghampiri hamparan taplak meja, memungut rokok dari asbak di
atasnya. Seorang penyidik lainnya, lelaki yang lebih muda, maju mengambil giliran setelah
memantikkan api untuk seniornya. "Nona, coba katakan apa maksudmu dengan bahasa
yang lebih mudah."
Tak kusangka, ternyata ada tutur lunak di balik wajah-wajah keras di rumah bawah tanah
ini. Tapi, hati kecilku tetap menasihati lidahku agar hati-hati. Siapa tahu, ada kepalan di
balik saku celananya yang menyimpan tangan. Tarik, embuskan. Tenang. Aku harus
terlihat tenang.

"Dua orang berbeda dengan dua nama sama. Sama-sama Rama, tapi bukan Rama yang
sama," jelasku.
"Ah, kau ini! Mana bisa?" tanya penyidik itu sambil menampar angin ke mukaku.
"Begini, Tuan. Rama yang kalian bunuh itu tidak membunuh Larasati. Dan, Rama yang
kita lihat di panggung candi itu pun tidak membunuh Larasati. Dia membunuh Sita."
"Oke, oke. Rama A, Rama B. Lalu, di mana Rama A ketika pembunuhan oleh Rama B
terjadi? Di mana pula Larasati setelah Sita mati?"
"Rama A untuk Rama yang kalian bunuh itu. Dan Rama B untuk Rama yang membunuh
Sita."
"Ya, ya, ya! Cepat jawab!" dia mulai geram.
"Rama A dikontrak untuk mematikan karakternya sendiri dan menghidupkan karakter
Rama B. Nah, Rama B inilah yang membunuh Sita."
"Larasati?"
"Kami semua sedih. Usianya masih sangat muda. Dia sangat berbakat. Sayang sekali dia
meninggal dunia ketika terlibat dalam pergelaran drama teater, ketika berkarya. Dia terlihat
begitu total memerankan Sita. Dia, karakternya sebagai Larasati, hilang ketika layar mulai
dibuka. Jasadnya ditemukan di panggung teater..."
Brak!
Aku tak ingat apa-apa lagi. Tapi, aku merasa pening luar biasa. Pipi kananku juga sangat
ngilu. Gigiku pasti rontok. Darah mengotori mulutku. Ah, ke mana orang-orang? Apa
pertunjukan sudah usai? Kenapa sorot lampu itu mendekat-menjauh, terus berpendar,
silau sekali. Di mana ini?
***
ENTAH telah berapa lama aku di pembaringan. Mungkin beberapa malam. Sejak siuman
sampai sekarang, lebih sering kulihat gelap daripada terang. Remang di atasku, pijar
lampu bohlam kecil yang digantungkan pada seutas kabel panjang, nyaris tak pernah
padam. Ini pasti malam lagi.
Tapi, ternyata aku tak sendiri. Ada dipan lain. Saat berpaling ke samping, kupandang satu
ranjang sama panjang di seberang. Tak jauh, hanya tiga ubin dari sini. Sebatang tangan
terbujur melampaui batas dipan, kusentuh telapaknya yang tengadah. Jari-jemari seorang
lelaki. Kuraba satu per satu. Ibu jari, telunjuk, jari tengah...
Ah, aktor, aktor. Betapa hebat seorang aktor. Rautnya bisa bersalin rupa, lidahnya
berubah logat, dan bahasa tubuhnya seperti berganti roh. Sampai-sampai karakternya
sendiri lenyap. Tapi, sehebat apa pun seorang aktor, tak ada yang mampu menghapus
sidik jarinya sendiri. Sidik yang melekati diri.
Aku jadi ingat Rama. Meski tidak membunuh Larasati, sidik jarinya terendus polisi di
setangkup bibir gadis pemeran Sita itu. Demikian pula di susuk kundai pencabut nyawa
Sita. Di mana Rama kini? Di mana kuburnya? Apakah dia benar-benar telah mati malam
itu? Eh, jariku mengenal jari-jemari ini.

Apa ini? Cincin. Aku meraba selingkar cincin di jari manis orang di sebelahku. Segera
kubalik telapaknya dan sedikit kuangkat kepalaku. Ya, Tuhan. Cincin emas putih bermata
merah delima! Cincin Rama! Rama? Kaukah itu? Rama? Rama!
Serasa mendapat kekuatan dari langit untuk menginjak bumi, seketika aku bangkit.
Namun, aku tak kuasa mengusir kunang-kunang yang mengeroyok mataku. Aku
sempoyongan. Dipanku berputar. Dinding berputar. Lampu berputar. Semua berputar!
***
LARASATI menyeka pipi, mengusir bulir yang ngalir ke bibir. Ini air mata topeng, memang.
Tapi dia benar-benar terpikat pukat Sang Prabu Rama, sosok yang dihidupkan aktor
pujaannya: Rama. Daya magis akting Rama telah menyeret Larasati pada kepedihan yang
terasa sungguh.
Dia menemukan Sita dalam dirinya. Larasati merasa dialah yang dituduh selingkuh.
Selingkuh macam apa? Justru perasaan Larasati yang tidak diacuhkan. Angkuh sekali
Rama. Selalu hanya mengulum senyum, tidak mau mengulasnya. Kalau pun mereka
tampak mesra, itu hanya di panggung. Bahkan, Rama mengaku menyimpan kebencian.
Sejak sajaknya ditolak, Larasati hilang kompas. Pernah mengulang sebelum pulang dari
gelanggang, langsung mengucap cinta, tapi yang Larasati peroleh justru hinaan. Luka
baru yang akan lama sembuh. Walau sanggup menahan lidah, dia tidak mampu
membendung ludah. Larasati membalas hinaan itu.
Enam bulan pertemuan selama latihan ternyata tak menyurutkan genderang perang. Ada
dendam dalam sekam. Semula, aku juga cemas. Tapi, Rama memang seorang
profesional. Juga Larasati. Malam ini buktinya. Mereka tampil sangat mengesankan.
Sampai-sampai aku tak percaya mereka sedang memainkan peran dalam naskahku.
Nah, jika kau mencintai Larasati, masih ada waktu. Ingat, di tubuhmu yang tinggi besar ini
telah bersemayam jiwa Dasamuka. Sang Prabu Dasamuka. Tenang. Tarik, embuskan.
Naskahku bisa kau pakai mengirim pesan kepada Larasati. Ucapkan dengan mata.
Dengan hati.
Dengan peran Dasamuka, kau bisa mencari muka. Larasati mencintai Rama karena
penjiwaannya yang kuat terhadap karakter. Dia anak kemarin sore yang tergila-gila pada
aktor besar. Untuk merebut hatinya, buktikan kau tidak lebih kecil daripada Rama.
Ini kesempatan terakhirmu, babak sebelum Sita dijemput paksa, Kerajaan Alengka
dibumihanguskan Hanoman, dan Dasamuka dibunuh. Sekarang, ambil waktumu,
masuklah ke panggung. Sita sudah duduk menanti. Sita yang menyita perhatianmu. Sita
yang meminjam raga Larasati. Semoga saja dia tak benar-benar terbakar di babak
keenam.
TAHUKAH kau di mana angin bersarang? Petang ini aku berani menjawab: di lepas napas
Rama yang tenang. Telah basah darah wajahnya, tapi gurat takut tak tersurat di raut yang
carut-marut itu. Senja jadi tidak biasa, tak meredupkan api matari, ketika mata elang
Rama masih siaga menjaga raganya sendiri.
Dia menolak kalah, menahan tubuh dari rubuh meski mesti berpeluh sampai subuh.
Pukulan demi pukulan menggeser kuda-kuda Rama, dua pijak kaki dan empat kaki kursi
yang terus ditohok ke pojok. Dua lawan satu, dua lelaki dengan kepalan besi dan seorang
lelaki dengan kepala batu.
"Aku membunuh Larasati? Kalian salah alamat," kelit Rama.

Segaris alisnya yang tebal itu betul-betul menyebalkan. Aku saja membencinya, apalagi
kedua penyidik itu. Apalagi jika alis sialan itu Rama angkat sederajat dengan jidat, kasat
terlihat hitam darah di ceruk pelupuknya yang digebuk.
Daya dari mana pula dia mampu tersenyum mengejek dengan bibir yang sobek? Nyaris
setiap raung ngilu ditimpalinya dengan geretak gigih gigi. Tak ada jerit sakit yang
berlebihan. Rama seperti sudah mengenal rasa itu, telah sering mencercapnya, dan kini
menyerapnya serasa tanpa perkara.
Ini senyap yang musykil lenyap dari kepalaku: bunyi sembunyi di sunyi rumah bawah
tanah. Satu pertanyaan disidikkan dengan bisikan, satu lainnya dengan suara tertahan,
dan berikutnya sikut ikut menyahut. Mulut kedua penyidik itu tidak suka nyapnyap. Mereka
hanya punya satu tanya. Satu belaka.
"Mau mengaku?"
Rama menggeleng setiap kali menjawab.
Mungkin cara lain tidak terlintas lagi. Penyidik yang persis di depan Rama menggeser
duduknya, lalu memindah pijakan sebatang kaki kursinya, dari ubin yang dingin ke
punggung kaki teguh sang tertuduh. Dengan rahang menjulang dia memandang batang
tungkai yang tadi menantang kini menggelinjang.
Rama menggelepar menginjak darahnya sendiri. Andai dia bersepatu kulit lembu dari
ibunya, tulang kaki pasti selamat dari tulang besi. Rama melolong, akhirnya. Minta tolong,
entah pada siapa. Mungkin padaku. Tapi, bisa apa aku? Di bawah kekuasaan borgol dan
sumpal, rasa dongkol tak bisa kusempal.
Tak lagi berani kutanyakan di mana angin kini bersarang. Seutas kabel panjang yang
menggantung lampu bohlam kecil mempermainkan tatapan Rama yang memudar.
Penyidik itu sengaja mengayunnya. Untuk sesaat, gelap menelan bayangan Rama. Lalu,
sekelebat pendar memuntahkannya lagi.
Satu, dua, tiga! Hanya butuh tiga ayunan pelan, tarian lampu itu segera disusul sebuah
ayunan besar. Satu tinju jujitsu menjurus rusuk Rama. Sedetik detak jantungku tersentak,
sedetik kemudian dia terjungkal. Bertumpu tangan yang diborgol dan tertindih kursi, Rama
menjerit menyumpahi kakinya yang terkoyak.
Tapi itu tak lama. Semua lantas terdiam, cukup lama, hingga seembusan asap rokok
penyidik itu ke wajah Rama memecah hening. Tak ada reaksi dari kawanku ini selain
darah segar yang mengucur dari hidungnya. Tak ada lagi gerakan alis yang menepis
pisuhan penyidik. Rama sudah mati. Mungkin.
Andai harus dipotong demi memeriksa denyut nadinya, akan kuserahkan tanganku. Dia
yang terbaik, kawan yang setia memusuhiku dan lawan yang tidak lelah menemaniku.
Semua salahku. Semua tak akan terjadi jika adegan babak keenam itu kuhapus dari
naskah. Akulah yang telah mengundang dewa ajal.
Sumpal ini harus kumuntahkan. Tak ada jalan lain, aku harus mengaku sebagai si
pembunuh. Agar Larasati tidak menyalahkan Rama atas kematiannya. Agar mereka
tenang. Aku yang membakar rasa gusar hingga bara menyambar batas sabar. Dengan
susuk kundai, Rama tusuk rusuk kurus permaisurinya.
Tapi, eranganku ditelan dering telepon. Dari ujung sana, terdengar nada tinggi seorang
petinggi. Entah dari rumah atas atau ruang atasan. Yang aku tangkap dari tingkap kaca
dekat celah angin, sepatu-sepatu lars hilir-mudik membuatku makin bergidik. Dua lelaki itu
polisi penyidik atau tentara?

"Hanya seorang saksi. Siap, laksanakan."


Gagang telepon ditaruh, dan giliranku mulai bertaruh. Kedua penyidik itu, entah polisi atau
tentara, mendekat. Napasku sempat tercekat sesaat setelah sumpal mulutku dilepas.
Lelaki yang lebih tua menyentuhku, mengendusku. Jarinya yang besar terasa kasar di
bibirku yang memar.
"Apa yang kau tahu tentang Rama?"
"Aku..." tak bisa kujawab cepat pertanyaan itu.
"Cantik. Kau terlalu cantik untuk mati."
"Aku yang membunuh..." ucapku, akhirnya.
Lelaki tua itu terperanjat. Dia mundur dua langkah, lantas bersipandang dengan
sejawatnya. Pasti mereka tak menyangka aku tak menyangkal tuduhan yang dibawa
Rama sampai mati. Ya, aku harus bernyali melawan tatapan mereka. Toh aku tidak takut
menyusul Larasati dan Rama.
***
SEMUA mata terserap ke arah stupa, juga sorot lampu yang menggenapi purnama.
Telapak Sita telah ditangkupkan. Singgasana yang angkuh bersikukuh meluluhkan
tubuhnya yang dituduh telah disentuh Dasamuka. Api pun telah nyala. Sita akan lumat
atau selamat, tak ada yang lebih tegang dari Rama.
Di tangan seorang aktor sejati, panggung itu seketika menjadi nyata. Tiga belas tahun
penantian akhirnya Rama ringkus dalam segenggam susuk dari sanggulnya sendiri. "Sita,
bukan api ini yang akan mengadilimu, melainkan aku. Terimalah ini, harga dari
perselingkuhanmu dengan Dasamuka!"
Sita terjengkang, semua menjerit histeris. Sebagian penonton membekap mulutnya
sendiri. Hening. Tapi, tak sampai satu menit kemudian, seluruh tatapan yang menangkap
sebatang kayu menancap di dada Sita akhirnya tersadar. Darah yang membasahi
panggung ternyata bukan tipuan!
Sita mati. Larasati juga mati. Larasati yang memerankan Sita. Larasati yang putri seorang
pejabat ibukota. Larasati yang baru semester dua di institut kesenian. Larasati yang
beruntung menjadi lawan main Rama yang berperan sebagai Rama, maharaja yang
permaisurinya direnggut Dasamuka.
Tapi, bukan Rama jika pergi punggung dari panggung. Biarpun penonton buyar, dia
selesaikan adegan tanpa deg-degan. Sebagai Rama, dia menatap dingin sebelum
beranjak dari Sita. Sorot lampu tak mengikuti kakinya, tapi terus mengawasi jasad Sita
yang paginya menjadi berita utama di koran-koran.
"Dasar, sundal. Cuh!" kutip koran dari ucapan terakhir Rama dalam pertunjukannya. Peran
dariku untuk Rama berujung petaka. Dia diciduk di belakang layar tanpa perlawanan. Tapi,
Rama tetap bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. "Ya, aku memang Rama. Tapi,
bukan aku pembunuh Larasati."
***
TAK ada yang berani menyentuh Larasati. Hanya sidik jari Rama yang terhisap bibirnya.
Ini sebenarnya bagian yang paling kusuka dari naskahku: sentuhan lembut Rama kepada

Sita sebelum berpagutan, jauh sebelum Dasamuka hadir sebagai orang ketiga. Ah, andai
aku yang melumatmu, Rama, aku pun rela mati.
"Rama tak membunuh Larasati," aku membela.
"Bicara apa kau? Semua mata melihatnya!" kejar penyidik yang lebih tua itu.
"Aku saksinya. Ketika kejadian, Rama sedang bekerja," tegasku lagi.
"Ya, dia bekerja di panggung candi. Membunuh Larasati!"
"Anda salah menuduh orang."
"Heh, Nona. Itu Rama!"
"Tuan, namaku Maria. Ada jutaan orang yang bernama Maria. Bahkan, ibunda Yesus juga
Maria."
"Tapi, hanya ada seorang Rama yang telah membunuh seorang Larasati!" kata penyidik
itu. Dia terlihat mulai marah.
"Tuan, pada malam kejadian, Rama sedang terikat kontrak dengan kelompok teater kami.
Dia menjadi pemain tamu yang memerankan tokoh utama. Enam puluh persen sudah
dibayar di muka. Mustahil dia melakukan pekerjaan lain, apalagi melakukan pembunuhan,
ketika seluruh mata mengawasinya."
"Nona, kau mulai membuatku marah!"
Dia berbalik badan, menghampiri hamparan taplak meja, memungut rokok dari asbak di
atasnya. Seorang penyidik lainnya, lelaki yang lebih muda, maju mengambil giliran setelah
memantikkan api untuk seniornya. "Nona, coba katakan apa maksudmu dengan bahasa
yang lebih mudah."
Tak kusangka, ternyata ada tutur lunak di balik wajah-wajah keras di rumah bawah tanah
ini. Tapi, hati kecilku tetap menasihati lidahku agar hati-hati. Siapa tahu, ada kepalan di
balik saku celananya yang menyimpan tangan. Tarik, embuskan. Tenang. Aku harus
terlihat tenang.
"Dua orang berbeda dengan dua nama sama. Sama-sama Rama, tapi bukan Rama yang
sama," jelasku.
"Ah, kau ini! Mana bisa?" tanya penyidik itu sambil menampar angin ke mukaku.
"Begini, Tuan. Rama yang kalian bunuh itu tidak membunuh Larasati. Dan, Rama yang
kita lihat di panggung candi itu pun tidak membunuh Larasati. Dia membunuh Sita."
"Oke, oke. Rama A, Rama B. Lalu, di mana Rama A ketika pembunuhan oleh Rama B
terjadi? Di mana pula Larasati setelah Sita mati?"
"Rama A untuk Rama yang kalian bunuh itu. Dan Rama B untuk Rama yang membunuh
Sita."
"Ya, ya, ya! Cepat jawab!" dia mulai geram.
"Rama A dikontrak untuk mematikan karakternya sendiri dan menghidupkan karakter
Rama B. Nah, Rama B inilah yang membunuh Sita."

"Larasati?"
"Kami semua sedih. Usianya masih sangat muda. Dia sangat berbakat. Sayang sekali dia
meninggal dunia ketika terlibat dalam pergelaran drama teater, ketika berkarya. Dia terlihat
begitu total memerankan Sita. Dia, karakternya sebagai Larasati, hilang ketika layar mulai
dibuka. Jasadnya ditemukan di panggung teater..."
Brak!
Aku tak ingat apa-apa lagi. Tapi, aku merasa pening luar biasa. Pipi kananku juga sangat
ngilu. Gigiku pasti rontok. Darah mengotori mulutku. Ah, ke mana orang-orang? Apa
pertunjukan sudah usai? Kenapa sorot lampu itu mendekat-menjauh, terus berpendar,
silau sekali. Di mana ini?
***
ENTAH telah berapa lama aku di pembaringan. Mungkin beberapa malam. Sejak siuman
sampai sekarang, lebih sering kulihat gelap daripada terang. Remang di atasku, pijar
lampu bohlam kecil yang digantungkan pada seutas kabel panjang, nyaris tak pernah
padam. Ini pasti malam lagi.
Tapi, ternyata aku tak sendiri. Ada dipan lain. Saat berpaling ke samping, kupandang satu
ranjang sama panjang di seberang. Tak jauh, hanya tiga ubin dari sini. Sebatang tangan
terbujur melampaui batas dipan, kusentuh telapaknya yang tengadah. Jari-jemari seorang
lelaki. Kuraba satu per satu. Ibu jari, telunjuk, jari tengah...
Ah, aktor, aktor. Betapa hebat seorang aktor. Rautnya bisa bersalin rupa, lidahnya
berubah logat, dan bahasa tubuhnya seperti berganti roh. Sampai-sampai karakternya
sendiri lenyap. Tapi, sehebat apa pun seorang aktor, tak ada yang mampu menghapus
sidik jarinya sendiri. Sidik yang melekati diri.
Aku jadi ingat Rama. Meski tidak membunuh Larasati, sidik jarinya terendus polisi di
setangkup bibir gadis pemeran Sita itu. Demikian pula di susuk kundai pencabut nyawa
Sita. Di mana Rama kini? Di mana kuburnya? Apakah dia benar-benar telah mati malam
itu? Eh, jariku mengenal jari-jemari ini.
Apa ini? Cincin. Aku meraba selingkar cincin di jari manis orang di sebelahku. Segera
kubalik telapaknya dan sedikit kuangkat kepalaku. Ya, Tuhan. Cincin emas putih bermata
merah delima! Cincin Rama! Rama? Kaukah itu? Rama? Rama!
Serasa mendapat kekuatan dari langit untuk menginjak bumi, seketika aku bangkit.
Namun, aku tak kuasa mengusir kunang-kunang yang mengeroyok mataku. Aku
sempoyongan. Dipanku berputar. Dinding berputar. Lampu berputar. Semua berputar!
***
LARASATI menyeka pipi, mengusir bulir yang ngalir ke bibir. Ini air mata topeng, memang.
Tapi dia benar-benar terpikat pukat Sang Prabu Rama, sosok yang dihidupkan aktor
pujaannya: Rama. Daya magis akting Rama telah menyeret Larasati pada kepedihan yang
terasa sungguh.
Dia menemukan Sita dalam dirinya. Larasati merasa dialah yang dituduh selingkuh.
Selingkuh macam apa? Justru perasaan Larasati yang tidak diacuhkan. Angkuh sekali
Rama. Selalu hanya mengulum senyum, tidak mau mengulasnya. Kalau pun mereka
tampak mesra, itu hanya di panggung. Bahkan, Rama mengaku menyimpan kebencian.
Sejak sajaknya ditolak, Larasati hilang kompas. Pernah mengulang sebelum pulang dari
gelanggang, langsung mengucap cinta, tapi yang Larasati peroleh justru hinaan. Luka

baru yang akan lama sembuh. Walau sanggup menahan lidah, dia tidak mampu
membendung ludah. Larasati membalas hinaan itu.
Enam bulan pertemuan selama latihan ternyata tak menyurutkan genderang perang. Ada
dendam dalam sekam. Semula, aku juga cemas. Tapi, Rama memang seorang
profesional. Juga Larasati. Malam ini buktinya. Mereka tampil sangat mengesankan.
Sampai-sampai aku tak percaya mereka sedang memainkan peran dalam naskahku.
Nah, jika kau mencintai Larasati, masih ada waktu. Ingat, di tubuhmu yang tinggi besar ini
telah bersemayam jiwa Dasamuka. Sang Prabu Dasamuka. Tenang. Tarik, embuskan.
Naskahku bisa kau pakai mengirim pesan kepada Larasati. Ucapkan dengan mata.
Dengan hati.
Dengan peran Dasamuka, kau bisa mencari muka. Larasati mencintai Rama karena
penjiwaannya yang kuat terhadap karakter. Dia anak kemarin sore yang tergila-gila pada
aktor besar. Untuk merebut hatinya, buktikan kau tidak lebih kecil daripada Rama.
Ini kesempatan terakhirmu, babak sebelum Sita dijemput paksa, Kerajaan Alengka
dibumihanguskan Hanoman, dan Dasamuka dibunuh. Sekarang, ambil waktumu,
masuklah ke panggung. Sita sudah duduk menanti. Sita yang menyita perhatianmu. Sita
yang meminjam raga Larasati. Semoga saja dia tak benar-benar terbakar di babak
keenam. ***
Cimanggis, Januari 2007

Anda mungkin juga menyukai